Anda di halaman 1dari 97

LAPORAN TUTORIAL TROPICAL MEDICINE

Severe Dengue (Plasma Leakage)

Kelompok 4

Tutor : Susan Fitriyana, Dr., MMRS.

Nama NPM

1. Azhari Fadhilah 10010020025

2. Fadilul Fatihah Razi 10100120189

3. Reynindita Alya Harsyanti 10100120106

4. Nazmi Abiyah 10100120135

5. Dimas Satrio Aji 10100120064

6. Ayyas Robabani 10100120066

7. Ayunita Meita Dewi Rasiwan 10100120040

8. Rifira Hanifah 10100120020

9. Triya Mustika Sukendar 10100120105

10. Destri Ramadhani 10100120111

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG

Jl. Hariangbanga No. 2 Tamansari – Bandung

Telp: (022) 4203368 | Fax: (022) 423121


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunianya
kami dapat menyusun laporan tutorial case severe dengue (plasma leakage). Laporan ini
disusun untuk memenuhi tugas kelompok tutorial 4 tingkat 3 di Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Bandung. Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang ikut
membantu dalam pembuatan dan penyusunan laporan ini, baik berupa materi maupun segala
hal yang dapat membantu dalam penyelesaian laporan ini, karena kami tidak dapat
menyelesaikan laporan ini tanpa bantuan setiap pihak. Laporan ini masih jauh dari kata
sempurna, karena kami adalah manusia yang tidak luput dari kesalahan, karena itu kami
bersedia untuk menampung setiap kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan laporan ini.

Semoga laporan ini dapat bermanfaat yang bagi penyusun, pembaca, dan seluruh kalangan
masyarakat. Aamiin.

Bandung, 9 Mei 2023

Kelompok 4
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
BAB I........................................................................................................................................4
PENDAHULUAN..................................................................................................................4
BAB II......................................................................................................................................7
ISI.........................................................................................................................................7
2.1 THERMOREGULASI............................................................................................7
2.2 FEVER.................................................................................................................20
2.3 PARASITOLOGI.................................................................................................29
2.4 DENGUE VIRUS..................................................................................................46
2.5 DENGUE FEVER.................................................................................................48
2.6 DENGUE SYOK SYNDROME.............................................................................82
2.7 INTERPRETASI..................................................................................................88
BAB III...................................................................................................................................92
PENUTUP...........................................................................................................................92
3.1 BHP......................................................................................................................92
3.2 IIMC....................................................................................................................93
3.3 PATOMEKANISME............................................................................................94
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................95
BAB I

PENDAHULUAN

Defi 12 yo girl

CC : Demam tinggi 3 hari yang lalu secara tiba-tiba --> 38,9-39,5C sepanjang hari sampai
malam hari.

AC:
- facial flush
- headache
- muscle and joint pain
- epigastric pain

PH
- 6 hari yang lalu tetangga meninggal karen acute high fever

AI
Dirumahnya banyak nyamuk ketika siang hari

LAB
- Hb --> 13,4
- WBC --> 3400/mm rendah
- hematocrit --> 40%
- platelet count --> 98000 rendah
Diff count --> 0/2/0/40/50/8 --> limfositosis
- NS1 +

Pada hari ke-4


PE
- moderately ill
BP --> 100/70 normal
RR--> 24/min tinggi --> karena suhu tinggi
PR --> 110 beat/min tinggi --> karena suhu tinggi
Temp --> 38,2C tinggi
BB 40 KG, TB 140 CM --> normal
Liver palpable --> 3 cm dibawah costal --> hepatomegali

Pada hari ke-5


- tetap demam
- muntah
- dokter memberikan cairan ringer lactate iv dan acetaminophen 500 mg setiap 8 jam

LAB
- platelet count 48.000 dan hematocrite 52%
PE
- suhu --> 35,3C
- hypotension
- BP 85/70 mmHg
- RR --> 32x/min tinggi
- PR --> 140x/min tinggi
--> saat ini pasien mengalami DSS

- pada saat DSS diberikan --> bolus ringer lactate dengan dosis 20cc/kgBW/selama 30 menit.

Pasien diobservasi ke PICU dengan


- BP 90/60 mmHg
- RR 28X/min tinggi
- PR 110X/min dengan adequat filling tinggi
- suhu --> 38C tinggi

Hasil platelet dan Hc dilakukan sebelum shcok 48.000/ mm dan 52% respectively.
Chest Xray pleural efusion di dada kanan
4 jam setelah shock recovery
- platelet dan ht 52.000 dan 39%
- igG igM anti dengue +

Setelah vital sign stabil rate nya diturunkan secara bertahap

setelah 48 jam sejak recovery shock --> hari ke-7


- tidak diberikan iv fluid dan dipindahkan ke pediatric ward.
- vital sign stabil, dan monitoring untuk suhu
- platelet count dan ht -> 72.000 dan 35%

Setelah 24 jam tanpa antipyretic --> hari ke-8


Defi membaik, dan dipulangkan, dengan visit 1 minggu setelah medical follow up.

1 minggu kemudian
- good condition
- dan melaporkan ke puskesmas sebagai confirm case severe dengue (plasma leakage)
BAB II

ISI

2.1 THERMOREGULASI

1. Keseimbangan Energi
Energy Input & Output
Energy input berasal dari energi dalam makanan yang masuk. Sel-sel menyerap sebagian
energi nutrien ini dalam high-energy phosphate bonds of ATP. Energy output atau
ekspenditur oleh tubuh digolongkan ke dalam dua kategori: kerja eksternal dan kerja internal.
• Kerja eksternal --> energi yang dikeluarkan ketika otot rangka berkontraksi.
• Kerja internal --> semua bentuk pengeluaran energi biologis lain yang tidak melakukan
kerja mekanis di luar tubuh.
- Aktivitas otot rangka yang digunakan untuk tujuan selain kerja eksternal, misalnya
kontraksi untuk mempertahankan postur dan menggigil; dan
- Semua aktivitas yang mengeluarkan energi yang terus berlangsung hanya untuk
mempertahankan kehidupan. Contoh memompa darah dan bernapas.

1. NORMAL BODY TEMPERATURES


Suhu tubuh normal yang diukur di mulut (per oral) sebesar 37°C, tetapi dapat bervariasI
berkisar dari 35,5°C pada pagi hari - 37,7°C pada malam hari, dengan rerata 36,7°C.
a. Core temperature
• Suhu dalam struktur tubuh jauh ke dalam kulit dan lapisan subkutan.
• Organ abdomen dan toraks, susunan saraf pusat, dan otot rangka --> konstan.
• Suhu relatif konstan sekitar 100°F (37,8°C).
• Cerminan dari kandungan panas total tubuh.
b. Shell / Skin temperature
• Suhu di dekat permukaan tubuh --> di dalam kulit dan lapisan subkutan.
• Umumnya lebih dingin dan dapat cukup bervariasi.
• Tergantung pada suhu lingkungan, 1-6 °C lebih rendah dari core temperature.
(SHERWOOD)

(GUYTON)

2. SUHU TUBUH DIKENDALIKAN DENGAN MENYEIMBANGKAN HEAT


PRODUCTION AND HEAT LOSS
Ketika laju produksi panas dalam tubuh lebih besar daripada laju pelepasan panas, panas
menumpuk di dalam tubuh, dan suhu tubuh naik. Sebaliknya, ketika kehilangan panas lebih
besar, panas tubuh dan suhu tubuh menurun.
PRODUKSI PANAS/HEAT PRODUCTION
Heat input berasal dari panas yang diperoleh dari lingkungan luar dan produksi panas
internal. Panas dihasilkan melalui cara:
• Konsumsi / metabolisme makanan --> aksi dinamis spesifik dari makanan.
• Kontraksi otot rangka --> Karena otot dan kelenjar (terutama hati) adalah jaringan yang
paling aktif, mereka melakukan lebih banyak metabolisme dan menghasilkan lebih banyak
panas daripada jaringan lain.
• Mekanisme endokrin:
- Epinefrin dan norepinefrin --> peningkatan produksi panas yang cepat tetapi shortlived
- Hormon tiroid --> peningkatan yang berkembang lambat tetapi berkepanjangan.
- Pelepasan simpatis menurun selama puasa dan meningkat dengan makan.
Faktor-faktor yang menentukan laju produksi panas, yang disebut laju metabolisme tubuh.
(1) laju metabolisme basal semua sel tubuh
(2) tingkat ekstra metabolisme yang disebabkan oleh aktivitas otot, termasuk kontraksi otot
yang disebabkan oleh menggigil
(3) metabolisme ekstra yang disebabkan oleh efek tiroksin (dan, pada tingkat lebih rendah,
hormon lain, seperti hormon pertumbuhan dan testosteron) pada sel
(4) metabolisme ekstra yang disebabkan oleh efek epinefrin, norepinefrin, dan stimulasi
simpatik pada sel
(5) metabolisme ekstra yang disebabkan oleh peningkatan aktivitas kimia di dalam sel,
terutama ketika suhu sel meningkat
(6) ekstra metabolisme yang diperlukan untuk pencernaan, penyerapan, dan penyimpanan
makanan (efek termogenik makanan).

KEHILANGAN PANAS/HEAT LOSS


Sebagian besar panas yang dihasilkan tubuh dihasilkan di organ dalam, terutama hati, otak,
dan jantung, serta di otot rangka selama aktivitas fisik. Panas ini kemudian dipindahkan dari
organ dan jaringan yang lebih dalam ke kulit, lalu hilang ke udara dan lingkungan lainnya.
Oleh karena itu, laju hilangnya panas ditentukan hampir seluruhnya oleh dua faktor:
(1) seberapa cepat panas dapat dialirkan dari tempat dihasilkannya dalam inti tubuh ke kulit
dan
(2) seberapa cepat panas kemudian dapat dipindahkan dari kulit ke lingkungan.

Mari kita mulai dengan membahas sistem yang melindungi inti dari permukaan kulit.

Sistem Insulator Tubuh


Kulit, jaringan subkutan, dan terutama lemak jaringan subkutan bertindak bersama sebagai
penyekat panas bagi tubuh. Lemak itu penting karena hanya menghantarkan panas sepertiga
dari jaringan lain. Ketika tidak ada darah yang mengalir dari organ dalam yang dipanaskan ke
kulit, sifat penyekat tubuh laki-laki normal kira-kira sama dengan tiga perempat sifat
penyekat dari pakaian biasa. Pada wanita, insulasi ini bahkan lebih baik.

Insulasi di bawah kulit adalah cara yang efektif untuk mempertahankan suhu inti internal
yang normal, meskipun memungkinkan suhu kulit mendekati suhu lingkungan .
Aliran Darah ke Kulit Dari Inti Tubuh Memberikan Perpindahan Panas
Pembuluh darah didistribusikan deras di bawah kulit. Yang sangat penting adalah pleksus
vena kontinu yang disuplai oleh aliran darah dari kapiler kulit, ditunjukkan pada Gambar 74-
2. Di bagian tubuh yang paling terbuka—tangan, kaki, dan telinga—darah juga disuplai ke
pleksus langsung dari arteri kecil melalui anastomosis arteriovenosa yang sangat berotot.

Laju aliran darah ke dalam pleksus vena kulit dapat sangat bervariasi, dari sedikit di atas nol
hingga sebesar 30% dari total curah jantung. Laju aliran kulit yang tinggi menyebabkan panas
dialirkan dari inti tubuh ke kulit dengan efisiensi tinggi, sedangkan lajunya berkurang aliran
kulit dapat menurunkan konduksi panas dari inti menjadi sangat sedikit.

Gambar 74-3 menunjukkan secara kuantitatif pengaruh suhu udara lingkungan pada
konduktansi panas dari inti ke permukaan kulit dan kemudian konduktansi ke udara,
menunjukkan kira-kira peningkatan delapan kali lipat konduktansi panas antara keadaan
vasokonstriksi penuh dan keadaan vasodilatasi penuh.

Oleh karena itu, kulit merupakan sistem “radiator panas” yang dikontrol secara efektif, dan
aliran darah ke kulit merupakan mekanisme perpindahan panas yang paling efektif dari inti
tubuh ke kulit.

Kontrol Konduksi Panas ke Kulit oleh Sistem Saraf Simpatik.


Konduksi panas ke kulit oleh darah dikendalikan oleh tingkat vasokonstriksi arteriol dan
anastomosis arteriovenosa yang mensuplai darah ke pleksus vena kulit. Vasokonstriksi ini
hampir seluruhnya dikendalikan oleh sistem saraf simpatik sebagai respons terhadap
perubahan suhu inti tubuh dan perubahan suhu lingkungan. Hal ini dibahas nanti dalam bab
sehubungan dengan pengaturan suhu tubuh oleh hipotalamus.
Fisika Dasar Kehilangan Panas Dari Permukaan Kulit /perpindahan panas
Mempertahankan suhu tubuh normal tergantung pada kemampuan untuk melepaskan panas
ke lingkungan dengan kecepatan yang sama seperti yang dihasilkan oleh reaksi metabolisme.
Panas dapat ditransfer antara tubuh dan sekitarnya dalam empat cara: melalui konduksi,
konveksi, radiasi, dan penguapan.
1. Konduksi adalah pertukaran panas yang terjadi antara molekul dua bahan yang
bersentuhan langsung satu sama lain. Saat istirahat, sekitar 3% panas tubuh hilang melalui
konduksi ke bahan padat yang lebih dingin yang bersentuhan dengan tubuh, seperti kursi,
pakaian, dan perhiasan. Panas juga dapat diperoleh melalui konduksi — misalnya, saat
berendam di bak mandi air panas. Karena air menghantarkan panas 20 kali lebih efektif
daripada udara, kehilangan panas atau perolehan panas melalui konduksi jauh lebih besar saat
tubuh terendam air dingin atau panas.

