Anda di halaman 1dari 42

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN

“ HIV AIDS “

MATA KULIAH : KEPERAWATAN DEWASA SISTEM


ENDOKRIN,PENCERNAAN,PERKEMIHAN,DAN IMUNOLOGI

DOSEN PENGGAMPUH : Ns YANNERITH CHINTYA,


S.Kep., M.Kep

DISUSUN OLEH KELOMPOK 5 :

JOSISKA M WORIWON (2214201088)


INRI V TIELUNG (22142010)
GLORY P RAMBI (22142010)
HOSEA G TUMELENG (2214201069)

FAKULTAS KEPERAWATAN

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN INDONESIA MANADO

2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat serta hidayah kepada kita semua, sehingga berkat karunia-Nya kelompok kami dapat
menyelesaikan makalah “Asuhan Keperawatan Pada Pasien HIV AIDS”.

Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, terutama kepada
dosen pembimbing yang telah memberikan bantuan sehingga makalah ini dapat diselesaikan
tepat pada waktunya.

Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik
dan saran dari dosen pembimbing dan semua pihak yang sifatnya membangun selalu kami
harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan demi perbaikan makalah kami di masa yang
akan datang.

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang...................................................................................................................


BAB II TINJAUAN TEORI

1. Pengertian.........................................................................................................................
2. Anatomi dan fisiologi.......................................................................................................
3. Etiologi..............................................................................................................................
4. Fisika dan biokimia ..........................................................................................................
5. Tanda dan gejala...............................................................................................................
6. Patofisiologi/pathway.......................................................................................................
7. Farmakologi .....................................................................................................................
8. Pemeriksaan diagnostic ....................................................................................................
9. Penatalaksanaan ...............................................................................................................
10. Komplikasi .......................................................................................................................
11. Pendidikan kesehatan dan pencegahan primer, sekunder dan tersier ..............................
12. Peran dan fungsi perawat .................................................................................................
13. Manajemen kasus pada gangguan sistem endokrin, imunologi, pencernaan, perkemihan
dan reproduksi ..................................................................................................................
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian.........................................................................................................................
2. Diagnosa ..........................................................................................................................
3. Intervensi ..........................................................................................................................
4. Implementasi.....................................................................................................................
5. Evaluasi.............................................................................................................................
BAB IV EVIDENCE BASED PRACTICE
1. Jurnal ................................................................................................................................
2. Analisa jurnal....................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................................

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immunodeficiency
Syndrome (AIDS) merupakan salah satu penyakit mematikan di dunia yang menjadi
wabah internasional sejak pertama kehadirannya (Arriza, Dewi, Dkk, 2011). Penyakit ini
merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi virus Human
Immunodeficiency Virus (HIV) yang menyerang sistem kekebalan tubuh (Kemenkes,
2015).

Penyakit HIV dan AIDS menyebabkan penderita mengalami penurunan ketahanan


tubuh sehingga sangat mudah untuk terinfeksi berbagai macam penyakit lain (Kemenkes,
2015). Meskipun telah ada kemajuan dalam pengobatannya, namun infeksi HIV dan
AIDS masih merupan masalah kesehatan yang penting di dunia ini (Smeltzer dan Bare,
2015). Qa2qq Penyakit AIDS diartikan sebagai sekumpulan gejala yang
menunjukkankelemahan atau kerusakan daya tahan tubuh yang diakibatkan oleh faktor
luardan sebagai bentuk paling hebat dari infeksi HIV, mulai dari kelainan ringandalam
respon imun dan tanpa gejala yang nyata, hingga keadaan imunosupresiyang berkaitan
dengan berbagai infeksi yang dapat membawa kematian(Padila,2012).

Proporsi orang yang terinfeksi HIV, tetapi tidak mendapat pengobatan anti HIV dan
akhirnya akan berkembang menjadi AIDS diperkirakan mencapai lebih dari 90%. Karena
tidak adanya pengobatan anti HIV yang efektif, Case Fatality Rate dari AIDS menjadi
sangat tinggi, kebanyakan penderita di negara berkembang (80-90%) mati dalam 3
sampai 5 tahun sesudah di diagnosa terkena AIDS (Kunoloji,2012).

Perkembangan HIV/AIDS pertama kali dikenal pada tahun 1981, namun kasus
HIV/AIDS secara retrospektif telah muncul selama tahun 1970-an di Amerika Serikat
dan di beberapa bagian di dunia seperti Haiti, afrika, dan eropa. (Dinas Kesehatan, 2014).
UNAIDS (2017) menunjukkan terjadi peningkatan jumlah orang yang menderita HIV
dari 36,1 millyar di tahun 2015 menjadi 36,7 millyar di tahun 2016. Indonesia merupakan

4
salah satu negara berkembang yang memiliki tingkat prevalensi HIV/AIDS yang cukup
tinggi. Kasus HIV/AIDS pertama kali ditemukan di provinsi Bali pada tahun 1987. Kasus
HIV/AIDS telah menyebar di 407 dari 507 kabupaten/kota (80%) di seluruh provinsi di
Indonesia hingga saat ini (Ditjen P2P, 2016).

Jumlah kasus baru HIV positif yang dilaporkan dari tahun ke tahun cenderung
meningkat. Tahun 2016 jumlah kasus HIV dilaporkan sebanyak 41.250 kasus dan jumlah
kasus AIDS yang dilaporkan sedikit meningkat dibandingkan tahun 2015 yaitu sebanyak
7.491 kasus. Secara kumulatif, kasus AIDS sampai dengan tahun 2016 sebanyak 86.780
kasus (Kementerian Kesehatan RI, 2017). Persentase HIV dan AIDS di Indonesia tahun
2017 tercatat dari triwulan 1 (yaitu dari bulan januari hingga Maret) dengan jumlah
kumulatif infeksi HIV yang dilaporkan sampai dengan Maret 2017 sebanyak 242.699
orang. Dan jumlah kumulatif AIDS dari tahun 1987 sampai dengan Maret 2017 sebanyak
87.453 orang (Ditjen PP dan PL Kemenkes RI, 2017).

Salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki prevalensi HIV/AIDS yang cukup
tinggi setelah DKI Jakarta, Jawa Timur, Papua, Jawa Barat, dan Jawa Tengah adalah
provinsi Bali. Total Kasus HIV dan AIDS pada tahun 2016 di bali tercatat 2581 kasus
baik yang hidup maupun yang telah meninggal. Tahun 2017 yang tercatat hingga bulan
juni, jumlah kasus HIV dan AIDS mencapai 1291 kasus. Kabupaten/Kota di bali yang
memiliki jumlah penderita HIV dan AIDS terbanyak adalah kota Denpasar dengan
jumlah kumulatif yang tercatat dari tahun 1987 hingga bulan juli 2017 sebanyak 6764
(39,1%) total kasus HIV dan AIDS yang didominasi oleh kelompok umur (20-29) tahun
(Ditjen PP dan PL Kemenkes RI, 2017).

Infeksi HIV menular melalui cairan genitalia (sperma dan cairan vagina)penderita dan
masuk ke orang lain melalui jaringan epitel sekitar uretra, vaginadan anus akibahubungan
seks bebas tanpa kondom, heteroseksual atau homoseksual. Ibu yang menderitHIV/AIDS
sangat beresiko menularkan HIVke bayi yang dikandung jika tidak ditangani dengan
kompeten (Nursalam.2011).Menurut laporan Direktur Jendral Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit atau Ditjen P2P Kementrian Kesehatan RI tahun 2016 presentase
faktor resiko HIV tertinggi adalah hubungan seks beresiko pada heteroseksual (47%),

5
Lelaki Seks Lelaki atau LSL (25%) dan penggunaan jarum suntik tidak steril pada
penasun (3%). Sedangkan untuk presentase faktor resiko AIDS tertinggi adalah hubungan
seks beresiko pada heteroseksual (73,8%), Lelaki Suka Lelaki atau LSL (10%),
penggunaan jarum suntik tidak steril pada penasun (5,2%), dan perinatal (2,6%).

Orang yang terinfeksi HIV atau mengidap AIDS biasa disebut dengan ODHA. Orang
Dengan HIV AIDS (ODHA) beresiko mengalami Infeksi Oportunistik atau IO. Infeksi
Oportunistik adalah infeksi yang terjadi karena menurunnya kekebalan tubuh seseorang
akibat virus HIV. Infeksi ini umumnya menyerang ODHA dengan HIV stadium lanjut.
Infeksi Oportunistik yang dialami ODHA dengan HIV stadium lanjut menyebabkan
gangguan berbagai aspek kebutuhan dasar, diantaranya gangguan kebutuhan oksigenisasi,
nutrisi, cairan, kenyamanan, koping, integritas kulit dan sosial spritual. Gangguan
kebutuhan dasar ini bermanifestasi menjadi diare, nyeri kronis pada beberapa anggota
tubuh, penurunan berat badan, kelemahan, infeksi jamur, hingga distres dan depresi
(Nursalam,2011).

Penurunan imunitas membuat ODHA rentan terkena penyakit penyerta, menurut hasil
laporan Direktur jendral Pencegahan dan Pengendalian Penyakit atau Ditjen P2P tahun
2016 ada beberapa penyakit penyerta yang biasa menyertai AIDS diantaranya,
Tuberkulosis, Taksoplasmosis, Diare, Kandidiasi, Dermatitis, PCP atau pneumonia
pneumocystis, Harpes simplex, Herpes zooster, Limfadenopati generalisata persisten.

Penyakit HIV AIDS juga memunculkan berbagai masalah psikologis seperti


ketakutan, keputusasaan yang disertai dengan prasangka buruk dan diskriminasi dari
orang lain, yang kemudian dapat menimbulkan tekanan psikologis (Green Setyowati
2004 dalam Arriza, Dkk. 2013). Menurut Nursalam (2011) jika ditambah dengan stres
psikososial-spiritual yang berkepanjangan pada pasienterinfeksi HIV, maka akan
mempercepat terjadinya AIDS, bahkan meningkatkan angka kematian.

Nutrisi yang sehat dan seimbang diperlukan pasien HIV AIDS untuk memperthankan
kekuatan tubuh, mengganti kehilangan vitamin dan mineral, meningkatkan fungsi sistem
imun dan kemampuan tubuh untuk memerangi penyakit dan juga meningkatkan respon
terhadap pengobatan. Namun pasien HIV dan AIDS seringkali tidak mengkonsumsi

6
makanan dalam jumlah yang cukup karena beberapa sebab diantaranya adanya lesi oral,
mual, muntah kelelahan dan depresi membuat ODHA menurun nafsu makannya
(Nursalam, 2011).

Perawat memiliki tugas memenuhi kebutuhan dan membuat status kesehatan ODHA
meningkat melalui asuhan keperawatan. Asuhan keperawatan merupakan suatu tindakan
atau proses dalam praktik keperawatan yang diberikan secara langsung kepada pasien
untuk memenuhi kebutuhan objektif pasien, sehingga dapat mengatasi masalah yang
sedang dihadapinya.

