Oleh:
Ninis Ilmi Octasari, S.Ked
K1A1 15 095
Pembimbing:
dr. Melvin Manuel Philips, Sp.M
B. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Mata kanan tidak bisa melihat
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien seorang Wanita usia 29 tahun datang ke Unit Gawat Darurat
dengan keluhan mata kanan tidak bisa melihat nyeri ringan dan fotofobia.
Pasien telah melakukan pengobatan dengan rawat jalan karena Keratitis dan
diobati dengan kombinasi kortikosteroid topikal dan antibiotik selama 4
minggu tetapi tidak menunjukkan perbaikan klinis. Pasien ini adalah pengguna
lensa kontak harian. Pasien menyebutkan bahwa telah ada kerokan kornea
utnuk diagnostik, tetapi tidak ada penyebab patogen yang diidentifikasi.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat hipertensi (-)
Riwayat Diabetes Mellitus (-)
Riwayat sakit mata (-)
C. STATUS GENERALIS
Keadaan Umum
Keadaan umum: Sakit sedang
Kesadaran : Composmentis, GCS E4V5M6
Tanda vital
Tidak ditampilkan
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan status generalis kepala hingga kaki dalam batas normal.
Pemeriksaan Mata
a. Ketajaman Visual
Pada evaluasi, ketajaman visual dengan Best-Corrected Visual Acuity
(BCVA) di mata kanan adalah 0,4 (Snellen Chart).
b. Pemeriksaan Slit-Lamp
injeksi konjungtiva dan kekeruhan paracentral, kornea dengan
pewarnaan fluorescein
d. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan jumlah darah lengkap,
parameter biokimia darah, dan tingkat sedimentasi eritrosit dalam
rentang normal. Selain itu, hasil serologis menunjukkan faktor
rheumatoid, protein sitrullinasi anti-siklik, antibodi sitoplasma anti-
neutrofil, dan protein C-reaktif dalam rentang normal.
D. DIAGNOSIS
Keratitis
E. PENGOBATAN
1. Pengobatan topikal
Pengobatan topikal diberikan levofloxacin 0,5%, siklopentolat 0,01% dua
kali sehari dan salep Tobramycin 4 kali sehari.
2. Pengobatan sistemik
Diberikan tambahan cefazolin dan flukonazol 4 mg
Pemeriksaan kerokan kornea berulang dilakukan pada hari ke-6.
Pemeriksaan mikrobiologi tidak mengidentifikasi pertumbuhan bakteri atau
jamur kuman aerob/anaerob pada salah satu sampel. Karena tidak ada
perbaikan, maka pada hari ke-14 pengobatan dengan larutan Flukonazol
diubah menjadi Vorikonazol peroral 200 mg dua kali sehari.
Pada hari ke-21, terjadi perforasi kornea spontan. Pemeriksaan dengan
Anterior Segment Optical Coherence Tomography (AS-OCT)
menggambarkan perforasi pada segmen anterior bola mata. Untuk
melanjutkan segmen anterior, mata diamankan dengan lensa kontak lunak.
Pada hari ke-23 segmen anterior bola mata berada pada volume
normal, tetapi iris terjebak di lokasi perforasi. Struktur paracentral tampak
Hyperdense di tempat perforasi divisualisasikan dengan Anterior segment
optical coherence tomography (AS-OCT). Perlahan, gejala klinis membaik,
reaksi konjungtiva, rasa sakit, dan ketidaknyamanan mulai berkurang.
Pada hari ke-29 lensa kontak dilepas dan dikirim untuk pemeriksaan
mikrobiologis dan tidak ditemukan pertumbuhan bakteri atau jamur
aerob/anaerob.
Pada minggu ke-5 pemeriksaan dengan slit-lamp menunjukkan
hubungan iris dengan jaringan kornea dan pembuluh darah yang tumbuh ke
dalam kornea dari daerah iris plug. Kedalaman segmen anterior stabil. Pada
minggu 11 nampak stroma hyperdense dibawah yang mana kontak iris-kornea
stabil dengan lebar 556-µm. Pasien tidak memiliki keluhan mata dan Best-
Corrected Visual Acuity (BCVA) adalah 0,7 (Gambar. 3).
