Anda di halaman 1dari 36

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar HIV / AIDS


1. Pengertian HIV / AIDS
HIV ( Human Immunodeficiency Virus ) adalah virus yang mengakibatkan AIDS
(Acquired Immunodeficiency Syndrome). AIDS atau sindrom kehilangan kekebalan
tubuh adalah sekumpulan gejala penyakit yang menyerang tubuh manusia sesudah
sistem kekebalannya dirusak oleh virus HIV. Akibat kehilangan kekebalan tubuh,
penderita AIDS mudah terkena berbagai jenis infeksi bakteri, jamur, parasit, dan virus
tertentu yang bersifat oportunistik. Selain itu penderita AIDS sering kali menderita
keganasan, khususnya sarkoma kaposi dan limfoma yang hanya menyerang otak
(Lemone Priscillia, 2017).
HIV atau human immunodeficiency virus disebut sebagai retrovirus yang
membawa materi genetik dalam asam ribonukleat (RNA) dan bukan asam
deoksibonukleat (DNA). HIV disebut retrovirus karena mempunyai enzim reverce
transcriptase yang memungkinkan virus mengubah informasi genetiknya yang berada
dalam RNA ke dalam bentuk DNA (Widyanto & Triwibowo, 2013).
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah suatu kondisi ketika
limfosit dan sel-sel darah putih mengalami kerusakan sehingga melemahkan sistem
pertahanan alami tubuh dan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) 
merupakan kumpulan gejala penyakit yang di sebabkan oleh HIV (Human
Immunodeficiency Virus) yang masuk ke dalam tubuh manusia yang dengan cepat dan
melumpuhkan system kekebalan tubuh ( Brunner and Suddart, 2018) .
HIV ( Human Immunodefisiency Virus) merupakan virus yang menyerang
system kekebalan tubuh sehingga tubuh rentan terhadap penyakit. AIDS (Acquired
Immune Deficiency Syndrome) dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit
yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV,
khususnya menyerang limfosit T serta menurunnya jumlah CD 4 yang bertugas
melawan infeksi (Bimo Haryo,2021)

1
Kesimpulan, HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah virus yang
mengakibatkan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) yang merupakan
sekumpulan gejala akibat menurunnya kekebalan tubuh (imunitas), khususnya
menyerang limfosit T serta menurunnya jumlah CD 4 yang bertugas melawan infeksi
sehingga mudah terkena berbagai jenis infeksi bakteri, jamur, parasite dan virus.

2. Etiologi
AIDS disebabkan oleh virus yang mempunyai beberapa nama yaitu HTL II, LAV,
RAV. Yang nama ilmiahnya disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang
berupa agen viral yang dikenal dengan retrovirus yang ditularkan oleh darah dan
punya afinitas yang kuat terhadap limfosit T (Bimo Haryo,2021).
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dianggap sebagai virus penyebab AIDS.Virus
ini termasuk dalam family retroviridae. Nama retroviridae atau retrovirus diberikan
pada jenis virus ini karena kemampuannya yang unik untuk mentransfer informasi
genetik mereka dari RNA ke DNA dengan menggunakan enzim yang disebut reverse
transcriptase, cara ini merupakan kebalikan dari proses transkripsi (dari DNA ke
RNA) dan tranlasi (dari RNA ke protein) pada umumnya.
Bila dibandingkan dengan virus-virus lain, retrovirus sukar berpindah dari satu
penjamu ke penjamu yang lainnya. Ketidakmampuan untuk berpindah ini
mencerminkan labilitas yang besar pada virion. Semua jenis retrovirus dapat
diinaktivasi dengan mudah oleh pemanasan ringan, pengeringan serta cairan dengan
pH rendah, sedang atau tinggi. Oleh karena itu transmisi virus ini diperkirakan tidak
dapat terjadi melalui kontak fisik kecuali bila terkena darah atau cairan tubuh lainnya
(seperti saat terjadinya hubungan seksual), maupun dari ibu ke janin yang
dikandungnya.Kebanyakan infeksi retrovirus termasuk HIV didahului oleh suatu
periode laten yang berlangsung selama berbulan-bulan sampai bertahun-tahun.Periode
laten yang panjang ini sudah harus diduga terjadi pada virus yang cara transmisi
utamanya adalah vertical atau kontak intim,karena virus yang membunuh penjamunya
sebelum dapat ditransmisi tidak akan dapat bertahan hidup lama di alam.
Namun hasil studi terakhir menyebutkan bahwa pada periode laten dimana replikasi
HIV dalam darah rendah, replikasinya pada jaringan limfoid termasuk diantaranya
kelenjar limfe,limpa,tonsil dan adenoid, sangat tinggi. Selanjutnya,dari bukti
epidemiologi awal pada penderita AIDS diperkirakan adanya agen yang dapat
dipindahkan yang mungkin dalam bentuk virus,terutama semenjak diketahui bahwa
2
cara transmisinya diketahui sama dengan virus Hepatitis B yaitu melalui kontak
seksual dan pertukaran darah dan produknya melalui transfusi.Hilangnya fenotip sel T
CD4 secara perlahan dan selektif juga diperkirakan karena kemampuan afinitas yang
besar pada sel jenis ini.
Kelompok peneliti dari Perancis menamai retrovirus ini LAV (Lymphadenopathy
associated Virus),sedangkan peneliti Amerika menamai virus tersebut HTLV-III
karena sebelumnya telah teridentifikasi retrovirus leukemogenik pada sel T lain yaitu
HTLV-I dan HTLV-II.Kedua virus tersebut pada akhirnya dinyatakan sebagai agen
yang identic dan melalui kesepakatan bersama disebut sebagai human
immunodeficiency virus-1 (HIV-1 atau HIV).Virus HIV kedua yang menyebabkan
penyakit dengan spectrum yang sama telah berhasil diisolasi dan disebut dengan HIV-
2.Angka kejadian dari penyakit yang disebabkan oleh virus HIV-2 ini di Amerika
Serikat tercatat sangat jarang terjadi.
Asam nukleat dari retrovirus adalah RNA yang mampu membentuk DNA dari RNA.
Enzim transcriptase reverse menggunakan RNA virus sebagai ‘cetakan’ untuk
membentuk DNA.DNA ini yang bergabung dengan kromosom induk (sel limfosit T4
dan sel makrofag) yang berfungsi sebagai pengganda virus HIV.
Secara sederhana sel HIV terdiri dari :
1. Inti-RNA dan enzim transcriptase reverse (polymerase), protease, dan integrase
2. Kapsid- antigen 24
3. Sampul (antigen p17) dan tonjolan glikoprotein (gp120 dan gp41)