2. Konveksi adalah perpindahan panas oleh pergerakan udara atau air antara area suhu yang
berbeda. Kontak udara atau air dengan tubuh Anda menghasilkan perpindahan panas baik
secara konduksi maupun konveksi. Ketika udara dingin bersentuhan dengan tubuh, udara
menjadi hangat dan karena itu kurang padat dan terbawa oleh arus konveksi yang tercipta saat
udara yang kurang padat naik. Semakin cepat udara bergerak—misalnya, oleh angin sepoi-
sepoi atau kipas—semakin cepat laju konveksi. Saat istirahat, sekitar 15% panas tubuh hilang
ke udara melalui konduksi dan konveksi.

3. Radiasi adalah perpindahan panas dalam bentuk sinar infra merah antara benda yang lebih
hangat dan benda yang lebih dingin tanpa kontak fisik. Tubuh Anda kehilangan panas dengan
memancarkan lebih banyak gelombang inframerah daripada yang diserapnya dari benda yang
lebih dingin. Jika benda-benda di sekitarnya lebih hangat dari Anda, Anda menyerap lebih
banyak panas daripada yang hilang melalui radiasi. Di ruangan dengan suhu 21°C (70°F),
sekitar 60% kehilangan panas terjadi melalui radiasi pada orang yang sedang istirahat.

4. Penguapan adalah perubahan cairan menjadi uap. Setiap mililiter air yang menguap
membutuhkan banyak panas—sekitar 0,58 kkal/mL. Pada kondisi istirahat yang khas, sekitar
22% kehilangan panas terjadi melalui penguapan sekitar 700 mL air per hari—300 mL pada
udara yang dihembuskan dan 400 mL dari permukaan kulit.
Berkeringat dan Pengaturannya oleh Sistem Saraf Otonom
Stimulasi area preoptik hipotalamus anterior di otak baik secara elektrik atau oleh panas
berlebih menyebabkan berkeringat. Impuls saraf dari area ini yang menyebabkan keringat
ditransmisikan di jalur otonom ke sumsum tulang belakang dan kemudian melalui aliran
simpatik ke kulit. Harus diingat dari pembahasan sistem saraf otonom di Bab 61 bahwa
kelenjar keringat dipersarafi oleh serabut saraf kolinergik (serat yang mensekresi asetilkolin
tetapi berjalan di saraf simpatik bersama dengan serabut adrenergik). Kelenjar ini juga dapat
dirangsang sampai batas tertentu oleh epinefrin atau norepinefrin yang beredar di dalam
darah, meskipun kelenjar itu sendiri tidak memiliki persarafan adrenergik. Mekanisme ini
penting selama latihan, ketika hormon-hormon ini disekresikan oleh medula adrenal dan
tubuh perlu kehilangan banyak panas yang dihasilkan oleh otot-otot yang aktif .
Mekanisme Sekresi Keringat.
Pada Gambar 74-5, kelenjar keringat diperlihatkan sebagai struktur tubular yang terdiri dari
dua bagian: (1) bagian melingkar subdermal dalam yang mengeluarkan keringat, dan (2)
bagian duktus yang keluar melalui dermis dan epidermis dari kulit. Seperti banyak kelenjar
lainnya, bagian sekretorik kelenjar keringat mengeluarkan cairan yang disebut sekresi primer
atau sekresi prekursor; konsentrasi konstituen dalam cairan kemudian dimodifikasi saat
cairan mengalir melalui saluran.
Sekresi prekursor adalah produk sekresi aktif dari sel-sel epitel yang melapisi bagian
melingkar dari kelenjar keringat. Serabut saraf simpatis kolinergik yang berakhir pada atau
dekat sel kelenjar mengeluarkan sekresi. Komposisi sekresi prekursor mirip dengan plasma,
kecuali tidak mengandung protein plasma. Konsentrasi natrium sekitar 142 mEq/L, dan
klorida sekitar 104 mEq/L, dengan konsentrasi yang jauh lebih kecil dari zat terlarut plasma
lainnya. Saat larutan prekursor ini mengalir melalui bagian duktus kelenjar, larutan ini
dimodifikasi oleh reabsorpsi sebagian besar ion natrium dan klorida. Tingkat reabsorpsi ini
tergantung pada kecepatan berkeringat. Ketika kelenjar keringat dirangsang hanya sedikit,
cairan prekursor melewati saluran secara perlahan. Dalam hal ini, pada dasarnya semua ion
natrium dan klorida diserap kembali, dan konsentrasi masing-masing turun hingga serendah 5
mEq/L. Proses ini mengurangi tekanan osmotik cairan keringat ke tingkat yang sangat rendah
sehingga sebagian besar air juga diserap kembali, yang memusatkan sebagian besar
konstituen lainnya. Oleh karena itu, pada tingkat keringat yang rendah, konstituen seperti
urea, asam laktat, dan ion kalium biasanya sangat pekat Sebaliknya, bila kelenjar keringat
distimulasi kuat oleh sistem saraf simpatis, sejumlah besar sekresi prekursor terbentuk, dan
duktus dapat menyerap kembali hanya sedikit lebih dari separuh natrium klorida; konsentrasi
ion natrium dan klorida kemudian (pada orang yang tidak teraklimatisasi) maksimum sekitar
50 sampai 60 mEq/L, sedikit kurang dari setengah konsentrasi dalam plasma. Selanjutnya,
keringat mengalir melalui tubulus kelenjar dengan sangat cepat sehingga hanya sedikit air
yang diserap kembali. Oleh karena itu, konstituen keringat lainnya hanya sedikit meningkat
konsentrasinya; urea sekitar dua kali lipat dalam plasma, asam laktat sekitar 4 kali, dan
kalium sekitar 1,2 kali. Kehilangan natrium klorida yang signifikan terjadi dalam keringat
ketika seseorang tidak dapat menyesuaikan diri dengan panas. Jauh lebih sedikit kehilangan
elektrolit yang terjadi, meskipun kapasitas keringat meningkat, begitu seseorang
menyesuaikan diri.

Hypothalamic Thermostat
Pusat kendali yang berfungsi sebagai pengatur suhu tubuh adalah sekelompok neuron di
bagian anterior hipotalamus, yaitu area preoptik. Area ini menerima masukan dari
termoreseptor di kulit (termoreseptor perifer) dan di hipotalamus itu sendiri (termoreseptor
sentral). Neuron pada area preoptik menghasilkan potensial aksi pada frekuensi yang lebih
tinggi ketika suhu darah meningkat dan pada frekuensi yang lebih rendah ketika suhu darah
menurun.
Potensi aksi dari area preoptik menyebar ke dua bagian lain dari hipotalamus yang dikenal
sebagai pusat pelepasan panas dan pusat penambah panas, yang ketika distimulasi oleh area
preoptik, mengaktifkan serangkaian respons yang menurunkan suhu tubuh. dan menaikkan
suhu tubuh masing-masing.

Peran Area Hipotalamus-Preoptik Anterior Dalam Deteksi Suhu Termostatik

Pada bagian anterior hipotalamus mengandung banyak syaraf yang sensitive terhadap panas
1/3 lebih banyak dari pada saraf yang sensitive terhadap dingin. Neuron ini dipercaya
berfungsi sebagai sensor suhu untuk mengontrol suhu tubuh. Neuron ini akan meningkatkan
laju pembakaran 2 – 10 kali lipat ketika terjqadi peningkatan suhu sekitar 10C.

Hipotalamus Posterior Mengintegrasikan Sinyal Sensor Suhu Pusat Dan Perifer

Sinyal sensorik suhu dari area hipotalamus-preoptik anterior juga dikirim ke area hipotalamus
posterior. Di sini, sinyal dari area preoptik dan sinyal dari tempat lain di tubuh digabungkan
dan diintegrasikan untuk mengontrol reaksi penghasil panas dan pelestarian panas tubuh.

Thermoregulation

• Untuk menyeimbangkan mekanisme pengeluaran panas dan mekanisme pembentuk dan


penghemat panas, hipotalamus harus diberi informasi secara terus menerus tentang suhu
inti dan suhu kulit oleh reseptor peka-suhu khusus yang disebut termoreseptor.
• Suhu inti dipantau oleh  termoreseptor sentral, yang terletak di hipotalamus itu sendiri
serta di organ abdomen dan tempat lainnya.
• Suhu kulit di seluruh tubuh Termoreseptor perifer memantau
• Di hipotalamus terdapat dua pusat regulasi suhu :

Regio posterior, diaktifkan oleh dingin, memicu refleks-refleks yang memerantarai


produksi dan penghematan panas.
Regio anterior, diaktifkan oleh panas, memicu refleks-refleks yang memerantarai
pengeluaran panas.

a. Jika suhu inti menurun, mekanisme yang membantu menghemat panas dan
meningkatkan produksi panas bertindak melalui umpan balik negatif untuk
menaikkan suhu tubuh menjadi normal (Gambar 25.19). Termoreseptor perifer dan
termoreseptor pusat mengirim input ke area preoptik hipotalamus, yang pada
gilirannya mengaktifkan pusat pemacu panas. Sebagai tanggapan, hipotalamus
mengeluarkan potensial aksi dan mengeluarkan hormon pelepas tirotropin (TRH),
yang pada gilirannya merangsang tirotrof di kelenjar hipofisis anterior untuk
melepaskan hormon perangsang tiroid (TSH). Potensial aksi dari hipotalamus dan
TSH kemudian mengaktifkan beberapa efektor, yang berespon dengan cara berikut
untuk meningkatkan suhu inti ke nilai normal:
• Vasokonstriksi. Potensi aksi dari pusat penambah panas merangsang saraf
simpatis yang menyebabkan pembuluh darah kulit mengerut. Vasokonstriksi
menurunkan aliran darah hangat, dan dengan demikian perpindahan panas, dari
organ dalam ke kulit. Memperlambat laju kehilangan panas memungkinkan suhu
tubuh internal meningkat karena reaksi metabolisme terus menghasilkan panas.

• Release of epinephrine and norepinephrine. Potensial aksi pada saraf simpatis


menuju ke medula adrenal merangsang pelepasan epinefrin dan norepinefrin ke
dalam darah. Hormon pada gilirannya menyebabkan peningkatan metabolisme sel,
yang meningkatkan produksi panas.
• Shivering. Pusat penambah panas merangsang bagian otak yang meningkatkan
tonus otot dan karenanya menghasilkan panas. Saat tonus otot meningkat pada
satu otot (agonis), kontraksi kecil meregangkan gelendong otot pada
antagonisnya, memulai refleks peregangan. Kontraksi yang dihasilkan antagonis
meregangkan spindel otot agonis, dan juga mengembangkan refleks peregangan.
Siklus berulang ini—disebut menggigil—sangat meningkatkan laju produksi
panas. Selama menggigil maksimal, produksi panas tubuh dapat meningkat
menjadi sekitar empat kali kecepatan basal hanya dalam beberapa menit.
• Release of thyroid hormones. . Kelenjar tiroid merespons TSH dengan
melepaskan lebih banyak hormon tiroid ke dalam darah. Karena peningkatan
kadar hormon tiroid secara perlahan meningkatkan laju metabolisme, suhu tubuh
meningkat.

b. Jika suhu tubuh inti naik di atas normal, loop umpan balik negatif yang berlawanan
dengan yang digambarkan pada Gambar 25.19 akan beraksi. Suhu darah yang lebih tinggi
merangsang termoreseptor perifer dan sentral yang mengirimkan input ke area preoptik,
yang pada gilirannya merangsang pusat pelepasan panas dan menghambat pusat
penambah panas. Potensial aksi dari pusat pelepasan panas menyebabkan pelebaran
pembuluh darah di kulit. Kulit menjadi hangat, dan kelebihan panas hilang ke lingkungan
melalui radiasi dan konduksi sebagai peningkatan volume darah yang mengalir dari inti
tubuh yang lebih hangat ke kulit yang lebih dingin. Pada saat yang sama, tingkat
metabolisme menurun, dan menggigil tidak terjadi. Suhu darah yang tinggi merangsang
kelenjar keringat pada kulit melalui aktivasi saraf simpatis hipotalamus. Saat air dalam
keringat menguap dari permukaan kulit, kulit menjadi dingin. Semua respons ini
menetralkan efek peningkatan panas dan membantu mengembalikan suhu tubuh ke
normal.
Neuronal Effector Mechanisms That Decrease Or Increase Body Temperature

Bila pusat suhu hipotalamus mendeteksi bahwa suhu tubuh terlalu panas atau terlalu dingin,
hipotalamus akan memberi- kan prosedur penurunan atau peningkatan suhu yang sesuai.

Mekanisme Penurunan-Suhu Bila Tubuh Terlalu Panas

Ada tiga mekanisme penting untuk menurunkan panas tubuh ketika suhu tubuh menjadi
sangat tinggi, yaitu :

1. Vasodilatasi pembuluh darah kulit.

Pada hampir semua area di dalam tubuh, pembuluh darah kulit berdilatasi dengan
kuat. Hal ini disebabkan oleh hambatan pusat simpatis di hipotala- mus posterior
yang menyebabkan vasokonstriksi. Vasodilatasi penuh akan meningkatkan
kecepatan pemindahan panas ke kulit sebanyak delapan kali lipat.  hal ini
bertujuan untuk mengeluarkan produksi panas yang berlebihan di dalam tubuh 
kulit terlihat merah akibat vasodilatasi PD

2. Berkeringat.

Efek peningkatan suhu tubuh yang menyebabkan berkeringat digambarkan oleh


kurva abu-abu terang pada Gambar 73-7, yang memperlihatkan peningkatan yang
tajam pada kecepatan pengeluaran panas melalui evaporasi, yang dihasilkan dari
berkeringat ketika suhu inti tubuh meningkat di atas nilai kritis 37°C (98,6°F).
Peningkatan suhu tubuh tam- bahan sebesar 1°C, menyebabkan pengeluaran
keringat yang cukup banyak untuk membuang 10 kali kecepatan pembentukan
panas tubuh

3. Penurunan pembentukan panas.

Mekanisme yang menyebab- kan pembentukan panas yang berlebihan, seperti


menggigil dan termogenesis kimia, dihambat dengan kuat.

