Anda di halaman 1dari 29

MANAGEMEN BENCANA PADA LANJUT USIA

Disusun oleh :
Kelompok 16B

1. Angelina Manurung 032017091


2. Mei Frans Syah Putra H.H 032017097
3. Sr.M.Huberta Tamba FSE 032017101
PRODI NERS TAHAP AKADEMIK
STIkes SANTA ELISABETH MEDAN
T.A 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
atas semua limpahan rahmat-Nya sehingga kelompok dapat menyelesaikan
penyusunan makalah yang berjudul “Managemen Bencana Pada Lanjut Usia”.
Makalah yang tersusun ini adalah hasil maksimal yang dapat kami sajikan.
Kami yakin makalah ini masih jauh dari sempurna, Untuk menyempurnakan
makalah ini kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca
kepada kami agar dalam penulisan makalah selanjutnya bisa lebih baik.
Harapan kami semoga makalah yang telah tersusun ini dapat bermanfaat
sebagai salah satu rujukan maupun pedoman bagi para pembaca, menambah
wawasan serta pengalaman, sehingga nantinya kami dapat memperbaiki bentuk
ataupun isi makalah ini menjadi lebih baik lagi.

Medan, 16 September 2020

Kelompok 16B
DAFTAR ISI
Cover.....................................................................................................................
KATA PENGANTAR.........................................................................................
DAFTAR ISI........................................................................................................
BAB 1 PENDAHULUAN....................................................................................
1.1 Latar Belakang.................................................................................................
1.2 Tujuan..............................................................................................................
BAB 2 TINJAUAN TEORITIS..........................................................................
2.1 Dampak Bencana Pada Lansia........................................................................
2.2 Keperawatan Bencana pada Lansia Sebelum Bencana...................................
2.3 Keperawatan Bencana pada Lansia Saat Bencana..........................................
2.4 Keperawatan Bencana pada Lansia Setelah Bencana.....................................
BAB 3 PENUTUP................................................................................................
Daftar Pustaka.....................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bencana merupakan suatu keadaan dimana fenomena alam yang tidak
normal dan suatu peristiwa akibat ulahnya manusia sehingga menyebabkan
munculnya kerugian yang dampaknya sangat besar terhadap nyawa atau
kesehatan dan kehidupan orang banyak,bahkan jiwa seseorang. Bencana alam
datang dalam berbagai bentuk, bisa berupa banjir, longsor, gempa bumi,
tsunami, bahkan gunung meletus. Bencana alam datang begitu saja tidak ada
seorang pun yang dapat mencegah (Knollmueller, 2010).
Bencana merupakan situasi yang kedatangannya tidak terduga oleh kita
sebelumnya, dimana dalam kondisi itu bisa terjadi kerusakan, kematian atau
kehilangan harta benda. Bencana dapat terjadi melalui proses yang panjang
atau situasi tertentu dalam waktu yang sangat cepat tanpa adanya tanda-tanda.
Bencana sering menimbulkan kepanikan masyarakat dan menyebabkan
penderitaan dan kesedihan yang berkepanjangan, seperti luka, kematian,
tekanan ekonomi akibat hilangnya usaha atau pekerjaan dan kekayaan harta
benda, kehilangan anggota keluarga serta kerusakan infrastruktur dan
lingkungan (Husna, 2012).
Kejadian bencana di Indonesia telah mencapai lebih dari 1.000 kali dalam
setahun atau mencapai 3 kali dalam sehari. Kepala Pusat Data Informasi dan
Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, sepanjang tahun 2017
telah terjadi 275 bencana yang menyebabkan 30 jiwa meninggal dan hilang,
66 jiwa luka, 153.183 menderita dan mengungsi, 10.254 unit rumah rusak, dan
92 bangunan fasilitas umum rusak. Bencana longsor paling banyak
menimbulkan korban jiwa. Sejak 1 Januari 2018 sampai 7 Februari 2018
terdapat 19 orang meninggal dunia akibat longsor, sedangkan puting beliung 5
orang, banjir 3 orang, dan gempa 1 orang (Sugandi, 2010 & Malia, 2018).
Berbagai dampak bencana gempa bumi baik fisik maupun psikologis akan
lebih dirasakan oleh kelompok rentan, salah satunya adalah kelompok lanjut
usia. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa
kelompok lansia merupakan salah satu populasi yang paling rentan terhadap
dampak langsung dari bencana alam, termasuk gempa bumi. Hasil penelitian
menunjukan bahwa lansia yang menjadi korban bencana mengalami berbagai
masalah psikologis seperti PTSD dan kecemasan (Hoffman, 2009). Perlu
perhatian khusus pada lansia melalui aksi nyata, Kementrian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak melaksanakan Gerakan 1.000 Perempuan
Peduli Bencana dan Lansia Merawat Lingkungan. Pada kondisi bencana,
anak-anak dan kelompok rentan lainnya, seperti perempuan dan lansia
menjadi korban paling banyak (1.000 Perempuan dan Lansia Waspada
Bencana, 2017).
Berdasarkan fenomena dapat disimpulkan bahwa lansia memerlukan
kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Hal ini sangatlah penting, karena
jika hanya pemerintahnya saja yang mendukung dan tidak ada dukungan dari
masyarakat tidak akan berjalan dengan baik serta dalam keadaan menghadapi
bencana sangat dibutuhkan masyarakat untuk mempersiapkan terjadinya
bencana pada masa yang akan datang.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Khusus
Agar Mahasiswa dan Mahasiswi Stikes santa Elisabeth Medan dapat
mengetahui Managemen Bencana Pada Lansia dan diharapkan dapat
menerapkannya.

1.2.2 Tujuan Umum


1. Mahasiswa/I dapat mengidentifikasi simulasi asuhan keperawatan
bencana pada kelompok rentan, yang meliputi: ibu hamil dan bayi,
anak, dan lanjut usia

2. Mahasiswa/I dapat melakukan simulasi asuhan keperawatan bencana


pada kelompok rentan, yang meliputi: ibu hamil dan bayi, anak, dan
lanjut usia
3. Mahasiswa/I dapat erkomunikasi dan menjelaskan tentang simulasi
asuhan keperawatan bencana pada kelompok rentan, yang meliputi: ibu
hamil dan bayi, anak, dan lanjut usia
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Dampak Bencana Pada Lansia


Bencana yang telah terjadi akan selalu memberikan dampak bagi semua
masyarakat. Adapun dampak personal meliputi korban meninggal dunia, sakit
dan mengungsi. Dampak kerusakan, antara lain kerusakan rumah penduduk,
gedung dan fasilitas pemerintah, fasilitas kesehatan, fasilitas ekonomi,
fasilitas umum, kerusakan jalan dan kerusakan lahan serta kerusakan lainnya
sehingga terdapat dampak negatif dari bencana terhadap biophysical systems
dan human systems. Adapun dampak kerugian antara lain kerugian
perdagangan, kerugian pertanian, peternakan dan perikanan, kerugian tidak
bisa bekerja dan kerugian lainnya. Dampak dari bencana alam diduga dapat
menyebabkan terhambatnya pertumbuhan ekonomi (Isa, 2016).
Korban bencana alam menghadapi situasi dan kondisi yang sangat
kompleks, baik secara fisik, psikis maupun sosial. Problema paling mendasar
adalah persoalan fisik, seperti gangguan pemenuhan kebutuhan makan,
minum, tempat tinggal, kesehatan, dan pendidikan. Hal ini berawal dari, tidak
tersedia atau terbatasnya fasilitas umum, sosial dan sanitasi lingkungan yang
buruk sehingga menimbulkan ketidaknyamanan bahkan dapat menjadi
sumber penyakit. Kehilangan harta benda menyebabkan korban menjadi jatuh
miskin, apalagi sumber matapencaharian berupa lahan pertanian dan
perkebunan juga mengalami kerusakan. Kehilangan anggota keluarga,
khususnya sumber pencari nafkah keluarga, seringkali menyebabkan
timbulnya perasaan khawatir, ketakutan bahkan trauma yang berkepanjangan.
Bantuan dari berbagai sumber yang berbentuk materi mungkin dapat
memenuhi kebutuhan fisik para korban bencana, tetapi belum tentu dapat
menyelesaikan masalah yang dihadapi. Kehilangan orang yang dicintai,
rumah, harta benda, sawah, atau ternak yang menjadi mata pencarian, dapat
menyebabkan guncangan jiwa dan trauma hebat.
Dampak psikologis yang paling banyak terjadi pada lansi korban gempa
bumi adalah PTSD. PTSD digambarkan sebagai gejala kecemasan yang
berlangsung lebih dari satu bulan setelah paparan aktual (APA, 2013).
Paparan ini dapat berupa pengalaman langsung, menyaksikan peristiwa
traumatis. Individu dengan PTSD pada umumnya akan mengalami ketakutan
dan ketidakberdayaan pasca bencana alam, seperti gempa bumi yang dapat
menyebabkan ancaman cedera hingga kematian. Merujuk pada DSM-5,
diagnosis PTSD memerlukan gejala berupa: mengingat kejadian yang
dialami secara berulang, mengalami mimpi buruk, dan distress yang ditandai
oleh adanya reaksireaksi psikologis apabila teringat kejadian traumatis; gejala
penghindaran yaitu penghindaran atau upaya untuk menghindari pikiran,
perasaan, atau percakapan terkait dengan kejadian yang dialami; perubahan
negatif dalam respons umum yaitu ketidakmampuan untuk mengingat aspek
penting dari trauma, penurunan minat atau partisipasi dalam kegiatan yang
signifikan; dan peningkatan gairah dan reaktivitas yaitu gangguan tidur, tidak
mampu berkonsentrasi, kewaspadaan meningkat, ketakutan yang berlebihan,
mudah marah.
2.2 Keperawatan bencana pada Lansia sebelum bencana
Pengetahuan tentang bencana seharusnya sudah diberikan kepada
masyarakat khususnya lansia, karena pengetahuan sangat berpengaruh pada
kehidupan masyarakat di masa depan dan masyarakat yang memiliki peran
penting dalam keorganisasian di wilayah tersebut. Salah satu upaya
pemerintah dalam meningkatkan keamanan terhadap bencana adalah
mengembangkan pendidikan mengenai resiko bencana pada masyarakat.
Sehingga hal ini mampu untuk memberikan kesadaran dan kesiapan
masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana.
2.3 Keperawatan bencana pada Lansia saat bencana
Persiapan tanggap darurat dalam komponen kesiapsiagaan yang lain
adalah penyediaan obat seharihari yang sering digunakan oleh lansia,
sebagian besar lansia tidak menyiapkan obat tersebut dalam tas siaganya.
Kondisi lansia yang menurun fungsi-fungsi organnya sehingga menurunkan
imunitas dan menjadi mudah mengalami gangguan kesehatan (Miller, 2014).
Persiapan obat yang biasa digunakan sangat diperlukan untuk lansia dalam
kondisi darurat, hal ini sejalan dengan pedoman tool kit kesiapsiagaan lansia
menghadapi bencana yang dikeluarkan palang merah dunia (Red Cross,2011).
A. Penanganan Dampak Sosial Psikologis
Trauma sosial psikologis karena ketidakberdayaan secara fisik,
ekonomi maupun sosial yang dialami sendiri maupun orang-orang
terdekat selama di pengungsian. Penanganan dampak sosial psikologis
korban bencana erupsi Merapi akan dilihat dari aspek pemenuhan
kebutuhan fisik, psikis dan sosial.
1. Pemenuhan kebutuhan fisik
Masalah mendasar yang dihadapi oleh korban bencana termasuk
korban meletusnya Gunung Merapi adalah pemenuhan kebutuhan
fisik, seperti makan, minum dan tempat tinggal yang aman.
Pemenuhan kebutuhan fisik ini penting karena penduduk yang
tinggal d daerah rawan bencana ketika Merapi meletus harus segera
menyelamatkan diri menuju ke tempat aman atau barak pengungsian
yang sudah disediakan pemerintah seperti di balai desa yang
letaknya memang lebih aman. Dalam kondisi panik dan tergesa-gesa
mereka pergi meninggalkan rumah tanpa membawa bekal apapun
guna menyelamatkan diri.
Selain kebutuhan makan, minum dan tempat tinggal, kebutuhan
mendesak lainnya adalah kebutuhan pelayanan kesehatan,
pendidikan, air bersih dan sanitasi. Pelayanan kesehatan diberikan
oleh dinas kesehatan dengan melibatkan relawan dari perguruan
tinggi yang memiliki fakultas kedokteran dengan kegiatan
pemeriksaan rutin bagi pengungsi terutama anak-anak dan lansia.
Hidup di pengungsian rentan terserang gangguan penyakit seperti
flu, batuk, pilek (ISPA) dan diare. Hal tersebut dikarenakan kondisi
lingkungan yang tidak nyaman, kurang bersih dan serba terbatas,
selain itu juga karena kurang tersedianya air bersih dan sarana MCK.
Untuk mencukupi kebutuhan air bersih dan MCK, pemerintah
melalui dinas pekerjaan umum menyediakan toilet umum yang bisa
dipindahkan dan mendrop air bersih ke lokasi pengungsian.
2. Pemenuhan kebutuhan psikis
Gangguan psikologis yang dialami pengungsi antara lain perasaan
sedih akibat kehilangan keluarga yang mereka sayangi, kehilangan
harta benda, rumah, matapencaharian, dan merasa asing di tempat
pengungsian. Kondisi pengungsian atau tempat berlindung yang
tidak memadai, berdesakdesakan dan tidak adanya pemisahan antara
laki-laki dan perempuan, anak-anak dan lansia membuat mereka
stress. Keamanan atas kepemilikan ternak, rumah dan harta benda
lain yang ditinggalkan menjadikan perasaan khawatir bagi sebagian
pengungsi. Berbagai permasalahan tersebut memicu timbulnya
gangguan psikologis dikalangan pengungsi.
Penanganan yang dibutuhkan untuk mengurangi gangguan
psikologis tersebut adalah menghilangkan trauma bagi para korban
dengan menghibur mereka, memberi pelatihan dan pembinaan serta
aktivitas lain agar mereka tidak jenuh. Para pengungsi yang sebagian
besar bermatapencaharian sebagai petani/peternak dengan rutinitas
pekerjaannya membuat mereka sibuk, sementara di tempat
pengungsian rutinitas pekerjaannya tidak bisa dilakukan. Mereka
tidak terbiasa tanpa aktivitas sehingga bosan, jenuh dan stress berada
di pengungsian. Kondisi tersebut menjadikan pengungsian
kehilangan ekologi sosial yaitu kehilangan rutinitas harian yang
biasa dijalani. Untuk menghilangkan kejenuhan tersebut mereka
diberi hiburan dan pencerahan, walaupun hiburan hanya sementara
sifatnya paling tidak mereka mendapatkan ketenangan dan
melupakan sejenak beban mental mereka. Mereka diberi konseling
ringan untuk mengurangi stress atau depresi. Melibatkan pengungsi
khususnya para ibu dan remaja putri dalam kegiatan dapur umum
sangat membantu untuk mengisi waktu sehingga tidak jenuh.
Demikian juga bagi bapak-bapak dan pemuda dilibatkan sebagai
relawan membantu evakuasi korban yang masih berada di lokasi
bencana. Kesibukan tersebut akan mengurangi kesedihan dan
memperkuat mental mereka karena berguna bagi orang lain.
3. Pemenuhan kebutuhan social
Pengungsi yang berada di pengungsian harus rela tinggal bersama
di barak pengungsian dengan berbagai macam karakter orang.
Situasi dan kondisi kehidupan yang mereka alami di pengungsian
sering memunculkan perasaan kecewa dan putus asa bahkan frustasi
karena ketidakjelasan dengan nasib mereka. Hal tersebut diperparah
dengan kondisi yang mudah tersulut api konflik antar sesama
pengungsi akibat jenuh (burnout).
Penanganan kebutuhan sosial dapat dilakukan dengan
memberikan hiburan bagi pengungsi untuk sejenak melupakan
permasalahan yang dihadapi dan menghilangan kejenuhan selama di
pengungsian. Kunjungan para tamu yang memberi pelayanan sosial
membuat para pengungsi merasa diperhatikan, diringankan
penderitaannya, dan diakui keberadaannya. Hiburan juga
dimaksudkan untuk mengatasi mereka yang mengalami kesulitan
bersosialisasi akibat keterpisahan keluarga, keterasingan dan
keterlantaran, diperlukan adanya penelusuran (tracing) dan
penyatuan (reunifikasi) kembali keluarga yang terpisah. Pelayanan
konseling, bimbingan sosial, advokasi dan fasilitasi kegiatan
bertujuan untuk mengembalikan rasa percaya diri dan fungsi sosial
agar mereka dapat hidup normal dalam masyarakat. Pembinaan dan
penyuluhan diberikan bagi masyarakat pengungsi yang kehilangan
tempat tinggal dan wilayahnya merupakan daerah rawan (zona
merah) yang tidak mungkin untuk bisa ditempati kembali sehingga
mereka harus direlokasi di tempat yang lebih aman.

2.4 Keperawatan bencana pada Lansia setelah bencana


Mitigasi adalah kegiatan lansia yang penting untuk mengurangi resiko
bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan
peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Mendorong lansia
untuk menyusun rencana penyelamatan diri dan menumbuhkan tanggung
jawab pribadi untuk mencegah resiko bencana. Mitigasi bencana dilakukan
oleh lansia untuk mengurangi resiko dan dampak yang diakibatkan oleh
bencana terhadap masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana.(PP
No.21 Tahun 2008 Pasal 20 ayat 1).