3
4. Cara Penularan
Cara penularan HIV sampai saat ini diketahui melalui hubungan seksual (homoseksual
maupun heteroseksual) serta secara non seksual seperti melalui kontak dengan
darah/produk darah, parenteral dan transplasenta. Virus HIV sampai saat ini terbukti
hanya menyerang sel limfosit T sebagai sasarannya. Vehikulum yang dapat membawa
virus HIV keluar tubuh dan menularkan kepada orang lain melalui berbagai cairan
tubuh. Cairan tubuh yang terbukti menularkan di antaranya semen, cairan vagina atau
serviks dan darah penderita. Cara penularan yang diketahui melalui :
a. Transmisi seksual
1) Transmisi virus HIV pada homoseksual
Cara hubungan seksual anogenital merupakan perilaku seksual dengan risiko
tinggi bagi penularan HIV. Khususnya bagi mitra seks yang pasief menerima
ejakulasi semen dari seseorang pengidap HIV. Hal ini di sebabkan mukosa
rectum yang sangat tipis dan mudah mengalami perlukaan pada saat
berhubungan seksual secara anogenital. Di Amerika Serikat lebih dari 50 %
pria homoseksual di daerah urban HIV melalui seks anogenital tanpa
pelindung.
2) Transmisi virus HIV pada heteroseksual
Penularan heteroseksual dapat terjadi dari laki – laki ke perempuan atau
sebaliknya. Di Negara Afrika penderita HIV/AIDS mendapat infeksi melalui
hubungan heteroseksual tanpa kondom. Transmisi dari laki – laki pengidap
HIV / AIDS ke perempuan pasangannya lebih sering dibandingkan dengan
perepuan pengidap HIV ke pria pasangannya
b. Transmisi non seksual
1) Transmisi parenteral
Penggunaan jarum suntik yang tidak steril sangat mampu mendorong
seseorang terkena penyakit AIDS, para pengguna narkoba yang terkadang
saling bertukar jarum suntik sangat rentan tertular penyakit ini. Risiko tertular
transmisi secara parenteral kurang dari 1 % dapat terjadi pada penggunaan
jarum suntuk yang terkontaminasi kontak dengan kulit yang lecet, secret atau
bahan yang terinfeksi.
2) Transmisi transplasenta
4
Seseorang ibu yang terkena AIDS akan dapat menurunkan penyakitnya pada
janin yang dikandungnya, transmisi atau penularan HIV melalui rahim pada
masa parinatal terjadi pada saat minggu terakhir pada kehamilan dan pada saat
kehamilan, tingkat penularan virus ini pada saat kehamilan dan persalinan
yaitu sebesar 25%. Penyakit ini tergolong penyakit yang dapat dirturunkan
oleh sang ibu terhadap anaknya, menyusui juga dapat meningkatkan resiko
penularan HIV AIDS sebesar 4%.
3) Transmisi melalui darah atau produk darah
Cairan didalam tubuh penderita AIDS sangat rentan menular sehingga
dibutuhkan pemeriksaan yang teliti dalam hal transfusi darah pemilihan dan
penyeleksian donor merupakan tahap awal untuk mencegah penularan penyakit
AIDS, Resiko penularan HIV AIDS di sangat kecil presentasenya di negara-
negara maju, hal ini disebabkan karena dinegara maju keamanan dalam
tranfusi darah lebih terjamin karena proses seleksi yang lebih ketat.
4) Transplantasi organ dan jaringan tubuh yang terinfeksi HIV
Transpalntasi organ potensial meningkatkan HIV/AIDS yang telah di
cangkokkan pada orang sehat, maka virus HIV akan menyebar ke seluruh
tubuh.
(Bimo Haryo,2021)
5. Gejala klinis dan kriteria diagnosis
a. Masa inkubasi 6 bulan-5 tahun
b. Window period selama 6-8 minggu,adalah waktu saat tubuh sudah terinfeksi HIV
tetapi belum terdeteksi oleh pemeriksaan laboratorium
c. Seseorang dengan HIV dapat bertahan sampai dengan 5 tahun. Jika tidak
diobati,maka penyakit ini akan bermanifestasi sebagai AIDS
d. Gejala klinis muncul sebagai penyakit yang tidak khas seperti :
1. Diare kronis
2. Kandidiasis mulut yang luas
3. Pneumocystitis carinii
4. Pneumonia interstitialis limfositik
5. Ensefalopati kronik
Stadium perkembangan infeksi virus HIV terbagi dalam 4 kategori dan skala
fungsional yaitu :
1) Stadium klinis I
5
Pada periode ini pemeriksaan tes antibodi HIV masih negatif walaupun virus
sudah ada dalam darah pasien. Hal itu karena antibodi yang terbentuk belum
cukup terdeteksi melalui pemeriksaan laboratium. Biasanya Antibodi terhadap
HIV muncul dalam 3-6 minggu hingga 12 minggu setelah infeksi primer. Pada
periode ini pasien mampu dan berisiko menularkan HIV kepada orang lain.
a. Asimptomatik ( tidak mengalami gejala sama sekali)
b. Limfadenitis generalisata persisten (LPG) yakni pembesaran kelenjar getah bening
di beberapa tempat yang menetap
Skala fungsional 1 : asimtomatik,aktivitas normal
2) Stadium klinis II (dini)
Proses ini di mulai setelah HIV menginfeksi sel target kemudian terjadi proses
replika yang menghasilkan virus baru yang jumlahnya berjuta-juta virion. Virimea
dari banyak virion ini memicu munculnya sindrom infeksi akut dengan gejala
mirip flu. Sekitar 50-70% orang hiv yang terinfeksi mengalami sindrom infeksi
akut selama 3-6 minggu seperti influenza yaitu demam, sakit otot, berkeringat,
ruam, sakit tenggorokan, sakit kepala, keletihan, pembengkakan kelenjar limfe,
mual, muntah, anoreksia, diare, dan penurunan BB. Antigen HIV terdeteksi kira-
kira 2 minggu setelah infeksi dan terus ada selama 3-5 bulan. Pada fase akut
terjadi penurunan limfosit T yang dramatis kemudian terjadi kenaikan limfosit T
karena respon imun. Pada fase ini jumlah limfosit T masih di atas 500 sel/mm3
kemudian akan menurun setelah 6 minggu terinfeksi HIV.
Pada tingkat ini, pasien sudah menunjukkan gejala tetapi aktivitasnya tetap
normal. Dalam organ tubuh terdapat virus HIV dan mulai menunjukkan gejala
kecil yang berlangsung selama 5 – 10 tahun.
a. Penurunan berat badan kurang dari 10%.
b. Manifestasi mukokutaneus ringan
c. Herpes zoster dalam lima tahun terakhir
d. Infeksi saluran nafas bagian atas yang berulang, misalnya sinusitis
Skala fungsional 2 : simtomatik,aktivitas normal

3) Stadium klinis III (menengah)


Pada fase infeksi laten terjadi pembentukan respon imun spesifik HIV dan
terperangkapnya virus dalam sel dendritic folikuler (SDF) di pusat germinativum
kelenjar limfe. Hal tersebut menyebabkan virion dapat dikendalikan, gejala hilang
6
dan mulai memasuki fase laten. Pada fase ini jarang di temukan virion sehingga
jumlahnya menurun karena sebagian besar virus terakumulasi di kelenjar limfe
dan terjadi replika. Jumlah limfosit T-CD4 menurun sekitar 500 – 200 sel/mm3.
Meskipun telah terjadi serokonversi positif individu pada umumnya belum
menunjukan gejala klinis (asimtomatis). Fase ini terjadi sekitar 8-10 tahun setelah
terinfeksi HIV.

a. Penurunan berat badan lebih dari 10 %.


b. Diare kronik lebih dari 1 bulan, tanpa diketahui sebabnya.
c. Demam yang tidak diketahui sebabnya selama lebih dari 1 bulan, hilang timbul
maupun terus menerus.
d. Kandidiasis oral
e. Bercak putih berambut di mulut (Oral Hairy Leukoplakia (OHL)).
f. Tuberkulosis paru setahun terakhir.
g. Infeksi bakterial berat, misalnya Pneumonia
Skala fungsional 3 : < 50% dalam 1 bulan terakhir terbaring atau berbaring di tempat
tidur lebih dari 12 jam per hari

4) Stadium klinis IV (kriteria WHO : klinis AIDS)


Selama fase ini, replika virus terus terjadi di dalam kelenjar limfe yang di ikuti
kematian SDF karena banyaknya virus. Fungsi kelenjar limfe yaitu sebagai
perangkap virus akan menurun atau bahkan hilang dan virus diluncurkan dalam
darah. Pada fase ini terjadi peningkatan jumlah virion berlebihan, limfosit,
semakin tertekan karena infeksi HIV semakin banyak. Pada saat tersebut terjadi
penurunan, jumlah limfosit T-CD4 di bawah 200 sel/mm3. Kondisi ini
menyebabkan sistem imun pasien menurun dan semakin rentan terhadap berbagai
infeksi sekunder. Perjalanan penyakit semakin progresif yang mendorong ke arah
AIDS.

a. HIV wasting syndrome


b. Pnemonia Pneumocystic carinii
c. Toksoplasmosis otak
d. Diare karena kriptosporidiosis > 1 bulan
e. Kriptokokosis ekstraparu
7
f. Penyakit sitomegalovirus pada satu organ selain hati,limpa atau kelenjar getah
bening
g. Infeksi virus herpes simpleks di mukokutans lebih dari 1 bulan atau di alat dalam
(viseral) lamanya tidak dibatasi
h. Progressive multifocal leukoencephalopathy (PML)
i. Mikosis apa saja (misalnya histoplasmosis, koksidiomikosis) yang endemik, yang
menyerang banyak organ tubuh (diseminata)
j. Kandidiasis esofagus, trakea, bronkus / paru
k. Mikobakteriosis atipik diseminata.
l. Septikemia salmonella non tifoid
m. Tuberkulosis di luar paru.
n. Limfoma.
o. Sarkoma kaposi
p. Ensefalopati HIV, sesuai dengan kriteria CDC, yaitu gangguan kognitif atau
motorik yang mengganggu aktivitas sehari-hari, progresif sesudah beberapa
minggu atau bulan, tanpa dapat ditemukan penyebab lain kecuali HIV.
Skala fungsional 4 : >50 % dalam 1 bulan terakhir terbaring
(Nurul, Afif, 2019)

6. Patofisiologi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab  Acquired Immunodeficiency
Syndrome (AIDS) adalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) , yang melekat dan
memasuki limfosit T helper CD4 +. Virus tersebut menginfeksi limfosit CD4 + dan
sel-sel imunologi lain, dan orang itu mengalami destruksi sel CD4 + secara bertahap .
sel – sel ini , yang memperkuat dan mengulang respon imunologi , diperlukan untuk
mempertahankan kesehatan yang baik , dan bila sel- sel tersebut berkurang dan rusak ,
maka fungsi imunologi lain mulai terganggu.
HIV dapat pula menginfeksi makrofaq, sel- sel yang dipakai virus untuk
melewati sawar darah otak masuk kedalam otak . Fungsi limfosit B juga terpengaruh,
dengan peningkatan produksi immunoglobulin total sehubungan dengan penurunan
produksi antibody spesifik. Dengan memburuknya system imun secara progresif,
tubuh menjadi semakin rentan terhadap infeksi oportunis dan juga berkurang
kemampuanya dalam memperlambat replikasi HIV. Infeksi HIV dimanifestasikna
sebagi penyakit multi system yang dapat bersifat dorma selam bertahun – tahun sambil
8
menyebabkan imunodefisiensi secara bertahap. Kecepatan perkembangan dan
manifestasi klinis dari penyakit ini bervariasi dari orang ke orang