Mekanisme Peningkatan-Suhu Saat Tubuh Terlalu Dingin

Ketika tubuh terlalu dingin, sistem pengaturan suhu mengadakan prosedur yang tepat
berlawanan. Yaitu sebagai berikut.

1. Vasokonstriksi kulit di seluruh tubuh.

Hal ini disebabkan oleh rangsangan dari pusat simpatis hipotalamus posterior.

2. Piloereksi.

Piloereksi berarti rambut "berdiri pada akarnya:" Rangsang-simpatis


menyebabkan otot arektor pili yang melekat ke folikel rambut berkontraksi, yang
menyebabkan ram -but berdiri tegak. Hal ini tidak penting pada manusia, tetapi
pada hewan yang lebih rendah, berdirinya rambut memung- kinkan hewan
tersebut untuk membentuk lapisan tebal "isola- tor udara" yang bersebelahan
dengan kulit, sehingga peminda- han panas ke lingkungan sangat ditekan.  hal
ini disebabkan karena otot yang ada di ekstremitas kontraksi sehingga  ketika
terjadi piloereksi membantu menjebak atau mencegah udara agar tidak keluar ke
lingkungan

3. Peningkatan termogenesis (pembentukan panas).

Pembentu- kan panas oleh sistem metabolisme meningkat dengan memi- cu


terjadinya menggigil, rangsang simpatis untuk pembentu- kan panas, dan sekresi
tiroksin. Mekanisme ketiga cara terse- but dalam meningkatkan panas,
membutuhkan penjelasan tambahan, sebagai berikut.
Produksi panas oleh sistem metabolisme meningkat  menggigil (shivering)

Suhu tubuh turun  mengirimkan sinyal melalui bilateral tracts  brain stem  lateral
columns of the spinal cord  anterior motor neurons  sinyal sinyal ini bersifat
nonarrythmical sehingga tidak langsung menyebabkan otot bergetar  meningkatkan tonus
otot skeletal diseluruh tubuh yang difasilitasi oleh aktivitas anterior motor neurons. ketika
tonus otot meningkat = shivering

Eksitasi simpatik produksi panas

Epinephrine dan norepinephrine (stimulus simpatis) dalam darah memisahkan fosforilasi


oksidatif  yang berarti bahan makanan berlebih akan teroksidasi akan melepaskan energy
(dalam bentuk panas) dan x membentuk adenosin tripospat

Sekresi tiroksin.

Sekresi tiroksin bisa disebabkan karena adanya peningkatan produksi hormone Pelepas
tirotropin dari hypothalamus. Hormone ini lalu dibawa ke portal vein hypothalamus ke
kelenjar hipofisis anterior  sekresi hormone tiroid  tyroksin  meningkatkan pelepasan
protein dan meingkatkan laju metabolisme tubuh.

Pengaturan Perilaku pada Suhu Tubuh

Selain mekanisme bawah sadar untuk pengaturan suhu tubuh, tubuh masih memiliki
mekanisme pengaturan suhu lain yang bah- kan lebih kuat. Pengaturan perilaku suhu ini,
dapat dijelaskan sebagai berikut. Bila suhu tubuh internal menjadi sangat tinggi, sinyal dari
area pengatur suhu di otak membuat orang mengalami sensasi fisik kepanasan. Sebaliknya,
bila tubuh menjadi terlalu dingin, sinyal dari kulit dan mungkin juga dari reseptor tubuh bagi-
an dalam mengeluarkan perasaan dingin yang tidak nyaman. Oleh karena itu, orang tersebut
akan membuat penyesuaian lingkungan yang tepat untuk dapat mencapai kembali
kenyamanan, seperti bergerak ke ruang yang panas atau dengan memakai baju yang memiliki
penyekat yang baik terhadap udara dingin.

2.2 FEVER

Suhu tubuh dikendalikan oleh hipotalamus. Neuron di hipotalamus anterior preoptik dan
hipotalamus posterior menerima dua jenis sinyal: satu dari saraf perifer yang mengirimkan
informasi dari reseptor panas/dingin di kulit dan yang lainnya dari suhu darah di daerah
tersebut.
Kedua jenis sinyal ini diintegrasikan oleh pusat termoregulasi hipotalamus untuk
mempertahankan suhu normal. Dalam lingkungan bersuhu netral, laju metabolisme manusia
menghasilkan lebih banyak panas daripada yang diperlukan untuk mempertahankan suhu
tubuh inti dalam kisaran 36,5–37,5°C (97,7–99,5°F).
Suhu tubuh normal biasanya dipertahankan meskipun ada variasi lingkungan karena pusat
termoregulasi hipotalamus menyeimbangkan produksi panas berlebih yang berasal dari
aktivitas metabolisme di otot dan hati dengan pembuangan panas dari kulit dan paru-paru.
Menurut penelitian terhadap individu sehat berusia 18-40 tahun, suhu rongga mulut rata-rata
adalah 36,8° ± 0,4°C (98,2° ± 0,7°F), dengan tingkat rendah pada pukul 6 pagi dan tingkat
yang lebih tinggi pada pukul 4–6 sore. Suhu mulut normal maksimal adalah 37,2°C (98,9°F)
pada pukul 6 pagi dan 37,7°C (99,9°F) pada pukul 4 sore. Sehubungan dengan penelitian ini,
suhu pagi >37,2°C (>98,9°F) atau sore hari suhu >37,7°C (>99,9°F) akan menyebabkan
demam.
Suhu rektal umumnya 0,4°C (0,7°F) lebih tinggi dari suhu oral.
Termometer membran timpani mengukur pancaran panas dari membran timpani dan liang
telinga terdekat dan menampilkan nilai absolut. Pengukuran ini meskipun nyaman, mungkin
lebih bervariasi daripada nilai oral atau rektal. Termometer membran timpani adalah 0,8°C
(1,6°F) lebih rendah daripada suhu rektal.
Harrison's Principles of Internal Medicine 20Ed, page 102
Suhu inti tubuh normalnya dipertahankan antara 1-1,5°C dalam kisaran 37-38°C. Suhu tubuh
normal pada umumnya dianggap 37°C (98,6°F; kisaran, 97-99,6°F). Suhu rektal yang lebih
tinggi dari 38°C (>100,4°F) umumnya dianggap abnormal, terutama jika dikaitkan dengan
gejala.
Suhu tubuh normal dipertahankan oleh sistem pengaturan kompleks di hipotalamus anterior.
Nelson Textbook of Pediatrics 19ED page 368

Mekanisme Demam

Selama demam, kadar prostaglandin E2 (PGE2) meningkat di jaringan hipotalamus dan


ventrikel serebral ketiga. Konsentrasi PGE 2 paling tinggi di dekat organ vaskular
sirkumventrikular (organum vasculosum lamina terminalis) jaringan kapiler yang membesar
di sekitar pusat regulasi hipotalamus. Eksogen dan sitokin pirogenik berinteraksi dengan
endotelium kapiler ini dan interaksi ini merupakan langkah pertama dalam memulai demam
yaitu dalam menaikkan set point (titik setel) ke tingkat demam.
Sel myeloid dan endotel adalah jenis sel utama yang menghasilkan sitokin pirogenik. Sitokin
pirogenik seperti IL-1, IL-6, dan TNF dilepaskan dari sel-sel ini dan memasuki sirkulasi
sistemik. Meskipun sitokin yang bersirkulasi ini menyebabkan demam dengan menginduksi
sintesis PGE2, mereka juga menginduksi PGE2 di jaringan perifer. Peningkatan PGE 2 di
perifer bertanggung jawab atas mialgia (nyeri otot) dan arthralgia (nyeri sendi) nonspesifik
yang sering menyertai demam.
Ada empat reseptor untuk PGE2, dan masing-masing memberi sinyal pada sel dengan cara
yang berbeda. Dari empat reseptor, yang ketiga (EP-3) sangat penting untuk demam.
Pelepasan PGE2 dari sisi otak endotelium hipotalamus memicu reseptor PGE2 pada sel glial
 sehingga sel glial menstimulasi pelepasan adenosin siklik 5′-monofosfat (cAMP) yang
merupakan neurotransmitter. Peningkatan cAMP dianggap bertanggung jawab atas
perubahan set point hipotalamus baik secara langsung maupun tidak langsung (dengan
menginduksi pelepasan neurotransmiter).
Reseptor yang berbeda untuk mikroba terletak di endotelium hipotalamus. Reseptor ini
disebut reseptor Toll-like (serupa dengan reseptor IL-1). Reseptor IL-1 dan reseptor Toll-
like berbagi mekanisme transduksi sinyal yang sama. Dengan demikian, aktivasi langsung
reseptor Toll-like atau reseptor IL-1 menghasilkan produksi PGE2 dan demam.
Harrison's Principles of Internal Medicine 20Ed, page 103
Infectious diseases 2nd ed. by Cohen, Jonathan, William G. Powderly, dan Jonathan
Cohen

Pyrogen
Istilah pirogen (pyro Yunani, "api") digunakan untuk menggambarkan zat apa pun yang
menyebabkan demam.
Eksogen :
Pirogen eksogen berasal dari luar pasien; sebagian besar adalah produk mikroba, toksin
mikroba, atau seluruh mikroorganisme (termasuk virus).
Contoh pirogen eksogen:
- Lipopolisakarida (endotoksin) yang diproduksi oleh semua bakteri gram negatif.
Endotoksin adalah molekul yang sangat pirogenik pada manusia: ketika disuntikkan
secara intravena ke sukarelawan, dosis 2-3 ng/kg menyebabkan demam, leukositosis,
protein fase akut, dan gejala umum malaise.
- Enterotoksin produk pirogenik dari organisme gram positif : Staphylococcus aureus
dan toksin streptokokus grup A dan B, juga disebut superantigen.
Endogen :
Sitokin pirogenik
Sitokin adalah protein kecil (massa molekul, 10.000–20.000 Da) yang mengatur proses imun,
inflamasi, dan hematopoietik. Misalnya, peningkatan leukositosis yang terlihat pada beberapa
infeksi dengan neutrofilia absolut disebabkan oleh sitokin interleukin (IL) 1 dan IL-6.
Beberapa sitokin penyebab demam (pirogen endogen sitokin pirogenik)).
Pyrogeniccytokines termasuk IL-1, IL-6, tumor necrosis factor (TNF), dan ciliary neurotropic
factor, anggota dari keluarga IL-6.
Spektrum luas produk bakteri dan jamur menginduksi sintesis dan pelepasan sitokin
pirogenik. Namun, demam dapat menjadi manifestasi penyakit tanpa adanya infeksi mikroba.
Misalnya, proses peradangan seperti perikarditis, trauma, stroke, dan imunisasi rutin
menginduksi produksi IL-1, TNF, dan/atau IL-6; secara individu atau dalam kombinasi,
sitokin ini memicu hipotalamus untuk menaikkan set point ke tingkat demam.
Harrison's Principles of Internal Medicine 20Ed, page 103-104
 Klasifikasi Demam Berdasarkan tipe/pola


 Sustained/continuous fever
- Tidak betambah lebih dari 1 C dalam 24 jam.
- Karakteristik dari lobar dan gram-negative pneumonia, typhoid, acute bacterial
meningitis, urinary tract infection.
- Slow stepwise temperature rise dan high plateau  typhoid fever.
- Demam + bradycardia  untreated typhoid, leishmaniasis, brucellosis, legionnaire’s
disease & psittacosis, yellow fever.
 Intermittent fever
- Demam hanya muncul selama beberapa jam pada siang hari.
- Malaria, pyogenic infections, tuberculosis, schistosomiasis, lymphomas, leptospira,
borrelia, kala-azar, septicaemia.

 Remittent fever
- Peningkatan suhu > 2 C setiap harinya.
- Infective endocarditis, rickettsiae infections, brucellosis.

 Relapsing fever
- Periode demam yang kemudian disertai periode tidak demam dengan durasi yang sama
panjangnya.

 Klasifikasi Demam Berdasarkan Durasi


1. Acute
 <7 hari.
 Karakteristik dari penyakit infeksi menular seperti malaria,influenza virus dan
viral-related upper respiratory infection.
2. Sub-acute
 <2 minggu.
 Typhoid fever, intraabdominal abscess.3
3. Chronic atau persistent
 >2 minggu.
 Chronic bacterial infection sepeti tuberculosis, infeksi virus HIV, kanker, dan
connective tissue disease.
Namun, setiap penyebab demam akut dapat menjadi persisten atau kronis jika tidak
diobati
 Klasifikasi Demam Berdasarkan Ketinggian Suhu  ketinggian suhu berkorelasi
dengan diagnosis, keparahan, dan prognosis.

 Klasifikasi Demam Berdasarkan Infeksi dan Non-Infeksi


Infeksi
 Airway → pharyngitis, sinusitis (eg. NG-tube associated)
 Respiratory system → pneumonia, bronchitis
 Cardiovascular system → endocarditis, pericarditis, myocarditis
 Gastrointestinal tract → pancreatitis, bowel perforation, diverticulitis
 Haematological causes → malaria
 Integument (bones, ligaments, soft tissues) → osteomyelitis, necrotising fasciitis,
cellulitis
 Central nervous system → meningitis, encephalitis
Non-infeksi
2.3 PARASITOLOGI

Nyamuk/Mosquito

Nyamuk adalah hewan golongan serangga yang termasuk dalam ordo Diptera (lalat), dan
tergolong dalam famili Culicidae; yg mengalami metamorphosis
sempurna (telur > larva > pupa > imago/dewasa).
Nyamuk terdiri dari :
1. Anopheles
2. Aedes  nyamuk pembawa dengue.
3. Culex
AEDES

Ada 2 jenis nyamuk pembawa dengue (vector):

oAedes aegypti (vector utama).


o Aedes albopictus (lesser extent).
Distribusi Aedes

 Di seluruh dunia, jangkauan geografis nyamuk Aedes meluas hingga ke daerah utara
dan kutub, di mana mereka dapat menjadi penggigit yang ganas dan hama yang serius
bagi manusia dan ternak
 Tersebar luas di daerah tropis dan subtropis di Asia Tenggar

Telur Aedes
GAMBAR  dari atlas diagnostic aedes aegepti
Telur Aedes aegypti dilihat dengan
mikroskop cahaya

Telur Aedes aegypti dilihat dengan


mikroskop stereo / stereoskopik /
dissecting microscope.

