Anda di halaman 1dari 28

KASUS

1. Judul
Kasus TBC
2. Data Base Pasien

Nama : Tn. K

No. RM : 10101989

TTL : 20 Maret 1991

Jenis Kelamin : Laki-laki

MRS : IGD 10 Maret 2017 pukul: 23.00

Keluhan : sesak nafas dan batuk (+), demam (+) semalam,

RPD : batuk berdahak 2 bulan yang lalu dan telah berobat


HT (-), DM (-), Jantung (-), stroke (-), Asma (+)

3. Data Klinik dan Laboratorium


Data Klinik

10/3
KU Tampak Lemas dan Pucat
TD 130/80 mmHg
HR 100x
RR 28x
Suhu 36,7
Data Laboratorium

Nilai Normal 10/3

hb 12,7 g/dl
LED 1 jam 20 menit
Leukosit 10.710 sel/mm3
Pemeriksaan BTA Positif

4. Dasar Teori
1) Patofisiologi

Infeksi diawali karena seseorang menghirup basil Mycobacterium


tuberculosis. Bakteri menyebar melalui jalan napas menuju alveoli lalu
berkembang biak dan terlihat bertumpuk. Perkembangan
Mycobacterium tuberculosis juga dapat menjangkau sampai ke area
lain dari paru (lobus atas). Basil juga menyebar melalui sistem limfe dan
aliran darah ke bagian tubuh lain (ginjal, tulang dan korteks serebri) dan
area lain dari paru (lobus atas). Selanjutnya sistem kekebalan tubuh
memberikan respons dengan melakukan reaksi inflamasi. Neutrofil
dan makrofag melakukan aksi fagositosis (menelan bakteri), sementara
limfosit spesifik-tuberkulosis menghancurkan (melisiskan) basil dan
jaringan normal. Infeksi awal biasanya timbul dalam waktu 2-10
minggu setelah terpapar bakteri.Interaksi antara Mycobacterium
tuberculosis dan sistem kekebalan tubuh pada masa awal infeksi
membentuk sebuah massa jaringan baru yang disebut granuloma.
Granuloma terdiri atas gumpalan basil hidup dan mati yang dikelilingi
oleh makrofag seperti dinding. Granuloma selanjutnya berubah
bentuk menjadi massa jaringan fibrosa. Bagian tengah dari massa
tersebut disebut ghon tubercle. Materi yang terdiri atas makrofag dan
bakteri yang menjadi nekrotik yang selanjutnya membentuk materi yang
berbentuk seperti keju (necrotizing caseosa).Hal ini akan menjadi
klasifikasi dan akhirnya membentuk jaringan kolagen, kemudian
bakteri menjadi nonaktif. (Setiati, 2015)

Setelah infeksi awal jika respons sistem imun tidak adekuat maka
penyakit akan menjadi lebih parah. Penyakit yang kian parah dapat timbul
akibat infeksi ulang atau bakteri yang sebelumnya tidak aktif kembali
menjadi aktif, Pada kasus ini, ghon tubercle mengalami ulserasi
sehingga menghasilkan necrotizing caseosa di dalam bronkus.Tuberkel
yang ulserasi selanjutnya menjadi sembuh dan membentuk jaringan
parut.Paru-paru yang terinfeksi kemudian meradang, mengakibatkan
timbulnya bronkopneumonia, membentuk tuberkel, dan
seterusnya.Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya. Proses
ini berjalan terus dan basil terus difagosit atau berkembang biak di dalam
sel. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan
sebagian bersatu membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi
oleh limfosit (membutuhkan 10-20 hari). Daerah yang mengalami
nekrosis dan jaringan granulasi yang dikelilingi sel epiteloid dan fibroblas
akan memberikan respons berbeda kemudian pada akhirnya membentuk
suatu kapsul yang dikelilingi oleh tuberkel. (Setiati, 2015)