a. Perlekatan Virus
Virion HIV matang memiliki bentuk hampir bulat. Selubung luarnya, atau
kapsul viral, terdiri dari lemak lapis-ganda yang mengandung banyak tonjolan protein.
Duri-duri ini terdiri dari dua glikoprotein : gp120 dan gp41. Gp mengacu kepada
glikoprotein, dan angka mengacu kepada masa protein dalam ribuan dalton. Gp120
adalah selubung permukaan eksternal duri, dan gp41 adalah bagian transmembran.
Terdapat suatu protein matriks yang disebut p17 yang mengelilingi segmen
bagian dalam membran virus. Sedangkan inti dikelilingi oleh suatu protein kapsid
yang disebut p24. Di dalam kapsid, p24, terdapat dua untai RNA identik dan molekul
preformed reverse transckiptase, integrase, dan protease yang sudah terbentuk. HIV
adalah suatu retrovirus, sehingga materi genetik berada dalam bentuk RNA bukan
DNA, Reverse transcriptase adalah enzim yang mentranskripsikan RNA virus
menjadi DNA setelah virus masuk de sel sasaran. Enzim-enzim lain yang menyertai
RNA adalah integrase dan protease.
HIV menginfeksi sel dengan mengikat permukaan sel sasaran yang memiliki
molekul reseptor membran CD4. Sejauh ini, sasaran yang disukai oleh HIV adalah
limfosit T penolong positif-CD4, atau sel T4 (limfosit CD4+). Gp120 HIV berikatan
dengan kuat dengan limfosit CD4+ sehingga gp41 dapat memerantarai fusi membran
virus ke membran sel. Baru-baru, ini ditemukan bahwa dua koreseptor permukaan sel,
CCR5 atau CXCR4 diperlukan, agar glikoprotein gp120 dan gp41 dapat berikatan
dengan reseptor CD4+. Koreseptor ini menyebabkan perubahan-perubahan
konformasi  sehingga gp41 dapat masuk ke membran sel sasaran. Individu yang
mewarisi dua salinan defektif gen reseptor CCR5 (homozigot) resisten terhadap
timbulnya AIDS, walaupun berulang kali terpajan HIV (sekitar 1% orang Amerika
keturunan Caucasian). Individu yang heterozigot untuk gen defektif ini (18 sampai
20%) tidak terlindungi dari AIDS, tetapi awitan penyakit agak melambat.  Belum
pernah ditemukan homozigot pada populasi Asia atau Afrika, yang mungkin dapat
membantu menerangkan mengapa mereka lebih rentan terhadap infeksi HIV.
Sel-sel lain yang mungkin rentan terhadap infeksi HIV mencakup monosit dan
makrofag. Monosit dan makrofag yang terinfeksi dapat berfungsi sebagai reservaor
untuk HIV tetapi tidak dihancurkan oleh virus. HIV bersifat politrofik dan dapat
9
menginfeksi beragam sel manusia seperti sel natural killer (NK), limfosit B, sel
endotel, sel epitel, sel Langerhans, sel dendritik (yang  terdapat di permukaan mukosa
tubuh), sel mikroglia, dan berbagai jaringan   tubuh.
Setelah virus berfungsi dengan limfosit CD4+, maka berlangsung serangkaian
proses klompleks yang, apabila berjalan lancar, menyebabkan terbentuknya partikel-
partikel virus baru dari sel yang terinfeksi. Limfosit CD4+ yang terinfeksi mungkin
tetap laten dalam keadaan provirus atau mungkin mengalami siklus-siklus replikasi
sehingga menghasilkan banyak virus. Infeksi limfosit CD4+ juga dapat menimbulkan
sipatogenisitas melalui beragam mekanisme, termasuk apoptosis (kematian sel
terprogram), anergi (pencegahan fusi sel lebih lanjut), atau
pembentukan sinsitium (fusi sel).
b. Replikasi Virus
Setelah terjadi fusi sel-virus , RNA virus masuk ke bagian tengah sitoplasma
limfosit CD4+. Setelah mukleokapsid dilepas, maka terjadi transkripsi
terbalik (reverse transcription) dari satu untai-tunggal RNA menjadi DNA salinan
(cDNA) untai-ganda virus. Integrase HIV membantu insersi cDNA virus ke dalam inti
sel pejamu, maka dua untai DNA sekarang menjadi provirus. Provirus menghasilkan
RNA massenger (mRNA), yang meninggalkan inti sel dan masuk ke dalam
sitoplasma. Protein-protein virus dihasilkan dari mRNA yang lengkap dan yang telah
mengalami splicing (penggabungan) setelah RNA genom dibebaskan ke dalam
sitoplasma. Tahap akhir produksi virus membutuhkan suatu enzim virus yang
disebut HIV protease, yang memotong dan menata protein virus menjadi segmen-
segmen kecil yang mengelilingi RNA virus, membentuk partikel virus menular yang
menonjol dari sel yang terinfeksi. Sewaktu menonjol dari sel pejamu, partikel-partikel
virus tersebut akan terbungkus oleh sebagian dari membran sel yang terinfeksi. HIV
yang baru terbentuk sekarang dapat menyerang sel-sel rentan lainnya di seluruh tubuh.
Replikasi HIV berlanjut sepanjang periode latensi klinis, bahkan saat hanya
terjadi aktivitas virus yang minimal di dalam darah. HIV ditemukan dalam jumlah
besar di dalam limfosit CD4+ dan makrofag di seluruh sistem limfoid pada semua
tahap infeksi. Partikel-partikel virus juga telah dihubungkan dengan sel-sel dendritik
folikular, yang mungkin memindahkan infeksi ke sel-sel selama migrasi melalui
folikel-folikel limfoid.
Walaupun selama masa latensi klinis tingkat viremia dan replikasi virus di sel-
sel mononukleus darah parifer rendah, namun pada infeksi ini tidak ada latensi yang
10
sejati. HIV secara terus menerus terakumulasi dan bereplikasi di organ-organ limfoid.
Sebagian data menunjukan bahwa terjadi replikasi dalam jumlah sangat besar dan
pertukaran sel yang sangat cepat, dengan waktu paruh virus dan sel penghasil virus di
dalam plasma sekitar 2 hari . Aktivitas ini menunjukkan bahwa terjadi pertempuran
terus menerus antara virus dan sistem imun pasien.

c. Respon Imun Terhadap Infeksi HIV


Segera setelah terpajan HIV, individu akan melakukan perlawanan imun yang
intensif. Sel-sel B menghasilkan antibodi-antibodi spesifik terhadap berbagai protein
virus. Ditemukan antibodi netralisasi terhadap regio-regio di gp120 selubung virus dan
bagian eksternal gp41. Deteksi anti bodi adalah dasar bagi berbagai uji HIV
(misalnya, enzime-linked immunosorbent assay [ELISA]). Di dalam darah dijumpai
kelas antibodi imunoglobulin G (IgG) maupun imunoglobulin M (IgM), tetapi seiring
dengan menurunnya titer IgM, titer IgG (pada sebagian besar kasus) tetap tinggi
sepanjang infeksi. Antibodi IgG adalah antibodi  utama yang digunakan dalam uji
HIV. Antibodi terhadap HIV dapat muncul dalam 1 bulan setelah infeksi awal dan
pada sebagian besar orang yang terinfeksi HIV dalam 6 bulan setelah pajanan. Namun,
antibodi HIV tidak menetralisasikan HIV atau menimbulkan perlindungan terhadap
infeksi lebih lanjut.
Produksi imunoglobulin diatur oleh limfosit T CD4+. Limposit T CD+
diaktifkan oleh sel penyaji antigen (APC) untuk menghasilkan berbagai sitokin seperti
interleukin-2 (IL-2), yang membantu merangsang sel B untuk membelah dan
berdiferensiasi  menjadi sel plasma. Sel-sel plasma ini kemudian menghasilkan
imunoglobuin yang spesifik untuk antigen yang merangsangnya. Sitokin IL-2
hanyalah salah satu dari banyak sitokin yang memengaruhi respons imun baik
humoral maupun selular. Walaupun tingkat kontrol, ekspresi, dan potensi fungsi
sitokin dalam infeksi HIV masih terus diteliti, namun sitokin jelas penting dalam
aktivitas intrasel. Sebagai contoh, penambahan sitokin IL-12 (faktor stimulasi sel NK)
tampaknya melawan penurunan aktivitas dan fungsi sel NK seperti yang terjadi pada
infeksi HIV. Sel-sel NK adalah sel yang penting karena dalam keadaan normal sel-sel
inilah yang mengenali dan menghancurkan sel yang terinfeksi oleh virus dengan
mengeluarkan perforin yang serupa dengan yang dihasilkan oleh sel CD8.
Riset-riset terakhir menunjang peran sitotoksik dan supresor sel CD8 dalam
infeksi HIV. Peran sitotoksik sel CD8 adalah mengikat sel yang terinfeksi oleh virus
11
dan mengeluarkan perforin, yang menyebabkan kematian sel. Aktivitas sitotosik sel
CD8 sangat hebat pada awal infeksi HIV. Sel CD8 juga dapat menekan replikasi HIV
di dalam limfosit CD4+. Penekanan ini terbukti bervariasi tidak saja di antara orang
yang berbeda tetapi juga pada orang yang sama seiring dengan perkembangan
penyakit. Aktivitas antivirus sel CD8 menurun seiring dengan perkembangannya
penyakit. Dengan semakin beratnya penyakit, jumlah limfosit CD4+ juga berkurang.
Berbagai hipotesis tentang penyebab penurunan bertahap tersebut akan dibahas
berikut ini : Fungsi regulator esensial limfosit CD4+ dalam imunitas selular tidak
terbantahkan. Seperti dibahas sebelumnya, limfosit CD4+ mengeluarkan berbagai
sitokin yang memperlancar proses-proses misalnya produksi imunoglobulin dan
pengaktivan sel T tambahan dan makrofag. Dua sitokin spesifik yang dihasilkan oleh
limfosit CD4+-IL-2 dan interferon gama berperan penting dalam imunitas selular.
Pada kondisi normal, limfosit CD4+ mengeluarkan interferon gama yang menarik
makrofag dan mengintensifkan reaksi imun terhadap antigen. Namun, apabila limfosit
CD4+ tidak berfungsi dengan benar maka produksi interferon gama akan menurun.
IL-2 penting untuk memfasilitasi tidak saja produksi sel plasma tetapi juga
pertumbuhan dan aktivitas antivirus sel CD8 dan replikasi-diri populasi limfosit
CD4+.
Walaupun mekanisme pasti sitopatogenisitas limfosit CD4+ belum diketahui,
namun dapat diajukan argumen-argumen untuk berbagai hipotesis seperti apoptosis,
anergi, pembentukan sinsitium, dan lisis sel. Antibodi-dependent, complement-
mediated cytotoxicity (ADCC, sitotoksisitas yang dependen antibodi dan diperantarai
oleh komplemen) mungkin salah satu efek imun humoral yang membantu
menyingkirkan limfosit CD4+ yang terinfeksi oleh HIV. Antibodi terhadap dua
glikoprotein, gp120 dan gp41, menginduksi ADCC. Sel-sel seperti sel NK kemudian
bertindak untuk  mematikan sel yang terinfeksi.
Apoptosis adalah salah satu dari beberapa teori yang diajukan untuk
menjelaskan berkurangnya secara mencolok limfosit CD4+ dalam darah sepanjang
perjalanan penyakit HIV. Banyak limfosit CD4+ tampaknya melakukan ‘bunuh diri’
saat dirangsang oleh suatu bahan pengaktif atau oleh gangguan pada sinyal pengaktif. 
Limfosit CD4+ juga mungkin tidak mampu membelah diri sehingga timbul fenomena
yang disebut  anergi. Teori lain menyatakan adanya peran pembentukan sinsitium.
Pada  pembentukan sinsitium terinfeksi berfusi dengan sel-sel yang terinfeksi“the
bystander effect” sehingga mengeliminasi banyak sel yang tidak terinfeksi. Akhirnya,
12
menurunnya jumlah limfosit CD4+ mungkin disebabkan oleh terbentuknya virus-virus
baru melalui proses pembentukan tunas; virus-virus tersebut menyebabkan rupturnya
membran limfosit CD4+, yang secara efektif mematikan sel tersebut.
Apapun teori yang menjelaskan berkurangnya  limfosit CD4+, gambaran
utama pada infeksi tetaplah deplesi sel-sel tersebut. Deplesi limfosit CD4+ tersebut
bervariasi di antara para pengidap infeksi HIV. Sebagian dari faktor yang
memengaruhi variasi ini adalah fungsi sistem imun penjamu, adanya faktor lain di
pejamu (misal, penyakit kongenital atau metabolik, defisiensi gizi, patogen lain), atau
perbedaan strain virus.