Gambar 3. a. Perforasi kornea pada hari ke-21 dengan segmen anterior yang
kolaps dan perforasi (ditandai dengan panah). b Iris plug pada daerah perforasi
kornea (follow up minggu 11).
Gambar 6. Pada segmen anterior dari sisi kiri nampak untuk memperlihatkan
perubahan segmen anterior karena kontak iris-kornea
Gambar 7. Perubahan anatomi segmen anterior pada minggu ke-24 setelah
perforasi kornea
Best-Corrected Visual Acuity (BCVA) adalah 0,8 dengan koreksi –
2.25 Dsph –1.25 Dcyl × 15. Karena koreksi ini tidak kompatibel dengan
kenyamanan untuk penglihatan binokular, pasien tidak menggunakan koreksi
astigmatisme. Namun dengan koreksi ketajaman visual monocular –2,5 Dsph
adalah 0,7. Tekanan intraokular adalah 19 mmHg. AS-OCT menunjukkan
hyperdense stromal paracentral, scar kornea dengan lebar 3,404 µm di sisi
endotel tetapi lebar 1,334 µm di sisi epitel. Terdapat pula kontak iris-kornea
stabil dengan lebar 556 µm.
F. RESUME
Pasien seorang Wanita usia 29 tahun datang ke Unit Gawat Darurat
dengan keluhan mata kanan tidak bisa melihat nyeri ringan dan fotofobia.
Pasien telah melakukan pengobatan dengan rawat jalan karena Keratitis dan
diobati dengan kombinasi kortikosteroid topikal dan antibiotik selama 4
minggu tetapi tidak menunjukkan perbaikan klinis. Pasien ini adalah pengguna
lensa kontak harian. Pasien menyebutkan bahwa telah ada kerokan kornea
utnuk diagnostik, tetapi tidak ada penyebab patogen yang diidentifikasi.
Riwayat Penyakit Dahulu pasien, riwayat hipertensi, Diabetes Mellitus, sakit
mata disangkal oleh pasien.
Pada pemeriksaan fisik didaptkan keadaan umum pasien sakit sedang,
dengan kesadaran Composmentis, GCS E4V5M6. Pemeriksaan Tanda-tanda
vital Tidak ditampilkan, Pemeriksaan status generalis kepala hingga kaki
dalam batas normal. Pemeriksaan Ketajaman Visus didapatkan pada evaluasi
dengan Best-Corrected Visual Acuity (BCVA) di mata kanan adalah 0,4
(Snellen Chart). Pada pemeriksaan Slit-Lamp menunjukkan injeksi
konjungtiva dan kekeruhan paracentral, kornea dengan pewarnaan fluorescein.
Pada pemeriksaan Anterior segment optical coherence tomography (AS-OCT)
menunjukkan defek kornea selebar 135μm dan 184µm dengan zona infiltrasi
sedalam 167µm. Ketebalan kornea di daerah yang terkena adalah 600 μm dan
endapan endotel filamen terlihat. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan
jumlah darah lengkap, parameter biokimia darah, dan tingkat sedimentasi
eritrosit dalam rentang normal. Selain itu, hasil serologis menunjukkan faktor
rheumatoid, protein sitrullinasi anti-siklik, antibodi sitoplasma anti-neutrofil,
dan protein C-reaktif dalam rentang normal.
Diagnosis pasien ini adalah Keratitis akibat penggunaan lensa kontak.
Pengobatan yang diberikan berupa topikal yaitu levofloxacin 0,5%,
siklopentolat 0,01% dua kali sehari dan salep Tobramycin 4 kali sehari.
Diberikan tambahan pengobatan sistemik berupa cefazolin dan flukonazol 4
mg.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Keratitis merupakan peradangan kornea. Radang kornea biasanya
diklasifikasikan dalam lapis kornea yang terkena, seperti keratitis superficial
dan intrstisial atau profunda (Ilyas, 2017).
