Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH HIV PADA ANAK

MATA KULIAH ASUHAN KEBIDANAN PADA IBU & ANAK PENDERITA HIV/AIDS
Dosen Pengampu : Dr. Ni Wayan Aryani, SST.,M.Keb

OLEH :
KELOMPOK 1
1. Ni Kadek Rinda Anindya Putri (P07124120001)
2. Putu Kartika Santhi (P07124120002)
3. Arenjelina Syintiar Saputrir Jade (P07124120003)
4. Ni Luh Pink Suryantini (P07124120004)
5. Annisa Nurul Islami (P07124120005)
6. Putu Echa Wulandari (P07124120006)
7. Ni Putu Cyntia Yustina Dewi (P07124120007)
8. Dewa Ayu Putu Pebri Valentina (P07124120008)
9. Komang Gita Widiantari (P07124120009)
10. Ni Komang Vivi Febriyanti (P07124120010)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES DENPASAR
PRODI DIPLOMA TIGA JURUSAN KEBIDANAN
TINGKAT 3 SEMESTER V
2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan Asuhan
Kebidanan Pada Ibu dan Anak HIV/AIDS. Makalah ini bertujuan untuk melengkapi tugas pada
mata pelajaran Asuhan Kebidanan Pada Ibu dan Anak HIV/AIDS. Tidak lupa juga, penulis
berterimakasih kepada :
1. Dr. Ni Wayan Aryani, SST.,M.Keb selaku Dosen Pengajar pada mata kuliah Asuhan
Kebidanan Pada Ibu dan Anak HIV/AIDS di kelas D-III Jurusan Kebidanan
Poltekkes Kemenkes Denpasar yang telah membimbing penulis dalam
menyelesaikan makalah ini.
2. Teman-teman yang telah membantu dan memberi dorongan dalam penyusunan
makalah ini
3. Sumber-sumber lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa tugas makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran yang sifatnya membangun sangatlah penulis butuhkan untuk perbaikan dalam
pembuatan makalah ini. Semoga tugas makalah ini bermanfaat bagi semua yang membaca. Akhir
kata penulis mengucapkan terimakasih.

Denpasar, 2 September 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................... i


DAFTAR ISI........................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A Latar Belakang ....................................................................................................... 1
B Rumusan Masalah .................................................................................................. 4
C Tujuan Penulisan .................................................................................................... 4
D Manfaat .................................................................................................................. 4
BAB II PEMBAHASAN
A Diagnosis HIV/AIDS Pada Anak .......................................................................... 6
B Tatalaksana Pemberian ARV Pada Anak <10 Tahun .......................................... 8
C Tatalaksana Infeksi Opportunitis Pada Anak ....................................................... 14
BAB III PENUTUP
A Kesimpulan ............................................................................................................. 19
B Saran ........................................................................................................................ 19
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 20

