Anda di halaman 1dari 49

BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN AGUSTUS 2020


UNIVERSITAS HALU OLEO

DISFONIA

Oleh:

Ninis Ilmi Octasari, S.Ked

K1A1 15 095

Pembimbing:

dr. Nur Hilaliyah, M.Kes., Sp.THT-KL

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROK KEPALA & LEHER
RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI BAHTERAMAS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Ninis Ilmi Octasari


NIM : K1A1 15 095

Judul : Disfonia

Bagian : Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher

Telah menyelesaikan Referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian


Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan Kepala-Leher Fakultas Kedokteran
Universitas Halu Oleo.

Kendari, Agustus 2020

Pembimbing

dr. Nur Hilaliyah, Sp.THT-KL., M.Kes


DISFONIA

A. PENDAHULUAN
Disfonia merupakan istilah umum untuk setiap gangguan suara yang
disebabkan kelainan pada organ-organ fonasi, terutama laring, baik yang
bersifat organik maupun fungsional. Disfonia bukanlah suatu penyakit
melainkan gejala kelainan pada laring yang dapat disebabkan oleh perubahan
patologis dari proses infeksi dan inflamasi, kondisi neuromuskuler dan
kejiwaan, gangguan sistemik dan neoplasma.1,2
Keluhan gangguan suara tidak jarang kita temukan dalam klinik.
Gangguan suara atau disfonia ini dapat berupa suara parau hyaitu suara
terdengar kasar (roughness) dengan nada lebih rendah dari biasanya, suara
lemah (hipofonia), hilang suara (afonia), suara tegang dan susah keluar
(spastik), suara terdiri dari beberapa nada (diplofonia), nyeri saat suara
(odinofonia) atau ketidakmampuan mencapai nada atau intensitas tertentu.1
Setiap keadaan yang menimbulkan gangguan dalam getaran, gangguan
dalam ketegangan serta gangguan dalam pendekatan (aduksi) kedua pita suara
kiri dan kanan akan menimbulkan disfonia.1

B. ANATOMI LARING
Laring merupakan bagian yang terbawah dari saluran napas bagian
atas. Bentuknya menyerupai limas segitiga terpancung, dengan bagian atas
lebihi besar daripada bagian bawah.1
Laring terbagi atas supraglotis, glottis. Kerangka laring terdiri dari
tulang hyoid dan sejumlah tulang rawan yang saling berhubungan melalui
ligament, membrane, otot intrinsic dan ekstrinsik. Struktur anatomi yang
paling penting untuk produksi suara adalah pita suara.3
Gambar 1. Bagian (sites) dari Laring4

Bangunan kerangka laring tersusun dari satu tulang, yaitu tulang hioid,
dan beberapa buah tulang rawan. Tulang hioid berbentuk seperti huruf U yang
permukaan atasnya dihubungkan dengan lidah, mandibula dan tengkorak oleh
tendon dan otot-otot sewaktu menelan, kontraksi otot-otot ini akan
menyebabkan laring tertarik ke atas, sedangkan bila laring diam, maka otot-
otot ini bekerja untuk membuka mulut dan membantu menggerakkan lidah.

Gambar 2. Laryngx dan Os Hyoideum; dilihat dari ventral.5


Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago epiglotis,
kartilago tiroid. kartilago krikoid, kartilago aritenoid, kartilago kornikulata,
kartilago kuneiformis dan kartilago tritisea. Kartilago krikoid dihubungkan
dengan kartilago tiroid oleh ligamentum krikotiroid. Bentuk kartilago krikoid
berupa lingkaran. Terdapat 2 buah (sepasang) kartilago aritenoid yang terletak
dekat permukaan belakang laring, dan membentuk sendi dengan kartilago
krikoid, disebut artikulasi krikoaritenoid. Sepasang kartilago kornikulata (kiri
dan kanan) melekat pada kartilago aritenoid di daerah apeks, sedangkan
sepasang kartilago kuneiformis terdapat di dalam lipatan ariepiglotik, dan
kartilago tritisea terletak di dalam ligamentum hiotiroid lateral. Pada laring
terdapat 2 buah sendi, yaitu artikulasi krikotiroid dan artikulasi krikoaritenoid.
Ligamentum yang membentuk susunan laring adalah ligamentum
seratokrikoid (anterior, lateral dan posterior), ligamentum krikotiroid medial,
ligamentum krikotiroid posterior, ligamentum kornikulofaringal, ligamentum
hioiroid lateral, ligamentum hiotiroid medial, ligamentum hioepigiotika
ligamentum ventrikularis, ligamentum vokale vang menghubungkan kartilago
aritenoid dan ligamentum tiroepiglotika.1

Gambar 3. Cartilago Epiglottica; dilihat dari dorsal.5


Kartilago krikoidea yang juga mudah teraba di bawah kulit, melekat
pada kartilago tiroidea lewat ligamentum krikotiroidea. Tidak seperti struktur
penyokong lainnya dari jalan pernapasan, kartilago krikoidea berbentuk
lingkaran penuh dan tak mampu mengembang. Permukaan posterior atau
lamina krikoidea cukup lebar, sehingga kartilago ini tarnpak seperti signet
ring.5

Gambar 4. Cartilago cricoidea, dan Cartilagines Arytenoideae; dilihat dari


ventral dan dorsal.5

Gambar 5. Kartilago laringis (Digambar kembali dari Turner).6


Otot-otot laring dapat dibagi dalam dua kelornpok (Gambar 6). Otot
ekstrinsik yang terutama bekerja pada laring secara keseluruhan, sementara
otot intrinsik menyebabkan gerakan antara berbagai struktur-struktur laring
sendiri. Otot ekstrinsik dapat digolongkan menurut fungsinya. Otot depresor
atau otot-otot leher (omohioideus, sternotiroideus, sternohioideus) berasal dari
bagian inferior. Otot elevator (milohioideus, geniohioideus, genioglosus,
hioglosus, digastrikus dan stilohioideus) meluas dari os hioideum ke
mandibula, lidah dan prosesus stiloideus pada kranium. Otot tirohioideus
walaupun digolongkan sebagai otot-otot leher, terutama berfungsi sebagai
elevator, melekat pada os hioideum dan ujung posterior alae kartilago tiroidea
adalah otot konstriktor medius dan inferior yang melingkari faring di sebelah
posterior dan berfungsi pada saat menelan. Serat-serat paling bawah dari otot
konstriktor inferior berasal dari krikoid, membentuk krikofaringeus yang kuat,
yang berfungsi sebagai sfingter esofagus superior. 6

Gambar 6. Tampilan laring dan perlekatan trakea setelah pengangkatan


seluruh jaringan kecuali otot dan ligamentum. a. Pandangan lateral; b.
pandangan postcrior; c. skema diagramatik susunan otot-otot intrinsik; d dan
c. posisi. perlekalan dan kerja otot krikotiroideus. (Digambar kembali dari
Turner). 6
Anatomi otot-otot intrinsik laring paling baik dimengerti dengan
rnengaitkan fungsinya. Serat-serat otot interaritenoideus (aritenoideus)
transvenus dan oblikus rneluas di antara kedua kartilago aritenoidea. Bila
berkontraksi, kartilago aritenoidea akan bergeser ke arah garis tengah,
mengadduksi korda vokalis. Otot krikoaritenoideus posterior meluas dari
permukaan posterior lamina krikoidea untuk berinsersi ke dalam prosesus
muskularis aritenoidea; otot ini menyebabkan rotasi aritenoid ke arah luar dan
mengabduksi korda vokalis. 6