7. Keganasan
Sarkoma Kaposi (SK) adalah jenis keganasan yang tersering dijumpai pada laki-laki
homoseks atau biseks yang terinfeksi oleh HIV (26%), tetapi jarang pada orang dewasa lain
(kurang dari 2%) dan sangat jarang pada anak. SK adalah manifestasi proliferasi berlebihan
sel gelondong yang diperkirakan berasal dari sistem vaskular dan memiliki kesamaan
gambaran dengan sel endotel dan sel otot polos. SK umumnya timbul secara multisentrik
berupa nodus-nodus asimtomatik (yaitu, suatu angiosarkoma). Bukti kuat mengisyaratkan
bahwa SK disebabkan oleh suatu nikroorganisme menular seksual, virus herpes manusia tipe
8 (HHV8) atau virus herpes terkait-sarkoma Kaposi, dan bukan HIV. HHV8 menyebabkan
orang yang terinfeksi rentan mengalami SK (serupa dengan virus papiloma manusia yang
13
mempermudah timbulnya kanker seviks pada orang yang terinfeksi). Lesi berupa bercak-
bercak merah keunguan di kulit, tetapi warna juga mungkin bervariasi dari ungu tua, merah
muda, merah, sampai merah-coklat . Selain di kulit, SK juga ditemukan di tempat lain
misalnya saluran cerna (GI), kelenjar getah bening, dan paru. SK dapat menyebabkan
kerusakan struktural dan fungsional, misalnya limfedema dan malabsorpsi. Apabila SK
terlokalisir terutama di kulit, maka bedah beku, bedah laser, dan eksisi bedah mungkin
bermanfaat, tetapi radioterapi adalah terapi pilihan untuk penyakit lokal. Obat kemoterapi
seperti vinblastin, vinkrestin, bleomisin, dan doksorubisin memberikan angka keberhasilan
yang bervariasi. Dari berbagai zat stimulan imun yang bersedia, interferon adalah yang
paling efektif karena memiliki efek antivirus, antiproliferasi, dan imunostimulasi.
Sebagian besar limfoma maligna adalah tumor sel B dengan stadium patologik tinggi,
termasuk small noncleaved lymphoma dan limfoma Burkitt atau limfoma mirip Burkitt .
Temuan umum adalah timbulnya gejala-gejala berupa demam, penurunan berat, dan keringat
malam, yang mungkin disebabkan oleh keganasan. Pasien yang mengidap limfadenopati
genelirasata persisten (PGL) berisiko besar mengalami limfoma maligna.
Gejala dan tanda awal limfoma sistem saraf pusat (SPP) primer mencakup nyeri kepala,
berkurangnya ingatan jangka-pendek, kelumpuhan saraf kranialis, hemiparesis, dan
perubahan kepribadian. Gangguan-gangguan ini dapat disebabkan oleh letak tumor, edema,
atau adanya penyakit penyerta. Lesi desak- ruang harus dibedakan dari lesi lain, terutama
toksoplasmosis.
Kanker servis invasif adalah suatu keganasan ginekologik yang berkaitan dengan penyakit
HIV kronik yang dimasukkan dalam definisi kasus sejak tahun 1993. Displasia serviks
mengenai 40% perempuan yang terinfeksi oleh HIV. Displasia serviks disebabkan oleh virus
papiloma manusia yang berkorelasi dengan timbulnya kanker invasif di kemudian hari.
Dengan demikian, pada perempuan yang terinfeksi oleh HIV harus dilakukan apusan Papa
nicolaou atau pemeriksaan kolposkopik setiap 6 bulan untuk mendeteksi kanker seviks pada
stadium dini. Pada perempuan dengan AIDS, kanker serviks menjadi sangat agresif.
Keganasan-keganasan lain yang pernah dilaporkan terjadi pada pasien yang terinfeksi
HIV adalah mieloma multipel, leukemia limfositik akut sel B, limfoma limfoblastik T,
penyakit Hodgkin, karsinoma anus, karsinoma sel skuamosa di lidah, karsinoma
adenoskuamosa paru, adenokarsinoma kolon dan pankreas, dan kanker testis. Harus dilakukan
lebih banyak riset untuk mengetahui secara umum dampak infeksi HIV pada perjalanan
penyakit keganasan atau penyakit kronik lain yang tidak berkaitan dengan infeksi HIV.

14
8. Infeksi
AIDS menyebabkan destruksi progresif fungsi imun. Namun, morbiditas dan
mortalitas terutama disebabkan oleh infeksi oportunistik yang timbul karena gagalnya
surveilans dan kerja sistem imun. Pasien dengan AIDS rentan terhadap beragam infeksi
protozoa, bakteri, fungus, dan virus, dan sebagian dari mikroorganisme ini relatif jarang
dijumpai, misalnya Cryptosporidium danMycobacterium avium-intracellulare (MAI). Infeksi-
infeksi ini bersifat menetap, parah, dan sering kambuh. Pasien biasanya mengidap lebih dari
satu infeksi pada suatu saat.
Pneumonia Pncumocystis carinii (PPC) adalah infeksi serius yang paling sering
didiagnosis pada pasien dengan AIDS. Gambaran penyakit ini sering atipikal dibandingkan
dengan PPC pada pasien kanker. Pada AIDS, gejalanya mungkin hanya demam; gejala lain
misalnya intoleransi olah raga, batuk kering nonproduktif, rasa lemah, dan sesak napas
bersifat indolen atau berkembang bertahap. Dalam mengevaluasi secara klinis setiap pasien
yang terbukti atau dicurigai positif HIV, tingkat kecurigaan akan PPC harus tinggi. Terapi
profilaktik atau supresif sangat penting karena keparahan dan kekerapan PPC pada pasien
AIDS. Trimetoprim-sulfamatoksazol (Bactrim, Septrim) merupakan obat pilihan. Pentamidin
adalah obat alternatif yang dapat diberikan secara parenteral atau dalam bentuk aerosol pada
kasus yang ringan.
Pada orang sehat, infeksi oleh Toxoplasma gondii umumnya asimtomatik, walaupun
sebagian mengalami limfadenopati. Belum ada profilaksis untuk infeksi ini. Pasien dengan
AIDS memiliki risiko 30% terjangkit toksoplasmosis dalam masa 2 tahun, biasanya sebagai
reaktivasi infeksi sebelumnya. Agen spesifik yang menentukan reaktivasi tidak diketahui.
Pada pasien AIDS, terjadi penyakit SSP yang ditandai dengan lesi tunggal atau jamak yang
dapat diamati dengan CT scan.
Cryptosporidium, Microsporidium, dan Isospora belli merupakan protozoa yang
tersering menginfeksi saluran cerna dan menimbulkan diare pada pasien HIV. Infeksi menular
melalui rute feses-oral; kontak seksual, makanan, minuman, atau hewan. Infeksi dapat
menimbulkan gejala beragam, dari diare swasirna atau intermiten pada tahap-tahap awal
infeksi HIV sampai diare berat yang mengancam nyawa pada pasien dengan gangguan
kekebalan yang parah. Berbeda dengan kriptosporidiosis atau mikrosporidiosis, isosporiasis
berespons baik terhadap terapi trimetoprim-sulfametoksazol (Bactrim).

