Anda di halaman 1dari 27

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA TELAAH JURNAL

FAKULTAS KEDOKTERAN JULI 2020


UNIVERSITAS HALU OLEO

CORNEAL PERFORATION SELF-HEALING WITH AN IRIS PLUG IN


THE CORNEA

Oleh:
Ninis Ilmi Octasari, S.Ked
K1A1 15 095

Pembimbing:
dr. Melvin Manuel Philips, Sp.M

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini, menyatakan bahwa:

Nama : Ninis Ilmi Octasari, S.Ked


NIM : K1A1 15 095
Judul Jurnal : Corneal Perforation Self-Healing with an Iris Plug in the Cornea

Telah menyelesaikan laporan telaah jurnal dalam rangka kepaniteraan klinik


pada bagian Ilmu Kesehatant Mata Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Kendari, Juli 2020


Mengetahui,
Pembimbing

dr. Melvin Manuel Philips, Sp.M


BAB 1
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama :-
Umur : 29 Tahun
Tanggal Lahir :-
Suku :-
Jenis Kelamin : Wanita
Agama :-
Ras : Kaukasia

B. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Mata kanan tidak bisa melihat
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien seorang Wanita usia 29 tahun datang ke Unit Gawat Darurat
dengan keluhan mata kanan tidak bisa melihat nyeri ringan dan fotofobia.
Pasien telah melakukan pengobatan dengan rawat jalan karena Keratitis dan
diobati dengan kombinasi kortikosteroid topikal dan antibiotik selama 4
minggu tetapi tidak menunjukkan perbaikan klinis. Pasien ini adalah pengguna
lensa kontak harian. Pasien menyebutkan bahwa telah ada kerokan kornea
utnuk diagnostik, tetapi tidak ada penyebab patogen yang diidentifikasi.
Riwayat Penyakit Dahulu :
 Riwayat hipertensi (-)
 Riwayat Diabetes Mellitus (-)
 Riwayat sakit mata (-)

C. STATUS GENERALIS
 Keadaan Umum
Keadaan umum: Sakit sedang
Kesadaran : Composmentis, GCS E4V5M6
 Tanda vital
Tidak ditampilkan
 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan status generalis kepala hingga kaki dalam batas normal.
 Pemeriksaan Mata
a. Ketajaman Visual
Pada evaluasi, ketajaman visual dengan Best-Corrected Visual Acuity
(BCVA) di mata kanan adalah 0,4 (Snellen Chart).
b. Pemeriksaan Slit-Lamp
injeksi konjungtiva dan kekeruhan paracentral, kornea dengan
pewarnaan fluorescein

Gambar 1. Foto segmen anterior menunjukkan injeksi konjungtiva


dan parasentral, kekeruhan kornea yg bulat

c. Anterior segment optical coherence tomography (AS-OCT)


Menunjukkan defek kornea selebar 135μm dan 184µm dengan zona
infiltrasi sedalam 167µm. Ketebalan kornea di daerah yang terkena
adalah 600 μm dan endapan endotel filamen terlihat
Gambar 2. Ulkus kornea divisualisasikan dengan tomografi koherensi
optik segmen anterior

d. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan jumlah darah lengkap,
parameter biokimia darah, dan tingkat sedimentasi eritrosit dalam
rentang normal. Selain itu, hasil serologis menunjukkan faktor
rheumatoid, protein sitrullinasi anti-siklik, antibodi sitoplasma anti-
neutrofil, dan protein C-reaktif dalam rentang normal.

D. DIAGNOSIS
Keratitis

E. PENGOBATAN
1. Pengobatan topikal
Pengobatan topikal diberikan levofloxacin 0,5%, siklopentolat 0,01% dua
kali sehari dan salep Tobramycin 4 kali sehari.
2. Pengobatan sistemik
Diberikan tambahan cefazolin dan flukonazol 4 mg
Pemeriksaan kerokan kornea berulang dilakukan pada hari ke-6.
Pemeriksaan mikrobiologi tidak mengidentifikasi pertumbuhan bakteri atau
jamur kuman aerob/anaerob pada salah satu sampel. Karena tidak ada
perbaikan, maka pada hari ke-14 pengobatan dengan larutan Flukonazol
diubah menjadi Vorikonazol peroral 200 mg dua kali sehari.
Pada hari ke-21, terjadi perforasi kornea spontan. Pemeriksaan dengan
Anterior Segment Optical Coherence Tomography (AS-OCT)
menggambarkan perforasi pada segmen anterior bola mata. Untuk
melanjutkan segmen anterior, mata diamankan dengan lensa kontak lunak.
Pada hari ke-23 segmen anterior bola mata berada pada volume
normal, tetapi iris terjebak di lokasi perforasi. Struktur paracentral tampak
Hyperdense di tempat perforasi divisualisasikan dengan Anterior segment
optical coherence tomography (AS-OCT). Perlahan, gejala klinis membaik,
reaksi konjungtiva, rasa sakit, dan ketidaknyamanan mulai berkurang.
Pada hari ke-29 lensa kontak dilepas dan dikirim untuk pemeriksaan
mikrobiologis dan tidak ditemukan pertumbuhan bakteri atau jamur
aerob/anaerob.
Pada minggu ke-5 pemeriksaan dengan slit-lamp menunjukkan
hubungan iris dengan jaringan kornea dan pembuluh darah yang tumbuh ke
dalam kornea dari daerah iris plug. Kedalaman segmen anterior stabil. Pada
minggu 11 nampak stroma hyperdense dibawah yang mana kontak iris-kornea
stabil dengan lebar 556-µm. Pasien tidak memiliki keluhan mata dan Best-
Corrected Visual Acuity (BCVA) adalah 0,7 (Gambar. 3).
Gambar 3. a. Perforasi kornea pada hari ke-21 dengan segmen anterior yang
kolaps dan perforasi (ditandai dengan panah). b Iris plug pada daerah perforasi
kornea (follow up minggu 11).