Permukaan telur Aedes aegypti


yang berbintil-bintil dilihat dengan
mikroskop elektron jenis SEM
(Scanning Electron Microscope).

 Berwarna hitam, kurang lebih berbentuk bulat telur


 telur memiliki pola pola mosaik yang tidak jelas.
 banyak spesies mereka dapat tetap kering tetapi dapat bertahan selama berbulan-bulan
atau kadang-kadang satu tahun atau lebih
 beberapa telur dapat menetas dalam beberapa menit, sementara yang lain dari
kelompok yang sama mungkin membutuhkan perendaman yang lebih lama dalam air
sebelum menetas, dan akibatnya penetasan dapat menyebar selama beberapa hari atau
minggu.
 Larva dari banyak spesies Aedes hidup di habitat kontainer kecil (lubang kecil
(lubang pohon, ketiak tanaman, dll.) yang rentan terhadap kekeringan
kemampuan telur untuk bertahan dari kekeringan jelas menguntungkan. Pengeringan
dan kemampuan telur untuk menetas secara bertahap dapat menimbulkan masalah
dengan pada tahap yang belum matang

Larva Aedes
 Spesies Aedes biasanya memiliki siphon berbentuk laras pendek, dan hanya ada
sepasang jambul subventral, yang muncul sekitar seperempat atau lebih dari
seperempat atau lebih dari pangkal sifon
 Antena tidak terlalu pipih dan tidak ada yang sangat setae yang besar pada toraks.
 Larva Aedes biasanya dapat dibedakan dari Haemagogus dengan memiliki antena
yang lebih besar atau lebih runcing dan sisirn idak pada lempeng sklerotisasi seperti
pada beberapa Haemagogus.

Duri thorax aedes


Aedes aegepthy
Aedes albopictus

Combhtheet
Aedes Aegepthy

Aedes albopticus
Pupa Aedes

Pupa memiliki sepasang alat pengayuh


untuk berenang dan gerakan
jungkiran (TRUmbling action) pada ruas
abdomen kedelapan.
Pupa memiliki sepasang saluran
pernafasan berbentuk terompet di bagian
cephalothoraks untuk respirasi dan
sepasang alat pengayuh di ruas
abdomen ke delapan.

Pupa atau dikenal kepompong memiliki


berbentuk bulat gemuk dengan
tubuh bengkok menyerupai tanda koma
dengan bagian kepala-dada
(cephalothoraks) berukuran lebih besar
dibandingkan dengan bagian
abdomen yang lebih langsing.

Nyamuk Dewasa

Perkembangan lanjut dari pupa


menuju nyamuk dewasa (imago)

Nyamuk memiliki kepala, dada (thoraks),


dan abdomen, dengan sepasang
sayap dan tiga pasang kaki.

 memiliki pola yang mencolok pada dada dibentuk oleh sisik hitam, putih atau
keperakan
 pada beberapa spesies beberapa spesies terdapat sisik berwarna kuning dan/atau
kecoklatan
 Kaki sering kali memiliki berwarna gelap dan putih
 aedes aegypti, yang sering disebut nyamuk demam kuning, mudah dikenali dari tanda
perak berbentuk kecapi perak di tepi lateral scutum
 Aedes perut sering ditutupi dengan sisik hitam dan putih yang membentuk pola
membentuk pola-pola yang berbeda, dan pada nyamuk betina perutnya runcing pada
bagian ujungnya

 Nyamuk dewasa hidup sekitar 2 hingga 4 minggu tergantung pada spesies,


kelembaban, suhu, dan faktor lainnya.

Kepala  memiliki banyak organ yang membantu nyamuk untuk makan, melihat, dan
mencium.

 Antena: Organ panjang seperti bulu yang mendeteksi karbon dioksida dari napas
seseorang dan pergerakan udara.
 Mata: Nyamuk memiliki dua mata majemuk yang besar yang dapat mendeteksi
gerakan.
 Palps: Organ di antara antena yang merasakan bau.
 Proboscis / Belalai: Pada nyamuk betina, bagian mulut ini menusuk kulit manusia
atau hewan dan menghisap darah. Belalai nyamuk jantan tidak cukup kuat untuk
menusuk kulit, dan nyamuk jantan tidak menghisap darah. Nyamuk betina dan jantan
menggunakan belalai untuk memakan nektar bunga dan sari buah.

Thorax  Dada terhubung ke kepala. Sayap dan kaki terhubung ke dada.

 Halter : Organ kecil seperti sayap yang digunakan untuk kemudi saat terbang.
 Sayap : yamuk memiliki dua sayap yang digunakan untuk terbang.
 Kaki : Nyamuk memiliki enam kaki seperti serangga lainnya.
 Femur : Bagian atas kaki.
 Tibia : Bagian tengah kaki.
 Tarsus : Ujung kaki yang membantu nyamuk berdiri dan berjalan di atas air.
Abdomen
perut terhubung ke dada dan berfungsi sebagai perut, sistem reproduksi, dan bagian dari
sistem pernapasan. Alat kelamin: Tempat keluarnya telur dari betina.

Punggung Nyamuk

Aedes aegepthy

Nyamuk Ae.aegypti memiliki ciri khas pada


punggung thoraks, yaitu lyre
(garis-garis) pada bagian dorsal thoraks
(mesonotum), yaitu sepasang garis
putih yang sejajar ditengah dan garis lengkung
putih yang lebih tebal di tiap
sisinya, yang menyerupai alat musik harpa.

Aedes albopictus
Nyamuk Ae.albopICTUS memiliki ciri
khas pada punggung thoraks, hanya
berupa satu garis putih di tengah
punggung

Kepala Nyamuk

Aedes jantan

Nyamuk Aedes kelamin jantan


memiliki antena yang berbulu
panjang dan
lebat, yang disebut plumose.
Palpus hampir panjang dengan
proboscis.
Palpus terdiri atas 5 ruas.

Aedes Betina

Nyamuk Aedes kelamin betina


memiliki antena yang berbulu pendek
dan
jarang, yang disebut pilose. Palpus
lebih pendek dibandingkan proboscis.
Palpus terdiri atas 4 ruas

Nyamuk Betina
Pembanding kepala nyamuk
Anopheles betina
Nyamuk Anopheles kelamin betina
memiliki antenna yang berbulu
pendek dan jarang, yang disebut
pilose. Palpus sama panjang
dengan proboscis.
Ujung palpus tidak membesar

Aedes aegypti  EBOOK manson


 Ae. Aegypti adalah vektor nyamuk yang paling efisien karena karena kebiasaannya di
dalam rumah.
 Nyamuk betina menggigit manusia pada siang hari. siang hari. Setelah menghisap
darah manusia yang mengandung virus, nyamuk Ae. aegypti betina dapat menularkan
demam berdarah, baik secara langsung langsung dengan pergantian inang ketika
makannya terputus, atau setelah masa inkubasi basi selama 8-10 hari, di mana virus
berkembang biak di dalam kelenjar ludah. di dalam kelenjar ludah.
 Setelah terinfeksi, inang nyamuk tetap infektif seumur hidup (30-45 hari).
 Nyamuk Aedes lain yang dapat menularkan demam berdarah termasu Ae. albopictus,
Ae. polynesiensis

Aedes albopictus
 Aedes albopictus vektor demam berdarah di Asia Tenggara, berkembang biak baik di
habitat alami maupun habitat buatan manusia seperti lubang pohon, pot penampungan
air dan ban kendaraan. Spesies ini diperkenalkan ke benua Amerika Serikat pada
tahun 1985 sebagai telur yang kering, tetapi masih hidup, yang telah bertelur di dalam
ban di Asia yang kemudian diekspo
 Pada tahun 2010, Ae. albopictus telah menyebar ke lebih dari 29 negara bagian di
Amerika Serikat. Ditemukan di banyak negara Amerika Latin. Amerika Latin, di
beberapa negara Afrika sub-Sahara, di 15 negara EropA di Israel dan di Australia dan
Selandia Baru. Singkatnya, ini telah telah dilaporkan dari lebih dari 27 negara di luar
Asia Akan tetapi, Ae albopictus sering gagal berkembang di banyak negara yang
memiliki yang beriklim sedang atau di mana pengendalian yang efisien dapat dengan
cepat mengeliminasi invasi
Secara khusus, jantan dengan infeksi satu strain Wolbachia tidak efektif terhadap Ae.
albopictus betina yang terinfeksi ganda, dan betina yang terinfeksi oleh satu galur dapat
disterilkan jantan yang terinfeksi ganda;

Siklus Hidup Aedes aegeypti


 telur hingga menjadi nyamuk dewasa bisa berlangsung cepat, memakan waktu
sedikitnya tujuh hari, tetapi biasanya 10-12 hari;
 daerah beriklim spesies siklus hidup dapat berlangsung beberapa minggu hingga
berbulan-bulan, dan beberapa spesies melewati musim dingin sebagai telur atau larva.

Orang dewasa dari sebagian besar spesies Aedes menggigit terutama pada siang atau sore
hari.
Sebagian besar gigitan terjadi di luar ruangan dan orang dewasa biasanya beristirahat di luar
ruangan sebelum sebelum dan sesudah makan.
Dibutuhkan waktu sekitar 7-10 hari bagi
telur untuk berkembang menjadi nyamuk
dewasa.

Sumber : https://www.cdc.gov/mosquitoes/about/life-cycles/aedes.html
Life Stages of Aedes Mosquitoes

 Telur
- Nyamuk betina dewasa bertelur di bagian dalam yang basah bagian dalam yang
basah, di atas permukaan air.
- Nyamuk biasanya bertelur 100 butir dalam satu waktu.
- Telur dapat bertahan dalam kondisi kering hingga 8 bulan
- Hanya dibutuhkan sedikit air untuk menarik perhatian nyamuk nyamuk betina.
Mangkuk, cangkir, air mancur, ban, tong, vas dan wadah lain yang menyimpan air
dapat menjadi "tempat pembibitan" yang bagus.
 Larva
- Larva muncul dari telur nyamuk, tetapi hanya setelah permukaan air naik hingga
menutupi telur
- air hujan atau manusia yang menambahkan air ke dalam wadah berisi telur
akan memicu munculnya larva.
- Larva memakan mikroorganisme di dalam air. Setelah berganti kulit tiga kali,
larva menjadi pupa.
 Pupa
- Pupa akan berkembang sampai tubuh nyamuk nyamuk terbang dewasa muncul
dari kulit pupa dan meninggalkan air.
 Dewasa
- Setelah nyamuk dewasa muncul: nyamuk jantan memakan nektar dari bunga dan
nyamuk betina memakan manusia dan hewan untuk mendapatkan darah guna
menghasilkan telur.
- Setelah makan, nyamuk betina akan mencari air air untuk bertelur lebih banyak.
- Aedes aegypti hanya terbang beberapa blok selama hidupnya.
- nyamuk Aedes aegypti lebih suka menggigit manusia.
Nyamuk Aedes aegypti lebih suka tinggal di dekat manusia.
dapat ditemukan di dalam rumah, gedung, dan bisnis di mana kasa jendela dan
pintu tidak digunakan atau pintu dibiarkan terbuka.

The elimination of Ae. aegypti larval


habitats such as bath, kitchen work, animals, plants, etc. may be helpful to reduce
the indoor population.

Orang dewasa dari sebagian besar spesies Aedes menggigit terutama pada siang atau sore
hari. Sebagian besar gigitan terjadi di luar ruangan dan orang dewasa biasanya beristirahat di
luar ruangan sebelum sebelum dan sesudah makan.

Siang hari
Nyamuk di siang hari  aedes aegypti
 Nyamuk ini disebut memiliki pola aktivitas yang diurnal, atau aktif pada pagi sampai
siang hari. Nyamuk Aedes aegypti betina menggigit atau menghisap darah manusia
untuk mendapatkan protein sebagai bekal bertelur. Nyamuk DBD biasanya
"beroperasi" pada pukul 06.00 WIB-09.00. WIB dan 15.00 WIB-17.00.
 Nyamuk DBD sendiri lebih aktif pada siang hari, namun dapat pula menggigit pada
malam hari jika pencahayaan baik

Nyamuk betina
- Nyamuk betina dewasa dapat bertahan hidup selama hampir 1 bulan di mana
mereka makan beberapa kali. Nyamuk betina mendukung kelangsungan hidup dan
perkembangbiakan patogen sehingga meningkatkan meningkatkan beban parasit
dan kemudian menjadi infektif.
- nyamuk betina yang menyebarkan penyakit ini, sebab mereka membutuhkan
darah manusia yang mengandung banyak protein untuk memproduksi
telur. Jenis virus yang dibawa oleh nyamuk aedes aegypti merupakan
jenis virion dengue virus. Virion dengue virus ini merupakan tipe virus yang
memiliki gonome RNA dari keluarga flaviviridae, yaitu genus flavivirus
- Nyamuk betina sering kali hidup lebih lama daripada nyamuk jantan.
- Hanya nyamuk betina yang menggigit manusia dan hewan untuk mendapatkan
makanan berupa darah. Nyamuk betina membutuhkan darah untuk menghasilkan
telur. Nyamuk terinfeksi kuman, seperti virus dan parasit, ketika mereka
menggigit orang dan hewan yang terinfeksi..

Aedes aegypti adalah lebih bersifat endofilik, sedangkan Ae. albopictus bersifat eksofilik dan
mengurangi aktivitas di luar ruangan.

Nyamuk aedes aegypti yang megigit di siang hari, terurama betina, tertarik pada cahaya di
siang hari tanpa memperhatikan spectrumnya

2.4 DENGUE VIRUS

Dengue (breakbone fever) adalah infeksi nyamuk yang disebabkan oleh flavivirus yang
ditandai dengan demam, sakit kepala parah, nyeri otot dan sendi
- Family: Flaviviridae.
- Genus: Flavivirus.
- Size: 10.6 kb.
- Single-stranded RNA; has a positive-sense polarity, encoding a polyprotein precursor of
- viral protein of 3411 amino acids long.
- RNA dikelilingi oleh protective coat (nucleocapsid, enveloped by a lipid bilayer and
- shielded with glycoproteins).
- Receptors: glycosaminoglycans, lectins.
- Prognosis: recovery within 14 days, very rarely deadly.
- Sterotypes:

1. DENV-1
2. DENV-2
3. DENV-3
4. DENV-4
- Structural proteins:
1. Envelope (E)
2. Premembrane (prM)
3. Capsid (C)

- Nonstructural proteins: NS1, NS2a, NS2b, NS3, NS4A, NS4B, NS5). NS1  yaitu Tes
yang mampu mendeteksi protein non struktural NS1 dari virus dengue.

- Transmission: bites of Aedes aegypti dan Aedes albopictus females to vertebrae hosts.

Mekanisme penularan pada virus dengue


1. Menempel pada sel target (bisa pada kulit, membrane mukosa, atau saluran napas)
2. Berikatan dengan reseptor lalu masuk ke dalam sel dengan cara endositosis
3. Membran endosome virus fusi lalu akan uncoating
4. Terjadi tranlasi menghasilkan RNA
5. RNA bereplikasi di membrane sel, RNA (-) menjadi RNA (+)
6. Terbentuk virus baru lalu di transport dan mengalami maturase glikoprotein di vesikel
intrasel
7. Vesikel fusi di membrane plasma lalu virus dikeluarkan dari sel

2.5 DENGUE FEVER

Definisi : (Pedoman Pencegahan Dan Pengendalian Demam Berdarah Dengue Di Indonesia)


Demam Dengue (DD) ialah demam disertai 2 atau lebih gejala penyerta seperti sakit kepala,
nyeri dibelakang bola mata, pegal, nyeri sendi (arthralgia), ruam (rash). Adanya manifestasi
perdarahan, leukopenia ( leukosit ≤ 5000 /mm³ ), jumlah trombosit ≤ 150.000/mm³ dan
peningkatan hematokrit 5 – 10 %
Epidemiology : (Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
Hk.01.07/Menkes/4636/2021 Tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata
Laksana Infeksi Dengue Anak Dan Remaja)
 Dengue merupakan kondisi dunia yg tersebar diseluruh zona tropis dan subtropis diantara
30°N dan 40°S, (antara 30°LU dan 40°LS),  kondisi lingkungan optimal untuk
penularan virus dengue oleh nyamuk Aedes.
 endemik di Asia Tenggara, Pasifik, Afrika Timur dan Barat, Karibia dan Amerika.
 Studi prevalensi  terdapat 3,9 milyar orang di 129 negara berisiko terinfeksi dengue,
70% mengancam penduduk di Asia
 Kejadian infeksi dengue  anak > dewasa dan persentase yang memerlukan perawatan
rumah sakit lebih tinggi pada anak Asia dibandingkan ras lainnya.
 Kondisi dengue berat terjadi pada saat epidemi dengue di Filipina dan Thailand pada
tahun 1950-an, sedangkan di Indonesia dilaporkan pada tahun 1968 di Jakarta dan
Surabaya.
 Kasus infeksi dengue di Indonesia pada tahun 2019 meningkat menjadi 138.127
dibanding tahun 2018 yang berjumlah 65.602 kasus.

Faktor Risiko
Dapat terus meningkat dan meluas sebarannya :
 vektor penular dengue tersebar luas baik di tempat pemukiman maupun ditempat umum.
 kepadatan penduduk, mobilitas penduduk, dan urbanisasi yang semakin meningkat
 Perilaku masyarakat
 Perubahan iklim (climate change) global
 Pertumbuhan ekonomi
 Ketersediaan air bersih

Etiologi
Dengue virus
Karakterisitk :
 anggota genus Flavivirus dalam famili Flaviviridae, single-stranded enveloped RNA
virus, diameter 30 nm, yg dapat tumbuh pada berbagai jenis nyamuk dan kultur jaringan.
 Ada empat serotipe yang berbeda (DENV1-4).

Transmisi :
Dengue virus ditransmisikan dari manusia ke manusia dengan gigitan nyamuk.
 Manusia merupakan reservoir utama virus.
 Ae. aegypti adalah vektor nyamuk yang paling efisien.
 Nyamuk betina menggigit manusia pada siang hari.
 Setelah menghisap orang yang darahnya mengandung virus, nyamuk Ae. aegypti dapat
menularkan dengue baik secara langsung dengan pergantian host ketika hisapan
dihentikan, atau setelah masa inkubasi 8-10 hari selama waktu virus berkembang biak di
salivary glands. Setelah terinfeksi, inang nyamuk tetap infektif (30–45 hari).
 Nyamuk Aedes lain yang mampu menularkan dengue antara lain include Ae. albopictus,
Ae. polynesiensis dan beberapa spesies Ae. scutellaris complex
 Masing-masing spesies ini memiliki distribusi geografis tersendiri dan secara umum
mereka adalah vektor yang kurang efisien dibandingkan Ae. aegypti.

Infeksi dengue : disebabkan oleh empat serotipe virus dengue yg berbeda secara antigenik
(DENV1, DENV2, DENV3, DENV4) dari family Flaviviridae adalah penyakit arbovirus
terpenting pada manusia, dalam hal distribusi geografis, morbiditas, dan mortalitas. Infeksi
ini ditransmisikan dari orang ke orang oleh nyamuk Aedes.
Definisi lain dari Infeksi dengue : penyakit yang disebabkan oleh virus dengue, termasuk
dalam famili Flaviviridae dan terdapat 4 serotipe, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, serta DEN-
4. Infeksi dengue ditularkan oleh nyamuk betina Ae. aegypti juga Ae. albopictus. Nyamuk ini
juga menularkan virus chikungunya, demam kuning (yellow fever), dan infeksi Zika.
Perjalanan Penyakit Infeksi dengue :
Masa inkubasi 4 sampai 10 hari, dan memiliki 3 fase dalam perjalanan penyakitnya, yaitu :
 fase demam
 fase kritis
 fase pemulihan

*Ketepatan dan kecepatan tatalaksana serta pemantauan pasien sejak fase demam, mampu
mengurangi risiko kematian pasien severe dengue hingga <0,5%
1. Fase Demam :
Tanda dan gejala :
 demam yang mendadak tinggi (dapat mencapai 40o C), terus-menerus, kadang bifasik,
serta berlangsung selama 2–7 hari.
Disertai dengan gejala lain :
 sering ditemukan  muka kemerahan (facial flushing), nyeri kepala, nyeri retroorbita,
anoreksia, mialgia, dan artralgia.
 Gejala lain yang dapat dijumpai  nyeri ulu hati, mual, muntah, nyeri di daerah subkostal
kanan atau nyeri abdomen difus, kadang disertai nyeri tenggorokan.
 Manifestasi perdarahan ringan : petekie dan perdarahan membran mukosa (misal
epistaksis dan perdarahan gusi) dapat terjadi.

Pemeriksaan lab :
- pemeriksaan darah perifer lengkap pada fase demam  penurunan progresif jumlah
leukosit (leukopenia) dapat menjadi panduan klinisi untuk mendiagnosis dengue.
- jumlah total leukosit, neutrofil dan trombosit lebih rendah jika dibandingkan dengan
penderita demam oleh virus lain pada daerah endemis dengue.

Diagnosis banding yg sesuai fase penyakit dengue :

2. Fase Kritis
 terjadi pada saat demam turun (time of fever defervescence) : ketika suhu tubuh
turun menjadi 37,5–38o C atau kurang dan tetap berada di bawah suhu tersebut 
saat berlangsungnya perembesan plasma terjadi sehingga pasien dapat mengalami
syok hipovolemik.
Tanda & gejala :
Warning sign :
*Sebagian besar pasien akan mengalami perbaikan setelah melewati defervescence.
Walaupun jarang, ada pasien yang masuk ke fase kritis bahkan syok tanpa
defervescence. Pada pasien tersebut tampak terjadi peningkatan hematokrit yang
sangat cepat.
Warning signs : Adanya warning sign  faktor risiko terjadinya severe dengue.
terjadi menjelang akhir fase demam antara hari sakit ke-3 sampai ke-7  peningkatan
permeabilitas pembuluh kapiler bersamaan dengan peningkatan kadar hematokrit.
Jika ditemukan warning signs  pemantauan ketat dan/atau dirujuk ke rumah sakit
untuk penanganan lebih lanjut.

Penjelasan :
 Efusi pleura dan asites  dapat dideteksi secara klinis bergantung pada tingkat
perembesan plasma dan volumenya.
 Pemeriksaan foto dada (terutama posisi right lateral decubitus) dan ultrasonografi
abdomen peningkatan kadar hematocrit  menunjukkan derajat keparahan dari
perembesan plasma. Muntah terus-menerus dan nyeri perut hebat  perembesan
plasma, dan bertambah hebat atau menetap saat pasien syok.
 Penurunan jumlah trombosit yang cepat dan progresif kurang dari 100.000
sel/mm3 serta kenaikan hematokrit  merupakan tanda awal perembesan plasma.
3. Fase Pemulihan
 Jika pasien berhasil melewati fase kritis selama 24–48 jam  reabsorbsi cairan
ekstravaskular secara bertahap akan berlangsung selama 48– 72 jam berikutnya.
Tanda dan gejala :
 Keadaan umum akan membaik
 nafsu makan membaik
 gejala gastrointestinal menghilang
 status hemodinamik stabil dan diikuti dengan perbaikan diuresis.
 Beberapa pasien memperlihatkan tanda ”pulau putih di tengah lautan merah
(white isles in the sea of red)” mengalami pruritus.
 Bradikardia dan perubahan elektrokardiografi
 Hematokrit akan stabil atau < normal karena dampak dilusi dari penyerapan
cairan.
 Jumlah leukosit mulai meningkat setelah masa defervescence dan jumlah
trombosit kembali normal terjadi setelahnya
*Distress pernapasan karena edema dan asites dapat terjadi jika cairan intravena
diberikan secara berlebihan.
Clinical Features (Manson)
dengue fever  sering terjadi pada orang dewasa dan anak2 yg lebih tua dan dapat benign
atau classical incapacitating disease (classical dengue fever) dengan nyeri otot, sendi dan
tulang yg parah (break bone fever).
Terjadi biasanya, setelah masa inkubasi 5-8 hari setelah gigitan nyamuk infektif.
Pada orang dewasa dimulai dengan :
 demam tiba-tiba disertai sakit kepala parah

Karakterisitik demam : Suhu biasanya tinggi (39–40°C); demam dapat bertahan selama 5-6
hari dan kadang-kadang biphasic.
 terdapat satu gejala berikut: kedinginan, nyeri di belakang mata – terutama saat mata
bergerak atau tekanan mata-fotofobia, sakit punggung, dan nyeri pada otot, tulang, dan
persendian ekstremitas. Dapat terjadi Seiring anoreksia dan mungkin menunjukkan
kelemahan dan prostration.
 Gejala lain termasuk : sore throat, altered taste sensation, colicky pain and abdominal
tenderness, constipation, dragging pain in the inguinal region dan general depression.
Bradikardia relatif sering terjadi selama fase febrile. Gejala bervariasi dalam tingkat
keparahan dan biasanya bertahan selama beberapa hari.
 Terdapat berbagai skin rash : diffuse flushing, mottling atau fleeting pinpoint eruptions
dapat diamati pada wajah, leher dan dada (bersifat sementara).

Penjelasan tambahan patgen patfis


Pathology
 setelah inokulasi, virus mencapai lymph node regional dan menyebar ke sistem
retikuloendotelial, di mana ia berkembang biak dan masuk ke dalam darah.
 Kelainan utama terjadi di dalam dan sekitar pembuluh darah kecil dan terdiri dari
swelling endotel, edema perivaskular, dan infiltrasi sel mononuklear.Ekstravasasi luas
darah tanpa reaksi inflamasi yang cukup diamati pada lesi petechial.

Immunity
 Imunitas dimediasi oleh antibodi.
 Setelah fase akut infeksi oleh serotipe dengue tertentu, terdapat respons antibodi terhadap
keempat serotipe dengue tersebut. Setelah terinfeksi oleh satu serotipe, individu yang
bersangkutan akan kebal terhadap serotipe lain selama 2-12 bulan dan menjadi rentan
setelahnya. Menurunnya antibodi heterotipik cross-reactive berimplikasi pada terjadinya
DHF.

Klasifikasi Dengue
Perubahan epidemiologi dengue  memicu masalah penggunaan klasifikasi WHO yang
sejak lama diterapkan.
Klasifikasi WHO 1997 dan 2011 dapat membagi infeksi dengue menjadi tiga kategori
berdasarkan gejala penyebabnya :
a. demam yang tidak dapat dikenali
b. demam dengue (DD)
c. DBD
dibagi lagi dalam empat stadium,
 Stadium 1
 Stadium 2
 stadium III dan IV  sindrom syok dengue (Dengue Shock Syndrome/DSS).

Alasan diganti : karena ada kesulitan dalam menggunakan kriteria DBD pada praktik klinis
di fasilitas dan sarana yang terbatas, karena diagnosis merupakan gambaran retrospektif
disertai adanya peningkatan kasus yang berat seperti DBD/DD dengan komorbid, DD dengan
perdarahan, keterlibatan organ (hati, jantung, ensefalopati, dan lain-lain), yang tidak
memenuhi kriteria DBD WHO 1997, mendorong perlunya dipergunakan klasifikasi baru.
The Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment and Control World Health
Organization 2009 membuat kategori infeksi dengue ke dalam dua sub grup, yaitu :
a. dengue dengan warning signs
b. Dengue tanpa warning signs.

