Anda di halaman 1dari 23

ASUHAN KEPERAWATAN

PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK

Diajukan untuk memenuhi tugas Maternitas


Dosen pengampu: Lailia Fatkul Janah, S. Si. T, MKM.

Oleh :
Dea Lestari
029PA19009

PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN


POLTEKES YAPKESBI SUKABUMI
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah


memberikan rahmat dan hidah-Nya kepada kita semua dan penulis, sehingga
makalah ini dapat diselesaikan. Makalah ini merupakan salah satu tugas mata
kuliah Maternitas yang diberikan oleh dosen pengajar. Makalah ini diharapkan
agar dapat menambah pengetahuan dan wawasan sebagai seorang mahasiswa dan
perawat khusunya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu atas ilmu baru
yang penulis dapatkan dari makalah ini yang merupakan salah satu ilmu yang
belum pernah penulis dapatkan sebelumnya. Semoga saja dalam penyusunan
makalah ini dapat memberikan manfaat.
Dalam pembuatan makalah ini, penulis menyadari adanya berbagai
kekurangan, baik dalam isi materi, maupun penyusunan kalimat. Namun
demikian, perbaikan merupakan hal yang berlanjut sehingga kritik dan saran
untuk penyempurnaan makalah ini sangat penulis harapkan.
Mudah-mudahan ini dapat membantu, meski sedikit pada kita mampu
untuk menjelaskan secara lebih jelas lagi dan dengan harapan semoga kita semua
mampu berinovasi dan meningkatkan pengetahuan dengan potensi yang dimiliki.
Aamiin.

Sukabumi, Januari 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan..........................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep HIV/AIDS.......................................................................................3
2.2 HIV dalam kehamilan..................................................................................8
2.3 Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA)...............................10
2.4 Penatalaksanaan HIV/AIDS pada kehamilan.............................................12
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN KASUS PMS
3.1 Pengkajian .................................................................................................14
3.2 Diagnosa ....................................................................................................15
3.3 Intervensi ...................................................................................................16
3.4 Evaluasi .....................................................................................................17
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan.................................................................................................18
4. 2 Saran..........................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan sindrom
immunodefisiensi dari penyakit yang disebabkan oleh Human Immuno
Deficiency Virus (HIV) yang dapat melemahkan sistem imun (Corwin, 2007).
Kondisi ini membuat tubuh penderita menjadi lebih rentan terhadap berbagai
penyakit. Pendapat dari sumber lain mengatakan bahwa AIDS adalah
disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang mengakibatkan
melemahnya sistem kekebalan tubuh seseorang sehingga dapat menyebabkan
kematian (Smeltzer & Bare, 2002).Berdasarkan pengertian tersebut dapat
disimpulkan bahwa HIV mengakibatkan melemahnya sistem imune tubuh
sehingga tubuh lebih mudah terserang penyakit penyerta yang akhirnya
menjadi AIDS, dengan kondisi terburuk sampai dengan kematian.
Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2011 angka
kejadian orang dengan HIV/AIDS di dunia mencapai angka 11 juta orang
(WHO, 2012). Berbeda dengan angka kejadian yang terjadi di dunia pada
tahun 2011, sedangkan di Indonesia secara kumulatif angka kasus HIV/AIDS
terhitung dari 1 April 1987 sampai dengan 31 Desember 2013 adalah 127.416
kasus HIV dan 52.438 kasus AIDS dan kematian sebanyak 9.585 orang
(Direktorat Jendral PP & PL Kemenkes, 2014). Di Indonesia dari 32 provinsi,
DKI Jakarta memiliki kasus tertinggi dibandingkan dengan provinsi lain.
Jumlah kumulatif kasus HIV sebanyak 28,790 dan AIDS sebanyak 7, 477
kasus yang terdapat di DKI Jakarta. Hal ini menunjukkan bahwa angka
kejadian HIV/AIDS di Indonesia banyak terjadi di kota-kota besar yang
merupakan menjadi suatu masalah perkotaan.
Kasus pertama bayi tertular HIV dilaporkan pada tahun 1996 di Jakarta
dari seorang ibu yang mendapat pendampingan dari Yayasan Pelita Ilmu
(YPI) dan melahirkan anaknya di RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Penularan HIV dari ibu ke bayi saat ini bertambah terus seiring dengan

1
meningkatnya perempuan yang terinfeksi HIV, hal tersebut ditunjukkan
berdasarkan data dari Dirjen PP & PL Kemenkes 2014 adalah jumlah kasus
AIDS dengan faktor risiko transmisi perinatal (dari ibu dengan HIV kepada
bayinya) sebanyak 1,438 kasus. Angka ini menunjukkan peningkatan dua kali
lipat dari 3 tahun sebelumnya yaitu 742 kasus.