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
HIV (Human Immununodeficiency Virus) yaitu yang merusak system kekebalan
tubuh manusia. AIDS (Aquired Immunodeficiency Syndrome) yaitu kumpulan gejala dan
tanda penyakit akibat ketidak mampuan system pertahanan tubuh yang diperoleh atau
didapat. HIV dalam tubuh manusia hanya berada di sel darah putih tertentu yaitu sel tempat
yang terdapat pada cairan tubuh. HIV juga dapat ditemukan dalam jumlah kecil pada air
mata, air liur, cairan otak, keringat, air susu ibu (Kemenkes, 2012). HIV/AIDS
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan perhatian serius. AIDS
dinyatakan sebagai penyakit mematikan karena memiliki Case Fatality Rate (CFR) 100%
dalam 5 tahun artinya dalam kurun waktu 5 tahun setelah penderita dinyatakan menderita
AIDS rata rata akan meninggal dunia. World Health Organization menyebutkan
bahwa pada tahun 2015 terdapat 2,1 juta orang terinfeksi HIV baru dan 1,1 juta orang
meninggal akibat AIDS diseluruh dunia. Kasus HIV/AIDS di Asia Pasifik pada tahun
2015 terdapat 300.000 orang ter-infeksi HIV baru dan 180.000 orang meninggal akibat
AIDS. Kementerian Kesehatan telah mengupayakan pencegahan penularan HIV/AIDS
dari ibu ke anak sesuai rekomendasi WHO (2009) dengan menerbitkan
Pedoman Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak tahun 2012. PPIA merupakan salah
satu upaya untuk mengendalikan HIV/AIDS dan Infeksi Menular Seksual (IMS) di
Indonesia dan merupakan bagian dari program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA).
Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia mempunyai tujuan yaitu seperti
yang tertera dalam MDGs yaitu menangani berbagai penyakit menular paling berbahaya.
Pada urutan teratas adalah Human Immunodeficiency Virus (HIV), yaitu virus penyebab
Acquired Immuno Deficiency Syndrom (AIDS), terutama karena penyakit ini
dapat membawa dampak yang menghancurkan, bukan hanya terhadap kesehatan
masyarakat namun juga terhadap Negara secara keseluruhan. Setiap orang yang tertular
HIV akan berpeluang besar mengalami sakit dan berakhir dengan kematian akibat
infeksi oportunistik atau keganasan sebagai manifestasi AIDS (Kemenkes, 2012).
Penularan HIV dari seorang ibu ke anak terjadi karena wanita penderita HIV sebagian
besar masih berusia subur, sehingga terdapat risiko penularan infeksi yang terjadi
1
pada saat kehamilan. Penularan HIV melalui hubungan seksual baik heteroseksual
maupun homoseksual merupakan penularan yang sering terjadi.
Risiko terbesar penularan HIV dari ibu ke anak terjadi pada saat persalinan,
karena tekanan pada plasenta meningkat sehingga bisa menyebabkan terjadinya
hubungan antara darah ibu dan darah bayi. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko
penularan HIV dari ibu ke anak selama persalinan adalah sebagai berikut. Estimasi penduduk
dunia yang menderita HIV/AIDS pada tahun 2008 menurut United Nation
Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) adalah sekitar 33,4 juta orang, dengan angka
kematian sekitar dua juta orang. Benua Afrika adalah benua dengan penderita
HIV/AIDS terbanyak (sekitar lima juta kasus). Asia menunjukkan prevalensi kasus yang
tinggi dimana pada tahun 2009 India merupakan Negara dengan kasus HIV/AIDS
terbanyak, dan di Asia Tenggara kasus HIV/AIDS terbanyak ditemui di Thailand di
ikuti Myanmar, Indonesia, dan Nepal (Sari, 2011).
Di Indonesia, jumlah penduduk yang hidup dengan virus HIV diperkirakan antara
172.000 dan 219.000, sebagian besar adalah laki-laki. Jumlah itu merupakan 0,1% dari
jumlah penduduk. Jumlah kasus HIV/AIDS dari tahun ke tahun di seluruh bagian dunia terus
meningkat meskipun berbagai upaya preventif terus dilaksanakan (Kemenkes, 2012).
Proyeksi Kementrian Kesehatan Indonesia menunjukkan bahwa tanpa percepatan program
penanggulangan HIV, lebih dari setengah juta orang di Indonesia akan positif HIV pada
tahun 2014. Epidemic tersebut dipicu terutama oleh penularan seksual dan penggunaan
narkoba suntik. Menurut (UNICEF 2012) Indonesia terdapat satu orang baru terinfeksi HIV.
Satu dari setiap lima orang yang terinfeksi di bawah usia 25 tahun (Sari, 2011).
Penyakit Human Immunodefiiency Virus (HIV) dan Acquired Immunodefiiency
Syndrome (AIDS) hingga saat ini masih menjadi permasalahan kesehatan dunia karena
belum ditemukan teknologi pengobatan yang dapat menyembuhkannya (Girum, Wasie dan
Worku, 2018). Virus HIV dapat ditularkan dari ibu yang terinfeksi HIV kepada anaknya
selama kehamilan, saat persalinan dan saat menyusui (Safitri dan Anggarini,
2016). Laporan United Nations Programme on HIV and AIDS (UNAIDS)2018
melaporkan sebanyak 36,9 juta orang hidup dengan HIV, dimana 13 juta wanita ibu
rumah tangga dan mengalami kehamilan dan persalinan menderita HIV dan sebanyak 180
ribu anak (0-14 tahun) terinfeksi virus HIV dengan tren yang mengalami penurunan
2
35% dari 270 ribu menjadi 180 ribu kejadian HIV pada anak dengan adanya upaya
pencegahan penularan transimi dari ibu ke anak. (UNAIDS, 2018).
Jumlah kumulatif infeksi HIV di Indonesia tahun 2018 sebanyak 301.933 jiwa
(47%dari estimasi ODHA jumlah orang dengan HIV dan AIDS sebanyak 640.443 jiwa).
Jumlah ibu bersalin yang menderita HIV sebanyak 3.020 kasus dengan risiko
penularan kasus sebesar 3,2% pada bayi baru lahir (Putri Yuriati, 2016). Penularan
HIV/AIDS dapat terjadi selama kehamilan, persalinan, dan menyusui. Tanpa
pengobatan yang tepat dan dini, setengah dari orang yang terinfeksi HIV meninggal
sebelum ulang tahun kedua mereka. Pencegahan penularan dari ibu ke anak (PPIA)
adalah cara yang sangat efektif untuk mencegah infeksi tersebut.(Dave et al., 2019)
Hingga saat ini diketahui Provinsi Bali masuk dalam ranking 10 besar provinsi yang
memiliki jumlah total penderita HIV/AIDS terbanyak di Indonesia. Perkembangan
HIV/AIDS dan Penyakit Infeksi Menular Seksual (PIMS) yang dilaporkan oleh Kemenkes
RI, yaitu Ditjen P2P pada 29 Mei tahun 2020 lalu, terdapat jumlah total penderita HIV/AIDS
yang tercatat mulai dari tahun 1987 sampai pada trimester pertama tahun 2020 di Provinsi
Bali sebanyak 30.340 penderita. Kasus yang terdata terdiri dari 22.000 penderita HIV dan
8.340 penderita AIDS. Secara nasional, jumlah total angka kejadian HIV/AIDS tersebut
membuat Bali berada di posisi ranking ke-5 tertinggi jumlah penderita HIV/AIDS. Peringkat
nasional Bali dari segi jumlah penderita HIV/AIDS mengalami penurunan menjadi ranking
ke-6 pada trimester pertama tahun 2021. Akan tetapi, pada trimester tersebut ternyata tidak di
semua Kabupaten/Kota wilayah lain melaporkan datanya. Salah satu yang tidak dilaporkan
contohnya yaitu data penderita HIV/AIDS di seluruh kabupaten/kota di Papua. Selain itu,
pendataan kasus selama pandemi juga tidak optimal dalam pelaksanaannya. Upaya
pencegahan perlu dilakukan sejak dini pada saat mengalami kehamilan dan pasca
persalinan dalam mencegah terjadinya penularan HIV pada bayi dengan meningkatkan
pengetahuan melalui informasi atau media dipendididikan kesehatan seperti media
lembar balik yang tergolong dalam media visual lembar balik adalah kumpulan
ringkasan, konsep, skema, gambar, tabel yang digantung padasuatu tiang gantungan
kecil dengan cara yang dibuka secara berurutan berdasarkan topik materi pembelajaran,
berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk membuat makalah tentang HIV/AIDS pada
anak.
3
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka rumusan masalah yang
didapat diantaranya sebagai berikut.
1. Bagaimana diagnosis HIV/AIDS pada anak?
2. Bagaimana tatalaksana pemberian ARV pada anak usia < 10 tahun ?
3. Bagaimana tatalaksana infeksi opportunitis pada anak ?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini dibagi menjadi 2 yaitu tujuan umum dan
tujuan khusus, yaitu:
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah untuk memperoleh pengetahuan terkait
gambaran umum mengenai HIV/AIDS pada anak.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari pembuatan makalah ini meliputi :
a. Untuk memahami diagnosis HIV/AIDS pada anak
b. Untuk mengetahui tatalaksana pemberian ARV pada anak usia < 10 tahun
c. Untuk memahami tatalaksana infeksi opportunitis pada anak

D. Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
a. Bagi Pembaca
Manfaat dari penulisan makalah ini bagi pembaca adalah pembaca mendapat referensi-
referensi pembacaan mengenai HIV/AIDS pada anak.
b. Bagi Penulis/Mahasiswa
Manfaat dari penulisan ini bagi penulis maupun mahasiswa itu sendiri adalah dapat
menambah ilmu serta dapat menerapkan teori-teori yang telah dipelajari selama
perkuliahan.

4
c. Bagi Poltekkes Denpasar
Hasil dari penulisan makalah ini dapat menambah karya-karya tulis untuk melengkapi
kepustakaan akademi, sehingga dapat digunakan untuk menambah pengetahuan bagi
mahasiswa yang ingin melakukan kajian ulang terhadap ilmu yang sama.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Diagnosis HIV/AIDS pada Anak dan Bayi tertular HIV


a. Prinsip diagnosis infeksi HIV pada bayi dan anak
a) Uji Virologis
1) Uji virologis digunakan untuk menegakkan diagnosis klinik (biasanya setelah
umur 6 minggu), dan harus memiliki sensitivitas minimal 98% dan spesifisitas
98% dengan cara yang sama seperti uji serologis.
2) Uji virologis direkomendasikan untuk mendiagnosis anak berumur < 18 bulan.
3) Uji virologis yang dianjurkan: HIV DNA kualitatif menggunakan darah plasma
EDTA atau Dried Blood Spot (DBS), bila tidak tersedia HIV DNA dapat
digunakan HIV RNA kuantitatif (viral load, VL) mengunakan plasma EDTA.
4) Bayi yang diketahui terpajan HIV sejak lahir dianjurkan untuk diperiksa dengan uji
virologis pada umur 4 – 6 minggu atau waktu tercepat yang mampu laksana
sesudahnya. 2 Pedoman Penerapan Terapi HIV Pada Anak
5) Pada kasus bayi dengan pemeriksaan virologis pertama hasilnya positif maka
terapi ARV harus segera dimulai; pada saat yang sama dilakukan pengambilan
sampel darah kedua untuk pemeriksaan uji virologis kedua.
6) Hasil pemeriksaan virologis harus segera diberikan pada tempat pelayanan,
maksimal 4 minggu sejak sampel darah diambil. Hasil positif harus segera diikuti
dengan inisiasi ARV.
b) Uji Serologis
1) Uji serologis yang digunakan harus memenuhi sensitivitas minimal 99% dan
spesifisitas minimal 98% dengan pengawasan kualitas prosedur dan standardisasi
kondisi laboratorium dengan strategi seperti pada pemeriksaan serologis dewasa.
Umur 18 bulan – digunakan sebagai uji diagnostik konfirmasi
2) Anak umur < 18 bulan terpajan HIV yang tampak sehat dan belum dilakukan uji
virologis, dianjurkan untuk dilakukan uji serologis pada umur 9 bulan. Bila hasil
uji tersebut positif harus segera diikuti dengan pemeriksaan uji virologis untuk
mengidentifikasi kasus yang memerlukan terapi ARV. Jika uji serologis positif dan
6
uji virologis belum tersedia, perlu dilakukan pemantauan klinis ketat dan uji
serologis ulang pada usia 18 bulan.
3) Anak umur < 18 bulan dengan gejala dan tanda diduga disebabkan oleh infeksi
HIV harus menjalani uji serologis dan jika positif diikuti dengan uji virologis.
4) Pada anak umur< 18 bulan yang sakit dan diduga disebabkan oleh infeksi HIV
tetapi uji virologis tidak dapat dilakukan, diagnosis ditegakkan menggunakan
diagnosis presumtif.
5) Pada anak umur < 18 bulan yang masih mendapat ASI, prosedur diagnostik
dilakukan tanpa perlu menghentikan pemberian ASI.
6) Anak yang berumur > 18 bulan menjalani tes HIV sebagaimana yang dilakukan
pada orang dewasa.
b. Diagnosis presumtif HIV pada anak< 18 bulan
Bila ada anak berumur < 18 bulan dan dipikirkan terinfeksi HIV, tetapi perangkat
laboratorium untuk PCR HIV tidak tersedia, tenaga kesehatan diharapkan mampu
menegakkan diagnosis dengan cara DIAGNOSIS PRESUMTIF :
Bila ada 1 kriteria berikut:
1. PCP
2. meningitis kriptokokus
3. kandidiasis esophagus
4. Toksoplasmosis
5. Malnutrisi berat yang tidak membaik dengan pengobatan standard
Atau Minimal ada 2 gejala berikut:
1. Oral thrush
2. Pneumonia berat
3. Sepsis berat
4. Kematian ibu yang berkaitan dengan HIV atau penyakit HIV yang lanjut pada ibu
5. CD4+ <20%
c. Diagnosis HIV pada anak > 18 bulan
Diagnosis pada anak > 18 bulan memakai cara yang sama dengan uji HIV pada
orang dewasa. Perhatian khusus untuk anak yang masih mendapat ASI pada saat tes
dilakukan, uji HIV baru dapat diinterpretasi dengan baik bila ASI sudah dihentikan
7
selama > 6 minggu. Pada umur > 18 bulan ASI bukan lagi sumber nutrisi utama. Oleh
karena itu cukup aman bila ibu diminta untuk menghentikan ASI sebelum dilakukan
diagnosis HIV.

B. Tatalaksana Pemberian ARV pada Anak < 10 Tahun


a. Indikasi memulai ARV pada anak <10 Tahun
Progresivitas infeksi HIV paling cepat berkembang pada kelompok bayi berusia
<1 tahun. Bayi yang terinfeksi HIV perinatal sebagian besar akan meninggal sebelum
berusia 2 tahun. Pada periode tersebut, progresivitas infeksi HIV berbanding terbalik
dengan usia. Risiko mortalitas dan progresivitas infeksi HIV mulai menurun menjadi
sama dengan dewasa pada anak berusia di atas 5 tahun. Uji klinis acak di Afrika Selatan
(CHER trial) terhadap 377 bayi terinfeksi HIV asimtomatik yang berusia 6-12 minggu
mendapatkan penurunan mortalitas sebesar 75% pada kelompok inisiasi ARV dini
dibandingkan dengan kelompok inisiasi ARV setelah memenuhi kriteria klinis maupun
imunologis. Sebagian besar kematian pada kelompok yang tidak diterapi dini terjadi
pada 6 bulan pertama studi. Studi lanjutan dari uji klinis acak tersebut menemukan
perkembangan motorik kasar pada kelompok bayi yang diterapi dini lebih baik
dibandingkan dengan kelompok yang tidak diterapi dini. Bayi yang diterapi dini juga
mendapatkan manfaat lain berupa restorasi sel CD4 yang lebih baik, penambahan jumlah
sel CD4 muda, dan penurunan respons imunitas alami, sehingga memiliki rekonstitusi
imun yang lebih baik bila dibandingkan dengan yang tidak diterapi dini.
Supresi jumlah virus HlV terjadi lebih lambat pada anak dibandingkan dengan
dewasa. Beberapa studi yang membandingkan bayi terinfeksi HIV yang memulai terapi
ARV sebelum usia 12 minggu dengan yang memulai terapi ARV saat berusia 12 minggu
sampai usia 1-2 tahun menemukan bahwa jumlah reservoir HIV berkorelasi dengan usia
inisiasi ARV dan usia saat tercapai kontrol virologis. Bukti-bukti tersebut mendukung
inisiasi terapi dini ARV pada bayi terinfeksi HIV tanpa melihat manifestasi klinis dan
status imunologis.
Inisiasi dini terapi ARV pada kelompok anak yang lebih besar memiliki beberapa
pertimbangan yang berbeda dibandingkan dengan kelompok bayi. Studi klinis tentang
inisiasi terapi ARV dini pada anak berusia 1-12 tahun dilakukan terhadap 300 anak di
8
Kamboja dan Thailand. Studi tersebut menyimpulkan tidak terdapat perbedaan
signifikan berupa kesintasan bebas AIDS pada minggu ke 144 dan luaran perkembangan
neurologi pada kelompok yang mendapat terapi ARV dini maupun tidak. Perbedaan
bermakna pada kedua kelompok tersebut didapatkan pada luaran peningkatan laju
pertumbuhan (height velocity) pada kelompok yang mendapatkan terapi ARV dini. Studi
ini memiliki beberapa bias, salah satunya bias seleksi. Subjek yang masuk dalam studi
memiliki median usia 6,4 tahun yang menandakan banyaknya subjek dengan
progresivitas infeksi HIV yang rendah. Studi ini juga hanya memiliki sedikit subjek yang
berusia < 3 tahun, sehingga hasilnya tidak dapat serta merta diterapkan pada kelompok
usia tersebut.
Studi observasional terhadap 19 kohort di Eropa dan Afrika menunjukkan angka
mortalitas yang lebih rendah dan pertumbuhan yang lebih baik pada kelompok anak
terinfeksi HIV berusia 1-16 tahun yang mendapat terapi ARV dini. Anak terinfeksi HIV
yang mulai mendapatkan terapi ARV dini saat berusia <10 tahun menunjukkan angka
mortalitas dan rerata Z-score tinggi badan menurut usia yang lebih baik pada
pengamatan tahun kelima. Luaran terbaik didapatkan pada anak terinfeksi HIV di Eropa
yang memulai terapi ARV dini. Anak-anak tersebut memiliki luaran pertumbuhan yang
sama dengan anak sehat. Hasil yang berbeda didapatkan pada kelompok anak berusia
>10 tahun, yaitu inisiasi ARV dini tidak memberikan manfaat maupun kerugian yang
berbeda.
Terapi ARV harus diberikan pada seluruh anak terinfeksi HIV tanpa melihat
stadium klinis dan status imunosupresi:
a) Anak terinfeksi HIV yang didiagnosis sebelum usia 1 tahun (sangat
direkomendasikan, kualitas bukti tinggi).
b) Anak terinfeksi HIV berusia lebih dari 1 tahun sampai dengan kurang dari 10 tahun
(sangat direkomendasikan, kualitas bukti sedang).
b. Paduan Terapi ARV Lini Pertama
1) Paduan terapi ARV lini pertama pada anak berusia 3-10
Rekomendasi Untuk anak terinfeksi HIV berusia 3-10 tahun, pilihan paduan kelompok
NRTI harus merupakan salah satu dari berikut: (rekomendasi sesuai kondisi, kualitas
bukti sedang).
9
 AZT atau TDF+3TC (atau FTC)
 ABC+3TC
Untuk anak terinfeksi HIV berusia >3 tahun, paduan kelompok NNRTI terpilih adalah
EFV dengan alternatif NVP (sangat direkomendasikan, kualitas bukti lemah). Paduan
terapi ARV lini pertama pada anak berusia 3-10 tahun :
Paduan pilihan : AZT+3TC+EFV
Paduan alternative : ABC+3TC+NVP ABC+3TC+EFV AZT+3TC+NVP TDF+3TC
(atau FTC)+EFV TDF+3TC (atau FTC)+NVP
2) Paduan terapi ARV lini pertama pada anak berusia kurang dari 3 tahun
 Paduan terapi ARV pada anak berusia <3 tahun terdiri atas 2 obat kelompok NRTI
dan 1 obat kelompok PI, sedangkan paduan alternatif terdiri atas 2 obat kelompok
NRTI dan 1 obat kelompok NNRTI (sangat direkomendasikan, kekuatan bukti
sedang).
 Pilihan paduan kelompok NRTI adalah ABC atau AZT dikombinasikan dengan
3TC (sangat direkomendasikan, kekuatan bukti sedang).
 Paduan berbasis LPV/r harus digunakan sebagai pilihan lini pertama ARV pada
anak berusia <3 tahun, tanpa melihat riwayat pajanan terhadap kelompok NNRTI
sebelumnya. Bila LPV/r tidak tersedia, terapi harus diinisiasi dengan paduan
berbasis NVP (sangat direkomendasikan, kekuatan bukti sedang).
 Apabila tersedia pemantauan viral load, dapat dipertimbangkan perubahan paduan
LPV/r menjadi EFV setelah usia >3 tahun, dengan syarat tercapai supresi virus
persisten (rekomendasi sesuai kondisi, kualitas bukti sedang).
 Paduan terapi ARV lini pertama pada anak berusia <3 tahun
a. Paduan pilihan (ABC atau AZT)+3TC+LPV/r
b. Paduan alternatif (ABC atau AZT)+3TC+NVP
c. Paduan Terapi ARV Lini Kedua
Dari seluruh anak terinfeksi HIV yang mendapatkan terapi ARV diperkirakan
sekitar 20% akan mengalami kegagalan virologis menggunakan paduan terapi ARV lini
pertama. Pemilihan paduan terapi ARV lini kedua untuk anak terinfeksi HIV cukup sulit,
mengingat keterbatasan formulasiARV yang tersedia dan kurangnya pengalaman