Keratitis merupakan suatu proses peradangan pada kornea. Keratitis
terkait penggunaan lensa kontak atau ulser ditandai dengan adanya ekskavasi,
infiltrat dan membran Bowman yang intak (Simanjuntak,2020). Keratitis
bakterial jarang terjadi pada mata normal dikarenakan adanya mekanisme
pertahanan alami kornea terhadap infeksi. Faktor predisposisi yang umum
terjadi adalah penggunaan lensa kontak, trauma, riwayat operasi kornea,
kelainan permukaan bola mata, penyakit sistemik dan imunosupresi.
Penyebab terbanyak adalah spesies staphylococcus dan pseudomonas (Surjani,
2020).
Keratitis ulseratif atau ulkus kornea adalah proses tahap akhir yang
berat dimana terjadi inflamasi yang dapat mengakibatkan hilangnya
penglihatan, kebutuhan untuk transplantasi kornea, endoftalmitis, atau
perforasi bola mata. Keratitis dapat dimulai sebagai keadaan infiltratif kornea
yaitu agregasi leukosit yang dapat bermigrasi pada limbus. Infiltratif kornea
dapat bersifat simptomatik atau asimptomatik dan dapat dikategorikan steril
atau infeksius. Keratitis ulseratif infeksius dapat disebabkan oleh bakteri,
virus, jamur, dan amuba, sedangkan keratitis ulseratif steril dapat disebabkan
oleh luka bakar kimia, kondisi autoimun, paparan racun, proses neurotropik,
atau penyebab lainnya. Pemakaian lensa kontak merupakan risiko signifikan
kejadian infiltrasi kornea dan insiden dapat meningkat 20 hingga 25% dengan
pemakaian lensa kontak berkepanjangan (Flanagan, 2020).
Keratitis Acanthamoeba adalah suatu infeksi parasit pada mata yang
dapat mengancam penglihatan. Biasanya dikarakteristikan dengan nyeri hebat
dan infiltrat yang berbentuk seperti cincin. Dua spesies yang berperan
diantaranya A. castellanii dan A. polyphaga. Sebagian besar kasus ini terjadi
pada penggunaan lensa kontak. Penyebab lainnya adalah trauma kornea yang
berhubungan dengan vegetasi ataupun air yang terkontaminasi, kontak dengan
serangga maupun riwayat berendam dalam mata air panas (Kemnkes, 2019).
B. EPIDEMIOLOGI
Dengan munculnya hidrogel soft pada lensa kontak pada tahun 1970-
an, insidens Keratitis Ulseratif telah meningkat secara substansial dengan
tingkat kejadian sekitar 40 kasus/100.000 pengguna. Peningkatan insidens ini
bervariasi, tergantung pada kebiasaan penggunaan lensa kontak berkisar
antara 0,4 hingga 5,2 per 10.000 orang/tahun untuk pemakai lensa kontak
permeable, yang dipakai sehari-hari sehingga kaku dan meningkat hingga
lebih dari 20 per 10.000 orang/tahun untuk pemakai lensa kontak selama
semalam. Dalam studi berbasis populasi yang diterbitkan pada 2010, para
peneliti memperkirakan bahwa 71.000 kasus Keratitis Ulseratif yang berat
dapat terjadi setiap tahun di Amerika Serikat (Flanagan, 2020).
Pada tahun 2016 telah dilaporkan bahwa lebih dari 41 juta pengguna
lensa kontak di Amerika Serikat dengan pola perilaku penggunaan lensa
kontak yang menempatkan mereka pada risiko mengalami infeksi mata.
Beberapa gejala yang dilaporkan terjadi pada pengguna lensa kontak secara
berkelanjutan di Amerika Serikat yaitu sensasi terbakar, gatal atau berair, dan
lebih banyak dilaporkan oleh pengguna usia remaja. Sebuah penelitian di
Riyadh, ditemukan bahwa sebesar 38,7% pengguna lensa kontak tidak
berkonsultasi terlebih dahulu sebelum mulai menggunakan lensa kontak
(Simanjuntak, 2020).
Keratitis Acanthamoeba pertama kali ditemukan pada tahun 1973.