Gambar 7. Otot-otot laryngeal, Mm. laryngis; dilihat dari dorsal.5


Antagonis utama otot ini, yaitu otot krikoaritenoideus lateralis berorigo
pada arkus krikoidea lateralis; insersinya juga pada prosesus muskularis dan
rnenyebabkan rotasi aritenoid ke medial, menimbulkan adduksi. Yang
membentuk tonjolan korda vokalis adalah otot vokalis dan tiroaritenoideus
yang hampir tidak dapat dipisahkan; kedua otot ini ikut berperan dalam
mernbentuk tegangan korda vokalis. Pada individu lanjut usia, tonus otot
vokalis dan tiroaritenoideus agak berkurang; korda vokalis tampak membusur
keluar dan suara menjadi lemah dan serak. Otot-otot laring utama lainnya
adalah pasangan otot krikotiroideus, yaitu otot yang berbentuk kipas berasal
dari arkus krikoidea di sebelah anterior dan berinsersi pada permukaan lateral
alae tiroid yang luas. Kontraksi otot ini menarik kartilago tiroidea ke depan,
meregang dan menegangkan korda vokalis. Kontraksi ini secara pasif juga
memutar aritenoid ke medial, sehingga otot krikotiroideus juga dianggap
sebagai otot adduktor. Maka secara ringkas dapat dikatakan terdapat satu otot
abduktor, tiga adduktor dan tiga otot tensor, seperti yang ditampilkan dibawah
ini:
Tabel 1. Otot-otot abductor,adduktor,tensor
ABDUKTOR ADDUKTOR TENSOR
Krikoaritenoideus Interaaritenoideus Krikotiroideus
Posterior Krikoaritenoideus (eksterna)
Lateralis Vokalis (interna)
Krikotiroideus Tiroaritenoideus
(interna)
Gerakan laring dilaksanakan oleh kelompok otot-otot intrinsik. Otot-
otot ekstrinsik terutama bekerja pada laring secara keseluruhan, sedangkan
otot-otot intrinsik menyebabkan gerak bagian-bagian laring tertentu yang
berhubungan dengan gerakan pita suara.1
Otot-otot ekstrinsik laring ada yang terletak diatas tulang hyoid
(suprahioid), dan ada yang terletak dibawah tulang hyoid (infrahioid). Otot-
otot ekstrinsik yang suprahioid ialah M.digastrikus, m.geniohioid,
m.stilohioid, dan m.milohioid. Otot yang infrahioid ialah m.sternohioid,
m.omohioid dan m.tirohioid.1
Otot-otot ekstrinsik laring yang suprahioid berfungsi menarik laring ke
bawah, sedangkan yang infrahioid menarik laring ke atas. Otot-otot intrinsik
laring ialah m.krikoaritenoid lateral, m.tiroepiglotika, m.vokalis,
m.tiroaritenoid, m.ariepiglotika dan m.krikotiroid. Otot-otot ini terletak di
bagian lateral laring. Otot-otot intrinsik laring yang terletak di bagian
posterior, ialah m.aritenoid transversum, m.aritenoid oblik dan
m.krikoaritenoid posterior. Sebagian besar otot-otot intrinsik adalah otot
adduktor (kontraksinya akan mendekatkan kedua pita suara ke tengah) kecuali
m.krikoaritenoid posterior yang merupakan otot abduktor (kontraksinya akan
menjauhkan kedua pita suara ke lateral).1
Gambar 8. Laryngx; dilihat dari dorsal; Latyngx dipotong dari dorsal pada
bidang median dan dipisahkan dengan kait.5
Batas atas rongga laring (cavum laryngis) ialah aditus laring, batas
bawahnya ialah bidang yang melalui pinggir bawah kartilago krikoid. Batas
depannya ialah permukaan belakang epiglotis, tuberkulum epiglotik,
ligamentum tiroepiglotik, sudut antara kedua belah lamina kartilago tiroid dan
arkus kartilago krikoid. Batas lateralnya ialah. membran kuadrangularis,
kartilago aritenoid, konus elastikus dan arkus kartilago krikoid, sedangkan
batas belakangnya ialah m.aritenoid transversus dan lamina kartilago krikoid.
Dengan adanya lipatan mukosa pada ligamentum vokale dan ligamentum
ventrikulare, maka terbentuklah plika vokalis (pita suara asli) dan plika
ventrikularis (pita suara palsu). Bidang antara plika vokalis kiri dan kanan,
disebut rima glotis, sedangkan antara kedua pika ventrikularis, disebut rima
vestibuli. Plika vokalis dan plika ventrikularis membagi rongga laring dalam 3
bagian, yaitu vestibulum laring, glotik dan subglotik. Vestibulum laring ialah
rongga laring yang terdapat di atas plika ventrikularis. Daerah ini disebut
supraglotik. Antara plika vokalis dan plika ventrikularis, pada tiap sisinya
disebut ventrikulus laring morgagni. Rima glotis terdiri dari 2 bagian, yaitu
bagian intermembran dan bagian interkartilago. Bagian intermembran ialah
ruang antara kedua plika vokalis dan terletak di bagian anterior, sedangkan
bagian interkartilago terletak kedua puncak kartilago aritenoid dan terletak di
bagian posterior. Daerah subglotik adalah rongga laring yang terletak di
bawah plika vokalis.1
Sebagian besar laring dilapisi oleh mukosa toraks bersilia yang dikenal
sebagai epitel respiratorius. Namun, bagian-bagian laring yang terpapar aliran
udara terbesar, misalnya permukaan lingua pada epiglotis, permukaan superior
plika ariepiglotika, dan permukaan superior serta tepi bebas korda vokalis
sejati, dilapisi epitel gepeng yang lebih keras. Kelenjar penghasil mukus
banyak ditemukan dalam epitel respiratorius. Struktur pertama yang diarnati
pada pemeriksaan memakai kaca adalah epiglotis (Gambar 9). Tiga pita
mukosa (satu plika glosoepiglotika mediana dan dua plika glosoepiglotika
lateralis) meluas dari epiglotis ke lidah. Di antara pita medial dan setiap pita
lateral terclapat suatu kantung kecil, vaitu valekula. Di bawah tepi bebas
epiglotis, dapat terlihat aritenoid sebagai dua gundukan kecil yang
dihubungkan oleh otot interaritenoid yang tipis. Perluasan dari masing-rnasing
aritenoid ke anterolateralis menuju tepi lateral bebas dari epiglotis adalah plika
ariepiglotika, merupakan suatu mernbrana kuadrangularis yang dilapisi
mukosa. Di lateral plika ariepiglotika tcrdapat sinus atau resesus piriformis.
Struktur ini bila dilihat dari atas, merupakan suatu kantung berbentuk segitiga
di mana tidak rnemiliki dinding posterior. Dinding medialnya di bagian atas
adalah kartilago kuadrangularis dan di bagian bawah kartilago aritenoidea
dengan otot-otot lateral yang melekat padanya, dan dinding lateral adalah
pernukaan dalam alae tiroid. Di sebelah posterior sinus piriformis berlanjut
sebagai hipofaring. Sinus piriformis dan faring bergabung ke bagian inferior,
ke dalam introitus esofagus yang dikelilingi oleh otot krikofaringeus yang
kuat. Dalam laring sendiri, terdapat dua pasang pita horisontal yang berasal
dari aritenoid dan berinsersi ke dalam kartilago tiroidea bagian anterior. Pita
superior adalah korda vokalis palsu atau pita ventrikular, dan lateral terhadap
korda vokalis sejati. Korda vokalis palsu terletak tepat di inferior tepi bebas
membrana kuadrangularis. Ujung korda vokalis sejati (plika vokalis) adalah
batas superior konus elastikus. Otot vokalis dan tiroaritenoideus membentuk
massa dari korda vokalis ini. Karena permukaan superior korda vokalis adalah
datar, maka mukosa akan memantulkan cahaya dan tampak berwarna putih
pada laringoskopi indirek. Korda vokalis palsu dan sejati dipisahkan oleh
ventrikulus laringis. Ujung anterior ventrikel meluas ke superior sebagai suatu
divertikulum kecil yang dikenal sebagai sakulus laringis, di mana terdapat
sejumlah kelenjar mukus yang diduga melumasi korda vokalis. Pembesaran
sakulus secara klinis dikenal sebagai laringokel.6

Gambar 9. Struktur yang penting dilihat pada pemeriksaan


laringofaring adalah valekula, epiglotis, plika ariepiglotika, lipatan ventrikuler
(pita suara "palsu"), pita suara (pita suara "asli") muara ventrikel dari laring,
komisura anterior, eminensia aritenoid, sinus piriformis dan dinding posterior
faring sampai introitus esofagus.6
Gambar 10. Laryngx; potongan midsagital.5
Laring dipersarafi oleh cabang-cabang nervus vagus, yaitu n.laringis
superior dan n.laringis inferior. Kedua saraf ini merupakan campuran saraf
motorik dan sensorik.1
Dua saraf laringeus superior dan dua inferior atau laringeus rekurens,
saraf laringeus merupakan cabang-cabang saraf vagus. Saraf laringeus
superior meninggalkan trunkus vagalis tepat di bawah ganglion nodosum,
melengkung ke anterior dan medial di bawah arteri karotis eksterna dan
interna, dan bercabang dua menjadi suatu cabang sensorik interna dan cabang
motorik eksterna. Cabang interna menembus membrana tirohioidea untuk
mengurus persarafan sensorik valekula, epiglotis, sinus piriformis, dan seluruh
mukosa laring superior interna tepi bebas korda vokalis sejati. Masing-masing
cabang eksterna merupakan suplai motorik untuk satu otot saja, yaitu otot
krikotiroideus. Di sebelah inferior, saraf rekurens berjalan naik dalarn alur di
antara trakea dan esofagus, masuk ke dalam laring tepat di belakang
artikulasio krikotiroideus, dan mengurus persarafan motorik sernua otot
intrinsik laring kecuali krikotiroideus. Saraf rekurens juga mengurus sensasi
jaringan di bawah korda vokalis sejati (regio subglotis) dan trakea superior.
Perjalanan saraf rekurens kanan dan kiri yang berbeda diilustrasikan dalam
(Gambar 11) yang juga memperlihatkan jaras neural yang lebih tinggi dari
persarafan laring. Karena perjalanan saraf inferior kiri yang lebih panjang
serta hubungannya dengan aorta, maka saraf ini lebih rentan cedera
dibandingkan saraf yang kanan.6

Gambar 11. Suatu sketsa oleh Dr. Chevalier .lackson, "secara skematis
menggambarkan dasar-dasar persarafan laring yang telah disederhanakan
(Dari Jackson C,Jackson CL (eds): Diseases of the Nose, Throat, and Ear. 2nd
ed. Philadelphia, WB Saunders Co, 1959).6
Saraf laringeus berasal dari nuklei ambigui yang mana ada dua di kiri
kanan medula oblongata. Di sini terjadi aktivasi fungsi autonom pernapasan
dan gerakan refleks laring. Untuk gerakan voluntar, nuklei ambigui diaktivasi
dan didominasi oleh impuls, 'perintah' berasal dari pusat pengatur di korteks.
Pusat pengatur bilateral ini mendapat 'perintah' misalnya kata-kata dari daerah
bahasa (kata) yang terletak di sisi kiri otak (pada orang yang bukan kidal),
pusat-pusat ini ditampilkan secara diagramatik sebagai penyebaran impuls
bilateral. Untuk menghindari gambaran yang rumit, maka hanya jaras eferen
yang ditunjukkan dalam skema ini. Perlu diketahui bahwa semua jaras ini
memiliki pasangan jaras-jaras aferen.1
Nervus laringis superior mempersarafi m.krikotiroid sehingga
memberikan sensasi pada mukosa laring dibawah pita suara. Saraf ini mula-
mula terletak diatas m.konstriktor faring medial di sebelah medial a.karotis
interna dan eksterna kemudian menuju ke kornu mayor tulang hyoid dan
setelah menerima hubungan dengan ganglion servikal superior membagi diri
dalam 2 cabang yaitu ramus eksternus dan ramus internus.1
Ramus eksternus berjalan pada permukaan luar m.konstriktor faring
inferior dan menuju ke m.krikotiroid, sedangkan ramus internus tertutup oleh
m.tirohioid terletak disebelah medial a.tiroid superior, menembus membrane
hiotiroid, dan bersama-sama dengan a.alaringis superior menuju ke mukosa
laring.1
Nervus laringis inferior merupakan lanjutan dari n.rekuren setelah
saraf itu memberikan cabangnya menjadi ramus kardia inferior. Nervus
rekuren kanan akan menyilang arkus aorta. Nervus laringis inferior berjalan
diantara cabang-cabang a.tiroid inferior, dan melalui permukaan mediodorsal
kelenjar tiroid akan sampai pada permukaan medial m.krikofaring. Disebelah
posterior dari sendi krikoaritenoid, saraf ini bercabang 2 menjadi ramus
anterior dan ramus posterior. Ramus anterior akan mempersarafi otot-otot
intrinsic laring bagian lateral, sedangkan ramus posterior mempersarafi otot-
otot intrinsik laring bagian superior dan mengadakan anastomosis dengan
n.laringis superior ramus internus.1
Gambar 12. Nervus laringeus rekuren.7
Suplai arteri dan drainase venosus dari laring paralel dengan suplai
sarafnya. Arteri dan vena laringea superior merupakan cabang-cabang arteri
dan vena tiroidea superior, dan keduanya bergabung dengan cabang interna
saraf laringeus superior untuk membentuk pedikulus neurovaskular superior.
Arteri dan vena laringea inferior berasal dari pembuluh tiroidea inferior dan
masuk ke laring bersama saraf Iaringeus rekurens. Pengetahuan mengenai
drainase limfatik pada laring adalah penting pada terapi kanker. Terdapat dua
sistem drainase terpisah, superior dan inferior, di mana garis pemisah adalah
korda vokalis sejati. Korda vokalis sendiri mempunyai suplai limfatik yang
buruk. Di sebelah superior, aliran limfe menyertai pedikulus neurovaskular
superior untuk bergabung dengan nodi limfatisi superior dari rangkaian
servikalis profunda setinggi os hioideus. Drainase subglotis lebih beragarn,
yaitu ke nodi limfatisi pretrakeales (satu kelenjar terlelak tepat di depan
krikoid dan disebut nodi Delphian), kelenjar getah bening servikalis profunda
inferior, nodi supraklavikularis dan bahkan nodi mediastinalis superior.6

Gambar 13. Arteri dan saraf pada Laryngx dan Radix linguae; dilihat dari
dorsal.5

C. FISIOLOGI LARING
Walaupun laring biasanya dianggap sebagai organ penghasil suara,
narnun ternyata rnempunyai tiga fungsi utama-proteksi jalan napas, respirasi
dan fonasi. Kenyataannya, secara filogenetik, laring mula-mula berkembang
sebagai suatu sfingter yang rnelindungi saluran pernapasan, sementara
perkembangan suara merupakan peristiwa yang terjadi belakangan.
Perlindungan jalan napas selama aksi menelan terjadi melalui berbagai
mekanisme berbeda. Aditus laringis sendiri tertutup oleh kerja sfingter dari
otot tiroaritenoideus dalarn plika ariepiglotika dan korda vokalis palsu, di
samping aduksi korda vokalis sejati dan aritenoid yang ditimbulkan oleh otot
intrinsik laring lainnya. Elevasi laring di bawah pangkal lidah melindungi
laring lebih lanjut dengan mendorong epiglotis dan plika ariepiglotika ke
bawah menutup aditus. Struktur ini mengalihkan makanan ke lateral, menjauhi
aditus laringis dan masuk ke sinus piriformis, selanjutnya ke introitus esofagi.
Relaksasi otot krikofaringeus yang terjadi bersamaan mempermudah jalan
makanan ke dalam esofagus sehingga tidak masuk ke laring. Di samping itu,
respirasi juga dihambat selama proses menelan melalui suatu refleks yang
diperantarai reseptor pada rnukosa daerah supraglotis. Hal ini mencegah
inhalasi makanan atau saliva. Demikian pula pada bayi, posisi laring yang
lebih tinggi memungkinkan kontak antara epiglotis dengan permukaan
posterior palatum mole. Maka bayi-bayi dapat bernapas selama laktasi tanpa
masuknya makanan ke jalan napas. Selama respirasi, tekanan intratoraks
dikendalikan oleh berbagai derajat penutupan korda vokalis sejati. Perubahan
tekanan ini membantu sistem jantung seperti juga ia mempengaruhi pengisian
dan pengosongan jantung dan paru.6
Selain itu, bentuk korda vokalis palsu dan sejati memungkinkan laring
berfungsi sebagai katup tekanan bila menutup (Gambar 14), memungkinkan
peningkatan tekanan intratorakal yang diperlukan untuk tindakan-tindakan
mengejan misalnya mengangkat berat atau defekasi. Pelepasan tekanan secara
mendadak menimbulkan batuk yang berguna untuk mempertahankan ekspansi
alveoli terminal dari paru dan membersihkan sekret atau partikel makanan
yang berakhir dalam aditus laringis, selain semua mekanisme proteksi lain
yang disebutkan di atas.6
Namun, pembentukan suara agaknya merupakan fungsi laring yang
paling kompleks dan paling baik diteliti. Penemuan sistem pengamatan serat
optik dan stroboskop yang dapat dikoordinasikan dengan frekuensi suara
sangat membantu dalam memahami fenomena ini. Korda vokalis sejati yang
teraduksi, kini diduga berfungsi sebagai suatu alat bunyi pasif yang bergetar
akibat udara yang dipaksa antara korda vokalis sebagai akibat kontraksi otot-
otot ekspirasi. Nada dasar yang dihasilkan dapat dimodifikasi dengan berbagai
cara. Otot intrinsik laring (dan krikotiroideus) berperan penting dalam
penyesuaian tinggi nada dengan mengubah bentuk dan massa ujung-ujung
bebas korda vokalis sejati dan tegangan korda itu sendiri. Otot ekstralaring
juga dapat ikut berperan. Demikian pula karena posisi laring manusia yang
lebih rendah, maka sebagian faring, di samping rongga hidung dan sinus
paranasalis dapat dimanfaatkan.untuk perubahan nada yang dihasilkan laring.
Semuanya ini dipantau melalui suatu mekanisme umpan balik yang terdiri dari
telinga manusia dan suatu sistem dalam laring sendiri yang kurang dimengerti.
Sebaliknya, kekerasan suara pada hakekatnya proporsional dengan tekanan
aliran udara subglotis yang menimbulkan gerakan korda vokalis sejati. Di lain
pihak, berbisik diduga terjadi akibat lolosnya udara melalui komisura posterior
di antara aritenoid yang terabduksi tanpa getaran korda vokalis sejati. Tiap
penyakit yang mempengaruhi kerja otot intrinsik dan ekstrinsik laring
(paralisis saraf, trauma, pembedahan), atau massa pada korda vokalis sejati
(misalnya, paralisis saraf, trauma, pembedahan) akan mempengaruhi fungsi
laring, akibatnya akan terjadi gangguan menelan ataupun perubahan suara.6

D. DEFINISI
Disfonia atau gangguan suara atau suara serak didefinisikan sebagai
gangguan yang ditandai dengan perubahan kualitas vokal, pitch, kenyaringan
atau usaha vokal yang mengganggu komunikasi atau mengurangi kualitas
hidup yang berhubungan dengan penggunaan suara.2
Disfonia (gangguan produksi suara) adalah keluhan yang sangat umum
yang mempengaruhi hampir sepertiga dari populasi di beberapa titik dalam
hidupnya. Istilah disfonia sering digunakan secara bergantian dengan suara
serak; Namun, terminologi ini tidak tepat, karena suara serak adalah gejala
dari kualitas suara yang berubah yang dilaporkan oleh pasien, sementara
disfonia mencirikan gangguan produksi suara seperti yang dikenali oleh
seorang dokter.8

E. EPIDEMIOLOGI
Disfonia dapat menyerang pasien dari segala usia dan jenis kelamin,
tetapi prevalensinya meningkat pada guru, orang dewasa yang lebih tua, dan
orang lain dengan tuntutan vokal yang signifikan. Faktanya, masalah suara
memengaruhi 1 dari 13 orang dewasa setiap tahun. Sementara pasien
melaporkan gangguan suara yang signifikan, sebagian kecil mencari
perawatan medis untuk masalah suara tersebut. Disfonia bertanggung jawab
atas kunjungan perawatan kesehatan yang sering dan hilangnya produktivitas
beberapa miliar dolar setiap tahun akibat ketidakhadiran kerja.9
Studi epidemiologi mendapatkan bahwa di Inggris sekitar 40.000
pasien dengan disfonia dirujuk ke pusat terapi suara tiap tahunnya.4 Cohen et
alpada tahun 2012 mendapatkan prevalensi keseluruhan disfonia dari objek
yang diteliti adalah sebesar 0,98% dengan populasi perempuan 63,4% dan
laki-laki 36,5%. Prevalensi tertinggi tercatat pada laki-laki dibanding
perempuan pada usia 0-9 tahun, diikuti dengan prevalensi tertinggi tercatat
pada perempuan dibanding laki-laki mulai pubertas sampai usia >70 tahun.8