7
BAB II
KAJIAN TEORI

2.1. Pengertian
Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyakit kekurangan sistem
imun yang disebabkan oleh retrovirus HIV tipe 1 atau HIV tipe 2 (Copstead dan Banasik,
2012). Infeksi HIV adalah infeksi virus yang secara progresif menghancurkan sel-sel darah
putih infeksi oleh HIV biasanya berakibat pada kerusakan sistem kekebalan tubuh secara
progresif, menyebabkan terjadinya infeksi oportunistik dan kanker tertentu (terutama pada
orang dewasa) (Bararah dan Jauhar. 2013). Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS)
adalah suatu kumpulan kondisi klinis tertentu yang merupakan hasil akhir dari infeksi oleh
HIV (Sylvia & Lorraine, 2012). Definisi Kasus Surveilans untuk infeksi HIV dari CDC
menurut Sylvia dan Lorraine (2012) yaitu: Kriteria yang direvisi pada tahun 2000 untuk
pelaporan tingkat nasional, mengombinasikan infeksi HIV dan AIDS dalam satu definisi
kasus. Pada orang dewasa , remaja, atau anak berusia 18 bulan atau lebih, definisi kasus
surveilans infeksi HIV dipenuhi apabila salah satu kriteria laboratorium positif atau dijumpai
bukti klinis yang secara spesifik menunjukkan infeksi HIV dan penyakit HIV berat (AIDS).
Bukti laboratorium untuk infeksi HIV mencangkup reaksi positif berulang terhadap uji-uji
penapisan antibodi yang dikonfirmasi dengan uji suplementer (misal,ELISA, dikonfirmasi
dengan uji Western blot) atau hasil positif atau laporan terdeteksinya salah satu uji
nonantibodi atau virologi HIV: uji antigen p24 HIV dengan pemeriksaan netralisis, biakan
virus HIV, deteksi asam nukleat (RNA atau DNA) HIV (misalnya, reaksi berantai polimerase
atau RNA HIV-1 plasma, yang berinteraksi akibat terpajan pada masa perinatal).Kriteria
klinis mencangkup suatu diagnosa infeksi HIV yang didasarkan pada daftar kriteria
laboratorium yang tercatat dalam rekam medis oleh dokter atau penyakit-penyakit yang
memenuhi kriteria yang tercakup dalam definisi kasus untuk AIDS. Kriteria untuk definisi
kasus AIDS adalah :
a. Semua pasien yang terinfeksi oleh HIV dengan :
1) Hitungan sel T CD4+ <200/μI atau
2) Hitungan sel T CD4+ <14% sel T total, tanpa memandang kategori
klinis, simtomatik atau asimtomatik
b. Adanya infeksi-infeksi oportunistik terkait HIV, seperti :
1) Kondidiasis bronkus, trakea, atau paru
2) Kondidiasis esofagus
3) Kanker serviks, invasif
4) Koksidioidomikosis, diseminata atau ekstraparu
5) Kriptokokus, ekstraparu
6) Kriptosporidiosis, usus kronik (lama sakit lebih dari 1 bulan)
7) Penyakit sitomegalovirus (selain di hati,limpa, atau kelenjer getah

8
bening)
8) Retnitis sitomegalovirus (disertai hilangnya penglihatan)\
9) Ensafalopati, terkait HIV
10) Harpes simpleks; ulkus (-ulkus kronik lebijh dari 1 bulan; atau
bronkitis, pneumonitis, esofagitis
11) Histoplasmosis, diseminata atau ekstraparu
12) Isosporiasis, usus kronik (lama sakit lebih dari 1 bulan)
13) Sarkoma Kaposi (SK)
14) Limfoma, Burkitt (atau ekivalen)
15) Limfoma, imunoblastik (atau yang ekivalen)
16) Limfoma, primer, otak
17) Mycobacterium avium complex atau Mycobacterium kansasi,
diseminata atau ektra paru
18) Mycobacterium tuberkulosis, semua tempat, paru-paru atau ekstraparu
19) Mycobacterium, spesies lain atau spesies yang belum teridentifikasi,
diseminata atau ekstraparu
20) Pneumonia Pneumicytis carinii (PPC)
21) Pneumonia, rekuren
22) Leukoensefalopati multifokus progresif
23) Septikemia salmonela, rekuren
24) Toksoplasmosis otak
25) Sindrom pengurusan yang disebabkan oleh HIV

2.2. Anatomi Dan Fisiologi


Virus HIV masuk ke dalam tubuh seseorang dalam keadaan bebas atau berada
didalam sel limfosit. Virus ini memasuki tubuh dan terutama menginfeksi sel yang
mempunyaimolekul CD4. Sel-sel CD4-positif (CD4+) mencakup monosit, makrofag dan
limfosit T4helper. Saat virus memasuki tubuh,benda asing ini segera dikenal oleh sel T
helper (T4),tetapi begitu sel T helper menempel pada benda asing tersebut, reseptor sel T
helper .tidak berdaya; bahkan HIV bisa pindah dari sel induk ke dalam sel T helper
tersebut. Jadi, sebelumsel T helper dapat mengenal benda asing HIV, ia lebih dahulu
sudah dilumpuhkan. HIVkemudian mengubah fungsi reseptor di permukaan sel T helper
sehingga reseptor ini dapatmenempel dan melebur ke sembarang sel lainnya sekaligus

9
memindahkan HIV. Sesudahterikat dengan membran sel T4 helper, HIV akan
menginjeksikan dua utas benang RNA yangidentik ke dalam sel T4 helper.

Dengan menggunakan enzim yang dikenal sebagai reverse transcriptase, HIV


akanmelakukan pemrograman ulang materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi untuk
membuatdouble-stranded DNA (DNA utas-ganda). DNA ini akan disatukan ke dalam
nukleus sel T4sebagai sebuah provirus dan kemudian terjadi infeksi yang permanen.

Fungsi T helper dalam mekanisme pertahanan tubuh sudah dilumpuhkan,genom dari


HIV ¬ proviral DNA ¬ dibentuk dan diintegrasikan pada DNA sel T helper sehingga
menumpangikut berkembang biak sesuai dengan perkembangan biakan sel T helper.
Sampai suatu saatada mekanisme pencetus (mungkin karena infeksi virus lain) maka HIV
akan aktif membentuk RNA, ke luar dari T helper dan menyerang sel lainnya untuk
menimbulkan penyakit AIDS.

2.3. Etiologi
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) disebabkan oleh Human
Immunodeficiency Virus (HIV), suatu retrovirus pada manusia yang termasuk dalam
keluarga lentivirus (termasuk pula virus imunodefisinsi pada kucing, virus
imunodefisiensi pada kera, visna virus pada domba, dan virus anemia infeksiosa pada
kuda). Dua bentuk HIV yang berbeda secara genetik, tetapi berhubungan secara antigen,
yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang telah berhasil diisolasi dari penderita AIDS. Sebagian besar
retrovirus, viron HIV-1 berbentuk sferis dan mengandung inti berbentuk kerucut yang
padat elektron dan dikelilingi oleh selubung lipid yang berasal dari membran se penjamu.
Inti virus tersebut mengandung kapsid utama protein p24, nukleokapsid protein p7 atau
p9, dua sirina RNA genom, dan ketiga enzim virus (protease, reserve trancriptase, dan
integrase). Selain ketiga gen retrovirus yang baku ini, HIV mengandung beberapa gen
lain (diberi nama dengan tiga huruf, misalnya tat, rev, vif, nef, vpr dan vpu) yang
mengatur sintetis serta perakitan partikel virus yang infeksius. (Robbins dkk, 2011)
Menurut Nursalam dan Kurniawati (2011) virus HIV menular melalui enam cara
penularan, yaitu :
a. Hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS Hubungan sesual secara vaginal, anal
dan oral dengan penderita HIV tanpa perlindungan bisa menularkan HIV. Selama

10
hubungan seksual berlangsusng, air mani, cairan vagina, dan darah yang dapat mengenai
selaput lendir, penis, dubur, atau muluh sehingga HIV yang tedapa dalam cairan tersebut
masuk ke aliran darah (PELEKSI,1995 dalam Nursalam,2007 ). Selama berhubungan
juga bisa terjadi lesi mikro pada dinding vagina, dubur dan mulut yang bisa menjadi jalan
HIV untuk masuk ke aliran darah pasangan seksual b. Ibu pada bayinya Penularan HIV
dari ibu bisa terjadi pada saat kehamilan (in utero). Berdasarkan laporan CDC Amerika,
prevalensi penularan HIV dari ibu ke bayi adalah 0.01% sampai 7%. Bila ibu baru
terinfeksi HIV dan belum ada gejala AIDS, kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20%
sampai 35%, sedangkan gejala AIDS sudah jelas pada ibu kemungkinan mencapai 50%
(PELKESI,1995 dalam Nursalam, 2007). Penularan juga terjadi selama proses persalinan
melalui tranfusi fetomaternal atau kontak antara kulit atau membran mukosa bayi dengan
darah atau sekresi maternal saat melahirkan.(Lili V, 2004 dalam Nursalam, 2007).
Semakin lam proses melahirkan, semakin besar resiko penularan. Oleh karena itu, lama
persalinan bisa dipersingkat dengan operasi sectio caesaria (HIS dan STB,2000 dalam
Nursalam, 2007). Transmisi lain terjadi selam periode post partum melaui ASI. Resiko
bayi tertular melalui ASI dai Ibu yang positif sekitar 10% c. Darah dan produk darah
yang tercemar HIV/AIDS Sangat cepat menular HIV karena virus langsung masuk ke
pembuluh darah dan menyebar ke seluruh tubuh. d. Pemakaian alat kesehatan yang tidak
steril Alat pemeriksaan kandungan seperti spekulum, tenakulum, dan alat-alat lain yang
menyentuh darah, cairan vagina atau air mani yang terinveksi HIV, dan langsung
digunakan untuk orang lain yang tidak terinfeksi HIV, dan langsung digunakan untuk
orang lain yang tidak terinfeksi HIV bisa menular HIV e. Alat-alat untuk menoreh kulit
Alat tajam dan runcing seperti jarum, pisau, silet, menyunat seseorang, membuat tato,
memotong rambut, dan sebagainya bisa menularkan HIV sebab alat tersebut mungkin
dipakai tanpa disterilkan terlebih dahulu. f. Menggunakan jarum suntik secara bergantian
Jarum suntik yang digunakan di fasilitas kesehatan, maupun yang digunakan oleh para
pengguna narkoba (Injecting Drug User-IDU) sangat berpotensi menularkan HIV. Selain
jarun suntik, pada para pemakai IDU secara bersama-sama juga menggunakan tempat
penyampur, pengaduk, dan gelas pengoplos obat, sehingga berpotensi tinggi untuk
menularkan HIV. HIV tidak menular melalui peralatan makan, pakaian, handuk, sapu
tangan, hidup serumah dengan penderita HIV/AIDS, gigitan nyamuk, dan hubungan
sosial yang lain.

11
2.4. Fisika Dan Biokimia
Perubahan Fisik dan Biokimia pada Penyakit HIV Pepatah yang sering diucapkan di
antara mereka yang merawat pasien dengan penyakit HIV adalah bahwa ketersediaan
terapi antiretroviral yang manjur telah mengubah “wajah” HIV., atau AIDS , epidemi.
Secara umum, ini mengacu pada penurunan tajam angka AIDSkomplikasi dan kematian
terkait akibat perawatan ini. Sayangnya, pepatah ini juga benar adanya. Soalnya, pasien
kami mengalami berbagai perubahan fisik yang tidak biasa, termasuk perubahan tampilan
wajahterkait dengan penyakit HIV dan pengobatannya.

Meskipun pasien cenderung berfokus pada perubahan fisik, dokter juga


mengkhawatirkan kelainan pada lipid darah(peningkatan kolesterol dan lemak
trigliserida) dan glukosa (peningkatan gula darah, seperti pada diabetes ). Perubahan yang
diamati secara kolektif sering disebut sebagai gejala (manifestasi) biokimia (metabolik)
dan fisik (morfologis) penyakit HIV dan terapi antiretroviral yang sangat aktif. Faktanya,
hal-hal tersebut berdampak besar pada cara pengobatan HIV di era saat ini.

Lipidkelainan dan perubahan fisik bukanlah hal baru bagi orang dengan penyakit
HIV. Pada tahun-tahun awal epidemi, banyak pasien HIV mengalami kadar lemak
(trigliserida) yang tinggi) beredar dalam darah mereka. Pada saat itu, kelainan
laboratorium ini umumnya tidak terlalu berarti bagi pasien atau dokter mereka. Selain itu,
banyak orang dengan HIV mengalami wasting (penurunan berat badan yang parah) dan
lesi kulit (kelainan) yang memberikan stigma (tanda-tanda mendiskreditkan). Penurunan
berat badan dan lesi kulit paling sering terjadi pada penderita tdia mengidap
AIDS stadium lanjut

2.5. Tanda Dan Gejala


Gejala infeksi tahap awalSebagian besar orang yang terkena infeksi HIV tidak
menyadari adanya gejala infeksi HIV tahap awal. Karena,tidak ada gejala mencolok yang
tampak segera setelah terjadi infeksi awal, bahkan mungkin sampai bertahuntahun
kemudian. Meskipun infeksi HIV tidak disertai gejala awal, seseorang yang terinfeksi
HIV akan membawa virus HIV dalam darahnya. Orang yang terinfeksi tersebut akan
sangat mudah menularkan virus HIV kepada orang lain, terlepas dari apakah penderita

12
tersebut kemudian terkena AIDS atau tidak. Untuk menentukan apakah virus HIV ada di
dalam tubuh seseorang adalah dengan tes HIV
Infeksi virus HIV mempunyai beberapa tanda dan gejala yang dapat
dibedakan berdasarkan stadium :
a. Stadium I tidak menimbulkan gejala/ asimptomatis, dan dapat melakukan aktivitas
normal pada penampilan klinisnya.
b. Stadium II, penderita mengalami penurunan berat badan 10%, menisfestasi
mukokutaneus minor (dermatitis seboroika, prurigo, jamur kuku, ulcerasi mulut
berulang), herpes zoster pada 5 tahun terkahir, infeksi saluran nafas atas yang berulang.
c. Stadium III (HIV/AIDS wasting syndrome), penderita mengalami infeksi toksoplasma
otak, diare cryptosporidiosis lebih 1 bulan, infeksi sitomegalovirus, infeksi herpes
simplek dan gejala mukokutaneus lebih 1 bulan, kandidiasis oral, TBC, pneumonia,
infeksi mikosis, kandidiosis esophagus, infeksi mikosis, kandidiosis esophagus, infeksi
mikrobakterial atypik, limfoma maligna, sarcoma kapossi.

2.6. Patofisiologi/patway
Sel T dan makrofag serta sel dendritik/langerhans (sel imun) adalah sel-sel yang
terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan terkonsentrasi dikelenjar limfe,
limpa dan sumsum tulang. Human Immunodeficiency Virus (HIV) menginfeksi sel lewat
pengikatan dengan protein perifer CD 4, dengan bagian virus yang bersesuaian yaitu
antigen grup 120. Pada saat sel T4 terinfeksi dan ikut dalam respon imun, maka Human
Immunodeficiency Virus (HIV) menginfeksi sel lain dengan meningkatkan reproduksi
dan banyaknya kematian sel T4 yang juga dipengaruhi respon imun sel killer penjamu,
dalam usaha mengeliminasi virus dan sel yang terinfeksi.

Virus HIV dengan suatu enzim, reverse transkriptase, yang akan melakukan
pemograman ulang materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat double-
stranded DNA. DNA ini akan disatukan kedalam nukleus sel T4 sebagai sebuah provirus
dan kemudian terjadi infeksi yang permanen. Enzim inilah yang membuat sel T4 helper
tidak dapat mengenali virus HIV sebagai antigen. Sehingga keberadaan virus HIV
didalam tubuh tidak dihancurkan oleh sel T4 helper. Kebalikannya, virus HIV yang
menghancurkan sel T4 helper. Fungsi dari sel T4 helper adalah mengenali antigen yang

13
asing, mengaktifkan limfosit B yang memproduksi antibodi, menstimulasi limfosit T
sitotoksit, memproduksi limfokin, dan mempertahankan tubuh terhadap infeksi parasit.
Kalau fungsi sel T4 helper terganggu, mikroorganisme yang biasanya tidak menimbulkan
penyakit akan memiliki kesempatan untuk menginvasi dan menyebabkan penyakit yang
serius.

Dengan menurunya jumlah sel T4, maka sistem imun seluler makin lemah secara
progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan menurunnya fungsi sel T
penolong. Seseorang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV ) dapat tetap
tidak memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama bertahun-tahun. Selama waktu ini,
jumlah sel T4 dapat berkurang dari sekitar 1000 sel perml darah sebelum infeksi
mencapai sekitar 200-300 per ml darah, 2-3 tahun setelah infeksi.

Ketika sel T4 mencapai kadar ini, gejala-gejala infeksi ( herpes zoster dan jamur
oportunistik ) muncul, Jumlah T4 kemudian menurun akibat timbulnya penyakit baru
akan menyebabkan virus berproliferasi. Akhirnya terjadi infeksi yang parah. Seorang
didiagnosis mengidap AIDS apabila jumlah sel T4 jatuh dibawah 200 sel per ml darah,
atau apabila terjadi infeksi opurtunistik, kanker atau dimensia AIDS.

Patway :

14
2.7. Farmakologi
1. Terapi Antiretroviral
Pemberian terapi ARV pada pasien HIV/AIDS penting dilakukan untuk pengobatan dan
mencegah penularan. ARV bekerja dengan cara menghambat replikasi virus yang secara
bertahap akan menurunkan jumlah virus dalam darah. Kepatuhan terapi ARV yang tinggi
diperlukan untuk mencapai supresi virologis ang optimal.
Terapi ARV diberikan dalam bentuk kombinasi untukmencegah resistensi obat dan
berlangsung seumur hidup pasien. Obat yang digunakan dalam terapi ARV dibagi dalam
5 golongan: nucleoside or nucleotide reverse transcriptase inhibitor (NRTI), non
nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI), protease inhibitor (PI), integrase
inhibitor, dan entry inhibitor (co-receptor antagonist and fusion inhibitor).

2. Pemakaian Efavirenz
Efavirenz merupakan obat ARV golongan NNRTI yang digunakan secara kombinasi
dengan obat ARV golongan NRTI atau PI. Obat golongan NNRTI membentuk ikatan
langsung dengan reverese transcriptase HIV-1 sehingga menghambat aktivitas DNA
polymerase. NNRTI tidak berkompetisi dengan nukleosida trifosfat untuk berikatan dan
tidak membutuhkan fosforilasi untuk menjadi aktif.
Efavirenz memiliki waktu paruh yang panjang (40-55 jam) sehingga dapat diberikan
sekali sehari. Konsentrasi tertinggi dalam plasma tercapai dalam waktu 3-5 jam dan
konsentrasi yang stabil dalam plasma tercapai dalam waktu 6-10 Hri. Konsumsi efavirenz
dianjurkan saat akan tidur untuk memperkecil efek samping neuropsikiatri. Absorbsinya
cukup baik dengan pemberian oral
2.8. Pemeriksaan Diagnostik
Pada daerah di mana tersedia laboratorium pemeriksaan anti-HIV, penegakan
diagnosis dilakukan melalui pemeriksaan serum atau cairan tubuh lain (cerebrospinal
fluid) penderita.
1. ELISA (enzyme linked immunosorbent assay)
ELISA digunakan untuk menemukan antibodi (Baratawidjaja). Kelebihan teknik ELISA
yaitu sensitifitas yang tinggi yaitu 98,1 %-100% (Kresno). Biasanya memberikan hasil
positif 2-3 bulan setelah infeksi. Tes ELISA telah menggunakan antigen recombinan,
yang sangat spesifik terhadap envelope dan core (Hanum, 2009).

15
2. Western Blot
Western blot biasanya digunakan untuk menentukan kadar relatif dari suatu protein dalam
suatu campuran berbagai jenis protein atau molekul lain. Biasanya protein HIV yang
digunakan dalam campuran adalah jenis antigen yang mempunyai makna klinik, seperti
gp120 dan gp41 (Kresno, 2001).
Western blot mempunyai spesifisitas tinggi yaitu 99,6% - 100%. Namun pemeriksaan
cukup sulit, mahal membutuhkan waktu sekitar 24 jam (Hanum, 2009).

3. PCR (Polymerase Chain Reaction)


Kegunaan PCR yakni sebagai tes HIV pada bayi, pada saat zat antibodi maternal masih
ada pada bayi dan menghambat pemeriksaan secara serologis maupun status infeksi
individu yang seronegatif pada kelompok risiko tinggi dan sebagai tes konfirmasi untuk
HIV-2 sebab sensitivitas ELISA rendah untuk HIV-2 (Kresno, 2001). Pemeriksaan CD4
dilakukan dengan melakukan imunophenotyping yaitu dengan flow cytometry dan cell
sorter. Prinsip flowcytometry dan cell sorting (fluorescence activated cell sorter, FAST)
adalah menggabungkan kemampuan alat untuk mengidentifasi karakteristik permukaan
setiap sel dengan kemampuan memisahkan sel-sel yang berada dalam suatu suspensi
menurut karakteristik masing-masing secara otomatis melalui suatu celah, yang ditembus
oleh seberkas sinar laser. Setiap sel yang melewati berkas sinar laser menimbulkan sinyal
elektronik yang dicatat oleh instrumen sebagai karakteristik sel bersangkutan. Setiap
karakteristik molekul pada permukaan sel manapun yang terdapat di dalam sel dapat
diidentifikasi dengan menggunakan satu atau lebih probe yang sesuai. Dengan demikian,
alat itu dapat mengidentifikasi setiap jenis dan aktivitas sel dan menghitung jumlah
masing-masing dalam suatu populasi campuran (Kresno, 2001).

