Anda di halaman 1dari 10

EMFISEMA

A. Definisi
Emfisema adalah penyakit paru kronik yang terjadi destruksi pada dinding-dinding
alveoli bersama dengan pembuluh-pembuluh darah kapiler yang mengalir didalamnya.
Hal ini mengurangi total area didalam paru dimana darah dan udara dapat bersentuhan
sehingga membatasi potensi untuk pertukaran oksigen dan karbon dioksida. Akibatnya
terjadi penurunan aliran udara ekspirasi dan terjadi hiperinflasi yang menyebabkan
aliran udara terhambat dan terperangkap di paru-paru, sehingga tubuh tidak
mendapatkan oksigen yang diperlukan. Obstruksi pada emfisema lebih disebabkan oleh
perubahan jaringan dari pada produksi mukus seperti yang terjadi pada asma dan
bronchitis kronik.

B. Epidemiologi
Emfisema lebih sering dialami oleh pria ketimbang wanita. Sekitar 63% pasien
emfisema yang diagnosisnya sudah pasti ditemukan pada pria, sedangkan 35% yang
lain pada perempuan.

C. Klasifikasi
Emfisema dibagi menurut bentuk asinus yang terserang yaitu :
1. Centriacinar atau Centrilobular Emfisema (CLE) 

CLE ini secara selektif hanya menyerang bagian bronkhiolus respiratorius.
Dinding- dinding mulai berlubang, membesar, bergabung dan akhirnya cenderung
menjadi satu ruang sewaktu dinding-dinding mengalami integrasi. Penyakit ini
sering kali menyerang bagian atas paru-paru, tapi cenderung menyebar tidak
merata. CLE lebih banyak ditemukan pada perokok berat dengan bronchitis kronik,
dan jarang ditemukan pada mereka yang tidak merokok. 


2. Panacinar atau Panlobular Emfisema (PLE)



Panlobular Emfisema merupakan bentuk morfologik yang lebih jarang, alveolus
yang terletak di distal dari bronkiolus minimalis mengalami pembesaran serta
kerusakan secara merata; mengenai bagian asinuus yang sentral maupun yang
perifer. Jenis emfisema ini disebabkan terutama karena kekurangan enzim alfa-1
antitrypsin, yang penting untuk fungsi normal paru-paru. Dapat dijumpai pada
orang yang tidak pernah merokok/perokok pasif. 


CLE dan PLE sering kali ditandai dengan adanya bula (ruang udara) tetapi
bisa juga tidak. Biasanya bullae timbul akibat adanya penyumbatan katup pengatur
bronkhiolus. Pada waktu inspirasi lumen bronkhiolus melebar sehingga udara dapat
melewati penyumbatan akibat penebalan mukosa dan banyaknya mucus. Tetapi
sewaktu ekspirasi, lumen bronkhiolus tersebut kembali menyempit, sehingga
sumbatan dapat menghalangi keluarnya udara.
D. Penyebab
1. Merokok
Merokok merupakan penyebab utama emfisema. Terdapat hubungan yang erat
antara 
 merokok dan penurunan volume ekspirasi paksa (FEV). 

2. Keturunan
Belum diketahui jelas apakah factor keturunan berperan atau tidak pada
emfisema kecuali pada penderita dengan defisiensi enzim alfa 1-antitripsin. Kerja
enzim ini menetralkan enzim proteulitik yang sering dikeluarkan pada peradangan
dan merusak jaringan, termasuk jaringan paru, karena itu kerusakan jaringan lebih
jauh dapat dicegah. Defisiensi alfa 1-antitripsin adalah suatu kelainan yang
diturunkan secara autosom resesif. Orang yang sering menderita emfisema paru
adalah penderita yang memiliki gen S atau Z. Homozigot SS atau ZZ pada individu-
individu memiliki kadar serum alfa1-antriprotease yang mendekati nol atau sangat
rendah dan mempunyai kemungkinan 70%-80% untuk menderita emfisema tipe
primer (panlobular atau emfisematosa). Emfisema paru akan lebih cepat timbul bila
penderita tersebut merokok. 