15
Mycobacterium tuberculosis, penyebab tuberculosis (TB), bersifat endemik di lokasi-
lokasi geografik tertentu, dan sebagian besar kasus TB-AIDS merupakan reaktivasi infeksi
sebelumnya. TB-AIDS biasanya merupakan tanda awal AIDS, terjadi saat sel T relatif masih
tinggi (lebih dari 200/µl). Manifestasi TB-AIDS serupa dengan TB normal, dengan 60 sampai
80% pasien mengidap penyakit di paru. Namun, penyakit ekstraparu dijumpai pada 40 sampai
75% pasien dengan infeksi HIV, yaitu terutama dalam bentuk TB limfatik dan TB milier.
Pasien berespons baik terhadap regimen obat tradisional yaitu isoniazid (INH), rifampisin,
pirazinamid, dan etambutol. Pasien yang berisiko tinggi terjangkit TB mungkin dapat
memperoleh manfaat dari pemberian INH profilaksis. Seiring dengan timbulnya AIDS yang
disertai menurunnya imunokompetensi, banyak pasien menjadi anergik; dengan demikian uji
kulit PPD memiliki masalah tersendiri. Uji PPD yang positif pada orang yang terinfeksi HIV
didefinisikan sebagai daerah indurasi dengan garis tengah sama atau lebih besar daripada
5mm, dan uji negatif tidak menyingkirkan infeksi TB. Selain itu, pasien yang terinfeksi HIV
dengan biakan sputum positif dan BTA sputum positif mungkin memperlihatkan gambaran
radiografi toraks yang normal. Infeksi fungus mencakup kandidiasis,
kriptokokosis, dan histoplasmosis.Kandidiasis oral sering terjadi pada pasien AIDS dan
menyebabkan kekeringan dan iritasi mulut . Kandidiasis bronkus, paru, trakea, atau esofagus
patognomonik untuk diagnosis AIDS. Pasien jarang mengalami penyakit sistemik.
Infeksi Cryptococcus neoformans terjadi pada 7% pasien AIDS, dengan gambaran utama
berupa meningitis. Terapi dengan flukonazol hanya menghasilkan profilaksis terbatas baik
untuk infeksiCryptococcus neoformans maupun kandidiasis oral. Pada pasien AIDS, gejala-
gejala infeksi Histoplasma capsulatum bervariasi dengan nonspesifik, termasuk demam,
menggigil, berkeringat, penurunan berat, mual, muntah, diare, lesi kulit, pneumonitis, dan
depresi sumsum tulang. Amfoterisin B digunakan sebagai terapi induksi, dengan dosis yang
lebih rendah sebagai pemeliharaan.
Infeksi oportunistik yang disebabkan oleh invasi virus sangat beragam dan merupakan
penyebab semakin parahnya patologi yang terjadi. Infeksi oleh virus herpes simpleks
(HSV) pada pasien AIDS biasanya menyebabkan ulkus genital atau perianus yang mudah
didiagnosis dengan biakan virus. HSV dapat menyebar melalui kontak kulit langsung. HSV
juga menyebabkan esofagitis serta dapat menimbulkan pneumonia dan ensefalitis. Asiklovir
adalah obat pilihan untuk HSV dan herpes zoster.
Pada seseorang yang terinfeksi oleh HIV, timbulnya herpes zoster (shingles)dapat
menandakan perkembangan penyakit. Infeksi di kulit dan mata mungkin mendahului infeksi-
infeksi oportunistik. Setomegalo virus (CMV) sering ditemukan pada pasien AIDS; virus ini
16
menyebabkan penyakit diseminata dengan empat penyakit yang batasannya jelas:
korioretinistis , enterokolitis, pneunomia, dan adrenalitis. Individu asimtomatik dapat
mengeluarkan CMV. Pneumonia CMV sulit dibedakan dari pneumonia lain dan dapat timbul
secar simultan dengan patogen lain seperti Pneumocystis carinii.Mungkin terdeteksi gejala-
gejala insufisiensi adrenal. Untuk penyakit-penyakit terkait CVM, diindikasikan terapi dengan
gansiklovir atau foskarnet.
Leukoensefalopati miltifokus progresif adalah suatu penyakit yang berkembang
secara cepat yang disebabkan oleh suatu papovavirus. Secara klinis, pasien mengalami
perubahan kepribadian serta defisit motorik dan sensorik. Gejala-gejala mungkin mencakup
nyeri kepala, tumor, gangguan koordinasi dan keseimbangan, kelemahan, dan tanda-tanda lain
disfungsi serebelum. VirusEpstein-Barr (EBV) diperkirakan berperan menyebabkan
timbulnya leukoplakia oral berambut, pneumonitis pada anak, dan limfoma serta sering
ditemukan dari bilasan tenggorok pasien AIDS.

9. Pemeriksaan Diagnosis
Diagnosis HIV di tegakkan dengan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan
laboratorium HIV dilakukan pada semua orang dengan gejala klinis yang
mengarah ke HIV/ AIDS, dan dilakukan juga untuk menyaring HIV pada semua
remaja dan orang dewasa dengan peningkatan risiko infeksi HIV dan semua
wanita hamil ( Permenkes, 2014)
Berikut jenis pemeriksaan laboratorium HIV :
a. ELISA ( Enzyme-Linked ImmunoSorbent Assay)
 Enzymelinked immunosorbent assay (ELISA), bereaksi terhadap adanya antibodi dalam
serum dengan memperlihatkan warna yang lebih jelas apabila terdeteksi antibodi virus dalam
jumlah besar. Karena hasil positif-palsu dapat menimbulkan dampak psikologis yang besar,
maka hasil uji ELISA yang positif diulang, dan apabila keduanya positif,maka dilakukan uji
yang lebih spesifik.
Sensitivitasnya tinggi yaitu sebesar 98,1-100 %.Biasanya tes ini memberikan hasil positif 2-3
bulan setelah infeksi.
b. Western blot.
Uji Western blot juga dikonfirmasi dua kali. Uji ini lebih kecil kemungkinannya memberi
hasil positif-palsu atau  negatif-palsu. Juga dapat terjadi hasil uji yang tidak konklusif,
misalnya saat ELISA atau Western blot bereaksi lemah dan agak mencurigakan. Hal ini dapat
17
terjadi pada awal infeksi HIV, pada infeksi yang sedang berkembang (sampai semua pita
penting pada uji Western blot tersedia lengkap), atau pada reaktivitas-silang dengan titer
retrovirus tinggi lain, misalnya HIV-2 atau HTLV-1. Setelah konfirmasi, pasien
dikatakan seropositif HIV. Pada tahap ini, dilakukan pemeriksaan klinis dan imunologik lain
untuk mengevaluasi derajat penyakit dan dimulai usaha-usaha untuk mengendalikan infeksi.
Spesifitasnya tinggi yaitu sebesar 99,6-100 %.Pemeriksaannya cukup sulit,mahal dan
membutuhkan waktu sekitar 24 jam.
c. Uji lainnya
HIV juga dapat dideteksi dengan uji lain, yang memeriksa ada tidaknya virus atau komponen
virus sebelum ELISA atau Western blot dapat mendeteksi antibodi. Prosedur-prosedur ini
mencakup biakan virus, pengukuran antigen p24, dan pengukuran DNA dan RNA HIV yang
menggunakan reaksi berantai polimerase/polymerase Chain Reaction (PCR) dan RNA
HIV-1 plasma. Uji-uji semacam ini bermanfaat dalam studi mengenai imunopatogenesis,
sebagai penanda penyakit, pada deteksi dini infeksi, dan pada penularan neonatus. Bayi yang
lahir dari ibu positif-HIV dapat memiliki antibodi anti-HIV ibu dalam darah mereka sampai
usia 18 bulan, tanpa bergantung apakah mereka terinfeksi atau tidak.

d. Jumlah CD4

Tes ini mengukur jumlah sel CD4 (T sel) dalam tubuh, berdasarkan kesehatan sistim
kekebalan tubuh. Fokus dari tes ini adalah untuk mengukur jumlah CD4 absolut. Jumlah CD4
absolut adalah jumlah sel CD4 yang ada dalam sistim kekebalan tubuh. Sel CD4 merupakan
bagian dari sistim kekebalan tubuh yang bertugas untuk melawan infeksi dan juga merupakan
sel-sel yang secara langsung menjadi sasaran HIV. Dalam perkembangannya, HIV
mengambil alih sel CD4, memanfaatkan sel-sel ini untuk bereplikasi, dan dalam proses
tersebut membunuh sel CD4 yang asli. Hal inilah mengapa tes jumlah CD4 menjadi indikator
yang berguna untuk menentukan kesehatan sistim kekebalan tubuh. Semakin banyak jumlah
sel CD4, semakin kuat sistim kekebalan tubuh. Biasanya seseorang yang hidup dengan HIV
dianjurkan untuk memonitor jumlah CD4 mereka untuk memastikan jumlahnya di atas 200.
Namun bila jumlah CD4 di bawah 200, anda dianjurkan untuk bekerjasama dengan dokter
untuk memulai rejimen pengobatan atau melakukan perbaikan dalam rejimen obat yang kini
dikonsumsi. Dengan tes jumlah CD4, dianjurkan untuk melakukan tes begitu dites positif
HIV, kemudian secara berkala tiap tiga hingga enam bulan. Biasanya laboratorium butuh
waktu dua minggu untuk memproses tes ini.

18
e. HIV rapid

Tes ini digunakan untuk memeriksa HIV dengan hasil yang akurat dalam waktu yang
relative singkat yaitu sekitar 20 menit.Tes ini juga mencari adanya antibody terhadap HIV
dengan menggunakan darah atau cairan yang diambil dari bagian bawah dan atas gusi melalui
suatu alat yang dioleskan ke daerah tersebut.

(Nurul Afif,dkk ,2019)

10. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan HIV tergantung pada stadium penyakit dan setiap infeksi
oportunistik yang terjadi. Secara umum, tujuan pengobatan adalah untuk mencegah
system imun tubuh memburuk ke titik dimana infeksi oportunistik akan bermunculan,
Sindrom pulih imun atau Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome (IRIS) yang
dapat muncul setelah pengobatan juga jarang terjadi pada pasien yang belum
mencapai titik tersebut.
Untuk semua penderita HIV/ AIDS diberikan anjuran untuk istirahat sesuai
kemampuan atau derajat sakit, dukungan nutrisi yang memadai berbasis
makronutrien dan mikronutrien untuk penderita HIV dan AIDS, konseling
termasuk pendekatan psikologis dan psikososial dan membiasakan gaya hidup
sehat. Terapi antiretroviral adalah metode utama untuk mencegah perburukan
system imun tubuh. Terapi infeksi sekunder / oportunistik/malignansi diberikan
sesuai gejala dan diagnosis penyerta yang ditemukan. Sebagai tambahan,
profilaksis untuk infeksi oportunistik spesifik diindikasikan pada kasus – kasus
tertentu. Prinsip pemberian ARV adalah menggunakan kombinasi 3 jenis obat yang
ketiganya harus terserap dan berada dalam dosis terapeutik dalam darah, dikenan
dengan highly active antiretroviral therapy (HAART). Istilah HAART sering
disingkat menjadi ART (antiretroviral therapy) atau terapi ARV. Pemerintah dalam
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia no 87 tanhun 2014 menetapkan
panduan yang digunakan dalam pengobatan ARV dengan berdasarkan pada 5
aspek, yaitu efektivitas, efek sampin/ tosisitas, interaksi obat, kepatuhan dan harga
obat.

19
Tabel 1 Rekomendasi Inisiasi ART pada Dewasa dan Anak
Populasi Rekomendasi
Dewasa dan anak ≥ 5 tahun Inisiasi ART pada oran terinfeksi HIV
stadium klinis 3 dan 4, atau jika jumlah
CD4 ≤ 350 sel/ mm3
Inisiasi ART tanpa melihat stadium klinis
WHO dan berapa pun jumlah CD 4
- Koinfeksi TB
- Koinfeksi Hepatitis B
- Ibu hamil dan menyusui terinfeksi
HIV
- Orang terinfeksi HIV yang
pasangannya HIV negative
(pasangan serodiskordan), untuk
mengrangi risiko penularan
- LSL, PS, waria, atau penasun
- Populasi umum pada daerah
dengan epidemi HIV meluas
Anak ≤ 5 tahun Inisiasi ART tanpa melihat stadium klinis
WHO dan berapapun jumlah CD4
Sumber : Permenkes 2014
Pengobatan TB harus dimulai lebih dahulu, kemudian obat ARV diberikan dalam 2
– 8 minggu sejak mulai obat TB, yanpa menghentikan terapi TB. Pada ODHA
dengan CD4 kurang dari 50 sel/mm3, ARV harus dimulai dalam setelah 5 minggu
pengobatan kristokokus.

Tabel 2 ART lini pertama untuk anak usia 5 tahun ke atas dan dewasa yang belum
pernah mendapat ARV sebelumnya (naïve ARV), termasuk ibu hamil dan
menyusui, ODHA koinfeksi hepatitis B, dan ODHA dengan TB
ARV lini pertama untuk dewasa
Paduan pilihan Tenofovir (TDF) + Lamivudin ( 3TC)
(atau Emtricitabine (FTC)) + Efavirenz

20
(EFV) dalam benuk Fixed Dose
Combination (FDC)
Paduan alternatif Zidovudin (AZT) + 3TC + EFV (atay
Nevirapin (NVP)) atau TDF + 3 TC
(atatu FTC) + NVP
Sumber : Permenkes (2014)

Tabel 3 ART lini pertama pada anak < 5 tahun


Pilihan NRTI ke 1 Pilihan NRTI ke 2 Pilihan NNRTI
Zidovudin (AZT) Lamivudin (3TC) Nevirapin (NVP)
Stavudin (d4T) Efavirenz (EFV)
Tenofair (TDF)
Sumber : Permenkes (2014)

b. Penanganan HIV
Konseling / VCT (Voluntary Counseling Test)

VCT merupakan pintu masuk hampir ke semua jenis pelayanan antara lain pelayanan
medis, pendampingan, program keluarga berencana, dukungan ekonomi sosial,
dukungan mental dan spiritual serta bantuan hukum. Unsur penting VCT adalah :

1) Informed consent
Persetujuan klien atas tindakan yang akan dilakukan kepadanya setelah menda pat
informasi yang cukup tentang apa , mengapa, bagaimana, dan akibat yang akan
terjadi
2) Konseling Pre-test
Diskusi tentang penyakit HIV/ AIDS mulai dari penyebab, penularan diagnosis,
perawatan, pengobatan dan kesembuhan, kemungkinan kematian, kemungkinan
apabila hasilnya positif, sampai perencanaan selanjutnya dan masa depan
3) Testing
Pengambilan darah untuk diperiksa apakah seseorang telah terinfeksi HIV.
4) Konseling Pasca Test

21
Merupakan lanjutan konseling pre-test yang menekankan kesiapan klien untuk melihat
hasil test dengan menekankan kesiapan klien untuk melihat hasil test dengan segala
kemungkinan yang akan terjadi termasuk kematian.
5) Rahasia
Bahwa yang mengetahui status klien hanyalah klien dan konselor. Konselor akan
menawarkan seorang manager kasus (relawan yang akan mendampingi klien) apabila
klien bersedia. Manager kasus akan mendampingi klien dalam pengobatan, perawatan
dan pengakuan dari keluarga dan tetangga.

Konsep Asuhan Keperawatan


Asuhan keperawatan bagi penderita penyakit HIV AIDS merupakan tantangan yang besar
bagi perawat karena setiap sistem organ berpotensi untuk menjadi sasran infeksi ataupun
kanker. Disamping itu, penyakit ini akan dipersulit oleh komplikasi masalah emosional, sosial
dan etika. Rencana keperawatan bagi penderita AIDS harus disusun secara individual untuk
memenuhi kebutuhan masing-masing pasien (Brunner dan Suddarth, 2018). Pengkajian pada
pasien HIV AIDS meliputi:
1. Pengkajian pasien
a. Identitas Klien, meliputi : nama, tempat/tanggal lahir, jenis kelamin, status kawin,
agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, diagnosa medis, no rekam medis
b. Keluhan Utama
1) Sesak nafas
2) demam yang berkepanjangan (lebih dari 3 bulan)
3) diare kronis lebih dari 1 bulan berulang maupun terus menerus
4) mual dan muntah, sekitar 30-60 persen orang yang terinfeksi HIV mengalami
mual jangka pendek, muntah, atau diare tahap awal. Gejala ini juga bisa
muncul sebagai akibat dari terapi antiretroviral dan kemudian di infeksi,
biasanya sebagai akibat dari infeksi oportunistik.
5) penurunan berat badan lebih dari 10%
6) batuk kronis lebih dari 1 bulan, batuk kering bisa berlangsung selama satu
tahun dan terus memburuk. Obat batuk, antibiotik, dan inhaler tidak bisa
mengatasi masalah ini.
7) infeksi mulut dan tenggorokan disebabkan oleh jamur candida albikans

22
8) pembengkakan kelenjar getah bening diseluruh tubuh, kelenjar getah bening
merupakan bagian dari sistem kekebalan tubuh dan cenderung meradang
ketika ada infeksi. Biasanya terdapat di bagian ketiak, pangkal paha, dan leher.
9) munculnya herpes zooster berulang dan bercak-bercak gatal diseluruh tubuh.
10) Kelelahan, respon inflamasi yang dihasilkan oleh sistem kekebalan tubuh yang
terkepung juga dapat menyebabkan merasa lelah dan lesu. Kelelahan dapat
menjadi tanda awal dan kemudian HIV.

c. Riwayat kesehatan sebelumnya


Biasanya pasien pernah dirawat karena penyakit yang sama. Adanya riwayat
penggunaan narkoba suntik, hubungan seks bebas atau berhubungan seks dengan
penderita HIV/AIDS terkena cairan tubuh penderita HIV/AIDS.

d. Riwayat kesehatan keluarga


Orang tua, saudara kandung ayah/ibu, saudara kandung pasien tidak ada yang
menderita penyakit keturunan.

e. Pola aktifitas sehari-hari (ADL) meliputi :