Dodon (2013) dalam penelitiannya menyatakan tindakan kesiapsiagaan


yang dilakukan masyarakat umumnya diperoleh dari pengalaman pada saat
mengalami bencana yang sering dialami masyarakat. Salah satu upaya
peningkatan kesiapsiagaan bagi lansia yaitu dengan adanya lansia ataupun
anggota keluarga yang rutin mengikuti pelatihan, seminar maupun
memperbaharui pengetahuan dan informasi yang dapat secara langsung di
akses oleh lansia maupun anggota keluarga lainnya. Upaya peningkatan
kesiapsiagaan atau kewaspadaan diperlukan upaya peningkatan pengetahuan
melalui informasi yang diberikan di masyarakat, Wimbarda dan Sagala dalam
penelitiannya (2013).

Sistem peringatan bencana yang dimiliki lansia yaitu dengan


disediakannya alat komunikasi (HP), atau pun kentongan yang disediakan di
tiap-tiap pos kamplink sehingga dapat dioperasikan untuk memberikan tanda
apabila ada kondisi darurat. Sebanyak 54,5% responden mengetahui sistem
peringatan dini yang digalakkan pemerintah desa. Infomasi ini didapatkan
lansia dari anggota keluarga yang mengikuti pelatihan-pelatihan untuk
peningkatan kesiapsiagaan warga atau simulasi bencana.
BAB 3
PENUTUP

1.1 Kesimpulan
Lansia merupakan salah satu kelompok rentan dalam konteks bencana,
sehingga lebih mungkin mengalami dampak psikologis pasca gempa bumi
dibandingkan pada kelompok usia yang lebih muda. Adapun dampak
psikologis yang sering terjadi pada survivor lansia yaitu kecemasan, depresi
dan PTSD. Meningkatkan kesiapsiagaan lansia terhadap terjadinya gempa
bumi dapat menajdi salah satu upaya dalam mengurangi dampak psikologis
gempa bumi pada lansia.

Untuk menghilangkan trauma sosial psikologis dan kejenuhan di tempat


pengungsian telah dilakukan berbagai aktivitas seperti hiburan, konseling,
advokasi, tracing dan reunifikasi, informasi, penyuluhan dan bimbingan
sosial serta pelatihan-pelatihan sebagai bekal hidup di kemudian hari.
Telaah Jurnal

Judul : PENGETAHUAN MANAJEMEN RESIKO BENCANA


GEMPA BUMI PADA KELOMPOK LANSIA DI DESA
LAMPULO KECAMATAN KUTA ALAM KOTA
BANDA ACEH

Penulis : Hamdani, Budi Satria

Latar Belakang : Bencana merupakan suatu fenomena alam yang tidak


normal dan suatu peristiwa akibat ulahnya manusia
sehingga menyebabkan kerugian yang sangat besar
terhadap nyawa atau kesehatan dan kehidupan orang
banyak,bahkan jiwa seseorang. Bencana alam datang dalam
berbagai bentuk, bisa berupa banjir, longsor, gempa bumi,
tsunami, bahkan gunung meletus. Gempa bumi merupakan
fenomena alam yang sudah tidak asing, bahkan gempa
bumi juga merusak sarana dan prasarana serta
mengakibatkan banyak korban jiwa dan menimbulkan
trauma psikologis.

Metode : Penelitian ini termasuk penelitian kuantitatif


menggunakan desain descriptive dengan pendekatan cross
sectional study yang dilaksanakan pada 12 Juli - 18 Juli
2017 di Desa Lampulo Kecamatan Kuta Alam. Sampel
dalam penelitian ini adalah 77 responen yaitu lansia yang
berada di desa lampulo dengan pengambilan sampel dengan
tehnik purposive sampling (Notoatmodjo, 2010).
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara terpimpin
menggunakan kuesioner
Tujuan : Untuk mengetahui Pengetahuan Manajemen Resiko
Bencana Gempa Bumi Pada Kelompok Lansia Di Desa
Lampulo Kecamatan Kuta Alam Kota Banda Aceh

Hasil : Pengetahuan Lansia tentang Pencegahan Resiko Bencana


Gempa Bumi di desa Lampulo Kecamatan Kuta Alam
Banda Aceh pada katagori tinggi yaitu 55 dari 77
responden (71,4%) dan katagori rendah yaitu 22 dari 77
responden (28,6 %). Dari 5 item pertanyaan tentang
pencegahan nilai rata- rata adalah 3,39 % dan jawaban yang
benar dari 77 responden adalah 50 orang dan yang salah 22
orang.

Pengetahuan Lansia tentang Mitigasi Resiko Bencana


Gempa Bumi di desa Lampulo Kecamatan Kuta Alam
Banda Aceh pada katagori tinggi yaitu 42 dari 77
responden (54,5%). dan katagori rendah yaitu 35 dari 77
responden (45,5 %). Dari 10 item pertanyaan tentang
mitigasi nilai rata- rata adalah 6,79 % dan jawaban yang
benar dari 77 responden adalah 42 orang dan yang salah 35
orang.

Pengetahuan Lansia tentang Kesiapsiagaan Resiko Bencana


Gempa Bumi di desa Lampulo Kecamatan Kuta Alam
Banda Aceh pada katagori tinggi yaitu 47 dari 77
responden (61%) dan katagori rendah yaitu 30 dari 77
responden (61,0 %). Dari 6 item pertanyaan tentang
kesiapsiagaan nilai rata- rata adalah 4,63 % dan jawaban
yang benar dari 77 responden adalah 47 orang dan yang
salah 30 orang.

Kesimpulan : Berdasarkan hasil penelitian yang telah penulis


laksanakan dari tanggal 12 sampai dengan 18 Juli 2017
terhadap 77 responden mengenai pengetahuan manajemen
resiko bencana gempa bumi pada kelompok lansia Desa
Lampulo Kecamatan Kuta Alam Kota Banda Aceh. Hal ini
dapat dilihat pada penjelasan dibawah ini gambaran
pengetahuan manajemen resiko bencana gempa bumi pada
kelompok lansia ditinjau darisegi pencegahan berada pada
katagori tinggi sebanyak 55 dari 77 responden (71,4%) dan
katagori rendah sebanyak 22 dari 77 responden (28,6%).
Gambaran pengetahuan manajemen resiko bencana gempa
bumi pada kelompok lansia di tinjau dari segi mitigasi
berada pada katagori tinggi sebanyak 42 dari 77 responden
(54,5%) dan katagori rendah sebanyak 35 dari 77
responden (45,5%). Gambaran pengetahuan manajemen
resiko bencana gempa bumi pada kelompok lansia di tinjau
dari segi kesiapsiagaan berada pada katagori tinggi
sebanyak 47 dari 77 responden (61%) dan katagori rendah
sebanyak 30 dari 77 responden (39,0%). Penelitian ini
diharapkan responden lebih memahami pengetahuan
manajemen resiko bencana dengan selalu terlibat dalam
penyuluhan yang diberikan oleh tim penanggulangan
bencana gempa bumi.

Telaah Jurnal

Judul : DAMPAK PSIKOLOGIS GEMPA BUMI TERHADAP


KELOMPOK RENTAN : LANSIA

Penulis : Mutianingsih, Mustikasari

Latar Belakang : Gempa bumi merupakan salah satu bencana yang paling
mengancam kehidupan. Terjadinya gempa bumi dapat
berdampak pada berbagai aspek kehidupan, dimana salah
satunya adalah aspek psikologis. Lansia merupakan salah
satu kelompok rentan dalam managemen bencana, sehingga
dampak psikologis akan lebih rentan dialami lansia
dibandingkan dengan usia yang lebih muda. Berdasarkan
telaah literatur didapatkan bahwa dampak psikologis yang
terjadi pada survivor lansia pasca gempa bumi yaitu
kecemasan, depresi dan post traumatic stress disorder
(PTSD). Beberapa faktor yang berkontribusi terhadap
terjadinya berbagai dampak psikologis pada survivor lansia
diantaranya usia, jenis kelamin, keterbatasan fisik,
penurunan fungsi kognitif dan keterpaparan terhadap
gempa bumi serta terjadinya cedera atau kehilangan orang
yang dicintai. Diperlukan suatu upaya kesiapsiagaan guna
meminimalisir terjadinya dampak psikologis pada korban
lansia.

Tujuan : Dampak Psikologi gempa bumi terhadap kelompok rentan


: lansia.

Metode : Menggunakan non systematic literature review dengan


menganalisa dari berbagai artikel terkait. Artikel yang
digunakan untuk literature review ini sejumlah 22 artikel
sejak tahun 2009-2018 yang diperoleh melalui sistem
pencarian dari PubMed, EBSCO, ProQuest, dan Science
Direct. Selain itu, text books dengan tahun terbit terhitung
sejak 2013 juga digunakan untuk mendukung penulisan
artikel ini.

Hasil : Paparan terhadap bencana seperti gempa bumi pada


kelompok rentan seperti lansia terbukti memiliki hubungan
yang sifnifikan dengan peningkatan prevalensi berbagai
masalah psikologis, diantaranya kecemasan, depresi, hingga
terjadinya Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)
(Hoffman, 2009; Liang, 2016; G. Parker et al., 2016;
Zhang, Wang, Shi, Wang, & Zhang, 2012).

Paparan terhadap bencana gempa bumi juga dikaitkan


dengan terjadinya dampak psikologis berupa post traumatic
stress disorder (PTSD). PTSD merupakan masalah
psikologis yang paling banyak dilaporkan. Hal ini didukung
oleh beberapa penelitian terkait dampak psikologis
terutama PTSD pada survivor gempa bumi. Penelitian yang
dilakukan oleh Wu et al (2014) menunjukan bahwa 40%
responden mengalami gejala PTSD.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa lansia


memiliki kemungkinan 2,11 kali lebih tinggi untuk
mengalami gejala PTSD dan 1,73 kali lebih tinggi untuk
terjadinya gejala psikologis lain dibandingkan dengan usia
yang lebih muda (G. Parker et al., 2016).

Kesimpulan : Lansia merupakan salah satu kelompok rentan dalam


konteks bencana, sehingga lebih mungkin mengalami
dampak psikologis pasca gempa bumi dibandingkan pada
kelompok usia yang lebih muda. Adapun dampak
psikologis yang sering terjadi pada survivor lansia yaitu
kecemasan, depresi dan PTSD. Meningkatkan
kesiapsiagaan lansia terhadap terjadinya gempa bumi dapat
menajdi salah satu upaya dalam mengurangi dampak
psikologis gempa bumi pada lansia.

Telaah Jurnal

Judul : PENANGANAN DAMPAK SOSIAL PSIKOLOGIS


KORBAN BENCANA MERAPI

Penulis : Chatarina Rusmiyati, Enny Hikmawati


Latar Belakang : Hidup di tempat pengungsian yang penuh dengan
keterbatasan sering menimbulkan ketidakpastian sampai
kapan mereka akan tinggal. Hal ini berkaitan pada
kemampuan pemerintah dalam menyediakan pengganti
tempat tinggal yang permanen, di samping kemampuan dari
korban bencana itu sendiri. Lokasi pengungsian kurang
memadai ditinjau dari kepadatan hunian, asupan gizi,
sarana MCK, sanitasi lingkungan, fasilitas sosial dan
fasilitas umum. Kondisi ini dapat menyebabkan pengungsi
terutama anakanak dan lansia rawan terhadap penyakit.
Ketersediaan tenaga kesehatan, obat-obatan seringkali tidak
seimbang dengan jumlah korban bencana yang
membutuhkan penanganan kesehatan. Penanganannya
harus dilakukan secara terkoordinir dan terpadu dengan
melibatkan seluruh lapisan masyarakat, LSM, dunia usaha
dan pemerintah terkait. Pada intinya dari hasil wawancara
dan observasi pada informan dapat disimpulkan bahwa para
pengungsi telah ditangani secara fisik, psikis dan sosial.
Pemenuhan kebutuhan fisik meliputi pemenuhan kebutuhan
makan, pakaian, tempat tinggal, pelayanan kesehatan, air
bersih dan sarana MCK. Pemenuhan kebutuhan psikis
dengan menghilangkan trauma (trauma healing) seperti
menghibur, memberikan pembinaan mental psikologis agar
tidak jenuh, pelayanan penguatan mental keagamaan,
pendidikan dan informasi. Pemenuhan kebutuhan sosial
dengan menerima kunjungan tamu, advokasi dan fasilitasi
kegiatan. Pemenuhan kebutuhan sosial psikologis di
pengungsian dapat dikatakan terpenuhi meskipun serba
terbatas. Oleh karena itu disarankan kepada pemerintah
khususnya Kementerian Sosial dan lembaga terkait, dalam
memberikan bantuan kepada korban perlu melakukan
analisis kebutuhan agar tepat sasaran. Kepada masyarakat
di daerah rawan bencana perlu peningkatan kesadaran
tentang risiko bencana melalui sosialisasi dan simulasi
siaga bencana, agar masyarakat berdaya menghadapi
bencana dan risikonya.

Tujuan : Mengetahui penangana dampak social psikologis korban


bencana merapi.

Metode : Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, dilaksanakan di


tempat pengungsian Hargobinangun, Kepuharjo, Girikerto,
dan Wonokerto Kabupaten Sleman. Sumber data penelitian
adalah korban Merapi baik anak maupun orangtua dan
relawan baik secara individu maupun terorganisir (LSM).
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara
menggunakan pedoman wawancara untuk mengungkap
berbagai upaya yang telah dilakukan dalam penanganan
dampak sosial psikologis korban bencana Merapi.

Hasil : Penanganan Dampak Sosial Psikologis


Trauma sosial psikologis karena ketidakberdayaan
secara fisik, ekonomi maupun sosial yang dialami sendiri
maupun orang-orang terdekat selama di pengungsian.
Penanganan dampak sosial psikologis korban bencana
erupsi Merapi akan dilihat dari aspek pemenuhan
kebutuhan fisik, psikis dan sosial.
1. Pemenuhan kebutuhan fisik
Masalah mendasar yang dihadapi oleh korban
bencana termasuk korban meletusnya Gunung Merapi
adalah pemenuhan kebutuhan fisik, seperti makan, minum
dan tempat tinggal yang aman. Pemenuhan kebutuhan fisik
ini penting karena penduduk yang tinggal d daerah rawan
bencana ketika Merapi meletus harus segera
menyelamatkan diri menuju ke tempat aman atau barak
pengungsian yang sudah disediakan pemerintah seperti di
balai desa yang letaknya memang lebih aman. Dalam
kondisi panik dan tergesa-gesa mereka pergi meninggalkan
rumah tanpa membawa bekal apapun guna menyelamatkan
diri.
Selain kebutuhan makan, minum dan tempat
tinggal, kebutuhan mendesak lainnya adalah kebutuhan
pelayanan kesehatan, pendidikan, air bersih dan sanitasi.
Pelayanan kesehatan diberikan oleh dinas kesehatan dengan
melibatkan relawan dari perguruan tinggi yang memiliki
fakultas kedokteran dengan kegiatan pemeriksaan rutin bagi
pengungsi terutama anak-anak dan lansia. Hidup di
pengungsian rentan terserang gangguan penyakit seperti
flu, batuk, pilek (ISPA) dan diare. Hal tersebut dikarenakan
kondisi lingkungan yang tidak nyaman, kurang bersih dan
serba terbatas, selain itu juga karena kurang tersedianya air
bersih dan sarana MCK. Untuk mencukupi kebutuhan air
bersih dan MCK, pemerintah melalui dinas pekerjaan
umum menyediakan toilet umum yang bisa dipindahkan
dan mendrop air bersih ke lokasi pengungsian.
2. Pemenuhan kebutuhan psikis
Gangguan psikologis yang dialami pengungsi antara
lain perasaan sedih akibat kehilangan keluarga yang mereka
sayangi, kehilangan harta benda, rumah, matapencaharian,
dan merasa asing di tempat pengungsian. Kondisi
pengungsian atau tempat berlindung yang tidak memadai,
berdesakdesakan dan tidak adanya pemisahan antara laki-
laki dan perempuan, anak-anak dan lansia membuat mereka
stress. Keamanan atas kepemilikan ternak, rumah dan harta
benda lain yang ditinggalkan menjadikan perasaan khawatir
bagi sebagian pengungsi. Berbagai permasalahan tersebut
memicu timbulnya gangguan psikologis dikalangan
pengungsi.
Penanganan yang dibutuhkan untuk mengurangi
gangguan psikologis tersebut adalah menghilangkan trauma
bagi para korban dengan menghibur mereka, memberi
pelatihan dan pembinaan serta aktivitas lain agar mereka
tidak jenuh. Para pengungsi yang sebagian besar
bermatapencaharian sebagai petani/peternak dengan
rutinitas pekerjaannya membuat mereka sibuk, sementara di
tempat pengungsian rutinitas pekerjaannya tidak bisa
dilakukan. Mereka tidak terbiasa tanpa aktivitas sehingga
bosan, jenuh dan stress berada di pengungsian. Kondisi
tersebut menjadikan pengungsian kehilangan ekologi sosial
yaitu kehilangan rutinitas harian yang biasa dijalani. Untuk
menghilangkan kejenuhan tersebut mereka diberi hiburan
dan pencerahan, walaupun hiburan hanya sementara
sifatnya paling tidak mereka mendapatkan ketenangan dan
melupakan sejenak beban mental mereka. Mereka diberi
konseling ringan untuk mengurangi stress atau depresi.
Melibatkan pengungsi khususnya para ibu dan remaja putri
dalam kegiatan dapur umum sangat membantu untuk
mengisi waktu sehingga tidak jenuh. Demikian juga bagi
bapak-bapak dan pemuda dilibatkan sebagai relawan
membantu evakuasi korban yang masih berada di lokasi
bencana. Kesibukan tersebut akan mengurangi kesedihan
dan memperkuat mental mereka karena berguna bagi orang
lain.
3. Pemenuhan kebutuhan social
Pengungsi yang berada di pengungsian harus rela
tinggal bersama di barak pengungsian dengan berbagai
macam karakter orang. Situasi dan kondisi kehidupan yang
mereka alami di pengungsian sering memunculkan perasaan
kecewa dan putus asa bahkan frustasi karena ketidakjelasan
dengan nasib mereka. Hal tersebut diperparah dengan
kondisi yang mudah tersulut api konflik antar sesama
pengungsi akibat jenuh (burnout).
Penanganan kebutuhan sosial dapat dilakukan
dengan memberikan hiburan bagi pengungsi untuk sejenak
melupakan permasalahan yang dihadapi dan menghilangan
kejenuhan selama di pengungsian. Kunjungan para tamu
yang memberi pelayanan sosial membuat para pengungsi
merasa diperhatikan, diringankan penderitaannya, dan
diakui keberadaannya. Hiburan juga dimaksudkan untuk
mengatasi mereka yang mengalami kesulitan bersosialisasi
akibat keterpisahan keluarga, keterasingan dan
keterlantaran, diperlukan adanya penelusuran (tracing) dan
penyatuan (reunifikasi) kembali keluarga yang terpisah.
Pelayanan konseling, bimbingan sosial, advokasi dan
fasilitasi kegiatan bertujuan untuk mengembalikan rasa
percaya diri dan fungsi sosial agar mereka dapat hidup
normal dalam masyarakat. Pembinaan dan penyuluhan
diberikan bagi masyarakat pengungsi yang kehilangan
tempat tinggal dan wilayahnya merupakan daerah rawan
(zona merah) yang tidak mungkin untuk bisa ditempati
kembali sehingga mereka harus direlokasi di tempat yang
lebih aman.
Kesimpulan : Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa banyaknya
bantuan seringkali tidak sebanding dengan jumlah orang
yang membutuhkan sehingga sulit didistribusikan dan
bantuan kurang sesuai dengan kebutuhan pengungsi. Di
samping itu kurang maksimalnya koordinasi antar lembaga
pemberi bantuan dapat memicu timbulnya konflik ditingkat
akar rumput. Dalam hal pemenuhan kebutuhan pengungsi
korban Merapi di pengungsian dapat dikatakan terpenuhi
meskipun serba terbatas, seperti kebutuhan air bersih dan
sarana MCK masih dirasa sangat kurang. Kapasitas shelter
yang kurang sesuai dengan jumlah pengungsi dan
bercampurnya pengungsi laki-laki dan perempuan, anak-
anak dan lansia memicu timbulnya stres dan rawan
penyakit. Selanjutnya untuk menghilangkan trauma sosial
psikologis dan kejenuhan di tempat pengungsian telah
dilakukan berbagai aktivitas seperti hiburan, konseling,
advokasi, tracing dan reunifikasi, informasi, penyuluhan
dan bimbingan sosial serta pelatihan-pelatihan sebagai
bekal hidup di kemudian hari.

Telaah Jurnal

Judul : LANSIA DALAM MENGHADAPI BENCANA DI


KOTA BOGOR

Penulis : Suwarningsih, Luvita Nurwidiasmara, Zakiyah Mujahidah

Latar Belakang : Bencana merupakan situasi yang tidak terduga, dimana


dalam kondisi tersebut bisa terjadi kerusakan, kematian
atau kehilangan harta benda. Pengetahuan dan sikap lansia
dalam menghadapi bencana sangat dibutuhkan untuk
mencegah terjadinya korban jiwa. Penelitian ini dilakukan
bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan
sikap lansia dalam menghadapi bencana.

Tujuan : Untuk mengetahui bagaimana lansia dalam menghadapi


bencan di kota Bogor

Metode : Menggunakan kuantitatif deskriptif dan desain cross


sectional

Hasil : Hasil penelitian didapatkan ada hubungan bermakna


antara pengetahuan dan sikap (p value = 0.004) pada lansia
dalam menghadapi bencana. Saran untuk penelitian ini
yaitu diharapkan adanya program peningkatan pengetahuan
dengan mengadakan pelatihan dan pemberdayaan lansia
dalam menghadapi bencana di Kota Bogor.

Kesimpulan : Proporsi pengetahuan responden sebagian besar


dikategorikan kurang. Gambaran pengetahuan dan sikap
lansia dalam menghadapi bencana yaitu kurang baik.
Terdapat hubungan bermakna dengan nilai p value kurang
dari nol koma nol lima antara pengetahuan dan sikap dalam
menghadapi bencana pada lansia di Wilayah Kampung
Babakan Peundeuy Kota Bogor.

Telaah Jurnal

Judul : DUKUNGAN KELUARGA MENINGKATKAN


KESIAPSIAGAAN LANSIA DALAM MENGHADAPI
BENCANA GUNUNG BERAPI

Penulis : Istianna Nurhidayati, Khodijah Bahar

Latar Belakang : Lanjut usia merupakan individu yang rentan saat terjadi
bencana. Upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam
mengurangi resiko bencana yaitu kesiapsiagaan.
Kesiapsiagaan merupakan elemen penting dari kegiatan
pengendalian resiko bencana yang bersifat pro-aktif
sebelum bencana terjadi. Keluarga merupakan bantuan
utama bagi lansia dalam mempersiapkan diri menghadapi
bencana. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan
antara dukungan keluarga dengan kesiapsiagaan pada lansia
dalam menghadapi bencana Gunung Merapi di Desa
Lereng merapi Klaten Kecamatan Kemalang.

Tujuan : Untuk mengetahui bagaimana dukungan keluarga untuk


meningkatkan kesiapsiagaan lansia dalam menghadapi
bencana gunung berapi.

Metode : Desain penelitian menggunakan pendekatan cross


sectional, yaitu peneliti melakukan pengukuran atau
penelitian dalam satu waktu. Populasi dalam penelitian ini
adalah semua lansia yang menetap di Desa Lereng merapi
Klaten Kecamatan Kemalang Klaten. Populasi dalam
penelitian adalah lansia yang menetap di Desa Lereng
merapi Klaten Kecamatan Kemalang Kabupaten Klaten
berjumlah 166 lansia.Sampel yang digunakan dengan
tekhnik purposive sampling dengan jumlah sampel
sebanyak 62 lansia. Instrumen penelitian ini terdiri dari
kuesioner dukungan keluarga dan kesiapsiagaan lansia yang
telah dilakukan uji validitas dan reliabilitas.

Hasil : Dukungan keluarga informasional yang diberikan keluarga


kepada lansia berupa memberikan informasi tindakan yang
perlu dilakukan sebelum gunung meletus. Keluarga
menyampaikan peralatan yang perlu disiapkan sebelum
gunung meletus. Keluarga menjelaskan tindakan dan tidak
panik saat bencana terjadi. Dukungan informasional
merupakan hal yang penting yang perlu diperhatikan karena
perubahan pada fungsi kognitif responden lansia sejalan
dengan pertambahan usianya sehingga informasi perlu
untuk di ulang-ulang.

Dukungan emosional yang diberikan keluarga sudah baik.


Dukungan emosional yang diberikan keluarga pada lansia
dengan cara selalu mengingatkan lansia agar selalu
mengaktifkan alat komunikasi sehingga keluarga dapat
menghubungi jika sewaktu-waktu terjadi keadaan darurat,
poin ini menunjukkan perhatian keluarga kepada lansia
sebagai anggota keluarga yang rentan. Responden
mengatakan anggota keluarga selalu menanyakan kondisi
kesehatan lansia dan turut senang bila lansia dalam keadaan
sehat.

Dukungan dengan persentase baik paling rendah yaitu


sebanyak 50% adalah dukungan instrumental. Dukungan
instrumental yang sudah diterapkan adalah menyediakan
kendaraan yangdigunakan untuk mengevakuasi lansia dan
keluarga ke tempat yang aman ketika dalam keadaan
darurat. Keluarga responden rata-rata sudah memiliki
kendaraan roda dua di rumah yang ditinggali, tidak sedikit
responden menuturkan bahwa keluarga selalu
mendahulukan dirinya untuk di evakuasi ke tempat
pengungsian. Keluarga juga sudah menyiapkan kendaraan
pribadi (motor, mobil, truk) yang disediakan untuk proses
evakuasi bila gunung Merapi meletus. Sebagian lansia juga
menuturkan bahwa keluarga menyiapkan dana simpanan
yang bisa digunakan saat bencana terjadi. Hasil analisis
data kesiapsiagaan lansia didapatkan hasil kesiapsiagaan
lansia tertinggi dalam kategori siap sebanyak 51,6%.
Kesiapsiagaan lansia dalam menghadapi bencana diukur
menggunakan toolkit yang dikembangkan American
College of Emergency Physician (2013) yang berisi
perencanaan bagi kelompok khusus salah satunya lansia
dalam menghadapi bencana dan upaya kesiapsiagaan lansia
yang dipaparkan oleh Health in Aging Foundation (2015)
yang di kombinasikan.

Kesimpulan : Hasil penelitian menunjukkan dukungan keluarga pada


lansia di Desa Lereng merapi Klaten Kecamatan Kemalang
Klaten dalam mengadapi bencana Gunung Merapi berada
dalam kategori baik (54,8%). Dukungan keluarga pada
lansia tertinggi berada dalam dukungan keluarga
informasional (85,7%). Dukungan keluarga meningkatkan
kesiapsiagaan menghadapi bencana gunung berapi pada
lansia di lereng gunung Merapi kecamatan Kemalang
Kabupaten Klaten.
DAFTAR PUSTAKA

Nurhidayati, I., & Bahar, K. (2018). Dukungan Keluarga Meningkatkan


Kesiapsiagaan Lansia dalam Menghadapi Bencana Gunung Berapi. Jurnal
Keperawatan Respati Yogyakarta, 5(1), 302–308.
https://doi.org/10.1176/appi.ajp.2017.17040423

Mutianingsih, & Mustikasari. (2019). Dampak Psikologis Gempa Bumi Terhadap


Kelompok Rentan: Lansia. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, 15(1),
18–23. https://doi.org/10.26753/jikk.v15i1.290

Darmawan, D. (2019). 済無 No Title No Title. Journal of Chemical Information


and Modeling, 53(9), 1689–1699.
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004

Rusmiyati, C., & Hikmawati, E. (2012). Penanganan Dampak Psikologis Korban


Bencana Merapi (Sosial Impact of Psychological Treatment Merapi
Disaster Victims). Jurnal Informasi, 17(02), 97–110.

Suwarningsih, S., Nurwidiasmara, L., & Mujahidah, Z. (2019). Lansia Dalam


Menghadapi Bencana Di Kota Bogor. Jurnal Ilmiah Kesehatan, 11(2), 134–
146. https://doi.org/10.37012/jik.v11i2.78

Anda mungkin juga menyukai