Pada tahun 2007 ditemukan adanya peningkatan hebat dari kasus infeksi
Acanthamoeba di Amerika serikat, khususnya di daerah East Coast dan
Midwest. Diketahui bahwa terdapat asosisasi antara keratitis Acanthamoeba
dengan penggunaan cairan pembersih lensa kontak Complete MoisturePlus
yang berakibat pada penarikan produk ini dari pasaran. Selain itu, Center for
Disease Control (CDC) mengumumkan pada tahun 1980 bahwa diketahui
85% keratitis Acanthamoeba berhubungan penggunaan lensa kontak dan
jumlah ini terus meningkat menjadi 95% di Inggris pada tahun 1990
(Kemenkes, 2019)
C. ETIOLOGI
Keratitis disebabkan oleh virus, bakteri (pneumococci, streptococci,
atau staphylococci), jamur dan protozoa (Ilyas, 2017).
Keratitis pada umumnya didahului oleh:
Defisiensi Vitamin A
Reaksi konjungtivitis menahun
Trauma dan kerusakan epitel
Lensa kontak dapat mengakibatkan infeksi sekunder dan non infeksi
keratitis
Daya Imunitas yang berkurang
Musim panas dan daerah yang lembab
Penggunaan Kortikosteroid
Herpes Genital
D. FAKTOR RISIKO
Faktor predisposisi keratitis mikrobial berupa penyakit pada
permukaan kornea, trauma pada kornea, pemakaian lensa kontak dan penyakit
sistemik. Pemakaian lensa kontak merupakan faktor resiko utama keratitis
microbial (Surjani, 2016).
Beberapa faktor risiko berkaitan dengan keratitis telah diteliti dimana
dua faktor risiko utama tingginya angka kejadian keratitis adalah penggunaan
lensa kontak semalaman dan higienitas yang buruk, dengan proporsi masing-
masing yaitu 43% dan 33% dari total seluruh faktor risiko keratitis terkait
penggunaan lensa kontak (Simanjuntak, 2020)
Tabel 1. Permasalahan keratitis terkait penggunaan lensa kontak
E. PATOGENESIS
Gangguan penglihatan pada keratitis infeksi merupakan hasil dari
interaksi antara patogen dengan jaringan host, respon inflamasi innate host,
dan terapi yang dilakukan untuk mengobati infeksi. Epitel kornea yang intak
menjadi barrier untuk penetrasi bakteri menuju lapisan kornea yang lebih
dalam. Hal ini didukung oleh ikatan kuat dan sangat rapat antara sel-sel
superfisial dan juga adanya peptida antibakteri serta pensinyalan imun innate.
Selain itu, cairan air mata mengandung musin, imunoglobulin sekretori A (sIg
A) dan surfaktan protein D yang merupakan faktor-faktor anti mikroba yang
dapat mengikat mikroba. Penetrasi bakteri ke dalam stroma membutuhkan
celah trauma pada epitel kornea, baik secara mekanik seperti abrasi, atau
inokulasi intrasomal pada keratitis mikroba. Sel imun seperti makrofag dan sel
dendritik memiliki peran penting untuk memulai respon imun innate pada
kornea dengan mengekspresikan pattern-recognition receptors (PRR) seperti
Toll-like receptor (TLR) dan NOD-like receptor. Ketika PRR ini diaktifkan,
akan memicu kaskade pelepasan sitokin proinflamasi seperti interleukin (IL)-
1, IL-6, dan IL-8 via NF-kB untuk melawan patogen (Simanjuntak,2020).
F. MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala klinis keratitis bakterial bergantung kepada virulensi
organisme dan durasi infeksi. Tanda utama adalah infiltrasi epitel atau stroma
yang terlokalisir ataupun difus. Umumnya terdapat defek epitel di atas infiltrat
stromal nekrotik yang berwarna putih keabu-abuan. Tampilan umum lainnya
adalah abses stroma di bawah epitel yang intak. Infiltrat dan edema kornea
dapat terletak jauh dari lokasi infeksi primer. Ulserasi kornea dapat berlanjut
menjadi neovaskularisasi. Jika proteinase menyebabkan stromal melting maka
akan terbentuk descemetocele. Gejala yang dikeluhkan dapat berupa rasa
nyeri, pembengkakan kelopak mata, mata merah atau mengeluarkan kotoran,
silau, dan penglihatan yang buram (Surjani, 2020).
