Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR FEMUR

a. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya
(Brunner & Suddarth, 2001). Fraktur merupakan salah satu gangguan atau masalah
yang terjadi pada sistem muskuloskeletal yang menyebabkan perubahan bentuk dari
tulang maupun otot yang melekat pada tulang. Fraktur dapat terjadi di berbagai
tempat dimana terdapat persambungan tulang maupun tulang itu sendiri. Salah satu
contoh dari fraktur adalah yang terjadi pada tulang femur.
Fraktur femur atau patah tulang paha adalah rusaknya kontinuitas tulang pangkal
paha yang disaebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, dan kondisi tertentu,
seperti degenerasi tulang atau osteoporosis (Muttaqin, 2008). Fraktur femur terbagi
menjadi :
1) Fraktur batang femur
Fraktur femur mempunyai insiden yang cukup tinggi, diantara jenis-jenis patah
tulang. Umumnya fraktur femur terjadi pada batang femur 1/3 tengah. Fraktur
femur lebih sering terjadi pada laki-laki dari pada perempuan dengan umur
dibawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan, atau
kecelakaan.
2) Fraktur kolum femur
Fraktur kolum femur dapat terjadi langsung ketika pasien terjatuh dengan posisi
miring dan trokanter mayor langsung terbentur pada benda keras seperti jalan.
Pada trauma tidak langsung, fraktur kolum femur terjadi karena gerakan
eksorotasi yang mendadak dari tungkai bawah. Kebanyakan fraktur ini terjadi
pada wanita tua yang tulangnya sudah mengalami osteoporosis (Mansjoer,
2000).
Dua tipe fraktur femur adalah sebagai berikut:
1) Fraktur interkapsuler femur yang terjadi di dalam tulang sendi, panggul, dan
melalui kepala femur (fraktur kapital).
2) Fraktur ekstrakapsular
a) Terjadi di luar sendi dan kapsul, melalui trokanter femur yang lebih besar /
lebih kecil/ pada daerah intertrokanter.
b) Terjadi di bagian distal menuju leher femur, tetapi tidak lebih dari 2 inci di
bawah trokanter minor.
Klasifikasi fraktur femur (Muttaqin, 2008) terbagi menjadi:
1) Fraktur leher femur
Fraktur leher femur merupakan jenis fraktur yang sering ditemukan pada orang
tua terutama wanita usia 60 tahun ke atas disertai tulang yang osteoporosis.
Fraktur leher femur pada anak anak jarang ditemukan fraktur ini lebih sering
terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan dengan perbandingan 3:2.
Insiden tersering pada usia 11-12 tahun.
2) Fraktur subtrokanter
Fraktur subtrokanter dapat terjadi pada semua usia, biasanya disebabkan trauma
yang hebat. Pemeriksaan dapat menunjukkan fraktur yang terjadi dibawah
trokanter minor.
3) Fraktur intertrokanter femur
Pada beberapa keadaan, trauma yang mengenai daerah tulang femur. Fraktur
daerah troklear adalah semua fraktur yang terjadi antara trokanter mayor dan
minor. Frkatur ini bersifat ekstraartikular dan sering terjadi pada klien yang
jatuh dan mengalami trauma yang bersifat memuntir. Keretakan tulang terjadi
antara trokanter mayor dan minor tempat fragmen proksimal cenderung bergeser
secara varus. Fraktur dapat bersifat kominutif terutama pada korteks bagian
posteomedial.
4) Fraktur diafisis femur
Fraktur diafisis femur dapat terjadi pada daerah femur pada setiap usia dan
biasanya karena trauma hebat, misalnya kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari
ketinggian.
5) Fraktur suprakondilar femur
Daerah suprakondilar adalah daerah antar batas proksimal kondilus femur dan
batas metafisis dengan diafisis femur. Trauma yang mengenai femur terjadi
karena adanya tekanan varus dan vagus yang disertai kekatan aksial dan putaran
sehingga dapat menyebabkan fraktur pada daerah ini. Pergeseran terjadi karena
tarikan otot.

b. Klasifikasi Fraktur Secara Umum


1) Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
a) Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih
utuh) tanpa komplikasi.
2) Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara hubungan
antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
Berdasarkan komplit atau ketidak klomplitan fraktur.
a) Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang
atau melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
b) Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang
tulang seperti:
c) Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)
d) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan
kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
e) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks
lainnya yang terjadi pada tulang panjang.
3) Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma.
a) Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
b) Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap
sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
c) Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.
d) Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang ke arah permukaan lain.
4) Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi
otot pada insersinya pada tulang Berdasarkan jumlah garis patah.
a) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
b) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
c) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada
tulang yang sama.
5) Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
a) Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua
fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
b) Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga
disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
c) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu
dan overlapping).
d) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
e) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).
6) Berdasarkan posisi frakur
Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :
a) 1/3 proksimal
b) 1/3 medial
c) 1/3 distal
7) Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
8) Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang. Pada
fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan
lunak sekitar trauma, yaitu:
a) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan lunak
sekitarnya.
b) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan
subkutan.
c) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam dan pembengkakan.
d) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan
ancaman sindroma kompartement.
c. Etiologi
Pada dasarnya tulang bersifat relatif rapuh, namun cukup mempunyai kekuatan dan
daya pegas untuk menahan tekanan. Penyebab fraktur batang femur antara lain
(Muttaqin, 2011):
1) Fraktur femur terbuka
Fraktur femur terbuka disebabkan oleh trauma langsung pada paha.
2) Fraktur femur tertutup
Fraktur femur tertutup disebabkan oleh trauma langsung atau kondisi tertentu,
seperti degenerasi tulang (osteoporosis) dan tumor atau keganasan tulang paha
yang menyebabkan fraktur patologis.

d. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala fraktur femur (Brunner & Suddarth, 2001) terdiri atas:
1) Nyeri
Nyeri yang terjadi terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
dimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2) Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung
bergerak secara tidak alamiah. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau
tungkai menyebabkan deformitas ekstremitas, yang bisa diketahui dengan
membandingkan dengan ekstremitas yang normal. Ektremitas tak dapat
berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas
tulang tempat melekatnya otot..
3) Pemendekan tulang
Terjadi pada fraktur panjang karena kontraksi otot yang melekat di atas dan
dibawah tempat fraktur.
4) Leg length discrepancy (LLD) atau perbedaan panjang tungkai bawah adalah
masalah ortopedi yang biasanya muncul di masa kecil, di mana dua kaki
seseorang memiliki panjang yang tidak sama. Penyebab dari masalah Leg length
discrepancy (LLD), yaitu osteomielitis, tumor, fraktur, hemihipertrofi, di mana
satu atau lebih malformasi vaskular atau tumor (seperti hemangioma) yang
menyebabkan aliran darah di satu sisi melebihi yang lain. Pengukuran Leg
length discrepancy (LLD) terbagi menjadi, yaitu true leg length discrepancy dan
apparent leg length discrepancy.True leg length discrepancy adalah cara
megukur perbedaan panjang tungkai bawah dengan mengukur dari spina iliaka
anterior superior ke maleolus medial dan apparent leg length discrepancy
adalah cara megukur perbedaan panjang tungkai bawah dengan mengukur
dari xiphisternum atau umbilikus ke maleolus medial.
5) Krepitus tulang (derik tulang)
Krepitasi tulang terjadi akibat gerakan fragmen satu dengan yang lainnya.
6) Pembengkakan dan perubahan warna tulang
Pembengkakan dan perubahan warna tulang terjadi akibat trauma dan
perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini terjadi setelah beberapa jam atau
hari.
e. Patofisiologi
Pada dasarnya penyebab fraktur itu sama yaitu trauma, tergantung dimana fraktur
tersebut mengalami trauma, begitu juga dengan fraktur femur ada dua faktor
penyebab fraktur femur, faktor-faktor tersebut diantaranya, fraktur fisiologis
merupakan suatu kerusakan jaringan tulang yang diakibatkan dari kecelakaan, tenaga
fisik, olahraga, dan trauma dan fraktur patologis merupakan kerusakan tulang terjadi
akibat proses penyakit dimana dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur
(Rasjad, 2007).
Fraktur ganggguan pada tulang biasanya disebabkan oleh trauma gangguan adanya
gaya dalam tubuh, yaitu stress, gangguan fisik, gangguan metabolik dan patologik.
Kemampuan otot mendukung tulang turun, baik
yang terbuka ataupun tertutup. Kerusakan pembuluh darah akan mengakibatkan
pendarahan, maka volume darah menurun. COP atau curah jantung menurun maka
terjadi perubahan perfusi jaringan. Hematoma akan mengeksudasi plasma dan
poliferasi menjadi edema lokal maka terjadi penumpukan didalam tubuh. Disamping
itu fraktur terbuka dapat mengenai jaringan lunak yang kemungkinan dapat terjadi
infeksi terkontaminasi dengan udara luar dan kerusakan jaringan lunak yang akan
mengakibatkan kerusakan integritas kulit.
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma gangguan metabolik,
patologik yang terjadi itu terbuka atau tertutup. Baik fraktur terbuka atau tertutup
akan mengenai serabut syaraf yang dapat menimbulkan gangguan rasa nyaman nyeri.
Selain itu dapat mengenai tulang sehingga akan terjadi masalah neurovaskuler yang
akan menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas fisik terganggu. Pada umumnya
pada pasien fraktur terbuka maupun tertutup akan dilakukan immobilitas yang
bertujuan untuk mempertahankan fragmen yang telah dihubungkan tetap pada
tempatnya sampai sembuh.
f. Tahapan Bone Healing
Setiap tulang yang mengalami cedera, misalnya fraktur karena kecelakaan, akan
mengalami proses penyembuhan. Fraktur tulang dapat mengalami proses
penyembuhan dalam 5 tahap yaitu:
1) Fase hematoma
Apabila tejadi fraktur pada tulang panjang, maka pembuluh darah kecil yang
melewati kanalikuli dalam system haversian mengalami robekan dalam daerah
fraktur dan akan membentuk hematoma diantara kedua sisi fraktur. Hematoma
yang besar diliputi oleh periosteum. Periosteum akan terdorong dan mengalami
robekan akibat tekanan hematoma yang terjadi sehingga dapat terjadi
ekstravasasi darah kedalam jaringan lunak.
Osteosit dengan lakunannya yang terletak beberapa millimeter dari daerah
fraktur akan kehilangan darah dan mati, yang akan menimbulkan suatu daerah
cincin avaskular tulang yang mati pada sisi – sisi fraktur segera setelah trauma.
Waktu terjadinya proses ini dimulai saat fraktur terjadi sampai 2 – 3 minggu.
2) Fase proliferasi seluler subperiosteal dan endosteal
Pada saat ini terjadi reaksi jaringan lunak sekitar fraktur sebagai suatu reaksi
penyembuhan. Penyembuhan fraktur terjadi karena adanya sel – sel osteogenik
yang berproliferasi dari periosteum untuk membentuk kalus eksterna serta pada
daerah endosteum membentuk kalus interna sebagi aktivitas seluler dalam
kanalis medularis. Apabila terjadi robekan yang hebat pada periosteum, maka
penyembuhan sel berasal dari diferansiasi sel
3) – sel mesenkimal yang berdiferensiasi kedalam jaringan lunak. Pada tahap awal
dari penyembuhan fraktur ini terjadi penambahan jumlah dari sel – sel
osteogenik yang memberi penyembuhan yang cepat pada jaringan osteogenik
yang sifatnya lebih cepat dari tumor ganas. Jaringan seluler tidak terbentuk dari
organisasi pembekuan hematoma suatu daerah fraktur. Setelah beberapa minggu,
kalus dari fraktur akan membentuk suatu massa yang meliputi jaringan
osteogenik. Pada pemeriksaan radiologist kalus belum mengandung tulang
sehingga merupakan suatu daerah radioluscen. Pada fase ini dimulai pada
minggu ke 2 – 3 setelah terjadinya fraktur dan berakhir pada minggu ke 4 – 8.
4) Fase pembentukan kalus (Fase union secara klinis)
Setelah pembentukan jaringan seluler yang tumbuh dari setiap fragmen sel dasar
yang berasal dari osteoblast dan kemudian pada kondroblast membentuk tulang
rawan. Tempat osteoblas diduduki oleh matriks interseluler kolagen dan
perlekatan polisakarida oleh garam – garam kalsium pembentuk suatu tulang
yang imatur. Bentuk tulang ini disebut moven bone. Pada pemeriksaan radiolgis
kalus atau woven bone sudah terlihat dan merupakan indikasi radiologik pertama
terjadinya penyembuhan fraktur.
5) Fase konsolidasi (Fase union secara radiology)
Woven bone akan membentuk kalus primer dan secara perlahan – lahan diubah
menjadi tulang yang lebih matang oleh aktivitas osteoblas yang menjadi struktur
lamellar dan kelebihan kalus akan di resorpsi secara bertahap.
6) Pada fase 3 dan 4 dimulai pada minggu ke 4 – 8 dan berakhir pada minggu ke 8
– 12 setelah terjadinya fraktur.
Fase remodeling
Bilamana union telah lengkap, maka tulang yang baru akan membentuk bagian
yang meyerupai bulbus yang meliputi tulang tetapi tanpa kanalis medularis.
Pada fase remodeling ini perlahan – lahan terjadi resorpsi secara osteoklastik
dan tetapi terjadi osteoblastik pada tulang dan kalus eksterna secara perlahan –
lahan menghilang. Kalus intermediet berubah menjadi tulang yang kompak dan
berisi system haversian dan kalus bagian dalam akan mengalami peronggaan
untuk membentuk susmsum.
7) Pada fase terakhir ini, dimulai dari minggu ke 8 – 12 dan berakhir sampai
beberapa tahun dari terjadinya fraktur.
g. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien yang mengalami fraktur femur
(Muttaqin, 2008), antara lain:
1) Fraktur leher femur
Komplikasi yang bersifat umum adalah trombosis vena, emboli paru,
pneumonias, dan dekubitus. Nekrosis avaskular terjadi pada 30% klien fraktur
femur yang disertai pergeseran dan 10% fraktur tanpa pergeseran. Apabila lokasi
fraktur lebih ke proksimal, kemungkinan terjadi nekrosis avaskular lebih besar.
2) Fraktur diafisis femur
Komplikasi dini yang biasanya terjadi pada fraktur diafisis femur adalah sebagai
berikut:
a) Syok terjadi perdarahan sebanyak 1-2 liter walapun fraktur bersifat tertutup.
b) Emboli lemak sering didapatkan pada penderita muda dengan fraktur femur.
c) Trauma pembuluh darah besar. Ujung fragmen tulang menembus jaringan
lunak dan merusak arteri femoralis sehingga menmyebakan kontusi dan
oklusi atau terpotong sama sekali.
d) Trauma saraf pada pembuluh darah akibat tusukan fragmen dapat disertai
kerusakan saraf yang bervariasi dari neuropraksia sampai ke aksonotemesis.
Trauma saraf dapat terjadi pada nervus iskiadikus atau pada cabangnya,
yaitu nervus tibialis dan nervus peroneus komunis.
e) Trombo emboli. Klien yag mengalami tirah baring lama, misalnya distraksi
di tempat tidur dapat mengalami komplikasi trombo-emboli.
f) Infeksi terjadi pada fraktur terbuka akibat luka yang terkontaminasi. Infeklsi
dapat pula terjadi setelah dilakukan operasi.
Komplikasi lanjut pada fraktur diafisis femur yang sering terjadi pada klien
dengan fraktur diafisis femur adalah sebagai berikut:
a) Delayed Union, yaitu fraktur femur pada orang dewasa mengalami union
dalam empat bulan.
b) Non union apabila permukaan fraktur menjadi bulat dan sklerotik.
c) Mal union apabila terjadi pergeseran kembali kedua ujung fragmen. Mal
union juga menyebabkan pemendekan tungkai sehingga dipelukan koreksi
berupa osteotomi.
d) Kaku sendi lutut. Setelah fraktur femur biasanya terjadi kesulitan
pergerakan pada sendi lutut. Hal ini dapat dihindari apabila fisioterapi yang
intensif dan sistematis dilakukan lebih awal.
e) Refraktur terjadi pada mobilisasi dilakukan sebelum union yang solid.
h. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan rontgen : menetukan lokasi, luasnya fraktur, trauma, dan jenis
fraktur.
2) Scan tulang, temogram, CT scan/MRI :memperlihatkan tingkat keparahan
fraktur, juga dan mengidentifikasi kerusakan jaringan linak.
3) Arteriogram : dilakukan bila dicurigai adanya kerusakan vaskuler.
4) Hitung darah lengkap : Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun
(perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada multipel trauma)
peningkatan jumlah SDP adalah proses stres normal setelah trauma.
5) Kretinin : trauma otot meningkatkan beban tratinin untuk klien ginjal.
6) Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilingan darah, tranfusi mulpel
atau cedera hati (Lukman & Ningsih, 2009).
i. Penatalaksanaan
1) Fraktur femur terbuka harus dinilai dengan cermat untuk mengetahui ada
tidaknya kehilangan kulit, kontaminasi luka, iskemia otot, cedera pada pembuluh
darah dan saraf. Intervensi tersebut meliputi:
a) Profilaksis antibiotik
b) Debridemen
c) Pembersihan luka dan debridemen harus dilakukan dengan sedikit mungkin
penundaan. Jika terdapat kematian jaringan yang mati dieksisi dengan hati-
hati. Luka akibat penetrasi fragmen luka yang tajam juga perlu dibersihkan
dan dieksisi.
d) Stabilisasi dilakukan pemasangan fiksasi interna atau eksterna.
2) Fraktur femur tertutup
Pengkajian ini diperlukan oleh perawat sebagai peran kolaboratif dalam
melakukan asuhan keperawatan.
a) Fraktur diafisis femur, meliputi:
1. Terapi konservatif
2. Traksi kulit merupakan pengobatan sementara sebelum dilakukan terapi
definitif untuk mengurangi spasme otot.
3. Traksi tulang berimbang denmgan bagian pearson pada sendi lutut.
Indikasi traksi utama adalah faraktur yang bersifat kominutif dan
segmental.
4. Menggunakan cast bracing yang dipasang setelah union fraktur secara
klinis.
3) Terapi Operasi
1. Pemasangan plate dan screw pada fraktur proksimal diafisis atau distal
femur
2. Mempengaruhi k nail, AO nail, atau jenis lain, baik dengan operasi
tertutup maupun terbuka. Indikasi K nail, AO nail terutama adalah
farktur diafisis.
3. Fiksassi eksterna terutama pada fraktur segmental, fraktur kominutif,
infected pseudoarthrosis atau fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan
lunak yang hebat.
4) Fraktur suprakondilar femur, meliputi:
1. Traksi berimbang dengan menggunakan bidai Thomas dan penahan
lutut Pearson, cast bracing, dan spika panggul.
2. Terapi operatif dilakukan pada fraktur yang tidak dapat direduksi secara
konservatif. Terapi dilakukan dengan mempergunakan nail- phorc dare
screw dengan berbagai tipe yang tersedia (Muttaqin, 2011).
j. Prinsip Penanganan Fraktur Secara Umum
Prinsip penanganan fraktur ada 4, yaitu: rekognisi, reduksi, retensi dan
rehabilitasi.Rekognisi, mengenal jenis fraktur, lokasi dan keadaan secara umum;
riwayat kecelakaan, parah tidaknya luka, diskripsi kejadian oleh pasien, menentukan
kemungkinan tulang yang patah dan adanya krepitus.
1) Reduksi, mengembalikan fragmen tulang ke posisi anatomis normal untuk
mencegah jarinagn lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema
dan perdarahan. Reduksi ada 3 (tiga), yaitu:
a) Reduksi tertutup (close reduction), dengan cara manual/ manipulasi, dengan
tarikan untuk menggerakan fragmen tulang/ mengembalikan fragmen tulang
ke posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan)
b) Traksi, digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi, dimana
beratnya traksi di sesuaikan dengan spasme otot. Sinar X digunakan untuk
memantau reduksi fraktur dan aproksimasi fragmen tulang
c) Reduksi terbuka, dengan memasang alat untuk mempertahankan
pergerakan, yaitu fiksasi internal (kawat, sekrup, plat, nail dan batang dan
implant logam) dan fiksasi ekterna (pembalutan, gips, bidai, traksi kontinue,
pin dan tehnik gips
Jenis-jenis Traksi, yaitu:
1) Traksi kulit
Traksi kulit digunakan untuk mengontrol sepasme kulit dan memberikan
imobilisasi . Traksi kulit apendikuler ( hanya pada ektermitas digunakan pada
orang dewasa) termasuk “ traksi ektensi Buck, traksi russell, dan traksi Dunlop”.
a) Traksi buck
Ektensi buck ( unilateral/ bilateral ) adalah bentuk traksi kulit dimana
tarikan diberikan pada satu bidang bila hanya imobilisasi parsial atau
temporer yang diinginkan . Digunakan untuk memberikan rasa nyaman
setelah cidera pinggulsebelum dilakukan fiksasi bedah (Smeltzer &
Bare,2001 ).
Traksi buck merupakan traksi kulit yang paling sederhana, dan paling tepat
bila dipasang untuk anak muda dalam jangka waktu yang pendek. Indikasi
yang paling sering untuk jenis traksi ini adalah untuk mengistirahatkan
sendi lutut pasca trauma sebelum lutut tersebut diperiksa dan diperbaiki
lebih lanjut (Wilson, 1995 ).
b) Traksi Russell
Dapat digunakan pada fraktur plato tibia, menyokong lutut yang fleksi pada
penggantung dan memberikan gaya tarik horizontal melalui pita traksi
balutan elastis ketungkai bawah. Bila perlu, tungkai dapat disangga dengan
bantal agar lutut benar- benar fleksi dan menghindari tekanan pada tumit
(Smeltzer & Bare, 2001 ).
c) Traksi Dunlop
Adalah traksi pada ektermitas atas. Traksi horizontal diberikan pada lengan
bawah dalam posisi fleksi.
d) Traksi kulit bryant
Traksi ini sering digunakan untuk merawat anak kecil yang mengalami
patah tulang paha. Traksi Bryant sebaiknya tidak dilakukan pada anak-anak
yang berat badannya lebih dari 30 kg. kalau batas ini dilampaui maka kulit
dapat mengalami kerusakan berat.
2) Traksi skelet
Traksi skelet dipasang langsung pada tulang. Metode traksi ini digunakan paling
sering untuk menangani fraktur femur, tibia, humerus dan tulang leher.
a) Traksi rangka seimbang
Traksi rangka seimbang ini terutama dipakai untuk merawat patah tulang
pada korpus femoralis orng dewasa. Sekilas pandangan traksi ini tampak
komplek, tetapi sesunguhnya hanyalah satu pin rangka yang ditempatkan
tramversal melalui femur distal atau tibia proksimal. Dipasang pancang
traksi dan tali traksi utama dipasang pada pancang tersebut. Ektermitas
pasien ditempatkan dengan posisi panggul dan lutut membentuk sekitar 35°.
b) Traksi 90-90-90
Traksi 90-90-90 sangat berguna untuk merawat anak- anak usia 3 tahun
sampai dewasa muda. kontrol terhadap fragmen – fragmen pada fraktur
tulang femur hamper selalu memuaskan dengan traksi 90-90-90 penderita
masih dapat bergerak dengan cukup bebas diatas tempat tidur.
3) Reposisi, setelah fraktur di reduksi, fragmen tulang harus di imobilisasi atau
dipertahankan dalam posisi penyatuan yang tepat. Imobilisasi dapat dilakukan
dengan cara fiksasi internal dan eksternal.
a) fiksasi internal fragmen tulang dapat diikat dengan skrup,pen, atau paku
pengikat,plat logam yang diikat dengan skrup,paku intramedular yang
panjang (dengan atau tanpa skrup pengunci) , ciscumferential bands, atau
kombinasi dari metode ini.
b) fiksasi eksternal fraktur dipertahankan dengan skrup pengikat atau kawat
penekan yang melalui tulang diatas dan dibawah fraktur, dan dilekatkan
pada suatu kerangka luar.
4) Rehabilitasi, mempertahankan dan mengembalikan fungsi
Pada umumnya, sebelum dan setelah pelaksanaan terapi latihan, bagian yang
mengalami operasi yaitu 1/3 distal femur pasien dalam keadaan dielevasikan
sekitar 30˚
a) Static Contraction
Terjadi kontraksi otot tanpa disertai perubahan panjang otot dan tanpa
gerakan pada sendi (Kisner,1996). Latihan ini dapat meningkatkan tahanan
perifer pembuluh darah, vena yang tertekan oleh otot yang berkontraksi
menyebabkan darah di dalam vena akan terdorong ke proksimal yang dapat
mengurangi oedem, dengan oedem berkurang, maka rasa nyeri juga dapat
berkurang.
b) Passive Movement
Passive movement adalah gerakan yang ditimbulkan oleh adanya kekuatan
dari luar sementara itu otot pasien lemas (Priatna,1985). Passive movement
ada 2, yaitu :
(1) Relaxed Passive Movement
Gerakan pasif hanya dilakukan sebatas timbul rasa nyeri. Bila pasien
sudah merasa nyeri pada batas lingkup gerak sendi tertentu, maka
gerakan dihentikan (Priatna,1985).
(2) Forced Passive Movement
Forced Passive Movement bertujuan untuk menambah lingkup gerak
sendi. Tekniknya hampir sama dengan relaxed passive movement,
namun di sini pada akhir gerakan diberikan penekanan sampai pasien
mampu menahan rasa nyeri (Priatna,1985).
c) Active Movement
Merupakan gerakan yang dilakukan oleh otot anggota gerak tubuh pasien itu
sendiri (Kisner,1996). Pada kondisi oedem, gerakan aktif ini dapat
menimbulkan “pumping action” yang akan mendorong cairan bengkak
mengikuti aliran darah ke proksimal. Latihan ini juga dapat digunakan
untuk tujuan mempertahankan kekuatan otot, latihan koordinasi dan
mempertahankan mobilitas sendi. Active Movement terdiri dari :
(1) Free Active Movement
Gerakan dilakukan sendiri oleh pasien, hal ini dapat meningkatkan
sirkulasi darah sehingga oedem akan berkurang, jika oedem berkurang
maka nyeri juga dapat berkurang. Gerakan ini dapat menjaga lingkup
gerak sendi dan memelihara kekuatan otot.
(2) Assisted Active Movement
Gerakan ini berasal dari pasien sendiri, sedangkan terapis memfasilitasi
gerakan dengan alat bantu, seperti sling, papan licin ataupun tangan
terapis sendiri. Latihan ini dapat mengurangi nyeri karena merangsang
relaksasi propioseptif.
(3) Ressisted Active Movement
Ressisted Active Movement merupakan gerakan yang dilakukan oleh
pasien sendiri, namun ada penahanan saat otot berkontraksi. Tahanan
yang diberikan bertahap mulai dari minimal sampai maksimal. Latihan
ini dapat meningkatkan kekuatan otot.
d) Hold Relax
Hold Relax adalah teknik latihan gerak yang mengkontraksikan otot
kelompok antagonis secara isometris dan diikuti relaksasi otot tersebut.
Kemudian dilakukan penguluran otot antagonis tersebut. Teknik ini
digunakan untuk meningkatkan lingkup gerak sendi ( Kisner,1996).
e) Latihan Jalan
Latihan transfer dan ambulasi penting bagi pasien agar pasien dapat kembali
ke aktivitas sehari-hari. Latihan transfer dan ambulasi di sini yang penting
untuk pasien adalah latihan jalan. Mula-mula latihan jalan dilakukan
dengan menggunakan dua axilla kruk secara bertahap dimulai dari non
weight bearing atau tidak menumpu berat badan sampai full weight bearing
atau menumpu berat badan. Metode jalan yang digunakan adalah swing,
baik swing to ataupun swing through dan dengan titik tumpu, baik two point
gait, three point gait ataupun four point gait. Latihan ini berguna untuk
pasien agar dapat mandiri walaupun masih menggunakan alat bantu.
1. Clinical Pathways

Trauma pada tulang (Kecelakaan) Tekanan yang berulang (Kompresi) Kelemahan tulang abnormal (osteoporosis)

Fraktur femur

Patah tulang tertutup Patah tulang terbuka Resiko tinggi infeksi

Pembedahan Ansietas

Kerusakan struktur tulang


Kemampuan pergerakan
otot sendi menurun Hambatan
mobilitas fisik Trauma jaringan post pembedahan
Patah tulang merusak jaringan

Perubahan
Terputusnya kontinuitas jar.
permeabilitas
kapiler Kerusakan integritas kulit

Menekan saraf perasa nyeri

Kehilangan cairan ekstra sel ke jaringan yang rusak


Stimulus neurotransmitter nyeri

Pelepasan mediator prostaglandin Resiko syok hipovolemik

Respon nyeri hebat dan akut

Nyeri akut
2. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
Pada tahap pengkajian dapat dilakukan anamnesa/wawancara terhadap
pasien dengan fraktur femur yaitu :
1) Identitas pasien
a) Nama : Nama pasien
b) Usia : usia lebih dari 60 tahun dimana tulang sudah
mengalami osteoporotik, penderita muda ditemukan riwayat
mengalami kecelakaan, fraktur batang femur pada anak terjadi
karena jatuh waktu bermain dirumah atau disekolah
c) Suku : Suku pasien
d) Pekerjaan : Pekerjaan pasien
e) Alamat : Alamat pasien
2) Riwayat keperawatan
a) Riwayat perjalanan penyakit
1. Keluhan utama klien datang ke RS atau pelayanan kesehatan :
nyeri pada paha
2. Apa penyebabnya, waktu : kecelakaan atau trauma, berapa
jam/menit yang lalu
3. Bagaimana dirasakan, adanya nyeri, panas, bengkak dll
4. Perubahan bentuk, terbatasnya gerakan
5. Kehilangan fungsi
6. Apakah klien mempunyai riwayat penyakit osteoporosis
b) Riwayat pengobatan sebelumnya
1. Apakan klien pernah mendapatkan pengobatan jenis
kortikosteroid dalam jangka waktu lama
2. Apakah klien pernah menggunakan obat-obat hormonal,
terutama pada wanita
3. Berapa lama klien mendapatkan pengobatan tersebut
4. Kapan klien mendapatkan pengobatan terakhir
3) Pemeriksaan fisik
Mengidentifikasi tipe
fraktur
a) Inspeksi daerah mana yang terkena
1. Deformitas yang nampak jelas
2. Edema, ekimosis sekitar lokasi cedera
3. Laserasi
4. Perubahan warna kulit
5. Kehilangan fungsi daerah yang cidera
b) Palpasi
1. Bengkak, adanya nyeri dan penyebaran
2. Krepitasi
3. Nadi, dingin
4. Observasi spasme otot sekitar daerah fraktur
4) Pemeriksaan Penunjang
a) Foto Rontgen
1. Untuk mengetahui lokasi fraktur dan garis fraktur secara
langsung
2. Mengetahui tempat dan tipe fraktur
b) Biasanya diambil sebelum dan sesudah dilakukan operasi dan
selama proses penyembuhan secara periodik
c) Artelogram dicurigai bila ada kerusakan vaskuler
d) Hitung darah lengkap HT mungkin meningkat (hemokonsentrasi)
atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ
jauh pada trauma multiple).
b. Diagnosa keperawatan
1) Pre operasi
a. Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot dan kerusakan sekunder
pada fraktur
b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan cedera jaringan
sekitar/fraktur
c. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan fraktur terbuka dan
kerusakan jaringan lunak
d. Ansietas berhubungan dengan prosedur pengobatan atau pembedahan
2) Intra operasi
Resiko syok hipovolomik berhubungan dengan perdarahan akibat
pembedahan
3) Post operasi
a. Nyeri berhubungan dengan proses pembedahan
b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma jaringan post
pembedahan
d. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan luka operasi
c. Perencanaan keperawatan

1) Pre operatif
Diagnosa
No. Tujuan dan kriteria hasil Intervensi Rasional
keperawatan
1. Nyeri akut NOC NIC
berhubungan 1. Tingkat nyeri Manajemen nyeri
dengan spasme otot 2. Kontrol nyeri 1. Lakukan pengkajian nyeri secara 1. Mengetahui karakteristik
dan kerusakan 3. Tingkat kenyamanan komprehensif termasuk lokasi, nyeri secara menyeluruh
sekunder pada Kriteria Hasil : karakteristik, durasi, frekuensi, untuk menentukan
fraktur 1. Mampu mengontrol nyeri (tahu kualitas dan faktor presipitasi intervensi selanjutnya
penyebab nyeri, mampu 2. Observasi reaksi nonverbal dari 2. Mengetahui
menggunakan tehnik ketidaknyamanan perkembangan respon
nonfarmakologi untuk 3. Kurangi faktor presipitasi nyeri nyeri
mengurangi nyeri, mencari 4. Ajarkan tentang teknik non 3. Mengurangi peningkatan
bantuan) farmakologi nyeri
2. Melaporkan bahwa nyeri 5. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri 4. Meniminalkan nyeri yang
berkurang dengan 6. Kolaborasikan dengan dokter jika dirasakan
menggunakan manajemen nyeri ada keluhan dan tindakan nyeri 5. Mengetahui keefektifan
3. Mampu mengenali nyeri (skala, tidak berhasil intervensi
intensitas, frekuensi dan tanda 6. Pengobatan medis untuk
nyeri) mengurangi nyeri
4. Menyatakan rasa nyaman
setelah nyeri berkurang
5. Tanda vital dalam rentang normal
2. Hambatan NOC NIC
mobilitas fisik 1. Gerakan: aktif Latihan Kekuatan
berhubungan 2. Tingkat mobilitas 1. Ajarkan dan berikan dorongan 1. Pasien dapat termotivasi
dengan cedera 3. Perawatan diri: ADL pada klien untuk melakukan untuk melakukan program
jaringan Kriteria Hasil : program latihan secara rutin latihan
sekitar/fraktur 1. Klien meningkat dalam aktivitas Latihan untuk ambulasi 2. Mencegah resiko cedera
fisik 1. Ajarkan teknik ambulasi & 3. Memudahkan pasien
2. Mengerti tujuan dari peningkatan perpindahan yang aman kepada untuk melakukan
mobilitas klien dan keluarga. mobilisasi
3. Memverbalisasikan perasaan 2. Sediakan alat bantu untuk klien 4. Pasien terus termotivasi
dalam meningkatkan kekuatan dan seperti kruk, kursi roda, dan untuk tetap melakukan
kemampuan berpindah walker ambulasi
4. Memperagakan penggunaan 3. Beri penguatan positif untuk 5. Klien dan keluarga
alat Bantu untuk mobilisasi berlatih mandiri dalam batasan memahami mobilisasi
(walker) yang aman. dengan benar
Latihan mobilisasi dengan kursi 6. Klien termotivasi untuk
roda memperkuat anggota
1. Ajarkan pada klien & keluarga tubuh
tentang cara pemakaian kursi roda 7. Klien tidak akan
& cara berpindah dari kursi roda mengalami kekakuan
ke tempat tidur atau sebaliknya. sendi dan keluarga dapat
2. Dorong klien melakukan latihan membantu klien untuk
untuk memperkuat anggota tubuh mobilisasi
3. Ajarkan pada klien/ keluarga
tentang cara penggunaan kursi
roda
3. Resiko tinggi NOC : NIC :
infeksi 1. Status imun Kontrol infeksi 1. Untuk mencegah infeksi
berhubungan 2. Kontrol resiko 1. Bersihkan lingkungan setelah yang ditularkan oleh
dengan fraktur Kriteria Hasil : dipakai pasien lain pasien lain
terbuka dan 1. Klien bebas dari tanda dan gejala 2. Gunakan sabun antimikrobia 2. Memotong rantai infeksi
kerusakan jaringan infeksi untuk cuci tangan 3. Memotong rantai infeksi
lunak 2. Menunjukkan kemampuan untuk 3. Cuci tangan setiap sebelum dan 4. Tenaga kesehatan dapat
mencegah timbulnya infeksi sesudah tindakan keperawatan mencegah infeksi
3. Jumlah leukosit dalam batas 4. Gunakan baju, sarung tangan nosokomial
normal sebagai alat pelindung 5. Resiko infeksi tidak
4. Menunjukkan perilaku hidup sehat 5. Pertahankan lingkungan aseptik terjadi
selama pemasangan alat 6. Diet makanan tinggi
6. Tingktkan intake nutrisi protein untuk
7. Berikan terapi antibiotik bila mempercepat
perlu penyembuhan luka
7. Untuk mencegah atau
mengobati infeksi
4. Ansietas NOC NIC
berhubungan Kontrol ansietas Penurunan kecemasan 1. Kecemasan tidak
dengan prosedur Kriteria hasil: 1. Tenangkan klien meningkat
pengobatan atau 1. Monitor intensitas kecemasan 2. Berikan informasi tentang 2. Pasien dapat
pembedahan 2. Menyikirkan tanda kecemasan diagnosa prognosis dan tindakan memahami terkait
3. Mencari informasi untuk 3. Kaji tingkat kecemasan dan reaksi keadaannya
menurunkan kecemasan fisik pada tingkat kecemasan 3. Mengetahui tingkat
4. Merencanakan strategi koping 4. Gunakan pendekatan dan kecemasan untuk
5. Menggunakan teknik relaksasi sentuhan menentukan intervensi
untuk menurunkan kecemasan 5. Temani pasien untuk mendukung selanjutnya
4. Empati petugas kesehatan
6. Melaporkan penurunan durasi keamanan dan penurunan rasa dapat dirasakan pasien
dan episode cemas takut 5. Kecemasan tidak
7. Melaporkan tidak adanya 6. Sediakan aktifitas untuk meningkat
manifestasi fisik dan menurunkan ketegangan 6. Pengalihan terhadap
kecemasan 7. Intruksikan kemampuan klien kecemasan yang dirasakan
8. Tidak adaa manifestasi perilaku untuk menggunakan teknik pasien
kecemasan relaksasi 7. Mengurangi kecemasan
pasien

2) Intra operatif
Diagnosa
No. Tujuan dan kriteria hasil Intervensi Rasional
keperawatan
1. Resiko syok NOC NIC
hipovolomik Deteksi resiko Manajemen syok :volume 1. Mengetahui perkembangan
berhubungan dengan Kriteria hasil: 1. Monitor tanda dan gejala perdarahan pasien
perdarahan akibat 1. Kenali tanda dan gejala perdarahan yang konsisten 2. Resiko syok hipovolemik
pembedahan yang mengindikasikan risiko 2. Cegah kehilangan darah (ex : tidak terjadi
2. Cari validasi dari risiko yg melakukan penekanan pada 3. Memenuhi kebutuhan
dirasakan tempat terjadi perdarahan) cairan pasien
3. Pertahankan info terbaru tentang 3. Berikan cairan IV 4. Mengetahui perubahan
riwayat keluarga 4. Catat Hb/Ht sebelum dan sesudah komponen darah
4. Pertahankan info terbaru tentang kehilangan darah sesuai indikasi 5. Keseimbangan kebutuhan
riwayat pribadi 5. Berikan tambahan darah (ex : darah
5. Gunakan sumber informasi platelet, plasma) yang sesuai
tentang risiko potensial
3) Post operatif

Diagnosa
No. Tujuan dan kriteria hasil Intervensi Rasional
keperawatan
1. Nyeri NOC NIC 1. Mengetahui karakteristik
berhubungan 1. Tingkat nyeri Manajemen nyeri nyeri secara menyeluruh
dengan proses 2. Kontrol nyeri 1. Lakukan pengkajian nyeri untuk menentukan
pembedahan 3. Tingkat kenyamanan secara komprehensif termasuk intervensi selanjutnya
Kriteria Hasil : lokasi, karakteristik, durasi, 2. Mengetahui
1. Mampu mengontrol nyeri (tahu frekuensi, kualitas dan faktor perkembangan respon
penyebab nyeri, mampu presipitasi nyeri
menggunakan tehnik nonfarmakologi 2. Observasi reaksi nonverbal 3. Mengurangi peningkatan
untuk mengurangi nyeri, mencari dari ketidaknyamanan nyeri
bantuan) 3. Kurangi faktor presipitasi nyeri 4. Meniminalkan nyeri yang
2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang 4. Ajarkan tentang teknik non dirasakan
dengan menggunakan manajemen farmakologi 5. Mengetahui keefektifan
nyeri 5. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri intervensi
3. Mampu mengenali nyeri (skala, 6. Kolaborasikan dengan dokter jika 6. Pengobatan medis untuk
intensitas, frekuensi dan tanda ada keluhan dan tindakan nyeri mengurangi nyeri
nyeri) tidak berhasil
4. Menyatakan rasa nyaman
setelah nyeri berkurang
5. Tanda vital dalam rentang normal
2. Kerusakan NOC : NIC 1. Tidak ada tekanan pada
integritas kulit Intergritas jaringan: kulit and membran Manajemen tekanan luka
berhubungan mukus 1. Anjurkan pasien untuk 2. Mencegah terbentuknya
dengan trauma Kriteria Hasil : menggunakan pakaian yang luka yang baru
jaringan post 1. Integritas kulit yang baik bisa longgar 3. Terhindar dari infeksi
pembedahan dipertahankan 2. Hindari kerutan pada tempat tidur 4. Mencegah terjadinya
2. Melaporkan adanya gangguan sensasi 3. Jaga kebersihan kulit agar tetap dekubitus
atau nyeri pada daerah kulit yang bersih dan kering 5. Mengetahui perkembangan
mengalami gangguan 4. Mobilisasi pasien (ubah posisi mobilisasi pasien
3. Menunjukkan pemahaman dalam pasien) setiap dua jam sekali 6. Mengetahui nutrisi yang
proses perbaikan kulit dan 5. Monitor kulit akan adanya dikonsumsi pasien
mencegah terjadinya sedera kemerahan 7. Pasien tetap terjaga
berulang 6. Monitor aktivitas dan mobilisasi perawatan dirinya
4. Mampumelindungi kulit dan pasien
mempertahankan kelembaban kulit 7. Monitor status nutrisi pasien
dan perawatan alami 8. Memandikan pasien dengan
sabun dan air hangat
3. Resiko tinggi NOC : NIC : 1. Untuk mencegah
infeksi 1. Status imun Kontrol infeksi infeksi yang ditularkan
berhubungan 2. Kontrol resiko 1. Bersihkan lingkungan setelah oleh pasien lain
dengan luka Kriteria Hasil : dipakai pasien lain 2. Memotong rantai infeksi
operasi 1. Klien bebas dari tanda dan 2. Gunakan sabun antimikrobia 3. Memotong rantai infeksi
gejala infeksi untuk cuci tangan 4. Tenaga kesehatan
2. Menunjukkan kemampuan untuk 3. Cuci tangan setiap sebelum dan dapat mencegah infeksi
mencegah timbulnya infeksi sesudah tindakan keperawatan nosokomial
3. Jumlah leukosit dalam batas normal 4. Gunakan baju, sarung tangan 5. Resiko infeksi tidak
4. Menunjukkan perilaku hidup sehat sebagai alat pelindung terjadi
5. Pertahankan lingkungan aseptik 6. Diet makanan tinggi
selama pemasangan alat protein untuk
6. Tingktkan intake nutrisi mempercepat
7. Berikan terapi antibiotik bila penyembuhan luka
perlu 7. Untuk mencegah atau
mengobati infeksi
d. Discharge Planning
a) Persiapan Perawatan Rumah
Klien membutuhkan orang terdekat klien yang akan membantu perawatan
atau proses penyembuhan di rumah. Hal – hal yang perlu diperhatikan,
yaitu mencegah kemungkinan jatuh harus dihilangkan, ruangan harus
bebas atau minimal perabot untuk memudahkan pergerakan klien dengan
menggunakan kruk atau alat bantu lain.
b) Edukasi Klien dan Keluarga
Klien dengan fraktur biasanya dipulangkan kerumah dalam keadaan
memakai pembalut / bandage, splint, gips atau fiksasi eksternal. Perawat
harus menyiapkan instruksi verbal / tertulis untuk klien dan keluarga
tentang mengkaji dan merawaqt luka untuk meningkatkan penyembuhan
dan pencegahan infeksi.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:
EGC.

Lukman, N & Ningsih, N. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan


Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta: Penerbit Salemba Medika.

Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Medica


Aesculpalus.

Moffat, D & Faiz, O. 2002. At a Glance Series Anatomi. Jakarta: PT. Glora
Aksara Pratama.

Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan


Muskuloskeletal. Jakarta:EGC.

Muttaqin, A. 2011. Buku Saku Gangguan Mulskuloskeletal Aplikasi pada Praktik


Klinik Keperawatan. Jakarta:EGC.

Rasjad, C. 2007. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: PT.Yarsif Watampone.

Siddiqui, Z. 2015. Rehabilitations Following Intramedullary Nailing Of Femoral


Shaft Fracture: A Case Report. International Journal of Physical Therapy &
Rehabilitation Science. Vol 1 (1): 30-35.

Anda mungkin juga menyukai