Macam2 Klasifikasi

Guiding Case Definition


1. WHO 1997
a. Case definition untuk dengue fever
 Probable 
 acute febrile illness dengan 2 atau lebih manifestasi : headache, retro-orbital pain,
myalgia, arthralgia, rash, haemorrhagic manifestations, leukopenia;

dan
 Supportive serology (reciprocal haemagglutination-inhibition antibody titre ≥ 1280,
comparable IgG enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) titre atau positive IgM
antibody test pada late acute atau convalescent-phase serum specimen); atau kejadian di
lokasi dan waktu yg sama dengan kasus dengue fever lainnya yg dikonfirmasi
 Confirmed—> kasus yg dikonfirmasi oleh kriteria laboratorium
 Reportable—setiap kemungkinan atau kasus yg dikonfrimasi harus dilaporkan

Laboratory criteria untuk konfirmasi dengue fever :


 Isolation dengue virus dari serum atau autopsy samples; atau
 Demonstrasi perubahan empat kali lipat atau lebih besar dalam titer antibodi IgG atau
IgM timbal balik menjadi satu atau lebih antigen dengue virus dalam sampel serum yg
berpasangan;
 Demonstration dengue virus antigen pada autopsy tissue, serum atau cerebrospinal fluid
samples dengan immunohistochemistry, immunofluorescence or ELISA; or
 Deteksi dengue virus genomic sequences pada autopsy tissue serum atau cerebrospinal
fluid samples dengan polymerase chain reaction (PCR).
b. Case definition for dengue haemorrhagic fever
 Fever, atau riwayat acute fever, selama 2–7 hari, biasanya biphasic.
 Haemorrhagic tendencies, evidenced by at least one of the following:
o positive tourniquet test
o petechiae, ecchymoses atau purpura
o pendarahan mucosa, gastrointestinal tract, lokasi injeksi atau lokasi lain
o haematemesis atau melaena.
 Thrombocytopenia (100000 cells per mm3 atau kurang).
 Bukti plasma leakage karena peningkatan vascular permeability, yang memiliki gejala
setidaknya satu dari : peningkatan haematocrit sama dengan atau lebih besar dari 20%
diatas average forage, sex and population;
c. Case definition for dengue shock syndrome

Semua kriteria DHF harus ada + bukti circulatory failure dengan gejala:
 Rapid & weak pulse,
 Narrow pulse pressure (,20 mmHg (2.7 kPa) )
 atau
 Hypotension for age dan
 Cold, clammy skin dan restlessness.
2. WHO 2009

3. WHO 2011
Patogenesis dan patofisiologi
Diagnosis
Berdasarkan kriteria WHO 2011 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal dibawah ini
terpenuhi:
1) Demam mendadak tinggi dengan selama 2-7 hari;
2) Manifestasi perdarahan dapat berupa salah satu dari gejala berikut: tes torniket positif,
petekie, ekimosis atau purpura, atau perdarahan dari mukosa, saluran pencernaan, tempat
injeksi, atau perdarahan dari tempat lain;
3) Trombosit ≤100.000 sel/mm3; dan
4) Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai berikut:
a) Peningkatan hematokrit / hemokonsentrasi ≥20% dibandingkan standar sesuai
dengan umur dan jenis kelamin;
b) Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibadningkan dengan
nilai hematokrit sebelumya; dan/atau
c) Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites atau
hipoproteinemia/hipoalbuminemia.
Perbedaan utama antara DD dan DBD adalah terjadinya kebocoran plasma pada DBD
sedangkan pada DD tidak.
Temuan laboratorium klinis pada penderita DBD
1) Jumlah sel darah putih umumnya normal dengan jumlah neutrofil yang dominan
pada fase awal demam. Setelah itu, ada penurunan jumlah total sel darah putih dan
neutrofil, dan mencapai titik nadir menjelang akhir fase demam. Perubahan jumlah sel
darah putih (≤5000 sel / mm3) dan rasio neutrofil terhadap limfosit (neutrofil <
limfosit) berguna untuk memprediksi periode kritis dari kebocoran plasma.
2) Jumlah trombosit umumnya normal pada fase awal demam.
Penurunan ringan dapat ditemukan setelah fase awal. Penurunan secara tiba-tiba
jumlah trombosit hingga di bawah 100.000 sel/mm3 terjadi pada akhir fase demam
(penurunan suhu atau fase defervesens) dan atau sebelum timbulnya syok. Derajat
trombositopenia berkorelasi dengan tingkat keparahan DBD.
3) Hematokrit didapatkan dalam batas normal pada awal fase demam. Adanya sedikit
peningkatan dikarenakan adanya demam tinggi, anoreksia dan muntah. Peningkatan
hematokrit secara tiba-tiba terjadi secara bersamaan atau segera setelah penurunan
jumlah trombosit. Hemokonsentrasi atau peningkatan hematokrit sebesar 20% dari
kadar hematokrit awal, misalnya dari jumlah hematokrit 35% hingga ≥42%, adalah
bukti objektif adanya kebocoran plasma.
4) Trombositopenia dan hemokonsentrasi merupakan temuan yang sering ditemukan
pada DBD. Penurunan jumlah trombosit di bawah 100.000 sel/mm3 biasanya
ditemukan diantara demam hari ke-3 dan ke-10. Kenaikan hematokrit terjadi pada
semua kasus DBD, terutama pada kasus syok. Hemokonsetrasi dengan peningkatan
hematokrit 20% atau lebih adalah bukti objektif terjadinya kebocoran plasma.
5) Temuan umum lainnya adalah hipoproteinemia/albuminemia (sebagai akibat dari
kebocoran plasma), hiponatremia, dan kadar aspartat aminotransferase serum yang
sedikit meningkat (≤200 U/L) dengan rasio AST : ALT >2.

Diagnosis
1. Tes Diagnostik Dengue.
Metode diagnostik tergantung pada tujuan pengujian yang dilakukan (misalnya diagnosis
klinis, survei epidemiologi, pengembangan vaksin), jenis fasilitas laboratorium dan keahlian
teknis yang tersedia, biaya, dan kapan waktu pengambilan sampel.
Pemeriksaan tes cepat dapat dilakukan dengan melalui serum, plasma atau darah
untuk mendeteksi :
 antigen virus NS-1 pada fase demam
 antibodi IgM serta IgG baik pada fase kritis atau konvalesens.
 Pemeriksaan virus berupa kultur dan molekuler PCR dapat dikerjakan

Penjelasan : Bagan tersebut menunjukkan waktu terbaik untuk melakukan pemeriksaan


diagnostik dengue. Masa/waktu deteksi antigen NS-1 pada infeksi sekunder lebih pendek
dibandingkan infeksi primer, dengan sensitivitas pemeriksaannya tertinggi pada empat hari
pertama infeksi.
2. Uji Bendung (tourniquet test) :
Disebut juga dengan tes Rumpel-Leede
 pada infeksi dengue memiliki sensitivitas 58% (95% CI 43%-71%) dan spesifisitas 71%
(95% CI 60%-80%), pada dengue tanpa warning sign sensitivitas 55% (95%CI 52%-
59%) dan spesifisitas 63% (95%CI 60%- 66%)
 pada dengue dengan warning sign sensitivitas 62% (95%CI 53%- 71%) dan spesifisitas
60% (95%CI 48%-70%) dengan akurasi AUC 0,70 (95% CI 0,66-0,74).

Uji bendung positif  infeksi dengue.


3. Hematokrit dan Darah Perifer Lengkap
Pemantauan hematokrit (Ht) dan darah perifer lengkap (DPL), diperlukan sebagai berikut:
a. Hematokrit (bukan hemoglobin) : untuk mengetahui terjadinya hemokonsentrasi atau
peningkatan permeabilitas kapiler (perembesan plasma). Hematokrit memperlihatkan
evolusi penyakit dan respons dari terapi cairan yang diberikan.
b. Pemeriksaan Ht dilakukan pada kunjungan pertama pasien dengue (dalam fase demam
atau sebelum masuk fase kritis).
c. Peningkatan hematokrit diikuti dengan penurunan jumlah trombosit yang cepat
(≤100.000/mm3) : salah satu tanda dari warning signs.
d. Hematokrit yang meningkat dan tidak turun dengan terapi cairan  tanda perembesan
plasma hebat, sebaliknya pada severe dengue dengan penurunan hematokrit dapat
merupakan petanda adanya perdarahan.
e. Leukopenia dengan jumlah leukosit bahkan mencapai <2000/mm3
f. Pada infeksi dengue jumlah total leukosit, neutrofil dan trombosit lebih rendah jika
dibandingkan dengan penderita demam oleh virus lain pada daerah endemis dengue.

4. Pemeriksaan Laboratorium lain dan Pencitraan


DD

Tata Laksana
Triase : tempat skrining pertama secara cepat pada pasien yang datang baik di poliklinik
maupun ruang gawat darurat.
 Untuk memilah dan mengidentifikasi pasien kedalam kelompok severe dengue agar
tidak terjadi keterlambatan, dengan warning signs, atau bisa rawat jalan.

Kegiatan triase di rawat jalan/poliklinik, ruang gawat darurat, maupun rawat inap
harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Mengenali demam sebagai tanda dan gejala dengue.
2. Menatalaksana pasien dengue sejak awal fase demam dan melakukan pemantauan
setiap hari pada pasien tanpa warning signs.
3. Mengenali tahap awal perembesan plasma atau fase kritis dengue dan memulai
pemberian terapi cairan.
4. Mengenali pasien dengan warning signs yang memerlukan perawatan dan/atau
pemberian cairan intravena.
5. Merujuk pasien ke fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih lengkap/tinggi.
6. Mengenali dan mengelola pasien dengan severe dengue (perembesan plasma hebat,
syok, perdarahan hebat dan kerusakan organ berat) secara cepat dan tepat.
7. Pemberitahuan secara dini pasien dengan dengue kepada Dinas Kesehatan setempat.

Tenaga kesehatan perlu menggunakan pendekatan bertahap untuk melakukan investigasi


pasien agar dapat mendiagnosis banding, menegakkan diagnosis serta menata laksana dengue
seperti yang tertera pada tabel di bawah ini

Berdasar anamnesis, pemeriksaan fisik dan/atau pemeriksaan darah perifer lengkap dan
hematokrit, serta konfirmasi dengue bila memungkinkan, dokter harus mampu menentukan
apakah infeksi yang terjadi akibat dengue, berada pada fase apa (fase demam, kritis atau
pemulihan), apakah terdapat warning signs, bagaimana status hidrasi dan status hemodinamik
pasien, serta apakah pasien harus dirawat (Tabel 8) atau dapat dipulangkan (Tabel 9).
Tata Laksana Pada Anak
Menggunakan Tata laksana infeksi dengue anak dan remaja menerapkan klasifikasi dan
tatalaksana, sebagai berikut:
1. Dengue tanpa warning signs : terapi grup A.
2. Dengue dengan warning signs : terapi grup B.
3. Severe dengue : terapi grup C.
Tata laksana Grup A, B, dan C
1. Grup A-Rawat jalan

 Pasien yang dipulangkan ke rumah untuk tata laksana rawat jalan.


 Pasien yang masuk grup A : mereka yang masih bisa minum dengan jumlah cukup dan
buang air kecil setidaknya 6 jam sekali serta tidak memiliki warning signs (Gambar 7)
terutama ketika demam turun (defervescense).
 Pasien rawat jalan harus kontrol ke poliklinik setiap hari untuk dipantau perkembangan
klinisnya (asupan minum, diuresis, dan aktivitas) sampai mereka melewati fase kritis.

Pasien dengan kadar hematokrit stabil dapat dipulangkan ke rumah dengan mengikuti
anjuran perawatan di rumah sebagai berikut:
1) Ingatkan untuk segera membawa pasien ke rumah sakit bila dijumpai warning signs.
2) Meningkatkan asupan cairan dengan memberi larutan rehidrasi oral (ORS), jus buah, dan
cairan lainnya yang mengandung elektrolit dan gula untuk menggantikan cairan yang
hilang karena demam dan muntah.
3) Berikan parasetamol untuk demam tinggi dengan interval pemberian 4–6 jam. Berikan
kompres hangat apabila pasien masih mengalami demam tinggi. Jangan berikan asam
asetil salisilat (aspirin), ibuprofen, atau obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAID) karena
obat-obatan ini dapat menyebabkan gastritis atau perdarahan.
4) Nasehati orang tua/pengasuh bahwa pasien harus dibawa ke rumah sakit segera apabila
terdapat kondisi klinis yang tidak membaik, saat suhu turun (defervescense), nyeri perut
hebat, muntah terus-menerus, ekstremitas lembab dan dingin, letargi atau rewel/gelisah,
perdarahan (mis.: tinja berwarna hitam atau muntah berwarna coklat kehitaman), serta
tidak buang air kecil selama lebih dari 4–6 jam.
5) Pasien rawat jalan harus dipantau setiap hari oleh tenaga kesehatan untuk mengetahui
pola suhu, cairan yang masuk dan keluar (intake dan output), diuresis (jumlah urin yang
keluar), warning signs, tanda perembesan plasma dan perdarahan, kadar hematokrit,
jumlah leukosit dan trombosit. Pasien diberikan kartu perawatan di rumah sebagaimana
tercantum pada Tabel 10.
2. Grup B – Pasien yang harus dirujuk untuk perawatan di rumah sakit
Pasien perlu dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan sekunder (rumah sakit) untuk
pemantauan yang lebih ketat ketika memasuki fase kritis.
Tata Laksana Grup B  untuk pasien dengan warning sign atau kondisi pasien
(penyakit penyerta)
Jika pada pasien tidak dijumpai warning signs :
1. Anjurkan pasien untuk minum lebih banyak.
2. Jika tidak terpenuhi, mulai terapi cairan intravena dengan NaCl 0,9% (normal
saline) atau ringer laktat dengan atau tanpa dekstrose dengan tetesan rumatan
(Gambar 9). Untuk pasien dengan obesitas atau kelebihan berat badan
(overweight), gunakan berat badan ideal untuk menghitung jumlah cairan yang
diberikan (Tabel 11 dan Tabel 12).
3. Berikan cairan intravena secukupnya untuk mempertahankan perfusi yang baik
dan diuresis cukup. Cairan intravena pada umumnya hanya diperlukan selama 24–
48 jam.
4. Pasien harus dipantau untuk mengetahui pola suhu, volume cairan yang masuk
dan keluar, jumlah urine (volume dan frekuensi), warning signs, kadar hematokrit,
jumlah leukosit dan trombosit (Tabel 13). Pemeriksaan laboratorium lain (seperti
fungsi hati, ginjal, jantung, dan hemostasis) bisa dilakukan, bergantung pada
gambaran klinis dan fasilitas yang tersedia di pelayanan kesehatan
Jika pasien memiliki warning signs :
1) Lakukan pemeriksaan hematokrit sebelum memberikan terapi cairan. Berikan
larutan isotonik seperti NaCl 0,9% (normal saline), Ringer laktat, atau cairan
Hartmann’s. Dimulai dengan tetesan 5–7 ml/kg/jam selama 1–2 jam sesuai
indikasi klinis dan/atau laboratoris (mis.: dehidrasi, perembesan plasma),
kemudian dikurangi menjadi 3–5 ml/kg/jam untuk 2–4 jam, dan diturunkan
menjadi 2–3 ml/kg/jam atau kurang berdasarkan respons klinis (Gambar 8, 9 dan
10) 2)
2) Periksa kembali kondisi klinis dan ulangi pemeriksaan hematokrit.
Jika hematokrit tetap sama atau hanya sedikit meningkat, lanjutkan pemberian
cairan tersebut dengan tetesan sama (2–3 ml/kg/jam untuk 2–4 jam berikutnya.
Jika tanda vital memburuk dan hematokrit meningkat dengan pesat, naikkan
tetesan cairan menjadi 5–10 ml/kg/jam untuk 1–2 jam berikutnya. Nilai kembali
kondisi klinis, lakukan pemeriksaan hematokrit ulang dan tentukan jumlah tetesan
cairan sesuai kondisi.
3) Berikan cairan intravena secukupnya untuk menjaga perfusi jaringan tetap baik
dan mempertahankan diuresis 1 ml/kgBB/jam. Cairan intravena diberikan hanya
dalam waktu 24–48 jam. Kurangi cairan intravena secara bertahap apabila tingkat
perembesan plasma berkurang. Hal ini dapat diketahui dari jumlah pengeluaran
urin dan/atau asupan cairan secara oral yang membaik, atau turunnya hematokrit
di bawah nilai dasar (baseline) dengan kondisi pasien yang stabil 4)
4) Pasien dengan warning signs harus dipantau oleh tenaga kesehatan (dokter
dan/atau perawat) hingga fase kritis berlalu. Keseimbangan cairan harus dijaga.
Parameter yang harus dipantau meliputi tanda vital dan perfusi perifer (setiap 1–4
jam hingga melewati fase kritis), urin output (setiap 4–6 jam), hematokrit
(sebelum dan setelah pemberian cairan, kemudian setiap 6–12 jam berikutnya),
glukosa darah, dan fungsi organ lainnya (seperti fungsi ginjal, fungsi hati,
koagulasi, diperiksa sesuai indikasi).
3. Grup C – Pasien yang membutuhkan rujukan segera dan perawatan darurat
(severe dengue) Pasien membutuhkan perawatan darurat dan rujukan segera jika
pada fase kritis dijumpai keadaan berikut:
 Perembesan plasma hebat yang menyebabkan syok dan/atau akumulasi cairan yang
disertai distres napas.
 Perdarahan hebat.
 Kerusakan organ yang berat (gagal hati, gangguan fungsi ginjal, kardiomiopati,
ensefalopati atau ensefalitis).

Tata Laksana :
1) rawat inap di rumah sakit yang memiliki fasilitas perawatan intensif dan unit transfusi
darah.
2) Pemberian cairan intravena yang adekuat dan tepat waktu. Cairan kristaloid isotonik
merupakan pilihan dan harus diberikan dalam jumlah yang memadai untuk menjaga
sirkulasi jaringan tetap baik selama fase perembesan plasma.
3) lakukan pemeriksaan hematokrit sebelum dan sesudah pemberian cairan (jika
memungkinkan).
4) Pemberian cairan harus dilanjutkan untuk mengganti plasma yang hilang dan
mempertahankan agar sirkulasi tetap baik dalam 24–48 jam berikutnya. Pada pasien
dengan berat badan lebih atau obesitas, digunakan berat badan ideal untuk menghitung
jumlah tetesan cairan yang diberikan (Tabel 8 dan 9).
5) Pemeriksaan golongan darah dan cross matched test harus dilakukan untuk semua pasien
yang mengalami syok.
6) Transfusi darah hanya diberikan untuk kasus dengan dugaan perdarahan hebat, misalnya
pada perdarahan saluran cerna.
7) Resusitasi cairan adalah langkah pemberian cairan intravena dalam jumlah besar (misal
10–20 ml/kg/bolus) dalam waktu yang singkat dengan pengawasan ketat untuk
mengetahui respons terhadap tindakan dan mencegah kemungkinan edema paru karena
kelebihan cairan.

Tujuan resusitasi cairan : untuk memperbaiki sirkulasi darah sentral dan perifer (frekuensi
nadi turun/takikardia berkurang, tekanan darah membaik, volume denyut nadi meningkat,
ekstremitas hangat, dan waktu pengisian kapiler
Tata Laksana pada orang dewasa
Protokol penatalaksanaan DBD Pada tahun 2005 Departemen Kesehatan Republik Indonesia
telah menyusun protokol penatalaksanaan DBD pada penderita dewasa.
Namun seiring dengan kemajuan dan perkembangan ilmu kedokteran maka dirasakan perlu
merevisi pedoman penatalaksanaan infeksi dengue tersebut.
Pedoman yang dibuat ini tetap berdasarkan:
a. Tatalaksana dengan rencana tindakan sesuai indikasi;
b. Praktis dalam penatalaksannya; dan
c. Mempertimbangkan cost effectiveness.
Protokol penanganan DBD dewasa dibagi dalam 6 kategori yakni:
 Protokol 1. Penanganan tersangka (Probable) DBD
 Protokol 2. Pemberian cairan pada tersangka DBD di ruang rawat inap
 Protokol 3. Pemberian cairan pada kasus DBD dengan Tanda Peringatan
 Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD
 Protokol 5. Penatalaksanaan DBD dengan syok terkompensasi
 Protokol 6. Penatalaksanaan Sindroma Syok Dengue
Protokol 1
Protokol 2
Pencegahan :
terdiri dari tiga pilar utama meliputi gerakan satu rumah satu jumantik, pengenalan dini
diagnosis dan tatalaksana kasus yang tepat dan vaksinasi.
1. Pengendalian Vektor Dengue
a. Metode kimiawi, khususnya penggunaan indoor residual spraying. b. Metode
biologi.

Pengendalian vektor yang bertujuan untuk menurunkan jumlah tempat


perkembangbiakan larva / nyamuk A. aegypti dengan memodifikasi lingkungan juga
langkah yang penting. Metode terdiri dari menguras dan menyikat, menutup tempat
penampungan air, memanfaatkan/mendaur ulang barang bekas, plus mencegah gigitan
dan perkembangbiakan nyamuk (3M plus), menggerakkan partisipasi masyarakat
dalam gerakan pemberantasan sarang nyamuk dan penyediaan pipa air.
2. Vaksin Dengue
 Pada tahun 2017 vaksin dengue yang pertama telah mendapat ijin edar.
 Vaksin dengue CYD-TVD adalah vaksin hidup yg dilemahkan, rekombinan,
tetravalen dengan basis virus yellow fever.
 Jadwal pemberian adalah injeksi 0,5 ml subkutan, tiga kali, dengan interval enam
bulan. Vaksin ini telah mendapatkan ijin di beberapa negara, diindikasikan untuk
usia 9–45 tahun di banyak negara.
 Badan Pengawasan Obat-obatan dan Makanan (POM) Indonesia menyetujui izin
edar Dengvaxia® dengan indikasi untuk pencegahan penyakit dengue yang
disebabkan oleh virus dengue serotipe 1, 2, 3, dan 4 pada usia 9 sampai 16 tahun.
Vaksin ini diberikan 3 dosis dengan jadwal pemberian 0, 6, dan 12 bulan

Komplikasi
Infeksi primer dengan demam berdarah dan penyakit mirip demam berdarah biasanya
sembuh sendiri dan tidak berbahaya. Kehilangan cairan dan elektrolit, hiperpireksia, dan
kejang demam merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada bayi dan anak kecil.
Lesi epistaksis, petechiae, dan purpura jarang terjadi tetapi dapat terjadi pada setiap stadium.
Darah yang tertelan dari epistaksis, dimuntahkan atau dikeluarkan melalui rektum, dapat
disalahartikan sebagai perdarahan gastrointestinal. Pada orang dewasa dan mungkin pada
anak-anak, kondisi yang mendasarinya dapat menyebabkan perdarahan yang signifikan
secara klinis. Kejang dapat terjadi selama suhu tinggi, terutama dengan demam chikungunya.
Jarang, setelah tahap demam, astenia berkepanjangan, depresi mental, bradikardia, dan
ekstrasistol ventrikel dapat terjadi pada anak-anak. Di daerah endemik, demam berdarah
dengue harus dicurigai pada anak dengan penyakit demam sugestif demam berdarah yang
mengalami hemokonsentrasi dan trombositopenia.
Prognosis
Kematian terjadi pada 40-50% pasien syok, tetapi dengan perawatan intensif yang memadai,
kematian seharusnya terjadi pada <1% kasus. Kelangsungan hidup berhubungan langsung
dengan perawatan suportif dini dan intensif. Jarang, ada sisa kerusakan otak akibat shock
berkepanjangan atau kadang-kadang perdarahan intrakranial.

2.6 DENGUE SYOK SYNDROME

 Kondisi pasien yang berkembang menjadi syok dan tiba-tiba memburuk setelah
demam selama 2-7 hari. Kerusakan ini terjadi pada saat, atau segera setelah,
penurunan suhu (antara hari ketiga dan ketujuh dari penyakit). (WHO)
 Demam Berdarah Dengue dengan Syok (Sindrom Syok Dengue/SSD)
- Memenuhi kriteria Demam Berdarah Dengue
- Ditemukan adanya tanda dan gejala syok hipovolemik baik yang terkompensasi
maupun yang dekompensasi (KEMENKES)
 Sindrom syok dengue merupakan syok hipovolemik yang terjadi pada DBD, yang
diakibatkan peningkatan permeabilitas kapiler yang terjadi disertai perembesan
plasma. Syok dengue pada umumnya terjadi di sekitar penurunan suhu tubuh (fase
kritis), yaitu pada hari ke 4-5, dan seing kali didahului oleh tanda bahaya (warning
sings). Pasien yang tidak mendapat cairan intravena yang adekuat dapat mengalami
syok. (IDAI)
Klasifikasi
1. Sindrom syok dengue terkompensasi
Syok dengue merupakan satu rangkaian proses fisiologis, adanya hipovolemi
menyebabkan tubuh melakukan mekanisme kompensasi melalui jalur neurohumoral
agar tidak terjadi hipoperfusi pada organ vital. Sistem kardiovaskular
mempertahankan sirkulasi melalui peningkatan isi sekuncup (stroke volume), laju
jantung (heart rate), dan vasokonstriksi perifer. Pada fase ini tekanan darah biasanya
belum turun, namun telah terjadi peningkatan laju jantung. Oleh karena itu takikardia
yang terjadi pada saat suhu tubuh mulai turun, walaupun tekanan darah belum banyak
menurun, harus diwaspadai kemungkinan anak jatuh. ke dalam syok. Pada beberapa
pasien, khususnya remaja dan dewasa takikardia tidak terjadi.
2. Sindrom syok dengue dekompensasi
Pada keadaan syok dekompensasi, upaya fisiologis untuk mempertahan- kan sistem
kardiovaskular telah gagal, pada keadaan ini tekanan sistolik dan diastolik telah
menurun, disebut syok hipotensif. Selanjutnya apabila pasien terlambat berobat atau
pemberian pengobatan tidak adekuat akan terjadi profound shock yang ditandai
dengan nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur, sianosis makin jelas terlihat.
Tabel 7 memperlihatkan rangkaian hemodinamik pada anak dengan sirkulasi stabil,
syok terkompensasi, dan syok dekompensasi.
Tanda dan Gejala
Diagnosis
Pemeriksaan Fisik
Pengamatan klinis berikut adalah indikator penting dari DBD/DSS:
 Demam tinggi dengan onset akut
 Manifestasi hemoragik (setidaknya tes tourniquet positif)
 Hepatomegali (diamati pada 90–96% anak Thailand dan 67% anak Kuba dengan
DBD)
 Shock

Lab
 Trombositopenia (100.000 sel per mm3 atau kurang)
 Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit minimal 20% di atas rata-rata untuk umur,
jenis kelamin dan populasi)

Differential Diagnosis
 endotoxin shock from bacterial infection
 meningococcaemia

Management
Tata laksana sindrom syok dengue terkompensasi
Pasien yang mengalami syok terkompensasi harus segera menda pengobatan sebagai berikut:
 Berikan terapi oksigen 2-4 L/menit
 Berikan resusitasi cairan dengan cairan kristaloid isotonik intravena dengan jumlah
cairan 10-20 mL/kgBB dalam waktu 1jam. Periksa hematokrit.
 Bila syok teratasi, berikan cairan dengan dosis 10 mLkg BB/jam selama 1-2 jam.
 Bila keadaan sirkulasi tetap stabil, jumlah cairan dikurangi secara bertahap menjadi
7,5, 5, 3, 1,5 mL/kgBB/jam. Pada umumnya setelah 24-48 jam pasca resusitasi, cairan
intravena sudah tidak diperlukan. Pertimbangkan untuk mengurangi jumlah cairan
yang diberikan secara intravena bila masukan cairan melalui oral makin membaik.
 Bila syok tidak teratasi, periksa analisis gas darah, hematokrit, kalsium dan gula darah
untuk menilai kemungkinan adanya A-B- C-S (A asidosis, B-bleeding/perdarahan, C-
calcium, S=sugar! gula darah) yang memperberat syok hipovolemik. Apabila salah
satu atau beberapa kelainan tersebut ditemukan, segera lakukan koreksi.

