DISFONIA
Oleh:
K1A1 15 095
Pembimbing:
Judul : Disfonia
Pembimbing
A. PENDAHULUAN
Disfonia merupakan istilah umum untuk setiap gangguan suara yang
disebabkan kelainan pada organ-organ fonasi, terutama laring, baik yang
bersifat organik maupun fungsional. Disfonia bukanlah suatu penyakit
melainkan gejala kelainan pada laring yang dapat disebabkan oleh perubahan
patologis dari proses infeksi dan inflamasi, kondisi neuromuskuler dan
kejiwaan, gangguan sistemik dan neoplasma.1,2
Keluhan gangguan suara tidak jarang kita temukan dalam klinik.
Gangguan suara atau disfonia ini dapat berupa suara parau hyaitu suara
terdengar kasar (roughness) dengan nada lebih rendah dari biasanya, suara
lemah (hipofonia), hilang suara (afonia), suara tegang dan susah keluar
(spastik), suara terdiri dari beberapa nada (diplofonia), nyeri saat suara
(odinofonia) atau ketidakmampuan mencapai nada atau intensitas tertentu.1
Setiap keadaan yang menimbulkan gangguan dalam getaran, gangguan
dalam ketegangan serta gangguan dalam pendekatan (aduksi) kedua pita suara
kiri dan kanan akan menimbulkan disfonia.1
B. ANATOMI LARING
Laring merupakan bagian yang terbawah dari saluran napas bagian
atas. Bentuknya menyerupai limas segitiga terpancung, dengan bagian atas
lebihi besar daripada bagian bawah.1
Laring terbagi atas supraglotis, glottis. Kerangka laring terdiri dari
tulang hyoid dan sejumlah tulang rawan yang saling berhubungan melalui
ligament, membrane, otot intrinsic dan ekstrinsik. Struktur anatomi yang
paling penting untuk produksi suara adalah pita suara.3
Gambar 1. Bagian (sites) dari Laring4
Bangunan kerangka laring tersusun dari satu tulang, yaitu tulang hioid,
dan beberapa buah tulang rawan. Tulang hioid berbentuk seperti huruf U yang
permukaan atasnya dihubungkan dengan lidah, mandibula dan tengkorak oleh
tendon dan otot-otot sewaktu menelan, kontraksi otot-otot ini akan
menyebabkan laring tertarik ke atas, sedangkan bila laring diam, maka otot-
otot ini bekerja untuk membuka mulut dan membantu menggerakkan lidah.
Gambar 11. Suatu sketsa oleh Dr. Chevalier .lackson, "secara skematis
menggambarkan dasar-dasar persarafan laring yang telah disederhanakan
(Dari Jackson C,Jackson CL (eds): Diseases of the Nose, Throat, and Ear. 2nd
ed. Philadelphia, WB Saunders Co, 1959).6
Saraf laringeus berasal dari nuklei ambigui yang mana ada dua di kiri
kanan medula oblongata. Di sini terjadi aktivasi fungsi autonom pernapasan
dan gerakan refleks laring. Untuk gerakan voluntar, nuklei ambigui diaktivasi
dan didominasi oleh impuls, 'perintah' berasal dari pusat pengatur di korteks.
Pusat pengatur bilateral ini mendapat 'perintah' misalnya kata-kata dari daerah
bahasa (kata) yang terletak di sisi kiri otak (pada orang yang bukan kidal),
pusat-pusat ini ditampilkan secara diagramatik sebagai penyebaran impuls
bilateral. Untuk menghindari gambaran yang rumit, maka hanya jaras eferen
yang ditunjukkan dalam skema ini. Perlu diketahui bahwa semua jaras ini
memiliki pasangan jaras-jaras aferen.1
Nervus laringis superior mempersarafi m.krikotiroid sehingga
memberikan sensasi pada mukosa laring dibawah pita suara. Saraf ini mula-
mula terletak diatas m.konstriktor faring medial di sebelah medial a.karotis
interna dan eksterna kemudian menuju ke kornu mayor tulang hyoid dan
setelah menerima hubungan dengan ganglion servikal superior membagi diri
dalam 2 cabang yaitu ramus eksternus dan ramus internus.1
Ramus eksternus berjalan pada permukaan luar m.konstriktor faring
inferior dan menuju ke m.krikotiroid, sedangkan ramus internus tertutup oleh
m.tirohioid terletak disebelah medial a.tiroid superior, menembus membrane
hiotiroid, dan bersama-sama dengan a.alaringis superior menuju ke mukosa
laring.1
Nervus laringis inferior merupakan lanjutan dari n.rekuren setelah
saraf itu memberikan cabangnya menjadi ramus kardia inferior. Nervus
rekuren kanan akan menyilang arkus aorta. Nervus laringis inferior berjalan
diantara cabang-cabang a.tiroid inferior, dan melalui permukaan mediodorsal
kelenjar tiroid akan sampai pada permukaan medial m.krikofaring. Disebelah
posterior dari sendi krikoaritenoid, saraf ini bercabang 2 menjadi ramus
anterior dan ramus posterior. Ramus anterior akan mempersarafi otot-otot
intrinsic laring bagian lateral, sedangkan ramus posterior mempersarafi otot-
otot intrinsik laring bagian superior dan mengadakan anastomosis dengan
n.laringis superior ramus internus.1
Gambar 12. Nervus laringeus rekuren.7
Suplai arteri dan drainase venosus dari laring paralel dengan suplai
sarafnya. Arteri dan vena laringea superior merupakan cabang-cabang arteri
dan vena tiroidea superior, dan keduanya bergabung dengan cabang interna
saraf laringeus superior untuk membentuk pedikulus neurovaskular superior.
