Anda di halaman 1dari 32

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JUNI 2020


UNIVERSITAS HALU OLEO

ANEMIA APLASTIK

Oleh:
Ninis Ilmi Octasari, S.Ked
K1A1 15 095

Pembimbing:
dr. Yeni Haryani, M.Kes., Sp.A

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI BAHTERAMAS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2020
ANEMIA APLASTIK
A. Pendahuluan
Anemia aplastik (AA) adalah kelainan langka yang jarang terjadi pada
anak-anak yang merupakan gangguan heterogen yang menyerang 2 dari 1.000
anak setiap tahun. Pada anak-anak, sebagian besar kasus bersifat idiopatik
karena etiologi primernya tidak diketahui dan disebabkan oleh destruksi stem
hemopoetik dan sel progenitor atau Stem Hemopoetic and Progenitor cells
(HSPC's) yang dimediasi oleh limfosit T. 20% dari kasus Anemia Aplastik
bersifat genetik atau diwariskan, sedangkan penyebab lainnya didapat dan
idiopatik.1,2
Anemia aplastik merupakan anemia yang disertai oleh pansitopenia
pada darah tepi yang disebabkan oleh kelainan primer pada sumsum tulang
dalam bentuk aplasia atau hipoplasia tanpa adanya infiltrasi, supresi atau
pendesakan sumsum tulang1. Anemia aplastik mungkin muncul mendadak
(dalam beberapa hari) atau perlahan-lahan (berminggu-minggu atau berbulan-
bulan). Hitung jenis darah menentukan manifestasi klinis.3
Pada Anemia Aplastik, haematopoeisis normal digantikan oleh sel-sel
lemak, yang mengarah ke sumsum tulang hiposeluler. Insidennya adalah 2-3
juta per tahun yang mengenai semua kelompok umur di Eropa tetapi lebih
tinggi di Asia Timur (hingga 7 juta), dengan puncak usia 10-25 tahun dan
lebih dari 60 tahun.1

B. Definisi
Anemia aplastik (AA) adalah gangguan perdarahan yang serius dan
sering fatal, ditandai oleh kegagalan sel prekursor hematopoietik pada
sumsum tulang untuk menghasilkan eritrosit, granulosit, dan trombosit yang
mengakibatkan pansitopenia.4 Anemia Aplastik didefinisikan sebagai
pansitopenia yang terkait dengan sumsum tulang hiposelular persisten tanpa
adanya tanda-tanda displastik dan fibrosis sumsum tulang. Setidaknya dua
kelainan dalam sel darah perifer diperlukan untuk mengkonfirmasi diagnosis.
Nilai harus memenuhi <10 gr/dL untuk hemoglobin, <1,5×109/L untuk
neutrofil dan <50×109/L untuk trombosit. Tingkat keparahan Anemia Aplastik
didefinisikan sesuai dengan kriteria Camitta yang dimodifikasi sebagai
berikut:5
Tabel 1. Definisi tingkat keparahan pasien Anemia Aplastik5
C. Epidemiologi
Anemia Aplastik yang didapat adalah kelainan langka dengan insidensi
sekitar 2 kasus pada 1 juta anak per tahun di Amerika Utara dan Eropa dan
insiden 2-3 kali lipat lebih tinggi di Asia. Rasio prevalensi Anemia Aplastik
adalah sama pada remaja, pria, wanita dan dewasa muda serta orang tua.

Gambar 1. Hubungan antara mutasi genetik, penetrasi penyakit, dan


lingkungan gen
Hubungan antara mutasi genetik, penetrasi penyakit, dan interaksi
lingkungan gen dalam patogenesis kegagalan sumsum tulang. Mutasi dengan
penetrasi penyakit yang tinggi, hampir selalu menyebabkan penyakit; yaitu
mutasi pada gen Anemia Fanconi (FANC), pada gen SBDS yang menyebabkan
Sindrom Shwachman-Diamond, atau pada DKC1 yang menyebabkan
Congenital Dyskeratosis Linked-X. Sebaliknya, mutasi pada gen dengan
penetrasi penyakit yang rendah mungkin tidak bermanifestasi sebagai
kegagalan sumsum tulang yang tampak secara klinis; contohnya termasuk
mutasi pada gen TERT yang bertanggung jawab untuk Autosomal Dominan
Dyskeratosis Congenital atau pada gen DBA yang bertanggung jawab atas
Anemia Diamond-Blackfan. Polimorfisme genetik terkait dengan Anemia
Aplastik tidak menyebabkan penyakit pada sebagian besar karier tetapi, dalam
kombinasi dengan modifier gen dan lingkungan yang buruk, dapat
berkontribusi pada progresifitas penyakit Anemia Aplastik. Contohnya adalah
HLA-DR2 pada Anemia Aplastik dewasa dan HLA-B14 pada Anemia
Aplastik pada anak atau delesi gen GSTT1.8

D. Insiden
Insiden Anemia Aplastik tiap tahun di Amerika Utara dan Eropa
adalah antara 2-6 kasus per 1 juta anak. Di Thailand, insiden Anemia Aplastik
adalah 4 juta per populasi pada daerah perkotaan dan 6 juta per populasi di
daerah pedesaan. Insiden di Jepang adalah 31-48 juta per populasi, sedangkan
insiden di Tiongkok adalah 19-21 juta kasus per populasi. Di Asia, angka
tersebut 2-3 kali lipat lebih tinggi. Insiden masa kanak-kanak didapat pada
usia sekitar 2-5 tahun dengan prevalensi anak laki-laki dan perempuan yang
hampir sama. Anemia aplastik lebih sering terjadi di negara-negara Asia.
Insiden yang terus meningkat di negara-negara Asia disebabkan oleh faktor
risiko lingkungan daripada faktor genetik, karena peningkatan insiden tidak
diamati di antara orang Asia yang tinggal di negara-negara Barat. Tidak ada
kecenderungan jenis kelamin pada anemia aplastik. Penyakit ini menyerang
semua kelompok umur, dengan puncak usia di antara pasien berusia 10-25
tahun dan pasien yang lebih tua dengan usia >60 tahun.6,7
E. Etiologi
Etiologi anemia aplastik dapat diklasifikasikan sebagai kongenital dan
didapat. Etiologi karena kongenital menyumbang 20% dari kasus. Kasus-
kasus ini termasuk Anemia Fanconi, Dyskeratosis Congenital, Cartilage-Hair
Hypoplasia, Pearson syndrome, amegakaryocytic Thrombocytopenia,
Shwachman-Diamond Syndrome, Dubowitz Syndrome, Diamond-Blackfan
Syndrome and Familial Aplastic Anemia. Anemia aplastik dengan etiologi
didapat menyebabkan 80% kasus. Kasus-kasus ini termasuk infeksi seperti
virus hepatitis, virus Epstein-Barr, virus human immunodefisiensi, parvovirus,
dan mikobakteria; paparan racun terhadap radiasi dan bahan kimia; penyakit
graft-versus-host yang terkait transfusi; dan fasciitis eosinofilik. Sebagian
besar kasus dianggap idiopatik dan diklasifikasikan sebagai anemia aplastik
yang didapat.7
Anemia aplastik dianggap disebabkan oleh paparan terhadap bahan-
bahan toksik seperti radiasi, kemoterapi, obat-obatan atau senyawa kimia
tertentu. Penyebab lain meliputi kehamilan, hepatitis viral, dan fasciitis
eosinofilik. Jika pada seorang pasien tidak diketahui faktor penyebabnya,
maka pasien digolongkan anemia aplastik idiopatik. Beberapa etiologi abemia
palastik tercantum pada tabel berikut.3
Tabel 2. Klasifikasi Etiologi Anemia Aplastik
Toksisitas langsung
 Iatrogenik : Radiasi dan Kemoterapi
 Benzena
 Metabolic Intermediate beberapa jenis obat
Penyebab yang diperantarai imun
 Iatrogenik : Transfusion-associated graft versus host disease
 Fasciitis eosinofilik
 Penyakit terkait hepatitis
 Kehamilan
 Metabolit intermediet beberpa jenis obat
 Anemia apalstik idiopatik

F. Patofisiologi
Patofisiologi dari Anemia Aplastik adalah tergantung etiologi dari
penyakit tersebut. Anemia aplastik terkait obat tejadi karena hipersensitivitas
atau dosis obat yang berlebihan. Obat yang banyak menyebabkan anemia
aplastik adalah kloramfenikol. Obat-obatan lain juga yang sering dilaporkan
adalah fenilbutazon, senyawa sulfur, emas dan antikonvulsan, obat-obatan
sitotoksik misalnya mileran atau nitrosurea. Bahan kimia terkenal yang dapat
menyebabkan anemia aplastik ialah senyawa benzena.3
Penyakit infeksi yang dapat menyebabkan Anemia Aplastik, misalnya
virus epstein-barr, Influenza A, dengue, tuberkulosis (milier). Sitomegalovirus
dapat menekan produksi sel sumsum tulang, melalui gangguan pada sel-sel
stroma smsung tulang. Infeksi HIV yang dapat berkembang menjadi AIDS
dapat menyebabkan pansitopenia. Infeksi kronik oleh parvovirus pada pasien
dengan defisiensi imun juga dapat menimbulkan pansitopenia.3
Pada kehamilan, kadang-kadang ditemukan pansitopenia disertai
aplasia sumsum tulang yang berlangsung sementara. Hal ini mungkin
disebabkan oleh esterogen pada seseorang dengan predisposisi genetik, adanya
zat penghambat dalam darah atau tidak ada perangsang hematopoiesis.
Anemia aplastik sering sembuh setelah terminasi kehamilan namun dapat
terjadi lagi pada kehamilan berikutnya.3
Namun sekarang diyakini ada penjelasan patofisiologis Anemia
Aplastik yang telah disimpulkan dari berbagai observasi klinis hasil terapi dan
eksperimen laboratorium yang sistematik. Di akhir tahun 1960-an, Mathe et al
memunculkan teori baru berdasarkan kelainan autoimun setelah melakukan
transplantasi sumsum tulang untuk menyembuhkan Anemia Aplastik
memperlihatkan adanya kondisi defisiensi dari sel stem cell.3
Adanya reaksi autoimunitas pada Anemia Aplastik juga dibuktikan
oleh percobaan in vitro yang memperlihatkan bahwa limfosit dapat
menghambat pembentukan koloni hemopoietik alogenik dan autoglosus.
Setelah itu, diketahui bahwa limfosit T sitotoksik memperantarai destruksi sel-
sel hemopoietik pada kelainan ini. Sel-sel T efektor tampak lebih jelas di
sumsum tulang dibandingkan dengan darah tepi pada pasien Anemia Aplastik.
Sel-sel tersebut menghasilkan IFN-γ dan TNF-α yang merupakan inhibitor
langsung hemopoiesis dan meningkatkan ekspresi Fas pada sel-sel CD34 +.
Hasil klon sel-sel immortal yang positif CD4 dan CD8 dari pasien Anemia
Aplastik juga mensekresi sitokin T-helper-1 yang bersifat toksik langsung ke
sel-sel CD34 positif autologus.3
Sebagian besar Anemia Aplastik didapat secara patofisiologis ditandai
oleh dekstruksi spesifik yang diperantarai oleh sel T ini. Pada seorang pasien,
kelainan respon imun tersebut kadang-kadang dapat dikaitkan dengan infeksi
virus atau pajanan obat tertentu atau zat kimia tetentu. Sangat sedikit bukti
adanya mekanisme lain seperti toksisitas langsung pada stem sel atau
defisiensi fungsi faktor pertumbuhan hematopoietik. Lagipula derajat
dekstruksi stem sel dapat menjelaskan variasi kualitatif, dan respon imun
dapat menerangkan respons terhadap terapi imunosupresif. Respon terhadap
terapi imunosupresif menunjukkan adanya mekanisme imun yang
bertanggung jawab atas kegagalan hematopoietik.3 Kegagalan produksi sel
darah bertanggung jawab atas kosongnya sumsum tulang yang tampak jelas
pada pemeriksaan apusan aspirat sumsum tulang atau spesimen dengan core
biopsy sumsum tulang. Hasil pencitraan dengan Magnetic Resonance Imaging
(MRI) vertebra memperlihatkan digantinya sumsum tulang oleh jaringan
lemak yang merata. Secara kuantitatif, sel-sel hematopietik yang imatur dapat
dihitung dengan pemeriksaan flow cytometry. Sel-sel tersebut
mengekspresikan protein cytoadhesive yang disebut CD34. Pada pemeriksaan
flow cytometry, antigen sel CD34 dideteksi secara fluoresens satu persatu,
sehingga jumlah sel-sel CD34+ dapat dihitung dengan tepat. Pada Anemia
Aplastik, sel-sel CD34+ juga hampir tidak ada, yang berarti bahwa sel-sel
induk pembentuk koloni eritroid, myeloid, dan megakaryositik sangat kurang
jumlahnya. Pasien yang mengalami pansitopenia mungkin telah mengalami
penurunan populasi stem sel dan sel induk sampai sekitar 1% atau kurang.
Defisiensi yang berat tersebut mempunyai konsekuensi kualitatif, yang
dicerminkan oleh pemendekan telomere granulosit pada pasien Anemia
Aplastik.3
Banyak data laboratorium yang mendukung hipotesis bahwa pada
pasien Anemia Aplastik didapat, limfosit bertanggung jawab atas dekstruksi
kompartemen sel hematopoietik. Eksperimen awal memperlihatkan bahwa
limfosit pasien menekan hematopiesis. Sel-sel ini memproduksi faktor
penghambat yang akhirnya diketahui adalah IFN-γ. Adanya aktivasi respon sel
T helper 1 (Th1) disimpulkan dari sifat imunofenotipik. Produksi dari sel-sel
T, interferon, TNF-α. dan IL-2 yang berlebihan. 3 Selama bertahun-tahun,
patogenesis yang dimediasi imun telah dipostulasikan untuk Anemia Aplastik
karena terapi imunosupresif (IST) sering berhasil dalam pengobatan Anemia
Aplastik, dan limfosit sumsum tulang dari pasien Anemia Aplastik dapat
menekan sumsum tulang normal secara in vitro. Hasil dari berbagai
laboratorium telah menunjukkan peningkatan ekspresi sitokin, sel T regulator
CD4 rendah, sel T sitotoksik CD8 oligoklonal, dan ekspansi populasi sel CD4
spesifik di sumsum tulang pasien Anemia Aplastik menjadi rendah. Ditambah
dengan temuan terbaru dari hilangnya lengan pendek kromosom 6 (6pLOH)
heterozigot, mewakili kemungkinan tanda genetik dari kekebalan tubuh yg
menurun.8

Gambar 2. Aktivasi menyimpang dari satu atau lebih klon sel T autoreaktif
yang disebabkan oleh perubahan antigen yang dipersentasikan oleh Major
Histocompability Complex (MHC) pada permukaan Antigen Precenting Cell
(APC).

Bukti saat ini menunjukkan bahwa hasil Anemia Aplastik dari aktivasi
menyimpang dari satu atau lebih klon sel T autoreaktif yang disebabkan oleh
perubahan antigen yang dipresentasikan oleh Major Histocompatibility
Complex (MHC) pada permukaan Antigen Presenting Cell (APC). Perubahan
antigen ini dipicu oleh infeksi virus, paparan bahan kimia, atau mutasi genetik,
dan mengarah pada aktivasi sel T efektor antigen spesifik yang tidak tepat dan
penurunan aktivitas sel T regulator, yang biasanya berfungsi untuk mencegah
autoimunitas. Aktivasi sel T mengarah pada ekspansi dan diferensiasi sel T
yang dibantu oleh IL-2 ke dalam sel T efektor dan sel memori. Sel-sel T
proinflamasi ini menghasilkan berbagai sitokin, termasuk ligan FAS (FASL),
IFN-γ, dan TNF-α yang menginduksi apoptosis sel induk hematopoietik
(HSC) dan mengubah regulasi gen dan mengurangi sintesis protein untuk
mencegah siklus HSC, yang pada akhirnya mengarah ke kegagalan sumsum
tulang. Terapi imunosupresif menekan penghancuran HSC yang dipicu oleh
sel T dengan menghambat Respons sel T di beberapa titik di sepanjang jalur
ini.8

G. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang paling umum dari pasien dengan Anemia
Aplastik adalah anemia dan trombositopenia. Anemia bermanifestasi sebagai
pucat, sakit kepala, jantung berdebar, dispnea, dan kelelahan, sedangkan
trombositopenia bermanifestasi sebagai ruam petekie, mudah memar dan
perdarahan mukosa atau gingiva. Pasien juga dapat mengalami gangguan
penglihatan karena pendarahan retina. Infeksi adalah presentasi manifestasi
yang kurang umum. Diagnosis dipastikan menggunakan aspirasi sumsum
tulang dengan biopsi. Neutropenia meningkatkan kerentanan terhadap infeksi.
Pasien juga mungkin mengeluh sakit kepala dan demam.3,7
H. Diagnosis
Anemia aplastik mungkin asimptomatik dan ditemukan pada
pemeriksaan rutin. Keluhan yang dapat ditemukan sangat bervariasi. Pada
Tabel 3 terlihat bahwa perdarahan, badan lemah dan pusing merupakan
keluhan yang paling sering ditemukan.
Tabel 3. Keluhan Pasien Anemia Aplastik
Jenis Keluhan %
Perdarahan 83
Badan lemah 30
Pusing 69
Jantung berdebar 36
Demam 33
Nafsu makan berkurang 29
Pucat 26
Sesak Napas 23
Penglihatan kabur 19
Telinga berdengung 13

Hasil pemeriksaan fisik pada pasien Anemia Aplastik pun sangat


bervariasi. Pada tabel 4 terlihat bahwa pucat ditemukan pada semua pasien
yang diteliti sedangkan perdarahan ditemukan pada lebih dari setengah jumlah
pasien. Hepatomegali yang sebabnya bermacam-macam ditemukan pada
sebagian kecil pasien sedangkan splenomegali tidak ditemukan pada satu
kasus pun. Adanya splenomegali dan limfadenopati justru meragukan
diagnosis.
Tabel 4. Pemeriksaan Fisik pada Pasien Anemia Aplastik
Jenis Pemeriksaan Fisik %
Pucat 100
Perdarahan
 Kulit 63
 Gusi 34

 Retina 26

 Hidung 20
7
 Saluran cerna
6
 Vagina
Demam 16
Hepatomegali 7
Splenomegali 0

Sebagian besar anak-anak dengan Anemia Aplastik datang dengan


tanda-tanda dan gejala lanjut pansitopenia, dan dapat di diagnosis dengan
temuan laboratorium. Trombositopenia dapat bermanifestasi mudah memar
atau petekie. Epistaksis dan menoragia pada gadis postmenarkal adalah
keluhan umum lainnya. Anemia dapat bermanifestasi sebagai pucat, kelelahan,
atau medah lelah sehingga tidak toleran berolahraga. Neutropenia dapat
menjadi predisposisi infeksi dan demam atau tanda-tanda infeksi dapat terjadi
sebagai keluhan awal. Hepatosplenomegali dan limfadenopati biasanya tidak
ada. Temuan ikterus sering terjadi 2-3 bulan sebelum terjadi pansitopenia,
sesuai dengan Anemia Aplastik terkait hepatitis.8
Riwayat komprehensif harus mencakup pajanan terhadap obat-obatan,
bahan kimia serta gejala infeksi sebelumnya. Riwayat keluarga sitopenia
meningkatkan kecurigaan adanya kelainan diwariskan walaupun tidak ada
kelainan fisik yang tampak. Perlu riwayat keluarga secara terperinci, dan
dinilai untuk penyakit dan tanda yang menunjukkan Inherited Bone Marrow
Failure Syndrome (IBMFS).8
Tabel 5. Karakteristik Inherited Bone Marrow Failure Syndrome (IBMFS)
pada pasien dengan Pansitopenia
Penegakan diagnosis memerlukan pemeriksaan darah lengkap dengan
hitung jenis leukosit, hitung retikulosit, dan aspirasi serta biopsi sumsum
tulang. Pemeriksaan flow cytometry darah tepi dapat menyingkirkan
hemoglobinuria nokturnal paroksismal dan karyotyping sumsum tulang dapat
membantu menyingkirkan sindrom mielodisplastik. Pasien berusia kurang dari
40 tahun perlu diskrining untuk anemia fanconi dengan memakai obat
klastogenik diepoksibutan atau mitomisin.3
Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan. Jenis
anemia adalah normositik normokrom. Kadang-kadang ditemukan pula
makrositosis, anisositosis, poikilositosis. Adanya eritrosit muda atau leukosit
muda dalam darah tepi menandakan bukan anemia aplastik. Granulosit dan
trombosit ditemukan rendah. Limfositosis relatif terdapat pada lebih dari 75%
kasus. Persentase retikulosit umumnya normal atau rendah. Pada sebagian
kecil kasus, persentase retikulosit ditemukan lebih dari 2%, akan tetapi bila
nilai ini dikoreksi terhadap beratnya anemia (corrected reticulocyte count)
maka diperoleh persentase retikulosit normal atau rendah juga. Adanya
retikulositosis setelah dikoreksi menandakan bukan anemia aplastik.3
Pemeriksaan laboratorium laju endap darah selalu meningkat. Penulis
menemukan bahwa 62 dari 70 kasus (89%) mempunyai laju endap darah lebih
dari 100 mm dalam jam pertama.3
Aspirasi sumsum tulang dan biopsi diperlukan untuk menegakkan
diagnosis. Darah lengkap jumlah, jumlah retikulosit, dan pemeriksaan apusan
darah tepi mengkonfirmasi adanya sitopenia dan tidak termasuk tanda-tanda
displasia.
Gambar 3. Aspirasi sumsum tulang dan biopsi dari pasien dengan Anemia
Aplastik yang didapat. Elemen hematopoietik sangat berkurang, dan ada
penggantian ruang sumsum dengan jaringan adiposa. Fokus erythropoiesis
bergeser kiri.8

I. Penatalaksanaan
1. Tata laksana suportif
a. Transfusi
Pemberian informasi dan dukungan psikologis kepada orang
tua dan anak-anak adalah yang paling penting. Langkah-langkah
pencegahan harus diambil untuk menghindari infeksi dan perdarahan,
seperti dekontaminasi pencernaan selektif sebaiknya dengan obat
antibiotik dan anti jamur yang tidak dapat diserap, termasuk
cotrimoxazole, yang juga mencegah Pneumocystis jiroveci yang
merupakan pneumonia. Pencegahan infeksi yang cepat dan pengobatan
infeksi adalah aspek kunci dari perawatan suportif. Dalam kasus
demam neutropenik, antibiotik spektrum luas mulai diberikan setelah
pengambilan kultur darah. Ketika demam berlanjut tanpa sebab yang
diketahui selama lebih dari 2 hari setelah dimulainya antibiotik, terapi
antijamur harus ditambahkan. Transfusi trombosit sebagai profilaksis
harus diberikan ketika jumlah trombosit adalah <10x109/ L (atau <20x
109/ L pada saat demam).9
Tata laksana suportif ditujukan pada gejala-gejala akibat
keadaan pansitopenia yang ditimbulkan. Pasien memerlukan transfusi
sel darah merah dan trombosit dan keputusan untuk transfusi
tergantung pada kadar hemoglobin, gejala dan kualitas hidup pasien.
Transfusi sel darah merah harus diberikan dalam kasus anemia (Hb
<4.5 mmol L, atau < 5.5 mmol/L) dan konsentrat trombosit dalam
kasus perdarahan trombositopenik. Ambang batas transfusi pada
sebagian besar pasien Anemia Aplastik adalah 70 g/L tetapi penyakit
dengan komorbiditas mungkin membutuhkan ambang batas yang lebih
tinggi. Filtrasi leukosit (leukoreduction)/berkurangnya sel darah merah
dan konsentrasi trombosit untuk mencegah alloimunisasi HLA agar
tidak menyebabkan kegagalan transfusi harus digunakan untuk setiap
pasien dengan Anemia Aplastik. Iradiasi hasil darah adalah metode
yang saat ini digunakan untuk mencegah Graft-Versus Host Disease
(GVHD) terkait transfusi dan untuk menurunkan kepekaan terhadap
antigen HLA (human leukocyte antigen), dan non-HLA dari berbagai
transfusi pada pasien yang merupakan kandidat pasien untuk
transplantasi dan untuk pengobatan Anti-Thymocyte Globuline (ATG),
selama dan setelah perawatan sampai jumlah limfosit kembali pulih
>1,0x109 L.1,9
Pada keadaan anemia transfusi leukocyte-poor red cells
bertujuan mengurangi sensitisasi terhadap HLA (human leukocyte
antigen), menurunkan kemungkinan transmisi infeksi hepatitis, virus
sitomegalo dan toksoplasmosis pada beberapa kasus mencegah Graft-
Versus Host Disease (GVHD). Transfusi ini dapat berlangsung
berulang-ulang sehingga perlu diperhatikan efek samping dan bahaya
transfusi seperti reaksi transfusi, hemolitik dan nonhemolitik, transmisi
infeksi penyakit, dan penimbunan zat besi. Perdarahan yang terjadi
sering menyebabkan kematian. Untuk mencegah perdarahan terutama
pada organ vital dapat dilakukan dengan mempertahankan jumlah
trombosit di atas 20.000/uL. Hal ini dapat dilakukan dengan transfusi
suspensi trombosit. Perlu diingat bahwa pemberian suspensi trombosit
dapat menyebabkan keadaan isoimunisasi apabila dilakukan lebih dari
10 kali, dan keadaan ini dapat mempengaruhi keberhasilan terapi.
Isoimunisasi dapat dicegah dengan pemberian trombosit dengan HLA
yang kompatibel dengan pasien. Bila perdarahan tetap terjadi dapat
ditambahkan antifibrinolisis.10
b. G-CSF
G-CSF dalam jadwal harian direkomendasikan selama 30 hari
pertama perawatan untuk pasien dengan VSAA dan SAA yang
menjalani IST. Penggunaan G-CSF juga diterima antara hari 30 dan 90
karena IST dapat mulai pada pasien dengan neutrofil kurang dari
200/mmc. Penggunaan ini bisa berdasarkan jadwal harian atau "sesuai
permintaan" selama hanya neutropenia demam pada pasien SAA dan
VSAA.11

c. Anti-infection Treatment
1) Profilaksis
Profilaksis antibiotik dapat dipertimbangkan pada pasien
dengan neutrofil <200/mmc, antara hari 30 dan hari 90 setelah
terapi IST diberikan. Profilaksis anti-jamur mungkin
dipertimbangkan pada subjek dengan neutrofil secara persisten
<200/mmc. Profilaksis untuk anti-Pneumocystis jiroveci
diindikasikan dengan kotrimoksazol oral atau pentamidine oleh
aerosol jika nilai limfosit rendah (CD4+ <400/mmc atau total
limfosit <1000/mmc). Profilaksis anti-virus dapat dipertimbangkan
pada pasien dengan limfopenia berat setelah pemberian ATG.11
2) Vaksinasi
Tidak ada studi tentang topik ini yang tersedia dalam
literatur. Hanya laporan pengamatan yang bersifat anekdot dimana
Anemia Aplastik yang terjadi setelah vaksinasi yang diketahui.
Pada pasien yang masih menerima vaksinasi CsA tidak dianjurkan.
Secara umum, vaksinasi anti-virus tidak dianjurkan juga pada
pasien yang merespons dan tidak menggunakan terapi setelah
IST.11
3) Pengobatan empiris infeksi bakteri dan jamur
Manajemen infeksi harus dimulai sebelum memberikan
terapi imunosupresif atau tindakan Hematopoietic Stem Cell
Transplantation (HSCT), meskipun terkadang langsung
melanjutkan pada tindakan transplantasi dengan infeksi yang berat
karena dapat memulihkan neutrofil dengan baik.9
Untuk mengatasi infeksi yang timbul karena keadaan
leukopenia, dapat diberikan pemberian antibiotik profilaksis dan
perawatan isolasi. Kebersihan kulit dan perawatan gigi yang baik
sangat penting, karena infeksi yang terjadi biasanya berat dan
sering menjadi penyebab kematian. Pada pasien anemia aplastik
yang demam perlu dilakukan pemeriksaan kultur darah, sputum,
urin, feses, dan kalau perlu cairan serebrospinalis. Bila dicurigai
terdapat sepsis dapat diberikan antibiotik spektrum luas dengan
dosis tinggi secara intravena dan kalau penyebab demam
dipastikan bakteni terapi dilanjutkan sampai 10-14 hari atau sampai
hasil kultur negatif. Bila demam menetap hingga 48 jam setelah
diberikan antibiotik secara empiris dapat diberikan anti jamur.
Pada tata laksana Anemia Aplastik, yang tidak kalah penting
adalah penghindaran dari bahan-bahan fisika maupun kimiawi,
termasuk obat-obatan yang mungkin menjadi penyebab. Bila zat-
zat kimia atau fisika yang bersifat toksik itu ditemukan dan masih
terdapat dalam tubuh, harus diusahakan untuk mengeluarkannya
walaupun hal ini kadang tidak dapat dilakukan.10
4) Terapi Kelasi
Transfusi sel darah merah berulang selama jangka waktu
yang lama akan menyebabkan kelebihan zat besi. Terapi kelasi besi
harus dipertimbangkan ketika ferritin serum >1000 mg/L.
Penanganan yang segera dan hati-hati perlu dilakukan sehubungan
dengan gangguan ginjal, terutama jika ada penggunaan obat
imunosupresif yang nefrotoksik secara bersamaan. Terapi Kelasi
harian dengan deferasirox oral telah dipelajari secara prospektif
pada sebagian besar pasien Anemia Apalastik dengan kelebihan zat
besi. Pengobatan ditoleransi dengan baik dan efektif dalam
menurunkan serum feritin dan transaminase. Selain menghasilkan
perbaikan yang diinginkan dalam fungsi organ dalam beberapa
kasus, terapi kelasi baik dengan deferasirox atau deferoxamine juga
dapat meningkatan hematologis yang signifikan. Deferasirox
diberikan dengan dosis oral 20-30 mg/kgBB/hari adalah obat
pilihan lini pertama. Deferoxamine sulit diberikan terakit
kepatuhan pemberian obat dengan cara subkutan atau intravena dan
peningkatan risiko infeksi Yersinia eneterocolicita. Karena
kelebihan zat besi tidak terjadi dengan cepat, perawatan harus
dimulai 2-3 bulan sebelum HSCT. 1,9,11

2. Tata laksana Spesifik


Tujuan pengobatan Anemia Aplastik adalah untuk mengembalikan
hematopoiesis dengan Hematopoietic Stem Cell Transplantation (HSCT)
atau Immunosuresif Therapy (IST) dengan kombinasi anti thymocyte
globulin (ATG) dan cyclosporine A (CsA). Waktu dan jenis perawatan
tergantung pada derajat keparahan Anemia Aplastik dan pada ketersediaan
donor keluarga yang cocok dengan HLA. Pasien NSAA (Non Severe
Aplastic Anemia) yang tidak bergantung pada transfusi, sekitar 1/3 kasus
dapat mengalami remisi spontan tanpa pengobatan khusus, dan 2/3 sisanya
dapat tetap stabil selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun, atau
berlanjut ke SAA (Severe Aplastic Anemia). IST berpotensi toksik dan
tidak ada bukti jelas bahwa bila segera diberikan bermanfaat pada NSAA.
Anemia Aplastik yang sangat berat (VSAA) sangat jarang mencapai remisi
spontan. Selain itu, interval pengobatan setelah diagnosis ditegakkan lebih
dari 2-3 bulan diketahui memperburuk prognosis. Oleh karena itu setelah
pemeriksaan diagnostik, terapi spesifik harus dimulai.11
a. HSCT dengan donor keluarga yang cocok
Jika donor keluarga yang cocok ditemukan, maka HSCT
dengan menggunkan sel induk BM adalah pengobatan pilihan dalam
SAA, VSAA dan dalam NSAA yang bergantung pada transfusi.
Regimen pemeliharaan yang direkomendasikan pada pasien yang
menjalani HSCT dari HLA donor keluarga kompatibel adalah
pemberian ATG 2,5 mg/kgBB pada hari −4, −3, dan −2 ditambah
siklofosfamid 50 mg/kg pada hari −5. Profilaksis GVHD yang
disarankan adalah Metotreksat (MTX) ditambah dengan siklosporin
(CsA). MTX dapat digunakan dengan dosis 8 mg/m 2 hari pada hari +1,
+3, +6, dan +11 atau 15 mg/m2 pada hari +1 diikuti oleh 10 mg/m 2
pada hari +3, +6, dan +11. Dosis oral siklosporin (CsA) yang
disarankan adalah 1,5 mg/kgBB setiap 12 jam mempertahankan kadar
serum 150–250 ng/ml hingga 9-12 bulan setelah transplantasi. Setelah
waktu ini, dosis harus secara perlahan disesuaikan setidaknya dalam
tiga bulan tanpa GVHD dan dihentikan pada 1 tahun pasca
transplantasi jika tidak ada GVHD.9,11
Gambar 4. Terapi pada anak dengan Anemia Aplastik berat

b. Immunosupresice Treatment (IST)


Jika MFD tidak tersedia, maka IST dengan kombinasi
Antitymocyt Globulin (ATG) + Siklosporin A (CsA), masih
merupakan pilihan lini pertama. Kelangsungan hidup selama sepuluh
tahun pada populasi yang lebih muda sekitar 90%. Studi sebelumnya
menunjukkan isnsiden relaps meningkat secara kumulatif dalam 10
tahun sebesar 15% tetapi analisis terbaru melaporkan tingkat
kegagalan jauh lebih tinggi hingga lebih dari 50%. Sebuah uji coba
prospektif acak telah menunjukkan bahwa baik respons hematologis
dan bertahan hidup pada pasien rawat inap jauh lebih unggul yang
diobati dengan ATG kuda (berturut-turut 68% dan 96%) daripada
ATG kelinci (respon 37%, survival 76%). Hasil ini dikonfirmasi oleh
penelitian terkontrol lainnya. Oleh karena itu ATG kuda adalah sumber
yang direkomendasikan untuk program IST yang pertama. Penggunaan
kelinci ATG dianggap hanya jika ATG kuda tidak tersedia. CsA
dengan dosis penuh 5 mg/kgBB/hari harus dilanjutkan setidaknya 12
bulan setelah pencapaian respon terbaik. Setelah respons tercapai,
dosis diturunkan secara perlahan (5-10% setiap bulan) hingga berhenti
yang seharusnya tidak terjadi sebelum 24 bulan sejak respons terbaik.11
Antitymocyt Globulin menghambat mediasi respons imun
dengan mengubah fungsi sel T atau menghilangkan sel reaktif antigen.
Dosis yang diberikan 100-200 mg/kgBB/intravena. Kontraindikasi
ATG adalah reaksi hipersensitivitas, keadaan leukopenia dan atau
trombositopenia. Penelitian yang membandingkan hasil akhir antara
tata laksana anemia aplastik dengan ATG dan transplantasi sumsum
tulang (TST) dilaporkan bahwa pada 155 pasien anemia aplastik
dewasa yang diterapi dengan TST lebih baik dibandingkan dengan
penggunaan ATG tunggal sesuai protokol terbaru. The European
Blood And Marrow Transplant Severe Anemia Aplastic Working Party
melakukan penelitian pada pasien anemia aplastik tidak berat, yang
diberikan terapi imunosupresan. Disimpulkan bahwa penggunaan
kombinasi ATG dan siklosporin A lebih baik daripada siklosporin A
tunggal dalam kelompok respons hematologi, kualitas respons dan
kematian awal. 10
Siklosporin A (Cs A) merupakan cyclic polypeptide yang
menghambat imunitas humoral, sebagai inhibitor spesifik terhadap sel
limfosit T, mencegah pembentukan IL-2 dan IFN-y, dan dapat
menghambat reaksi imun seperti penolakan jaringan transplan, GVHD,
dan lain-lain. Dosis awal dapat diberikan 8 mg/kgBB/hari peroral
selama 14 hari dilanjutkan dengan dosis 15 mg/kgbb/hari pada anak-
anak dan 12 mg/kgBB/hari pada dewasa. Dosis kemudian
dipertahankan pada kadar 200-500 ug/L untuk menghindari efek
toksik. Bila ditemukan efek toksik, terapi dihentikan 1-4 hari untuk
kemudian dilanjutkan dengan dosis yang lebih rendah. Respons terapi
dengan siklosporin tunggal hanya sekitar 25%. Kombinasi siklosporin
dengan ATG meningkatkan kecepatan remisi sistem hematopoetik
sekitar 70%.10
c. Matched Unrelated or Cord Blood HSCT
Saat ini ada banyak perdebatan tentang peran HSCT dengan
donor darah tali pusat sebagai terapi awal untuk SAA pada orang
dewasa dan pada anak-anak yang tidak memiliki donor yang cocok.
Baru-baru ini sebuah studi multisenter nasional Inggris tentang anak-
anak dengan SAA/VSAA yang tidak memiliki donor yang cocok dan
dirawat dengan HSCT dengan donor darah tali pusat diawal
memberikan kelangsungan hidup yang sangat baik. Hal ini membuat
Kelompok Kanker dan Leukemia Anak-Anak Inggris (CCLG)
merekomendasikan bahwa jika donor yang tidak dapat ditemukan
dengan cepat, maka HSCT dengan donor darah tali pusat dapat
dianggap sebagai pengobatan pada anak-anak yang kekurangan donor
yang cocok. Namun studi terkontrol yang membandingkan MUD lini
depan dengan MSD HSCT lini depan ditunggu untuk lebih
menguatkan perubahan ini dalam pengembangan teknologi untuk
pengobatan SAA.11
IST menginduksi efek samping jangka pendek dan jangka
panjang dan dikaitkan dengan risiko kekambuhan dan evolusi klon
yang signifikan hingga 21% pada 7 tahun. Biasanya kambuh terjadi
dalam 2-4 tahun sejak diagnosis dimana risiko evolusi klon cenderung
meningkat dari waktu ke waktu. Oleh karena itu pasien yang diobati
dengan IST perlu dimonitor secara menyeluruh dalam jangka panjang
setelah perawatan. Pasien yang kambuh setelah respons awal atau yang
tidak pernah menanggapi IST, jika mereka memiliki donor yang tidak
berhubungan dengan 10/10 atau 9/10 HLA, harus menjalani HSCT.
Perawatan ini terbukti jauh lebih unggul dari IST kedua dan baru-baru
ini terbukti menjadi pilihan pengobatan cadangan terbaik setelah IST
dengan OS 78% dan EFS 71%.11
Regimen pemeliharan yang disarankan adalah fludarabine 120
mg/m2 ditambah siklofosfamid 120 mg/kgBB dan ATG 7,5 mg/kgBB
pada hari −2 dan −3. Pada pasien >14 tahun atau multitransfusi
(transfusi N20) penambahan TBI 2 Gy harus dipertimbangkan.11
Namun, mengingat hasil yang sangat baik yang dicapai pada
anak-anak dengan regimen FCC yaitu fludarabine 30 mg/m2/hari
selama 5 hari, siklofosfamid 60 mg/m 2/hari selama 2 hari,
alemtuzumab 0,3 mg/kg/BB/hari selama 3 hari, kombinasi ini juga
dapat dipertimbangkan. Profilaksis GVHD harus dilakukan dengan
pemberian MTX/CsA. Dosis CsA yang disarankan adalah 1,5
mg/kgBB setiap 12 jam untuk mempertahankan kadar serum 150–250
ng/ml hingga 9–12 bulan setelah transplantasi. Dosis harus diturunkan
secara perlahan dalam 3 bulan ke depan tanpa adanya GVHD.
Pemantauan chimerisme berkala juga dianjurkan. MTX dapat
digunakan pada 10 mg/m2 pada hari +1, 8 mg/m2 pada hari +1, +3,
dan +6, atau 10 mg / m2 pada hari +1, +3, dan +6.11

d. Pasien yang refrakter terhadap IST kedua dan tanpa MUD


Mengenai pengobatan non-HSCT alternatif, pilihan terbatas
dan tersedia untuk pasien yang kambuh setelah atau refrakter terhadap
IST atau tidak memenuhi syarat untuk HSCT. 11
Alemtuzumab merupakan antibodi monoklonal anti-CD52,
awalnya digunakan dalam pengobatan neoplasma limfoid telah diuji
pada pasien refraktori Anemia Aplastik yang menunjukkan
kelangsungan hidup selama 4 tahun sebesar 67% dan kelangsungan
hidup bebas benyakit sebesar 37% dengan risiko infeksi yang
terbatas.11
Eltrombopag adalah Agonis Reseptor Trombopoietin (TPOr)
yang merupakan regulator endogen utama dari produksi trombosit.
Alasan penggunaannya adalah bahwa TPOr diekspresikan juga pada
sel induk hematopoietik. Dalam studi fase II pada pasien Anemia
Aplastik yang refrakter terhadap setidaknya satu kali IST, 44% dari
subyek (11/25) memperoleh respons hematologi setelah 12-16 minggu
pengobatan dengan efek samping minimal. Sebuah studi lanjut
menunjukkan tingkat kejadian klonal sebesar 20% pada pasien yang
menerima obat ini lebih lama dan kemungkinan penggunaan obat
dapat dikurangi dengan perawatan dan respon histologis 10% lainnya.
11

Androgen digunakan sebagai terapi Anemia Aplastik sejak


tahun 1960. Efek androgen dalam tata laksana Anemia Aplastik untuk
meningkatkan produksi eritropoetin dan merangsang sel stem eritroid.
Penggunaan androgen tunggal sebagai terapi Anemia Aplastik ternyata
tidak meningkatkan angka kesintasan pada pasien. Penelitian yang
dilakukan di Amerika Serikat, androgen sebagai tambahan terapi
Antitymocyte Globulin (ATG) juga tidak menunjukkan keuntungan,
sedangkan penelitian yang dilakukan di Eropa menunjukkan androgen
hanya meningkatkan respons hematologi tetapi tidak meningkatkan
angka kesintasan. Terapi androgen pada pasien anemia aplastik yang
gagal dengan terapi imunosupresan mungkin berguna, meskipun
berbahaya. Preparat androgen yang sering digunakan adalah metil
testosteron, testosteron enantat, testosteron propionat, oksimetolon dan
etiokolanolon. Dosis yang digunakan adalah 2-5 mg/kgBB/minggu,
secara intramuskular. Dosis Nandrolon dekanoat diberikan 5
mg/kgBB/minggu. Efek samping yang dapat timbul dari pemberian
preparat androgen ini seperti kolestasis, hepatomegali, tumor hepar,
maskulinisasi, kebotakan, dan pembesaran alat kelamin. Pasien dengan
terapi androgen sebaiknya dilakukan pemeriksaan fungsi hati secara
berkala, pemeriksaan ultrasonografi hati setiap tahun, dan pemeriksaan
usia tulang per tahun. 10
Siklofosfamid (CPA) digunakan sebagai terapi anemia
aplastik, dimulai pada saat penggunaan siklofospamid sebagai
persiapan transplantasi sumsum tulang. Siklofosfamid (CPA) adalah
zat kimia yang berkaitan dengan nitrogen mustard. Sebagai agen alkali
CPA terlibat dalam cross-link DNA yang mungkin berhubungan
dengan pertumbuhan sel normal dan neoplasma. Sejumlah peneliti
menyatakan dosis terapi yang diberikan adalah 50 mg/kgbb/hari
selama 4 hari berturut-turut, tetapi perlu diingat dosis tinggi yang
diberikan akan meningkatkan efek tosik yang serius dan efek terapi
yang ditimbulkan tidak lebih baik dibandingkan dengan terapi
kombinasi. Penelitian yang dilakukan terhadap 10 pasien anemia
aplastik berat dengan pemberian CPA 45 mg/kgbb/hari selama 4 hari,
memberikan hasil lebih efektif dibandingkan dengan imunosupresan
konvensional lainnya, dalam hal memperbaiki hematopoesis normal
dan pencegahan relaps atau kelainan-kelainan klonal sekunder,
meskipun tanpa dilakukan TST. Penelitian yang dilakukan terhadap 19
pasien yang diberikan CPA dengan dosis 50 mg/kgbb/hari selama 4
hari didapatkan hasil terapi CPA dosis tinggi tanpa TST membuat
remisi bebas pada pasien anemia aplastik berat. Penelitian ini
dilakukan pada pasien yang tidak dapat dilakukan transplantasi
sumsum tulang. 10
Metilprednisolon Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
metilprednisolon dosis rendah 2-4 mg/kgBB/hari, dapat digunakan
untuk mengurangi perdarahan dan gejala serum sickness.
Metilprednisolon dosis tinggi memberikan respons pengobatan yang
baik sampai 40%. Dosis metilprednisolon adalah 5 mg/kgBB secara
intravena selama 8 hari kemudian dilakukan tappering dengan dosis 1
mg/kgBB/hari selama 9-14 hari, lalu tappering selama 15-29 hari.
Pemakaian kortikosteroid dibatasi pada keadaan antilimfosit globulin
tidak tersedia atau terlalu mahal. Efek samping antara lain ulkus
peptikum, edem, hiperglikemia, dan osteonekrosis. 10 Prednisolon saja
tidak boleh digunakan untuk mengobati anak-anak dengan Anemia
Aplastik karena tidak efektif dan mendorong infeksi bakteri dan
jamur.9
Antilimfosit globulin (ALG) adalah sitolitik sel T yang
bersama dengan siklosponin berperan dalam menghambat fungsi sel T,
khususnya dalam produksi limfokin-limfokin supresif. Pemberian
ALG secara cepat akan mengurangi limfosit dalam sirkulasi sehingga
berkurang 10%, dan ketika limfosit total kembali normal berarti
limfosit T aktif jumlahnya berkurang. Sediaan ALG invitro
merangsang proliferasi sel T dan mempromosikan sekresi beberapa
faktor pertumbuhan. Antilimfosit globulin dapat diberikan dengan
dosis 40 mg/kgBB/hari selama 12 jam dilanjutkan dengan infus yang
dikombinasikan dengan metilprednisolon 1 mg/kgBB/hari intravena
selama 4 hari. Dapat juga diberikan dosis 20 mg/kgBB/hari selama 4-6
jam dengan infus intravena selama 8 hari berturut-turut yang
dikombinasikan dengan prednison 40 mg/m2/hari selama 5 hari dimulai
pada hari terakhir pemberian ALG. ALG dapat menyebabkan perasaan
panas dingin, kemerahan, trombositopenia dan serum sickness.
Keberhasilan terapi menggunakan ALG tunggal sekitar 50%.10
3. Tata Laksana Definitif
Sebenarnya terapi definitif untuk anemia aplastik adalah
Transplantasi sumsum tulang (TST). Faktor-faktor seperti usia pasien,
adanya donor saudara yang cocok (matched sibling donor), dan faktor-
faktor seperti infeksi aktif atau beban transfusi harus dipertimbangkan
untuk menentukan apakah pasien paling baik mendapat terapi TST. Pasien
yang lebih muda umumnya mentoleransi TST lebih baik dan sedikit
mengalami GVHD. Pasien yang lebih tua dan yang mempunyai
komorbiditas biasanya ditawarkan serangkaian terapi imunosupresif.
Transplantasi sumsum tulang pada kasus anemia aplastik berat pertama
kali dilakukan pada tahun 1970. Sayangnya hanya 25-30% pasien yang
mendapatkan donor yang diharapkan. Pengobatan anemia aplastik dengan
transplantasi sumsum tulang meningkatkan angka kesintasan sekitar 60-
70%. Pasien berusia muda tanpa transfusi berulang mempunyai respon
yang lebih baik lagi sekitar 85-95% karena limfosit pasien tersebut belum
tersensitisasi oleh paparan antigen sebelumnya. Risiko terjadinya Graft-
Versus-Host-Disease (GVHD) dan pneumonia interstisial menurun tetapi
risiko terjadinya penolakan jaringan transplan tidak. Penelitian lain yang
dilakukan terhadap 212 pasien anemia aplastik didapatkan bahwa TST
menyebabkan hematopoesis menjadi normal dengan penyebab morbiditas
dan mortalitas yang utama akibat GVHD kronik. Penelitian yang
dilakukan terhadap 6.691 pasien yang dilakukan TST alogenik ternyata
kemungkinan dapat sembuh lebih besar, meskipun beberapa tahun setelah
TST mortalitasnya lebih tinggi dibandingkan populasi normal. Sulitnya
mencari donor yang sesuai dengan pasien, dapat diatasi dengan TST yang
berasal dari cord blood; dan penelitian yang dilakukan terhadap 78 pasien
yang mendapat TST cord blood dan donor yang related, dan 65 pasien
yang dilakukan TST dengan donor unrelated, disimpulkan bahwa cord
blood adalah altematif yang mungkin sebagai sumber sel induk untuk TST
pada anak-anak dan dewasa dengan kelainan hematologis mayor, terutama
jika donor dan recipient related. Komplikasi TST yang paling sering
terjadi adalah GVHD, graft failure dan infeksi. Penelitian retrospektif yang
dilakukan Min CK, dan kawan-kawan terhadap 40 pasien anemia aplastik
yang dilakukan TST alogenik didapatkan insidens graft failure, GVHD
akut, GVHD kronis masing-masing 22,5%, 12,8% and 23,1%. sedangkan
5% pasien mengalami pneumonia interstisial dan 2,5% pneumonia. 10

J. Diagnosis Banding
Adanya sumsum tulang berlemak pada biopsy menunjukkan aplasia;
namun hiposelularitas sumsum dapat terjadi pada penyakit hematologi
lainnya. Uji diagnostik yang baru telah mempengaruhi diagnosis banding dan
pemahaman kita tentang kegagalan sumsum tulang (Gambar 3). Perbedaan
antara anemia aplastik didapat dan herediter telah dipertajam dengan assay
spesifik untuk kelainan kromosomal dan zat kimia tertentu yang menandai
anemia Fanconi. Meskipun biasanya muncul pada saat anak-anak, anemia
Fanconi dapat didiagnosis pada saat dewasa, walaupun tanpa kelainan skeletal
atau urogenital.3
Sumsum tulang hiposeluler dibutuhkan untuk diagnosis anemia
aplastik. Namun, aspirat kadang-kadang secara mengejutkan tampak selular
meskipun secara mengejutkan tampak selular meskipun secara keseluruhan
sumsum tulang hiposeluler, sebab sebagian besar pasien mempunyai sarang-
sarang hemopoiesis yang masih berlangsung. Jadi, core biopsy 1-2 cm penting
untuk pengkajian selularitas. Diseritropoiesis ringan bukan tidak laziem pada
anemia aplastik, khususnya pada pasien yang juga memiliki populasi sel-sel
hemoglobinuria nocturnal paroksismal kecil sampai sedang. Namun, adanya
sejumlah kecil sel-sel blast myeloid, atau gambaran displastik seri myeloid
atau megakaryosit membantu diagnosis sindrom myelodisplastik hypoplastik.3
1. Myelodisplasia Hiposeluler
Membedakan anemia aplastik dari sindrom myelodisplastik
hypoplastik dapat menjadi tantangan khususnya untuk pasien yang tua
karena sindrom ini lebih banyak terjadi.

2. Leukemia Limfositik Granula Besar


Penyakit ini juga dapat menjadi diagnosis untuk sumsum tulang
yang kosong atau displastik. Limfosit granular besar dapat dikenali dari
fenotipenya yang berbeda pada pemeriksaan mikroskopik darah, yaitu pola
pulasan sel-sel khusus pada flow cytometry dan ketidakteraturan reseptor
sel T yang membuktikan adanya ekspansi monoclonal populasi sel T.
3. Anemia aplastik dan Hemoglobinuria Nokturnal Paroksismal
PNH adalah kelainan sumsum tulang yang didapat yang
menyebabkan pansitopenia dan trombosis karena komplemen dimediasi
kerusakan sel darah. PNH berkembang ketika sel punca hematopoietik
mengalami mutasi somatik pada PIG-A, yang dianggap sebagai perlekatan
strategis dari multi-plotein pada membran sel melalui jangkar glikosil
fosfatidlinlinositida. Sebagai konsekuensinya, semua sel darah yang
diproduksi oleh sel Amutan PIG tidak menampilkan permukaan protein
yang dihambat GPI. Protein-protein ini termasuk CD55 dan CD59, dua
antigen yang melindungi sel-sel darah dari kerusakan yang saling
melengkapi. Di PNH, tidak ada dari protein pada membran sel darah
membuat sel rentan terhadap lisis komplemen. Kerusakan sel darah
menyebabkan pansitopenia. Anak-anak yang mengalami PNH mengalami
sakit perut berulang, sakit kepala, dan malaise tidak sesuai dengan anemia
mereka. Hemoglobinuria, tanda eponymous dari PNH, disebabkan oleh
kerusakan intravaskular sel darah merah dan pelepasan hemoglobin ke
dalam aliran darah. 12
Terdapat hubungan klinis yang sangat kuat antara anemia aplastik
dan PNH. Pada PNH, sel asal hematopoietic abnormal menurunkan
populasi sel darah merah, granulosit, dan trombosit yang semuanya tidak
mempunyai sekelompok protein permukaan sel. Dasar genetik PNH
adalah mutasi pada gen PIG-A di kromosom X yang menghentikan sintesis
struktur jangkar glikosilfosfatidilinositol. Defisiensi protein ini
menyebabkan hemolisis intravaskular yang mengakibatkan
ketidakmampuan eritrosit untuk menginaktivasi komplemen permukaan.
Tidak adanya protein tersebut mudah dideteksi dengan flow cytometri.
Telah lama diketahui bahwa beberapa pasien PNH akan mengalami
kegagalan sumsum tulang dan sebaliknya PNH akan dapat ditemukan
sebagai “peristiwa klonal lanjut” bertahun-tahun setelah diagnosis anemia
aplastik. Pemeriksaan flow cytometry memperlihatkan bahwa sejumlah
besar pasien dengan kegagalan sumsum tulang mengalami ekspansi klon
PNH hematopietik pada saat datang.3
PNH didiagnosis dengan pemeriksaan flow cytometry yang
mendeteksi antigen CD55/CD59 pada permukaan sel darah. Ukuran "klon
PNH" dikuantifikasi dengan mengukur fraksi granulosit PNH (sel darah
merah PNH yang lisis cepat dalam aliran darah). Darah seorang pasien
PNH mengandung campuran sel-sel darah normal yang dihasilkan oleh
sel-sel sumsum tulang yang sehat dan “klon PNH” yang tidak memiliki
antigen CD55/CD59 mewakili keturunan sel batang hematopoietik yang
kekurangan PIG-A yang efisien. Ukuran klon PNH memiliki implikasi
diagnostik dan terapeutik. Dalam PNH klasik, lebih dari 50% sel darah
mewakili klon PNH. Evaluasi sumsum tulang mungkin tidak diperlukan
jika diagnosis PNH klasik ditegakkan melalui pemeriksaan flow cytometry.
Sebagian besar pasien dengan PNH memiliki sumsum tulang
normoseluler, tetapi PNH dapat berkembang menjadi anemia aplastik.12

K. Komplikasi
Penggunaan imunosupresif dapat meningkatkan keganasan sekunder.
Pada penelitian di luar negeri dari 103 pasien yang diobati dengan ALG, 20
pasien diikuti dalam jangka panjang berubah menjadi leukemia akut,
mielodisplasia, PNH, dan adanya risiko terjadi hepatoma. Kejadian ini
mungkin merupakan riwayat alamiah penyakit walaupun komplikasi tersebut
lebih jarang ditemukan pada transplantasi sumsum tulang.3

L. Prognosis
Riwayat alamiah anemia aplastik dapat berupa; 1) Berakhir dengan
remisi sempurna. Hal ini jarang terjadi kecuali bila iatrogenic akibat
kemoterapi atau radiasi. Remisi sempurna biasanya terjadi segera. 2)
Meninggal dalam 1 tahun. Hal ini terjadi pada sebagian besar kasus. 3)
Bertahan hidup selama 20 tahun atau lebih. Membaik dan bertahan hidup lama
namun kebanyakan kasus mengalami remisi tidak sempurna.3
Jadi, pada anemia aplastik telah dibuat cara pengelompokan lain untuk
membedakan antara anemia aplastik berat dengan prognosis buruk dengan
anemia aplastik ringan dengan prognosis yang lebih baik. Dengan kemajuan
pengobatan, prognosis menjadi lebih baik.3
Penggunaan imunosupresif dapat meningkatkan keganasan sekunder.
Pada penelitian di luar negeri dari 103 pasien yang diobati dengan ALG, 20
pasien yang diikuti dalam jangka waktu yang panjang berubah menjadi
leukemia akut, mielodisplasia, PNH, dan adanya risiko terjadi hepatoma.
Kejadian ini mungkin merupakan riwayat alamiah penyakit walaupun
komplikasi tersebut lebih jarang ditemukan pada transplantasi sumsum
tulang.3
DAFTAR PUSTAKA
1. Clesham, K., Bhatnagar, N., Samarasinghe, S. 2019. Diagnosis and
Management of Childhood Aplastic Anaemia. Journal Paediatrics and Child
Health 29(8). Department Of Haematology, Great Ormond Street Hospital,
London. UK
2. Bhatnagar, N., Samarasinghe, S. 2015. Diagnosis and Management of
Childhood Aplastic Anaemia. Journal Paediatrics And Child Health.
Department Of Haematology, Great Ormond Street Hospital, London. UK.
3. Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A.W., Simadibrata, M., Setiyohadi, B., Syam,
A.F., 2014. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Interna Publishing. Jakarta
4. Nelonda, R., Munthe, E.K., Setiadhi, R. 2019. Terapi Imunosupresan pada
Pasien Anemia Aplastik dengan Perdarahan Gusi: Menyembuhkan atau
Memperparah?. Odonto Dental Journal 6(1). Oral Medicine Department,
Faculty of Dentistry,Universitas Padjadjaran, Bandung. Indonesia
5. Miano,M.,· Dufour, C. 2015. The diagnosis and treatment of aplastic anemia:
a review. Int J Hematol (2015) 101:527–535. Clinical and Experimental
Haematology Unit, G. Gaslini Children’s Hospital. Italy
6. Hossain ,M,L., Xie1, S. 2018. Patient features and survival of pediatric
aplastic anemia in the USA: a large institution experience. Journal of Public
Health pp. 1–9. Washington. USA
7. Lim, T., Melendres. 2019. Clinical and Demographic Profile of Pediatric
Patients with Aplastic Anemia Seen in the Philippine National Tertiary
Hospital from 2006 to 2013. Asp J Pediatrics Child Healt 1(1). Department of
Pediatrics, Philippine General Hospital, Taft Avenue, Ermita, Manila.
Philippines
8. Hartung, H.D., Bessler, M., Olson, I.S. 2013. Acquired Aplastic Anemia in
Children. Journal Pediatr Clin N Am 60 page; 1311–1336. Division of
Hematology, Department of Pediatrics, Comprehensive Bone Marrow Failure
Center, The Children’s Hospital of Philadelphia. USA
9. Korthof, E.T., Bekassy, A.N., Hussein, A.A. 2013. Management of acquired
aplastic anemia in children. Journal Bone Marrow Transplantation p; 191–
195. Department of Pediatrics/Willem-Alexander Children’s Hospital,
Division of Stem Cell Transplantation, Leiden University Medical Center,
Leiden, The Netherlands
10. Isyanto, Abdulsalam, M. 2005. Masalah pada Tata Laksana Anemia Aplastik
Didapat Masalah pada Tata Laksana Anemia Aplastik Didapat Masalah pada
Tata Laksana Anemia Aplastik Didapat. Jurnal Sari Pediatri 7(1) p: 26-3.
Divisi Hematologi-onkologi. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI RSCM.
Jakarta
11. Baronea, B., Lucarellib, A., Onofrilloc, D., Verzegnassid, F., Bonanomie, S.,
Cesarof, S., Fioreddag, F., Iorih, A.P., Ladoganai, S., Locasciullij, A.,
Longonie, D., Lanciottig, M., Macalusok, A., Mandagliol, R., Marram, N.,
Martiren, B., Maruzzii, M., Mennam, G., Notarangeloo, L.D., Palazzip, G.,
Pillonq, M., Ramenghi, U., Russo s, G., Svahng, J., Timeust, F., Tucciu, F.,
Cugnov, C., Zeccav, M., Farruggiak, P., Dufourg, C., Saracco, P. 2015.
Diagnosis and management of acquired aplastic anemia in childhood.
Guidelines from the Marrow Failure Study Group of the Pediatric Haemato-
Oncology Italian Association (AIEOP). Journal Blood Cells, Molecules and
Diseases p; 40–47. Department ofPediatric Onco-Hematology, University
Hospital, Parma,Italy
12. Sharma, R., Nalepa, G. MD. 2016. Evaluation and Management of Chronic
Pancytopenia. Journal Pediatrics in Review 37(3). Department of Pediatrics,
Division of Pediatric Hematology-Oncology, Indiana University School of
Medicine, Indianapolis, IN.

Anda mungkin juga menyukai