Pada keratitis bakteri bakteri akan terdapat keluhan kelopak mata
lengket setiap bangun pagi. Mata sakit silau, merah, berair dan penglihatan
yang berkurang. Kelainan ini lebih sering ditemukan pada pemakaian lensa
kontak dengan pemakaian yang lama (Ilyas, 2017).
Pasien dengan keratitis Acanthamoeba secara klasik digambarkan
memiliki nyeri mata yang hebat, rasa silau, serta berbagai gejala yang
memberat dan menetap cukup lama. Seringkali, pada awalnya mereka tidak
menunjukkan respons terapeutik terhadap berbagai agen antimikroba topikal.
Infeksi Acanthamoeba sp. pada awalnya terlokalisasi pada epitel kornea dan
dapat bermanifestasi sebagai gejala ringan seperti epitel pungtat difus atau lesi
epitel dendritik. Infeksi pada stroma biasanya terjadi pada kornea sentral
dengan infiltrat superfisial berwarna putih hingga abu-abu. Ketika penyakit
berkembang, dapat terbentuk cincin parsial ataupun komplit pada infiltrat di
kornea sentral. Bila diperhatikan lebih lanjut saraf kornea yang meradang,
yang disebut sebagai radial perineuritis atau radial keratoneuritis dapat
ditemukan. Begitu juga dengan limbitis, fokal, nodular, ataupun difus skleritis
hingga dacryoadenitis dapat terlihat. Pada umumnya penyakit ini terjadi
bilateral pada 7%-11% pasien. Meskipun ekstensi intraokular dapat terjadi,
ensefalitis belum pernah dilaporkan (Kemenkes, 2019).
Gambar 3. Descemetocele pada keratitis ulseratif yang diakibatkan oleh P.
aeruginosa pada pengguna lensa kontak
Infeksi protozoa pada mata secara prinsip disebabkan oleh penggunaan
lensa kontak yang terkontaminasi atau cairan lensa yang terkontaminasi.
Amoeba yang hidup bebas dari genus Achantamoeba merupakan agen kausal
pada infeksi yang mengancam penglihatan. Insiden keratitis Achantamoeba di
negara berkembang mencapai 1-33 kasus per 1 juta pengguna lensa kontak
(Simanjutak, 2020).
2. Pemeriksaan Mata
Tanda-tanda klinis ketika melakukan pemeriksaan pada mata,
maka harus dicari keberadaan tanda-tanda berikut dan catat dengan cermat
dalam catatan klinis. Ini akan sangat membantu ketika mempertimbangkan
apakah mata merespons terhadap perawatan.
Kelainan kelopak mata seperti trichiasis dan lagoftalmos
Berkurangnya sensasi kornea
Inflamasi pada konjungtiva dan discharge pada konjungtiva
Defek pada epitel kornea (dikonfirmasi dengan pemeriksaan
fluorescein); ukuran dan bentuk
Infiltrat inflamasi kornea - ukuran dan bentuk
Perforasi kornea
Hypopyon
a. Ketajaman visus
Pemeriksaan ketajaman visus harus selalu dicatat pada pasien
yang koperatif. Jika tidak mungkin untuk memeriksa ketajaman visual
pada anak anak, misalnya, catatan ini harus dibuat. Visus harus dicatat
pertama kali di mata yang tidak bermasalah, kemudian di mata yang
bermasalah; dengan atau tanpa kacamata. Ini memberikan panduan
yang berguna untuk prognosis dan respons terhadap pengobatan. Ini
juga merupakan dokumentasi penting dalam hal masalah medikolegal.
b. Pemeriksaan kornea
Alat penting lainnya adalah pewarna fluorescein, baik dalam
strip steril atau larutan steril. Fluorescein memberikan warna pada
bagian mana pun dari kornea yang telah kehilangan epitel, bahkan
karena cedera yang kecil, dan tampak berwarna hijau cerah atau biru
jika dilihat di bawah cahaya.
c. Pemeriksaan Mikrobiologi
Untuk lesi dengan diameter> 2mm, maka sampel kerokan
kornea harus dikumpulkan untuk dilakukan pemeriksaan analisis
mikrobiologi bila memungkinkan agar pathogen penyebab keratitis
dapat ditemukan (Upadhyay dkk, 2020).