10
terutama di negara dengan sumber daya terbatas. Telaah sistematis bertujuan untuk
mengetahui luaran paduan terapi ARV lini kedua dan ketiga mendapatkan 13 studi kohort
dan 7 studi single arm. Telaah sistematis tersebut menyimpulkan seluruh paduan ARV
lini kedua dan ketiga cukup efektif dan dapat ditoleransi dengan baik, namun sulit untuk
menyimpulkan preferensi paduan terapi ARV lini kedua dan ketiga pada anak karena
kurangnya data pembanding. Untuk anak terinfeksi HIV yang mengalami kegagalan
menggunakan paduan terapi ARV berbasis PI, paduanintegrase strand transfer inhibitor
(INSTI) memiliki keunggulan dibandingkan dengan paduan NNRTI.
Raltegravir dapat diberikan sejak usia 4 minggu dan memiliki formula dengan
palatabilitas yang baik, namun paduan tersebut belum tersedia di Indonesia. Hal tersebut
membuat dan pemilihan EFV sebagai paduan terapi ARV lini kedua disertai konseling
untuk meningkatkan kepatuhan pengobatan, lebih diutamakan. Data tidak langsung dari
uji klinis acak yang dilakukan pada anak yang lebih besar menyimpulkan paduan NNRTI
aman digunakan sebagai paduan terapi ARV lini kedua, namun keamanan
penggunaannya pada anak yang lebih muda maupun bayi masih terbatas. Penggantian
lebih cepat menjadi paduan berbasis NVP pada anak berusia <3 tahun yang mengalami
kegagalan terapi dengan paduan berbasis PI, dapat dipertimbangkan apabila terjadi
perburukan klinis. Anak yang mengalami kegagalan terapi dengan paduan berbasis
NNRTI direkomendasikan untuk menggunakan paduan berbasis PI sebagai pilihan
paduan terapi lini kedua, karena ketersediaannya lebih luas dan biayanya lebih rendah.
Paduan PI yang direkomendasikan adalah LPV/r.Penggunaan paduan NRTI harus
dinilai apabila terjadi kegagalan terapi untuk mengoptimalisasi terapi serta
memaksimalkan aktivitas antivirus. Apabila paduan dengan analog timidin (AZT)
digunakan sebagai paduan terapi lini pertama maka harus diganti dengan ABC atau TDF
pada paduan terapi lini kedua, begitu pula sebaliknya. Apabilapaduan dengan analog non-
timidin (ABC atau TDF) digunakan sebagai paduan terapi lini pertama maka harus
diganti dengan AZT pada paduan terapi lini kedua. Seperti pada orang dewasa,
penggunaan 3TC atau FTC tetap dipertimbangkan untuk dilanjutkan meskipun terdapat
resistensi karena berkontribusi terhadap aktivitas paduan ARV secara parsial.

11
d. Paduan Terapi ARV Lini Ketiga
Paduan ARV lini ketiga harus menggunakan obat dengan risiko resistensi silang dengan
paduan yang digunakan sebelumnya, seperti INSTI, NNRTI generasi kedua dan PI.
(rekomendasi sesuai kondisi, kualitas bukti rendah).Pasien yang gagal terapi lini kedua,
namun tidak mempunyai pilihan obat ARV lini ketiga, tetap melanjutkan paduan obat
yang dapat ditoleransi sebelumnya (rekomendasi sesuai kondisi, kualitas bukti sangat
rendah). Adapun paduan terapi ARV lini ketiga anak (0-10 tahun) :
 2 NRTI+LPV/r
 2NRTI+EFV
 2 NRTI+EFV(atau NVP)
 2 NRTI+LPV/r
e. Pemantauan setelah pemberian terapi ARV
1. Pemantauan terhadap efek samping ARV dan substitusi ARV
Pendekatan gejala dilakukan untuk mengarahkan pemeriksaan laboratorium yang
akan dilakukan untuk pemantauan toksisitas dan keamanan ARV. Beberapa
pemeriksaan laboratorium disarankan untuk dilakukan pada orang-orang dengan
risiko tinggi terhadap obat tertentu.
2. Pemantauan respons terapi dan penentuan kegagalan terapi ARV
a) Pemantauan viral load Pemeriksaan viral load dapat digunakan untuk mendeteksi
lebih dini dan akurat kegagalan pengobatan dibandingkan dengan pemantauan
menggunakan kriteria imunologis dan klinis. Selain itu, pemeriksaan viral load
juga dapat digunakan sebagai informasi dalam memutuskan penggantian paduan
dari lini pertama menjadi lini kedua dan seterusnya sehingga keluaran klinis dapat
lebih baik. Pemeriksaan viral load dilakukan dengan 2 strategi, yang pertama
pemeriksaan rutin dan pemeriksaan terbatas. Pada strategi pemeriksaan viral load
rutin, pemeriksaan dilakukan pada 6 bulan setelah memulai pengobatan,
kemudian 12 bulan setelah pengobatan, dan selanjutnya setiap 12 bulan. Pada
kondisi pemeriksaan viral load terbatas atau targeted viral load, maka strategi
yang digunakan adalah pemeriksaan viral load dilakukan ketika terdapat
kecurigaan kegagalan pengobatan ARV berdasarkan kriteria klinis dan
imunologis.
12
b) Pemantauan CD4
Pemeriksaan jumlah CD4 merupakan indikator fungsi imunitas karena
menggambarkan progresivitas penyakit dan harapan hidup pada ODHA.
Pemeriksaan ini juga digunakan untuk menilai respons imunologis terhadap ARV
dan menentukan indikasi pemberian dan penghentian profilaksis infeksi
oportunistik. Pada ODHA yang jumlah virus pada beberapa kali pemeriksaan
sudah tidak terdeteksi dan jumlah CD4 sudah meningkat di atas 200 sel/μL,
pemeriksaan CD4 rutin tidak diperlukan lagi dan dapat menghemat biaya
pemeriksaan. Pada kondisi jumlah virus sudah tidak terdeteksi namun jumlah
CD4 menurun juga tidak membuat klinisi harus mengganti paduan pengobatan.
Telaah sistematik - 66 - terhadap beberapa studi di berbagai negara menunjukkan
bahwa penurunan CD4 kurang dari 200 sel/μL pada anak dan dewasa yang jumlah
virus sudah tidak terdeteksi jarang terjadi. Jika terjadi penurunan jumlah CD4
umumnya hanya sementara dan disebabkan oleh faktor lain seperti penggunaan
obat imunosupresan. Selain itu, risiko pneumonia Pneumocystis jirovecii sangat
rendah pada ODHA yang virus sudah tidak terdeteksi dengan terapi ARV walau
jumlah CD4 antara 100 dan 200 sel/μL.
c) Penentuan kegagalan terapi
Kegagalan terapi dapat dilihat dari berbagai kriteria, yaitu kriteria virologis,
imunologis, dan klinis. Kriteria terbaik adalah kriteria virologist. Namun bila
tidak dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium maka digunakan kriteria
imunologis. Sebaiknya tidak menunggu kriteria klinis terpenuhi agar dapat
mengganti ke lini selanjutnya lebih awal. Pasien harus menggunakan ARV
minimal 6 bulan sebelum dinyatakan gagal terapi dalam keadaan keadaan
kepatuhan yang baik. Jika kepatuhannya tidak baik atau berhenti minum obat,
penilaian kegagalan dilakukan setelah minum obat kembali secara teratur minimal
3-6 bulan.

13
C. Tatalaksana Infeksi Opportunitis Pada Anak
a. Pengobatan Profilaksis Infeksi Opportunitis Pada Anak
1) Profilaksis kotrimoksazol
Sebagaimana diketahui bahwa pasien dengan infeksi HIV mudah sekali terkena
infeksi oportunistik. Berdasarkan rekomendasi WHO dan ISTC semua pasien HIV
yang telah terdiagnosis TB sebagai salah satu infeksi oportunistik harus diberikan
kotrimoksazol sebagai pencegahan infeksi lain tanpa menilai jumlah CD4 atau
berapapun nilai CD4, diberikan dengan dosis 1 kali 960 mg per hari selama
mendapat terapi OAT. Apabila pengobatan OAT selesai dan nilai CD4 >200 sel/μL,
maka pemberian kotrimoksazol dapat dihentikan, tetapi apabila CD4 < 200 sel/μL,
maka kotrimoksazol dapat diteruskan dengan dosis yang sama.
Kotrimokzasol merupakan preparat kombinasi tetap dua obat yaitu
trimethropim dan sulfametokzasol yang memiliki aktivitas antimikroba berspektrum
luas terhadap bakteri, jamur, dan protozoa. Tujuan utama pemberian profilasis
kotrimoksazol pada anak terinfeksi HIV adalah untuk mencegah infeksi oportunistik
yang disebabkan oleh Pneumocystis jirovecii dan Toxoplasma gondii. Pemberian
profilaksis kotrimoksazol pada anak dan dewasa terinfeksi HIV mulai
direkomendasikan oleh WHO sejak tahun 2010 setelah dipublikasikannya dua
penelitian efektivitas profilaksis kotrimoksazol pada ODHA di Afrika Barat.
Penelitian observasional pada 112 bayi lahir dari ibu terinfeksi HIV di Amerika
Serikat menyimpulkan profilaksis kotrimokzasol efektif menurunkan angka kejadian
PCP dan angka mortalitas [RR 2,57 (IK 95% 1,1-6,1)]. Telaah sistematik penggunan
profilaksis kotrimoksazol terhadap 541 anak terinfeksi HIV berusia 12 bulan–5 tahun
mendapatkan angka mortalitas yang lebih rendah pada kelompok kotrimoksazol
(28%) dibandingkan kelompok plasebo (42%) (p6 bulan. Profilaksis kotrimoksazol
dihentikan setelah tercapai persentase CD4 ≥20% untuk subjek berusia >6 tahun dan
≥25% untuk subjek berusia 2-6 tahun. Kasus PCP pada anak tidak didapatkan setelah
2,5 tahun profilaksis kotrimoksazol dihentikan. Studi tersebut memberikan bukti
yang serupa dengan studi pada ODHA dewasa bahwa risiko terjadinya PCP sangat
kecil terjadi pada anak terinfeksi HIV yang sudah mengalami rekonstitusi imunitas.

14
2) Pengobatan pencegahan dengan INH (PP INH)
Pengobatan profilaksis INH pada anak Isoniazid (INH) merupakan regimen
terpilih yang efektif untuk mencegah penyakit tuberkulosis pada individu yang belum
pernah terinfeksi TB. Beberapa studi pada dewasa menyebutkan keuntungan
pemberian INH pada ODHA baik yang belum mendapat terapi ARV maupun yang
sudah dalam terapi ARV. Isoniazid dapat mencegah progresivitas TB laten menjadi
TB aktif. Penggunaan INH sebagai pencegahan TB pada anak direkomendasikan oleh
WHO untuk anak terinfeksi HIV dengan gejala sugestif TB (gagal tumbuh, demam
atau batuk lama, riwayat kontak TB) yang setelah dilakukan evaluasi tidak didapatkan
TB aktif. Pemberian tersebut diharapkan dapat mencegah progresivitas TB laten dan
pada akhirnya menurunkan mortalitas dan morbiditas. Algoritme skrining TB dan
pencegahan dengan isoniazid pada anak terinfeksi HIV. Telaah sistematik terhadap 3
studi dengan 991 subjek anak terinfeksi HIV mendapatkan bahwa profilaksis INH
memberikan manfaat pada anak yang belum mendapat terapi ARV. Profilaksis INH
dapat menurunkan risiko progresivitas TB laten menjadi TB aktif dan menurunkan
angka mortalitas, namun keuntungan tersebut tidak didapatkan pada anak yang sudah
dalam terapi ARV

b. Tatalaksana Pengobatan Infeksi Opportunitis Pada Anak


Infeksi Oportunistik Penatalaksanaan Pengobatan
Mycobacterium avium complex  Terapi minimal dengan 2 obat :
(MAC) klaritromisin 7,5- 15 mg/kgBB, 2x/ hari
(maksimum 500 mg/dosis), ditambah
etambutol 15-25 mg/kgBB, 1x/hari
(maksimum 1 g/ dosis)
 Dipertimbangkan menambah obat
ketiga, seperti amikasin atau
siprofloksasin untuk kasus berat
 Lama pengobatan: minimal 12 bulan

15
Kandidiasis  Kandidiasis oral: nistatin 400.000-
600.000 unit, 5x/ hari, selama 7 hari.
 Bila tidak ada respon dalam 7 hari
berikan flukonazol oral 3-6 mg/kgBB,
1x/hari, selama 14 hari
 Kandidiasis esofagus: flukonazol oral
3-6 mg/kgBB, 1x/hari, selama 14-21
hari
Kriptokokosis  Terapi induksi: amfoterisin B (0,7- 1,5
mg/kg/hari) ditambah flusitosin (25
mg/kgBB/dosis, 4x/hari) selama 2
minggu
 Terapi konsolidasi: flukonazol 5-6 mg/
kgBB/dosis, 2x/ hari, selama 8 minggu
 Terapi pemeliharaan: flukonazol 3-6
mg/ kgBB/hari
Herpes simpleks  HSV gingivostomatitis: asiklovir oral
20 mg/kgBB/dosis, 3x/hari, atau,
asiklovir intravena 5-10 mg/kg/dosis,
3x/hari selama 7-14 hari
 HSV diseminata atau ensefalitis:
asiklovir intravena 10 mg/kg/dosis,
atau 500 mg/ m2/dosis, 3x/hari selama
21 har
Herpes zoste  Infeksi varisela primer: asiklovir
intravena 10 mg/ kg/dosis, atau 500
mg/m2/dosis, 3x/hari selama 7 hari
pada anak imunosupresi sedang sampai
berat. Formulasi oral hanya digunakan
pada imunosupresi ringan

16
 Herpes zoster: asiklovir oral 20
mg/kgBB/dosis, 4x/ hari (maksimum
800 mg/dosis) selama 7 hari
Infeksi CMV  Gansiklovir intravena 5
mg/kgBB/dosis, 2x/ hari selama 14-21
hari diikuti, dengan terapi pemeliharaan
seumur hidup. Bila tidak tersedia
Gansiklovir, pemberian ARV segera
dimulai
Kriptosporidiosis  ARV yang efektif merupakan
satusatunya terapi yang mengontrol
kriptosporidiosis persisten
 Terapi suportif meliputi hidrasi, koreksi
abnormalitas elektrolit dan
suplementasi nutrisi. Nitazoxanid
disetujui untuk terapi (usia 1-3 tahun:
100 mg, 2x/ hari ; usia 4-6 tahun: 200
mg, 2x/hari)
 Beri pilihan paromomycin

c. Asuhan kebidanan sesuai dengan gejala infeksi opportunistik dan efek samping.
a) Perawatan Umum
1. Pemeriksaan fisik dan gigi: pengobatan medis dan gigi lebih dini,
menginformasikan ke petugas kesehatan tentang status imun dan jangan melakukan
vaksinasi tanpa nasihat dari petugas kesehatan.
2. Perawaan kulit: mandi menggunakan sabun cair atau lition hanya sekali sehari,
amati jika ada kulit yang terkelupas.
3. Perawatan rambut: mencuci rambut dengan hati-hati, dan sisir rambut
menggunakan sisir, jangan memakai sikat rambut.

17
4. Kebersihan lingkungan dan keamanan: bersihkan yang tercemar cairan tubuh
dengan larutan klorin 0,5%, dekontaminasi linen yang tercemar dengan larutan
klorin 0,5% sebelum dicuci, menempatkan alat tajam bekas sekali pakai
ditempatkan pada wadah yang tertutup , tahan tusukan dan dilapisi plastic.
5. Cuci tangan: mencuci tangan dengan air mengalir dan sabun, menggunakan krim
bila ada dan menggunakan sarung tangan ketika melakukan pembersihan.
6. Nutrisi: kebersihan dapur dipertahankan, mencuci tangan sebelum dan sesudah
memegang makanan, mencuci buah dan sayur dengan bersih dan sedapat mungkin
gunakan air mengalir, mencuci alat dapur dengan sabun dan air mengalir,
memberikan diet tinggi protein, tinggi kalori serta makanan secara bervariasi.
b) Perawatan Khusus:
1. Pengawasan gangguan kesehatan secara sederhana: mencatat suhu tubuh, tekanan
darah, dan pernapasan oleh keluarga agar mudah untuk dilakukan evaluasi oleh
petugas kesehatan, mengajarkan pasien/keluarga bagaimana cara memberikan
pengobatan sementara jika batuk, demam, dan diare, bila berkelanjutan hubungi
petugas kesehatan.
2. Keadaan darurat: bila terjadi kejang, penurunan kesadaran, perdarahan yang banyak
keluarga harus segera menghubungi petugas kesehatan.
3. Perawatan infeksi opportunistik: Tubercolusis HIV dengan ARV menjadi sulit
karena beberapa obat antiretroviral berinteraksi dengan obat anti-TB dan dapat
meningkatkan anti toksitas pengobatan TB.

18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
HIV merupakan virus yang menyerang system kekebalan tubuh yang dapat
melemahkan kemampuan tubuh untuk melawan infeksi dan penyakit. Untuk menegakkan
diagonis HIV pada anak ada beberapa tes yang bias dilakukan seperti tes virologis, tes
serologis, dan diagnosis presumtif. Dalam penatalaksanaan pemberian ARV pada anak
usia <10 tahun dilakukan melalui beberapa tahapan seperti melihat indikasi memulai
ARV pada anak <10 tahun, pemberian ARV lini pertama, lini kedua sampai lini ketiga
sesuai dengan kondisi anak. Selain itu pada penatalaksanaan pengobatan infesksi
opportunitis dilakukan berdasarkan jenis infeksi opportunitis yang terjadi pada anak
sehingga pengobatan yang diterima bias lebih efektif.

B. Saran
Sebagai tenaga kesehatan harus memberikan penyuluhan terutama kepada remaja
tentang HIV/AIDS dan menghimbau agar tidak melakukan seks bebas, sehingga timbul
kesadaran individu terhadap bahaya seks bebas diluar nikah yang dapat menyebabkan
penyakit menular seksual dan akan berdampak pada anaknya kelak setelah menikah.
Selain itu seorang bidan juga harus memberikan KIE kepada seluruh ibu hamil untuk
melakukan tes triple eliminasi untuk mengetahui apakah ibu hamil tersebut mengidap
penyakit menular seksual salah satunya HIV/AID, apabila seorang ibu mengalami
HIV/AIDS tenaga kesehatan bisa lebih dini melakukan penatalaksanaan seperti
menyarankan ibu untuk melakukan pengobatan terapi ARV untuk menghindari penularan
HIV/AID ke anaknya.

19
DAFTAR PUSTAKA

Niu, F. (2022). PENULARAN HIV BAYI. Media Lembar Balik Terhadap Pengetahuan Ibu
Dalam Pencegahan Penularan HIV Pada Bayi di RSUD Jayapura. Retrieved from
https://journals.itspku.ac.id/index.php/profesi/article/view/95/74
Putri, P. M. (2022). Penyebaran HIV/AIDS Bali. Penerapan Local Wisdom dalam Kebijakan
Regulasi Pencegahan Transmisi HIV/AIDS sebagai Upaya Perlindungan bagi
Masyarakat di Provinsi Bali. Retrieved from
https://digilib.uns.ac.id/dokumen/detail/91207/Penerapan-Local-Wisdom-dalam-
Kebijakan-Regulasi-Pencegahan-Transmisi-HIVAIDS-sebagai-Upaya-Perlindungan-
bagi-Masyarakat-di-Provinsi-Bali
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Pedoman Penerapan Terapi HIV Pada Anak.
Retrieved from file:///C:/Users/ichigo/Downloads/Pedoman-Penerapan-Terapi-HIV-pada-
Anak-1.pdf
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2019. Pedoman Nasional, Pelayanan Kedokteran,
Tatalaksana HIV. Retrieved from
file:///C:/Users/ichigo/Downloads/PNPK_HIV_Kop_Garuda__1_%20(2).pdf

20

Anda mungkin juga menyukai