1) Pola presepsi dan tata laksana hidup sehat. Pada pasien HIV/ AIDS akan
mengalami perubahan atau gangguan pada personal hygiene, misalnya
kebiasaan mandi, ganti pakaian, BAB dan BAK dikarenakan kondisi tubuh
yang lemah, pasien kesulitan melakukan kegiatan tersebut dan pasien biasanya
cenderung dibantu oleh keluarga atau perawat.
2) Pola nutrisi, mengalami penurunan nafsu makan, mual, muntah, nyeri menelan,
dan juga pasien akan mengalami penurunan berat badan yang cukup drastis
dalam jangka waktu singkat (terkadang lebih dari 10% BB).
3) Pola eliminasi, mengalami diare, feses encer, disertai mucus berdarah
4) Pola istrihat dan tidur, pola istrirahat dan tidur mengalami gangguan karena
adanya gejala seperti demam daan keringat pada malam hari yang berulang.
Selain itu juga didukung oleh perasaan cemas dan depresi terhadap penyakit.
5) Pola aktifitas dan latihan aktifitas, beberapa orang tidak dapat melakukan
aktifitasnya seperti bekerja. Hal ini disebabkan mereka menarik diri dari
lingkungan masyarakat maupun lingkungan kerja, karena depresi terkait
penyakitnya ataupun karena kondisi tubuh yang lemah.
23
6) Pola prespsi dan kosep diri, mengalami perasaan marah, cemas, depresi dan
stres.
7) Pola sensori kognitif, mengalami penurunan pengecapan dan gangguan
penglihatan. Pasien juga biasanya mengalami penurunan daya ingat, kesulitan
berkonsentrasi, kesulitan dalam respon verbal. Gangguan kognitif lain yang
terganggu yaitu bisa mengalami halusinasi.
8) Pola hubungan peran, akan terjadi perubahan peran yang dapat mengganggu
hubungan interpesonal yaitu pasien merasa malu atau harga diri rendah.
9) Pola penanggulangan stress, pasien akan mengalami cemas, gelisa dan depresi
karena penyakit yang dideritanya. Lamanya waktu perawatan, perjalanan
penyakit yang kronik, perasaan tidak berdaya karena ketergantungan
menyebabkan reaksi psikologis yang negatif berupa marah, marah, kecemasan,
mudah tersinggung dan lain-lain, dapat menyebabkan penderita tidak mampu
menggunakan mekanisme koping yang konstruktif dan adaptif.
10) Pola reproduksi sekesual Pada pasien HIV AIDS pola reproduksi
seksualitasnya terganggu karena penyebab utama penularan penyakit adalah
melalui hubungan seksual.
11) Pola tata nilai dan kepercayaan, tata nilai keyakinan pasien awalnya akan
berubah, karena mereka menganggap hal yang menimpa mereka sebagai
balasan perbuatan mereka. Adanya status perubahan Kesehatan dan penurunan
fungsi tubuh mempengaruhi nilai kepercayaan pasien dalam kehidupan mereka
dan agama merupakan hal penting dalam hidup pasien.
f. Pemeriksaan fisik
1) Gambaran umum : ku pasien ditemukan tampak lemah
2) Kesadaran : composmentis kooperatif, sampai terjadi penurunan tingkat
kesadaran, apatis, somnolen, stupor bahkan koma.
3) Tanda – tanda vital : TD : biasanya ditemukan dalam batas normal, nadi;
terkadang ditemukan frekuensi nadi meningkat, pernapasan : biasanya
ditemukn frekuensi pernapasan meningkat, suhu; suhu biasanya ditemukan
meningkat krena demam, BB ; biasanya mengalami penrunan(bahkan hingga
10% BB), TB; Biasanya tidak mengalami peningkatan (tinggi badan tetap).
4) Kepala : biasanya ditemukan kulit kepala kering karena dermatitis seboreika
5) Mata : konjungtifa anemis , sclera tidak ikterik, pupil isokor,refleks pupil
terganggu
24
6) Hidung : biasanya ditemukan adanya pernapasan cuping hidung
7) Leher: kaku kuduk (penyebab kelainan neurologik karena infeksi jamur )
8) Gigi dan mulut : biasany ditemukan ulserasi dan adanya bercak - bercak putih
yang menunjukan kandidiasis
9) Jantung: Biasanya tidak ditemukan kelainan
10) Paru-paru : Biasanya terdapat nyeri dada pada pasien AIDS yang disertai
dengan TB napas pendek (kusmaul)
11) Abdomen : Biasanya bising usus yang hiperaktif
12) Kulit : Biasanya ditemukan turgor kulit jelek, terdapatnya tanda-tanda lesi (lesi
sarkoma kaposi)
13) Ekstremitas : Biasanya terjadi kelemahan otot, tonus oto menurun, akral dingin

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada penderita HIV AIDS yaitu:
1) Intoleransi aktivitas. Hal ini berhubungan dengan kelemahan, kelelahan, efek
samping pengobatan, demam, malnutrisi, dan gangguan pertukaran gas (sekunder
terhadap infeksi paru atau keganasan).
2) Bersihan jalan napas tidak efektif. Hal ini berhubungan dengan penurunan energi,
kelelahan, infeksi respirasi, sekresi trakeobronkial, keganasan paru, dan
pneumotoraks.
3) Kecemasan, adalah hal berhubungan dengan prognosis yang tidak jelas, persepsi
tentang efek penyakit, dan pengobatan terhadap gaya hidup.
4) Gangguan gambaran diri. Hal ini berhubungan dengan penyakit kronis, alopesia,
penurunan berat badan, dan gangguan seksual.
5) Ketegangan peran pemberi perawatan (aktual atau risiko) berhubungan dengan
keparahan penyakit penerima perawatan, tahap penyakit yang tidak dapat
diprediksi atau ketidakstabilan dalam perawatan kesehatan penerima perawatan,
durasi perawatan yang diperlukan, lingkungan fisik yang tidak adekuat untuk
menyediakan perawatan, kurangnya waktu santai dan rekreasi bagi pemberi
perawatan, serta kompleksitas dan jumlah tugas perawatan
6) Konfusi (akut atau kronis) berhubungan dengan infeksi susunan saraf pusat
(misalnya toksoplasmosis), infeksi sitomegalovirus, limfoma, dan perkembangan
HIV.

25
7) Koping keluarga berkaitan dengan ketidakmampuan untuk berhubungan dengan
informasi atau pemahaman yang tidak adekuat atau tidak tepat tentang penyakit
kronis, dan perasaan yang tidak terselesaikan secara kronis.
8) Koping tidak efektif berhubungan dengan kerentanan individu dalam situasi krisis
(misalnya penyakit terminal).
9) Diare, berhubungan dengan pengobatan, diet, dan infeksi
10) Kurangnya aktivitas pengalihan, berhubungan dengan sering atau lamanya
pengobatan medis, perawatan di rumah sakit dalam waktu yang lama, bed rest
yang lama
11) Kelelahan, berhubungan dengan proses penyakit serta kebutuhan psikologis dan
emosional yang sangat banyak.
12) Takut, berhubungan dengan ketidakberdayaan, ancaman yang nyata terhadap
kesejahteraan diri sendiri, kemungkinan terkucil, dan kemungkinan kematian.
13) Volume cairan kurang, berhubungan dengan asupan cairan yang tidak adekuat
sekunder terhadap lesi oral dan diare.
14) Berduka disfungsional/diantisipasi, berhubungan dengan kematian atau perubahan
gaya hidup yang segera terjadi, kehilangan fungsi tubuh perubahan penampilan,
dan ditinggal mati oleh orang yang berarti orang terdekat).
15) Perubahan pemeliharaan rumah, berhubungan dengan sistem pendukung yang
tidak adekua, kurang pengetahuan, dan kurang akrab dengan sumber-sumber
komunitas
16) Keputusasaan, berhubungan dengan perubahan kondisi fisik dan prognosis yang
buruk.
17) Risiko infeksi berhubungan dengan imunodefisiensi seluler.
18) Risiko penyebaran infeksi (bukan diagnosis NANDA) faktor risiko: sifat cairan
tubuh yang menular.
19) Risiko injuri (jatuh), berhubungan dengan kelelahan, kelemahan, perubahan
kognitif, ensefalopati, dan perubahan neuromuskular.
20) Pengelolaan pengobatan yang tidak efektif, berhubungan dengan kompleksitas
bahan-bahan pengobatan, kurang pengetahuannya tentang penyakit, obat, dan
sumber komunitas, depresi, sakit, atau malaise.
21) Ketidakseimbangan nutrisi (kurang dari kebutuhan tubuh), berhubungan dengan
kesulitan mengunyah, kehilangan nafsu makan, lesi oral dan esofagus, malabsorbsi
gastrointestinal, dan infeksi oportunistik (kandidiasis dan herpes)
26
22) Nyeri akut, berhubungan dengan: perkembangan penyakit, efek samping
pengobatan, odem limfe, sakit kepala sekunder terhadap infeksi SSP (Sistem Saraf
Pusat). neuropati perifer, dan mialgia parah.
23) Ketidakberdayaan, berhubungan dengan penyakit terminal, bahan pengobatan, dan
perjalanan penyakit yang tidak bisa diprediksi.
24) Kurang perawatan diri yang terdiri atas berhias, toileting, instrumental, makan/
minum, dan mandi, berhubungan dengan penurunan kekuatan dan ketahanan,
intoleransi aktivitas, dan kebingungan akut/kronis.
25) Harga diri rendah (kronis dan situasional), berhubungan dengan penyakit kronis
dan krisis situasional.
26) Perubahan persepsi sensori (pendengaran/penglihatan), berhubungan dengan
kehilangan pendengaran sekunder efek pengobatan, kehilangan penglihatan akibat
infeksi CMV.
27) Pola seksual tidak efektif, berhubungan dengan tindakan seks yang lebih aman.
takut terhadap penyebaran infeksi HIV, tidak berhubungan seks, impoten sekunder
akibat efek obat.
28) Kerusakan integritas kulit, berhubungan dengan kehilangan otot dan jaringan
sekunder akibat perubahan status nutrisi, ekskoriasi perineum sekunder akibat
diare dan lesi (kandidiasis dan herpes), dan kerusakan mobilitas fisik.
29) Perubahan pola tidur, berhubungan dengan nyeri, berkeringat di malam hari. obat-
obatan, efek samping obat, kecemasan, depresi, dan purus obat heroin kokain).
30) Isolasi sosial, berhubungan dengan stigma, ketakutan orang lain terhadap
penyebaran infeksi, ketakutan diri sendiri terhadap penyebaran HIV, moral.
budaya, agama, penampilan fisik, serta gangguan harga diri dan gambaran diri
31) Distres spiritual, berhubungan dengan tantangan sistem keyakinan dan nilai dan
tes keyakinan spiritual
32) Adanya risiko kekerasan yang diarahkan pada diri sendiri, seperti adanya ide
bunuh diri akibat rasa keputusasaan.
(Nursalam dan Kurniawati, 2013)

3. Perencanaan Keperawatan
Perencanaan keperawatan adalah segala perawatan yang dikerjakan oleh perawat yang
didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai luaran (outcome)
yang di harapkan. Luaran keperawatan ini mengarahkan status diagnosis keperawatan
27
setelah dilakukan intervensi keperawatan. (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018). Setiap
rencana keperawatan terdiri atas tiga komponen yaitu label, definisi dan tindakan.
Tindakan ini terdiri atas observasi, terapeutik, edukasi, dan kolaborasi. (Tim Pokja
SIKI DPP PPNI, 2018).
Perencanaan keperawatan dirumuskan sesuai dengan Standar Intervensi Keperawatan
Indonesia (SIKI) yang merupakan segala rencana tindakan yang dikerjakan oleh
perawat yang didasarkan pada pengetahun dan penilaian klinis untuk mencapai standar
luaran yang diharapkan. Dalam hal ini perencanaan keperawatan terdiri dari :
manajemen nutrisi dan promosi berat badan. (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018)
Adapun intervensi yang dapat dirumuskan pada pasien HIV/AIDS dengan defisit
nurisi adalah sebagai berikut :
No Diagnosis keperawatan Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
keperawatan
1 Defisit nutrisi b/d Setelah dilakukan a. Manajemen
ketidakmampuan menelan tindakan keperawatan nutrisi
makanan/ diharapkan asupan 1. Identifikasi
Ketidakmampuan nutrisi untuk memenuhi alergi dan
mencerna makanan dan kebutuhan metabolisme intoleransi
mengabsorbsi nutrient d.d membaik makanan
berat badan menurun SLKI label : 2. Identifikasi
minimal 10 % di bawah Status Nutrisi makanan yang
rentang ideal, cepat 1. Porsi makanan yang disukai
kenyang setelah makan, di habiskan 3. Monitor
nyeri abdomen, nafsu meningkat (5) asupan
makan menurun, bising 2. Kekuatan otot makanan
usus hiperaktif, otot pengunyah meningkat 4. Monitor hasil
pengunyah lemah, otot (5 ) pemeriksaan
menelan lemah, membran 3. Kekuatan otot laboratorium
mukosa pucat, sariawan, menelan meningkat 5. Lakukan oral
serum albumin turun, (5) hygiene
rambut rontok berlebihan 4. Serum albumin dalam sebelum
dan diare batas normal ( 3,5-4,5 makan, jika
mg/dL) perlu
5. Perasaan cepat 6. Kolaborasi
28
kenyang menurun (5) dengan ahli
6. Nyeri abdomen gizi untuk
menurun (5) menentukan
7. Sariawan menurun (5) jumlah kalori
8. Diare menurun(5) dan jenis
9. Frekuensi makan nutrien yang
membaik (5) dibutuhkan,
10. Nafsu makan jika perlu
membaik b. Promosi berat
11. Bising usus badan
membaik (5) 1. Monitor
12. Membran adanya mual
mukosa tidak pucat dan muntah
lagi (5) 2. Monitor berat
badan
3. Sediakan
makanan yang
tepat sesuai
kondisi pasien
Intervensi : Dukungan
Bersihan jalan napas tidak  Luaran : kontrol gejala
kepatuhan program
efektif b.d proses infeksi. meningkat (L.14127)
pengobatan (l12361)
(D.0149)
 Kemampuan
 Identifikasi
memonitor
kepaatuhan
munculnya
menjalani
gejala sendiri
program
meningkat
pengobatan
 Kemampuan
 Buat
memonitor lama
komitmen
bertahannya
menjalani
gejala meningkat
pengobatan
 Mendapatkan
program
perawatan

29
kesehatan saat dengan baik
gejala bahaya  Buat jadwal
muncul pendampingan
meningkat dengan
 Kemampuan keluarga untuk
menggunakan bergantian
sumber-sumber menemani
daya yang pasien
tersedia menjalani
meningkat program
pengobatan
jika perlu
 Anjurkan
pasien untuk
berkonsultasi
ke pelayanan
kesehatan terd
ekat

Intervensi : Terapi
Intoleransi aktivitas b.d Intoleransi aktivitas b.d
aktifitas (l05186)
kelemahan (D0056) kelemahan (D0056)

 Identifikasi
 Frekuensi nadi,
defisit tingkat
kemudahan
aktifitas
dalam
 Identifikasi
melakukan
sumber daya
aktifitas sehari-
untuk aktifitas
hari, kecepatan
yang
berjalan,
diinginkan
kekuatan tubuh
 Identifikasi
bagian atas dan
strategi
bawah
meningkatkan
meningkat
30
 Dispnea saat partisipasi 
aktifitas, dan dalam aktifitas
setelah aktifitas,  Identifikasi
perasaan lemah maksa aktifitas
menurun rutin (bekerja)
 Warna kulit, dan waktu
tekanan darah, luang
frekuensi napas  Fasilitasi
membaik fokus pada
kemampuan
bukan defisit
yang dialami
 Libatkan
keluarga
dalam
aktifitas, jika
perlu

Luaran : Tingkat infeksi Intervensi :


Diare b.d proses infeksi
menurun (L.14137) Pengontrolan infeksi
(D.0020)
(l. 14551)
 Kebersihan
tangan, badan  Identifikasi
dan nafsu makan pasien –pasien
meningkat yang
 Demam, mengalami
kemerahan, nyeri infeksi
menurun menular
 Terapkan
kewaspadaan
universal
( mis. Cuci
tangan aseptik,

31
gunakan alat
pelindung diri
spt masker,
sarung tangan)
 Tempatkan
pada ruang
isolasi untuk
pasien yang
mengalami
penurunan
imunitas
 Berikan tanda
khusus untuk
mengidentifika
si pasien
dengan
penyakit
menular

Sumber : (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017, (Tim Pokja SLKI DPP PPNI, 2019),
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018)
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi dilakukan sesuai dengan rencana tindakan keperawatan atau intervensi.
Implementasi keperawatan adalah tahap pelaksanaan rencana tindakan keperawatan
yang telah disusun oleh perawat untuk mengatasi masalah pasien. Implementasi
dilaksanakan sesuai rencana yang sudah dilakukan, teknik dilakukan dengan cermat
dan efisien pada situasi yang tepat dengan selalu memperhatikan keamanan fisik dan
psikologis. Setelah selesai implementasi, dilakukan dokumentasi yang meliputi
intervensi yang sudah dilakukan dan bagaimana respon dari pasien (Bararah & Jauhar,
2013).

32
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan adalah tahap terakhir dari proses keperawatan. Kegiatan
evaluasi ini merupakan membandingkan hasil yang telah dicapai setelah proses
implementasi keperawatan dengan tujuan yang diharapkan dalam perencanaan dan
kriteria hasil evaluasi yang telah diharapkan dapat terapai. Proses evaluasi dalam
asuhan keperawatan di dokumentasikan dalam SOAP (subjektif, objektif, assesment,
planning ) (Bararah & Jauhar, 2013).

33
Lemone,Priscilla, Medical surgical Nursing. Volume 1-3 : Critical Thinking For
Person – Centered Care . Pearson Australia. 2017

Widyanto, C., & Triwibowo, C.(2013). Trend Diases “Trend penyakit Saat Ini “.
Jakarta : CV .Trans Info Media

Brunner and Suddarth . (2018). Medical Surgical Nursing. India : Wolters Kluwer

Bimo, Haryo. (2021) . Penanganan Virus HIV. Sleman : Deepublish

Nurul, Afif,dkk (2019). Manajemen HIV/ AIDS. Surabaya : Airlangga University


Press

 Bararah, T., & Jauhar, M. (2013). Asuhan Keperawatan. (S. P. Umi Athelia
Kurniati,. Ed.) (2nd ed.). Jakarta: Prestasi Pusaka.

Nursalam & Kurniawati. (2007). Asuhan pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS.


Jakarta: Salemba Medika.

Buku SDKI, SLKI dan SIKI yaaaa….

Penulisan dapus blm sesuai aturan, Mkasih banyakkk

34
8
9

Anda mungkin juga menyukai