F. ETIOLOGI
Walaupun disfonia hanya merupakan gejala tetapi bila prosesnya
berlangsung lama (kronik) keadaan ini dapat merupakan tanda awal dari
penyakit yang serius di daerah tenggorok khususnya laring.1
Penyebab disfonia dapat bermacam-macam yang prinsipnya menimpa
laring dan sekitarnya. Etiologi ini dapat berupa radang, tumor (neoplasma),
paralisis otot-otot laring, kelainan laring seperti sikatriks akibat operasi,
fiksasi pada sendi krikoaritenoid dan lain-lain. Ada satu keadaan yang disebut
sebagai disfonia ventrikular, yaitu keadaan plika ventrikular yang mengambil
alih fungsi fonasi dari pita suara, misalnya sebagai akibat pemakaian suara
yang terus menerus pada pasien dengan laringitis akut. Inilah pentingnya
istirahat berbicara (vocal rest) pada pasien dengan laringitis akut, disamping
pemberian obat-obatan. Radang laring dapat akut atau kronik. Radang akut
biasanya disertai gejala lain seperti demam, dedar (malaise), nyeri menelan
atau berbicara, batuk, di samping gangguan suara. Kadang-kadang dapat
terjadi sumbatan laring dengan gejala stridor serta cekungan di suprastenal,
epigastrium dan sela iga.1
Radang kronik nonspesifik, dapat disebabkan oleh sinusitis kronis,
bronkitis kronis atau karena penggunaan suara yang salah dan berlebihan
(vocal abuse=penyalahguna suara) seperti sering berteriak-teriak atau
berbicara keras. Vocal abuse juga sering terjadi pada pengguna suara
profesional (professional voice user) seperti penyanyi, aktor, dosen, guru,
penceramah, tenaga penjual (salesman), pelatih olahraga, operator telepon dan
lain-lain.1
Radang kronik spesifik misalnya tuberkulosa dan lues. Gejalanya
selain gangguan suara, terdapat juga gejala penyakit penyebab atau penyakit
yang menyertainya.1
Tumor laring dapat jinak atau ganas. Gejala tergantung dari lokasi
tumor, misalnya tumor pada pita suara, gejala gangguan suara akan segera
timbul pada pita suara, gejala gangguan suara dan bila tumor tumbuh menjadi
besar dapat menimbulkan sumbatan jalan napas. Tumor jinak laring seperti
papiloma sering ditemukan pada anak dimana disfonia merupakan gejala dini
yg harus diwaspadai. Begitu pula pada tumor ganas pita suara (karsinoma
laring) sering didapatkan pada orang tua perokok dengan gangguan suara yang
menetap. Tumor ganas sering disertai gejala lain, misalnya batuk (kadang-
kadang batuk darah), berat badan menurun, keadaan umum memburuk.1
Tumor pita suara non neoplastik dapat berupa nodul, kista, polip atau
edema submukosa (Reinke's edema). Lesi jinak yang lain dapat berupa
sikatrik, keratosis, fisura, mixedem, amilodosis, sarkoidosis dan lain-lain.1
Paralisis otot laring dapat disebabkan oleh gangguan persarafan, baik
sentral maupun perifer, dan biasanya paralisis motorik bersama dengan
paralisis sensorik. Kejadiannya dapat unilateral atau bilateral. Lesi intrakranial
biasanya mempunyai gejala lain dan muncul sebagai kelainan neurologik
selain dari gangguan suaranya. Penyebab sentral, misalnya paralisis bulbar,
siringomielia, tabes dorsalis, multipel sklerosis. Penyebab perifer, misalnya
tumor tiroid, struma, pasca strumektomi, trauma leher, tumor esofagus dan
mediastinum, penyakit jantung dengan hipertensi pulmonal, kardiomegali,
atelektasis paru, aneurisma aorta dan arteria subsklavia kanan. Paralisis pita
suara merupakan kelainan otot intrinsik laring yang sering ditemukan dalam
klinik. Dalam menilai tingkat pembukaan rimaglotis dibedakan dalam 5 posisi
pita suara, yaitu posisi median, posisi paramedian, posisi intermedian, posisi
abduksi ringan dan posisi abduksi penuh. Pada posisi median kedua pita suara
terdapat di garis tengah, pada posisi paramedian pembukaan pita suara
berkisar antara 3-5 mm dan pada posisi intermedian 7 mm. Pada posisi
abduksi ringan pembukaan pita suara kira-kira 14 mm dan pada abduksi penuh
18-19 mm.1
Gambaran posisi pita suara dapat bermacam-macam tergantung dari
otot mana yang terkena. Nervus laring superior dan inferior bersifat motorik
dan sensorik, maka biasanya paralisis motorik terdapat dengan paralisis
sensorik pada laring. Paralisis motorik otot laring dapat bersamaan
digolongkan menurut lokasi, jenis otot yang terkena atau jumlah otot yang
terkena. Penggolongan menurut lokasi, misalnya dikenal paralisis unilateral
atau bilateral. Menurut jenis otot yang terkena dikenal paralisis aduktor atau
paralisis abduktor atau paralisis tensor. Sedangkan penggolongan menurut
jumlah otot yang terkena, paralisis sempurna atau tidak sempurna. Secara
klinik paralisis otot laring dikenal unilateral midline paralysis, unilateral
incomplete paralysis, bilateral midline paralysis, complete paralysis,
adductor paralysis bilateral incomplete paralysis, thyroarythenoid muscle
paralysis dan cricothyroid muscle paralysis.1
Disfonia adalah gejala yang umum terjadi pada banyak penyakit.
Penting untuk diketahui bahwa pasien dengan kanker kepala dan leher
mungkin datang dengan disfonia. Dalam kelompok ini, kegagalan untuk
mengevaluasi laring dapat menunda diagnosis kanker, mengakibatkan stadium
yang lebih tinggi, kebutuhan untuk pengobatan yang lebih agresif, dan
mengurangi tingkat kelangsungan hidup. Kondisi lain yang menyebabkan
disfonia adalah neurologis misalnya, kelumpuhan pita suara, disfonia
spasmodik (DS), tremor esensial, penyakit Parkinson, sklerosis lateral
amiotrofik, sklerosis multipel, gastrointestinal (misalnya, refluks, esofagitis
eosinofilik), reumatologi/autoimun (misalnya, artritis reumatik, sindrom
Sjögren, sarkoidosis, amiloidosis, granulomatosis dengan poliangiitis),
muskuloskeletal (misalnya, disfonia ketegangan otot, fibromyalgia,
cervicalgia), psikologis (gangguan suara fungsional), trauma (misalnya,
fraktur laring, cedera inhalasi, cedera iatrogenik, trauma tumpul/penetrasi),
dan infeksi (misalnya kandidiasis). Prevalensi disfonia dalam kondisi ini
bervariasi. Misalnya, pasien dengan SD atau distonia laring lainnya hampir
secara universal bermanifestasi dengan disfonia. Sebaliknya, tidak semua
pasien refluks mengalami disfonia.9
Disfonia fungsional merupakan disfonia tanpa ditemukannya gangguan
organik pada laring, disfonia ini terjadi karena abnormalitas tonus otot pita
suara yang disebabkan oleh kebiasaan bersuara (vocal abuse), gangguan
emosional dan psikogenik. Sedangkan disfonia organik merupakan disfonia
yang timbul karena adanya kelainan organik pada pita suara seperti laringitis
akut, laringitis kronis, tumor jinak, tumor ganas, dan trauma laring. Selain itu,
disfonia juga dapat disebabkan karena gangguan internal seperti refluk
laringoesofageal, lipoma, tuberkulosis dan dapat disebabkan juga karena
gangguan neurologis berupa parese pita suara.10

G. PATOFISIOLOGI
Fungsi laring adalah sebagai proteksi jalan nafas, respirasi dan fonasi.
Saat inspirasi pita suara abduksi dan saat ekspirasi aduksi. Sebelum fonasi,
pita suara abduksi secara cepat agar udara masuk ke saluran nafas (fase
inspirasi sebelum fonasi) selanjutnya pita suara aduksi karena berkontraksinya
otot krikoaritenoid lateral. Suara dihasilkan mulai dari udara paru-paru yang
dikeluarkan melewati pita suara yang aduksi sampai menimbulkan vibrasi
berulang dari pita suara (osilasi). Saat pita suara menutup, udara dari paru
melewati daerah yang sempit, akan mengakibatkan tekanan negatif pada
daerah sekitarnya, sehingga mukosa pita suara seperti menarik satu sama lain
(efek Bernauli), saat tekanan udara sub glotis meningkat (di bawah pita suara
yang aduksi) tingkat mencapai penekanan pada tahanan pada pita suara
menyebabkan pita suara terpisah lalu merangsang terjadinya siklus vibrasi pita
suara, terjadinya vibrasi Buek menimbulkan terbentuknya suara. Vibrasi pita
suara terdiri dari gerakan dasar dan relatif. Gerakan dasar yaitu gerakan
mediolateral dari otot vokalis dan ligamen vokalis. Gerakan relatif yaitu
gerakan dari mukosa superfisial techadap otot vokalis Gerakan selama fonasi.
relatif ini menghasilkan gelombang pada permukaan epitel yang disebut
"traveling wave motion" (Gambar 14). Kelainan yang menimbulkan gangguan
vibrasi pita suara, abnormalitas tonus otot, penutupan pita suara yang tidak
komplit, paralisis pita suara, atrofi pita suara dapat menimbulkan disfonia.3

Gambar 14. a.Gerakan dasar; b. Travelling wave motion.3

H. FAKTOR RISIKO
Disfonia mempengaruhi pasien dari segala usia dan jenis kelamin
tetapi lebih umum pada orang yang menggunakan suara mereka dalam
pekerjaan mereka seperti penyanyi, guru, dan operator pusat panggilan adalah
beberapa contoh pekerjaan yang berisiko. Anak laki-laki dalam rentang usia 8
hingga 14 tahun, orang dewasa berusia di atas 65 tahun, dan orang yang
merokok juga lebih mungkin mengalami disfonia.11
Kapan Saya Harus Menemui Penyedia Layanan Kesehatan tentang
Suara Serak Saya?
 Disfonia tidak hilang atau hilang dalam 7 hingga 10 hari, terutama jika
pasien merokok
 Disfonia tidak menderita pilek atau flu
 Batuk darah
 Kesulitan menelan
 Benjolan di leher
 Kehilangan atau perubahan dalam suara yang berlangsung lebih lama dari
beberapa hari
 Rasa sakit saat berbicara atau menelan
 Perubahan suara disertai dengan pernapasan yang tidak mudah
 Pekerjaan sebagai pemain vokal (penyanyi, guru, pembicara publik) dan
tidak dapat melakukan pekerjaan Anda

I. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan disfonia meliputi diagnosis etiologik dan terapi yang
sesuai dengan etiologi tersebut. Diagnosis ditegakan melalui anamnesis,
pemeriksaan klinik dan pemeriksaan penunjang.1
1. Anamnesis
Anamnesis harus lengkap dan terarah meliputi jenis keluhan
gangguan suara, lama keluhan, progesifitas, keluhan yang menyertai,
pekerjaan, keluarga, kebiasaan merokok, minum kopi atau alkohol, hobi
atau aktifitas diluar pekerjaan, penyakit yang pernah atau sedang diderita,
alergi, lingkungan tempat tinggal dan bekerja dan lain-lain.1
2. Pemeriksaan klinik dan penunjang
Pemeriksaan klinik meliputi pemeriksaan umum (status generalis),
pemeriksaan THT termasuk pemeriksaan laringoskopi tak lang- sung
untuk melihat laring melalui kaca laring atau dengan menggunakan
teleskop laring baik yang kaku (rigid telescope) atau serat optic (fiberoptic
telescope). Pengunaan teleskop ini dapat dihubungkan dengan alat video
(video laringoskopi) sehingga akan memberikan visualisasi laring (pita
suara) yang lebih jelas baik dalam keadaan diam (statis) maupun pada saat
begerak (dinamis). Selain itu juga dapat dilakukan dokumentasi hasil
pemeriksaan untuk tindak lanjut hasil pengobatan. Visualisasi laring dan
pita suara secara dinamis akan lebih jelas dengan menggunakan
stroboskop (video stroboskopi) dimana gerakan pita suara dapat
diperlambat (slowmotion) sehingga dapat terlihat getaran (vibrasi) pita
suara dan gelombang mukosanya (mucosal wave). Dengan bantuan alat
canggih ini diagnosis anatomis dan fung- sional menjadi lebih akurat.1
Selain secara anatomis fungsi laring dan pita suara juga dapat
dinilai dengan menganalisa produk yang dihasilkanya yaitu suara. Analisis
suara dapat dilakukan secara perseptual yaitu dengan mendengarkan suara
dan menilai derajat (grade), kekasaran (roughness), keterengahan
(breathyness), kelemahan (astenisitas) dan kekakuan (strain). Saat ini juga
telah berkembang analisis akustik dengan menggunakan program
komputer seperti CSL (Computerized Speech Laboratory), Multyspeech,
ISA (Intelegence Speech Analysis) dan MDVP (Multy Dimensional Voice
Programe). Hasil pemeriksaan analisis akustik ini berupa nilai parameter-
parameter akustik dan spektrogram dari gelombang suara yang dianalisis.
Parameter akustik dan spektrogram ini dapat dibandingkan antara suara
normal dan suara yang mengalami gangguan. Alat ini juga dapat
digunakan untuk menilai tindak lanjut (follow up) hasil terapi.1
Terkadang diperlukan pemeriksaan laring secara langsung (direct
laringoscopy) untuk biopsi tumor dan menetukan perluasannya (staging)
atau bila diperlukan tindakan (manipulasi) bagian-bagian tertentu laring
seperti aritenoid, plika vokalis, plika ventrikularis, daerah komisura
anterior atau subglotik. Laringoskopi langsung dapat menggunakan
teleskop atau mikroskop (mikrolaringoskopi). Pemeriksaan penunjang lain
yang diperlukan meliputi pemeriksaan laboratorium, radiologi,
elektromiografi (EMG), mikrobiologi dan patologi anatomi. Pengobatan
Pengobatan disfonia sesuai dengan kelainan atau penyakit yang menjadi
etiologinya. Terapi dapat berupa medikamentosa, vocal hygeane, terapi
suara dan bicara (Voice-speeech therapy) dan tindakan operatif. Tindakan
operatir untuk mengatasi gangguan suara atau disfonia disebut
Phonosurgery.1

J. DIAGNOSIS BANDING
Kelainan laring dapat berupa kelainan kelumpuhan pita suara.
kongenital, peradangan, tumor lesi jinak serta kelumpuhan pita suara.1
1. KELAINAN KONGENITAL
Kelainan ini dapat berupa laringomalasia, stenosis subglotik,
selaput di laring, kista kongenital, hemangioma dan fistel laringotrakea-
esofagus. Pada bayi dengan kelainan kongenital pada laring dapat
menyebabkan gejala sumbatan jalan napas, suara tangis melemah sampai
tidak ada sama sekali, serta kadang-kadang terdapat juga disfagia.1
a. LARINGOMALASIA
Laringomalasia (LM) merupakan keadaan yang
menggambarkan kolapsnya struktur supraglotis laring selama inspirasi
sehingga mengakibatkan menyempitnya aliran udara selama
inspirasi.1–4 Sekitar 60-75 % kasus stridor kongenital disebabkan oleh
LM.12
Etiologi pasti dari Laringomalasia sampai sekarang masih
belum diketahui. Terdapat beberapa teori yang menjelaskan tentang
penyebab laringomalasia, yaitu teori imaturitas kartilago, abnormal
anatomi dan imaturitas neuromuscular.12
1) Imaturitas Kartilago
Menurut teori ini flaksiditas dari laring diakibatkan oleh
terlambatnya maturitas kartilago yang membentuk laring. Teori ini
kemudian tidak begitu diterima karena pemeriksaan histologi
kartilago pada pasien Laringomalasia yang mempunyai gejala
menunjukkan jaringan kartilago dengan fibroelastin yang normal.12
2) Abnormalitas Anatomi
Menurut teori ini, laringomalasia diakibatkan oleh
terdapatnya jaringan laring yang berlebihan pada bayi. Laring pada
bayi lebih lunak dan lebih rentan mengalami edema mukosa.
Sering didapatkan epiglotis yang omega shapednya menghilang
(tubular shape), adanya jaringan/mukosa yang berlebihan yang
nantinya akan mengakibatkan terjadinya Laringomalasia.
Penelitian akhir-akhir ini juga mendapatkan hubungan yang kuat
antara Laringomalasia dengan gastresophageal reflux disease
(GERD) dan laringopharingeal refluks (LPR). Studi menunjukkan
hampir 80% pasien laringomalasia juga mengalami refluks, tetapi
hal ini masih menjadi perdebatan apakah penyakit refluks ini
mengakibatkan LM/ LPR atau akibat tekanan negatif intratoraks
pada pasien LM yang memicu refluks dan memperparah edema
laring.12
3) Imaturitas Neuromuskular
Teori lain yang menjelaskan terjadinya laringomalasia ini
adalah peran dari lemahnya kontrol neuromuskular yang
mengakibatkan hipotonus relatif pada otot dilator supraglotis yang
mengakibatkan stuktur supraglotis akan kolaps dan tertutup.
Kelainan pada nervus Vagus akan mengakibatkan menurunnya
tonus laring sehingga terjadi kolaps struktur laring dan gangguan
mekanisme menelan yang memicu obstuksi jalan nafas dan
gangguan menelan. Hal ini terjadi akibat tidak berkembangnya
sistem saraf pusat, terutama nervus perifer dan batang otak yang
berperan dalam mengontrol pernafasan dan menjaga patensi jalan
nafas. Refleks laryngeal adduktor merupakan refleks nervus vagus
yang berperan dalam fungsi laring dan fonasi. Aktivasi serabut
aferen dari saraf ini diperantarai oleh nervus Laringeus superior
yang terletak di lipatan ariepiglotis. Rangsangan pada saraf ini
kemudian diteruskan ke nukleus batang otak dan memerintahkan
serabut motorik untuk mengatur pernafasan dan menelan. Adanya
kelainan pada jalur neuromuskular ini diduga menjadi etiologi
terjadinya laringomalasia serta keluhan dalam makan.12
Diagnosis laringomalasia didapatkan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik dan konfirmasi dengan pemeriksaan Flexible
Fibreoptic Laryngoscopy (FFL) dalam keadaan sadar. Gejala klasik
laringomalasia adalah didapatkannya stridor inspirasi yang makin berat
ketika pasien gelisah, menangis, menyusu, makan dan tidur terlentang.
Hal lain yang perlu didapatkan adalah riwayat kelahiran pasien
diantaranya berat dan panjang badan saat lahir, usia kehamilan saat
lahir, kelainan genetik atau penyakit komorbid lainnya. Pada
pemeriksaan fisik yang diperlukan adalah berat dan panjang anak saat
pemeriksaan, suara nafas saat inspirasi dan ekspirasi, gerakan dada
untuk menilai adanya retraksi atau pectus excavatum, serta penilaian
perfusi jaringan. Pemeriksaan FFL dilakukan dalam keadaan tanpa
sedasi dengan posisi pasien duduk tegak lurus dipangkuan orang tua,
skope dimasukkan melalui lobang hidung, dinilai kelainan yang
terdapat pada nasofaring, orofaring, hipofaring dan struktur laring.
Pada pemeriksaan FFL ini dapat diamati pergerakan dinamis dari
struktur laring selama pernafasan spontan dan bisa membedakan
laringomalasia dengan penyebab lain stridor inspirasi seperti paralisis
pita suara atau kista laring. Kolaps jaringan supraglotik dan obstruksi
selama inspirasi merupakan patognomonis laringomalasia. Pada laring
akan didapatkan prolap kartilago aritenoid, mukosa supra-aritenoid,
dan kartilago epiglotis selama inspirasi, pemendekan lipatan aritenoid
dan epiglotis selama inspirasi, gambaran tubular shaped epiglotis serta
edema posterior glotis (gambar 15).12
Gambar 15. Laringomalasia. A. Tubular epiglotis dan aritenoid
redundant; B. Pemendekan lipatan ariepiglotis; C. Prolaps mukosa
aritenoid saat inspirasi.12
Berdasarkan anatomi yang terlibat, Olney pada tahun 1999
mengklasifikasikan laringomalasia menjadi 3 tipe yaitu: 1. kolaps
posterior jika yang terlibat mukosa aritenoid redundant atau kartilago
cuneiform, 2. kolaps lateral jika terjadi pemendekan lipatan
ariepiglotis, 3. kolaps anterior jika terjadi epiglotis retrofleksi (gambar
16). 12

Gambar 16. Tipe Laringomalasia


Kelainan ini paling sering ditemukan. Pada stadium awal
ditemukan epiglotis lemah, sehingga pada waktu inspirasi epiglotis
tertarik ke bawah dan menutup rima glotis. Dengan demikian bila
pasien bernapas, napasnya berbunyi (stridor). Stridor ini merupakan
gejala awal, dapat menetap dan mungkin pula hilang timbul, ini
disebabkan lemahnya rangka laring. Tanda sumbatan jalan napas dapat
terlihat dengan adanya cekungan (retraksi) di daerah suprasternal,
epigastrium, interkostal, dan supraklavikular. Bila sumbatan laring
makin hebat, sebaiknya dilakukan intubasi endotrakea. Jangan
dilakukan trakeostomi, sebab seringkali laringomalasia disertai dengan
trakeomalasia. Orang tua pasien dinasihatkan supaya lekas datang ke
dokter bila terdapat peradangan di saluran napas bagian atas, seperti
pilek dan lain-lain.1,12
Dalam penatalaksanaan pasien laringomalasia, perlu
diperhatikan berat dan ringannya gejala saat pertama didiagnosis,
adanya faktor komorbid serta adanya perbaikan atau perburukan gejala
setelah terapi awal. Penatalaksanaan laringomalasia dibagi atas terapi
konservatif dan tindakan pembedahan.
1) Konservatif
Terapi konservatif merupakan terapi pilihan pada pasien
laringomalasia derajat ringan dan sedang tanpa keluhan yang
berhubungan dengan makan. Pasien harus dikontrol dan observasi
tumbuh kembang serta keluhan saluran nafas yang berhubungan
dengan makan. Jika terdapat sedikit keluhan makan, terapi
konservatif dengan posisi makan tegak lurus, asupan sedikit-sedikit
dan sering dengan ASI atau formula yang dipadatkan, dan
medikamentosa untuk mencegah refluks asam lambung.
Lansoprazole 7,5 mg sekali sehari dan domperidone (1mg/kg/hari)
bisa digunakan sebagai terapi anti refluks asam lambung. 12
2) Pembedahan
Tindakan pembedahan dilakukan pada semua pasien
laringomalasia derajat berat, pasien laringomalasia derajat ringan
atau sedang yang mempunyai penyakit komorbid seperti
trakeomalasia atau stenosis subglotis atau pasien yang gagal
dengan terapi konservatif, pasien laringomalasia yang gagal
tumbuh kembang dan riwayat aspirasi berulang. Pada pasien yang
akan dilakukan tindakan pembedahan, sebelum dilakukan tindakan
sebaiknya pasien diberikan antagonis reseptor H2 dosis tinggi
(3mg/kgBB) atau PPI sekali sehari. Beberapa jenis tindakan
pembedahan untuk laringomalasia adalah: supraglotoplasti dan
epiglotoplasti. Pemilihan jenis operasi berdasarkan tipe
laringomalasia berupa supraglotoplasti dengan melakukan eksisi
mukosa aritenoid redundant pada tipe I, insisi lipatan ariepiglotis
yang memendek pada tipe II dan epiglotoplasti pada LM tipe III
(gambar 17).12

Gambar 17. Pilihan Pembedahan sesuai tipe Laringomalasia.12

b. STENOSIS SUBGLOTIK
Pada daerah subglotik, 2-3 cm dari pita suara, sering terdapat
penyempitan (stenosis). Kelainan yang dapat menyebabkan stenosis
subglotis ialah:
1) Penebalan jaringan submukosa dengan hiperplasia kelenjar mukus
dan fibrosis
2) Kelainan bentuk tulang rawan krikoid dengan lumen yang lebih
kecil
3) Bentuk tulang rawan krikoid normal dengan ukuran lebih kecil
4) Pergeseran cincin trakea pertama ke arah atas belakang ke dalam
lumen krikoid
Gejala stenosis subglotik ialah stridor, dispnea, retraksi di
suprasternal, epigastrium, interkostal serta subklavikula. Pada stadium
yang lebih berat akan ditemukan sianosis dan apnea, sebagai akibat
sumbatan jalan napas, sehingga mungkin juga terjadi gagal pernapasan
(respiratory distress). 1

Gambar 18. Mapping of various pathologies. (A) Grade 3 isolated


subglottic stenosis; (B) type 4 glottic web; (C) type 4 posterior glottic
stenosis; (D) cervical, moderate, 1-3 cm isolated tracheal stenosis.13
Terapi stenosis subglotis tergantung pada kelainan yang
menyebabkannya. Pada umumnya terapi stenosis subglotis yang
disebabkan oleh kelainan submukosa ialah dilatasi atau dengan laser
CO2. Stenosis subglotik yang disebabkan oleh kelainan bentuk tulang
rawan krikoid dilakukan terapi pembedahan dengan melakukan
rekonstruksi.1,13
c. SELAPUT DI LARING (LARYNGEAL WEB)
Di antara anomali kongenital laring, selaput di laring (laryngeal
web) jarang terjadi. Rekanalisasi tuba laringotrakeal yang tidak
sempurna adalah penyebab yang umum. Bila terjadi kegagalan total
rekanalisasi, maka hal tersebut menyebabkan atresia laring. Suatu
selaput yang transparan (web) dapat tumbuh di daerah glotis,
supraglotik atau subglotik. Selaput di laring biasanya terletak di
anterior setinggi true vocal folds; lokasi lain termasuk daerah
interarytenoid posterior, daerah subglottic atau supraglottic. Selaput ini
terbanyak tumbuh di daerah glotis (75%), subglotik (13%) dan di
supraglotik sebanyak 12%.

Gambar 19. (a) Laryngeal stroboscopy picture showing the anterior


Laryngeal Web; (b) Intra operative Micro laryngoscopy picture
showing the web, with endotracheal tube in situ.14
Gejala yang muncul adalah disfonia ringan hingga obstruksi
jalan napas, tergantung pada ukuran selaput dan bahkan stridor namun
jarang terjadi. Terdapat gejala sumbatan laring. Diagnosis dilakukan
dengan laringoskopi dan penatalaksanaannya berupa eksisi
laringoskopi jaringan menggunakan instrumen dingin atau laser CO2
dan penempatan lunas silastik, dan untuk terapinya dilakukan bedah
mikro laring untuk membuang selaput itu dengan memakai
laringoskop suspensi.1,14

d. KISTA KONGENITAL
Kista sering tumbuh di pangkal lidah atau di plika ventrikularis.
Untuk penanggulangannya ialah dengan mengangkat kista itu dengan
bedah mikro laring.1

Gambar 20. (A) Right vocal cord cyst. (B) After endoscopic excision.15

Gambar 21. (A) Cystic mass over the anterior wall of subglottis. (B)
After endoscopic excision.15
e. HEMANGIOMA
Hemangioma biasanya timbul di daerah subglotik. Sering pula
disertai dengan hemangioma di tempat lain, seperti di leher. Gejalanya
ialah terdapat hemoptisis, dan bila itu besar, terdapat juga gejala
sumbatan laring.1

Gambar 22. Hemangioma on left lateral wall of subglottis.16

Gambar 23. Right subglottic hemangioma.16


Terapinya ialah dengan bedah laser, kortikosteroid atau dengan
obat-obat skleroting.1
f. FISTEL LARINGOTRAKEA-ESOFAGAL
Kelainan ini terjadi karena kegagalan penutupan dinding
posterior kartilago krikoid. Terdapat gejala pneumonia, oleh karena
aspirasi cairan dari esofagus dan kadang-kadang terdapat juga gejala
sumbatan laring.1

Gambar 24. Bronchoscopy image on DOL 1 showing the


tracheoesophageal fistula.17

2. PERADANGAN LARING
Dapat berupa laringitis akut atau laringitis kronis.
a. LARINGITIS AKUT
Radang akut laring, pada umumnya merupakan kelanjutan dari
rinofaringitis (common cold). Pada anak laringitis akut ini dapat
menimbulkan sumbatan jalan napas, sedangkan pada orang dewasa
tidak secepat pada anak.1
Etiologi dari laryngitis ini ialah bakteri yang menyebabkan
radang lokal atau virus yang menyebabkan peradangan sistemik.
Gejala dan tanda pada laringitis akut adalah terdapat gejala radang
umum, seperti demam, dedar (malaise), serta gejala lokal, seperti suara
parau sampai tidak bersuara sama sekali (afoni), nyeri ketika menelan
atau berbicara, serta gejala sumbatan laring. Selain itu terdapat batuk
kering dan lama kelamaan diserta dengan dahak kental.1
Pada pemeriksaan tampak mukosa laring hiperemis,
membengkak, terutama di atas dan bawah pita suara. Biasanya terdapat
juga tanda radang akut di hidung atau sinus paranasal maupun paru.
Terapinya adalah istirahat berbicara dan bersuara selama 2-3 hari,
menghirup udara lembab, menghindari iritasi pada faring dan laring,
misalnya merokok, makanan pedas atau minum es. Pemberian
antibiotik apabila peradangan berasal dari paru. Bila terdapat sumbatan
laring. dilakukan pemasangana pipa endotrakea, atau trakeostomi.1

b. LARINGITIS KRONIS
Laringitis kronis sering merupakan radang kronis yang
disebabkan oleh sinusitis kronis, septum yang berat, polip hidung atau
bronkitis kronis. Mungkin juga disebabkan oleh penyalahgunaan suara
(vocal abuse) seperti berteriak-teriak atau biasa berbicara keras. Pada
peradangan ini seluruh mukosa laring hiperemis dan menebal, dan
kadang-kadang pada pemeriksaan patologik terdapat metaplasi
skuamosa.
Gejalanya ialah suara parau yang menetap, rasa tersangkut di
tenggorok, sehingga pasien sering mendehem tanpa mengeluarkan
sekret, karena mukosa yang menebal. Pada pemeriksaan tampak
mukosa menebal, permukaannya tidak rata dan hiperemis. Bila
terdapat daerah yang dicurigai menyerupai tumor, maka perlu
dilakukan biopsi. Terapi yang terpenting ialah mengobati peradangan
di hidung, faring serta bronkus yang mungkin menjadi penyebab
laringitis kronis itu. Pasien diminta untuk tidak banyak berbicara
(vocal rest).1
c. LARINGITIS KRONIS SPESIFIK
Yang termasuk dalam laringitis kronis spesifik ialah laringitis
tuberkulosis dan laringitis leutika.1
1) LARINGITIS TUBERKULOSIS
Penyakit ini hampir selalu sebagai akibat tuberkulosis paru.
Sering kali setelah diberi pengobatan, tuberkulosis parunya sembuh
hetapi laringitis tuberkulosisnya menetap. Hal ni terjadi karena
struktur mukosa laring yang sangat lekat pada kartilago serta
vaskularisasi yang tidak sebaik paru, sehingga bila infeksi sudah
mengenai kartilago, pengobatannya lebih lama. Patogenesis
laryngitis tuberkulosa adalah infeksi kuman ke laring yang dapat
terjadi melalui udara pernapasan, sputum yang mengandung
kuman, atau penyebaran melalui aliran darah atau limfa.
Tuberkulosis dapat menimbulkan gangguan sirkulasi. Edema dapat
timbul di fossa interaritenoid, kemudian ke aritenoid, plika vokalis,
plika ventrikularis, epiglotis, serta terakhir ialah dengan subglotik.1
Gambaran klinis Secara klinis, laringitis tuberkulosis terdiri
dari 4 stadium, yaitu: stadium infiltrasi, stadium ulserasi, stadium
perikondritis, dan stadium pembentukan tumor.1
a) Stadium infiltrasi
Yang pertama-tama mengalami pembengkakan dan
hiperemis ialah mukosa laring bagian posterior. Kadang-
kadang pita suara terkena juga. Pada stadium ini mukosa laring
berwarna pucat. Kemudian di daerah submukosa terbentuk
tuberkel, sehingga mukosa tidak rata lampak bintik-bintik yang
berwarna kebiruan Tuberkel itu makin membesar, serta
beberapa tuberkel yang berdekatan bersatu, sehingga mukosa di
atasnya meregang Pada suat saat, karena sangat meregang,
maka akan pecah dan timbul ulkus.
b) Stadium ulserasi
Ulkus yang timbul pada akhir stadium infiltrasi membesar.
Ulkus ini dangkal, dasarnya ditutupi oleh perkijuan, serta
sangat dirasakan nyeri oleh pasien.
c) Stadium perikondritis
Ulkus makin dalam, sehingga mengenai kartilago laring. dan
yang paling sering terkena ialah kartilago aritenoid dan
epiglotis. Dengan demikian terjadi kerusakan tulang rawan,
sehingga terbentuk nanah yang berbau, proses ini akan
melanjut, dan terbentuk sekuester (squester). Pada stadium ini
keadaan umum pasien sangat buruk dan dapat meninggal
dunia. Bila pasien dapat bertahan maka proses penyakit
berlanjut dan masuk dalam stadium terakhir yaitu stadium
fibrotuberkulosis.
d) Stadium fibrotuberkulosis
Pada stadium ini terbentuk fibrotuberkulosis pada
dinding posterior, pita suara dan subglotik. Gejala klinis
stadium ini adalah tergantung pada stadiumnya, disamping itu
terdapat gejala sebagai berikut: rasa kering, panas dan tertekan
di daerah suara parau berlangsung berminggu-minggu,
sedangkan pada stadium lanjut dapat timbul afoni, hemoptisis,
nyeri waktu menelan yang lebih hebat bila dibandingkan
dengan nyeri karena radang lainnya, merupakan tanda yang
khas, keadaan umum buruk, pada pemeriksaan paru (secara
klinis dan radiologik) terdapat proses aktif (biasanya pada
stadium eksudatif atau pada pembentukan kaverne).1
Gambar 25. (A and B): Appearance of fiber optic laryngoscope,
the mass formation slick of redness in the left third anterior of the
vocal cords (white arrow).18

Gambar 26. Appearance tissue biopsy; multinucleated giant cell


(white arrow).18
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala dan
pemeriksaan klinis. Laboratorium, foto Rontgen toraks,
laringoskopi langsung/tak langsung, pemeriksaan patologi-
anatomik. Terapi yang diberikan adalah Obat antituberkulosis
primer dan sekunder, kemudian pasien dianjurkan untuk istirahat
suara. Diagnosis banding stadium ini adalah laringitis luetika,
karsinoma laring, aktinomikosis laring, lupus vulgaris laring.1
Prognosis penyakit ini tergantung pada keadaan sosial
ekonomi pasien, kebiasaan hidup sehat serta ketekunan berobat.
Bila diagnosis dapat ditegakkan pada stadium dini maka
prognosisnya baik.1

2) LARINGITIS LUETIKA
Radang menahun ini jarang ditemukan. Seperti telah
diuraikan dalam limu Penyakit Kulit dan Kelamin, terdapat 4
stadium lues. Dalam hubungan penyakit di laring yang perlu
dibicarakan ialah lues stadium tertier (ketiga) yaitu pada stadium
pembentukan guma. Bentuk ini kadang-kadang menyerupai
keganasan laring. Gambaran klinik yang dapat ditemukan yaitu
apabila guma pecah, maka timbul ulkus, ulkus ini mempunyai sifat
yang khas, yaitu sangat dalam, bertepi dengan dasar yang keras,
berwarna merah tua serta mengeluarkan eksudat yang berwarna
kekuningan. Ulkus ini tidak menyebabkan nyeri dan menjalar
sangat cepat, sehingga bila tidak terbentuk proses ini akan menjadi
perikondritis, suara parau dan batuk kronis. Disfagia timbul bila
guma terdapat dekat introitus esofagus. Diagnosis ditegakkan
selain dari pemeriksaan laringoskopik juga dengan pemeriksaan
serologic. Komplikasi yang terjadi adalah bila terjadi
penyembuhan spontan dapat terjadi stenosis laring, karena
terbentuk jaringan parut. Terapi yang diberikan adalah penisilin
dengan dosis tinggi, pengangkatan sekuester dilakukan bila
terdapat sumbatan laring karena stenosis, dilakukan trakeostomi. 1

3. LESI JINAK LARING


a. NODUL PITA SUARA (VOCAL NODULE)
Kelainan ini biasanya disebabkan oleh penyalahgunaan
suara dalam waktu lama, sepert pada seorang guru, penyanyi dan
sebagainya. Kelainan ini juga disebut "singer's node". Terdapat
suara parau, kadang-kadang disertai dengan batuk. Pada
pemeriksaan terdapat nodul di pita suara sebesar kacang hijau atau
lebih kecil, berwarna keputihan. Predileksi nodul terletak di
sepertiga anterior pita suara dan sepertiga medial. Nodul biasanya
bilateral banyak dijumpai pada wanita dewasa muda.1

Gambar 27. (A) Vocal fold nodules on laryngoscopy. (B) Vocal


fold nodules on ultrasound.19
Diagnosis ditegakkan berdasarkan dengan pemeriksaan
laring tak langsung/langsung. Nodul tersebut terjadi akibat trauma
pada mukosa pita suara karena pemakaian suara berlebihan dan
dipaksakan Untuk penanggulangan awal adalah istirahat bicara dan
terapi suara (Voice Therapy). Tindakan bedah mikro laring
dilakukan apabila ada kecurigaan keganasan, atau lesi fibrotik.
Nodul kemudian diperiksa patologi anatomik. Gambaran
patologiknya ialah epitel gepeng berlapis yang mengalami
proliferasi dan di sekitarnya terdapat jaringan yang mengalami
kongesti.1

3) POLIP PITA SUARA


Polip pita suara biasanya bertangkai, Lesi bias terletak di
sepertiga anterior, sepertiga tengah bahkan seluruh pita suara. Lesi
biasanya unilateral, dapat terjadi pada segala usia umumnya orang
dewasa.
Gejalanya sama seperti pada nodul yaitu suara parau.
Terdapat 2 jenis polip yaitu mukoid dan angiomatosa. Polip terjadi
akibat proses peradangan menahun dari lapisan subepitel. Faktor
merokok dan penggunaan suara berlebihan diduga turut berperan.
Polip mukoid berwarna keabu-abuan dan jernih sedangkan polip
angiomatosa berwarna merah tua karena perbedaan tingkat
vaskularisasinya. Penatalaksanaan standar adalah tindakan bedah
mikro laring dan pemeriksaan patologi anatomi. 1

Gambar 28. A. a haemorrhagic polyp of the right true vocal Fold;


B. a non-haemorrhagic polyp of the right true vocal fold.20

4) KISTA PITA SUARA


Kista pita suara pada umumnya termasuk kista retensi
kelenjar liur minor laring, terbentuk akibat tersumbatnya kelenjar
tersebut. Faktor iritasi kronis, refluks gastroesofageal dan infeksi
diduga berperan sebagai faktor predisposisi, Kista terletak di dalam
lamina propria superfisialis, menempel pada membrane basal epitel
atau ligamentum vokalis. Ukurannya biasanya tidak besar sehingga
jarang menyebabkan sumbatan jalan napas atas. Gejala utama
adalah suara parau. Pengobatannya dengan tindakan bedah mikro
laring.1

Gambar 29. Kista pita suara.21


5) KELUMPUHAN PITA SUARA
Kelumpuhan pita suara adalah terganggunya pergerakan
pita suara karena disfungsi saraf ke otot-otot laring Hal ini
merupakan gejata suatu penyakit dan bukan diagnosis.
Kelumpuhan ini dapat kongenital dan didapat Pada kelumpuhan
pita suara kongenital pada bayi, gejala tersering adalah stridor
Kelainan ini tidak selalu disertai kelainan bawaan lainnya. Akan
tetapi hidrosefalus sering dikaitkan dengan keadaan ini. Penyebab
pasti kelumpuhan pita suara kongenital belum dikelahui secara
pasti diduga kelainan pada batang otak atau trauma kepala pada
proses kelahiran. 1

4. TUMOR GANAS LARING


Tumor ganas laring merupakan tumor ganas tersering kedua di
daerah kepala dan leher, tumor ini kejadiannya berhubungan dengan
merokok dan konsumsi alkohol. Terdapat perubahan trend epidemiologi
dan tatalaksana dari keganasan ini. Sebagian besar tumor ganas laring
berasal dari glotis dan sebagian besar merupakan karsinoma sel skuamosa.
Laring merupakan organ yang berfungsi dalam proses fonasi, respirasi dan
menelan, sehingga gangguan fungsi dari laring akan berakibat
terganggunya atau hilangnya fungsi ini.4
Seperti keganasan umumnya, banyak faktor yang berkontribusi
dalam terjadinya keganasan, hal yang sama juga pada tumor ganas laring
ini, namun merokok merupakan faktor yang paling berperan, risiko akan
meningkat menjadi 4,4 kali pada perokok ½ bungkus pehari dan 10,4 kali
pada perokok yang lebih dari 2 bungkus per hari. Risiko tumor ganas
laring juga meningkat pada peminum alkohol, terutama tumor ganas
supraglotis.4
Gejala dari tumor glotis dapat berupa suara serak yang menetap
lebih dari tiga minggu. Nyeri menelan dan sulit menelan lebih dari enam
minggu, rasa ada yang mengganjal di tenggorok serta adanya otalgia
ipsilateral pada pasien yang berusia lebih dari 50 tahun dengan riwayat
merokok atau minum alkohol harus menjadi perhatian adanya keganasan
di laring. Penurunan berat badan dan bunyi nafas (stridor) meningkatkan
kecurigaan adanya suatu keganasan.4
Diagnosis dari karsinoma laring ditegakkan berdasarkan riwayat
(anamnesis), pemeriksaan fisik laring dengan kaca laring dan laringoskopi
serta konfirmasi patologi melalui biopsi serta pemeriksaan radiologi.
Tujuan dari pemeriksaan adalah untuk menilai perluasan tumor,
pergerakan pita suara, patensi jalan nafas, dan perluasan lokoregional.
Untuk tujuan ini dilakukan pemeriksaan lengkap pada kepala dan leher.
Pemeriksaan laring (laringoskopi indirek) dengan kaca dapat melihat
adanya massa di laring, namun tidak jarang sulit menilai secara lengkap
pada bagian komisura anterior, untuk evaluasi lebih lengkap dibutuhkan
pemeriksaan dengan laringoskopi fleksibel atau rigid. Pemeriksaan dengan
laringoskopi diperlukan untuk mendapatkan gambaran yang adekuat dari
perluasan permukaan tumor primer seerta pergerakan pita suara.
Gambaran yang didapatkan pada pemeriksaan laringoskopi, disamping
dideskripsikan sebaiknya juga direkam berupa photo atau video atau
dilukis yang menggambarkan batas dan perluasan dari tumor pada rekam
medis pasien (Gambar 30).4

Gambar 30. Gambar Massa di plika vokalis yang meluas ke supraglotis


(T2).4
Gambar 31. Right-sided glottis tumour as seen via flexible
laryngoscopy.22

K. PENCEGAHAN
1. Berhenti merokok, jika menggunakan jenis produk tembakau
2. Hindari minuman yang dapat membuat tubuh dehidrasi, seperti alkohol
(bir, anggur, minuman keras) dan kafein (minuman ringan, kopi)
3. Hindari asap rokok
4. Melembabkan rumah
5. Perhatikan diet Anda — hindari makanan pedas
6. Hindari berdehem atau batuk berlebihan
7. Cobalah untuk tidak menggunakan suara Anda terlalu lama atau terlalu
keras
8. Gunakan mikrofon jika memungkinkan dalam situasi di mana Anda perlu
berbicara lebih keras dari ucapan normal
9. Hindari menggunakan obat-obatan seperti antihistamines dan diuretics
10. Cari bantuan profesional jika suara Anda terluka atau parau
DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Disfoni:. dalam


Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher
Edisi Ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2012. p. 209-220
2. Hartayanti A, Putra, DGAE. Karakteristik pasien disfonia pada poliklinik
THT-KL RSUP Sanglah Denpasar. Jurnal medicina 2020; 51(1); 54-58.
3. Asyari A, Novialdi FF, Azizah N. Disfonia akibat polip pita suara. Jurnal
Majalah Kedokteran Andalas 2017; 40(1); 52-63
4. Rahman S. 2018. Diagnosis Dini Tumor Ganas Laring. Dipresentasikan
pada Pertemuan Ilmiah Nasioanal (PIN) Perhimpunan Ahli THT-KL
(PERHATI-KL) X, Banten, 15-17 November 2018.
5. Paulsen F, Waschke J. Laryng:. dalam Sobotta Atlas Anatomi Manusia
Kepala, Leher dan Neuroanatomi Jilid 3. Jakarta: EGC; 2013. p.
6. Adams GL, Boies LR, Highler PA. Disfonia: dalam Buku Ajar Penyakit
THT Edisi 6. Jakarta: EGC; 2014. p. 369-376
7. Allen E, Minutello K, Murcek BW. Anatomy, Head and Neck, Larynx
Recurrent Laryngeal Nerve. StatPearls Publishing LLC [serial on the
internet]. 2020 [cited 2019 Jul 27]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470179/
8. Gusmarina A, Novialdi, Hardisman. Karakteristik Pasien Tenggorok–
Bedah Kepala Leher Di RSUP Tahun 2010-2013. Jurnal Kesehatan
Andalas 2017; 6(1); 93-95.
9. Stachler RJ, Francis DO, Schwartz SR, Damask CC, German P, Digoy
GP, Krouse HJ, et al. Clinical Practice Guideline: Hoarseness
(Dysphonia). American Academy of Otolaryngology–Head and Neck
Surgery 2017; 00(0); 1-5
10. Naharoh S. Hubungan Profesi dengan Disfonia Di RSUP dr. Mohammad
Hoesin Periode Januari 2018–Juni 2019. Skripsi. Palembang: Kedokteran
Universitas Sriwijaya; 2019. p. 14-15.
11. Krouse HJ, Reavis CW, Stachler RJ, David O, Francis DO, Connor SO.
Plain Language Summary: Hoarseness(Dysphonia). American Academy
ofotolaryngology 2018 ;158(3); 427–431
12. Elfianto, Novaldi. Diagnosis dan Penatalaksanaan Laringomalasia. Jurnal
Kesehatan Andalas 2018; 7(2); 119-123
13. Bitar MA, Barazi RA, Barakeh R. Airway reconstruction: Review of an
approach advanced-stage to the Laryngotracheal stenosis. Brazilian journal
of otorhinolaryngology 2016; p. 2-5
14. Tiwari M, Fernandes VLG, George S, Sanzgiri VB, Khandolkar P.
Congenital Laryngeal Web: A Laryngology Rarity. International Journal
of Otolaryngology and Head & Neck Surgery 2018; 7(1); 143-147
15. Lim EH, Mohamad H, Ab Hamid SS. Congenital laryngeal cyst: A report
of 2 cases. Egyptian Journal of Ear, Nose, Throat and Allied Sciences
2017; 8(1); 187–189
16. Darrow DH. Management of Infantile Hemangiomas of the Airway.
Otolaryngol Clin N Am 2018; 51; 133–146
17. Nicole A. Wilson NA, Faria JJ, Pegoli W, Gitzelmann CA, Foito T,
Wakeman D. Esophageal atresia with tracheoesophageal fistula: A rare
variant and cautionary tale. Journal of Pediatric Surgery Case Reports
2017; 24; 21-24
18. Brahmono A, Purnami N, Yusuf M. Primary laryngeal tuberculosis. Int J
Otorhinolaryngol Head Neck Surg 2019; 5(3); 777-780
19. Ongkasuwan J, Devore D, Hollas S, Jones J, Tran B. Laryngeal
Ultrasound and Pediatric Vocal Fold Nodules. The American
Laryngological, Rhinological and Otological Society Inc 2016; 1-3
20. Baxter M, Oates J, Paddle P, Phyland D, Vallance N. Polyps. Melbourne
voice analysis centre.
21.
22. Williamson JS, Biggs TC, Ingrams D. Laryngeal cancer: an overview.
Trends In Urology & Men’s Health 2012; 14-15

Anda mungkin juga menyukai