Anda di halaman 1dari 16

Ilmu Dasar Keperawatan 3

“Farmakologi Obat Respirasi, Antihistamin, Antibiotik, dan Kortikosteroid”

Dosen Pemimbing :
dr. Dwi Soelistyoningsih, M.Biomed

Disusun oleh :
1. Maria Bili (191114201703)
2. Siti Aisyah (191114201720)
3. Tri Meirista (191114201722)
4. Nur Laili Sa’adah (191114201734)

STIKES WIDYAGAMA HUSADA MALANG


S1 KEPERAWATAN B
2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat bimbingan
dan rahmat – Nya sehingga kami dapat merangkai makalah ini dari awal hingga selesainya.
Dalam makalah ini, kami akan membahas mengenai farmakologi obat. Makalah ini disusun atas
dasar memberikan pengetahuan kepada mahasiswa dan calon perawat bagaimana komunikasi
perawat kepada pasien.

Melalui makalah ini, kami berharap agar apa yang kami kemukakan dalam makalah ini
dapat bermanfaat bagi para pembaca terutama para calon perawat dan menerapkannya dalam
kehidupan masyarakat.
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Farmakologi pada dunia pendidikan diartikan sebagai ilmu yang mempelajari obat
dan kegunaannya dalam metabolisme pada sistem biologi. Farmakologi juga mempelajari
asal dari sumber obat, sifat fisika-kimia, cara buat, efek biokimiawi dan fisiologi yang
ditimbulkan. farmakologi ialah zat kimia yang dapat mempengaruhi jaringan
biologi(tubuh). Dalam bahasa awamnya , farmakologi berbicara mengenai obat.
Sedangkan obat sendiri merupakan zat yang dapat mempengaruhi aktifitas tubuh
atau pikiran. Kebijakan Obat Nasional (KONAS) mengatakan bahwa pengertian obat
ialah bahan atau persediaan yang digunakan untuk mempengaruhi atau memamahi sistem
fisiologi atau kondisi biologi untuk memperbaiki tingkat kesehatan, dan kontrasepsi.
Penyakit saluran napas menjadi penyebab angka kematian dan kecacatan yang
tinggi di seluruh dunia. sekitar 80% dari seluruh kasus baru praktek umum berhubungan
dengan infeksi saluran napas yang terjadi di masyarakat atau dirumah sakit. Pneumonia
menjadi salah satu penyakit menular sebagai faktor penyebab kematian pada anak.
Pneumonia menjadi target dalam Millenium Development Goals (MDGs), sebagai upaya
untuk mengurangi angka kematian anak. Berdasarkan data WHO pada tahun 2013
terdapat 6,3 juta kematian anak di dunia, dan sebesar 935.000 (15%) kematian anak
disebabkan oleh pneumonia. Sedangkan di Indonesia kasus pneumonia mencapai 22.000
jiwa menduduki peringkat ke delapan sedunia.
Pada awal pengobatan pneumonia dapat diberikan terapi antibiotik spektrum
sempit seperti: seftriakson dan ampisilin, atau spektum luas seperti: sefaloseporin,
vankomisin, dan kuinolon. Antibiotik merupakan obat yang digunakan pada penyakit
infeksi pneumonia yang disebabkan oleh bakteri. Adapun terapi suportif yang diberikan
di antaranya antihistamin bekerja menekan gejala-gejala alergi dengan persentase
penggunaan 9%, antiinflamasi bekerja mengurangi peradangan yang ditimbulkan dengan
persentase sebesar 19%, bronkodilator bekerja dengan memperluas saluran udara dan
mempermudah untuk bernafas dengan persentase sebesar 33,11%, antipiretik berperan
meredakan gejala panas pasien dengan persentase penggunaan 17,68%, analgesik
berperan menghilangkan rasa nyeri tanpa harus menghilangkan kesadaran seseorang
sebesar 0,32%, dekongestan berperan menyusutkan selaput hidung yang membengkak
dan membuatnya lebih mudah untuk bernapas sebesar 0,32%, antitusif bekerja
menghentikan batuk secara langsung dengan menekan refleks batuk pada sistem saraf
pusat di otak persentase penggunaannya sebesar 2,25%.

1.2 Rumusan Masalah


Dari beberapa tinjauan yang akan dibahas, muncul beberapa masalah tentang farmakologi
obat respirasi, antibiotik, antihistamin, dan kortikosteroid, diantaranya :
1. Apa saja masalah yang akan terjadi pada system pernafasan serta obat apa aja
yang digunakan?
2. Apa saja jenis antibiotik dan bagaimana jika antibiotik digunakan dengan tidak
efektif?
3. Apa perbedaan antihistamin golongan pertama, kedua, dan ketiga ?
4. Bagaimana efek samping dari obat kortikosteroid ?

1.3 Tujuan
Dibuatnya makalah ini bertujuan untuk :
1. Mempelajari masalah pada system pernafasan beserta obatnya
2. Mempelajari jenis-jenis antibiotic
3. Mengetahui perbedaan golongan pada antihistamin
4. Mengetahui efek samping dari obat korikosteroid
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Farmakologi Obat Respirasi


2.1.1 Pengertian
Pernafasan atau respirasi adalah suatu proses mulai dari pengambilan
oksigen, pengeluaran karbohidrat hingga penggunaan energi di dalam tubuh.
Manusia dalam bernapas menghirup oksigen dalam udara bebas dan membuang
karbondioksida ke lingkungan. Normalnya manusia butuh kurang lebih 300 liter
oksigen perhari. Dalam keadaan tubuh bekerja berat maka oksigen atau O¬2 yang
diperlukan pun menjadi berlipat-lipat kali dan bisa sampai 10 hingga 15 kali lipat.
Ketika oksigen tembus selaput alveolus, hemoglobin akan mengikat oksigen yang
banyaknya akan disesuaikan dengan besar kecil tekanan udara.
2.1.2 Faktor – faktor dalam proses respirasi
1. Tekanan intrapleura yang menahan paru-paru tetap berkontak dengan
dinding toraks.
2. Jaringan elastic dalam paru-paru yang bertanggung jawab terhadap
kecenderungannya untuk menjauh dari dinding toraks dan mengempis.
3. Tekanan intra-alveolar yang merupakan tekanan di dalam paru-paru.
4. Surfaktan mengurangi tegangan permukaan cairan yang menurunkan
kecenderungan pengempisan alveoli.
5. Komplians merupakan suatu ukura peningkatan volume paru yang
dihasilkan setiap unit perubahan dalam tekanan intra-alveolar.
6. Pneumotoraks merupakan kondisi dimana udara berada di dalam dada.
7. Atalektasis merupakan proses pengempisan paru-paru.

2.1.3 Masalah-masalah pada sitem pernapasan


Beberapa masalah yang sering terjadi dalam sistem pernapasan, diantaranya :
1. Hipoksia adalah defisiensi oksigen, yaitu kondisi berkurangnya kadar
oksigen dibandingkan kadar normalnya secara fisiologis dalam jaringan
dan organ.
2. Hiperkapnia adalah peningkatan kadar CO2 dalam cairan tubuh dan
sering disertai dengan hipoksia. Dimana jika kadar CO2 berlebih dapat
meningkatkan respirasi dan konsentrasi ion hidrogen yang akan
menyebabkan asidosis (kadar asam berlebih).
3. Kanker paru (karsinoma pulmonar) sering dikaitkan dengan merokok
tetapi dapat juga terjadi pada orang yang tidak merokok.
4. Tuberkolosis adalah penyakit yang disebabkan bakteri yang dapat
mempengaruhi semua jaringan tubuh, tapi paling umum terlokalisasi di
paru-paru.
5. Pneumonia adalah proses inflamasi infeksius akut yang mengakibatkan
alveoli penuh terisi cairan. Penyakit ini dapat disebabkan oleh bakteri,
jamur, protozoa, virus, atau zat kimia.