Tekanan intraokular adalah 18 mmHg (rebound tonometry).


Pengobatan yang diberikan adalah vorikonazol sistemik membutuhkan waktu
6 minggu tetapi cefazolin sistemik hanya membutuhkan waktu total 2 minggu.
Pengobatan topikal terdiri dari 23 minggu pemberian levofloxacin 0,5%,
cyclopentolate 0,01% dua kali sehari, dan salep tobramycin 4 kali sehari.
Pada minggu ke-45 pasien tidak memiliki keluhan. Pemeriksaan slit-
lamp menunjukkan permukaan kornea yang jernih, terang, dan halus dengan
kekeruhan paracentral tepi tajam. Pembuluh darah kosong dari iris dikelilingi
kekeruhan kornea. Karena iris plug, pupil bereaksi ringan terhadap cahaya,
tetapi bulat dan sentral. Seegmen anterior memiliki sudut tidak teratur dari 40
hingga 20° (Gambar. 4).
Gambar 4. Pemeriksaan AS-OCT menunjukkan terdapat scar pada kornea
dan kontak iris-kornea.

Gambar 5. Segmen anterior memperlihatkan kekeruhan paracentral dengan


permukaan kornea yang halus dan jelas

Gambar 6. Pada segmen anterior dari sisi kiri nampak untuk memperlihatkan
perubahan segmen anterior karena kontak iris-kornea
Gambar 7. Perubahan anatomi segmen anterior pada minggu ke-24 setelah
perforasi kornea
Best-Corrected Visual Acuity (BCVA) adalah 0,8 dengan koreksi –
2.25 Dsph –1.25 Dcyl × 15. Karena koreksi ini tidak kompatibel dengan
kenyamanan untuk penglihatan binokular, pasien tidak menggunakan koreksi
astigmatisme. Namun dengan koreksi ketajaman visual monocular –2,5 Dsph
adalah 0,7. Tekanan intraokular adalah 19 mmHg. AS-OCT menunjukkan
hyperdense stromal paracentral, scar kornea dengan lebar 3,404 µm di sisi
endotel tetapi lebar 1,334 µm di sisi epitel. Terdapat pula kontak iris-kornea
stabil dengan lebar 556 µm.