Arteri dan vena laringea inferior berasal dari pembuluh tiroidea inferior dan
masuk ke laring bersama saraf Iaringeus rekurens. Pengetahuan mengenai
drainase limfatik pada laring adalah penting pada terapi kanker. Terdapat dua
sistem drainase terpisah, superior dan inferior, di mana garis pemisah adalah
korda vokalis sejati. Korda vokalis sendiri mempunyai suplai limfatik yang
buruk. Di sebelah superior, aliran limfe menyertai pedikulus neurovaskular
superior untuk bergabung dengan nodi limfatisi superior dari rangkaian
servikalis profunda setinggi os hioideus. Drainase subglotis lebih beragarn,
yaitu ke nodi limfatisi pretrakeales (satu kelenjar terlelak tepat di depan
krikoid dan disebut nodi Delphian), kelenjar getah bening servikalis profunda
inferior, nodi supraklavikularis dan bahkan nodi mediastinalis superior.6
Gambar 13. Arteri dan saraf pada Laryngx dan Radix linguae; dilihat dari
dorsal.5
C. FISIOLOGI LARING
Walaupun laring biasanya dianggap sebagai organ penghasil suara,
narnun ternyata rnempunyai tiga fungsi utama-proteksi jalan napas, respirasi
dan fonasi. Kenyataannya, secara filogenetik, laring mula-mula berkembang
sebagai suatu sfingter yang rnelindungi saluran pernapasan, sementara
perkembangan suara merupakan peristiwa yang terjadi belakangan.
Perlindungan jalan napas selama aksi menelan terjadi melalui berbagai
mekanisme berbeda. Aditus laringis sendiri tertutup oleh kerja sfingter dari
otot tiroaritenoideus dalarn plika ariepiglotika dan korda vokalis palsu, di
samping aduksi korda vokalis sejati dan aritenoid yang ditimbulkan oleh otot
intrinsik laring lainnya. Elevasi laring di bawah pangkal lidah melindungi
laring lebih lanjut dengan mendorong epiglotis dan plika ariepiglotika ke
bawah menutup aditus. Struktur ini mengalihkan makanan ke lateral, menjauhi
aditus laringis dan masuk ke sinus piriformis, selanjutnya ke introitus esofagi.
Relaksasi otot krikofaringeus yang terjadi bersamaan mempermudah jalan
makanan ke dalam esofagus sehingga tidak masuk ke laring. Di samping itu,
respirasi juga dihambat selama proses menelan melalui suatu refleks yang
diperantarai reseptor pada rnukosa daerah supraglotis. Hal ini mencegah
inhalasi makanan atau saliva. Demikian pula pada bayi, posisi laring yang
lebih tinggi memungkinkan kontak antara epiglotis dengan permukaan
posterior palatum mole. Maka bayi-bayi dapat bernapas selama laktasi tanpa
masuknya makanan ke jalan napas. Selama respirasi, tekanan intratoraks
dikendalikan oleh berbagai derajat penutupan korda vokalis sejati. Perubahan
tekanan ini membantu sistem jantung seperti juga ia mempengaruhi pengisian
dan pengosongan jantung dan paru.6
Selain itu, bentuk korda vokalis palsu dan sejati memungkinkan laring
berfungsi sebagai katup tekanan bila menutup (Gambar 14), memungkinkan
peningkatan tekanan intratorakal yang diperlukan untuk tindakan-tindakan
mengejan misalnya mengangkat berat atau defekasi. Pelepasan tekanan secara
mendadak menimbulkan batuk yang berguna untuk mempertahankan ekspansi
alveoli terminal dari paru dan membersihkan sekret atau partikel makanan
yang berakhir dalam aditus laringis, selain semua mekanisme proteksi lain
yang disebutkan di atas.6
Namun, pembentukan suara agaknya merupakan fungsi laring yang
paling kompleks dan paling baik diteliti. Penemuan sistem pengamatan serat
optik dan stroboskop yang dapat dikoordinasikan dengan frekuensi suara
sangat membantu dalam memahami fenomena ini. Korda vokalis sejati yang
teraduksi, kini diduga berfungsi sebagai suatu alat bunyi pasif yang bergetar
akibat udara yang dipaksa antara korda vokalis sebagai akibat kontraksi otot-
otot ekspirasi. Nada dasar yang dihasilkan dapat dimodifikasi dengan berbagai
cara. Otot intrinsik laring (dan krikotiroideus) berperan penting dalam
penyesuaian tinggi nada dengan mengubah bentuk dan massa ujung-ujung
bebas korda vokalis sejati dan tegangan korda itu sendiri. Otot ekstralaring
juga dapat ikut berperan. Demikian pula karena posisi laring manusia yang
lebih rendah, maka sebagian faring, di samping rongga hidung dan sinus
paranasalis dapat dimanfaatkan.untuk perubahan nada yang dihasilkan laring.
Semuanya ini dipantau melalui suatu mekanisme umpan balik yang terdiri dari
telinga manusia dan suatu sistem dalam laring sendiri yang kurang dimengerti.