H. TATA LAKSANA
1. Tata laksana di fasilitas primer
Keratitis mikroba adalah keadaan darurat yang harus dirujuk ke
pusat mata sekunder untuk penatalaksanaan yang tepat. Berikut ini adalah
pedoman yang ketika merujuk pasien.
Berikan tetes antibiotik atau salep
Instruksikan pasien atau keluarga yang bersamanya untuk meneteskan
tetes mata sesering mungkin sampai pasien tiba di pusat rujukan
Instruksikan pasien keluarga yang bersamanya untuk menghindari
penggunaan obat-obatan tradisional
Jangan memberikan antibiotik sistemik; karena tidak akan membantu
Jangan menggunakan tetes steroid dan/atau salep; karena dapat
berbahaya
Jangan menutup mata secara rutin
2. Tata laksana di fasilitas sekunder
Manajemen infeksi kornea yang lebih lengkap dimulai pada tingkat
sekunder
a. Bila tidak menemukan patogen jamur pada mikroskop, atau keratitis
jamur tidak dicurigai berdasarkan klinis, maka obati dengan salah satu:
Tetes mata Cefazolin 5% dan gentamicin 1,4%, setiap jam, atau
tetes mata Ciprofloxacin atau ofloxacin, setiap jam
Jika tidak mungkin diberikan tetes per jam, injeksi subkonjungtiva
dapat diberikan
b. Bila ditemukan patogen Elemen jamur pada mikroskop, atau keratitis
jamur dicurigai atas dasar klinis obati dengan:
Natamycin 5% tetes mata setiap jam, terutama jika jamur filamen
terlihat pada mikroskop
Jika dicurigai penyebabnya adalah Candida, gunakan amfoterisin-
B 0,15% yang baru dilarutkan setiap jam
Antibiotik mungkin memiliki peran terbatas untuk dimainkan
dalam kasus-kasus seperti itu dan kadang-kadang bisa berbahaya.
Penilaian klinis berkorelasi dengan tes laboratorium adalah
panduan terbaik dalam kasus tersebut
c. Pengobatan adjuvant
Atropin 1% atau homatropin 2% dapat digunakan dua kali sehari
untuk melebarkan pupil; ini membantu mencegah sinekia dan
mengurangi rasa sakit
Analgesik oral akan membantu meminimalkan rasa sakit
Obat anti-glaukoma mungkin disarankan jika tekanan intraokular
tinggi
Suplemen vitamin A mungkin membantu, terutama di negara-
negara di mana kekurangan vitamin A lazim.
Flanagan, G., Velez, T., Gu, W., Singman, E. 2020. Contact Lens Wear, Corneal
Complications, and U.S. Service Member Readiness. Military Medicine
Journal. Association of Military Surgeons of the United States
Ilyas, S., Yulianti, S.R. 2017. Ilmu Penyakit Mata. Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Indonesia. Jakarta
Muceniecea, L., Markevicaa, I., Laganovskaa, G. 2020. Corneal Perforation Self-
Healing with an Iris Plug in the Cornea. Case Rep Ophthalmol;11:330–335.
Department Ophthalmology, Pauls Stradins Clinical University Hospital,
Riga. Latvia
Simanjuntak, A.A.M. 2020. Durasi Penggunaan Lensa Kontak Dengan Resiko
Terjadinya Keratitis: Tinjauan Pustaka. Intisari Sains Medis (11)1: 66-74.
Rumah Sakit Angkatan Darat Udayana, Denpasar, Bali. Indonesia
Surjani, L. 2016. Keratitis Mikrobial Pada Pengguna Lensa Kontak. Majalah
Ilmiah Methoda 6(2). Fakultas Kedokteran Universitas Methodist.
Indonesia.
Upadhyay, M.P., Srinivasan, M., Whitcher, J.P. 2015. Diagnosing And Managing
Microbial Keratitis. Community Eye Health Journal 28(89). Department of
Ophthalmology, University of California, San Francisco. USA
Zahira, T.N. 2018. Edukasi Risiko Penggunaan Softlens pada Penyakit Keratitis.
Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia