Anda di halaman 1dari 20

Bagian Ilmu KesehatanAnak Laporan Kasus

Fakultas Kedokteran APRIL 2019

Universitas Haluoleo

DEMAM BERDARAH

Oleh:

Wa Ode Hediyati Maharani. S,Ked

Pembimbing

dr. Yeni Haryani, Sp.A., M.Kes

KEPANITERAAN KLINIKBAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALUOLEO

KENDARI

2019
LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS KASUS

Nama pasien : An. N

No. RM : 106 17 69

Umur : 2 Tahun 3 Bulan

Tanggal Lahir : 08 Desember 2016

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : SP1 Wawowonua

Agama : Islam

Suku : Jawa

BBM : 10 Kg

PBM : cm

Masuk Rumah Sakit : 26 Maret 2019

Pukul : 11.30 WITA

Ruangan : MAWAR ANAK

Nama Ayah : Tn. A

Umur : 42 tahun

Pekerjaan : Wiraswasta

Nama ibu : Ny. W

Umur : 37 tahun

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga


2. ANAMNESIS

Berdasarkan alloanamnesis dengan : Ibu Pasien

Keluhan Utama : Demam

Pasien datang di UGD RSAD dr. R. Ismoyo dengan keluhan demam sejak 2 hari

yang lalu secara terus-menerus, timbul mendadak dan terus-menerus, menggigil (-)

disertai perdarahan di gusi. Menurut keterangan ibunya pasien mengalami mimisan di

pagi hari. Frekuensi BAB sering (±5 kali) dengan konsistensi cair berwarna coklat dan

disertai lendir. Pasien mengeluhkan batuk (+) bersamaan dengan demamnya, sesak napas

(-), mual (+), muntah (+), rewel (+) dan perasaan gelisah. Ibu pasien mengaku sudah

membawa pasien untuk berobat ke puskesmas.

Riwayat demam sebelumnya :

Pasien sudah pernah mengalami demam sebelumnya namun hanya dikompres dengan

air hangat serta dirawat di rumah.

Riwayat pengobatan :

Selama dirumah, pasien mengkonsumsi: sanmol untuk demamnya.

Riwayat DBD dalam keluarga : tidak ada

Riwayat kontak dengan penderita DBD : tidak ada

Riwayat antenatal : selama hamil ibu pasien rajin kontrol antenatalcare di puskesmas

dan memeriksakan kandunganya ke dokter. Selama mengandung ibu pasien menyangkal

adanya sakit.

Riwayat perinatal : pasien lahir cukup bulan, spontan, segera menangis dengan berat

badan lahir (lupa) dan panjang (lupa).

Riwayat tumbuh kembang:

Berbalik lupa

Gigi pertama lupa


Kepala tegak lupa

Berdiri lupa

Jalan sendiri lupa

Bicara lupa

3. PEMERIKSAAN FISIK

BBM : 10 Kg

PBM : 92 cm

Tekanan Darah : 120/80 mmHg

Nadi : 84 kali/menit

Pernapasan : 28 kali/ menit

Suhu : 38,00 C

Keadaan Umum : sakit sedang, status gizi baik (93%)

Pucat : (-)

Sianosis : (-)

Ikterus : (-)

Turgor : baik

Tonus : 5/5

Busung/edema : (-)

Lingkar lengan atas : 11,5 cm Lingkar kepala : 44 cm

Lingkar dada : 51 cm Lingkar perut : 49 cm

Keadaan Spesifik:

Kepala

Bentuk : Normocephal

UUB : Tertutup

Wajah : Simetris kanan = kiri


Rambut : Hitam, tidak mudah tercabut

Mata : Cekung (-), konjungtiva anemis (-), strabismus (-), nistagmus (-) pupil

isokor d/s, kontak mata (+)

Hidung : napas cuping hidung (-), Rinore (-), epistaksis (+)

Bibir : kering (+) Pucat (-), sianosis (-), simetris kanan = kiri

Lidah : kotor (-) tremor (-)

Leher : pembesaran KGB (-)

Sel mulut : stomatitis (-)

Telinga : secret (-), deformitas (-), otorhea (-)

Tenggorok : Tidak hiperemis

Tonsil : T1/T1

Paru-paru

Inspeksi : Simetris kiri=kanan, retraksi (-)

Palpasi : massa tumor (-), nyeri tekan (-)

Perkusi : Sonor kedua lapangan paru

Auskultasi : Bronkovesikuler. Bunyi tambahan:

Rhonki(-/-), Wheezing (-/-)

Jantung

Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak

Palpasi : Iktus kordis tidak teraba

Perkusi : Batas jantung kiri ICS 5 linea midclavicularis sinistra

Batas jantung ICS 4 kanan linea parasternalis dekstra

Auskultasi : bunyi Jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

Inspeksi : cembung, ikut gerak napas.


Auskultasi : peristaltik kesan menurun (4x per menit)

Palpasi : nyeri tekan (-),massa tumor (-)

Perkusi : Timpani, nyeri ketuk kostovertebra (-),

Limpa : tidak teraba

Hati : tidak teraba

Kelenjar Limfe : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

Alat kelamin : tidak diperiksa

Anggota Gerak : kekuatan otot baik, tonus otot baik, anggota gerak lengkap

Kulit : pucat (-), ikterus (-),

Col. Vertebralis : Skoliosis (-)

Refleks fisiologis : (+), kesan normal

Refleks patologis : Babinsky (-/-), hofmant (-/-), trofmer (-/-)

Tanda Rangsang meningeal: kaku kuduk (-), laseque (-), Brudzinski I & II (-)

4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
DARAH RUTIN Laboratorium Klinik dr. R. Ismoyo (26/03/2019)
PARAMETER HASIL NILAI RUJUKAN
WBC 4,6 [103/µL] (4.00 – 10.00)
RBC 4,30 [106/µL] (4.00 – 6.00)
HGB 10,1 [g/dL] (12.0 – 16.0)
HCT 30,7 [%] (37.0 – 48.0)
MCV 71,6 [fL] (80.0 – 97.0)
MCH 23,4 [pg] (26.5 – 33.0)
MCHC 32,8 [g/dL] (31.5 – 35.0)
PLT 96 [10^3/µL] (150 – 400)
LYMPH 69,6 [103/µL] 46.0 [%] (1.00 – 3.70) (20.0 – 50.0)

DARAH RUTIN Laboratorium Klinik dr. R. Ismoyo (29/03/2019)


PARAMETER HASIL NILAI RUJUKAN
WBC 2,8 [103/µL] (4.00 – 10.00)
RBC 4,93 [106/µL] (4.00 – 6.00)
HGB 11,6 [g/dL] (12.0 – 16.0)
HCT 34,3 [%] (37.0 – 48.0)
MCV 69,6 [fL] (80.0 – 97.0)
MCH 23,5 [pg] (26.5 – 33.0)
MCHC 33,8 [g/dL] (31.5 – 35.0)
PLT 128 [10^3/µL] (150 – 400)
LYMPH 79,9 [103/µL] 46.0 [%] (1.00 – 3.70) (20.0 – 50.0)

5. ANJURAN PEMERIKSAAN

Darah rutin.

6. DIAGNOSA KERJA

DHF + Diare akut

DD : Demam Tifoid

7. RESUME

Pasien An. N, 2 Thn 3 Bulan datang dengan keluhan demam dan gusi berdarah sejak 2

hari yang lalu, timbul mendadak dan terus-menerus, menggigi (-). Mimisan dialami saat

pagi hari. Frekuensi BAB sering (±5 kali) dengan konsistensi cair berwarna coklat dan

disertai lendir. Batuk (+) bersamaan dengan demamnya, sesak napas (-), mual (+),

muntah (+), rewel (+) dan perasaan gelisah. Riawayat berobat ke puskesmas.

Dari pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum sakit sedang, kesadaran E4M4V3,

status gizi baik.Tekanan Darah 120/80 mmHg, Nadi 84 kali/menit, Pernapasan 28

kali/menit, Suhu 38,00 C.

PENATALAKSANAAN

Non medikamentosa:

 Tirah Baring
 Edukasi
Medikamentosa:

 IVFD RL 20 tpm
 Inf. PCT 100 mg/IV
 Inj. Cefotaxime 500 mg/IV/12 jam
 Cefixime syr 2x1/2 sdt

8. FOLLOW UP
Tanggal Keluhan Instruksi Dokter
27/03/2019 S: demam (+), mimisan (+),  Intervensi lanjut
perdarahan gusi (+)  Observasi TTV
O :  Observasi tanda perdarahan
 IVFD RL 20 tpm
KU: Lemah
BB : 10 kg
T : 100/60 mmHg
N :100x/m
P :30x/m
S :36,5°C
Lab :

A : DBD + Caries Dentum


28/03/19 S: demam (+), perdarahan gusi (+)  Intervensi lanjut
O:

TD : 100/50 mmHg
N :96 x/m
P : 28x/m
S : 36,5°C
BB : 10 Kg
A : DBD
29/03/19 S : demam (+) Boleh Pulang
 Cefixime syr 2x1/2 sdt
O:
.
TD : 100/60 mmHg
N :104 x/m
P : 30 x/m
S : 36.5°C
BB : 10 Kg
A : DBD
ANALISA KASUS

1. Demam Berdarah
a. Definisi
Demam berdarah dengue (DBD) atau dengue hemorrhagic fever (DHF)
merupakan penyakit demam akut (acute febrile illness) akibat infeksi virus dengue
yang ditularkan melalui gigitan nyamuk betina Aedes aegypti dan Aedes albopictus.
Menurut data World Health Assembly, dewasa ini terdapat 17 jenis penyakit tropis
terabaikan (neglected tropical diseases) yang telah disepakati bersama World Health
Organization (WHO) dimana fokus tertuju pada DBD sebagai penyebab ancaman
skala besar di seluruh dunia. Penyebaran dengue dipengaruhi faktor iklim seperti
curah hujan, suhu dan kelembaban. Kelangsungan hidup nyamuk akan lebih lama bila
tingkat kelembaban tinggi, seperti selama musim hujan. Kelembaban yang tinggi
dengan suhu berkisar antara 28-320C membantu nyamuk Aedes bertahan hidup untuk
jangka waktu yang lama.
b. Epidemiologi
Menurut WHO, diperkirakan terjadi 50-100 juta kasus infeksi dengue global
setiap tahunnya, dengan 250.000- 500.000 kasus DBD dan angka kematian 24.000
jiwa setiap tahunnya. Sekitar 90% infeksi terjadi pada golongan anak di bawah 15
tahun. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Negara – Negara tropis seperti di
kawasan Asia Tenggara dan Pasifik Barat merupakan masalah kesehatan masyarakat.
Penyakit Demam Berdarah (DBD) ini semula hanya di temukan di kota-kota besar,
namun beberapa tahun terakhir terdapat pula di daerah sub urban dan pedesaan yang
mulai padat penduduknya.
Indonesia sebagai negara tropis dan berkembang masih memiliki angka
morbiditas dan mortalitas yang tinggi akibat penyakit DBD dimana selama tahun
2011 terdapat 13 kabupaten/kota dari tujuh provinsi yang melaporkan timbulnya
Kejadian Luar Biasa (KLB). Demam Berdarah pertama kali ditemukan di kota
Surabaya pada tahun 1968, dimana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang
diantaranya meninggal dunia (Angka Kematian (AK): 41,3%). Dan sejak saat itu,
penyakit ini menyebar luas ke seluruh Indonesia.
c. Etiologi
1. Lingkungan
Faktor lingkungan meliputi faktor ekologi dan faktor sosial demografi.
Faktor ekologi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor lingkungan fisik
dan biologik. Faktor lingkungan fisik (geografi) antara lain faktor air, udara,
lahan, makanan, ketinggian, jarak ke garis khatulistiwa, iklim, suhu, dan
kelembaban. Faktor lingkungan biologik antara lain flora, fauna, dan agen
biologik yang digunakan untuk pengendalian vektor.
Perubahan pada faktor lingkungan (environment) dapat mempengaruhi
perilaku host sehingga berakibat pada timbulnya suatu penyakit yang dapat
menyerang individu maupun keseluruhan populasi (Rismawati, 2017).
2. Agen
Agen penyebab penyakit DBD adalah virus dengue (Arthrophod borne
virus), famili Flaviviridae, genus flavivirus. Terdapat empat serotipe virus yang
disebut DENV-1, DENV-2, DENV-3 dan DENV- 4. Keempat serotipe virus ini
telah ditemukan di berbagai wilayah Indonesia. Hasil penelitian di Indonesia
menunjukkan bahwa Dengue-3 sangat berkaitan dengan kasus DBD berat dan
merupakan serotipe yang paling luas distribusinya disusul oleh Dengue-2,
Dengue-1 dan Dengue -4. Terinfeksinya seseorang dengan salah satu serotipe
tersebut diatas, akan menyebabkan kekebalan seumur hidup terhadap serotipe
virus yang bersangkutan. Meskipun keempat serotipe virus tersebut mempunyai
daya antigenis yang sama namun mereka berbeda dalam menimbulkan proteksi
silang meski baru beberapa bulan terjadi infeksi dengan salah satu dari mereka.
d. Patofisiologi
Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi, hemodinamika, dan biokimiawi
DBD belum diketahui secara pasti karena kesukaran mendapatkan model binatang
percobaan yang dapat dipergunakan untuk menimbulkan gejala klinis DBD seperti
pada manusia. Hingga kini sebagian besar sarjana masih menganut the secondary
heterologous infection hypothesis atau sequential infection hypothesis yang
menyatakan bahwa DBD dapat terjadi apabila seseorang setelah terinfeksi virus
dengue serotipe lain dalam jarak waktu 6 bulan sampai 5 tahun.
Hipotesis kedua patogenesis DBD mempunyai konsep dasar bahwa keempat
serotipe virus dengue mempunyai potensi patogen yang sama dan gejala berat terjadi
sebagai akibat serotipe/galur serotipe virus dengue yang paling virulen. Berdasarkan
TheImmunological Enhancement Hypothesis, antibodi yang terbentuk pada infeksi
dengue terdiri dari IgG yang berfungsi menghambat peningkatan replikasi virus dalam
monosit, yaitu enhancing-antibody dan neutralizing antibody. Pada saat ini dikenal 2
jenis tipe antibody yaitu 1. Kelompok monoklonal reaktif yang tidak mempunyai sifat
menetralisasi tetapi memacu replikasi virus, dan 2. Antibodi yang dapat menetralisasi
secara spesifik tanpa disertai daya memacu replikasi virus. Perbedaan ini berdasarkan
adanya virion determinant specificity. Antibodi non-netralisasi yang dibentuk pada
infeksi primer akan menyebabkan terbentuknya kompleks imun pada infeksi sekunder
dengan akbiat memacu replikasi virus. Teori ini pula yang mendasar pendapat bahwa
infeksi sekunder virus dengue oleh serotipe dengue yang berbeda cenderung
menyebabkan menifestasi berat. Dasar utama hipotesis ialah meningkatnya reaksi
immunologis (the immunological enhancement hypothesis) yang berlangsung sebagai
berikut:
a) Sel fagosit mononuklear yaitu monosit, makrofag, histiosit dan sel Kupffer
merupakan tempat utama terjadinya infeksi virus dengue primer.
b) Non neutralizing antibody baik yang bebas dalam sirkulasi maupun yang
melekat (sitofilik) pada sel, bertindak sebagai resptor spesifik untuk
melekatnya virus dengue pada permukaan sel fgosit mononuklear. Mekanisme
pertama ini disebut mekanisme aferen.
c) Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononuklear yang
telah terinfeksi.
d) Selanjutnya sel monosit yang mengandung kompleks imun akan menyebar ke
usus, hati, limpa dan sumsum tulang. Mekanisme ini disebut mekanisme
eferen. Parameter perbedaan terjadinya DBD dengan dan tanpa renjatan ialah
jumlah sel yang terkena infeksi.
e) Selanjutnya sel monosit yang telah teraktivasi akan mengadakan interaksi
dengan sistem humoral dan sistem komplemen dengan akibat dilepaskannya
mediator yang mempengaruhi permeabilitas kapiler dan mengaktivasi sistem
koagulasi. Mekanisme ini disebut mekanisme efektor.
Limfosit T juga memegang peran penting dalam patogenesis DBD. Akibat
rangsang monosit yang terinfeksi virus dengue atau antigen virus dengue, limfosit
dapat mengeluarkan interferon (IFN-ɑ dan γ). Pada infeksi sekunder oleh virus
dengue (seotipe berbeda dengan infeksi pertama), limfosit T CD4+ berproliferasi dan
menghasilkan IFN-\ɑ. IFN-ɑ selanjutnya merangsang sel yang terinfeksi virus dengue
dan mengakibatkan monosit memproduksi mediator. Oleh limfosit T CD4+ dan
CD8+ spesifik virus dengue, monosit akan mengalami lisis dan mengeluarkan
mediator yang menyebabkan kebocoran plasma dan perdarahan.
Perjalanan DBD terdiri dari 3 fase, yaitu fase demam (2-7 hari), fase kritis atau
fase kebocoran plasma (24-48 jam) dan fase penyembuhan (2-7) hari.

Gambar 1. Perjalanan Alamiah DBD (WHO, 2009)

a. Fase Febril
Pasien biasanya akan mengalami demam derajat tinggi secara mendadak.
Fase febril akut akan berlangsung selama 2-7 hari dan sering kali diikuti oleh
ruam, eritema kulit, rasa sakit di sekujur tubuh, myalgia, arthralgia, nyeri retro-
orbital, fotofobia, rubeliform exanthema, dan sakit kepala. Beberapa pasien juga
dapat mengalami sakit tenggorokan, anoreksia, dan muntah. Sulit untuk
membedakan infeksi dengue secara klinis dari non-dengue saat fase febril.
b. Fase Kritis

Pasien dengan peningkatan permeabilitas kapiler dapat memiliki


manifestasi klinis berupa warning sign sebagai hasil dari kebocoran plasma.
Warning sign merupakan tanda dimulainya fase kritis.
Warning sign pada DBD meliputi nyeri perut atau kram pada otot perut,
muntah persisten, akumulasi cairan tubuh, perdarahan mukosa, letargi,
pembesaran hepar lebih dari 2cm dan pada hasil lab ditemukan peningkatan
hematokrit disertai penurunan jumlah platelet.
Pasien menjadi buruk keadaannya ketika temperatur menurun ke 37,5°C-
38°C atau kurang dan terus berada di bawah level ini, biasanya terjadi pada hari
ke 3-8. Leukopenia progresif diikuti penurunan jumlah platelet secara cepat dan
peningkatan hematokrit di atas batas normal mengindikasikan kebocoran plasma.
Periode klinis signifikansi kebocoran plasma biasanya berakhir selama 24-48 jam.
Derajat hemokonsentrasi merefleksikan keparahan kebocoran plasma yang akan
berkurang dengan terapi cairan intravena.Pengukuran hematokrit adalah esensial
bagi sinyal dibutuhkannya terapicairan. Efusi pleura dan ascites biasanya hanya
terdeteksi setelah terapi intravena kecuali bila kebocoran plasma terjadi dengan
signifikan.
c. Fase Pemulihan
Jika pasien dapat bertahan selama 24-48 jam fase kritis, maka reabsorbsi
cairan kompartemen ekstravaskular dapat terjadi dalam 48-72 jam berikutnya.
Umumnya kesehatan mulai membaik, nafsu makan kembali, gejala
gastrointestinal mereda, status hemodinamik stabil dan diuresis terjadi kemudian.
Beberapa mungkin mengalami pruritus umum. Begitu pula tejadi peningkatan
hitung umlah leukosit dan stabilitas hematokrit.
e. Gejala
Manifestasi klinis pada DBD dapat timbul tergantung usia pasien. Demam
yang tidak khas dan makulopapular rash dapat timbul pada usia bayi dan balita.
Sedangkan pada usia anak dan orang dewasa dapat timbul demam ringan hingga
demam tinggi yang mendadak, nyeri kepala, nyeri retro-orbital, nyeri pada otot dan
sendi, mual hingga muntah dan rash. Kasus DBD disertai kebocoran plasma dengan
gejala rash, perdarahan gusi dan perdarahan gastrointestinal.
f. Diagnosis
a) Anamnesis
Pada waktu anak masuk rumah sakit, diambil anamnesis tentang lama dan
sifat demam, keluhan dan gejala sebelum dan bersamaan timbulnya demam,
timbulnya manifestasi pendarahan, bila penderita menjadi gelisah dan bila
terdapat kulit yang dingin pada ujung hidung, jari, dan kaki. Ditanyakan pula
apakah sebelum di rawat mendapat atau tidak mendapat pengobatan sendiri dari
petugas kesehatan atau mendapat pengobatan sendiri dengan disebut juga jenis
dan nama obat.
b) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pasien sebaiknya meliputi hal- hal seperti, penilaian
keadaan umum pasien, penilaian status hidrasi, penilaian status hemodinamik, tes
tourniquet berulang jika sebelumnya hasilnya negatif, penilaian adanya takipneu/
asidosis respirasi/ efusi pleura, penilaian abdomen, hepatomegali, asites,
pemeriksaan ruam dan manifestasi perdarahan lainnya.
c) Pemeriksaan Darah Rutin.
Pemeriksaan darah yang dapat digunakan dalam penegakkan diagnosis
DBD adalah jumlah trombosit, nilai hematokrit, jumlah leukosit, hemoglobin dan
apusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran
limfosit plasma biru (LPB).
1) Jumlah Leukosit
Leukosit merupakan sel darah putih yang diproduksi oleh jaringan
hemopoetik untuk jenis tak bergranula (polimorfonuklear) dan jaringan limpatik
untuk jenis bergranula (mononuklear) dimana leukosit berfungsi sebagai
pertahan tubuh terhadap infeksi. Nilai normal leukosit pada manusia. Pada orang

dewasa 4.000-10.000/mm3 pada bayi atau anak-anak berkisar antara 9.000–


3.
12.000/mm
Pada infeksi dengue biasanya didapatkan hasil pemeriksaan leukosit
normal, tetapi dapat pula ditemukan penurunan leukosit yang diikuti dengan
dominasi sel neutrofil. Memasuki fase akhir demam, jumlah leukosit dan sel
neutrofil secara bersamaan akan menurun sehingga jumlah sel limfosit secara
relatif meningkat. Peningkatan jumlah sel limfosit atipikal atau limfosit plasma
biru (LPB) >4%. Limfosit atipikal ini merupakan sel berinti satu (mononuklear)
dengan struktur kromatin halus dan agak padat, serta sitoplasma yang relative
lebar dan berwarna biru tua. Oleh karenanya disebut limfosit plasma biru (LPB).
Limfosit plasma biru ini sudah dapat ditemukan sejak hari ketiga terjadinya
panas, dan merupakan penunjang diagnosis DBD. Peningkatan jumlah sel
limfosit atipikal atau limfosit plasma biru (LPM) >4% di daerah tepi dapat
dijumpai pada hari sakit ketiga sampai hari ke tujuh. Perlu diketahui peningkatan
jumlah leukosit menjurus ke arah timbulnya syok.
Leukopenia yang terjadi pada infeksi dengue disebabkan adanya
penekanan pada sumsum tulang akibat dari proses infeksi virus secara langsung
ataupun karena mekanisme tidak langsung melalui produksi sitokin-sitokin
proinflamasi yang menekan sumsum tulang.
2) Jumlah Trombosit
Trombosit merupakan komponen pada sel darah yang dihasilkan oleh
jaringan hemopoetik, dan berfungsi utama dalam proses pembekuan darah
dimana jika terjadi penurunan trombosit dapat meimbulkan pendarahan dan
adanya gangguan hambatan darah. Pada umumnya trombositopenia terjadi
sebelum ada peningkatan hematokrit dan terjadi sebelum suhu turun.

Jumlah trombosit≤100.000/mm3 biasanya ditemukan antara hari ketiga sampai


ketujuh.
Trombositopenia yang terjadi pada infeksi dengue merupakan mekanisme
supresi sumsung tulang dan destruksi serta pemendekan masa hidup trombosit.
Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi menunjukkan keadaan
hiposelular dan supresi megakariosit. Setelah keadaan tercapai akan terjadi
peningkatan proses hematopoiesis termasuk megakariopoiesis, kadar
trombopoetin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru menunjukkan
kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi trombopoiesis sebagai
mekanisme kompensasi terhadap keadaan trombositopenia. Destruksi trombosit
terjadi melalui pengikatan fragmen, terdapatnya antibodi anti-NS1 VD, konsumsi
trombosit selama proses koagulopati. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui
mekanisme gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar b-tomboglobulin dan
PF4 yang merupakan petanda degranulasi trombosit.
Hitung jumlah trombosit dapat digunakan sebagai alat bantu untuk
diagnosis dengue karena menunjukkan sensitivitas yang tinggi mulai dari hari ke-
4 demam sebesar 67.7%, bahkan pada hari ke-5 sampai ke-7 menunjukkan angka
100%. Spesifitas yang sangat tinggi pada penggunaan trombositopenia sebagai
parameter disebabkan karena jarangnya penyakit infeksi yang disertai dengan

penurunan hitung trombosit sampai di bawah 150.000/mm3. Bahkan jika


3
digunakan kriteria trombosit dibawah 100.000/mm , spesifitas hamper mencapai
100% sejak hari pertama, namun mengurangi sensitivitas antara 10-20%. Dengan
demikian pemeriksaan trombosit harian akan sangat membantu diagnosis dengue
karena meningkatkan sensitivitas dan spesifitasnya. Nilai rujukan jumlah
3
trombosit normal dalam darah adalah 150.000–400.000/mm .
Pada umumnya trombositopenia tejadi sebelum ada peningkatan
hematokrit dan terjadi sebelum suhu turun. Pemeriksaan trombosit perlu diulang
sampai terbukti bahwa jumlah trombosit dalam batas normal atau menurun.
Pemeriksaan dilakukan pertama pada saat- saat pasien diduga menderita DBD,
bila normal maka diulang pada hari sakit ketiga, tetapi bila perlu, diulangi setiap
hari sampai suhu turun.
3) Kadar Hematokrit
Nilai hematokrit merupakan nilai besarnya volume sel-sel eritrosit
3
seluruhnya didalam 100 mm darah yang dinyatakan dalam persen (%).
Peningkatan nilai hematokrit menggambarkan hemokonsentrasi pada penyakit
infeksi dengue, nilai hematrokrit merupakan indikator yang peka akan terjadinya
kebocoran plasma, sehingga harus dilakukan pemeriksaan hematokrit secara
berkala pada pasien. Pada umumnya penurunan trombosit mendahului
peningkatan hematokrit. Hemokonsentrasi dengan peningkatan hematokrit ≥20%
menggambarkan peningkatan permeabilitas kapiler dan perembesan plasma.
Perlu diperhatikan, bahwa nilai hematokrit dipengaruhi oleh penggantian cairan
atau risiko adanya perdarahan.
Nilai rujukan nilai hematokrit normal menurut untuk pria dewasa adalah
40-48% dan untuk wanita dewasa adalah 37-43%. Sedangkan kadar hematokrit
normal pada anak 33–38%. Beberapa penyakit infeksi sekunder dan penyakit lain
dapat mempengaruhi peningkatan nilai hematokrit diantaranya adalah dehidrasi,
diare berat, polisitemia vera, trauma, pembedahan, asidosis diabetikum,
transcient ischemic attack (TIA), eklampsia, luka bakar.
4) Kadar Hemoglobin
Hemoglobin (Hb) tersusun dari 4 kandungan utama, yang berada di
dalam eritrosit, dan bertugas untuk mengangkut oksigen. Kualitas darah dan
warna merah pada darah dipengaruhi oleh kadar Hemoglobin. Dalam
pemeriksaan darah lengkap, kadar haemoglobin merupakan salah satu
pemeriksaan yang wajib dilakukan. Nilai rujukan Hb untuk pria dewasa
adalah 14–18gr/dL dan untuk wanita dewasa adalah12–16gr/dL, pada bayi baru
lahir adalah12-24gr/dL, pada anak adalah10–16gr/dL.
Peningkatan kadar haemoglobin yang disertai dengan peningkatan nilai
hematokrit menunjukan adanya kebocoran plasma dan banyaknya sel darah
merah di dalam pembuluh darah, hal ini dapat mengindikasikan adanya infeksi
dengue dengan tanda bahaya yang meningkatkan resiko terjadinya dengue shock
syndrome. Beberapa penyakit yang menyebabkan terjadinya penurunan kadar
hemoglobin (Hb) adalah perdarahan akut dan kronis, infeksi kronik, talasemia,
anemia, dan leukemia sedangkan keadaan yang menyebabkan peningkatan kadar
haemoglobin diantaranya adalah gagal jantung kongesti, luka bakar hebat,
polisitemia dan dehidrasi. Sedangkan obat-obatan yang dapat meningkatkan
kadar haemoglobin adalah gentamicin dan metildopa.
d) Pemeriksaan Serologi
Pemeriksaan serologis dilakukan satu minggu setelah tubuh mengalami
infeksi virus dengue.Hal ini disebabkan setelah satu minggu terinfeksi tubuh
akan mengalami viremia yang menyebabkan terbentuknya immunnoglobulin–
anti dengue.
Jenis pemeriksaan serologis yang digunakan untuk
mendiagnosis: (1) Deteksi virus dengan menggunakan kulturvirus, (2) Deteksi
asam nukleat virus dengan tekhnik PCR atas NSBA (NucleicAcid Sequence
Based Amplification) dan (3) Deteksi antigen atauantibodi virus.
g. Penatalaksanaan
a) Penggantian Cairan
Cairan kristaloid isotonik merupakan cairan pilihan untuk pasien DBD.
Tidak dianjurkan pemberian cairan hipotonik seperti NaCl 0,45% kecuali bagi
pasien <6 bulan. Dalam keadaan normal setelah satu jam pemberian cairan
hipotonis, hanya 1/12 volume yang bertahan dlam ruang intravaskular sedangkan
cairan isotonis ¼ volume yang bertahan, sisanya terdistribusi ke ruang intraselular
dan ekstraselular. Pada keadaan permeabilitas yang meningkat volume cairan
yang bertahan akan semakin berkurang sehingga lebih mudah terjadi kelebihan
cairan pada pemberian cairan hipotonis. Cairan koloid hiperonkotik (osmolaritas
>300 mOsm/L) seperti dekstran 40 atau HES walaupun lebih lama bertahan
dalam ruang intravaskular namun memiliki efek samping seperti alergi,
mengganggu fungsi koagulasi dan berpotensi mengganggu fungsi ginjal. Jenis
cairan ini hanya diberikan pada 1) perembesan plasma masif yang ditunjukkan
dengan nilai hematokrit yang makin meningkat atau tetap tinggi sekalipun telah
diberi cairan kristaloid yang adekuat atau 2) pada keadaan syok yang tidak
berhasil dengan pemberian bolus kristaloid kedua.
b) Jumlah Cairan
Volume cairan yang diberikan disesuaikan dengan berat badan, kondisi
klinis dan temuan laboratorium. Pasien dengan obesitas, pemberian jumlah cairan
harus hati-hati karena mudah terjadi kelebihan cairan, penghitungan cairan
sebaiknya berdasarkan berat badan ideal.
Pada DBD terjadi hemokonsentrasi akibat kebocoran plasma >20%, oleh
karena itu jumlah cairan yang diberikan diperkirakan sebesar kebutuhan rumatan
ditambah dengan perkiraan defisit cairan 5 %. Untuk memudahkan Tabel 1
memperlihatkan kebutuhan volume cairan yang harus diberikan dosis rumatan
apabila disertai defisit cairan 5%. Tabel 2 memperlihatkan kecepatan dari volume
cairan yang akan diberikan. Contoh untuk anak dengan berat badan ideal 20 kg,
maka kebutuhan cairan adalah 2.500 mL/24 jam dengan kecepatan 5
mL/KgBB/jam. Apabila hematokrit meningkat, jumlah cairan harus dinaikkan
dan bila menurun jumlah cairan dikurangi. Pemberian cairan dihentikan bila
keadaan umum stabil dan telah melewati fase kritis, pada umumnya pemberian
cairan dihentikan setelah 24-48 jam keadaan umum anak stabil.
Tabel 1. Kebutuhan Cairan Berdasarkan Berat Badan Ideal
BB Ideal Rumatan Rumatan +
(Kg) (mL) Defisit 5% (mL)
5 500 750
10 1.000 1.500
15 1.250 2.000
20 1.500 2.500
25 1.600 2.850
30 1.700 3.200

Tabel 2. Kecepatan Pemberian Cairan


Jumlah Cairan Kecepatan (mL/KgBB/jam)
½ Rumatan 1.5
Rumatan 3
Rumatann + defisit 5% 5
Rumatan + defisit 7% 7
c) Rumatan + defisit 10% 10
Antipiretik
Parasetamol 10-15 mg/KgBB/kali diberikan apabila suhu >38°C dengan
interval 4-6 jam, hindari pemberian aspirin/NSAID/ibuprofen atau berikan
kompres hangat.
d) Nutrisi
Apabila pasien masih bisa minum, dianjurkan minum yang cukup,
terutama minum cairan yang mengandung elektrolit.
DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Tata Laksana DBD. Jakarta.


2. IDAI. 2014. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan DokterAnak Indonesia. Jakarta: IDAI.
3. Hadinegoro, S.R.H, dkk. 2004. Tatalaksana Demam Berdarah Dengue di Indonesia.
Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan
Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
4. Hidayat, W.A., Yaswir, R., Murni, A.W. 2017. Hubungan Jumlah Trombosit dengan
Nilai Hematokrit pada Penderita Demam Berdarah Dengue dengan Manifestasi
Perdarahan Spontan di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. 6(2):
446-451
5. Kalayanarooj, S. 2011. Clinical Manifestations and Management of Dengue/DHF/DSS.
Tropical Medicine and Health 39(4): 83-87
6. Nisa, W.D., Notoatmojo, H., Rohmani, A. 2013. Karakteristik Demam Berdarah Dengue
pada Anak di Rumah Sakit Roemani Semarang. Jurnal Kedokteran Muhammadiyah 1(2):
93-98
7. Pranata, I.W.A., Artini, I.G.A. 2017. Gambaran Pola Penatalaksanaan Demam Berdarah
Dengue (DBD) Pada Anak di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah
Kabupaten Buleleng Tahun 2013. E-Jurnal Medika 6(5): 21-27
8. Rena, N.M.R., Utama, S., Parwati, T. 2009. Kelainan Hematologi pada Demam Berdarah
Dengue. Jurnal Penyakit Dalam 10(3). 218-25.
9. Rismawati, N.S., Nurmala, I. 2017. Hubungan Perilaku Host dan Environment dengan
Kejadian DBD di Wonokusomo Surabaya. Jurnal Berkala Epidemiologi 5(3): 383-392
10. Soedarto. 2012. Demam Berdarah Dengue. Sagung Seto. Jakarta
11. Suryani, E.T. 2018. Gambaran Kasus Demam Berdarah Dengue di Kota Blitar Tahun
2015-2017. Jurnal Berkala Epidemiologi 6(3): 260-267
12. Sutedjo, A.Y. 2008. Mengenal Penyakit Melalui Hasil Pemeriksaan Laboratorium.
Medika Fakultas Kedokteran UGM. Yogyakarta.
13. Suwandono, A, dkk. 2011. Perbandingan Nilai Diagnostic Trombosit, Leukosit, Antigen
NSI, Dan Antibodi IgM Anti Dengue. Jurnal Indonesian Medical Association 61(8): 326-
32
14. World Health Organization. 2011. Dengue Haemorrhagic Fever: Diagnosis, Treatment,
Prevention And Control. WHO. Geneva.

Anda mungkin juga menyukai