1.2 Perumusan Masalah


Rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah bagaimana
konsep teori dan asuhan keperawatan pada pencegahan penularan ibu ke anak
(PPIA)

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk lebih mengetahui
tengang konsep teori dan asuhan keperawatan pada pencegahan penularan ibu
ke anak (PPIA)

2
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Konsep HIV/AIDS


2.1.1 Definisi HIV/AIDS
Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan
sindrom immunodefisiensi dari penyakit yang disebabkan oleh
Human Immuno Deficiency Virus (HIV) yang dapat menyebabkan
melemahnya sistem imun (Corwin, 2007). Sedangkan AIDS terjadi
ketika sistem imun penderita HIV sebagian besar mengalami
kerusakan, kesulitan melawan penyakit-penyakit, serta kanker (Center
of Disease Control and Prevention, 2012). Berdasarkan keterangan
tersebut dapat disimpulkan bahwa AIDS disebabkan oleh HIV yang
menyebabkan melemahnya sistem kekebalan tubuh seseorang
sehingga dapat berakhir pada kematian (Smeltzer & Bare, 2002).
Munculnya sindrom ini erat hubungannya dengan berkurangnya zat
kekebalan tubuh yang prosesnya tidaklah terjadi seketika melainkan
5-10 tahun setelah seseorang terinfeksi HIV.
Penyebaran HIV/AIDS terutama di kota metropolitan seperti
Jakarta terjadi akibat adanya mobilitas penduduk. Perpindahan
penduduk sering melibatkan pemisahan antar suami dengan istri untuk
jangka waktu lama sehingga sang suami menggunakan jasa pekerja
seks komersial selama terpisah dari istri. Kota-kota besar di Indonesia
mendapatkan kasus HIV berasal dari kelompok pengguna narkoba
suntikan, sebagian besar laki-laki yang rentang usianya antara 15
sampai 25 tahun. Di RSCM sekitar 78 % pasien laki-laki yang
terinfeksi HIV berasal dari kelompok narkoba suntikan, sedangkan 72
% perempuan terinfeksi HIV tertular
HIV dari pasangan seksualnya (suami) (Djauzi, S et all 2003).
Hal ini dibuktikan dari Komisi penaggulangan AIDS (2013) yang
mengatakan bahwa praktik penyalahgunaan narkotika melalui jarum

3
suntik, perilaku seks bebas, pelacuran dan penularan melalui benda-
benda terkontaminasi lainnya yang banyak terjadi di perkotaan
mengakibatkan jumlah HIV/AIDS di masyarakat perkotaan lebih
tinggi daripada di pedesaan, seperti yang terjadi di beberapa kota-kota
besar di Indonesia.

2.1.2 Penyebab HIV/AIDS


Ada dua jenis HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2. Kedua jenis HIV
tersebut ditransmisikan dengan cara yang sama dan terkait infeksi
oportunistik yang serupa, meskipun mereka berbeda dalam efisiensi
transmisi dan tingkat perkembangan penyakit. HIV-1 merupakan
penyebab mayoritas infeksi di dunia, sedangkan HIV-2 banyak
ditemukan di Afrika Barat kurang mudah menular dan berkembang
lebih lambat menjadi AIDS daripada HIV-1. Seseorang bisa terinfeksi
HIV kedua jenis secara bersamaan (UNICEF, 2009; Price, 2006).

2.1.3 Faktor Risiko dan Cara Penularan


Cara penularan HIV/AIDS menurut Black & Hawks (2009) antara
lain:
1. Kegiatan Seksual
Penularan ini terjadi melalui hubungan seksual yang tidak aman
antara orang dengan HIV/AIDS dengan orang lain yang sehat.
Terjadi pada kelompok heteroseksual, homoseksual, pasangan
seks yang berganti-ganti, adanya luka pada daerah genetalia akan
meningkatkan risiko peningkatan tertular virus HIV.
2. Terpapar darah dan cairan tubuh klien HIV/AIDS
Melalui penggunaan jarum suntik secara bergantian tanpa
disterilkan. Penularan HIV juga berisiko terjadi pada petugas
kesehatan karena sering terpapar dengan caitan tubuh klien
HIV/AIDS baik melalui jarum suntik dan alat kesehatan lainnya,
seperti kateter, kondom, atau NGT.

4
3. Secara vertikal dari ibu kepada bayi yang dikandungnya.
Penularan ini dapat terjadi selama kehamilan, proses melahirkan
pervaginam dan selama periode post partum melalui proses
menyusui.