2.1.4 Obat saluran pernapasan


1. Antihistaminika
Semua antihistamin memberikan manfaat potensial pada terapi
alergi nasal, rhinitis alergik. Sifat antikolinergik pada kebanyakan
antihistamiin menyebabkan mulut kering dan pengurangan sekresi,
membuat zat ini berguna untuk mengobati rhinitis yang ditimbulkan oleh
flu. Antihistamin juga mengurangi rasa gatal pada hidung yang
menyebabkan penderita bersin banyak obat-obat flu yang dapat dibeli
bebas mengandung antihistamin, yang dapat menimbulkan rasa
mengantuk.
Contoh obat antihistamin

Nama Obat Dosis


Anti histamin D : PO : 25-50 mg, setiap 4-6 jam
Difenhidramin D D : PO, IM, IV : 5 mg/kg/h dalam 4 dosis terbagi,
( Benadryl ) tidak lebih dari 300 mg/hari
Kloerfenilamen D : IM:IV: 10-50 mg dosis tunggal
maleat D: PO : 2-4 mg, setiap 4-6 jam
Fenotiasin A: 6-12 thn: 2 mg, setiap 4-6 jam
(aksi antihistamin) A: 2-6 thn: PO, 1 mg, setiap 4-6 jam
Prometazine D: PO: IM: 12,5-25 mg, setiap 4-6 jam
Timeprazine D: PO: 2,5 mg (4 x sehari)
A: 3-12 thn: O: 2,5 (3x sehari)

Turunan D: PO: 25-100 mg


piperazine A: (<6thn):>
(aksi antihistamin)
hydroxyzine

Keterangan:
D: Dewasa, A: anak-anak, PO: per oral, IM: intramuscular, IV: intravena

2. Mukolitik
Mukolitik bekerja sebagai deterjen dengan mencairkan dan
mengencerkan secret mukosayang kental sehingga dapat dikeluarkan. Efek
samping yang paling sering terjadi adalah mual dan muntah. Contoh
obatnya yaitu ambroxol dan bromheksin.
Dosis bromheksin : oral 3-4 dd 8-16 mg (klorida)
anak-anak 3 dd 1,6-8 mg.
3. Obat obat batuk
Antitussiva (L . tussis = batuk) digunakan untuk pengobatan batuk
sebagai gejala dan dapat di bagi dalam sejumlah kelompok dengan
mekanisme kerja yang sangat beraneka ragam, yaitu :
 Zat pelunak batuk (emolliensia, L . mollis = lunak ), yang
memperlunak rangsangan batuk, melumas tenggorokan agar tidak
kering, dan melunakkan mukosa yang teriritasi.
 Ekspoktoransia (L . ex = keluar, pectus = dada) : minyak terbang,
gualakol, radix ipeca (dalam tablet / pelvis doveri) dan ammonium
klorida (dalam obat batuk hitam) zat-zat ini memperbanyak
produksi dahak ( yang encer). Sehingga mempermudah
pengeluarannya dengan batuk.
 Zat pereda : obat-obat dengan kerja sentral ini ampuh sekali pada
batuk kering yang mengelitik.
 Anastetika local : pentoksiverin. Obat ini menghambat penerusan
rangsangan batuk ke pusat batuk.

2.2 Farmakologi Obat Antibiotik


2.2.1 Pengertian
Antibiotik adalah kelompok obat yang digunakan untuk mengatasi
dan mencegah infeksi bakteri. Obat ini bekerja dengan cara membunuh
dan menghentikan bakteri berkembang biak di dalam tubuh. Antibiotik
tidak dapat digunakan untuk mengatasi infeksi akibat virus, seperti flu.
Semenjak diketemukannya penisilin ataupun obat-obat sulfa pada
tahun 1930 an, sampai saat ini berbagai jenis antibiotika dan
kemoterapetika banyak sekali ditemukan dan dikembangkan, baik dengan
teknik sintesis ataupun semisintesis. Pengembangan obat-obat golongan
ini merupakan suatu tonggak kemajuan dalam dunia pengobatan, oleh
karena berbagai penyakit infeksi dapat diobati secara efektif atau pada
beberapa keadaan dapat dicegah terjadinya kecacadan. Contoh yang paling
jelas adalah menurunnya kejadian demam rematik semenjak digunakannya
penisilin dalam klinik sebagai profilaksi primer untuk infeksi streptokokus
beta hemolitikus. Walaupun jelas penurunan ini bukan semata-mata andil
pemakaian antibiotika, tetapi juga karena membaiknya kondisi sosial-
ekonomi. Penemuan berbagai antibiotika dan kemoterapetika baru juga
telah memungkinkan perkembangan dalam bidang kedokteran lain,
misalnya transplantasi organ, operasi pemasangan protesa (misalnya katup
jantung), terapi keganasan dan lain-lain, yang tidak dapat dilepaskan dari
peranan pemakaian antibiotika yang efektif.
2.2.2 Jenis Antibiotik

Klasifikasi antibiotika dan kemoterapetika yang sering dianjurkan


dan digunakan adalah berdasarkan bagaimana kerja antibiotika tersebut
terhadap kuman, yakni antibiotika yang bersifat primer bakteriostatik dan
antibiotika yang bersifat primer bakterisid. Pembagian lain juga sering
dikemukakan berdasarkan makanisme atau tempat kerja antibiotika
tersebut pada kuman, yakni:

a) Antibiotika yang bekerja menghambat sintesis dinding sel kuman,


termasuk di sini adalah basitrasin, sefalosporin, sikloserin,
penisilin, ristosetin dan lain-lain.
b) Antibiotika yang merubah permeabilitas membran sel atau
mekanisme transport aktif sel. Yang termasuk di sini adalah
amfoterisin, kolistin, imidazol, nistatin dan polimiksin.
c) Antibiotika yang bekerja dengan menghambat sintesis protein,
yakni kloramfenikol, eritromisin (makrolida), linkomisin,
tetrasiklin dan aminogliosida.
d) Antibiotika yang bekerja melalui penghambatan sintesis asam
nukleat, yakni asam nalidiksat, novobiosin, pirimetamin,
rifampisin, sulfanomida dan trimetoprim.

Secara garis besar, jenis-jenis antibiotika dan kemoterapetika yang ada


antara lain :

1. Golongan penisilin : bersifat bakterisid dan bekerja dengan


mengganggu sintesis dinding sel.
2. Golongan sefalosporin. Golongan ini hampir sama dengan penisilin
oleh karena mempunyai cincin beta laktam.
3. Golongan amfenikol. Golongan ini mencakup senyawa induk
kloramfenikol maupun derivat-derivatnya yakni kloramfenikol
palmitat, natrium suksinat dan tiamfenikol.
4. Golongan tetrasiklin merupakan antibiotika spektrum luas bersifat
bakteriostatik untuk kuman Gram positif dan Gram negatif, tetapi
indikasi pemakaiannya sudah sangat terbatas oleh karena masalah
resistensi, namun demikian antibiotika ini masih merupakan pilihan
utama untuk infeksi-infeksi yang disebabkan oleh klamidia, riketsia,
dan mikoplasma. Mungkin juga efektif terhadap N. meningitidis, N.
gonorhoeae dan H. influenzae., termasuk di sini adalah tetrasiklin,
klortetrasiklin, oksitetrasiklin, doksisiklin, minosiklin, metasiklin dan
demeklosiklin.
5. Golongan aminoglikosida merupakan golongan antibiotika yang
bersifat bakterisid dan terutama aktif untuk kuman Gram negatif.
6. Golongan makrolida. Golongan makrolida hampir sama dengan
penisilin dalam hal spektrum antikuman, sehingga merupakan alternatif
untuk pasien-pasien yang alergi penisilin.
7. Golongan linkosamid adalah linkomisin dan klindamisin, aktif
terhadap kuman Gram positif termasuk stafilokokus yang resisten
terhadap penisilin.
8. Golongan polipeptida. Antibiotika golongan ini meliputi polimiksin A,
B, C, D dan E. Merupakan kelompok antibiotika yang terdiri dari
rangkaian polipeptida dan secara selektif aktif terhadap kuman Gram
negatif, misalnya psedudomonas maupun kuman-kuman koliform yang
lain.
9. Golongan antimikobakterium. Golongan antibiotika dan
kemoterapetika ini aktif terhadap kuman mikobakterium. Termasuk di
sini adalah obat-obat anti TBC dan lepra, misalnya rifampisin,
streptomisin, INH, dapson, etambutol dan lain-lain.
10. Golongan sulfonamida dan trimetropim. Kepentingan sulfonamida
dalam kemoterapi infeksi banyak menurun karena masalah resistensi.
11. Golongan kuinolon merupakan kemoterapetika sintetis yang akhir-
akhir ini mulai populer dengan spektrum antikuman yang luas terutama
untuk kuman-kuman Gram negatif dan Gram positif,
enterobakteriaceae dan pseudomonas. Terutama dipakai untuk infeksi-
infeksi nosokomial. Termasuk di sini adalah asam nalidiksat,
norfloksasin, ofloksasin, pefloksasin dan lain-lain.

2.2.3 Penggunaan antibiotik yang tidak efektif


Pola pemakaian antibiotika secara serampangan ini akan
memberikan dampak negatif dari dua segi. Pertama, terjadinya
pemborosan biaya karena pemakaian antibiotika untuk kasus-kasus yang
sebagian mungkin sebenarnya tidak memerlukannya. Kedua, misalnya
pada faringitis streptokokus yang notabene memerlukan pengobatan
antibiotika secara penuh (dengan penisilin, eritromisin atau yang lain)
pengobatan dengan tetrasiklin tidak akan dapat mencegah terjadinya
demam rematik jika infeksinya karena beta streptokokus hemolitikus.

2.3 Farmakologi Obat Atihistamin


2.3.1 Pengertian
Antihistamin adalah kelompok obat-obatan yang digunakan untuk
mengobati reaksi alergi, seperti rinitis alergi, reaksi alergi akibat sengatan
serangga, reaksi alergi makanan, urtikaria atau biduran. Antihistamin
dalam dosis terapi, efektif untuk mengobati edema, eritem dan pruritus,
tetapi tidak dapat melawan efek hipersekresi asam lambung akibat
histamin. Histamin sudah lama dikenal karena merupakan mediator utama
timbulnya peradangan dan gejala alergi.
2.3.2 Generasi antihistamin
A. Antihistamin generasi 1
Antihistamin generasi pertama ini mudah didapat, baik sebagai
obat tunggal atau dalam bentuk kombinasi dengan obat dekongestan,
misalnya untuk pengobatan influensa. Seperti klorfeniramine,
difenhidramine, prometazin, hidroksisin dan lain-lain.
B. Antihistamin generasi 2
Antihistamin generasi kedua mempunyai efektifitas anti alergi
seperti generasi pertama, memiliki sifat lipofilik yang lebih rendah
sulit menembus sawar darah otak. Obat ini ditoleransi sangat baik,
dapat diberikan dengan dosis yang tinggi untuk meringankan gejala
alergi sepanjang hari, terutama untuk penderita alergi yang tergantung
pada musim. Obat ini juga dapat dipakai untuk pengobatan jangka
panjang pada penyakit kronis seperti urtikaria dan asma bronkial.
Yang digolongkan dalam antihistamin generasi kedua yaitu terfenadin,
astemizol, loratadin dan cetirizin.
C. Antihistamin generasi 3
Antihistamin generasi ketiga yaitu feksofenadin, norastemizole dan
deskarboetoksi loratadin (DCL), ketiganya adalah merupakan
metabolit antihistamin generasi kedua. Tujuan mengembangkan
antihistamin generasi ketiga adalah untuk menyederhanakan
farmakokinetik dan metabolismenya, serta menghindari efek samping
yang berkaitan dengan obat sebelumnya.
Antihistamin yang dibagi dalam antihistamin generasi pertama dan
antihistamin generasi kedua, pada dasarnya mempunyai daya
penyembuh yang sama terhadap gejala-gejala alergi. Yang berbeda
adalah antihistamin klasik mempunyai efek samping sedatif. Efek
sedatif ini diakibatkan oleh karena antihistamin klasik dapat
menembus sawar darah otak (blood brain barrier) sehingga dapat
menempel pada reseptor H1 di sel-sel otak. Sebaliknya, antihistamin
generasi kedua sulit menembus sawar darah otak sehingga reseptor H1
sel otak tetap diisi histamin, sehingga efek sedatif tidak terjadi. Oleh
karena itulah antihistamin generasi kedua disebut juga antihistamin
non-sedatif.

D. Cara Kerja Antihistamin


Mekanisme kerja obat antihistamin dalam menghilangkan gejala-gejala
alergi berlangsung melalui kompetisi dengan menghambat histamin
berikatan dengan reseptor H1 atau H2 di organ sasaran. Histamin yang
kadarnya tinggi akan memunculkan lebih banyak reseptor H1. Reseptor yang
baru tersebut akan diisi oleh antihistamin. Peristiwa molekular ini akan
mencegah untuk sementara timbulnya reaksi alergi.
2.4 Farmakologi Obat Kortikosteroid
2.4.1 Pengertian
Kortikosteroid adalah obat yang mengandung hormon steroid yang
berguna untuk menambah hormon steroid dalam tubuh bila diperlukan,
dan meredakan peradangan atau inflamasi, serta menekan kerja sistem
kekebalan tubuh yang berlebihan. Kortikosteroid terbagi atas
mineralokortikoid yang mengatur keseimbangan air dan elektrolit dengan
aldosteron sebagai prototipenya, serta glukokortikoid yang mengatur
metabolisme dalam mempertahankan homeostasis, dengan kortisol
(hidrokortison) sebagai prototipenya.

2.4.2 Mekanisme obat kortikosteroid


Kortikosteroid memengaruhi kecepatan sintesis protein, dimulai dari
difusi pasif ke dalam sel, bereaksi dengan reseptor protein spesifik
sitoplasma membentuk kompleks steroid-reseptor, mengalami perubahan
konformasi dan bergerak menuju nukleus untuk berikatan dengan
kromatin, lalu menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik
untuk mewujudkan efek fisiologis steroid. Glukokortikoid menghambat
sintesis prostaglandin dan leukotrien melalui hambatan fosfolipase A2
dalam melepaskan asam arakhidonat (supresi perubahan vaskular).
Sebagai antiproliferatif, glukokortikoid menghambat sintesis
deoxyribonucleic acid (DNA) dan turnover sel epidermis. Sebagai bahan
vasokonstriktif, glukokortikoid menghambat histamin dan mediator
vasodilator lain.

2.4.3 Efek samping obat kortikosteroid


Efek samping kortikosteroid timbul akibat pemberian terus-menerus
terutama dengan dosis tinggi, atau bila pemberian jangka lama kemudian
dihentikan tiba-tiba. Sindrom Cushing (hiperkortisolisme) terjadi akibat
tingginya kortisol darah dalam waktu lama, akibat tumor hipofisis sebagai
penyebab endogen atau asupan kortikosteroid sebagai penyebab eksogen.
Sekitar 70% kematian akibat sindrom Cushing dihubungkan dengan
kardiovaskular atau infeksi.
Terapi sindrom Cushing akibat kortikosteroid eksogen adalah
mifepriston sebagai antagonis reseptor glukokortikoid, namun masih
kontroversi akibat aktivitasnya yang juga sebagai antagonis reseptor
progesteron.Penggunaan kortikosteroid bersifat empiris atau paliatif,
bukan terapi kausal kecuali untuk substitusi pada defisiensi atau
insufisiensi adrenal. Meskipun digunakan pada alergi, kortikosteroid
sendiri dapat mencetuskan reaksi hipersensitivitas, yang sering dianggap
bukan sebagai efek samping serius karena jarang dilaporkan.

BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pemakaian obat respirasi, antibiotic, antihistamin maupun kortikosteroid secara optimal
dan efektif memerlukan pengetahuan mengenai sifat-sifat dinamika dan kinetika dari
jenis-jenis yang tersedia. Di samping itu, juga memerlukan pengertian dan pemahaman
mengenai bagaimana memilih dan memakai dengan benar, mulai dari pemilihan
berdasarkan indikasi yang tepat, menentukan dosis, cara pemberian, lama pemberian,
maupun evaluasi efek samping. Pemakaian dalam klinik yang menyimpang dari prinsip-
prinsip pemilihan dan pemakaian secara rasional akan membawa dampak negatif dalam
bentuk meningkatnya resistensi, efek samping, pemborosan dan kegagalan pencegahan
dan pengobatan infeksi.

DAFTAR PUSTAKA
Budiono Santoso, 2018, Farnakoterapi Antiinfektan / Antibiotika, Lab.Farmakologi Klinik FK-
UGM, hal 1-20.

Gunawijaya, F.A., 2019, Manfaat Penggunaan Antihistamin Generasi Ketiga, Vol.4, No. 2

Siagian, J.N., Ascobat. P., Menaldi., S. L., 2018, Kortikosteroid Sistemik : Aspek Farmakologi
dan Penggunaan Klinis di Bidang Dermatologi, Vol.45, No. 3, Hal. 165-171

Setyajati, G., Sri Agung, 2018, Kandungan Kimia Aktivitas farmakologi Obat batuk, Farmaka,
Vol.17, No. 1

Anda mungkin juga menyukai