3. Infeksi

Infeksi dapat menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga gejala-


gejalanya pun menjadi lebih berat. Infeksi saluran pernafasan atas pada seseorang
penderita bronchitis kronis hamper selalu menyebabkan infeksi paru bagian bawah,
dan menyebabkan kerusakan paru bertambah. Eksaserbasi bronchitis kronis
disangka paling sering diawali dengan infeksi skunder oleh bakteri. 


4. Hipotesis Elastase – Antielastase


Di dalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan


antielastase agar tidak terjadi kerusakan jaringan. Perubahan keseimbangan antara
keduanya akan menimbulkan kerusakan pada jaringan elastis paru. Struktur paru
akan berubah dan timbulah emfisema. Sumber elastase yang penting adalah
pancreas, sel-sel PMN, dan makrofag alveolar (pulmonary alveolar macropage—
PAM). Rangsangan pada paru antara lain oleh asap rokok dan infeksi protease-
inhibitor terutama enzim alfa 1- antitripsin menjadi menurun. Akibat yang
ditimbulkan karena tidak ada lagi keseimbangan antara elastase dan antielastase
akan menimbulkan kerusakan jaringan elastic paru dan kemudian emfisema.

E. Patofisiologi
Emfisema primer memiliki keterkaitan dengan defisiensi kongenital enzim
AAT (Antitripsin-alfa1) yang merupakan komponen utama globulin-alfa1. AAT akan
menghabat pengaktifan bebrapa enzim proreolitik. Defisiensi enzim ini merupakan
sifat autosom-resesif yang adalah faktor predisposisi yang membuat individu menderita
emfisema karena proses proteolisis dalam jaringan paru tidak bias dihambat. Individu
yang memiliki kebiasaan merokok mempunyai peluang yang lebih besar lagi untuk
terkena emfisema. Pasien yang terkena emsiema sebelum 40 tahun atau pada awal usia
tersebut dan penderita emfisema yang bukan perokok diyakini mengalami defisiensi
AAT.
Pada emfisema, inflamasi yang rekuren akan menyertai pelepasan enzim-enzim
proteolitik dari sel-sel paru. Keadan ini menimbulkan pelebaran ruang-ruang udara
disebelah distal bronkiolus terminalis. Pelebaran ruang-ruang udara ini akan
menghancurkan dinding alveoli selanjutnya akan merusak elastisitas paru serta
menghilangkan jaringan fibrosa serta otot sehingga paru-paru menjadi tidak lentur lagi.
Pada pernapasan normal, udara napas mengalir keluar masuk paru-paru untuk
memenuhi kebutuhan metabolik. Perubahan pada jalan napas akan menggnggu
kemampuan paru untuk mendengarkan cukup napas. Pada pasien emfisema, inflamasi
paru yang rekuen akan merusak dinding alveoli dan akhirnya menghancurkan dinding
tersebut sehingga terbentuk ruang udara yang besar. Septum interalveolaris (sekat
antara alveoli) pada mulanya turut hancur sehingga menghilangkan sebagian capillary
bed dan meningkatkan volume udara dalam asinus. Kerusakan ini membuat alveoli
tidak bisa balik ke kaadaan semula secara normal setelah mengembang dan
menyebabkan kolaps bronkiolus pada saat ekspirasi. Dinding alveoli paru yang rusak
atau hancur tidak dapat menyangga saluran napas untuk membuatnya tetap terbuka.
Jumlah udara yang dapat dihembuskan keluar secara pasif pada waktu ekspirasi akan
berkurang sehingga udara tersebut terperangkap dalam paru-paru dan menimbulkan
distensi paru yang berlebihan. Hiperinflasi alveoli paru akan menghasilkan bullae
(ruang udara) yang dekat dengan pleura (blebs). Destruksi septum interalveolaris juga
mengurangi diameter lumen saluran napas. Sebagian udara yang dihirup pada tiap kali
inspirasi akan terperangkap karena peningkatan volume residu dan penurunan diameter
lumen saluran napas. Destruksi septum bisa saja hanya memengaruhi bronkiolus
respiratorius dan ductus alveolaris masih utuh (emfisema sentriasoner) atau dapat
melibatkan seluruh asinus (emsisema panasiner) disertai kerusakan yang lebih acak
serta meliputi lobus inferior paru.
F. Tanda dan gejala
Tanda dan gejala emfisema semakin bertamabh buruk selama penyakit terus
berlangsung, berikut tanda dan gejala nya yaitu :
1. Sesak Napas (Dispnea)
2. Batuk Kronis
3. Kehilangan nafsu makan dan berat badan menurun
4. Kelelahan

G. Alur diagnosis
1. Pemeriksaan Fisik :
- Inspeksi : Bentuk Dada ‘barrel chest’
- Palpasi : Penurnan fremitus taktil akibat udara napas mengalir melalui alveoli
yang fungsinya terganggu.
- Perkusi : Bunyi hipersonor akibat ruang udara mengalami penggelembungan
berlebihan (overinflasi)
- Auskultasi : Bunyi rhonki basah (krekels) dan mengi pada inspirasi karena
bronkiolus kolaps.

2. Pemeriksaaan Penunjang
- Foto Rontgen Toraks :
Dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru; mendatarnya diafragma;
peningkatan area udara retrosternal; penurunan tanda vaskularisasi/bula
(emfisema); peningkatan tanda bronkovaskuler (bronkitis), hasil normal selama
periode remisi (asma). 

- Tes fungsi paru (Spirometri) :
Dilakukan untuk menentukan penyebab dispnea, untuk menentukan
apakah fungsi abnormal adalah obstruksi atau restriksi, untuk memperkirakan
derajat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek terapi misalnya mneggunakan
bronkodilator. 


- Bronkogram;
Dapat menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada inspirasi, kollaps

 bronkial pada ekspirasi kuat (emfisema); pembesaran duktus mukosa yang
terlihat pada bronchitis.

- Gas Analisis Darah
Biasanya digunakan untuk menungkapkan penurunan tekanan parsial
karbondioksida arteri yang normal hingga proses penyakit memasuki stadium
lanjut/ penyakit kronik.

- Hitung darah lengkap


Biasanya mengungkapkan kenaikan hemoglobin yang timbul kemudian
dalam perjalanan penyakit ketika pasien mengalami hipoksia yang persisten dan
berat.

H. Tata Laksana
a. Non-Farmakologi
- Pengehentian kebiasaan merokok untuk memeorerahankan alveoli paru
- Tindakan menghundari polusi udara untuk mmpertahankan alveoli paru

b. Farmakologi
- Pemebrian Bronkodilator (untuk memulihkan bronkospasme dan meningkatkan
klirens mukosilier)
1. Golongan Teofilin
Biasanya diberikan dengan dosis 10-15 mg/kg BB per oral dengan
memperhatikan 
 kadar teofilin dalam darah. Konsentrasi dalam darah yang
baik antara 10-15 mg/L 

2. Golongan Agonis B2
Biasanya diberikan secara aerosol / nebulizer. Efek samping utama
adalah tremor, 
 tetapi menghilang dengan pemberian agak lama.
- Pemberian Kortikosteroid
Dalam bentuk aerosol atau secara sistemik.
- Terapi oksigen dngan kecepatan aliran yang rendah untuk mengoreksi hipoksia
- Pemberian obat-obatan mukolitik untuk mngencerkan sekret dan membantu
pengeluaran lendir (dengan cara inhalasi menggunakan Nebulizer) .
Sumber :

Price, S.A. dan Wilson, L.M. (2013) Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Ed.
6. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai