ANEMIA APLASTIK
Oleh:
Ninis Ilmi Octasari, S.Ked
K1A1 15 095
Pembimbing:
dr. Yeni Haryani, M.Kes., Sp.A
B. Definisi
Anemia aplastik (AA) adalah gangguan perdarahan yang serius dan
sering fatal, ditandai oleh kegagalan sel prekursor hematopoietik pada
sumsum tulang untuk menghasilkan eritrosit, granulosit, dan trombosit yang
mengakibatkan pansitopenia.4 Anemia Aplastik didefinisikan sebagai
pansitopenia yang terkait dengan sumsum tulang hiposelular persisten tanpa
adanya tanda-tanda displastik dan fibrosis sumsum tulang. Setidaknya dua
kelainan dalam sel darah perifer diperlukan untuk mengkonfirmasi diagnosis.
Nilai harus memenuhi <10 gr/dL untuk hemoglobin, <1,5×109/L untuk
neutrofil dan <50×109/L untuk trombosit. Tingkat keparahan Anemia Aplastik
didefinisikan sesuai dengan kriteria Camitta yang dimodifikasi sebagai
berikut:5
Tabel 1. Definisi tingkat keparahan pasien Anemia Aplastik5
C. Epidemiologi
Anemia Aplastik yang didapat adalah kelainan langka dengan insidensi
sekitar 2 kasus pada 1 juta anak per tahun di Amerika Utara dan Eropa dan
insiden 2-3 kali lipat lebih tinggi di Asia. Rasio prevalensi Anemia Aplastik
adalah sama pada remaja, pria, wanita dan dewasa muda serta orang tua.
D. Insiden
Insiden Anemia Aplastik tiap tahun di Amerika Utara dan Eropa
adalah antara 2-6 kasus per 1 juta anak. Di Thailand, insiden Anemia Aplastik
adalah 4 juta per populasi pada daerah perkotaan dan 6 juta per populasi di
daerah pedesaan. Insiden di Jepang adalah 31-48 juta per populasi, sedangkan
insiden di Tiongkok adalah 19-21 juta kasus per populasi. Di Asia, angka
tersebut 2-3 kali lipat lebih tinggi. Insiden masa kanak-kanak didapat pada
usia sekitar 2-5 tahun dengan prevalensi anak laki-laki dan perempuan yang
hampir sama. Anemia aplastik lebih sering terjadi di negara-negara Asia.
Insiden yang terus meningkat di negara-negara Asia disebabkan oleh faktor
risiko lingkungan daripada faktor genetik, karena peningkatan insiden tidak
diamati di antara orang Asia yang tinggal di negara-negara Barat. Tidak ada
kecenderungan jenis kelamin pada anemia aplastik. Penyakit ini menyerang
semua kelompok umur, dengan puncak usia di antara pasien berusia 10-25
tahun dan pasien yang lebih tua dengan usia >60 tahun.6,7
E. Etiologi
Etiologi anemia aplastik dapat diklasifikasikan sebagai kongenital dan
didapat. Etiologi karena kongenital menyumbang 20% dari kasus. Kasus-
kasus ini termasuk Anemia Fanconi, Dyskeratosis Congenital, Cartilage-Hair
Hypoplasia, Pearson syndrome, amegakaryocytic Thrombocytopenia,
Shwachman-Diamond Syndrome, Dubowitz Syndrome, Diamond-Blackfan
Syndrome and Familial Aplastic Anemia. Anemia aplastik dengan etiologi
didapat menyebabkan 80% kasus. Kasus-kasus ini termasuk infeksi seperti
virus hepatitis, virus Epstein-Barr, virus human immunodefisiensi, parvovirus,
dan mikobakteria; paparan racun terhadap radiasi dan bahan kimia; penyakit
graft-versus-host yang terkait transfusi; dan fasciitis eosinofilik. Sebagian
besar kasus dianggap idiopatik dan diklasifikasikan sebagai anemia aplastik
yang didapat.7
Anemia aplastik dianggap disebabkan oleh paparan terhadap bahan-
bahan toksik seperti radiasi, kemoterapi, obat-obatan atau senyawa kimia
tertentu. Penyebab lain meliputi kehamilan, hepatitis viral, dan fasciitis
eosinofilik. Jika pada seorang pasien tidak diketahui faktor penyebabnya,
maka pasien digolongkan anemia aplastik idiopatik. Beberapa etiologi abemia
palastik tercantum pada tabel berikut.3
Tabel 2. Klasifikasi Etiologi Anemia Aplastik
Toksisitas langsung
Iatrogenik : Radiasi dan Kemoterapi
Benzena
Metabolic Intermediate beberapa jenis obat
Penyebab yang diperantarai imun
Iatrogenik : Transfusion-associated graft versus host disease
Fasciitis eosinofilik
Penyakit terkait hepatitis
Kehamilan
Metabolit intermediet beberpa jenis obat
Anemia apalstik idiopatik
F. Patofisiologi
Patofisiologi dari Anemia Aplastik adalah tergantung etiologi dari
penyakit tersebut. Anemia aplastik terkait obat tejadi karena hipersensitivitas
atau dosis obat yang berlebihan. Obat yang banyak menyebabkan anemia
aplastik adalah kloramfenikol. Obat-obatan lain juga yang sering dilaporkan
adalah fenilbutazon, senyawa sulfur, emas dan antikonvulsan, obat-obatan
sitotoksik misalnya mileran atau nitrosurea. Bahan kimia terkenal yang dapat
menyebabkan anemia aplastik ialah senyawa benzena.3
Penyakit infeksi yang dapat menyebabkan Anemia Aplastik, misalnya
virus epstein-barr, Influenza A, dengue, tuberkulosis (milier). Sitomegalovirus
dapat menekan produksi sel sumsum tulang, melalui gangguan pada sel-sel
stroma smsung tulang. Infeksi HIV yang dapat berkembang menjadi AIDS
dapat menyebabkan pansitopenia. Infeksi kronik oleh parvovirus pada pasien
dengan defisiensi imun juga dapat menimbulkan pansitopenia.3
Pada kehamilan, kadang-kadang ditemukan pansitopenia disertai
aplasia sumsum tulang yang berlangsung sementara. Hal ini mungkin
disebabkan oleh esterogen pada seseorang dengan predisposisi genetik, adanya
zat penghambat dalam darah atau tidak ada perangsang hematopoiesis.
Anemia aplastik sering sembuh setelah terminasi kehamilan namun dapat
terjadi lagi pada kehamilan berikutnya.3
Namun sekarang diyakini ada penjelasan patofisiologis Anemia
Aplastik yang telah disimpulkan dari berbagai observasi klinis hasil terapi dan
eksperimen laboratorium yang sistematik. Di akhir tahun 1960-an, Mathe et al
memunculkan teori baru berdasarkan kelainan autoimun setelah melakukan
transplantasi sumsum tulang untuk menyembuhkan Anemia Aplastik
memperlihatkan adanya kondisi defisiensi dari sel stem cell.3
Adanya reaksi autoimunitas pada Anemia Aplastik juga dibuktikan
oleh percobaan in vitro yang memperlihatkan bahwa limfosit dapat
menghambat pembentukan koloni hemopoietik alogenik dan autoglosus.
Setelah itu, diketahui bahwa limfosit T sitotoksik memperantarai destruksi sel-
sel hemopoietik pada kelainan ini. Sel-sel T efektor tampak lebih jelas di
sumsum tulang dibandingkan dengan darah tepi pada pasien Anemia Aplastik.
Sel-sel tersebut menghasilkan IFN-γ dan TNF-α yang merupakan inhibitor
langsung hemopoiesis dan meningkatkan ekspresi Fas pada sel-sel CD34 +.
Hasil klon sel-sel immortal yang positif CD4 dan CD8 dari pasien Anemia
Aplastik juga mensekresi sitokin T-helper-1 yang bersifat toksik langsung ke
sel-sel CD34 positif autologus.3
Sebagian besar Anemia Aplastik didapat secara patofisiologis ditandai
oleh dekstruksi spesifik yang diperantarai oleh sel T ini. Pada seorang pasien,
kelainan respon imun tersebut kadang-kadang dapat dikaitkan dengan infeksi
virus atau pajanan obat tertentu atau zat kimia tetentu. Sangat sedikit bukti
adanya mekanisme lain seperti toksisitas langsung pada stem sel atau
defisiensi fungsi faktor pertumbuhan hematopoietik. Lagipula derajat
dekstruksi stem sel dapat menjelaskan variasi kualitatif, dan respon imun
dapat menerangkan respons terhadap terapi imunosupresif. Respon terhadap
terapi imunosupresif menunjukkan adanya mekanisme imun yang
bertanggung jawab atas kegagalan hematopoietik.3 Kegagalan produksi sel
darah bertanggung jawab atas kosongnya sumsum tulang yang tampak jelas
pada pemeriksaan apusan aspirat sumsum tulang atau spesimen dengan core
biopsy sumsum tulang. Hasil pencitraan dengan Magnetic Resonance Imaging
(MRI) vertebra memperlihatkan digantinya sumsum tulang oleh jaringan
lemak yang merata. Secara kuantitatif, sel-sel hematopietik yang imatur dapat
dihitung dengan pemeriksaan flow cytometry. Sel-sel tersebut
mengekspresikan protein cytoadhesive yang disebut CD34. Pada pemeriksaan
flow cytometry, antigen sel CD34 dideteksi secara fluoresens satu persatu,
sehingga jumlah sel-sel CD34+ dapat dihitung dengan tepat. Pada Anemia
Aplastik, sel-sel CD34+ juga hampir tidak ada, yang berarti bahwa sel-sel
induk pembentuk koloni eritroid, myeloid, dan megakaryositik sangat kurang
jumlahnya. Pasien yang mengalami pansitopenia mungkin telah mengalami
penurunan populasi stem sel dan sel induk sampai sekitar 1% atau kurang.
Defisiensi yang berat tersebut mempunyai konsekuensi kualitatif, yang
dicerminkan oleh pemendekan telomere granulosit pada pasien Anemia
Aplastik.3
Banyak data laboratorium yang mendukung hipotesis bahwa pada
pasien Anemia Aplastik didapat, limfosit bertanggung jawab atas dekstruksi
kompartemen sel hematopoietik. Eksperimen awal memperlihatkan bahwa
limfosit pasien menekan hematopiesis. Sel-sel ini memproduksi faktor
penghambat yang akhirnya diketahui adalah IFN-γ. Adanya aktivasi respon sel
T helper 1 (Th1) disimpulkan dari sifat imunofenotipik. Produksi dari sel-sel
T, interferon, TNF-α. dan IL-2 yang berlebihan. 3 Selama bertahun-tahun,
patogenesis yang dimediasi imun telah dipostulasikan untuk Anemia Aplastik
karena terapi imunosupresif (IST) sering berhasil dalam pengobatan Anemia
Aplastik, dan limfosit sumsum tulang dari pasien Anemia Aplastik dapat
menekan sumsum tulang normal secara in vitro. Hasil dari berbagai
laboratorium telah menunjukkan peningkatan ekspresi sitokin, sel T regulator
CD4 rendah, sel T sitotoksik CD8 oligoklonal, dan ekspansi populasi sel CD4
spesifik di sumsum tulang pasien Anemia Aplastik menjadi rendah. Ditambah
dengan temuan terbaru dari hilangnya lengan pendek kromosom 6 (6pLOH)
heterozigot, mewakili kemungkinan tanda genetik dari kekebalan tubuh yg
menurun.8
Gambar 2. Aktivasi menyimpang dari satu atau lebih klon sel T autoreaktif
yang disebabkan oleh perubahan antigen yang dipersentasikan oleh Major
Histocompability Complex (MHC) pada permukaan Antigen Precenting Cell
(APC).
Bukti saat ini menunjukkan bahwa hasil Anemia Aplastik dari aktivasi
menyimpang dari satu atau lebih klon sel T autoreaktif yang disebabkan oleh
perubahan antigen yang dipresentasikan oleh Major Histocompatibility
Complex (MHC) pada permukaan Antigen Presenting Cell (APC). Perubahan
antigen ini dipicu oleh infeksi virus, paparan bahan kimia, atau mutasi genetik,
dan mengarah pada aktivasi sel T efektor antigen spesifik yang tidak tepat dan
penurunan aktivitas sel T regulator, yang biasanya berfungsi untuk mencegah
autoimunitas. Aktivasi sel T mengarah pada ekspansi dan diferensiasi sel T
yang dibantu oleh IL-2 ke dalam sel T efektor dan sel memori. Sel-sel T
proinflamasi ini menghasilkan berbagai sitokin, termasuk ligan FAS (FASL),
IFN-γ, dan TNF-α yang menginduksi apoptosis sel induk hematopoietik
(HSC) dan mengubah regulasi gen dan mengurangi sintesis protein untuk
mencegah siklus HSC, yang pada akhirnya mengarah ke kegagalan sumsum
tulang. Terapi imunosupresif menekan penghancuran HSC yang dipicu oleh
sel T dengan menghambat Respons sel T di beberapa titik di sepanjang jalur
ini.8
G. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang paling umum dari pasien dengan Anemia
Aplastik adalah anemia dan trombositopenia. Anemia bermanifestasi sebagai
pucat, sakit kepala, jantung berdebar, dispnea, dan kelelahan, sedangkan
trombositopenia bermanifestasi sebagai ruam petekie, mudah memar dan
perdarahan mukosa atau gingiva. Pasien juga dapat mengalami gangguan
penglihatan karena pendarahan retina. Infeksi adalah presentasi manifestasi
yang kurang umum. Diagnosis dipastikan menggunakan aspirasi sumsum
tulang dengan biopsi. Neutropenia meningkatkan kerentanan terhadap infeksi.
Pasien juga mungkin mengeluh sakit kepala dan demam.3,7
H. Diagnosis
Anemia aplastik mungkin asimptomatik dan ditemukan pada
pemeriksaan rutin. Keluhan yang dapat ditemukan sangat bervariasi. Pada
Tabel 3 terlihat bahwa perdarahan, badan lemah dan pusing merupakan
keluhan yang paling sering ditemukan.
Tabel 3. Keluhan Pasien Anemia Aplastik
Jenis Keluhan %
Perdarahan 83
Badan lemah 30
Pusing 69
Jantung berdebar 36
Demam 33
Nafsu makan berkurang 29
Pucat 26
Sesak Napas 23
Penglihatan kabur 19
Telinga berdengung 13
Retina 26
Hidung 20
7
Saluran cerna
6
Vagina
Demam 16
Hepatomegali 7
Splenomegali 0
I. Penatalaksanaan
1. Tata laksana suportif
a. Transfusi
Pemberian informasi dan dukungan psikologis kepada orang
tua dan anak-anak adalah yang paling penting. Langkah-langkah
pencegahan harus diambil untuk menghindari infeksi dan perdarahan,
seperti dekontaminasi pencernaan selektif sebaiknya dengan obat
antibiotik dan anti jamur yang tidak dapat diserap, termasuk
cotrimoxazole, yang juga mencegah Pneumocystis jiroveci yang
merupakan pneumonia. Pencegahan infeksi yang cepat dan pengobatan
infeksi adalah aspek kunci dari perawatan suportif. Dalam kasus
demam neutropenik, antibiotik spektrum luas mulai diberikan setelah
pengambilan kultur darah. Ketika demam berlanjut tanpa sebab yang
diketahui selama lebih dari 2 hari setelah dimulainya antibiotik, terapi
antijamur harus ditambahkan. Transfusi trombosit sebagai profilaksis
harus diberikan ketika jumlah trombosit adalah <10x109/ L (atau <20x
109/ L pada saat demam).9
Tata laksana suportif ditujukan pada gejala-gejala akibat
keadaan pansitopenia yang ditimbulkan. Pasien memerlukan transfusi
sel darah merah dan trombosit dan keputusan untuk transfusi
tergantung pada kadar hemoglobin, gejala dan kualitas hidup pasien.
Transfusi sel darah merah harus diberikan dalam kasus anemia (Hb
<4.5 mmol L, atau < 5.5 mmol/L) dan konsentrat trombosit dalam
kasus perdarahan trombositopenik. Ambang batas transfusi pada
sebagian besar pasien Anemia Aplastik adalah 70 g/L tetapi penyakit
dengan komorbiditas mungkin membutuhkan ambang batas yang lebih
tinggi. Filtrasi leukosit (leukoreduction)/berkurangnya sel darah merah
dan konsentrasi trombosit untuk mencegah alloimunisasi HLA agar
tidak menyebabkan kegagalan transfusi harus digunakan untuk setiap
pasien dengan Anemia Aplastik. Iradiasi hasil darah adalah metode
yang saat ini digunakan untuk mencegah Graft-Versus Host Disease
(GVHD) terkait transfusi dan untuk menurunkan kepekaan terhadap
antigen HLA (human leukocyte antigen), dan non-HLA dari berbagai
transfusi pada pasien yang merupakan kandidat pasien untuk
transplantasi dan untuk pengobatan Anti-Thymocyte Globuline (ATG),
selama dan setelah perawatan sampai jumlah limfosit kembali pulih
>1,0x109 L.1,9
Pada keadaan anemia transfusi leukocyte-poor red cells
bertujuan mengurangi sensitisasi terhadap HLA (human leukocyte
antigen), menurunkan kemungkinan transmisi infeksi hepatitis, virus
sitomegalo dan toksoplasmosis pada beberapa kasus mencegah Graft-
Versus Host Disease (GVHD). Transfusi ini dapat berlangsung
berulang-ulang sehingga perlu diperhatikan efek samping dan bahaya
transfusi seperti reaksi transfusi, hemolitik dan nonhemolitik, transmisi
infeksi penyakit, dan penimbunan zat besi. Perdarahan yang terjadi
sering menyebabkan kematian. Untuk mencegah perdarahan terutama
pada organ vital dapat dilakukan dengan mempertahankan jumlah
trombosit di atas 20.000/uL. Hal ini dapat dilakukan dengan transfusi
suspensi trombosit. Perlu diingat bahwa pemberian suspensi trombosit
dapat menyebabkan keadaan isoimunisasi apabila dilakukan lebih dari
10 kali, dan keadaan ini dapat mempengaruhi keberhasilan terapi.
Isoimunisasi dapat dicegah dengan pemberian trombosit dengan HLA
yang kompatibel dengan pasien. Bila perdarahan tetap terjadi dapat
ditambahkan antifibrinolisis.10
b. G-CSF
G-CSF dalam jadwal harian direkomendasikan selama 30 hari
pertama perawatan untuk pasien dengan VSAA dan SAA yang
menjalani IST. Penggunaan G-CSF juga diterima antara hari 30 dan 90
karena IST dapat mulai pada pasien dengan neutrofil kurang dari
200/mmc. Penggunaan ini bisa berdasarkan jadwal harian atau "sesuai
permintaan" selama hanya neutropenia demam pada pasien SAA dan
VSAA.11
c. Anti-infection Treatment
1) Profilaksis
Profilaksis antibiotik dapat dipertimbangkan pada pasien
dengan neutrofil <200/mmc, antara hari 30 dan hari 90 setelah
terapi IST diberikan. Profilaksis anti-jamur mungkin
dipertimbangkan pada subjek dengan neutrofil secara persisten
<200/mmc. Profilaksis untuk anti-Pneumocystis jiroveci
diindikasikan dengan kotrimoksazol oral atau pentamidine oleh
aerosol jika nilai limfosit rendah (CD4+ <400/mmc atau total
limfosit <1000/mmc). Profilaksis anti-virus dapat dipertimbangkan
pada pasien dengan limfopenia berat setelah pemberian ATG.11
2) Vaksinasi
Tidak ada studi tentang topik ini yang tersedia dalam
literatur. Hanya laporan pengamatan yang bersifat anekdot dimana
Anemia Aplastik yang terjadi setelah vaksinasi yang diketahui.
Pada pasien yang masih menerima vaksinasi CsA tidak dianjurkan.
Secara umum, vaksinasi anti-virus tidak dianjurkan juga pada
pasien yang merespons dan tidak menggunakan terapi setelah
IST.11
3) Pengobatan empiris infeksi bakteri dan jamur
Manajemen infeksi harus dimulai sebelum memberikan
terapi imunosupresif atau tindakan Hematopoietic Stem Cell
Transplantation (HSCT), meskipun terkadang langsung
melanjutkan pada tindakan transplantasi dengan infeksi yang berat
karena dapat memulihkan neutrofil dengan baik.9
Untuk mengatasi infeksi yang timbul karena keadaan
leukopenia, dapat diberikan pemberian antibiotik profilaksis dan
perawatan isolasi. Kebersihan kulit dan perawatan gigi yang baik
sangat penting, karena infeksi yang terjadi biasanya berat dan
sering menjadi penyebab kematian. Pada pasien anemia aplastik
yang demam perlu dilakukan pemeriksaan kultur darah, sputum,
urin, feses, dan kalau perlu cairan serebrospinalis. Bila dicurigai
terdapat sepsis dapat diberikan antibiotik spektrum luas dengan
dosis tinggi secara intravena dan kalau penyebab demam
dipastikan bakteni terapi dilanjutkan sampai 10-14 hari atau sampai
hasil kultur negatif. Bila demam menetap hingga 48 jam setelah
diberikan antibiotik secara empiris dapat diberikan anti jamur.
Pada tata laksana Anemia Aplastik, yang tidak kalah penting
adalah penghindaran dari bahan-bahan fisika maupun kimiawi,
termasuk obat-obatan yang mungkin menjadi penyebab. Bila zat-
zat kimia atau fisika yang bersifat toksik itu ditemukan dan masih
terdapat dalam tubuh, harus diusahakan untuk mengeluarkannya
walaupun hal ini kadang tidak dapat dilakukan.10
4) Terapi Kelasi
Transfusi sel darah merah berulang selama jangka waktu
yang lama akan menyebabkan kelebihan zat besi. Terapi kelasi besi
harus dipertimbangkan ketika ferritin serum >1000 mg/L.
Penanganan yang segera dan hati-hati perlu dilakukan sehubungan
dengan gangguan ginjal, terutama jika ada penggunaan obat
imunosupresif yang nefrotoksik secara bersamaan. Terapi Kelasi
harian dengan deferasirox oral telah dipelajari secara prospektif
pada sebagian besar pasien Anemia Apalastik dengan kelebihan zat
besi. Pengobatan ditoleransi dengan baik dan efektif dalam
menurunkan serum feritin dan transaminase. Selain menghasilkan
perbaikan yang diinginkan dalam fungsi organ dalam beberapa
kasus, terapi kelasi baik dengan deferasirox atau deferoxamine juga
dapat meningkatan hematologis yang signifikan. Deferasirox
diberikan dengan dosis oral 20-30 mg/kgBB/hari adalah obat
pilihan lini pertama. Deferoxamine sulit diberikan terakit
kepatuhan pemberian obat dengan cara subkutan atau intravena dan
peningkatan risiko infeksi Yersinia eneterocolicita. Karena
kelebihan zat besi tidak terjadi dengan cepat, perawatan harus
dimulai 2-3 bulan sebelum HSCT. 1,9,11
J. Diagnosis Banding
Adanya sumsum tulang berlemak pada biopsy menunjukkan aplasia;
namun hiposelularitas sumsum dapat terjadi pada penyakit hematologi
lainnya. Uji diagnostik yang baru telah mempengaruhi diagnosis banding dan
pemahaman kita tentang kegagalan sumsum tulang (Gambar 3). Perbedaan
antara anemia aplastik didapat dan herediter telah dipertajam dengan assay
spesifik untuk kelainan kromosomal dan zat kimia tertentu yang menandai
anemia Fanconi. Meskipun biasanya muncul pada saat anak-anak, anemia
Fanconi dapat didiagnosis pada saat dewasa, walaupun tanpa kelainan skeletal
atau urogenital.3
Sumsum tulang hiposeluler dibutuhkan untuk diagnosis anemia
aplastik. Namun, aspirat kadang-kadang secara mengejutkan tampak selular
meskipun secara mengejutkan tampak selular meskipun secara keseluruhan
sumsum tulang hiposeluler, sebab sebagian besar pasien mempunyai sarang-
sarang hemopoiesis yang masih berlangsung. Jadi, core biopsy 1-2 cm penting
untuk pengkajian selularitas. Diseritropoiesis ringan bukan tidak laziem pada
anemia aplastik, khususnya pada pasien yang juga memiliki populasi sel-sel
hemoglobinuria nocturnal paroksismal kecil sampai sedang. Namun, adanya
sejumlah kecil sel-sel blast myeloid, atau gambaran displastik seri myeloid
atau megakaryosit membantu diagnosis sindrom myelodisplastik hypoplastik.3
1. Myelodisplasia Hiposeluler
Membedakan anemia aplastik dari sindrom myelodisplastik
hypoplastik dapat menjadi tantangan khususnya untuk pasien yang tua
karena sindrom ini lebih banyak terjadi.
K. Komplikasi
Penggunaan imunosupresif dapat meningkatkan keganasan sekunder.
Pada penelitian di luar negeri dari 103 pasien yang diobati dengan ALG, 20
pasien diikuti dalam jangka panjang berubah menjadi leukemia akut,
mielodisplasia, PNH, dan adanya risiko terjadi hepatoma. Kejadian ini
mungkin merupakan riwayat alamiah penyakit walaupun komplikasi tersebut
lebih jarang ditemukan pada transplantasi sumsum tulang.3
L. Prognosis
Riwayat alamiah anemia aplastik dapat berupa; 1) Berakhir dengan
remisi sempurna. Hal ini jarang terjadi kecuali bila iatrogenic akibat
kemoterapi atau radiasi. Remisi sempurna biasanya terjadi segera. 2)
Meninggal dalam 1 tahun. Hal ini terjadi pada sebagian besar kasus. 3)
Bertahan hidup selama 20 tahun atau lebih. Membaik dan bertahan hidup lama
namun kebanyakan kasus mengalami remisi tidak sempurna.3
Jadi, pada anemia aplastik telah dibuat cara pengelompokan lain untuk
membedakan antara anemia aplastik berat dengan prognosis buruk dengan
anemia aplastik ringan dengan prognosis yang lebih baik. Dengan kemajuan
pengobatan, prognosis menjadi lebih baik.3
Penggunaan imunosupresif dapat meningkatkan keganasan sekunder.
Pada penelitian di luar negeri dari 103 pasien yang diobati dengan ALG, 20
pasien yang diikuti dalam jangka waktu yang panjang berubah menjadi
leukemia akut, mielodisplasia, PNH, dan adanya risiko terjadi hepatoma.
Kejadian ini mungkin merupakan riwayat alamiah penyakit walaupun
komplikasi tersebut lebih jarang ditemukan pada transplantasi sumsum
tulang.3
DAFTAR PUSTAKA
1. Clesham, K., Bhatnagar, N., Samarasinghe, S. 2019. Diagnosis and
Management of Childhood Aplastic Anaemia. Journal Paediatrics and Child
Health 29(8). Department Of Haematology, Great Ormond Street Hospital,
London. UK
2. Bhatnagar, N., Samarasinghe, S. 2015. Diagnosis and Management of
Childhood Aplastic Anaemia. Journal Paediatrics And Child Health.
Department Of Haematology, Great Ormond Street Hospital, London. UK.
3. Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A.W., Simadibrata, M., Setiyohadi, B., Syam,
A.F., 2014. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Interna Publishing. Jakarta
4. Nelonda, R., Munthe, E.K., Setiadhi, R. 2019. Terapi Imunosupresan pada
Pasien Anemia Aplastik dengan Perdarahan Gusi: Menyembuhkan atau
Memperparah?. Odonto Dental Journal 6(1). Oral Medicine Department,
Faculty of Dentistry,Universitas Padjadjaran, Bandung. Indonesia
5. Miano,M.,· Dufour, C. 2015. The diagnosis and treatment of aplastic anemia:
a review. Int J Hematol (2015) 101:527–535. Clinical and Experimental
Haematology Unit, G. Gaslini Children’s Hospital. Italy
6. Hossain ,M,L., Xie1, S. 2018. Patient features and survival of pediatric
aplastic anemia in the USA: a large institution experience. Journal of Public
Health pp. 1–9. Washington. USA
7. Lim, T., Melendres. 2019. Clinical and Demographic Profile of Pediatric
Patients with Aplastic Anemia Seen in the Philippine National Tertiary
Hospital from 2006 to 2013. Asp J Pediatrics Child Healt 1(1). Department of
Pediatrics, Philippine General Hospital, Taft Avenue, Ermita, Manila.
Philippines
8. Hartung, H.D., Bessler, M., Olson, I.S. 2013. Acquired Aplastic Anemia in
Children. Journal Pediatr Clin N Am 60 page; 1311–1336. Division of
Hematology, Department of Pediatrics, Comprehensive Bone Marrow Failure
Center, The Children’s Hospital of Philadelphia. USA
9. Korthof, E.T., Bekassy, A.N., Hussein, A.A. 2013. Management of acquired
aplastic anemia in children. Journal Bone Marrow Transplantation p; 191–
195. Department of Pediatrics/Willem-Alexander Children’s Hospital,
Division of Stem Cell Transplantation, Leiden University Medical Center,
Leiden, The Netherlands
10. Isyanto, Abdulsalam, M. 2005. Masalah pada Tata Laksana Anemia Aplastik
Didapat Masalah pada Tata Laksana Anemia Aplastik Didapat Masalah pada
Tata Laksana Anemia Aplastik Didapat. Jurnal Sari Pediatri 7(1) p: 26-3.
Divisi Hematologi-onkologi. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI RSCM.
Jakarta
11. Baronea, B., Lucarellib, A., Onofrilloc, D., Verzegnassid, F., Bonanomie, S.,
Cesarof, S., Fioreddag, F., Iorih, A.P., Ladoganai, S., Locasciullij, A.,
Longonie, D., Lanciottig, M., Macalusok, A., Mandagliol, R., Marram, N.,
Martiren, B., Maruzzii, M., Mennam, G., Notarangeloo, L.D., Palazzip, G.,
Pillonq, M., Ramenghi, U., Russo s, G., Svahng, J., Timeust, F., Tucciu, F.,
Cugnov, C., Zeccav, M., Farruggiak, P., Dufourg, C., Saracco, P. 2015.
Diagnosis and management of acquired aplastic anemia in childhood.
Guidelines from the Marrow Failure Study Group of the Pediatric Haemato-
Oncology Italian Association (AIEOP). Journal Blood Cells, Molecules and
Diseases p; 40–47. Department ofPediatric Onco-Hematology, University
Hospital, Parma,Italy
12. Sharma, R., Nalepa, G. MD. 2016. Evaluation and Management of Chronic
Pancytopenia. Journal Pediatrics in Review 37(3). Department of Pediatrics,
Division of Pediatric Hematology-Oncology, Indiana University School of
Medicine, Indianapolis, IN.