2.1.4 Manifestasi klinis HIV/AIDS


Proses dari mulai terjadinya infeksi HIV hingga menjadi AIDS
mengalami beberapa proses atau fase. Menurut Price & Wilson (2002)
mengungkapkan fase yang terjadi pada orang HIV/AIDS memiliki
empat fase pada orang dewasa yang antara lain:
1. Fase Infeksi Akut (Window Period)
Fase ini terjadi setelah terinfeksi, melewati fase infeksi primer.
Rentang waktu kira-kira 1-6 bulan. Fase ini asimptomatik dengan
berkembangnya HIV di dalam tubuh. Gejala lainnya yaitu
limfadenopati meluas menjadi persisten. Fase ini tidak dapat
dilakukan tes HIV disebabkan karena belum terdeteksi virus HIV,
sehingga seseorang dapat melakukan aktivitas normal tanpa gejala
sisa.
2. Fase Asimptomatik
Rentang waktu fase ini sekitar 2-10 sejak terinfeksi. Fase kedua
mulai terjadi penurunan berat badan, infeksi saluran pernafasan
atas yang berulang, herpes zooster, ulkus mulut berulang,
dermatitis seboroik, dan infeksi jamur kuku.
3. Fase Simptomatik
Fase ketiga ini terjadi penurunan berat badan > 10%, lebih dari
satu bulan diare kronis tanpa penyebab, demam bisa intermitten
atau tetap selama sebulan lebih, kandidiasis oral persisten,
tuberkulosis paru, infeksi yang berat (empiema, meningitis,
infeksi tulang atau sendi, pneumonia), infeksi mulut, serta
penurunan komponen darah.

5
4. AIDS
Fase ini mencapai akhir dari kondisi seseorang yang terkena
HIV/AIDS yaitu penurunan berat badan < 10% dari berat badan
semula, disertai salah satu dari diare kronik tanpa penyebab yang
jelas > 1 bulan kejadian, kelemahan kronik, dan demam yang
berkepanjangan tanpa diketahui penyebabnya serta komplikasi
lainnya yang semakin membuat menurunnya kondisi seseorang.

2.1.5 Pengobatan
Obat-obat Antiretroviral (ARV) bukan untuk mengobati
HIV/AIDS, tetapi cukup untuk memperpanjang hidup pasien
HIV/AIDS. Sebelum penggunaan obat-obatan ARV sebaiknya
dilakukan pemeriksaan CD4 di dalam tubuh terlebih dahulu.
Permulaan pengobatan ARV secara medis biasanya direkomendasikan
ketika jumlah sel CD4 kurang dari atau sama dengan 200. Untuk lebih
efektif, sebaiknya obat-obat RV dikonsumsi secara kombinasi.
Kombinasi dari ARV tersebut antara lain (Timby, Scherer, & Smith,
1999 dalam Hayati, 2009) : Reverse Transkriptase Inhibitors (RTI)
berguna untuk menghambat replikasi virus dan Protease Inhibitor (PI)
berguna untuk menurunkan pelepasan partikel virus ke dalam
sirkulasi darah.

2.1.6 Aspek fisik, psikologis dan sosial klien HIV/AIDS


Aspek fisik selalu berkaitan dengan aspek lainnya. Pada sistem
kardiovaskuler terdapat tanda-tanda perubahan tekanan darah
menurunnya volume nadi perifer. Pada aktivitas fisik dan istirahat
terjadi kelemahan otot yang merupakan respon fisiologis. Pada sistem
neurosensori terjadi pusing, sakit kepala, perubahan status mental,
tidak mampu mengingat serta penurunan konsentrasi. Pada sistem
pernafasan dapat ditemukan adanya batuk, nafas pendek, sesak dan

6
adanya sputum. Pada sistem eliminasi terjadi kehilangan cairan akibat
keringat berlebihan, diare yang terus menerus. Asupan nutrisi kurang
sebagai akibat penurunan nafsu makan yang dapat memperburuk
kondisi pasien. Selain itu juga akan terjadi penurunan daya tahan dan
kekuatan tubuh (Doenges, 2000).
Masalah psikologis pada pasien HIV/AIDS adalah terjadinya
syok, takut, stress, cemas, menyalahkan diri sendiri, menyangkal,
kehilangan harapan, depresi, takut menghadapi masa depan, kematian
dan berduka. Stres yang berlarut-larut dalam intensitas yang tinggi
dapat memperberat penyakit fisik dan mental pasien, yang akhirnya
dapat menurunkan produktifitas kerja dan hubungan interpersonal
(Feris, 2001 dalam Hayati, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh
Wiwiek (2006) dalam Hayati (2009) tentang mekanisme koping
Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) dalam menghadapi stress
terhadap penyakitnya, diketahui bahwa ODHA akan mengalami stress
sepanjang hidupnya, mereka akan mengalami kebimbangan dalam
hidupnya, dan berfikiran bahwa seolah-olah hanya menunggu waktu
sampai ajal menjemput. Respon psikologis yang dirasakan oleh ibu
dengan HIV pada saat hamil terutama kecemasan tentang kondisi
kesehatannya, bayi yang akan dilahirkan, hubungan dengan pasangan,
dukungan keluarga, kondisi anggota keluarga yang lain, pembiayaan,
pelayanan yang akan didapatkan. Pertanyaan yang muncul terhadap
kondisi bayinya adalah apakah bayinya akan sehat?, apakah bayinya
akan terinfeksi HIV? (Kennedy, 2003).
Aspek sosial pasien HIV/AIDS meliputi masalah-masalah yang
terjadi pada kehidupan sosial yaitu adanya stigmatisasi, diskriminasi,
isolasi dan tidak dapat mengakses layanan kesehatan. Situasi yang
lain dari ODHA adalah lebih suka mengisolasi sendiri dari kerabat
dan teman-teman karena takut mereka menulari orang lain, takut
orang lain mengetahui perilaku yang menyebabkan mereka terinfeksi

7
atau takut orang lain melihat perubahan status kesehatan mereka
akibat penyakit sekunder dari HIV nya.

Aspek spiritual, bahwa pasien dengan HIV/AIDS biasanya akan


menyalahkan Tuhan, merasa berdosa terhadap hal-hal yang telah
dilakukan masa lalunya, sehimgga tidak mau melakukan ibadah, klien
tidak mau lagi memikirkan masa depan karena akan merasa
mendekati ajal. Spiritualitas dapat meningkatkan penaggulangan dan
respon individu terhadap stress sehingga akan meningkatkan kualitas
hidup pasien.

2.2 HIV dalam kehamilan


Angka kejadian HIV di negara berkembang termasuk Indonesia dari
tahun ke tahun mengalami peningkatan. Tingginya angka peningkatan HIV
berpengaruh pula terhadap tingginya angka kejadian HIV pada ibu hamil
(Hayati, 2009). Bayi yang dikandung dari seorang ibu dengan HIV positif,
kemungkinan besar akan tertular dari ibunya baik selama kehamilan,
persalinan maupun setelah persalinan. Terdapat beberapa faktor penting yang
memegang peranan dalam proses penularan HIV dari ibu ke bayi, antara lain
(Depkes,2006) :
2.2.1 Faktor Ibu
Faktor yang paling utama mempengaruhi risiko penularan
HIVdari ibu ke bayi adalah kadar HIV dalam darah ibu menjelang
ataupun saat persalinan dan kadar HIVdalam air susu ibu. Risko
penularan HIV sangat kecil jika kadar HIV rendah (kurang dari 1.000
kopi/ml), sementara jika kadar HIV di atas 100.000 kopi/ml risiko
penularan HIV dari ibu ke bayi menjadi lebih tinggi (Depkes, 2006).

Status kesehatan dan gizi ibu juga mempengaruhi risiko


penularan HIV dari ibu ke bayi. Ibu dengan sel CD4 rendah
(menurunnya sistem pertahanan tubuh) mempunyai risiko penularan

8
yang lebih besar, terlebih jika jumlah sel CD4 kurang dari 200.
Terdapat hubungan antara CD4 dan kadar HIV, semakin tinggi kadar
HIV, semakin rendah CD4 di tubuh ODHA (Mulyana, 2008).
Ibu yang memiliki berat badan rendah selama kehamilan serta
kekurangan vitamin dan mineral, maka risiko terkena berbagai
penyakit infeksi termasuk HIV/AIDS meningkat sehingga risiko
penularan HIV dari ibu ke bayi juga meningkat. Begitu pula dengan
risiko penularan HIV melalui pemberian ASI akan bertambah jika
terdapat adanya masalah pada payudara ibu seperti mastitis, abses dan
luka di puting payudara ibu (Mulyana, 2008).

2.2.2 Faktor Bayi


Bayi yang lahir prematur dan memiliki berat badan lahir rendah
diduga lebih rentan untuk tertular HIV disebabkan karena sistem
organ tubuh bayi tersebut belum berkembang dengan baik. Seorang
bayi dari HIV positif bisa jadi tetap HIV negatif selama masa
kehamilan dan proses persalinan, tetapi mungkin akan terinfeksi HIV
melalui pemberian ASI (Mulyana, 2008). Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
tingkat risiko penularan HIV melalui pemberian ASI, yaitu (Depkes,
2006) : (1) risiko penularan melalui ASI akan lebih besar pada bayi
baru lahir, (2) bayi yang memiliki luka di mulutnya memiliki risiko
untuk tertular HIV lebih besar ketika diberikan ASI.

2.2.3 Faktor Cara Penularan


Sebagian besar penularan HIV dari ibu ke bayi terjadi pada saat
persalinan. Hal ini lebih sering terjadi jika plasenta meradang atau
infeksi. Pada saat persalinan, bayi terpapar darah dan lendir ibu di
jalan lahir. Kulit bayi baru lahir masih sangat lemah dan lebih mudah
terinfeksi jika kontak dengan HIV (Depkes, 2006).