Sebaliknya, kekerasan suara pada hakekatnya proporsional dengan tekanan
aliran udara subglotis yang menimbulkan gerakan korda vokalis sejati. Di lain
pihak, berbisik diduga terjadi akibat lolosnya udara melalui komisura posterior
di antara aritenoid yang terabduksi tanpa getaran korda vokalis sejati. Tiap
penyakit yang mempengaruhi kerja otot intrinsik dan ekstrinsik laring
(paralisis saraf, trauma, pembedahan), atau massa pada korda vokalis sejati
(misalnya, paralisis saraf, trauma, pembedahan) akan mempengaruhi fungsi
laring, akibatnya akan terjadi gangguan menelan ataupun perubahan suara.6
D. DEFINISI
Disfonia atau gangguan suara atau suara serak didefinisikan sebagai
gangguan yang ditandai dengan perubahan kualitas vokal, pitch, kenyaringan
atau usaha vokal yang mengganggu komunikasi atau mengurangi kualitas
hidup yang berhubungan dengan penggunaan suara.2
Disfonia (gangguan produksi suara) adalah keluhan yang sangat umum
yang mempengaruhi hampir sepertiga dari populasi di beberapa titik dalam
hidupnya. Istilah disfonia sering digunakan secara bergantian dengan suara
serak; Namun, terminologi ini tidak tepat, karena suara serak adalah gejala
dari kualitas suara yang berubah yang dilaporkan oleh pasien, sementara
disfonia mencirikan gangguan produksi suara seperti yang dikenali oleh
seorang dokter.8
E. EPIDEMIOLOGI
Disfonia dapat menyerang pasien dari segala usia dan jenis kelamin,
tetapi prevalensinya meningkat pada guru, orang dewasa yang lebih tua, dan
orang lain dengan tuntutan vokal yang signifikan. Faktanya, masalah suara
memengaruhi 1 dari 13 orang dewasa setiap tahun. Sementara pasien
melaporkan gangguan suara yang signifikan, sebagian kecil mencari
perawatan medis untuk masalah suara tersebut. Disfonia bertanggung jawab
atas kunjungan perawatan kesehatan yang sering dan hilangnya produktivitas
beberapa miliar dolar setiap tahun akibat ketidakhadiran kerja.9
Studi epidemiologi mendapatkan bahwa di Inggris sekitar 40.000
pasien dengan disfonia dirujuk ke pusat terapi suara tiap tahunnya.4 Cohen et
alpada tahun 2012 mendapatkan prevalensi keseluruhan disfonia dari objek
yang diteliti adalah sebesar 0,98% dengan populasi perempuan 63,4% dan
laki-laki 36,5%. Prevalensi tertinggi tercatat pada laki-laki dibanding
perempuan pada usia 0-9 tahun, diikuti dengan prevalensi tertinggi tercatat
pada perempuan dibanding laki-laki mulai pubertas sampai usia >70 tahun.8
F. ETIOLOGI
Walaupun disfonia hanya merupakan gejala tetapi bila prosesnya
berlangsung lama (kronik) keadaan ini dapat merupakan tanda awal dari
penyakit yang serius di daerah tenggorok khususnya laring.1
Penyebab disfonia dapat bermacam-macam yang prinsipnya menimpa
laring dan sekitarnya. Etiologi ini dapat berupa radang, tumor (neoplasma),
paralisis otot-otot laring, kelainan laring seperti sikatriks akibat operasi,
fiksasi pada sendi krikoaritenoid dan lain-lain. Ada satu keadaan yang disebut
sebagai disfonia ventrikular, yaitu keadaan plika ventrikular yang mengambil
alih fungsi fonasi dari pita suara, misalnya sebagai akibat pemakaian suara
yang terus menerus pada pasien dengan laringitis akut. Inilah pentingnya
istirahat berbicara (vocal rest) pada pasien dengan laringitis akut, disamping
pemberian obat-obatan. Radang laring dapat akut atau kronik. Radang akut
biasanya disertai gejala lain seperti demam, dedar (malaise), nyeri menelan
atau berbicara, batuk, di samping gangguan suara. Kadang-kadang dapat
terjadi sumbatan laring dengan gejala stridor serta cekungan di suprastenal,
epigastrium dan sela iga.1
Radang kronik nonspesifik, dapat disebabkan oleh sinusitis kronis,
bronkitis kronis atau karena penggunaan suara yang salah dan berlebihan
(vocal abuse=penyalahguna suara) seperti sering berteriak-teriak atau
berbicara keras. Vocal abuse juga sering terjadi pada pengguna suara
profesional (professional voice user) seperti penyanyi, aktor, dosen, guru,
penceramah, tenaga penjual (salesman), pelatih olahraga, operator telepon dan
lain-lain.1
Radang kronik spesifik misalnya tuberkulosa dan lues. Gejalanya
selain gangguan suara, terdapat juga gejala penyakit penyebab atau penyakit
yang menyertainya.1
Tumor laring dapat jinak atau ganas. Gejala tergantung dari lokasi
tumor, misalnya tumor pada pita suara, gejala gangguan suara akan segera
timbul pada pita suara, gejala gangguan suara dan bila tumor tumbuh menjadi
besar dapat menimbulkan sumbatan jalan napas. Tumor jinak laring seperti
papiloma sering ditemukan pada anak dimana disfonia merupakan gejala dini
yg harus diwaspadai. Begitu pula pada tumor ganas pita suara (karsinoma
laring) sering didapatkan pada orang tua perokok dengan gangguan suara yang
menetap. Tumor ganas sering disertai gejala lain, misalnya batuk (kadang-
kadang batuk darah), berat badan menurun, keadaan umum memburuk.1
Tumor pita suara non neoplastik dapat berupa nodul, kista, polip atau
edema submukosa (Reinke's edema). Lesi jinak yang lain dapat berupa
sikatrik, keratosis, fisura, mixedem, amilodosis, sarkoidosis dan lain-lain.1
Paralisis otot laring dapat disebabkan oleh gangguan persarafan, baik
sentral maupun perifer, dan biasanya paralisis motorik bersama dengan
paralisis sensorik. Kejadiannya dapat unilateral atau bilateral. Lesi intrakranial
biasanya mempunyai gejala lain dan muncul sebagai kelainan neurologik
selain dari gangguan suaranya. Penyebab sentral, misalnya paralisis bulbar,
siringomielia, tabes dorsalis, multipel sklerosis. Penyebab perifer, misalnya
tumor tiroid, struma, pasca strumektomi, trauma leher, tumor esofagus dan
mediastinum, penyakit jantung dengan hipertensi pulmonal, kardiomegali,
atelektasis paru, aneurisma aorta dan arteria subsklavia kanan. Paralisis pita
suara merupakan kelainan otot intrinsik laring yang sering ditemukan dalam
klinik. Dalam menilai tingkat pembukaan rimaglotis dibedakan dalam 5 posisi
pita suara, yaitu posisi median, posisi paramedian, posisi intermedian, posisi
abduksi ringan dan posisi abduksi penuh. Pada posisi median kedua pita suara
terdapat di garis tengah, pada posisi paramedian pembukaan pita suara
berkisar antara 3-5 mm dan pada posisi intermedian 7 mm. Pada posisi
abduksi ringan pembukaan pita suara kira-kira 14 mm dan pada abduksi penuh
18-19 mm.1
Gambaran posisi pita suara dapat bermacam-macam tergantung dari
otot mana yang terkena. Nervus laring superior dan inferior bersifat motorik
dan sensorik, maka biasanya paralisis motorik terdapat dengan paralisis
sensorik pada laring. Paralisis motorik otot laring dapat bersamaan
digolongkan menurut lokasi, jenis otot yang terkena atau jumlah otot yang
terkena. Penggolongan menurut lokasi, misalnya dikenal paralisis unilateral
atau bilateral. Menurut jenis otot yang terkena dikenal paralisis aduktor atau
paralisis abduktor atau paralisis tensor. Sedangkan penggolongan menurut
jumlah otot yang terkena, paralisis sempurna atau tidak sempurna. Secara
klinik paralisis otot laring dikenal unilateral midline paralysis, unilateral
incomplete paralysis, bilateral midline paralysis, complete paralysis,
adductor paralysis bilateral incomplete paralysis, thyroarythenoid muscle
paralysis dan cricothyroid muscle paralysis.1
Disfonia adalah gejala yang umum terjadi pada banyak penyakit.
Penting untuk diketahui bahwa pasien dengan kanker kepala dan leher
mungkin datang dengan disfonia. Dalam kelompok ini, kegagalan untuk
mengevaluasi laring dapat menunda diagnosis kanker, mengakibatkan stadium
yang lebih tinggi, kebutuhan untuk pengobatan yang lebih agresif, dan
mengurangi tingkat kelangsungan hidup. Kondisi lain yang menyebabkan
disfonia adalah neurologis misalnya, kelumpuhan pita suara, disfonia
spasmodik (DS), tremor esensial, penyakit Parkinson, sklerosis lateral
amiotrofik, sklerosis multipel, gastrointestinal (misalnya, refluks, esofagitis
eosinofilik), reumatologi/autoimun (misalnya, artritis reumatik, sindrom
Sjögren, sarkoidosis, amiloidosis, granulomatosis dengan poliangiitis),
muskuloskeletal (misalnya, disfonia ketegangan otot, fibromyalgia,
cervicalgia), psikologis (gangguan suara fungsional), trauma (misalnya,
fraktur laring, cedera inhalasi, cedera iatrogenik, trauma tumpul/penetrasi),
dan infeksi (misalnya kandidiasis). Prevalensi disfonia dalam kondisi ini
bervariasi. Misalnya, pasien dengan SD atau distonia laring lainnya hampir
secara universal bermanifestasi dengan disfonia. Sebaliknya, tidak semua
pasien refluks mengalami disfonia.9
Disfonia fungsional merupakan disfonia tanpa ditemukannya gangguan
organik pada laring, disfonia ini terjadi karena abnormalitas tonus otot pita
suara yang disebabkan oleh kebiasaan bersuara (vocal abuse), gangguan
emosional dan psikogenik. Sedangkan disfonia organik merupakan disfonia
yang timbul karena adanya kelainan organik pada pita suara seperti laringitis
akut, laringitis kronis, tumor jinak, tumor ganas, dan trauma laring. Selain itu,
disfonia juga dapat disebabkan karena gangguan internal seperti refluk
laringoesofageal, lipoma, tuberkulosis dan dapat disebabkan juga karena
gangguan neurologis berupa parese pita suara.10
G. PATOFISIOLOGI
Fungsi laring adalah sebagai proteksi jalan nafas, respirasi dan fonasi.
Saat inspirasi pita suara abduksi dan saat ekspirasi aduksi. Sebelum fonasi,
pita suara abduksi secara cepat agar udara masuk ke saluran nafas (fase
inspirasi sebelum fonasi) selanjutnya pita suara aduksi karena berkontraksinya
otot krikoaritenoid lateral. Suara dihasilkan mulai dari udara paru-paru yang
dikeluarkan melewati pita suara yang aduksi sampai menimbulkan vibrasi
berulang dari pita suara (osilasi). Saat pita suara menutup, udara dari paru
melewati daerah yang sempit, akan mengakibatkan tekanan negatif pada
daerah sekitarnya, sehingga mukosa pita suara seperti menarik satu sama lain
(efek Bernauli), saat tekanan udara sub glotis meningkat (di bawah pita suara
yang aduksi) tingkat mencapai penekanan pada tahanan pada pita suara
menyebabkan pita suara terpisah lalu merangsang terjadinya siklus vibrasi pita
suara, terjadinya vibrasi Buek menimbulkan terbentuknya suara. Vibrasi pita
suara terdiri dari gerakan dasar dan relatif. Gerakan dasar yaitu gerakan
mediolateral dari otot vokalis dan ligamen vokalis. Gerakan relatif yaitu
gerakan dari mukosa superfisial techadap otot vokalis Gerakan selama fonasi.
relatif ini menghasilkan gelombang pada permukaan epitel yang disebut
"traveling wave motion" (Gambar 14). Kelainan yang menimbulkan gangguan
vibrasi pita suara, abnormalitas tonus otot, penutupan pita suara yang tidak
komplit, paralisis pita suara, atrofi pita suara dapat menimbulkan disfonia.3
H. FAKTOR RISIKO
Disfonia mempengaruhi pasien dari segala usia dan jenis kelamin
tetapi lebih umum pada orang yang menggunakan suara mereka dalam
pekerjaan mereka seperti penyanyi, guru, dan operator pusat panggilan adalah
beberapa contoh pekerjaan yang berisiko. Anak laki-laki dalam rentang usia 8
hingga 14 tahun, orang dewasa berusia di atas 65 tahun, dan orang yang
merokok juga lebih mungkin mengalami disfonia.11
Kapan Saya Harus Menemui Penyedia Layanan Kesehatan tentang
Suara Serak Saya?
Disfonia tidak hilang atau hilang dalam 7 hingga 10 hari, terutama jika
pasien merokok
Disfonia tidak menderita pilek atau flu
Batuk darah
Kesulitan menelan
Benjolan di leher
Kehilangan atau perubahan dalam suara yang berlangsung lebih lama dari
beberapa hari
Rasa sakit saat berbicara atau menelan
Perubahan suara disertai dengan pernapasan yang tidak mudah
Pekerjaan sebagai pemain vokal (penyanyi, guru, pembicara publik) dan
tidak dapat melakukan pekerjaan Anda
I. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan disfonia meliputi diagnosis etiologik dan terapi yang
sesuai dengan etiologi tersebut. Diagnosis ditegakan melalui anamnesis,
pemeriksaan klinik dan pemeriksaan penunjang.1
1. Anamnesis
Anamnesis harus lengkap dan terarah meliputi jenis keluhan
gangguan suara, lama keluhan, progesifitas, keluhan yang menyertai,
pekerjaan, keluarga, kebiasaan merokok, minum kopi atau alkohol, hobi
atau aktifitas diluar pekerjaan, penyakit yang pernah atau sedang diderita,
alergi, lingkungan tempat tinggal dan bekerja dan lain-lain.1
2. Pemeriksaan klinik dan penunjang
Pemeriksaan klinik meliputi pemeriksaan umum (status generalis),
pemeriksaan THT termasuk pemeriksaan laringoskopi tak lang- sung
untuk melihat laring melalui kaca laring atau dengan menggunakan
teleskop laring baik yang kaku (rigid telescope) atau serat optic (fiberoptic
telescope). Pengunaan teleskop ini dapat dihubungkan dengan alat video
(video laringoskopi) sehingga akan memberikan visualisasi laring (pita
suara) yang lebih jelas baik dalam keadaan diam (statis) maupun pada saat
begerak (dinamis). Selain itu juga dapat dilakukan dokumentasi hasil
pemeriksaan untuk tindak lanjut hasil pengobatan. Visualisasi laring dan
pita suara secara dinamis akan lebih jelas dengan menggunakan
stroboskop (video stroboskopi) dimana gerakan pita suara dapat
diperlambat (slowmotion) sehingga dapat terlihat getaran (vibrasi) pita
suara dan gelombang mukosanya (mucosal wave). Dengan bantuan alat
canggih ini diagnosis anatomis dan fung- sional menjadi lebih akurat.1
Selain secara anatomis fungsi laring dan pita suara juga dapat
dinilai dengan menganalisa produk yang dihasilkanya yaitu suara. Analisis
suara dapat dilakukan secara perseptual yaitu dengan mendengarkan suara
dan menilai derajat (grade), kekasaran (roughness), keterengahan
(breathyness), kelemahan (astenisitas) dan kekakuan (strain). Saat ini juga
telah berkembang analisis akustik dengan menggunakan program
komputer seperti CSL (Computerized Speech Laboratory), Multyspeech,
ISA (Intelegence Speech Analysis) dan MDVP (Multy Dimensional Voice
Programe). Hasil pemeriksaan analisis akustik ini berupa nilai parameter-
parameter akustik dan spektrogram dari gelombang suara yang dianalisis.
Parameter akustik dan spektrogram ini dapat dibandingkan antara suara
normal dan suara yang mengalami gangguan. Alat ini juga dapat
digunakan untuk menilai tindak lanjut (follow up) hasil terapi.1
Terkadang diperlukan pemeriksaan laring secara langsung (direct
laringoscopy) untuk biopsi tumor dan menetukan perluasannya (staging)
atau bila diperlukan tindakan (manipulasi) bagian-bagian tertentu laring
seperti aritenoid, plika vokalis, plika ventrikularis, daerah komisura
anterior atau subglotik. Laringoskopi langsung dapat menggunakan
teleskop atau mikroskop (mikrolaringoskopi). Pemeriksaan penunjang lain
yang diperlukan meliputi pemeriksaan laboratorium, radiologi,
elektromiografi (EMG), mikrobiologi dan patologi anatomi. Pengobatan
Pengobatan disfonia sesuai dengan kelainan atau penyakit yang menjadi
etiologinya. Terapi dapat berupa medikamentosa, vocal hygeane, terapi
suara dan bicara (Voice-speeech therapy) dan tindakan operatif. Tindakan
operatir untuk mengatasi gangguan suara atau disfonia disebut
Phonosurgery.1
J. DIAGNOSIS BANDING
Kelainan laring dapat berupa kelainan kelumpuhan pita suara.
kongenital, peradangan, tumor lesi jinak serta kelumpuhan pita suara.1
1. KELAINAN KONGENITAL
Kelainan ini dapat berupa laringomalasia, stenosis subglotik,
selaput di laring, kista kongenital, hemangioma dan fistel laringotrakea-
esofagus. Pada bayi dengan kelainan kongenital pada laring dapat
menyebabkan gejala sumbatan jalan napas, suara tangis melemah sampai
tidak ada sama sekali, serta kadang-kadang terdapat juga disfagia.1
a. LARINGOMALASIA
Laringomalasia (LM) merupakan keadaan yang
menggambarkan kolapsnya struktur supraglotis laring selama inspirasi
sehingga mengakibatkan menyempitnya aliran udara selama
inspirasi.1–4 Sekitar 60-75 % kasus stridor kongenital disebabkan oleh
LM.12
Etiologi pasti dari Laringomalasia sampai sekarang masih
belum diketahui. Terdapat beberapa teori yang menjelaskan tentang
penyebab laringomalasia, yaitu teori imaturitas kartilago, abnormal
anatomi dan imaturitas neuromuscular.12
1) Imaturitas Kartilago
Menurut teori ini flaksiditas dari laring diakibatkan oleh
terlambatnya maturitas kartilago yang membentuk laring. Teori ini
kemudian tidak begitu diterima karena pemeriksaan histologi
kartilago pada pasien Laringomalasia yang mempunyai gejala
menunjukkan jaringan kartilago dengan fibroelastin yang normal.12
2) Abnormalitas Anatomi
Menurut teori ini, laringomalasia diakibatkan oleh
terdapatnya jaringan laring yang berlebihan pada bayi. Laring pada
bayi lebih lunak dan lebih rentan mengalami edema mukosa.
Sering didapatkan epiglotis yang omega shapednya menghilang
(tubular shape), adanya jaringan/mukosa yang berlebihan yang
nantinya akan mengakibatkan terjadinya Laringomalasia.
Penelitian akhir-akhir ini juga mendapatkan hubungan yang kuat
antara Laringomalasia dengan gastresophageal reflux disease
(GERD) dan laringopharingeal refluks (LPR). Studi menunjukkan
hampir 80% pasien laringomalasia juga mengalami refluks, tetapi
hal ini masih menjadi perdebatan apakah penyakit refluks ini
mengakibatkan LM/ LPR atau akibat tekanan negatif intratoraks
pada pasien LM yang memicu refluks dan memperparah edema
laring.12
3) Imaturitas Neuromuskular
Teori lain yang menjelaskan terjadinya laringomalasia ini
adalah peran dari lemahnya kontrol neuromuskular yang
mengakibatkan hipotonus relatif pada otot dilator supraglotis yang
mengakibatkan stuktur supraglotis akan kolaps dan tertutup.
Kelainan pada nervus Vagus akan mengakibatkan menurunnya
tonus laring sehingga terjadi kolaps struktur laring dan gangguan
mekanisme menelan yang memicu obstuksi jalan nafas dan
gangguan menelan. Hal ini terjadi akibat tidak berkembangnya
sistem saraf pusat, terutama nervus perifer dan batang otak yang
berperan dalam mengontrol pernafasan dan menjaga patensi jalan
nafas. Refleks laryngeal adduktor merupakan refleks nervus vagus
yang berperan dalam fungsi laring dan fonasi. Aktivasi serabut
aferen dari saraf ini diperantarai oleh nervus Laringeus superior
yang terletak di lipatan ariepiglotis. Rangsangan pada saraf ini
kemudian diteruskan ke nukleus batang otak dan memerintahkan
serabut motorik untuk mengatur pernafasan dan menelan. Adanya
kelainan pada jalur neuromuskular ini diduga menjadi etiologi
terjadinya laringomalasia serta keluhan dalam makan.12
Diagnosis laringomalasia didapatkan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik dan konfirmasi dengan pemeriksaan Flexible
Fibreoptic Laryngoscopy (FFL) dalam keadaan sadar. Gejala klasik
laringomalasia adalah didapatkannya stridor inspirasi yang makin berat
ketika pasien gelisah, menangis, menyusu, makan dan tidur terlentang.
Hal lain yang perlu didapatkan adalah riwayat kelahiran pasien
diantaranya berat dan panjang badan saat lahir, usia kehamilan saat
lahir, kelainan genetik atau penyakit komorbid lainnya. Pada
pemeriksaan fisik yang diperlukan adalah berat dan panjang anak saat
pemeriksaan, suara nafas saat inspirasi dan ekspirasi, gerakan dada
untuk menilai adanya retraksi atau pectus excavatum, serta penilaian
perfusi jaringan. Pemeriksaan FFL dilakukan dalam keadaan tanpa
sedasi dengan posisi pasien duduk tegak lurus dipangkuan orang tua,
skope dimasukkan melalui lobang hidung, dinilai kelainan yang
terdapat pada nasofaring, orofaring, hipofaring dan struktur laring.