F. RESUME
Pasien seorang Wanita usia 29 tahun datang ke Unit Gawat Darurat
dengan keluhan mata kanan tidak bisa melihat nyeri ringan dan fotofobia.
Pasien telah melakukan pengobatan dengan rawat jalan karena Keratitis dan
diobati dengan kombinasi kortikosteroid topikal dan antibiotik selama 4
minggu tetapi tidak menunjukkan perbaikan klinis. Pasien ini adalah pengguna
lensa kontak harian. Pasien menyebutkan bahwa telah ada kerokan kornea
utnuk diagnostik, tetapi tidak ada penyebab patogen yang diidentifikasi.
Riwayat Penyakit Dahulu pasien, riwayat hipertensi, Diabetes Mellitus, sakit
mata disangkal oleh pasien.
Pada pemeriksaan fisik didaptkan keadaan umum pasien sakit sedang,
dengan kesadaran Composmentis, GCS E4V5M6. Pemeriksaan Tanda-tanda
vital Tidak ditampilkan, Pemeriksaan status generalis kepala hingga kaki
dalam batas normal. Pemeriksaan Ketajaman Visus didapatkan pada evaluasi
dengan Best-Corrected Visual Acuity (BCVA) di mata kanan adalah 0,4
(Snellen Chart). Pada pemeriksaan Slit-Lamp menunjukkan injeksi
konjungtiva dan kekeruhan paracentral, kornea dengan pewarnaan fluorescein.
Pada pemeriksaan Anterior segment optical coherence tomography (AS-OCT)
menunjukkan defek kornea selebar 135μm dan 184µm dengan zona infiltrasi
sedalam 167µm. Ketebalan kornea di daerah yang terkena adalah 600 μm dan
endapan endotel filamen terlihat. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan
jumlah darah lengkap, parameter biokimia darah, dan tingkat sedimentasi
eritrosit dalam rentang normal. Selain itu, hasil serologis menunjukkan faktor
rheumatoid, protein sitrullinasi anti-siklik, antibodi sitoplasma anti-neutrofil,
dan protein C-reaktif dalam rentang normal.
Diagnosis pasien ini adalah Keratitis akibat penggunaan lensa kontak.
Pengobatan yang diberikan berupa topikal yaitu levofloxacin 0,5%,
siklopentolat 0,01% dua kali sehari dan salep Tobramycin 4 kali sehari.
Diberikan tambahan pengobatan sistemik berupa cefazolin dan flukonazol 4
mg.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Keratitis merupakan peradangan kornea. Radang kornea biasanya
diklasifikasikan dalam lapis kornea yang terkena, seperti keratitis superficial
dan intrstisial atau profunda (Ilyas, 2017).
Keratitis merupakan suatu proses peradangan pada kornea. Keratitis
terkait penggunaan lensa kontak atau ulser ditandai dengan adanya ekskavasi,
infiltrat dan membran Bowman yang intak (Simanjuntak,2020). Keratitis
bakterial jarang terjadi pada mata normal dikarenakan adanya mekanisme
pertahanan alami kornea terhadap infeksi. Faktor predisposisi yang umum
terjadi adalah penggunaan lensa kontak, trauma, riwayat operasi kornea,
kelainan permukaan bola mata, penyakit sistemik dan imunosupresi.
Penyebab terbanyak adalah spesies staphylococcus dan pseudomonas (Surjani,
2020).
Keratitis ulseratif atau ulkus kornea adalah proses tahap akhir yang
berat dimana terjadi inflamasi yang dapat mengakibatkan hilangnya
penglihatan, kebutuhan untuk transplantasi kornea, endoftalmitis, atau
perforasi bola mata. Keratitis dapat dimulai sebagai keadaan infiltratif kornea
yaitu agregasi leukosit yang dapat bermigrasi pada limbus. Infiltratif kornea
dapat bersifat simptomatik atau asimptomatik dan dapat dikategorikan steril
atau infeksius. Keratitis ulseratif infeksius dapat disebabkan oleh bakteri,
virus, jamur, dan amuba, sedangkan keratitis ulseratif steril dapat disebabkan
oleh luka bakar kimia, kondisi autoimun, paparan racun, proses neurotropik,
atau penyebab lainnya. Pemakaian lensa kontak merupakan risiko signifikan
kejadian infiltrasi kornea dan insiden dapat meningkat 20 hingga 25% dengan
pemakaian lensa kontak berkepanjangan (Flanagan, 2020).
Keratitis Acanthamoeba adalah suatu infeksi parasit pada mata yang
dapat mengancam penglihatan. Biasanya dikarakteristikan dengan nyeri hebat
dan infiltrat yang berbentuk seperti cincin. Dua spesies yang berperan
diantaranya A. castellanii dan A. polyphaga. Sebagian besar kasus ini terjadi
pada penggunaan lensa kontak. Penyebab lainnya adalah trauma kornea yang
berhubungan dengan vegetasi ataupun air yang terkontaminasi, kontak dengan
serangga maupun riwayat berendam dalam mata air panas (Kemnkes, 2019).

B. EPIDEMIOLOGI
Dengan munculnya hidrogel soft pada lensa kontak pada tahun 1970-
an, insidens Keratitis Ulseratif telah meningkat secara substansial dengan
tingkat kejadian sekitar 40 kasus/100.000 pengguna. Peningkatan insidens ini
bervariasi, tergantung pada kebiasaan penggunaan lensa kontak berkisar
antara 0,4 hingga 5,2 per 10.000 orang/tahun untuk pemakai lensa kontak
permeable, yang dipakai sehari-hari sehingga kaku dan meningkat hingga
lebih dari 20 per 10.000 orang/tahun untuk pemakai lensa kontak selama
semalam. Dalam studi berbasis populasi yang diterbitkan pada 2010, para
peneliti memperkirakan bahwa 71.000 kasus Keratitis Ulseratif yang berat
dapat terjadi setiap tahun di Amerika Serikat (Flanagan, 2020).
Pada tahun 2016 telah dilaporkan bahwa lebih dari 41 juta pengguna
lensa kontak di Amerika Serikat dengan pola perilaku penggunaan lensa
kontak yang menempatkan mereka pada risiko mengalami infeksi mata.
Beberapa gejala yang dilaporkan terjadi pada pengguna lensa kontak secara
berkelanjutan di Amerika Serikat yaitu sensasi terbakar, gatal atau berair, dan
lebih banyak dilaporkan oleh pengguna usia remaja. Sebuah penelitian di
Riyadh, ditemukan bahwa sebesar 38,7% pengguna lensa kontak tidak
berkonsultasi terlebih dahulu sebelum mulai menggunakan lensa kontak
(Simanjuntak, 2020).
Keratitis Acanthamoeba pertama kali ditemukan pada tahun 1973.
Pada tahun 2007 ditemukan adanya peningkatan hebat dari kasus infeksi
Acanthamoeba di Amerika serikat, khususnya di daerah East Coast dan
Midwest. Diketahui bahwa terdapat asosisasi antara keratitis Acanthamoeba
dengan penggunaan cairan pembersih lensa kontak Complete MoisturePlus
yang berakibat pada penarikan produk ini dari pasaran. Selain itu, Center for
Disease Control (CDC) mengumumkan pada tahun 1980 bahwa diketahui
85% keratitis Acanthamoeba berhubungan penggunaan lensa kontak dan
jumlah ini terus meningkat menjadi 95% di Inggris pada tahun 1990
(Kemenkes, 2019)