a. Tuberkulosis Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan
bersarang di jaringan paru, dimana ia akan membentuk suatu sarang
pneumonik, yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang
primer ini mugkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda
dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan
peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal).
Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di
hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan
limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks
primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut :
a) Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali
(restitution ad integrum)
b) Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain
saraGhon, garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
c) Menyebar dengan cara :
1. Perkontinuitatum, menyebar kesekitarnya
Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu
kejadian dimana terdapat penekanan bronkus, biasanya
bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar
sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas
bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman
tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang
tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan
peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang
dikenal sebagai epituberkulosis.
2. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan
maupun ke paru sebelahnya. Penyebaran ini juga terjadi ke
dalam usus
3. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Kejadian
penyebaran ini sangat bersangkutan dengan daya tahan
d) Menyebar dengan cara :
1. Perkontinuitatum, menyebar kesekitarnya
2. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan
maupun ke paru sebelahnya. Penyebaran ini juga terjadi
ke dalam usus
3. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Kejadian
penyebaran ini sangat bersangkutan dengan daya tahan
tubuh, jumlah dan virulensi basil. Sarang yang
ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila
tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan
menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis
milier, meningitis tuberkulosa, typhobacillosis Landouzy.
Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada
alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal,
genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini
mungkin berakhir dengan :
a) Sembuh dengan meninggalkan sekuele
(misalnya pertumbuhan terbelakang pada anak
setelah mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma )
atau
b) Meninggal
b. Tuberkulosisi Post Primer
Dari tuberkulosis primer ini akan muncul
bertahun-tahun kemudian tuberkulosis post-primer, biasanya
pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post primer
mempunyai nama yang bermacam macam yaitu tuberkulosis
bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun,
dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama
menjadi problem kesehatan rakyat, karena dapat menjadi
sumber penularan. Tuberkulosis post-primer dimulai dengan
sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal dari
lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya
berbentuk suatu sarang pneumonik kecil. Nasib sarang
pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut :

1. Direabsorbsi kembali, dan sembuh kembali dengan


tidak meninggalkan cacat.

2. Sarang tadi mula mula meluas, tapi segera terjadi


proses penyembuhan dengan penyebukan jaringan fibrosis.
Selanjutnya akan membungkus diri menjadi lebih keras,
terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam
bentuk perkapuran. Sebaliknya dapat juga sarang tersebut
menjadi aktif kembali, membentuk jaringan keju dan
menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.

3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju


(jaringan kaseosa). Kaviti akan muncul dengan
dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya
berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal
(kaviti sklerotik). Nasib kaviti ini :

Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang


pneumonik baru. Sarang pneumonik ini akan
mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan
diatas.
Dapat pula memadat dan membungkus diri
(encapsulated),dan disebut tuberkuloma. Tuberkuloma
dapat mengapur dan menyembuh, tapi mungkin pula
aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi.
Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang
disebut open healed cavity, atau kaviti menyembuh
dengan membungkus diri, akhirnya mengecil.
Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang
terbungkus, dan menciut sehingga kelihatan seperti
bintang (stellate shaped.
2) Guideline Terapi
(WHO, 2010)

(WHO, 2010)
(WHO, 2010)
Efektivitas rejimen yang mengandung fluoroquinolone yang dipersingkat saat
Dibandingkan dengan rejimen pengobatan 6 bulan standar 2HRZE / 4HR pada pasien
Dengan penyakit TB paru yang rentan terhadap obat
Rekomendasi:
Pada pasien dengan TB paru yang rentan terhadap obat, fluorokuinolon 4 bulan-
Mengandung rejimen
Sebaiknya tidak digunakan dan rejimen berbasis rifampisin 6 bulan
2HRZE / 4HR tetap merupakan rejimen yang dianjurkan (rekomendasi kuat, sedang
Kepastian dalam bukti). (WHO, 2010)
(Pdpi,2011)
SOAP

1. Subjektive

Nama : Tn. K

No. RM : 10101989

TTL : 20 Maret 1991

Jenis Kelamin : Laki-laki

MRS : IGD 10 Maret 2017 pukul: 23.00

Keluhan : sesak nafas dan batuk (+), demam (+) semalam,

RPD : batuk berdahak 2 bulan yang lalu dan telah berobat


HT (-), DM (-), Jantung (-), stroke (-), Asma (+)

2. Objektive

10/3
KU Tampak Lemas dan Pucat
TD 130/80 mmHg
HR 100x
RR 28x
Suhu 36,7

Nilai Normal 10/3

hb 12,7 g/dl
LED 1 jam 20 menit
3. Leukosit 10.710 sel/mm3
Pemeriksaan BTA Positif
Assesment

Diagnosa Pasien : Tuberculosis, Asma


Problem Medis Pasien : Sesak nafas dan batuk, batuk berdahak 2
bulan, demam semalam

tgl Subjektive Objektive Assesment


10/3 Sesak nafas dan RR : 28 x/ menit Asma
batuk
10/3 Demam semalam Suhu :36, 7 -
10/3 Batuk berdahak 2 Pemeriksaan BTA TB Kategori 1
bulan : (+) 2HRZE/4RH

4. Plan
a. Terapi Farmakologi
1. Terapi untuk TB Kategori 1
2. Terapi untuk mencegah kekambuhan asma
b. Terapi Non Farmakologi
1) Asma
1. Edukasi Pasien

Edukasi pasien dan keluarga, untuk menjadi mitra


dokter dalam penatalaksanaan asma.

Edukasi kepada pasien/keluarga bertujuan untuk :

Meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit asma secara


umum dan pola penyakit asma sendiri.

Meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam penanganan


asma sendiri/asma mandiri)

Meningkatkan kepuasan

Meningkatkan rasa percaya diri

Meningkatkan kepatuhan (compliance) dan penanganan mandiri

Membantu pasien agar dapat melakukan penatalaksanaan dan


mengontrol asma
Bentuk pemberian edukasi

- Komunikasi/nasehat saat berobat

- Ceramah

- Latihan/training

- Supervisi

- Diskusi

- Tukar menukar informasi (sharing of information group)

- Film/video presentasi

- Leaflet, brosur, buku bacaan

Komunikasi yang baik adalah kunci kepatuhan pasien, upaya


meningkatkan kepatuhan pasien dilakukan dengan :

1. Edukasi dan mendapatkan persetujuan pasien untuk setiap


tindakan/penanganan yang akan dilakukan. Jelaskan sepenuhnya
kegiatan tersebut dan manfaat yang dapat dirasakan pasien

2. Tindak lanjut (follow-up). Setiap kunjungan, menilai ulang


penanganan yang diberikan dan bagaimana pasien melakukannya.
Bila mungkin kaitkan dengan perbaikan yang dialami pasien (gejala
dan faal paru).

3. Menetapkan rencana pengobatan bersama-sama dengan pasien.

4. Membantu pasien/keluarga dalam menggunakan obat asma.

5. Identifikasi dan atasi hambatan yang terjadi atau yang dirasakan


pasien,
sehingga pasien merasakan manfaat penatalaksanaan asma secara
konkret.

6. Menanyakan kembali tentang rencana penganan yang disetujui


bersama dan yang akan dilakukan, pada setiap kunjungan.

7. Mengajak keterlibatan keluarga.

8. Pertimbangkan pengaruh agama, kepercayaan, budaya dan status


sosioekonomi yang dapat berefek terhadap penanganan asma

2. Pengukuran peak flow meter

Perlu dilakukan pada pasien dengan asma sedang sampai berat.


Pengukuran Arus Puncak Ekspirasi (APE) dengan Peak Flow Meter ini
dianjurkan pada :

1. Penanganan serangan akut di gawat darurat, klinik, praktek dokter


dan oleh pasien di rumah.

2. Pemantauan berkala di rawat jalan, klinik dan praktek dokter.

3. Pemantauan sehari-hari di rumah, idealnya dilakukan pada asma


persisten usia di atas > 5 tahun, terutama bagi pasien setelah
perawatan di rumah sakit, pasien yang sulit/tidak mengenal
perburukan melalui gejala padahal berisiko tinggi untuk mendapat
serangan yang mengancam jiwa.

3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus


4. Pemberian oksigen
5. Banyak minum untuk menghindari dehidrasi terutama pada anak-anak
6. Kontrol secara teratur
7. Pola hidup sehat

Dapat dilakukan dengan :

- Penghentian merokok
- Menghindari kegemukan
- Kegiatan fisik misalnya senam asma
2) TB Sering berjemur dibawah sinar matahari pagi (pukul 6-8 pagi).