9
Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan
HIV dari ibu ke bayi juga semakin meningkat karena akan semakin
lama terjadinya kontak antara bayi dengan darah atau lendir ibu.
Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan akan
meningkatkan risiko penularan hingga dua kali lipat dibandingkan
dengan ketuban pecah kurang dari 4 jam. Faktor lain yang dapat
meningkatkan risiko penularan selama proses persalinan adalah
penggunaan vakum, forcep dan tindakan episiotomi (Mulyana, 2008).

2.3 Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA).


Program PPIA mempunyai program pencegahan HIV dari ibu kepada
bayimya yang bertujuan untuk : mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi
dan mengurangi dampak epidemi HIV terhadap ibu dan bayi. Adapun bentuk-
bentuk intervensi dari PPIA adalah melakukan pencegahan penularan HIV
dari ibu ke bayi. Intervensi yang baik maka risiko penularan HIV dari ibu ke
bayi sebesar 25-45 % bisa ditekan menjadi kurang dari 2 % (Gondo, 2011).
Adapun intervensi tersebut terdiri dari 4 konsep dasar yang antara lain
adalah :
2.3.1 Mengurangi jumlah ibu hamil dengan HIV positif.
Penularan infeksi virus ke neonatus dan bayi terjadi
transplasenta dan persalinan, oleh karena itu untuk mengurangi
penularan tersebut dianjurkan ibu hamil dengan HIV positif untuk
menjaga daya tahan tubuh seperti CD 4 di atas 500, kadar virus (viral
load) minimal kurang dari 1000 kopi/ml dan menggunakan ARV
secara teratur.

2.3.2 Menurunkan viral load/kadar virus serendah-rendahnya.


Obat antiretroviral (ARV) yang ada sampai saat ini baru
berfungsi untuk menghambat multiplikasi virus, belum
menghilangkan secara total keberadaan virus dalam tubuh. Namun

10
demikian ARV merupakan pilihan utama dalam upaya pengendalian
penyakit guna menurunkan kadar virus.

2.3.3 Meminimalkan paparan janin/bayi terhadap cairan tubuh ibu.


Persalinan dengan Sectio Caesaria (SC) berencana sebelum saat
persalinan tiba merupakan pilihan utama ibu HIV positif. Pada saat
persalinan pervaginam, bayi akan terpapar darah dan lendir ibu di
jalan lahir. Bayi juga mungkin terinfeksi karena menelan darah atau
lendir di jalan lahir tersebut. Beberapa hasil penelitian menyimpulkan
bahwa SC akan mengurangi risiko penularan HIV dari ibu ke bayi
sebesar 5066% (Gondo, 2011). Apabila SC tidak bisa dilakukan,
dianjurkan untuk tidak melakukan tindakan invasif yang
memungkinkan perlukaan pada bayi (seperti ekstraksi forceps,
ekstraksi vakum) dan perlukaan pada ibu (episiotomi).
Paparan janin/bayi terhadap cairan tubuh ibu juga bisa
didapatkan melalui pemberian ASI. Oleh karena itu ibu HIV positif
perlu mendapatkan konseling untuk mengurangi penularan dari ibu ke
bayinya dengan memberikan susu formula. Pemberian susu formula
harus mempunyai 5 persyaratan dari WHO yaitu AFASS (Acceptable
= mudah diterima, Feasible = mudah dilakukan, Affordable = mudah
dijangkau, Sustainable = berkelanjutan, Safe = aman penggunaannya).

2.3.4 Mengoptimalkan kesehatan ibu dengan HIV positif.


Melalui pemeriksaan ANC (Ante Natal Care) secara teratur
dilakukan pemantauan kehamilan dan keadaan janin. Pola hidup sehat
yang dapat dilakukan ibu hamil dengan HIV positif antara lain adalah
cukup nutrisi, cukup istirahat, cukup olahraga, tidak merokok, tidak
minum alkohol juga patut diterapkan.
Program PPIA pada dasarnya adalah suatu usaha untuk
mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu kepada bayinya. Pada
waktu bayi baru lahir, secara alamiah ia akan mendapat

11
imunoglobulin (zat kekebalan tubuh) dari ibunya melalui plasenta,
tetapi kadar zat tersebut akan cepat turun segera setelah bayi lahir.
Pada saat kadar zat kekebalan bawaan menurun, sedangkan zat
kekebalan yang dibentuk oleh badan bayi belum mencukupi, maka
akan terjadi kesenjangan zat kekebalan bayi. Kesenjangan tersebut
akan hilang apabila bayi diberi ASI, karena ASI mengandung zat
kekebalan yang akan melindungi bayi dari berbagai penyakit ( Rusli,
2000).
2.4 Penatalaksanaan HIV/AIDS pada kehamilan
2.4.1 Penatalaksanaan pada masa prenatal Valerian, C.M; Kemara,
P.K & Megadhana, I.W, 2013)
Sebelum konsepsi sebaiknya wanita yang terinfeksi melakukan
konseling terlebih dahulu dengan dokter spesialis. Program ini sangat
membantu pasien dalam menentukan terapi yang optimal dan
penanganan obstetrik, seperti diagnosis prenatal untuk kelainan
kongenital (malformasi atau kelainan kromosomal) dan menentukan
cara persalinan yang boleh dilakukan. Status awal yang harus dinilai
pada ibu hamil denga HIV/AIDS adalah riwayat penyakit HIV,
imunologis (jumlah CD4 < 400/ml) dan virologis (Viral Load).
Beberapa ketidaknyamanan prenatal seperti keletihan,
anoreksia, dan penurunan berat badan bisa menjadi tanda dan gejala
infeksi HIV selama kehamilan. Untuk mempertahankan sistem imun
selama kehamilan, gizi yang baik, tidur dan istirahat, latihan fisik, dan
pencegahan stres sangat penting dilakukan selain dari pemberian
terapi ARV (Reeder, Martin &
Griffin, 2011). Selain itu konseling tentang bagaimana
melanjutkan kehamilan dan meminimalkan kemungkinan risiko yang
terjadi juga harus dilakukan mulai dari periode pre natal selama
kehamilan dengan HIV/AIDS (Setiani, 2013).

12
2.4.2 Penatalaksanaan pada persalinan (Valerian, C.M; Kemara, P.K
& Megadhana, I.W, 2013)
Fokus utama perawatan pada periode intranatal ini ialah
mencegah persebaran nosokomial HIV dan melindungi tenaga
kesehatan. Risiko transmisi HIV dianggap rendah selama proses
kelahiran pervaginam terlepas dari kenyataan bayi terpapar pada
darah, cairan amniotik, dan sekresi vagina lainnya (Bobak, 2004).

Persalinan pervaginam yang memungkinkan terpaparnya bayi


pada darah, cairan amniotik dan sekresi vagina lainnya membuat
persalinan jenis ini menjadi rentan untuk penularan HIV AIDS pada
bayi sehingga operasi caesario biasanya dilakukan untuk
meminimalkan risiko transmisi pada kehamilan dengan SIDA.
Cara persalinan harus ditentukan sebelum 38 minggu untuk
meminimalkan terjadinya komplikasi persalinan. Semua ibu hamil
denga HIV positif disarankan untuk melakukan persalinan dengan
operasi SC. Tujuan persalinan yang aman bagi ibu dengan HIV adalah
: tidak terjadi penularan HIV ke janin/bayi, tim penolong (baik medis
maupun non medis) serta ke pasien lainnya; kondisi ibu baik sesudah
melahirkan; efektif dan efisien. Sebagian besar penularan HIV dari
ibu ke bayi terjadi pada saat persalinan, hal tersebut terjadi karena :
tekanan pada plasenta meningkat menyebabkan terjadinya sedikit
percampuran antara darah ibu dan bayi; lebih sering terjadi jika
plasenta meradang atau infeksi.:Bayi terpapar darah dan lendir ibu di
jalan lahir; bayi mungkin terinfeksi karena menelan darah taupun
lendir ibu. Oleh karena itu persalinan yang aman untuk untuk ibu
dengan HIV/AIDS adalah dengan melakukan operasi SC.

2.4.3 Penatalaksanaan pada postnatal (Valerian, C.M; Kemara, P.K &


Megadhana, I.W, 2013)

13
Secara teori, ASI dapat membawa HIV dan dapat meningkatkan
transmisi prenatal. Oleh karena itu WHO tidak merekomendasikan
pemberian ASI pada ibu dengan HIV positif , meskipun mereka
mendapatkan terapi ARV. Saran suportif mengenai susu formula pada
bayi sangat diperlukan untuk mencegah gizi buruk pada bayi.
Pengetahuan ibu dengan HIV/AIDS postnatal terkait pencegahan
penularan HIV dari ibu ke bayi perlu ditingkatkan.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN IBU HAMIL DENGAN HIV POSITIF

Pelayanan keperawatan yang diberikan oleh seorang perawat sangat


mempengaruhi kualitas asuhan keperawatan yang akan diterima oleh pasien/
masyarakat. Oleh karena itu untuk dapat memberikan asuhan keperawatan yang
berkualitas maka perawat perlu berorientasi pada outcome pasien yang lebih baik
(Bellato & Pereira, 2004; Nicklin, 2003). Dasar dalam suatu asuhan keperawatan
adalah adanya sifat kepedulian perawat dalam memenuhi kebutuhan dasar pasien
serta berupaya membantu pasien menetapkan dan menyelesaikan masalah yang
disebut dengan caring. Asuhan keperawatan bagi penderita HIV/AIDS merupakan
tantangan yang besar bagi perawat karena setiap sistem organ berpotensi untuk
menjadi sasaran infeksi (Smeltzer & Bare, 2002). Sehingga dibutuhkan peran
perawat dalam pemenuhan kebutuhan biologis, psikologis, dukungan sosial dan
spiritual kepada pasien HIV/AIDS. Dalam memberikan asuhan keperawatan pada
pasien HIV positif post SC, seorang perawat perlu meningkatkan penerapan
universal precaution, yang merupakan upaya pencegahan penularan penyakit dari
pasien ke tenaga kesehatan dan sebaliknya. Pencegahan utama terhadap penularan
tersebut yaitu meminimalisasi kejadian kontak darah antara pasien dengan tenaga
kesehatan. Persiapan yang harus dilakukan sebelum operasi SC antara lain
adalah : pilihan jenis anestesi, keterlibatan suami atau orang lain yang dibutuhkan
oleh ibu pada saat proses persalinan dan pemulihan post operasi, persiapan untuk

14
kontak dengan bayi dan persiapan untuk tidak memberikan ASI. Informasi yang
diberikan sebelum prosedur operasi SC adalah sebagai berikut : prosedur
persiapan operasi, mengapa tindakan operasi perlu dilakukan pada klien, apa yang
dirasakan setelah operasi dilakukan, peran orang lain, interaksi dengan bayi baru
lahir, fase pemulihan dan fase post operasi (Ladewig, London & Olds, 2001).
3.1 Pengkajian
Pada saat mengkaji perawat harus mempersiapkan diri terhadap respon
emosi pasien seperti menghindar, menangis, marah dan mengalihkan
pembicaraan. Perawat harus menjaga sikap agar terhindar dari menghakimi
atau memojokkan pasien. Perawat juga harus memahami pola komunikasi
verbal dan non verbal pasien, karena terkadang pasien tidak mampu
menyampaikan perasaan dan pengalamannya.
Pada ibu post SC dengan HIV/AIDS akan terjadi penurunan hormon
estrogen, progesteron dan pembedahan yang dapat mengakibatkan respon
emosional ibu post SC lebih berat daripada ibu post partum pervaginam. Hal
tersebut disebabkan akibat adanya nyeri dan komplikasi pembedahan. Pada
ibu post SC dapat terjadi reaksi emosional yang negatif seperti marah,
depresi, takut mati, berduka, rasa tidak nyaman bernafas, rasa mengabaikan
bayi serta cemburu pada orang lain yang melahirkan secara pervaginam
(Bobak, Lowdermilk & Jensen, 2005)

3.2 Diagnosa keperawatan ibu hamil HIV/AIDS


Diagnosis keperawatan utama bagi ibu hamil dengan HIV/AIDS
(Reeder, Martin & Griffin,2011), adalah sebagai berikut :
a. Risiko penyebaran infeksi (kepada janin, pasangan seksual).
b. Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan HIV dan AIDS
(perjalanan, penyebaran penyakit, efek jangka panjang pada wanita dan
janin).
c. Ansietas atau ketakutan yang berhubungan dengan efek HIV atau AIDS
dan akhirnya menyebabkan kematian.
d. Risiko infeksi yang berhubungan dengan gangguan funsi sistem imun.

15
e. Nyeri yang berhubungan dengan infeksi oportunistik, efek samping
pengobatan.
f. Gangguan harga diri yang berhubungan dengan stigma penyakit.
g. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
h. Ketidakefektifan koping keluarga yang berhubungan dengan risiko HIV
terhadap anggota keluarga, pengaruh dari penularan secara seksual.

3.3 Intervensi Keperawatan


Tujuan yang ingin dicapai dalam intervensi keperawatan pada ibu hamil
dengan HIV positif antara lain :
1. Klien memahami proses penyakit dan pengobatan.
2. Klien mendapatkan kesempatan mendiskusikan ketakutan, kecemasan dan
perasaannya dengan orang yang memberi dukungan.
3. Status nutrisi dan berat badan dapat dipertahankan.
4. Penularan infeksi pada pasangan, orang lain dan bayi dapat dicegah.
5. Keluarga memahami penyakit, risiko penularan, dan koping yang tepat.
6. Isolasi sosial tidak terjadi.
7. Klien dapat menerapkan mekanisme koping yang tepat
(Reeder, Martin & Griffin, 2011).
Dalam upaya pencapaian tersebut, maka intervensi keperawatan yang
dapat dilakukan antara lain :
1. Memberikan informasi pada klien tentang penyakit, pengobatan,
penularan dan cara pencegahannya.
2. Memberikan kesempatan kepada klien untuk mendiskusikan ketakutan,
kecemasan perasaan, kebutuhan dukungan, konseling serta perawatan.
3. Memberikan kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan persepsi
klien tentang penyakitnya.
4. Memperbaiki toleransi terhadap aktivitas.
5. Mengurangi nyeri dan ketidaknyamanan.

16
6. Memperbaiki status nutrisi.
7. Mengurangi isolasi sosial.
8. Memperbaiki koping.
9. Memantau dan melakukan pencegahan komplikasi
(Griffin, Martin & Reeder,2011).

17
3.4 Evaluasi Keperawatan
Hasil yang diharapkan dari intervensi yang dilakukan pada ibu HIV
positif post SC antara lain :
1. Klien dapat menjelaskan proses penyakit serta apa yang diharapkan dari
pengobatan.
2. Klien dapat mengungkapkan ketakutan dan kecemasannya.
3. Klien dapat menggunakan sumber dukungan yang ada.
4. Klien dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara efektif.
5. Klien dapat mengidentifikasi upaya yang dapat dilakukan untuk
pencegahan penularan serta mampu mengimplementasikan.
6. Klien mengungkapkan penerimaan dirinya.
7. Klien dapat mengikuti anjuran diit dan mempertahankan status nutrisi dan
berat badan.
8. Infeksi dapat dideteksi secara dini dan ditangani secara efektif.
9. Ketidaknyamanan dapat diminimalisasi dan diatasi dengan cepat.
10. Melaporkan peningkatan pemahaman tentang penyakit serta berpartisipasi
sebanyak mungkin dalam kegiatan perawatan mandiri
(Griffin, Martin & Reeder, 2011).

18
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
HIV/AIDS dapat menyerang siapa saja dari semua golongan umur,
tidak terkecuali ibu yang sedang hamil. Ibu hamil dengan HIV/AIDS
mempunyai risiko untuk menularkan penyakitnya kepada bayi yang
dikandungnya. Penularan tersebut dapat dicegah sehingga tingkat penularan
dari ibu ke bayi menjadi minimal jika klien taat akan peraturan yang dibuat.
Masalah keperawatan yang ditegakkan berdasarkan data yang didapat
dari pengkajian klien kelolaan antara lain : cemas; nyeri akut; perubahan pola
tidur dan kesiapan meningkatkan pengetahuan tentang cara melakukan
perawatan postnatal pasca operasi caesar dan perawatan bayi.
Intervensi yang dilakukan khususnya pada kasus klien kelolaan adalah
pemberian pendidikan kesehatan klien tentang penularan HIV dari ibu ke
bayi dan pencegahannya, selain itu pendidikan kesehatan tentang tanda-tanda
persalinan dan prosedur operasi juga dilakukan. Pendidikan kesehatan yang
diberikan pada klien dan keluarga ditujukan untuk meyakinkan, memberi
support dan dukungan kepada ibu bahwa pencegahan penularan HIV dari ibu
ke bayi dapat dilakukan untuk memperkecil tingkat penularan, selain itu juga
dapat meningkatkan harapan keluarga agar bayinya tidak tertular.

4.2 Saran
Diharapkan dapat meningkatkan program pendidikan kesehatan tentang
pentingnya penularan dan pencegahan HIV/AIDS dari ibu ke bayinya.
Program pendidikan kesehatan ini mengenai perlu melibatkan suami dan
keluarga yang merupakan sebagai sistem pendukung ibu hamil dengan
HIV/AIDS.

19
DAFTAR PUSTAKA

Black, J.M & Hawks, J.H. (2008). Medical surgical nursing : clinical
management for positive outcomes. Saunders.
Bobak, I.M., Lowdermilk, D.L., & Jensen, M.D. (2005). Buku ajar keperawatan
maternitas. Alih bahasa : Wijayarini, M.A. Jakarta : EGC.
Bare, B. G., & Smeltzer, S. C. (2001). Buku ajar keperawatan medikah bedah.
Volume 3. Alih bahasa: Agung waluyo, dkk. Jakarta: EGC
Budiasuri, M.A & Mirojab, A. (2011). Kebijakan pencegahan penularan
HIV/AIDS dari ibu ke anak (Studi kasus di kota Surabaya). Ejournal. Litbang.
Carpenito, L.J. (2000). Diagnosa keperawatan. Edisi 8. Jakrta: EGC.
Doenges, M. E. (2000). Rencana asuhan keperawatan pedoman untuk
perencanaan & pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta : EGC.
Kozier, B., Erb, G., Berman, A., Synder, S.J. (2004). Fundamental of nursing
concept, process and practise. New Jersey : Pearson Prentie Hall.
Wilkinson, J.M. (2006). Buku saku diagnosis keperawatan dengan intervensi NIC
dan kriteria hasil NOC. Jakarta : EGC.

20

Anda mungkin juga menyukai