C. ETIOLOGI
Keratitis disebabkan oleh virus, bakteri (pneumococci, streptococci,
atau staphylococci), jamur dan protozoa (Ilyas, 2017).
Keratitis pada umumnya didahului oleh:
 Defisiensi Vitamin A
 Reaksi konjungtivitis menahun
 Trauma dan kerusakan epitel
 Lensa kontak dapat mengakibatkan infeksi sekunder dan non infeksi
keratitis
 Daya Imunitas yang berkurang
 Musim panas dan daerah yang lembab
 Penggunaan Kortikosteroid
 Herpes Genital

D. FAKTOR RISIKO
Faktor predisposisi keratitis mikrobial berupa penyakit pada
permukaan kornea, trauma pada kornea, pemakaian lensa kontak dan penyakit
sistemik. Pemakaian lensa kontak merupakan faktor resiko utama keratitis
microbial (Surjani, 2016).
Beberapa faktor risiko berkaitan dengan keratitis telah diteliti dimana
dua faktor risiko utama tingginya angka kejadian keratitis adalah penggunaan
lensa kontak semalaman dan higienitas yang buruk, dengan proporsi masing-
masing yaitu 43% dan 33% dari total seluruh faktor risiko keratitis terkait
penggunaan lensa kontak (Simanjuntak, 2020)
Tabel 1. Permasalahan keratitis terkait penggunaan lensa kontak
E. PATOGENESIS
Gangguan penglihatan pada keratitis infeksi merupakan hasil dari
interaksi antara patogen dengan jaringan host, respon inflamasi innate host,
dan terapi yang dilakukan untuk mengobati infeksi. Epitel kornea yang intak
menjadi barrier untuk penetrasi bakteri menuju lapisan kornea yang lebih
dalam. Hal ini didukung oleh ikatan kuat dan sangat rapat antara sel-sel
superfisial dan juga adanya peptida antibakteri serta pensinyalan imun innate.
Selain itu, cairan air mata mengandung musin, imunoglobulin sekretori A (sIg
A) dan surfaktan protein D yang merupakan faktor-faktor anti mikroba yang
dapat mengikat mikroba. Penetrasi bakteri ke dalam stroma membutuhkan
celah trauma pada epitel kornea, baik secara mekanik seperti abrasi, atau
inokulasi intrasomal pada keratitis mikroba. Sel imun seperti makrofag dan sel
dendritik memiliki peran penting untuk memulai respon imun innate pada
kornea dengan mengekspresikan pattern-recognition receptors (PRR) seperti
Toll-like receptor (TLR) dan NOD-like receptor. Ketika PRR ini diaktifkan,
akan memicu kaskade pelepasan sitokin proinflamasi seperti interleukin (IL)-
1, IL-6, dan IL-8 via NF-kB untuk melawan patogen (Simanjuntak,2020).

F. MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala klinis keratitis bakterial bergantung kepada virulensi
organisme dan durasi infeksi. Tanda utama adalah infiltrasi epitel atau stroma
yang terlokalisir ataupun difus. Umumnya terdapat defek epitel di atas infiltrat
stromal nekrotik yang berwarna putih keabu-abuan. Tampilan umum lainnya
adalah abses stroma di bawah epitel yang intak. Infiltrat dan edema kornea
dapat terletak jauh dari lokasi infeksi primer. Ulserasi kornea dapat berlanjut
menjadi neovaskularisasi. Jika proteinase menyebabkan stromal melting maka
akan terbentuk descemetocele. Gejala yang dikeluhkan dapat berupa rasa
nyeri, pembengkakan kelopak mata, mata merah atau mengeluarkan kotoran,
silau, dan penglihatan yang buram (Surjani, 2020).
Pada keratitis bakteri bakteri akan terdapat keluhan kelopak mata
lengket setiap bangun pagi. Mata sakit silau, merah, berair dan penglihatan
yang berkurang. Kelainan ini lebih sering ditemukan pada pemakaian lensa
kontak dengan pemakaian yang lama (Ilyas, 2017).
Pasien dengan keratitis Acanthamoeba secara klasik digambarkan
memiliki nyeri mata yang hebat, rasa silau, serta berbagai gejala yang
memberat dan menetap cukup lama. Seringkali, pada awalnya mereka tidak
menunjukkan respons terapeutik terhadap berbagai agen antimikroba topikal.
Infeksi Acanthamoeba sp. pada awalnya terlokalisasi pada epitel kornea dan
dapat bermanifestasi sebagai gejala ringan seperti epitel pungtat difus atau lesi
epitel dendritik. Infeksi pada stroma biasanya terjadi pada kornea sentral
dengan infiltrat superfisial berwarna putih hingga abu-abu. Ketika penyakit
berkembang, dapat terbentuk cincin parsial ataupun komplit pada infiltrat di
kornea sentral. Bila diperhatikan lebih lanjut saraf kornea yang meradang,
yang disebut sebagai radial perineuritis atau radial keratoneuritis dapat
ditemukan. Begitu juga dengan limbitis, fokal, nodular, ataupun difus skleritis
hingga dacryoadenitis dapat terlihat. Pada umumnya penyakit ini terjadi
bilateral pada 7%-11% pasien. Meskipun ekstensi intraokular dapat terjadi,
ensefalitis belum pernah dilaporkan (Kemenkes, 2019).
Gambar 3. Descemetocele pada keratitis ulseratif yang diakibatkan oleh P.
aeruginosa pada pengguna lensa kontak
Infeksi protozoa pada mata secara prinsip disebabkan oleh penggunaan
lensa kontak yang terkontaminasi atau cairan lensa yang terkontaminasi.
Amoeba yang hidup bebas dari genus Achantamoeba merupakan agen kausal
pada infeksi yang mengancam penglihatan. Insiden keratitis Achantamoeba di
negara berkembang mencapai 1-33 kasus per 1 juta pengguna lensa kontak
(Simanjutak, 2020).

Gambar 4. Keratitis Achantamoeba


Keratitis fungi dilaporkan terjadi pada 21% pasien pengguna lensa
kontak. Keratitis ini ditandai dengan infiltrat berwarna putih keabuan dengan
infiltrasi yang dalam. Lesi satelit sebagai tanda spesifik mungkin dapat
ditemukan, sedangkan hipopion cukup jarang ditemukan. Diagnosis
dikonfirmasi melalui pemeriksaan mikrobiologi. Faktor risiko utama
terjadinya keratitis fungi adalah penggunaan lensa kontak. Risiko tertinggi
ditemukan pada penggunaan lensa kontak hidrogel silikon, sedangkan
penggunaan lensa RGP memiliki risiko paling rendah.

Gambar 5. Keratitis Fungi

Gambar 6. Scar kornea multipel berhubungan dengan ulkus perifer lensa


kontak
G. DIAGNOSIS
Infeksi pada kornea dapat menyebabkan opacity pada kornea dan
kebutaan jika tidak diidentifikasi dengan cepat dan ditangani dengan tepat.
Istilah keratitis mikroba, keratitis infektif dan keratitis supuratif semuanya
digunakan untuk menggambarkan infeksi supuratif pada kornea. Infeksi ini
ditandai dengan adanya infiltrat putih atau kekuningan di stroma kornea,
dengan atau tanpa defek pada epitel kornea yang tertumpuk, dan tanda-tanda
peradangan (Upadhyay dkk, 2020).
1. Anamnesis
Anamnesis merupakan langkah penting dalam penegakan diagnosis
infeksi kornea. Jika telah ada defek pada mata, tanyakan kapan dan di
mana defek itu berlangsung, apa yang dilakukan pasien pada saat timbul
defek atau cedera, apakah ia mencari bantuan setelah cedera, dan
pengobatan apa termasuk obat mata tradisional yang telah digunakan.
Riwayat konjungtivitis di masa lalu mungkin menunjukkan bahwa infeksi
tersebut sekunder akibat patogen konjungtiva (Upadhyay dkk, 2020).

2. Pemeriksaan Mata
Tanda-tanda klinis ketika melakukan pemeriksaan pada mata,
maka harus dicari keberadaan tanda-tanda berikut dan catat dengan cermat
dalam catatan klinis. Ini akan sangat membantu ketika mempertimbangkan
apakah mata merespons terhadap perawatan.
 Kelainan kelopak mata seperti trichiasis dan lagoftalmos
 Berkurangnya sensasi kornea
 Inflamasi pada konjungtiva dan discharge pada konjungtiva
 Defek pada epitel kornea (dikonfirmasi dengan pemeriksaan
fluorescein); ukuran dan bentuk
 Infiltrat inflamasi kornea - ukuran dan bentuk
 Perforasi kornea
 Hypopyon
a. Ketajaman visus
Pemeriksaan ketajaman visus harus selalu dicatat pada pasien
yang koperatif. Jika tidak mungkin untuk memeriksa ketajaman visual
pada anak anak, misalnya, catatan ini harus dibuat. Visus harus dicatat
pertama kali di mata yang tidak bermasalah, kemudian di mata yang
bermasalah; dengan atau tanpa kacamata. Ini memberikan panduan
yang berguna untuk prognosis dan respons terhadap pengobatan. Ini
juga merupakan dokumentasi penting dalam hal masalah medikolegal.
b. Pemeriksaan kornea
Alat penting lainnya adalah pewarna fluorescein, baik dalam
strip steril atau larutan steril. Fluorescein memberikan warna pada
bagian mana pun dari kornea yang telah kehilangan epitel, bahkan
karena cedera yang kecil, dan tampak berwarna hijau cerah atau biru
jika dilihat di bawah cahaya.

Gambar 7. Pewarnaan fluorescein pada kornea. Tampak defek pada


epitel yang berwarna hijau terang di bawah cahaya biru

c. Pemeriksaan Mikrobiologi
Untuk lesi dengan diameter> 2mm, maka sampel kerokan
kornea harus dikumpulkan untuk dilakukan pemeriksaan analisis
mikrobiologi bila memungkinkan agar pathogen penyebab keratitis
dapat ditemukan (Upadhyay dkk, 2020).

Diagnosis keratitis Acanthamoeba dibuat dengan memvisualisasikan


amoeba pada apusan kornea atau dengan membiakkan organisme yang
diperoleh dari kerokan kornea. Namun, hanya 35% -50% hasil kultur positif
untuk Acanthamoeba; sejumlah besar kasus diobati berdasarkan presentasi
klinis dan atau temuan mikroskopi konfokal. Biopsi kornea lamelar mungkin
diperlukan untuk menegakkan diagnosis pada beberapa kasus. Lensa kontak
dan peralatan terkait dapat diperiksa, tetapi kontaminasi signifikan tanpa
gejala juga dapat ditemukan. Acanthamoeba terlihat pada apusan yang
diwarnai dengan Giemsa atau dengan Periodic Acid-Schiff (PAS), calcofluor
white, atau menggunakan pewarnaan acridine orange. Agar nonnutrient
dengan lapisan E coli atau Enterobacter aerogenes adalah media yang lebih
disukai untuk membudidayakan amoeba, meskipun organisme juga tumbuh
baik pada charcoal-yeast extract agar. Pada hasil kultur dapat diamati jejak
tropozoit motil yang berjalan melintasi permukaan lempeng kultur.
Mikroskopi konfokal in vivo juga dapat digunakan untuk menunjukkan
organisme, terutama yang bentuk kista (Kemenkes, 2019).

H. TATA LAKSANA
1. Tata laksana di fasilitas primer
Keratitis mikroba adalah keadaan darurat yang harus dirujuk ke
pusat mata sekunder untuk penatalaksanaan yang tepat. Berikut ini adalah
pedoman yang ketika merujuk pasien.
 Berikan tetes antibiotik atau salep
 Instruksikan pasien atau keluarga yang bersamanya untuk meneteskan
tetes mata sesering mungkin sampai pasien tiba di pusat rujukan
 Instruksikan pasien keluarga yang bersamanya untuk menghindari
penggunaan obat-obatan tradisional
 Jangan memberikan antibiotik sistemik; karena tidak akan membantu
 Jangan menggunakan tetes steroid dan/atau salep; karena dapat
berbahaya
 Jangan menutup mata secara rutin
2. Tata laksana di fasilitas sekunder
Manajemen infeksi kornea yang lebih lengkap dimulai pada tingkat
sekunder
a. Bila tidak menemukan patogen jamur pada mikroskop, atau keratitis
jamur tidak dicurigai berdasarkan klinis, maka obati dengan salah satu:
 Tetes mata Cefazolin 5% dan gentamicin 1,4%, setiap jam, atau
 tetes mata Ciprofloxacin atau ofloxacin, setiap jam
 Jika tidak mungkin diberikan tetes per jam, injeksi subkonjungtiva
dapat diberikan
b. Bila ditemukan patogen Elemen jamur pada mikroskop, atau keratitis
jamur dicurigai atas dasar klinis obati dengan:
 Natamycin 5% tetes mata setiap jam, terutama jika jamur filamen
terlihat pada mikroskop
 Jika dicurigai penyebabnya adalah Candida, gunakan amfoterisin-
B 0,15% yang baru dilarutkan setiap jam
 Antibiotik mungkin memiliki peran terbatas untuk dimainkan
dalam kasus-kasus seperti itu dan kadang-kadang bisa berbahaya.
Penilaian klinis berkorelasi dengan tes laboratorium adalah
panduan terbaik dalam kasus tersebut
c. Pengobatan adjuvant
 Atropin 1% atau homatropin 2% dapat digunakan dua kali sehari
untuk melebarkan pupil; ini membantu mencegah sinekia dan
mengurangi rasa sakit
 Analgesik oral akan membantu meminimalkan rasa sakit
 Obat anti-glaukoma mungkin disarankan jika tekanan intraokular
tinggi
 Suplemen vitamin A mungkin membantu, terutama di negara-
negara di mana kekurangan vitamin A lazim.

Penatalaksanaan selanjutnya pasien keratitis mikroba harus dirawat


dan diperiksa setiap hari (jika mungkin dengan pemeriksaan slitlamp)
sehingga respons mereka terhadap pengobatan dapat dievaluasi dan
pemberian antibiotik disesuaikan. Mengurangi frekuensi pemberian
antibiotik ketika pasien mengalami perbaikan gejala (defek berkurang dan
fotofobia, nyeri berkurang dan penglihatan membaik), dan ketika ulkus
menunjukkan tanda-tanda perbaikan, termasuk:
 penurunan edema kelopak mata
 penurunan kemosis konjungtiva dan bulbar konjungtiva injeksi
konjungtiva
 pengurangan kepadatan infiltrasi dan area ulserasi epitel
 pengurangan kekaburan perimeter ulkus dan infiltrat stroma •
penurunan peradangan, sel, fibrin, dan tingkat hipopion • dilatasi
pupil.
Pengobatan antibiotika pada keratitis bakteri dapat diberikan pada
keratitis bacterial berdasarkan;
Gram (-) rods Gram (-) coccus Gram (+) rods
Tobramisin Ceftriaxone Cefazoline
Ceftazidime Ceftazidime Vancomycin
Fluoroquinolone Moxifloxacin/gatifloxacin Moxifloxacin/gatofloxacin
BAB III
PEMBAHASAN
Pada kasus, pasien datang dengan keluhan mata kanan tidak dapat
melihat. Pandangan kabur terjadi akibat adanya infeksi pada kornea,
sehingga menyebabkan inflamasi dan kerusakan. Kasus keratitis ini terjadi
oleh karena kebiasaan penggunaan lensa yang lama oleh pasien yang
dipakai selama berkepanjangan merupakan sajian kasus yang rumit dan
menantang dimana terjadi perubahan anatomi segmen anterior namun
dengan hasil visus yang baik. Prevalensi gangguan penglihatan akibat
keratitis mikrobial sebesar 12-14%. Tantangan pertama adalah temuan
awal klinis obyektif yang tidak diketahui. Ini tidak memungkinkan
evaluasi kritis dari perkembangan keratitis dan kemungkinan penyebabnya
Oleh karena tidak adanya gejala yang khas pada keratitis mikrobial akibat
lensa kontak, kultur merupakan diagnostik yang bagus untuk menentukan
kuman penyebab keratitis (Muceniecea dkk, 2020).
Pada zaman sekarang, masyarakat yang mengalami gangguan
refraksi miopi lebih memilih menggunakan lensa kontak daripada
kacamata. Banyak alasan yang mendasari hal tersebut, contohnya,
masyarakat merasa mudah beraktivitas menggunakan lensa kontak
dibanding menggunakan kacamata dan juga lensa kontak dapat mengubah
tampilan mata menjadi lebih indah dengan mudah. Lensa kontak terbuat
dari bahan hidrogel atau silikon hidrogel yang memiliki celah untuk
masuknya oksigen ke mata yang digunakan sebagai metabolisme kornea
pada mata. Pemakaian lensa kontak harus disertai dengan konsultasi
dokter maupun ahli supaya pengguna lensa kontak mengetahui risiko yang
dapat terjadi pada penggunaan lensa kontak. Risiko terkena komplikasi
penyakit mata juga dapat disebabkan oleh bahan yang membentuk lensa
kontak tersebut. Namun, hal penting yang sering sekali dilupakan oleh
pengguna lensa kontak adalah kebersihan. Pemakaian lensa kontak tanpa
menjaga kebersihan dapat mengakibatkan komplikasi penyakit mata. Salah
satunya adalah keratitis (Zahira, 2018).
Menurut Simanjuntak (2020), Lensa kontak secara efektif menutup
kornea dari lingkungan oksigen normal, air mata dan sekresi okuler. Efek
yang ditimbulkan bergantung pada ketebalan lensa kontak, ukuran, metode
penggunaan, dan material yang digunakan. Pada konteks ini, digunakan
beberapa definisi:
 Anoksia terjadi ketika tidak ada oksigen
 Hipoksia terjadi ketika terjadi penurunan suplai oksigen terhadap jaringan
okuler
 Hiperkapnea merupakan akumulasi dari karbondioksida.
Jenis lensa kontak bergantung pada berbagai parameter dari
perspektif ilmiah material. Saat ini kebanyakan lensa kontak diproduksi
melalui proses polimerisasi dari dua atau lebih monomer. Polimerisasi
radikal bebas merupakan jenis polimerisasi chain-growth. Polimerisasi ini
secara tipikal mampu memproduksi polimer dengan berat molekul yang
sangat bervariasi. Istilah kopolimer digunakan untuk menyatakan
penggabungan properti-properti dari polimer-polimer tunggal, dimana
metode ini digunakan untuk mengatasi permasalahan pada polimer tunggal
(Simanjuntak, 2020).
Dalam laporan kasus ini hanya ada pernyataan pasien tentang
pemeriksaan awal kornea negatif dan gejala subyektif yang memburuk.
Hal ini dapat menyebabkan salah tafsir atas temuan obyektif dan
kemungkinan komplikasi. Tantangan umum dalam perawatan keratitis
adalah agen infeksi yang tidak diketahui. Bahkan pemeriksaan kerokan
kornea berulang dan wadah lensa kontak tidak menemukan pathogen
penyebab dalam kasus ini (Muceniecea dkk, 2020).
Pada kasus ini tidak ditemukan pathogen penyebab keratitis. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan temuan obyektif berupa warna putih, profil
yang meningkat, struktur kering, endapan endotel filament, dan
memburuknya klinis pada pengobatan steroid maka pasien diberi resep
obat antijamur (Muceniecea dkk, 2020).
Hal ini dicurigai oleh karena efek negatif terapi kortikosteroid
topikal, yang dapat menjadikan hasil negatif potensial dari infeksi
progresif. Perlu dicatat bahwa ulserasi sentral merupakan faktor risiko
yang buruk dan kemungkinan dapat terjadi perforasi. Sampai sekarang
penulis belum yakin apakah perforasi dalam kasus ini disebabkan oleh
agen infeksi awal atau komplikasi karena kemungkinan efek samping
terkait dengan pengobatan steroid tambahan (Muceniecea dkk, 2020).
Perforasi kornea yang tidak terduga adalah masalah darurat dan
manajemen bedah tidak memungkinkan. Karena ukuran perforasi kecil,
perban lensa kontak yang sederhana cukup untuk merekonstruksi bola
mata. Tanpa diduga, tidak ada manipulasi lebih lanjut yang diperlukan
untuk pemulihan dan kornea pasien sembuh dan terjadi pemulihan
penglihatan yang baik (Muceniecea dkk, 2020).
Para penulis percaya bahwa iris plug yang kuat pada kornea
menghasilkan peningkatan penyembuhan yang nyata. Iris plug adalah
penutupan mekanis untuk ulkus kornea dan mengamankan struktur globe
anterior (Muceniecea dkk, 2020).
Iris plug memberikan pasokan darah ke bagian paracentral
avaskular kornea. Pembuluh darah lokal yang tumbuh dari iris ini
menyebabkan penyembuhan kornea yang cepat. Para penulis percaya
bahwa melepas Iris plug pada tahap pembentukannya tidak akan
menghasilkan perbaikan ketajaman visual yang baik. Seperti yang
diungkapkan pada minggu ke-45, pembuluh darah menjadi tidak aktif
setelah penyembuhan kornea. Rupanya, pada pasien ini ulkus kornea
sembuh, dan pembentukan scar menekan pembuluh darah dari iris yang
menyebabkan penutupan, dan menjadi tidak aktif di kornea (Muceniecea
dkk, 2020).
DAFTAR PUSTAKA

Flanagan, G., Velez, T., Gu, W., Singman, E. 2020. Contact Lens Wear, Corneal
Complications, and U.S. Service Member Readiness. Military Medicine
Journal. Association of Military Surgeons of the United States
Ilyas, S., Yulianti, S.R. 2017. Ilmu Penyakit Mata. Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Indonesia. Jakarta
Muceniecea, L., Markevicaa, I., Laganovskaa, G. 2020. Corneal Perforation Self-
Healing with an Iris Plug in the Cornea. Case Rep Ophthalmol;11:330–335.
Department Ophthalmology, Pauls Stradins Clinical University Hospital,
Riga. Latvia
Simanjuntak, A.A.M. 2020. Durasi Penggunaan Lensa Kontak Dengan Resiko
Terjadinya Keratitis: Tinjauan Pustaka. Intisari Sains Medis (11)1: 66-74.
Rumah Sakit Angkatan Darat Udayana, Denpasar, Bali. Indonesia
Surjani, L. 2016. Keratitis Mikrobial Pada Pengguna Lensa Kontak. Majalah
Ilmiah Methoda 6(2). Fakultas Kedokteran Universitas Methodist.
Indonesia.
Upadhyay, M.P., Srinivasan, M., Whitcher, J.P. 2015. Diagnosing And Managing
Microbial Keratitis. Community Eye Health Journal 28(89). Department of
Ophthalmology, University of California, San Francisco. USA
Zahira, T.N. 2018. Edukasi Risiko Penggunaan Softlens pada Penyakit Keratitis.
Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia

Anda mungkin juga menyukai