Pada pemeriksaan FFL ini dapat diamati pergerakan dinamis dari
struktur laring selama pernafasan spontan dan bisa membedakan
laringomalasia dengan penyebab lain stridor inspirasi seperti paralisis
pita suara atau kista laring. Kolaps jaringan supraglotik dan obstruksi
selama inspirasi merupakan patognomonis laringomalasia. Pada laring
akan didapatkan prolap kartilago aritenoid, mukosa supra-aritenoid,
dan kartilago epiglotis selama inspirasi, pemendekan lipatan aritenoid
dan epiglotis selama inspirasi, gambaran tubular shaped epiglotis serta
edema posterior glotis (gambar 15).12
Gambar 15. Laringomalasia. A. Tubular epiglotis dan aritenoid
redundant; B. Pemendekan lipatan ariepiglotis; C. Prolaps mukosa
aritenoid saat inspirasi.12
Berdasarkan anatomi yang terlibat, Olney pada tahun 1999
mengklasifikasikan laringomalasia menjadi 3 tipe yaitu: 1. kolaps
posterior jika yang terlibat mukosa aritenoid redundant atau kartilago
cuneiform, 2. kolaps lateral jika terjadi pemendekan lipatan
ariepiglotis, 3. kolaps anterior jika terjadi epiglotis retrofleksi (gambar
16). 12
b. STENOSIS SUBGLOTIK
Pada daerah subglotik, 2-3 cm dari pita suara, sering terdapat
penyempitan (stenosis). Kelainan yang dapat menyebabkan stenosis
subglotis ialah:
1) Penebalan jaringan submukosa dengan hiperplasia kelenjar mukus
dan fibrosis
2) Kelainan bentuk tulang rawan krikoid dengan lumen yang lebih
kecil
3) Bentuk tulang rawan krikoid normal dengan ukuran lebih kecil
4) Pergeseran cincin trakea pertama ke arah atas belakang ke dalam
lumen krikoid
Gejala stenosis subglotik ialah stridor, dispnea, retraksi di
suprasternal, epigastrium, interkostal serta subklavikula. Pada stadium
yang lebih berat akan ditemukan sianosis dan apnea, sebagai akibat
sumbatan jalan napas, sehingga mungkin juga terjadi gagal pernapasan
(respiratory distress). 1
d. KISTA KONGENITAL
Kista sering tumbuh di pangkal lidah atau di plika ventrikularis.
Untuk penanggulangannya ialah dengan mengangkat kista itu dengan
bedah mikro laring.1
Gambar 20. (A) Right vocal cord cyst. (B) After endoscopic excision.15
Gambar 21. (A) Cystic mass over the anterior wall of subglottis. (B)
After endoscopic excision.15
e. HEMANGIOMA
Hemangioma biasanya timbul di daerah subglotik. Sering pula
disertai dengan hemangioma di tempat lain, seperti di leher. Gejalanya
ialah terdapat hemoptisis, dan bila itu besar, terdapat juga gejala
sumbatan laring.1
2. PERADANGAN LARING
Dapat berupa laringitis akut atau laringitis kronis.
a. LARINGITIS AKUT
Radang akut laring, pada umumnya merupakan kelanjutan dari
rinofaringitis (common cold). Pada anak laringitis akut ini dapat
menimbulkan sumbatan jalan napas, sedangkan pada orang dewasa
tidak secepat pada anak.1
Etiologi dari laryngitis ini ialah bakteri yang menyebabkan
radang lokal atau virus yang menyebabkan peradangan sistemik.
Gejala dan tanda pada laringitis akut adalah terdapat gejala radang
umum, seperti demam, dedar (malaise), serta gejala lokal, seperti suara
parau sampai tidak bersuara sama sekali (afoni), nyeri ketika menelan
atau berbicara, serta gejala sumbatan laring. Selain itu terdapat batuk
kering dan lama kelamaan diserta dengan dahak kental.1
Pada pemeriksaan tampak mukosa laring hiperemis,
membengkak, terutama di atas dan bawah pita suara. Biasanya terdapat
juga tanda radang akut di hidung atau sinus paranasal maupun paru.
Terapinya adalah istirahat berbicara dan bersuara selama 2-3 hari,
menghirup udara lembab, menghindari iritasi pada faring dan laring,
misalnya merokok, makanan pedas atau minum es. Pemberian
antibiotik apabila peradangan berasal dari paru. Bila terdapat sumbatan
laring. dilakukan pemasangana pipa endotrakea, atau trakeostomi.1
b. LARINGITIS KRONIS
Laringitis kronis sering merupakan radang kronis yang
disebabkan oleh sinusitis kronis, septum yang berat, polip hidung atau
bronkitis kronis. Mungkin juga disebabkan oleh penyalahgunaan suara
(vocal abuse) seperti berteriak-teriak atau biasa berbicara keras. Pada
peradangan ini seluruh mukosa laring hiperemis dan menebal, dan
kadang-kadang pada pemeriksaan patologik terdapat metaplasi
skuamosa.
Gejalanya ialah suara parau yang menetap, rasa tersangkut di
tenggorok, sehingga pasien sering mendehem tanpa mengeluarkan
sekret, karena mukosa yang menebal. Pada pemeriksaan tampak
mukosa menebal, permukaannya tidak rata dan hiperemis. Bila
terdapat daerah yang dicurigai menyerupai tumor, maka perlu
dilakukan biopsi. Terapi yang terpenting ialah mengobati peradangan
di hidung, faring serta bronkus yang mungkin menjadi penyebab
laringitis kronis itu. Pasien diminta untuk tidak banyak berbicara
(vocal rest).1
c. LARINGITIS KRONIS SPESIFIK
Yang termasuk dalam laringitis kronis spesifik ialah laringitis
tuberkulosis dan laringitis leutika.1
1) LARINGITIS TUBERKULOSIS
Penyakit ini hampir selalu sebagai akibat tuberkulosis paru.
Sering kali setelah diberi pengobatan, tuberkulosis parunya sembuh
hetapi laringitis tuberkulosisnya menetap. Hal ni terjadi karena
struktur mukosa laring yang sangat lekat pada kartilago serta
vaskularisasi yang tidak sebaik paru, sehingga bila infeksi sudah
mengenai kartilago, pengobatannya lebih lama. Patogenesis
laryngitis tuberkulosa adalah infeksi kuman ke laring yang dapat
terjadi melalui udara pernapasan, sputum yang mengandung
kuman, atau penyebaran melalui aliran darah atau limfa.
Tuberkulosis dapat menimbulkan gangguan sirkulasi. Edema dapat
timbul di fossa interaritenoid, kemudian ke aritenoid, plika vokalis,
plika ventrikularis, epiglotis, serta terakhir ialah dengan subglotik.1
Gambaran klinis Secara klinis, laringitis tuberkulosis terdiri
dari 4 stadium, yaitu: stadium infiltrasi, stadium ulserasi, stadium
perikondritis, dan stadium pembentukan tumor.1
a) Stadium infiltrasi
Yang pertama-tama mengalami pembengkakan dan
hiperemis ialah mukosa laring bagian posterior. Kadang-
kadang pita suara terkena juga. Pada stadium ini mukosa laring
berwarna pucat. Kemudian di daerah submukosa terbentuk
tuberkel, sehingga mukosa tidak rata lampak bintik-bintik yang
berwarna kebiruan Tuberkel itu makin membesar, serta
beberapa tuberkel yang berdekatan bersatu, sehingga mukosa di
atasnya meregang Pada suat saat, karena sangat meregang,
maka akan pecah dan timbul ulkus.
b) Stadium ulserasi
Ulkus yang timbul pada akhir stadium infiltrasi membesar.
Ulkus ini dangkal, dasarnya ditutupi oleh perkijuan, serta
sangat dirasakan nyeri oleh pasien.
c) Stadium perikondritis
Ulkus makin dalam, sehingga mengenai kartilago laring. dan
yang paling sering terkena ialah kartilago aritenoid dan
epiglotis. Dengan demikian terjadi kerusakan tulang rawan,
sehingga terbentuk nanah yang berbau, proses ini akan
melanjut, dan terbentuk sekuester (squester). Pada stadium ini
keadaan umum pasien sangat buruk dan dapat meninggal
dunia. Bila pasien dapat bertahan maka proses penyakit
berlanjut dan masuk dalam stadium terakhir yaitu stadium
fibrotuberkulosis.
d) Stadium fibrotuberkulosis
Pada stadium ini terbentuk fibrotuberkulosis pada
dinding posterior, pita suara dan subglotik. Gejala klinis
stadium ini adalah tergantung pada stadiumnya, disamping itu
terdapat gejala sebagai berikut: rasa kering, panas dan tertekan
di daerah suara parau berlangsung berminggu-minggu,
sedangkan pada stadium lanjut dapat timbul afoni, hemoptisis,
nyeri waktu menelan yang lebih hebat bila dibandingkan
dengan nyeri karena radang lainnya, merupakan tanda yang
khas, keadaan umum buruk, pada pemeriksaan paru (secara
klinis dan radiologik) terdapat proses aktif (biasanya pada
stadium eksudatif atau pada pembentukan kaverne).1
Gambar 25. (A and B): Appearance of fiber optic laryngoscope,
the mass formation slick of redness in the left third anterior of the
vocal cords (white arrow).18
2) LARINGITIS LUETIKA
Radang menahun ini jarang ditemukan. Seperti telah
diuraikan dalam limu Penyakit Kulit dan Kelamin, terdapat 4
stadium lues. Dalam hubungan penyakit di laring yang perlu
dibicarakan ialah lues stadium tertier (ketiga) yaitu pada stadium
pembentukan guma. Bentuk ini kadang-kadang menyerupai
keganasan laring. Gambaran klinik yang dapat ditemukan yaitu
apabila guma pecah, maka timbul ulkus, ulkus ini mempunyai sifat
yang khas, yaitu sangat dalam, bertepi dengan dasar yang keras,
berwarna merah tua serta mengeluarkan eksudat yang berwarna
kekuningan. Ulkus ini tidak menyebabkan nyeri dan menjalar
sangat cepat, sehingga bila tidak terbentuk proses ini akan menjadi
perikondritis, suara parau dan batuk kronis. Disfagia timbul bila
guma terdapat dekat introitus esofagus. Diagnosis ditegakkan
selain dari pemeriksaan laringoskopik juga dengan pemeriksaan
serologic. Komplikasi yang terjadi adalah bila terjadi
penyembuhan spontan dapat terjadi stenosis laring, karena
terbentuk jaringan parut. Terapi yang diberikan adalah penisilin
dengan dosis tinggi, pengangkatan sekuester dilakukan bila
terdapat sumbatan laring karena stenosis, dilakukan trakeostomi. 1
K. PENCEGAHAN
1. Berhenti merokok, jika menggunakan jenis produk tembakau
2. Hindari minuman yang dapat membuat tubuh dehidrasi, seperti alkohol
(bir, anggur, minuman keras) dan kafein (minuman ringan, kopi)
3. Hindari asap rokok
4. Melembabkan rumah
5. Perhatikan diet Anda — hindari makanan pedas
6. Hindari berdehem atau batuk berlebihan
7. Cobalah untuk tidak menggunakan suara Anda terlalu lama atau terlalu
keras
8. Gunakan mikrofon jika memungkinkan dalam situasi di mana Anda perlu
berbicara lebih keras dari ucapan normal
9. Hindari menggunakan obat-obatan seperti antihistamines dan diuretics
10. Cari bantuan profesional jika suara Anda terluka atau parau
DAFTAR PUSTAKA