- Memperbanyak istirahat (bedrest).

- Diet sehat, dianjurkan mengkonsumsi banyak lemak dan vitamin A


untuk membentuk jaringan lemak baru dan meningkatkan sistem
imun.

- Menjaga sanitasi/kebersihan lingkungan sekitar tempat tinggal.

- Menjaga sirkulasi udara di dalam rumah agar selalu berganti


dengan udara yang baru.

- Berolahraga, seperti jalan santai di pagi hari.

5. Komposisi Terapi yang Diberikan

Resep :
R/ Isoniazid 300 mg tab No. VII s 1 dd tab 1 pc on

R/ Rifampisin 450 mg capl No. VII s 1 dd tab 1 pc on


R/ Pirazinamid 500 mg tab No. XIV s 1 dd tab 2 pc on

R/ Etambutol 400 mg tab No. VII s 1 dd tab 1 pc on

6. Pembahasan terapi yang diberikan

a. ISONIAZIDA (H)
Mekanisme Kerja :

Dengan menghambat biosintesis asam mikolat (micolic acid) yang


merupakan unsur penting dingding sel mikrobakterium.

1) Sediaan Dasar :
Sediaan dasarnya adalah tablet dengan nama generik Isoniazida
100 mg dan 300 mg tablet. Nama lain Isoniazida : Asam
Nicotinathidrazida; Isonikotinilhidrazida; INH

2) Dosis :
Untuk pencegahan, dewasa 300 mg satu kali sehari, anak-anak
10 mg per berat badan sampai 300 mg, satu kali sehari. Untuk
pengobatan TB bagi orang dewasa sesuai dengan petunjuk dokter /
petugas kesehatan lainnya. Umumnya dipakai bersama dengan obat
anti tuberkulosis lainnya. Dalam kombinasi biasa dipakai 300 mg satu
kali sehari, atau 15 mg per kg berat badan sampai dengan 900 mg,
kadang kadang 2 kali atau 3 kali seminggu. Untuk anak dengan dosis
10-20 mg per kg berat badan. Atau 20 40 mg per kg berat badan
sampai 900 mg, 2 atau 3 kali seminggu.
3) Indikasi.
Obat ini diindikasikan untuk terapi semua bentuk tuberkulosis
aktif, disebabkan kuman yang peka dan untuk profilaksis orang
berisiko tinggi mendapatkan infeksi. Dapat digunakan tunggal atau
bersama-sama dengan antituberkulosis lain.

4) Kontraindikasi.
Kontra indikasinya adalah riwayat hipersensistifitas atau reaksi
adversus, termasuk demam, artritis, cedera hati, kerusakan hati akut,
tiap etiologi : kehamilan(kecuali risiko terjamin).

5) Kerja Obat.
Bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman
dalam beberapa hari pertama pengobatan. Efektif terhadap kuman
dalam keadaan metabolik aktif, yaitu kuman yang sedang berkembang.
Mekanisme kerja berdasarkan terganggunya sintesa mycolic acid, yang
diperlukan untuk membangun dinding bakteri.

6) Interaksi.
Isoniazid adalah inhibitor kuat untuk cytochrome P-450
isoenzymes, tetapi mempunyai efek minimal pada CYP3A. Pemakaian
Isoniazide bersamaan dengan obat-obat tertentu, mengakibatkan
meningkatnya konsentrasi obat tersebut dan dapat menimbulkan risiko
toksis. Antikonvulsan seperti fenitoin dan karbamazepin adalah yang
sangat terpengaruh oleh isoniazid. Isofluran, parasetamol dan
Karbamazepin, menyebabkan hepatotoksisitas, antasida dan adsorben
menurunkan absopsi, sikloserin meningkatkan toksisitas pada SSP,
menghambat metabolisme karbamazepin, etosuksimid, diazepam,
menaikkan kadar plasma teofilin. Efek Rifampisin lebih besar
dibanding efek isoniazid, sehingga efek keseluruhan dari kombinasi
isoniazid dan rifampisin adalah berkurangnya konsentrasi dari obat-
obatan tersebut seperti fenitoin dan karbamazepin

7) Efek Samping.
Efek samping dalam hal neurologi: parestesia, neuritis perifer,
gangguan penglihatan, neuritis optik, atropfi optik, tinitus, vertigo,
ataksia, somnolensi, mimpi berlebihan, insomnia, amnesia, euforia,
psikosis toksis, perubahan tingkah laku, depresi, ingatan tak sempurna,
hiperrefleksia, otot melintir, konvulsi. Hipersensitifitas demam,
menggigil, eropsi kulit (bentuk morbili,mapulo papulo, purpura,
urtikaria), limfadenitis, vaskulitis, keratitis. Hepatotoksik: SGOT dan
SGPT meningkat, bilirubinemia, sakit kuning, hepatitis fatal.
Metaboliems dan endrokrin: defisiensi Vitamin B6, pelagra,
kenekomastia, hiperglikemia, glukosuria, asetonuria, asidosis
metabolik, proteinurea. Hematologi: agranulositosis, anemia aplastik,
atau hemolisis, anemia, trambositopenia. Eusinofilia,
methemoglobinemia. Saluran cerna: mual, muntah, sakit ulu hati,
sembelit. Intoksikasi lain: sakit kepala, takikardia, dispenia, mulut
kering, retensi kemih (pria), hipotensi postura, sindrom seperti lupus,
eritemamtosus, dan rematik.
Peringatan/Perhatian Diperingatkan hati-hati jika
menggunakan Isoniazid pada sakit hati kronik, disfungsi ginjal,
riwayat gangguan konvulsi. Perlu dilakukan monitoring bagi peminum
alkohol karena menyebabkan hepatitis, penderita yang mengalami
penyakit hati kronis aktif dan gagal ginjal, penderita berusia lebih dari
35 tahun, kehamilan, pemakaian obat injeksi dan penderita dengan
seropositif HIV. Disarankan menggunakan Piridoksin 10-2 mg untuk
mencegah reaksi adversus. (Gunawan, 2010)

b. RIFAMPISIN
Mekanisme Kerja :
Berdasarkan perintangan spesifik dari suatu enzim bakteri
RNA-polymerase, sehingga sintesa RNA terganggu.
1) Sediaan Dasar.
Sediaan dasar yang ada adalah tablet dan kapsul 300 mg, 450 mg,
600 mg
2) Dosis
Untuk dewasa dan anak yang beranjak dewasa 600 mg satu
kali sehari, atau 600 mg 2 3 kali seminggu. Rifampisin harus
diberikan bersama dengan obat anti tuberkulosis lain. Bayi dan anak
anak, dosis diberikan dokter / tenaga kesehatan lain berdasarkan
atas berat badan yang diberikan satu kali sehari maupun 2-3 kali
seminggu. Biasanya diberikan 7,5 15 mg per kg berat badan.
Anjuran Ikatan Dokter Anak Indonesia adalah 75 mg untuk anak <
10 kg, 150 mg untuk 10 20 kg, dan 300 mg untuk 20 -33 kg.
3) Indikasi
Di Indikasikan untuk obat antituberkulosis yang
dikombinasikan dengan antituberkulosis lain untuk terapi awal
maupun ulang

4) Kerja Obat
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semi-dormant
yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Mekanisme kerja,
Berdasarkan perintangan spesifik dari suatu enzim bakteri Ribose
Nukleotida Acid (RNA)-polimerase sehingga sintesis RNA
terganggu.
5) Interaksi
Interaksi obat ini adalah mempercepat metabolisme metadon,
absorpsi dikurangi oleh antasida, mempercepat metabolisme,
menurunkan kadar plasma dari dizopiramid, meksiletin, propanon
dan kinidin, mempercepat metabolisme kloramfenikol, nikumalon,
warfarin, estrogen, teofilin, tiroksin, anti depresan trisiklik,
antidiabetik (mengurangi khasiat klorpropamid, tolbutamid, sulfonil
urea), fenitoin, dapson, flokonazol, itrakonazol, ketokonazol,
terbinafin, haloperidol, indinafir, diazepam, atofakuon,
betabloker(propanolol),diltiazem, nifedipin, verapamil, siklosprosin,
mengurangi khasiat glukosida jantung, mengurangi efek
kostikosteroid, flufastatin. Rifampisin adalah suatu enzyme inducer
yang kuat untuk cytochrome P-450 isoenzymes, mengakibatkan
turunnya konsentrasi serum obat-obatan yang dimetabolisme oleh
isoenzyme tersebut. Obat obat tersebut mungkin perlu ditingkatkan
selama pengobatan TB, dan diturunkan kembali 2 minggu setelah
Rifampisin dihentikan. Obat-obatan yang berinteraksi: diantaranya :
protease inhibitor, antibiotika makrolid, levotiroksin, noretindron,
warfarin, siklosporin, fenitoin, verapamil, diltiazem, digoxin,
nortriptilin, alprazolam, diazepam, midazolam, triazolam dan
beberapa obat lainnya.
6) Efek Samping
Efek samping pada Saluran cerna ; rasa panas pada perut,
sakit epigastrik, mual, muntah, anoreksia, kembung, kejang perut,
diare, SSP: letih rasa kantuk, sakit kepala, ataksia, bingung, pening,
tak mampu berfikir, baal umum, nyeri pada anggota, otot kendor,
gangguan penglihatan, ketulian frekuensi rendah sementara ( jarang).
Hipersensitifitas: demam, pruritis, urtikaria, erupsi kulit, sariawan
mulut dan lidah, eosinofilia, hemolisis, hemoglobinuria, hematuria,
insufiensi ginjal, gagal ginjal akut( reversibel). Hematologi:
trombositopenia, leukopenia transien, anemia, termasuk anemia
hemolisis. Intoksikasi lain: Hemoptisis, proteinurea rantai rendah,
gangguan menstruasi, sindrom hematoreal.
Peringatan/Perhatian Keamanan penggunaan selama
kehamilan, dan pada anak anak usia kurang 5 tahun belum ditetapkan.
Hati hati penggunaan pada : penyakit hati, riwayat alkoholisma,
penggunaan bersamaan dengan obat hepatotoksik lain.
Overdosis Gejala yang kadang kadang timbul adalah mual,
muntah, sakit perut, pruritus, sakit kepala, peningkatan bilirubin,
coklat merah pada air seni, kulit, air liur, air mata, buang air besar,
hipotensi, aritmia ventrikular. (Gunawan, 2010)

c. PIRAZINAMIDA
Mekansme kerja :
Berdasarkan pengubahannya menjadi asam pirazinat oleh
enzim pyrazinamidase yang berasal dari basil TBC. Begitu pH dalam
makrofag di turunkan, maka kuman yang berada di sarang infeksi
yang menjadi asam akan mati .
1) Sediaan Dasar.
Sediaan dasar Pirazinamid adalah Tablet 500 mg/tablet.
2) Dosis Dewasa dan anak sebanyak 15 30 mg per kg berat badan, satu
kali sehari. Atau 50 70 mg per kg berat badan 2 3 kali seminggu.
Obat ini dipakai bersamaan dengan obat anti tuberkulosis lainnya.

3) Indikasi
Digunakan untuk terapi tuberkulosis dalam kombinasi dengan
anti tuberkulosis lain.
4) Kontraindikasi terhadap gangguan fungsi hati parah, porfiria,
hipersensitivitas.
5) Kerja Obat
6) Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel
dengan suasana asam. Mekanisme kerja, berdasarkan pengubahannya
menjadi asam pyrazinamidase yang berasal dari basil tuberkulosa.
7) Efek Samping
Efek samping hepatotoksisitas, termasuk demam anoreksia,
hepatomegali, ikterus; gagal hati; mual, muntah, artralgia, anemia
sideroblastik, urtikaria. Keamanan penggunaan pada anak-anak belum
ditetapkan. Hati-hati penggunaan pada: penderita dengan encok atau
riwayat encok keluarga atau diabetes melitus; dan penderita dengan
fungsi ginjal tak sempurna; penderita dengan riwayat tukak peptik.
8) Peringatan/Perhatian
Hanya dipakai pada terapi kombinasi anti tuberkulosis dengan
pirazinamid , namun dapat dipakai secara tunggal mengobati penderita
yang telah resisten terhadap obat kombinasi. Obat ini dapat
menghambat ekskresi asam urat dari ginjal sehingga menimbulkan
hiperurikemia. Jadi penderita yang diobati pirazinamid harus
dimonitor asam uratnya.
Overdosis Data mengenai over dosis terbatas, namun pernah
dilaporkan adanya fungsi abnormal dari hati, walaupun akan hilang
jika obat dihentikan. (Gunawan, 2010)

d. ETAMBUTOL

Mekanisme Kerja :
Etambutol bekerjanya menghambat sintesis metabolit sel
sehingga metabolisme sel terhambat dan sel mati.
1) Sediaan Dasar.
Sediaan dasarnya adalah tablet dengan nama generik
Etambutol-HCl 250 mg, 500 mg/tablet.
2) Dosis.
Untuk dewasa dan anak berumur diatas 13 tahun, 15 -25 mg
mg per kg berat badan, satu kali sehari. Untuk pengobatan awal
diberikan 15 mg / kg berat badan, dan pengobatan lanjutan 25 mg
per kg berat badan. Kadang kadang dokter juga memberikan 50
mg per kg berat badan sampai total 2,5 gram dua kali seminggu.
Obat ini harus diberikan bersama dengan obat anti tuberkulosis
lainnya. Tidak diberikan untuk anak dibawah 13 tahun dan bayi.
3) Indikasi.
Etambutol digunakan sebagai terapi kombinasi
tuberkulosis dengan obat lain, sesuai regimen pengobatan jika
diduga ada resistensi. Jika risiko resistensi rendah, obat ini dapat
ditinggalkan. Obat ini tidak dianjurkan untuk anak-anak usia
kurang 6 tahun, neuritis optik, gangguan visual.
4) Kontraindikasi.
Hipersensitivitas terhadap etambutol seperti neuritis optik.
5) Kerja Obat.
Bersifat bakteriostatik, dengan menekan pertumbuhan kuman
TB yang telah resisten terhadap Isoniazid dan streptomisin.
Mekanisme kerja, berdasarkan penghambatan sintesa RNA pada
kuman yang sedang membelah, juga menghindarkan terbentuknya
mycolic acid pada dinding sel.

6) Interaksi.
Garam Aluminium seperti dalam obat maag, dapat menunda
dan mengurangi absorpsi etambutol. Jika diperlukan garam
alumunium agar diberikan dengan jarak beberapa jam.
7) Efek Samping
Efek samping yang muncul antara lain gangguan penglihatan
dengan penurunan visual, buta warna dan penyempitan lapangan
pandang. Gangguan awal penglihatan bersifat subjektif; bila hal
ini terjadi maka etambutol harus segera dihentikan. Bila segera
dihentikan, biasanya fungsi penglihatan akan pulih. Reaksi
adversus berupa sakit kepala, disorientasi, mual, muntah dan sakit
perut.
8) Peringatan/Perhatian.
Jika Etambutol dipakai, maka diperlukan pemeriksaan fungsi
mata sebelum pengobatan. Turunkan dosis pada gangguan fungsi
ginjal; usia lanjut; kehamilan; ingatkan penderita untuk
melaporkan gangguan penglihatan. Etambutol tidak diberikan
kepada penderita anak berumur dibawah umur 6 tahun, karena
tidak dapat menyampaikan reaksi yang mungkin timbul seperti
gangguan penglihatan. (Gunawan, 2010)

e. STREPTOMISIN
Mekanisme Kerja :
Berdasarkan penghambatan sintesa protein kuman dengan jalan
pengikatan pada RNA ribosomal. Antibiotik ini toksis untuk organ
pendengaran dan keseimbangan.
1) Sediaan Dasar
Sediaan dasar serbuk Streptomisin sulfat untuk Injeksi
1,5 gram / vial berupa serbuk untuk injeksi yang disediakan
bersama dengan Aqua Pro Injeksi dan Spuit.
2) Dosis
Obat ini hanya digunakan melalui suntikan intra
muskular, setelah dilakukan uji sensitifitas.Dosis yang
direkomendasikan untuk dewasa adalah 15 mg per kg berat
badan maksimum 1 gram setiap hari, atau 25 30 mg per kg
berat badan, maksimum 1,5 gram 2 3 kali seminggu. Untuk
anak 20 40 mg per kg berat badan maksimum 1 gram satu
kali sehari, atau 25 30 mg per kg berat badan 2 3 kali
seminggu. Jumlah total pengobatan tidak lebih dari 120 gram.
3) Indikasi.
Sebagai kombinasi pada pengobatan TB bersama
isoniazid, Rifampisin, dan pirazinamid, atau untuk penderita
yang dikontra indikasi dengan 2 atau lebih obat kombinasi
tersebut.
4) Kontraindikasi hipersensitifitas terhadap streptomisin sulfat
atau aminoglikosida lainnya.
5) Kerja Obat Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang
sedang membelah. Mekanisme kerja berdasarkan
penghambatan sintesa protein kuman dengan jalan pengikatan
pada RNA ribosomal.
6) Interaksi
Interaksi dari Streptomisin adalah dengan kolistin,
siklosporin, Sisplatin menaikkan risiko nefrotoksisitas,
kapreomisin, dan vankomisin menaikkan ototoksisitas dan
nefrotoksisitas, bifosfonat meningkatkan risiko hipokalsemia,
toksin botulinum meningkatkan hambatan neuromuskuler,
diuretika kuat meningkatkan risiko ototoksisitas,
meningkatkan efek relaksan otot yang non depolarising,
melawan efek parasimpatomimetik dari neostigmen dan
piridostigmin.
7) Efek Samping
Efek samping akan meningkat setelah dosis kumulatif
100 g, yang hanya boleh dilampaui dalam keadaan yang
sangat khusus.
8) Peringatan/Perhatian
Peringatan untuk penggunaan Streptomisin hati hati
pada penderita gangguan ginjal, Lakukan pemeriksaan bakteri
tahan asam, hentikan obat jika sudah negatif setelah beberapa
bulan. Penggunaan intramuskuler agar diawasi kadar obat
dalam plasma terutama untuk penderita dengan gangguan
fungsi ginjal. (Katzung, 2010)
7. Konseling, Informasi dan Edukasi
- Tinggal di rumah.
- Jangan pergi kerja atau sekolah atau tidur di kamar dengan orang lain
selama beberapa minggu pertama pengobatan untuk tbc aktif.
- Anjuran kepada pasien untuk rutin minum obat, sesuai anjuran resep
dari dokter.
- Menerapkan pola hidup sehat untuk menurunkan resiko terkena
obesitas.
- Makanan harus tinggi karbohidrat dan tinggi protein.
- Ventilasi ruangan. Kuman TBC menyebar lebih mudah dalam ruang
tertutup kecil di mana udara tidak bergerak. Jika ventilasi ruangan
masih kurang, membuka jendela dan menggunakan kipas untuk
meniup udara dalam ruangan luar.
- Tutup mulut menggunakan masker. Gunakan masker untuk menutup
mulut kapan sajaketika di diagnosis tb merupakan langkah pencegahan
TBC secara efektif. Jangan lupa untuk membuangnya secara tepat
- Meludah hendaknya pada tempat tertentu yang sudah diberi
desinfektan (air sabun).
- Imunisasi BCG diberikan pada bayi berumur 3-14 bulan.
- Menghindari udara dingin.
- Mengusahakan sinar matahari dan udara segar masuk secukupnya ke
dalam tempat tidur.
- Menjemur kasur, bantal,dan tempat tidur terutama pagi hari.
- Semua barang yang digunakan penderita harus terpisah begitu juga
mencucinya dan tidak boleh digunakan oleh orang lain
DAFTAR PUSTAKA
Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. 2014. Jakarta : Kementrian
Kesehatan RI 2014

Katzung, B.G., 2010, Farmakologi Dasar dan Klinik, Diterjemahkan oleh Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Buku III,
sixth edition, 531,637, Penerbit Salemba Medika: Jakarta.

Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Asma. 2007. Direktorat Bina Farmasi


Komunitas Dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
Departemen kesehatan RI
Setiati, 2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II Edisi VI. Jakarta: Interna
Publishing

Anda mungkin juga menyukai