2.9. Penatalaksanaan Dan Terapi Diet


Menurut Burnnner dan Suddarth (2013) Upaya penanganan medis meliputi beberapa cara
pendekatan yang mencangkup penanganan infeksi yang berhubungan dengan HIV serta
malignansi, penghentian replikasi virus HIV lewar preparat antivirus, dan penguatan serta
pemulihan sistem imun melalui pengguanaan preparat immunomodulator. Perawatan
suportif merupakan tindakan yang penting karena efek infeksi HIV dan penyakit AIDS
yang sangat menurunkan keadaan umum pasien; efek tersebut mencangkup malnutrisi,

16
kerusakan kulit, kelemahan dan imobilisasi dan perubahan status mental. Penatalaksanaan
HIV AIDS sebegai berikut :
a. Obat-obat untuk infeksi yang berhubungan dengan HIV infeksi
Infeksi umum trimetroprime-sulfametokazol, yang disebut pula TMPSMZ
(Bactrim,septra), merupakan preparat antibakteri untuk mengatasi berbagai
mikroorganisme yang menyebabkan infeksi. Pemberian secara IV kepada pasien-pasien
dengan fungsi gastrointerstinal yang normal tidak memberikan keuntungan apapun.
Penderita AIDS yang diobati dengan TMP-SMZ dapat mengalami efekyang merugikan
dengan insiden tinggi yang tidak lazim terjadi, seperti demam, ruam, leukopenia,
trombositopenia dengan ganggua fungsi renal. Pentamidin, suatu obat anti protozoa,
digunakan sebagai preparat alternatif untuk melawan PCP. Jika terjadi efek yang
merugikan atau jika pasien tidak memperlihatkan perbaikan klinis ketika diobati dengan
TMP-SMZ, petugas kesehatan dapat merekomendasikan pentamidin.Kompleks
Mycobacterium avium, terapi kompleks Mycobacterium avium complex (MAC) masih
belum ditentukan dengan jelas dan meliputi penggunaan lebih dari satu macam obat
selam periode waktu yang lama. Meningitis, Terpi primer yang muthakhir untuk
meningitis kriptokokus adalah amfoterisin B IV dengan atau tanpa flusitosin atau
flukonazol (Diflucan). Keadaan pasien harus dipantau untuk endeteksi efek yang
potensial merugikan dan serius dari amfoterisin B yang mencangkup reaksi anafilaksik,
gangguan renal serta hepar, gangguan keseimbangan elektrolit, anemia, panas dan
menggigil. Retinitis Sitomegalovirus, Retinitis yang disebabkan oleh sitomegalovirus
(CMV;cytomegalovirus) merupan penyebab utama kebutaan pada penderita penyakit
AIDS. Foskarnet (Foscavir), yaitu peparat lain yang digunakan mengobati retinitis CMV,
disuntikkan intravena setiap 8 jam sekali selama 2 hingga 3 minggu. Reaksi merugikan
yang lazim terjadi pada pemberian foskarnet adalah nefrotoksisitas yang mencangkup
gagal ginjal akut dan gangguan keseimbangan elektrolit yang mencangkup
hipokalasemia, hiperfosfatemia serta hipomagnesemia. Semua keadaan ini dapat
membawa kematian. Efek merugikan lainnya yang lazim dijumpai adaah serangan
kejang-kejang, gangguan gastrointerstinal, anemia, flebitis, pada tempat infus dan nyeri
punggung bawah. Keadaan lain, Asiklovir dan foskarnat kini digunakan untuk mengobati
infeksi ensefalitis yang disebabkan oleh harpes simpleks atau harpes zoster. Pirimetamin
(Daraprim) dan Sulfadiazin atau klindamisin (Cleosin HCL) digunakan untuk pengobatan
maupun terapi supresif seumur hidup bagiinfeksi Toxoplasmosis gondi. Infeksi kronis

17
yang membandel oleh kondendidasi (trush) atau lesi esofagus diobati dengan
Ketokonazol atau flukonazol.

b. Penatalaksanaan Diare Kronik


Terapi dengan oktreotid asetat (sandostain), yaitu suatu analog sintetik somatostatin,
ternyata efektif untuk mengatasi diare yang berat dan kronik. Konsentrasi reseptor
somatosin yang tinggi ditemukan dalam traktus gastrointerstinal maupun jaringan
lainnya. Somatostain akan menghambat banyak fungsi fisologis yang mencangkup
motalisis gastrointerstinal dan sekresi-interstinal air serta elektrolit.

c. Penatalaksanaan Sindrom Pelisutan


Penatalaksanaan sindrom pelisutan mencangkup penanganan penyebab yang mendasari
infeksi oportunitis sistematik maupun gastrointerstinal. Malnutrsi sendiri akan
memperbesar resiko infeksi dan dapat pula meningkatkan insiden infeksi oportunistis.
Terapi nutrisi bisa dilakukan mulai dari diet oral dan pemberian makan lewat sonde
(terapi nutriasi enternal) hingga dukungan nutrisi parenteral jika diperlukan.

d. Penanganan keganasan
Penatalaksanaan sarkoma Kaposi biasanya sulit karena sangat beragamnya gejala dan
sistem organ yang terkena.Tujuan terapinya adalah untuk mengurangi gejala dengan
memperkecil ukuranlesi pada kulit, mengurangi gangguan rasa nyaman yang berkaitan
dengan edema serta ulserasi, dan mengendalikan gejala yang berhubungan dengan lesi
mukosa serta organ viseral. Hinngga saat ini, kemoterapi yang paling efektif tampaknya
berupa ABV (Adriamisin, Bleomisin, dan Vinkristin).

e. Terapi Antiretrovirus
Saat ini terdapat empat preparat antiretrovirus yang sudah disetujui oleh FDA untuk
pengobatan HIV, keempat preparat tersebut adalah; Zidovudin, Dideoksinosi,
dideoksisitidin dan Stavudin. Semua obat ini menghambat kerja enzim reserve
transcriptase virus dan mencegah virus reproduksi virus HIV dengan cara meniru salah
satu substansi molekuler yang digunakan virus tersebut untuk membangun DNA bagi
partikel-partikel virus baru. Dengan mengubah komponen struktural rantai DNA,
produksi virus yang baru akan dihambat.

18
f. Inhibitor Protase
Inhibitor protase merupakan obat yang menghambat kerja enzim protase, yaitu enzim
yang dibutuhkan untuk replikasi virus HIV dan produksi virion yang menular. Inhibisi
protase HIV-1 akan menghasilkan partikel virus noninfeksius dengan penurunan aktivitas
enzim reserve transcriptase.

g. Perawatan pendukung
Paien yang menjadi lemah dan memiliki keadaan umum yang menurun sebagai akibat
dari sakit kronik yang berkaitan dengan HIV memerlukan banyak macam perawatan
suportif. Dukungan nutrisi mungkin merupakan tindakan sederhana seperti membantu
pasien dalam mendapatkan atau mempersiapkan makanannya. Untuk pasien dengan
gangguan nutrisi yang lanjut karena penurunan asupan makanan, sindrome perlisutan atau
malabsobsi saluran cerna yang berkaitan dengan diare, mungkin diperlukan dalam
pemberian makan lewat pembuluh darah seperti nutrisi parenteral total. Gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit yang terjadiakibat mual, Vomitus dan diare hebat
kerapkali memerlukan terapi pengganti yang berupa infus cairan serta elektrolit. Lesi
pada kulit yang berkaitan dengan
sarkoma kaposi, ekskoriasi kulit perianal dan imobilisasi ditangani dengan perawatan
kulit yang seksama dan rajin; perawatan ini mencangkup tindakan membalikkan tubuh
pasien secara teratur, membersihkan dan mengoleskan salep obat serta menutup lesi
dengan kasa steril. Gejala paru seperti dispnea dan napas pendek mungkin berhubungan
dengan infeksi, sarkoma kaporsi serta keadaan mudah letih. Pasien-pasien ini mungkin
memerlukan terapi oksigen, pelatihan relaksasi dan teknik menghemat tenaga. Pasien
dengan ganggguan fungsi pernafasan yang berat pernafasan yang berat dapat
membutuhkan tindakan ventilasi mekanis. Rasa nyeri yang menyertai lesi kulit, kram
perut, neuropati perifer atau sarkoma
kaposi dapat diatasi dengan preparat analgetik yang diberikan secara teratur selama 24
jam. Teknik relaksasi dan guded imagery (terapi psikologi dengan cara imajinasi yang
terarah) dapat membantu mengurangi rasa nyeri dan kecemasan pada sebagian pasien.

h. Terapi nutrisi

19
Menurut Nursalam (2011) nutrisi yang sehat dan seimbang diperlukan pasien HIV AIDS
untuk mempertahankan kekuatan, meningkatkan fungsi sistem imun, meningkatkan
kemampuan tubuh, utuk memerangi infeksi, dan menjaga orang yang hidup dengan
infeksi HIV AIDS tetap aktif dan produktif. Defisiensi vitamin dan mineral bisa dijumpai
pada orang dengan HIV, dan defisiensi sudah terjadi sejak stadium dini walaupun pada
ODHA
mengonsumsi makanan dengan gizi berimbang. Defisiensi terjadi karena HIV
menyebabkan hilangnya nafsu makan dan gangguan absorbsi szat gizi. Untuk mengatasi
masalah nutrisi pada pasien HIV AIDS, mereka harus diberikan makanan tinggi kalori,
tinggi protein, kaya vitamin dan mineral serta cukup air.

i. Manfaat konseling dan VCT pada pasien HIV


Menurut Nursalam (2011) konseling HIV/AIDS merupakan dialog antara seseorang
(klien) dengan pelayanan kesehatan (konselor) yang bersifat rahasia, sehingga
memungkinkan orang tersebut mampu menyesuaikan atau mengadaptasi diri dengan stres
dan sanggup membuat keputusan bertindak berkaitan dengan HIV/AIDS. Konseling HIV
berbeda dengan konseling lainnya, walaupun keterampilan dasar yang dibutuhkan adalah
sama. Konseling HIV menjadi hal yang unik karena :
1) Membutuhkan pengetahuan yang luas tentang infeksi menular seksual
(IMS) dan HIV/AIDS
2) Membutuhkan mengenai praktik seks yang bersifat pribadi
3) Membutuhkan pembahasan tentang keamatian atau proses kematian
4) Membutuhkan kepekaan konselor dalam menghadapi perbedaan pendapat dan nilai
yang mungkin sangat bertentangan dengan nilai yang dianut oleh konselor itu sendiri.
5) Membutuhkan keterampilan pada saat memberikan hasil HIV positif
6) Membutuhkan keterampilan dalam menghadapi kebutuhan pasangan maupun anggota
keluarga klien
Menurut Nursalam (2011) tujuan konseling HIV yaitu :
1) Mencegah penularan HIVdengan cara mengubah prilaku. Untuk mengubah prilaku
ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) tidak hanya membutuhkan informasi belaka, tetapi
jauh lebih penting adalah pemberian dukungan yang dapat menumbuhkan motivasi
mereka,
misalnya dalam prilaku seks aman, tidak berganti-ganti jarum suntik, dan lain-lain.

20
2) Meningkatkan kualitas hidup ODHA dalam segala aspek baik medis, psikologis,
sosial, dan ekonomi. Dalam hal ini konseling bertujuan untuk memberikan dukungan
kepada ODHA agar mampu hidup secara positif. Voluntary Conseling Testing atau VCT
adalah suatu pembinaan dua arah atau dialog yang berlangsung tak terputus antara
konselor dan kliennya dengantujuan untuk mencegah penurlaran HIV, memberikan
dukungan moral, informasi, serta dukungan lainnya kepada ODHA, keluarga, dan
lingkungannya (Nursalam, 2011).
Tujuan VCT yaitu sebagai upaya pencegahan HIV/AIDS, upaya untuk mengurangi
kegelisahan, meningkatkan presepsi/ pengetahuan mereka tentang faktor-faktor resiko
penyebab seseorang terinfeksi HIV, dan upaya pengembangan perubahan prilaku,
sehingga secara dini mengarahkan menuju ke program pelayanan dan dukungan termasuk
akses terapi antiretroviral, serta membantu mengurangi stigma dalam masyarakat
(Nursalam, 2011)
2.10. Komplikasi
Adapun komplikasi klien dengan HIV/AIDS. (Anwar Hafis,2014) antara lain :
1. Pneumonia pneumocystis(PCP)
2. Tuberculosis(TBC)
3. Esofagitis
4. Diare
5. Toksoplasmositis
6. Leukoensefalopati multifocal prigesif

2.11. Pendidikan Kesehatan Dan Pencegahan Primer,Sekunder Dan Tersier


Pendidikan Kesehatan atau Promosi kesehatan melibatkan berbagai sektor dan
dukungan dari pemerintah. Promosi kesehatan mengenai infeksi HIV/AIDS dilakukan
melalui iklan layanan masyarakat, kampanye penggunaan kondom pada setiap
hubungan seks berisiko, promosi kesehatan bagi remaja dan dewasa muda, serta
peningkatan kapasitas tenaga kesehatan dan tenaga non-kesehatan terlatih dalam
promosi pencegahan penyalahgunaan zat dan penularan HIV.

Masyarakat dapat turut berperan serta dalam upaya promosi kesehatan dengan
mempromosikan perilaku hidup sehat, meningkatkan ketahanan keluarga, serta
mencegah terjadinya stigma dan diskriminasi terhadap orang terinfeksi HIV maupun

21
komunitas populasi kunci. Lingkungan warga dapat membentuk dan mengembangkan
Warga Peduli AIDS dan mendorong warga masyarakat yang berisiko untuk
memeriksakan diri ke pelayanan konseling dan tes HIV sukarela (voluntary counseling
and testing/VCT.

Pencegahan primer
Pencegahan primer dilakukan sebelum seseorang terinfeksi HIV. Hal ini diberikan pada
seseorang yang sehat secara fisik dan mental. Pencegahan ini tidak bersifat terapeutik,
tidak menggunakan tindakan terapeutik; dan tidak mengunakan indentifikasi gejala
penyakit. Pencegahan ini meliputi dua hai, yaitu:
1. Peningkatan Kesehatan, misalnya; dengan Pendidikan Kesehatan reproduksi
tentang HIV/AIDS (IMS); standarisasi nutrisi; menghindari seks bebas; tidak
melakukan hubungan seksual pada orang yang terinfeksi, screening dan sebagainya.
2. Perlindungan khusus, misalnya; imunisasi, kebersihan pribadi (selalu menjaga
kebersihan alat kelamin), selalu menggunakan kondom saat melakukan
hubungan seksual.

Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder berfokus pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) agar tidak
mengalami komplikasi atau kondisi yang lebih buruk. Pencegahan ini dilakukan
melalui pembuatan diagnose dan pemberian intervensi yang tepat sehingga dapat
mengurangi keparahan kondisi dan memungkinkan ODHA tetap bertahan melawan
penyakitnya.
Pencegahan sekunder ini terdiri dari Teknik skrining dan pengobatan penyakit pada
tahap dini.
Hal ini dilakukan dengan menghindarkan atau menunda keparahan akibat yang
ditimbulkan dari perkembangan penyakit, atau meminimalkan potensi
tertularnya penyakit lain.

Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier dilakukan ketika seseorang teridentifikasi terinfeksi HIV/AIDS dan
mengalami ketidakmampuan permanen yang tidak dapat disembuhkan. Pencegahan ini

22
terdiri dari cara meminimalkan akibat penyakit atau ketidakmampuan melalui
intervensi yang bertujutan mencegah komplikasi dan penurunan Kesehatan.
Kegiatan pencegahan tersier ditujukan untuk melaksanakan rehabilitasi (pelatihan
kepada para pekerja seksual) dari pada pembuatan diagnosa dan tindakan penyakit.
Perawatan pada tingkat ini ditujukan untuk membantu ODHA mencapai Tingkat fungsi
setinggi mungkin, sesuai dengan keterbatasan yang ada akibat HIV/AIDS.

2.12. Peran Dan Fungsi Perawat


Peran perawat dalam pencegahan penyakit pada kasus HIV-AIDS yaitu memberikan
pendidikan kesehatan kepada masyarakat tentang bahaya seks bebas serta pemakaian
jarum suntik bergantian bagi pengguna NAPZA suntik.

2.13. Manajemen Kasus Pada Gangguan Sistem


Endokrin,Imunologi,Pencernaan,Perkemihan Dan Reproduksi

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN HIV AIDS

1.1 Pengkajian
a. Identitas Klien
Meliputi : nama, tempat/ tanggal lahir, jenis kelamin, status kawin, agama,
pendidikan, pekerjaan, alamat, diagnosa medis, No. MR

b. Keluhan utama
Dapat ditemukan pada pasien AIDS dengan manifestasi respiratori ditemui
keluhan utama sesak nafas. Keluhan utama lainnya ditemui pada pasien HIV
AIDS yaitu, demam yang berkepanjangan (lebih dari 3 bulan), diare kronis lebih
dari satu bulan berulang maupun terus menerus, penurunan berat badan lebih dari

23
10%, batuk kronis lebih dari 1 bulan, infeksi pada mulut dan tenggorokan
disebabkan oleh jamur Candida Albicans, pembengkakan kelenjer getah bening
diseluruh tubuh, munculnya Harpes zoster berulang dan bercak-bercak gatal
diseluruh tubuh.

c. Riwayat kesehatan sekarang


Dapat ditemukan keluhan yang biasanya disampaikan pasien HIV AIDS adalah :
pasien akan mengeluhkan napas sesak (dispnea) bagi pasien yang memiliki
manifestasi respiratori, batuk-batuk, nyeri dada dan demam, pasien akan
mengeluhkan mual, muntah dan diare serta penurunan berat badan drastis.

d. Riwayat kesehatan dahulu


Biasanya pasien pernah dirawat karena penyakit yang sama. Adanya riwayat
penggunaan narkotika suntik, hubungan seks bebas atau berhubungan seks dengan
penderita HIV/AIDS, terkena cairan tubuh penderita HIV/AIDS.

e. Riwayat kesehatan keluarga


Biasanya pada pasien HIV AIDS adanya anggota keluarga yang menderita
penyakit HIV/AIDS. Kemungkinan dengan adanya orang tua yang terinfeksi HIV.
Pengkajian lebih lanjut juga dilakukan pada riwayat pekerjaan keluarga, adanya
keluarga bekerja di tempat hiburan malam, bekerja sebagai PSK (Pekerja Seks
Komersial).

2. Pola aktivitas sehari-hari (ADL)


a. Pola presepsi dan tata laksanaan hidup sehat
Biasanya pada pasien HIV/AIDS akan menglami perubahan atau gangguan pada
personal hygiene, misalnya kebiasaan mandi, ganti pakaian, BAB dan BAK
dikarenakan kondisi tubuh yang lemah, pasien kesulitan melakukan kegiatan
tersebut dan pasien biasanya cenderung dibantu oleh keluarga atau perawat

b. Pola Nutrisi

24
Biasanya pasien dengan HIV/AIDS mengalami penurunan nafsu makan, mual,
muntah, nyeri menelan, dan juga pasien akan mengalami penurunan BB yang
cukup drastis dalam waktu singkat (terkadang lebih dari 10% BB).

c. Pola Eliminasi
Biasanya pasien mengalami diare, fases encer, disertai mucus berdarah.

d. Pola Istirahat dan tidur


Biasanya pasien dengan HIV/AIDS pola istirahat dan tidur mengalami gangguan
karena adanya gejala seperi demam dan keringat pada malam hari yang berulang.
Selain itu juga didukung oleh perasaan cemas dan depresi pasien terhadap
penyakitnya.

e. Pola aktivitas dan latihan


Biasanya pada pasien HIV/AIDS aktivitas dan latihan mengalami perubahan. Ada
beberapa orang tidak dapat melakukan aktifitasnya seperti bekerja. Hal ini
disebabkan mereka yang menarik diri dari lingkungan masyarakat maupun
lingkungan kerja, karena depresi terkait penyakitnya ataupun karena kondisi tubuh
yang lemah.

f. Pola presepsi dan konsep diri


Pada pasien HIV/AIDS biasanya mengalami perasaan marah, cemas, depresi, dan
stres.

g. Pola sensori kognitif


Pada pasien HIV/AIDS biasanya mengalami penurunan pengecapan, dan
gangguan penglihatan. Pasien juga biasanya mengalami penurunan daya ingat,
kesulitan berkonsentrasi, kesulitan dalam respon verbal. Gangguan kognitif lain
yang terganggu yaitu bisa mengalami halusinasi.

h. Pola hubungan peran

25
Biasanya pada pasien HIV/AIDS akan terjadi perubahan peran yang dapat
mengganggu hubungan interpersonal yaitu pasien merasa malu atau harga diri
rendah.

i. Pola penanggulangan stres


Pada pasien HIV AIDS biasanya pasien akan mengalami cemas, gelisah dan
depresi karena penyakit yang dideritanya. Lamanya waktu perawatan, perjalanan
penyakit, yang kronik, perasaan tidak berdaya karena ketergantungan
menyebabkan reaksi psikologis yang negatif berupa marah, kecemasan, mudah
tersinggung dan lain-lain, dapat menyebabkan penderita tidak mampu
menggunakan mekanisme koping yang kontruksif dan adaptif.

j. Pola reproduksi seksual


Pada pasaaien HIV AIDS pola reproduksi seksualitas nya terganggu karena
penyebab utama penularan penyakit adalah melalui hubungan seksual.

k. Pola tata nilai dan kepercayaan


Pada pasien HIV AIDS tata nilai keyakinan pasien awal nya akan berubah, karena
mereka menggap hal menimpa mereka sebagai balasan akan perbuatan mereka.
Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh mempengaruhi
nilai dan kepercayaan pasien dalam kehidupan pasien, dan agama merupakan hal
penting dalam hidup pasien.

3. Pemeriksaan Fisik
a. Gambaran Umum : ditemukan pasien tampak lemah.
b. Kesadaran pasien : Compos mentis cooperatif, sampai terjadi penurunan tingkat
kesadaran, apatis, samnolen, stupor bahkan coma.
c. Vital sign :
TD : Biasanya ditemukan dalam batas normal
Nadi : Terkadang ditemukan frekuensi nadi meningkat
Pernafasan :Biasanya ditemukan frekuensi pernafasan meningkat
Suhu :Biasanya ditemukan Suhu tubuh menigkat karena demam.
d. BB : Biasanya mengalami penurunan (bahkan hingga 10% BB)

26
TB : Biasanya tidak mengalami peningkatan (tinggi badan tetap)
e. Kepala : Biasanya ditemukan kulit kepala kering karena dermatitis seboreika
f. Mata : Biasanya ditemukan konjungtiva anemis, sclera tidak ikhterik, pupil
isokor, reflek pupil terganggu,
g. Hidung : Biasanya ditemukan adanya pernafasan cuping hidung.
h. Gigi dan Mulut: Biasanya ditemukan ulserasi dan adanya bercak-bercak putih
seperti krim yang menunjukkan kandidiasi.
i. Leher : kaku kuduk ( penyebab kelainan neurologic karena infeksi jamur
Cryptococcus neoformans), biasanya ada pembesaran kelenjer getah bening,
j. Jantung : Biasanya tidak ditemukan kelainan
k. Paru-paru : Biasanya terdapat yeri dada, terdapat retraksi dinding dada pada
pasien AIDS yang disertai dengan TB, Napas pendek (cusmaul), sesak nafas
(dipsnea).
l. Abdomen : Biasanya terdengar bising usus yang Hiperaktif
m. Kulit : Biasanya ditemukan turgor kulit jelek, terdapatnya tanda-tanda lesi (lesi
sarkoma kaposi).
n. Ekstremitas : Biasanya terjadi kelemahan otot, tonus otot menurun, akral
dingin.

1.2 Diagnosa Keperawatan


1. Kebersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sesak napas
2. resiko infeksi berhubungan dengan infeksi HIV di tandai dengan infeksi pada
mulut dan tenggorokan
3. Defisit nutrisi berhubungan dengan nafsu makan menurun di tandai dengan
penurunan berat badan yang drastic

1.3 Rencana Keperawatan

No DIAGNOSA TUJUAN DAN KRITERIA INTERVENSI


HASIL
`1 (D.0149) (L.01001) (I.01011) Menejemen jalan napas
Kebersihan jalan Bersihan jalan napas Definisi: mengidentifikasi dan mengelola
napas tidak efektif Definisi:kemampuan kepatenan jalan napas
berhubungan dengan membersihkan secret atau Tindakan
sesak napas obstruksi jalan napas untuk Observas
mnempertahankan jalan  Moinitor pola napas
napas tetap paten (frekuensi,kedalaman,usaha napas,)

27
Ekspestasi: meningkat  Monitor buyi napas tambahan
Dengan kriteria hasil: (mis,gurgling ,mengi,wheezing,ronkhi
 Batuk efektif kering)
meningkat  Monitor sputum (jumlah, warna,
 Produksi sputup aroma)
menurun Terapeotik
 Mengi menurun  Pertahankan kepatenan jalan napas
 Whezzing menurun dengan head lift danchin lift (jaw-
 Dispnea menurun thrust jika curiga trauma servekal)
 Ortopbnea menurun  Posisiskan semi fowler dan fowler
 Sianosis menurun  Berikan minum hangat
 Gelisa menurun  Lakukan fisioterapi dada jika perlu
 Frekuensi napas  Lakukan pengisapan lender kurang
membaik dari 15 detik
 Pola napas membaik  Lakukan hiperoksigenasi sebelum
pengisapamn endotrakeal
 Keluargakan sumbatan benda padat
dengan forsep Mcgill
 Berikan oksegen jika perlu
Edukasi
 Anjurkan asupan caitran 200 Ml/hari,
jika tidak kontra indikasi
 Anjurkan Teknik batuk efektif
Kolaborasi
 Kolaborasi pemeberian
brokodilator,ekspektoran,mukolitik
jika perlu
2 (D.0142) (L.14137) Tingkat infeksi (I.14539) Pencegahan infeksi
resiko infeksi Definisi: derajat infeksi Definisi: mengidentifikasi dan menurunkan
berhubungan dengan berdasarakan observasi atau resiko terserang organisme patogenik
infeksi HIV di tandai sumber informasi Observasi
dengan infeksi pada Ekspektasi: menurun Tindakan
mulut dan Dengan kriteria hasil:  monitor tandsa dan gejalah infeksi
tenggorokan  Kebersihan tangan local sistematik
meningkat terapeotik
 Kebersihan badan  Batasi jumlah pengunjung
meuingkat  Berikan perewatan kulit pada area
 Nafsu makan edema
meningkat  Cuci tangan sebelum dan sesudah
 demam menurun kontak dengan pasien dan lingkungan
 kemerahan menurun pasien
 nyeri menurun  Pertahankan Teknik aseptic pada
 bengkak menurun pasien beresiko tinggi
 vesikel menurun Edukasi
 cairan berbau busuk  Jelaskan tanda dan gejalah infiksi
 sputum menurun  Anjurkan cara mencuci tangan dengan
 periode menggigil benar
menurun  Ajarkan etika batuk

28
 berat badan membaik  Ajarkan cara memertiksa kondisi luka
 nafsu makan membaik atau luka operasi
 pola tidur membaik  Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
anjurkan meningkatkan asupan cairan
Kolaborasi
 Kolaborasi npemberian imunisasi jika
perlu

3 (D.0019) (L.03030) status nutrisi (I.03119)


Defisit nutrisi Definisi: keadukuatan Manejemn nutrisi
berhubungan dengan asupan nutrisi untuk Definisi; mengidentifikasi dan mengelola
nafsu makan menurun memenuhi kebutuhan asupan nutrisi yang seimbang
di tandai dengan metabolisme Observasi
penurunan berat Ekspektasi: membaik Tindakan
badan yang drastic Kriteria hasil:  Identifikasi status nutrisi
 Identifikasi alergi dan intoleransi
 Posi makan yang di makanan
habiskan meningkat  Identifikasi makanan yang di sukai
 Kekuatan otot  Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis
pengunyah meningkat nutrisi
 Kekuatan otot  Identifikasi perlu nya penggunaan
menelan serum selang NGT
albumin meningkat  Monitor asupan makanan
 Vrbalisasi keinginan  Monitor berat badan
untuk meningkatkan  Monitor hasil pemeriksaan Lab
nutrisi meningkat Terapeotik
 Pengetahuan tentang  Lakukan oral Hygiene sebelum makan
pilihan makanan yang jika perlu \
sehat meningkat  Fasilitasi menuntukan pedoman diet
 Pengetahuan tentang mis, piramida makanan
pilihan yang sehat  Sajikan makanan secara menarik dan
meningkat suhu yang sesuai
 Pengetahuan tentang  Berikan makanan tinggi serat untuk
standar asupan nutrisi mencegah konstipasi
yang tepat meningkat  Berikan makanan tinggi kalori dan
 Penyiapan dan tinggi protein
penyiumpanan  Berikan suplemen makanan jika perlu
makanan/minuman
 Hentikan pemberian makanan melalui
yang aman meningkat
selang NGT, jika asupan oral dapat di
 Sikap tergadann toleransi
maknan/minuman Edukasi
sesuai dengan tujuan
 Anjurkan posisi duduk jika mampu
Kesehatan meningkat
 Anjurkan diet yang di programkan
 Nyeri abdomen
Kolaborasi
menurun
 Kolaborasi pemberian medikasi
 Sariawan menurun
sebelum makan mis, Pereda nyeri, anti
 Rambut rontok
metik, jika perlu
menurun
 Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
 Diare menurun

29
 Berat badan membaik menentukan jumlah kalori dan jenis
 Indeksi masa tubuh njutrisi yang di butiuhkan jika perlu
membvaik
 Frekuensi makan
membaik
 Nafsu makan
membaik
 Bising usus membaik
 Membrane mukosa
membaik

BAB IV
EVIDENCE BASED PRACTISE

Jurnal Abdimas Kesehatan (JAK) Vol 3, No 1, Januari 2021 Doi: 10.36565/jak.v3i1.161


p-ISSN: 2655-9226 e-ISSN: 2655-9218 87
Peer Education sebagai Upaya Pencegahan HIV/AIDS

Safitri Prodi D III Kebidanan STIKes Baiturrahim Jambi Email: safitrypipit@gmail.com

Submitted : 08/12/2020 Accepted: 31/12/2020 Published: 11/01/2021

30
Abstrak

Remaja menjadi pusat endemi HIV/AIDS di seluruh dunia, sekitar 50% dari semua
kasus HIV baru terjadi pada remaja antara usia 15 dan 24 tahun. Di Indonesia, berdasarkan
Ditjen P2P jumlah kasus HIV positif dari tahun ketahun cenderung meningkat dan pada tahun
2018 dilaporkan sebanyak 46.659 kasus. Begitu juga Kota Jambi, berdasarkan data dinas
kesehatan ditemukan jumlah kasus penderita HIV/AIDS pada remaja 24 kasus (2017) dan 13
kasus (2018). Peer education dianggap sebagai pilar inti dari upaya pencegahan HIV secara
umum dan telah terbukti efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan mempromosikan
perubahan sikap dan perilaku. Peer education masuk dalam program Pelayanan Kesehatan
Peduli Remaja (PKPR) yang memiliki pendekatan komprehensif berupa upaya
promotif/preventif salah satunya pembekalan kesehatan tentang HIV dan AIDS. Target
luaran yang diharapkan peningkatan pengetahuan antara sebelum dan setelah peer education.
Metode yang digunakan adalah peer education. Hasil pengabdian terdapat peningkatan
pengetahuan HIV/AIDS untuk membawa perubahan positif dalam perilaku seksual remaja
sekolah dan mencegah mereka dari epidemi HIV/AIDS
Kata Kunci: peer education, pencegahan, HIV/AIDS.

PENDAHULUAN

Remaja menjadi pusat endemi HIV/AIDS di seluruh dunia, sekitar 50% dari semua
kasus HIV baru terjadi pada remaja antara usia 15 dan 24 tahun. Studi di berbagai negara
bagian Afrika menunjukkan bahwa baik di luar sekolah maupun di sekolah, remaja berisiko
terlibat dalam perilaku seksual. Tingkat pengetahuan tentang HIV/AIDS pada remaja di
negara bagian
Afrika rendah, yaitu remaja putri (36%) dan remaja putra (28%). Meskipun remaja memiliki
pengetahuan tentang langkah-langkah pencegahan AIDS, tidak banyak dari mereka yang
melakukan pencegahan. Sebuah penelitian di Ethiopia menunjukkan bahwa hanya 58%
remajayang tidak melakukan hubungan seksual sebagai salah satu cara mencegah HIV.
Remaja yang melakukan hubungan seksual dengan teman laki-laki/perempuan, hanya 58,5%
yang menggunakan kondom dan 32,6% yang di tes HIV (Menna dkk, 2015).
Estimasi jumlah orang dengan HIV di Indonesia pada tahun 2018 sebanyak 641.675
orang dengan jumlah infeksi baru sebanyak 46.372 orang dan kematian sebanyak 38.734
orang. Jumlah kasus HIV positif yang dilaporkan dari tahun ketahun cenderung meningkat

31
dan pada tahun 2018 dilaporkan sebanyak 46.659 kasus. Sampai dengan tahun 2018 jumlah
kasus HIV yang dilaporkan sebanyak 327.282 kasus. Persentase kasus HIV positif dan AIDS
tahun 2018 pada laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan. Penderita HIV positif pada
laki-laki sebesar 63,8% dan pada perempuan sebesar 36,2%. Sedangkan penderita AIDS pada
laki-laki sebesar 67,2% dan pada perempuan sebesar 32,8%. Proporsi terbesar kasus HIV dan
AIDS masih pada penduduk usia produktif (15-49 tahun), dimana kemungkinan penularan
terjadi pada usia remaja. HIV dapat ditularkan melalui hubungan seks, tranfusi darah,
penggunaan jarum suntik bergantian dan penularan dari ibu ke anak (perinatal) (Kemenkes,
2019). Jumlah kasus penderita HIV/AIDS pada remaja di Kota Jambi tahun 2017, dari 1.088
orang yang berkunjung, penderita HIV positif pada laki-laki sebanyak 14 kasus (usia 20-24
tahun) dan pada perempuan sebayak 10 kasus (1 kasus usia 5-14, 1 kasus usia 15-19 dan 8
kasus usia 2024 tahun). Sedangkan pada tahun 2018, dari 386 orang yang berkunjung,
penderita HIV positif pada laki-laki sebanyak 11 kasus (4 kasus usia 15-19 tahun dan 7 kasus
usia 20-24 tahun) dan pada perempuan sebayak 2 kasus (usia 20-24 tahun) (Dinkes Kota,
2019)
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh. Infeksi tersebut menyebabkan penderita mengalami penurunan kekebalan
sehingga sangat mudah untuk terinfeksi berbagai macam penyakit lain. AIDS (Acquired
Immuno Deficiency Syndrome) yaitu sekumpulan gejala berkurangnya kemampuan
pertahanan diri yang disebabkan oleh masuknya virus HIV. Program pengendalian HIV di
Indonesia bertujuan untuk: 1.) Menurunkan hingga meniadakan infeksi baru; 2.) Menurunkan
hingga meniadakan kematian terkait AIDS; 3.) Menurunkan stigma dan diskriminasi
(Kemenkes, 2019). Peer education dianggap sebagai pilar inti dari upaya pencegahan HIV
secara umum dan telah terbukti efektif dalam meningkatkan.
Pengetahuan dan mempromosikan perubahan sikap dan perilaku. Peer education
dengan dukungan para guru didorong melakukan pendekatan inovatif untuk mengatasi
kebutuhan kesehatan produktif rekan sebayanya, terutama tentang HIV/AIDS. Remaja yang
percaya pada teman sebaya tidak cenderung tidak akan terlibat dalam hubungan seksual. Peer
education sangat efektif sebagai sumber informasi, keterampilan dan memotivasi untuk
melakukan perilaku yang baik (Adeomi, 2014). Peer education adalah salah satu strategi
efektif untuk mengubah perilaku pada remaja, memberikan kesempatan belajar yang unik
untuk mempromosikan perilaku kesehatan (Ghasemi, 2019).

32
Peer education adalah strategi dimana individu dari kelompok sasaran memberikan
informasi, pelatihan, atau sumber daya kepada rekan-rekan mereka. Ini telah menjadi metode
pendidikan kesehatan yang populer untuk pencegahan HIV sejak 1980-an, mungkin karena
interaksi positif yang ditimbulkan antara teman sebaya. Intervensi peer education secara
signifikan terkait dengan peningkatan pengetahuan HIV, berkurangnya pengguna narkoba
suntikan dan penggunaan kondom, serta mempengaruhi perubahan perilaku kesehatan dan
mengatasi pandemi HIV/AIDS (Menna, 2015). Di indonesia, peer education masuk dalam
program Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) yang memiliki pendekatan
komprehensif berupa upaya promotif/preventif melalui pembinaan peer education salah
satunya pembekalan kesehatan tentang HIV dan AIDS (Kemenkes RI, 2014). Penerapan peer
education di sekolah menengah dapat memainkan peran penting untuk membawa perubahan
positif dalam perilaku seksual remaja sekolah dan mencegah mereka dari epidemi
mematikan, HIV/AIDS (Menna, 2015). Berdasarkan data Dinas Pendidikan Kota Jambi,
SMA Negeri 8 memiliki jumlah siswa terbanyak pada tahun akademik 2018/2019 yaitu 1.726
siswa (14,9%) dari seluruh SMA Negeri di Kota Jambi. Survey pendahuluan terhadap 10
siswa, menunjukkan bahwa 70% siswa memiliki pengetahuan kurang dan 30% siswa
memiliki pengetahuan baik tentang HIV/AIDS. 60% siswa mengaku sudah pernah pacaran,
pernah melakukan ciuman pipi, pelukan dan 40% siswa memiliki perilaku baik dalam
pencegahan HIV/AIDS. Serta program peer education yang ada di SMA tersebut sudah
terbentuk tetapi belum berjalan secara optimal. Berdasarkan paparan diatas maka penulis
tertarik mengangkat judul “peer education sebagai upaya pencegahan HIV/AIDS di SMA
Negeri 8 Kota Jambi” untuk membawa perubahan positif dalam perilaku seksual remaja
sekolah dan mencegah mereka dari epidemi HIV/AIDS.

TARGET DAN LUARAN

Target dalam kegiatan pengabdiaan kepada masyarakat ini adalah melakukan peer
education tentang HIV/AIDS pada siswa SMA N 8 Kota Jambi. Adapun luaran dalam
kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini adalah publikasi pada jurnal ilmiah dan
meningkatkan pengetahuan siswa tentang HIV/AIDS dengan harapan membawa perubahan
positif dalam perilaku yang berhubungan dengan kesehatan seksual remaja sekolah dan
mencegah mereka dari epidemi HIV/AIDS.

33
METODE PELAKSANAAN

Pengabdian kepada masyarakat ini dilaksanakan pada bulan November 2019 di SMA N 8
Kota Jambi. Sasaran kegiatan ini adalah siswa di SMA Negeri 8 Kota Jambi. Kegiatan
pengabdian kepada masyarakat ini, mendapat rekomendasi dari Kepala Sekolah dan Guru
Bimbingan Konseling untuk memberikan informasi tentang HIV/AIDS melalui metode peer
education kepada siswa yang telah terpilih menjadi konselor sebaya menggunakan media
leaflet. Peer education yang telah dilakukan merupakan kegiatan untuk menyampaikan
informasi tentang HIV/AIDS meliputi pengertian AIDS, penularan HIV, tanda dan gejala
HIV-AIDS, kelompok perilaku resiko tinggi terinfeksi HIV, pencegahan HIV, dan hal-hal
yang perlu diperhatikan bila disekitar kita ada yang positif HIV-AIDS. Tahapan kegiatan
pengabdian kepada masyarakat meliputi: 1. Mengkaji dan menganalisis data 2.
Mengidentifikasi masalah 3. Menyusun rencana kegiatan 4. Menyusun SAP, materi,
instrumen preposttest serta mendesain leaflet 5. Mengurus izin lokasi kegiatan 6. Melakukan
pretest 7. Melakukan peer education meliputi memberikan materi tentang HIV/AIDS 8.
Melakukan posttest 9. Melakukan monitoring dan evaluasi
HASIL DAN PEMBAHASAN

Pelaksanaan kegiatan pengabdian kepada masyarakat berjalan sesuai dengan rencana yang
disusun. Kegiatan ini dilakukan bersamaan dengan jadwal classmeeting semester ganjil di
SMA Negeri 8 Kota Jambi. Dalam pelaksanaan kegiatan ini Tim difasilitasi oleh guru
bimbingan konseling untuk mengumpulkan dan memilih siswa setiap kelas untuk dijadikan
konselor sebaya dalam satu ruangan kelas di SMA tersebut. Sebelum kegiatan peer education
tentang HIV/AIDS, 50% siswa tidak mengetahui pengertian AIDS dengan benar, 60% siswa
tidak dapat menginformasikan penularan HIV, 65% siswa tidak dapat menyebutkan tanda
dan gejala HIV-AIDS, 60% siswa tidak dapat menerangkan kelompok perilaku resiko tinggi
terinfeksi HIV, 60% siswa tidak dapat menjabarkan pencegahan HIV, dan 55% siswa tidak
dapat menginformasikan hal-hal yang perlu diperhatikan bila disekitar kita ada yang positif
HIV-AIDS.
Peer eduation sebagai strategi perubahan perilaku yang efektif diharapkan dapat
memberikan dampak pada perubahan pengetahuan tentang HIV/AIDS. Setelah dilakukan
peer education tentang HIV/AIDS, 85% siswa mampu menjelaskan pengertian AIDS dengan
benar, 75% siswa menginformasikan transfusi darah, hubungan seksual dan benda-benda
tajam yang tidak disterilkan sebagai penularan HIV, 70% siswa mampu menyebutkan tanda

34
dan gejala HIVAIDS, 75% siswa mampu menerangkan kelompok perilaku resiko tinggi
terinfeksi HIV, 75% siswa mampu menjabarkan pencegahan HIV, dan 80% mampu
menginformasikan halhal yang perlu diperhatikan bila disekitar kita ada yang positif HIV-
AIDS. Hasil tersebut menunjukkan adanya peningkatan pengetahuan siswa setelah dilakukan
peer education tentang HIV/AIDS. Siswa yang memiliki pengetahuan baik akan membawa
perubahan positif dalam perilaku seksual remaja sekolah dan mencegah mereka dari epidemi
HIV/AIDS. Kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini menunjukkan adanya peningkatan
pengetahuan siswa setelah dilakukan peer education, hal ini karena pada peer education
penyampai informasi adalah teman sebaya, yang mampu berkomunikasi, mampu
mempengaruhi teman sebayanya, punya hubungan pribadi yang baik dengan teman
sebayanya, punya pemahaman lingkungan sosial dan budaya teman yang baik, punya
pengetahuan tentang HIV/AIDS sehingga informasi dapat dengan mudah diterima, mereka
mampu mengajak dan mengubah sikap teman sebayanya untuk berperilaku secara positif
mengenai masalah-masalah yang terjadi sekitar penyakit HIV/AIDS. Selain itu, informasi
tentang HIV/AIDS yang dimiliki siswa juga berasal dari sumber lain seperti, media massa
dan situs web. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Adeomi dkk
(2014) berjudul Evaluation of the Effectiveness of Peer Education inImproving HIV
Knowledge, Attitude, and Sexual Behaviours among In School Adolescents in Osun State,
Nigeria, terhadap 48 siswa SMA yang berusia 10-19 tahun. Hasil analisis bivariat
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara pengetahuan, sikap dan
perilaku seksual remaja setelah dilakukan peer education (P<0,05).
Peer education meningkatkan pengetahuan dari 75,5% menjadi 83,2%. Peer education
merupakan pendekatan yang efektif untuk memberitahu siswa tentang perilaku seksual yang
tidak aman terkait dengan HIV/AIDS. Peer education menggunakan orang-orang dari
kelompok sebaya dimaksudkan untuk empermudah penyampaian pesan-pesan kepada
kelompok sasaran. Seseorang akan lebih bersedia mendengarkan jika pesan-pesan
disampaikan oleh orang yang berasal dari lingkungan mereka sendiri, atau memiliki latar
belakang sosial yang kurang lebih sama. Dalam kondisi seperti ini, motivasi untuk menuruti
ajakkan dan aturan kelompok sebaya cukup tinggi pada siswa, karena siswa menganggap
bahwa aturan kelompok sebaya merupakan yang paling benar dan siswa berusaha melakukan
berbagai usaha agar diterima dan diakui keberadaannya dalam kelompok (Haerana dkk,
2015). Metode peer education memang harus mampu mempengaruhi pengetahuan siswa. Hal
ini karena membicarakan masalah HIV/AIDS tidak terlepas dari masalah seks.

35
Membicarakan seks pada remaja masih malu dan dianggap tabu, namun bila disampaikan
oleh teman sebaya maka teman sebagai penerima informasi tidak malu, tidak sungkan, dan
mau bertanya dalam rangka menambah pengetahuan mereka. Dalam kondisi inilah saat
rentan mereka terhadap dampak pergaulan negatif. Siswa harus dibawa pada karakter tangguh
dan mandiri yang dibangun dengan semangat membangun bangsa. Semangat dibutuhkan
untuk menstimulus agar siswa mampu menunjukkan kontribusi positif dalam pembangunan
bangsa. Semangat ini berupa keunggulan khas, dapat diandalkan, serta daya tahan dalam
kesulitan dan arus budaya yang menyesatkan.
Terpenting juga modal moralitas untuk tetap menjaga agar jangan sampai terjerumus
dalam perilaku seks bebas yang mengancam terjadinya pengrusakan generasi penerus
kepemimpinan bangsa. Peer education sangat bermanfaat bagi program penanggulangan HIV
dan AIDS, karena aspek informasi dan pengetahuan berperan bagi seseorang untuk mencegah
dirinya terkena infeksi, dimana pengetahuan, sikap, dan perilaku seksual memiliki keterkaitan
erat. Banyak kekeliruan informasi berkenaan dengan HIV dan AIDS, sehingga merupakan
mitos-mitos yang mempengaruhi persepsi seseorang tentang penyakit tersebut dan/atau
tentang penderita. Untuk itu, diperlukan peer educator terlatih untuk membantu penyampaian
informasi dan pengetahuan yang benar, sekaligus membangun kewaspadaan terhadap risiko
penularan HIV dan AIDS dikalangan kelompok sebaya yang menjadi sasaran program
(Haerana dkk, 2015).
KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan Pelaksanaan kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan


melalui peer education di SMA N 8 Kota Jambi mampu meningkatkan pengetahuan untuk
membawa perubahan positif dalam perilaku seksual remaja sekolah dan mencegah mereka
dari epidemi HIV/AIDS.

2. Saran Diharapkan kepada pihak sekolah dapat menjadikan metode peer education ini
sebagai metode pendidikan kesehatan di lingkungan sekolah dan menghimbau pada PIK-R di
SMA N 8 untuk dapat menyebarkan informasi ke teman-temannya dalam upaya deteksi dini
masalahmasalah kesehatan pada remaja. Tim pengabdian masyarakat mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada STIKes Baiturrahim Jambi atas bantuan dana dan
fasilitas surat izin. Serta Kepala Sekolah dan Guru Bimbingan Konseling yang telah
memfasilitasi dan memberikan izin tempat pengabdian kepada masyrakat ini, sehingga

36
kegiatan pengabdian masyarakat ini dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan waktu yang
telah ditentukan.

DAFTAR PUSTAKA

Adeomi AA, Adeoye OA, Asekun-Olarinmoye EO, Abodunrin OL, Olugbenga-Bello AI,
dkk. Evaluation of the Effectiveness of Peer Education inImproving HIV Knowledge,
Attitude, and Sexual Behavioursamong In-School Adolescents in Osun State, Nigeria. AIDS
Research and Treatment. 2014:1– 10.
Ghasemi V, Simbar M, Fakari FR, Naz MSG, Kiani Z. The Effect of Peer Education on
Health Promotion of Iranian Adolescents: A Systematic Review. IJP. 2019 Mar;7(3):9139–
57.
Haerana T, Salfiantini, Ridwan M. Peningkatan Pengetahuan Komprehensif HIV dan AIDS
Melalui Peer Group. Jurnal MKMI. 2015 Jun:132–8.
Kementerian Kesehatan RI. 2019. Profil Kesehatan Indonesia 2018. Kesehatan Kementerian
Kesehatan RI. Jakarta.
Kementrian Kesehatan RI. 2014. Modul Pelatihan Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja
(PKPR) Bagi Konselor Sebaya. Direktorat Bina Kesehatan Anak, Direktorat Jendral Bina
Gizi dan KIA Kementrian Kesehatan RI.
Menna T, Ali A, Worku A. Effects of peer education intervention on HIV/AIDS related
sexual behaviors ofsecondary school students in Addis Ababa,Ethiopia: a quasi-experimental
study. Reproductive Health. 2015;84(12):1–8.
Mohammed Ali MH, Osman OB, M.Ibrahim MAE, Mohammed Ahmed WA. The Effect of
AIDS Peer Health Education on Knowledge, Attitudes,and Practices of Secondary School
Students in Khartoum, Sudan. AIMS Publich Health. 2015;2(4):718–26.

DOI:10.3934/publichealth.2015.4.718.
Muadz MM, Dahlan, Dewi A. 2014. Kesehatan Reproduksi Remaja dan Wanita. Salemba
Medika. Jakarta

ANALISA JURNAL

JUDUL : Peer Education sebagai Upaya Pencegahan HIV/AIDS

37
PENULIS : Safitri

TAHUN PENERBIT : Januari 2021

SUMBER : Jurnal Abdimas Kesehatan (JAK) Vol 3, No 1,


KATA KUNCI : peer education, pencegahan, HIV/AIDS
ISI JURNAL :
1. Latar Belakang Penelitian

Remaja menjadi pusat endemi HIV/AIDS di seluruh dunia, sekitar 50% dari
semua kasus HIV baru terjadi pada remaja antara usia 15 dan 24 tahun. Di Indonesia,
berdasarkan Ditjen P2P jumlah kasus HIV positif dari tahun ketahun cenderung
meningkat dan pada tahun 2018 dilaporkan sebanyak 46.659 kasus. Begitu juga Kota
Jambi, berdasarkan data dinas kesehatan ditemukan jumlah kasus penderita
HIV/AIDS pada remaja 24 kasus (2017) dan 13 kasus (2018). Peer education
dianggap sebagai pilar inti dari upaya pencegahan HIV secara umum dan telah
terbukti efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan mempromosikan perubahan
sikap dan perilaku. Peer education masuk dalam program Pelayanan Kesehatan Peduli
Remaja (PKPR) yang memiliki pendekatan komprehensif berupa upaya
promotif/preventif salah satunya pembekalan kesehatan tentang HIV dan AIDS
2. Metode Penelitian

Metode yang digunakan adalah peer education. Hasil pengabdian terdapat


peningkatan pengetahuan HIV/AIDS untuk membawa perubahan positif dalam
perilaku seksual remaja sekolah dan mencegah mereka dari epidemi HIV/AIDS
3. Hasil dan Pembahasan Penelitian

Pelaksanaan kegiatan pengabdian kepada masyarakat berjalan sesuai dengan


rencana yang disusun. Kegiatan ini dilakukan bersamaan dengan jadwal classmeeting
semester ganjil di SMA Negeri 8 Kota Jambi. Dalam pelaksanaan kegiatan ini Tim
difasilitasi oleh guru bimbingan konseling untuk mengumpulkan dan memilih siswa
setiap kelas untuk dijadikan konselor sebaya dalam satu ruangan kelas di SMA
tersebut.
Sebelum kegiatan peer education tentang HIV/AIDS, 50% siswa tidak mengetahui
pengertian AIDS dengan benar, 60% siswa tidak dapat menginformasikan penularan
HIV, 65% siswa tidak dapat menyebutkan tanda dan gejala HIV-AIDS, 60% siswa
tidak dapat menerangkan kelompok perilaku resiko tinggi terinfeksi HIV, 60% siswa

38
tidak dapat menjabarkan pencegahan HIV, dan 55% siswa tidak dapat
menginformasikan hal-hal yang perlu diperhatikan bila disekitar kita ada yang positif
HIV-AIDS.
Peer eduation sebagai strategi perubahan perilaku yang efektif diharapkan dapat
memberikan dampak pada perubahan pengetahuan tentang HIV/AIDS. Setelah
dilakukan peer education tentang HIV/AIDS, 85% siswa mampu menjelaskan
pengertian AIDS dengan benar, 75% siswa menginformasikan transfusi darah,
hubungan seksual dan benda-benda tajam yang tidak disterilkan sebagai penularan
HIV, 70% siswa mampu menyebutkan tanda dan gejala HIVAIDS, 75% siswa
mampu menerangkan kelompok perilaku resiko tinggi terinfeksi HIV, 75% siswa
mampu menjabarkan pencegahan HIV, dan 80% mampu menginformasikan hal-hal
yang perlu diperhatikan bila disekitar kita ada yang positif HIV-AIDS. Hasil tersebut
menunjukkan adanya peningkatan pengetahuan siswa setelah dilakukan peer
education tentang HIV/AIDS. Siswa yang memiliki pengetahuan baik akan membawa
perubahan positif dalam perilaku seksual remaja sekolah dan mencegah mereka dari
epidemi HIV/AIDS.
Kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini menunjukkan adanya peningkatan
pengetahuan siswa setelah dilakukan peer education, hal ini karena pada peer
education penyampai informasi adalah teman sebaya, yang mampu berkomunikasi,
mampu mempengaruhi teman sebayanya, punya hubungan pribadi yang baik dengan
teman sebayanya, punya pemahaman lingkungan sosial dan budaya teman yang baik,
punya pengetahuan tentang HIV/AIDS sehingga informasi dapat dengan mudah
diterima, mereka mampu mengajak dan mengubah sikap teman sebayanya untuk
berperilaku secara positif mengenai masalah-masalah yang terjadi sekitar penyakit
HIV/AIDS. Selain itu, informasi tentang HIV/AIDS yang dimiliki siswa juga berasal
dari sumber lain seperti, media massa dan situs web. Hasil tersebut sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Adeomi dkk (2014) berjudul Evaluation of the
Effectiveness of Peer Education inImproving HIV Knowledge, Attitude, and Sexual
Behaviours among In
School Adolescents in Osun State, Nigeria, terhadap 48 siswa SMA yang berusia
1019 tahun. Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang
bermakna antara pengetahuan, sikap dan perilaku seksual remaja setelah dilakukan
peer education (P<0,05).

39
Peer education meningkatkan pengetahuan dari 75,5% menjadi 83,2%. Peer
education merupakan pendekatan yang efektif untuk memberitahu siswa tentang
perilaku seksual yang tidak aman terkait dengan HIV/AIDS. Peer education
menggunakan orang-orang dari kelompok sebaya dimaksudkan untuk empermudah
penyampaian pesan-pesan kepada kelompok sasaran. Seseorang akan lebih bersedia
mendengarkan jika pesan-pesan disampaikan oleh orang yang berasal dari lingkungan
mereka sendiri, atau memiliki latar belakang sosial yang kurang lebih sama. Dalam
kondisi seperti ini, motivasi untuk menuruti ajakkan dan aturan kelompok sebaya
cukup tinggi pada siswa, karena siswa menganggap bahwa aturan kelompok sebaya
merupakan yang paling benar dan siswa berusaha melakukan berbagai usaha agar
diterima dan diakui keberadaannya dalam kelompok (Haerana dkk, 2015). Metode
peer education memang harus mampu mempengaruhi pengetahuan siswa. Hal ini
karena membicarakan masalah HIV/AIDS tidak terlepas dari masalah seks.
Membicarakan seks pada remaja masih malu dan dianggap tabu, namun bila
disampaikan oleh teman sebaya maka teman sebagai penerima informasi tidak malu,
tidak sungkan, dan mau bertanya dalam rangka menambah pengetahuan mereka.
Dalam kondisi inilah saat rentan mereka terhadap dampak pergaulan negatif. Siswa
harus dibawa pada karakter tangguh dan mandiri yang dibangun dengan semangat
membangun bangsa. Semangat dibutuhkan untuk menstimulus agar siswa mampu
menunjukkan kontribusi positif dalam pembangunan bangsa. Semangat ini berupa
keunggulan khas, dapat diandalkan, serta daya tahan dalam kesulitan dan arus budaya
yang menyesatkan.
Terpenting juga modal moralitas untuk tetap menjaga agar jangan sampai
terjerumus dalam perilaku seks bebas yang mengancam terjadinya pengrusakan
generasi penerus kepemimpinan bangsa. Peer education sangat bermanfaat bagi
program penanggulangan HIV dan AIDS, karena aspek informasi dan pengetahuan
berperan bagi seseorang untuk mencegah dirinya terkena infeksi, dimana
pengetahuan, sikap, dan perilaku seksual memiliki keterkaitan erat. Banyak
kekeliruan informasi berkenaan dengan HIV dan AIDS, sehingga merupakan mitos-
mitos yang mempengaruhi persepsi seseorang tentang penyakit tersebut dan/atau
tentang penderita. Untuk itu, diperlukan peer educator terlatih untuk membantu
penyampaian informasi dan pengetahuan yang benar, sekaligus membangun

40
kewaspadaan terhadap risiko penularan HIV dan AIDS dikalangan kelompok sebaya
yang menjadi sasaran program (Haerana dkk, 2015).
4. Kelebihan Jurnal, Kekurangan Jurnal, Manfaat untuk Bidang Keperawatan
a. Kelebihan Jurnal :
1) Sistematis penulisan penelitian berurutan.

2) Penulis menjelaskan dengan rinci hasil penelitian.

b. Kekuranga Jurnal

1) Penulis tidak menyantumkan waktu penelitian.

2) Penulis tidak menyantumka lama waktu penelitian yang dilakukan.

3) Tujuan khusus penelitian tidak dicantumkan.

4) Metode penelitian tidak dijelaskan secara rinci

c. Manfaat untuk Bidang Keperawatan

1) Memberikan sumber referensi bagi para peneliti berikutnya dalam masalah


keperawatannya.
2) Sebagai landasan untuk asuhan keperawatan dalam memberikan edukasi
kepada remaja dalam pencegahan penyakit HIV AIDS

41
DAFTAR PUSTAKA

42

Anda mungkin juga menyukai