Tata laksana sindrom syok dengue dekompensasi


 Berikan oksigen 2-4 L/menit
 Lakukan pemasangan akses vena, apabila dua kali gagal atau lebih dari 3-5 menit,
berikan cairan melalui prosedur intraosseus
 Berikan cairan kristaloid dan/atau koloid 10-20 mL/kgBB secara bolus dalam waktu
10 20 menit. Pada saat bersamaan usahakan dilakukan pemeriksaan hematokrit,
analisis gas darah, gula darah, dan kalsium.
 Apabila syok teratasi, berikan cairan kristaloid dengan dosis 10 mL/kg BB/jam
selama 1-2 jam.
 Apabila keadaan sirkulasi tetap stabil, berikan larutan kristaloid dengan jumlah cairan
dikurangi secara bertahap menjadi 7,5, 5, 3, 1,5 mL/kgBB/jam. Pada umumnya
setelah 24-48 jam pasca resusitasi, cairan intravena sudah tidak diperlukan.
Pertimbangkan untuk mengurangi jumlah cairan yang diberikan secara intravena bila
masukan cairan melalui oral makin membaik.
 Apabila syok belum teratasi periksa ulang hematokrit, jika hematokrit tinggi diberikan
kembali bolus kedua. Koreksi apabila asidosis, hipoglikemia atau hipokalsemia.

Bila hematokrit rendah atau normal dan ditemukan tanda perdarahan masif. berikan transfusi
darah segar (fresh whole blood) dengan dosis 10 mL/kg BB atau fresh packed red cell dengan
dosis 5 mL/kgBB. Jika nilai hematokrit rendah atau turun namun tidak ditemukan tanda
perdarahan berikan bolus kedua, apabila tidak membaik pertimbangkan pemberian transfusi
darah.
Pada syok berat (prolonged shock. recurrent shock, profound shock), perdarahan masif.
ensefalopati/ensefalitis, atau gagal napas, yang sulit diatasi memerlukan perawatan di unit
perawatan intensif.

Komplikasi
 Miokarditis  dapat menyebabkan penyumbatan jantung dan bisa cukup parah untuk
mengakibatkan acute heart failure yang progresif dan acute cardiac dilatation.
 Acute renal failure  biasanya terjadi akibat hipotensi pada sindrom syok dan
berhubungan dengan peningkatan mortalitas.
 Kematian  biasanya karena perdarahan yang parah atau syok yang tidak dapat
disembuhkan dengan kegagalan multiorgan (hepatic, renal, encephalopathy)
 Metabolic acidosis.
 Electrolyte imbalance.

Prognosis
 Prognosis bergantung pada berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk pemulihan
syok.
 Syok yang tidak cepat ditangani dapat mengalami perkembangan asidosis metabolik,
pendarahan hebat dari saluran cerna dan organ lain, dan prognosis yang buruk.

Dalam kasus syok yang berat, setelah syok diatasi dengan cepat, pasien dapat sembuh dalam
2-3 hari, meskipun

2.7 INTERPRETASI

Tourniquet Test
 Uji Bendung (Tourniquet Test) sebagai tanda perdarahan ringan, dapat dinilai sebagai
presumptif test (dugaan kuat).
 Pada hari ke-2 demam, uji Tourniquet memiliki sensitivitas 90,6% dan spesifisitas
77,8%, dan pada hari ke-3 demam nilai sensitivitas 98,7% dan spesifisitas 74,2%.
 Uji Tourniquet dinyatakan positif jika terdapat lebih dari 10 petekie pada area 1 inci
persegi (2,5 cm x 2,5 cm) di lengan bawah bagian depan (volar) termasuk pada lipatan
siku (fossa cubiti).
Cara melakukan uji Tourniquet sebagai berikut:
 Pasang manset anak pada lengan atas (ukuran manset sesuaikan dengan umur anak,
yaitu lebar manset = 2/3 lengan atas)
 Pompa tensimeter untuk mendapatkan tekanan sistolik dan tekanan diastolik
 Aliran darah pada lengan atas dibendung pada tekanan antara sistolik dan diastolik
(rata-rata tekanan sistolik dan diastolik) selama 5 menit. (Bila telah terlihat adanya
bintik-bintik merah ≥ 10 buah, pembendungan dapat dihentikan).
 Lihat pada bagian bawah lengan depan (daerah volar) dan atau daerah lipatan siku
(fossa cubiti), apakah timbul bintik-bintik merah, tanda perdarahan (petekie)
 Hasil Uji Tourniquet dinyatakan positif (+) bila ditemukan ≥ 10 bintik perdarahan
(petekia), pada luas 1 inci persegi ( 2,5 cm2 )

Hematocrit
Nilai normal hematokrit:
 Anak-anak: 33 - 38 vol%
 Dewasa laki-laki: 40 - 48 vol%
 Dewasa perempuan: 37 - 43 vol%

Untuk puskesmas yang tidak ada alat untuk pemeriksaan Ht, dapat dipertimbangkan estimasi
nilai Ht = 3 x kadar Hb.
Hepatomegaly
 Pembesaran hati pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit, bervariasi
dari hanya sekedar dapat diraba (just palpable) sampai 2-4 cm di bawah lengkungan
iga kanan dan dibawah procesus Xifoideus
 Proses pembesaran hati, dari tidak teraba menjadi teraba, dapat meramalkan
perjalanan penyakit DBD. Derajat pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya
penyakit, namun nyeri tekan di hipokondrium kanan disebabkan oleh karena
peregangan kapsul hati. Nyeri perut lebih tampak jelas pada anak besar dari pada anak
kecil.

Serologis
Pemeriksaan serologis didasarkan atas timbulnya antibodi pada penderita terinfeksi virus
Dengue.
1. Uji Serologi Hemaglutinasi Inhibisi (Haemaglutination Inhibition Test)
Pemeriksaan HI sampai saat ini dianggap sebagai gold standard. Namun pemeriksaan
ini memerlukan 2 sampel darah (serum) dimana spesimen harus diambil pada fase
akut dan fase konvalensen (penyembuhan), sehingga tidak dapat memberikan hasil
yang cepat.
2. ELISA (IgM/IgG)
Infeksi dengue dapat dibedakan sebagai infeksi primer atau sekunder dengan
menentukan rasio limit antibodi dengue IgM terhadap IgG. Dengan cara uji antibodi
dengue IgM dan IgG, uji tersebut dapat dilakukan hanya dengan menggunakan satu
sampel darah (serum) saja, yaitu darah akut sehingga hasil cepat didapat. Saat ini
tersedia Dengue Rapid Test (misalnya Dengue Rapid Strip Test) dengan prinsip
pemeriksaan ELISA.
3. Interpretasi Hasil Pemeriksaan Dengue Rapid Test
Dengue Rapid Test mendiagnosis infeksi virus primer dan sekunder melalui
penentuan cut-off kadar IgM dan IgG dimana cut-off IgM ditentukan untuk dapat
mendeteksi antibodi IgM yang secara khas muncul pada infeksi virus dengue primer
dan sekunder, sedangkan cut off antibodi IgG ditentukan hanya mendeteksi antibodi
kadar tinggi yang secara khas muncul pada infeksi virus dengue sekunder (biasanya
IgG ini mulai terdeteksi pada hari ke-2 demam) dan disetarakan dengan titer HI >
1:2560 (tes HI sekunder) sesuai standar WHO. Hanya respons antibodi IgG infeksi
sekunder aktif saja yang dideteksi, sedangkan IgG infeksi primer atau infeksi masa
lalu tidak dideteksi. Pada infeksi primer IgG muncul pada setelah hari ke-14, namun
pada infeksi sekunder IgG timbul pada hari ke-2. Interpretasi hasil adalah apabila
garis yang muncul hanya IgM dan kontrol tanpa garis IgG, maka Positif Infeksi
Dengue Primer (DD). Sedangkan apabila muncul tiga garis pada kontrol, IgM, dan
IgG dinyatakan sebagai Positif Infeksi Sekunder (DBD). Beberapa kasus dengue
sekunder tidak muncul garis IgM, jadi hanya muncul garis kontrol dan IgG saja.
Pemeriksaan dinyatakan negatif apabila hanya garis kontrol yang terlihat. Ulangi
pemeriksaan dalam 2-3 hari lagi apabila gejala klinis kearah DBD. Pemeriksaan
dinyatakan invalid apabila garis kontrol tidak terlihat dan hanya terlihat garis pada
IgM dan/atau IgG saja.

Blood Pressure

Suhu Tubuh
 Suhu inti tubuh normalnya dipertahankan antara 1-1,5°C pada kisaran 37-38°C. Suhu
tubuh normal pada umumnya dianggap 37°C (98,6°F; kisaran, 97-99,6°F). Normal
variasi diurnal ada, dengan suhu maksimum. Suhu rektal lebih tinggi dari 38°C
(>100,4°F) umumnya dianggap abnormal, terutama jika dikaitkan dengan gejala.
(Nelson)
 Menurut studi individu sehat 18-40 tahun usia rata-rata suhu rongga mulut adalah
36,8° - 37,2°C (98,9°F) pada pukul 6 pagi. dan 37,7°C (99,9°F) pada pukul 16:00.
(Harrison)
 Suhu ora/rerata, biasanya 37°C (98,6°F), berfluktuasi cukup besar. Pada jam-jam pagi
dini hari, suhu dapat turun serendah 35,8°C (96,4°F) dan pada sore atau malam hari,
suhu dapat meningkat hingga 37,3°C (99,1°F). (Bates)
BAB III

PENUTUP

3.1 BHP

1) Pengobatan dan Perawatan Penderita


• Penderita DBD derajat 1 dan 2 dapat dirawat di puskesmas yang mempunyai
fasilitas perawatan dan laboratorium memadai, sedangkan DBD derajat 3 dan 4
harus segera dirujuk ke Rumah Sakit.

2) Pemberantasan Vektor
• Penyemprotan insektisida di rumah dan lingkungan sekitar, dengan cara fogging
yang dilaksanakan 2 siklus dengan interval satu minggu.

• Larvasidasi

• Pemberantasan sarang jentik/nyamuk (PSN 3M Plus)

• Lokasi: meliputi seluruh wilayah terjangkit dan wilayah sekitarnya yang


merupakan satu kesatuan epidemiologis

• Kegiatan PSN 3M Plus meliputi :

a. Menguras dan menyikat TPA (tempat penampungan air),

b. Menutup TPA,

c. Memanfaatkan/mendaur ulang barang bekas yang berpotensi menjadi TPA


atau membuangnya ke tempat pembuangan sampah tertutup.

Plus:
a. Menaburkan bubuk larvasida
b. Memelihara ikan pemakan jentik

c. Menanam pohon pengusir nyamuk (sereh, zodia, lavender, geranium, dll)

d. Memakai obat anti nyamuk (semprot, bakar, maupun oles)

e. Menggunakan cara lain disesuaikan dengan kearifan lokal

3) Penyuluhan dapat dilakukan oleh segenap tenaga kesehatan dengan melibatkan kader
jumantik (juru pemantau jentik) yang dikoordinasikan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota
setempat.
4) Follow Up

3.2 IIMC

Al Baqarah ayat 26
“Sesungguhnya Allah tidak segan membuat perumpamaan seekor nyamuk atau yang lebih
kecil dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, mereka tahu bahwa itu kebenaran dari
Tuhan. Tetapi mereka yang kafir berkata, “Apa maksud Allah dengan perumpamaan ini?”
Dengan (perumpamaan) itu banyak orang yang dibiarkan-Nya sesat, dan dengan itu banyak
(pula) orang yang diberi-Nya petunjuk. Tetapi tidak ada yang Dia sesatkan dengan
(perumpamaan) itu selain orang-orang fasik.”
3.3 PATOMEKANISME
DAFTAR PUSTAKA

- Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology


- sherwood, Lauralee. Human Physiology : from Cells to Systems. Belmont, CA
:Brooks/Cole, Cengage Learning, 2013.
- Seeley’s anatomy physiology 11th ed
- Manson's Tropical Diseases 22th Edition
- Harrison Principles of Internal Medicine 20th Edition
- Hunter’s Tropical Medicine and Emerging Infectious Disease 10th Edition
- Nelson Textbook Of Pediatrics 19th Edition
- Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Demam Berdarah Dengue di Indonesia,
Kemenkes 2017
- World Health Organization. (1997). Dengue haemorrhagic fever : diagnosis,

treatment, prevention and control, 2nd ed. World Health Organization

- World Health Organization. (2009). Dengue guidelines for diagnosis,

treatment, prevention and control : new edition. World Health


Organization.

- World Health Organization. Regional Office for South-East

Asia. (2011). Comprehensive Guideline for Prevention and Control of


Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever. Revised and expanded edition.

- Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


Hk.01.07/Menkes/9845/2020 Tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata
Laksana Infeksi Dengue Pada Dewasa
- Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
Hk.01.07/Menkes/4636/2021 Tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata
Laksana Infeksi Dengue Anak Dan Remaja
- https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7706222/
- Bickley, Lynn S. Bates' Guide to Physical Examination and History Taking.
Philadelphia :Lippincott Williams & Wilkins, 2003.
- Medical entemology for student
- Atlas diagnostic aedes aegipti
- Mosquito borne diseases implication for public health
- Sherris Medical Microbiology
- Jawetz, Melnick, and Adelberg medical microbiology (23rd edition)

Anda mungkin juga menyukai