Anda di halaman 1dari 21

a) Definisi Efusi Pleura

Efusi pleura merupakan akumulasi cairan abnormal pada rongga pleura.

Hal ini dapat disebabkan oleh peningkatan produksi cairan ataupun berkurangnya

absorbsi. Efusi pleura merupakan manifestasi penyakit pada pleura yang paling
sering dengan etiologi yang bermacam-macam mulai dari kardiopulmoner,
inflamasi, hingga keganasan yang harus segera dievaluasi dan diterapi. (Price,
2005)

b) Epidemiologi

Di Amerika Serikat, 1,5 juta kasus efusi pleura terjadi tiap tahunnya.14.Sementara

pada populasi umum secara internasional, diperkirakan tiap 1 juta orang,

3000 orang terdiagnosa efusi pleura.1 Secara keseluruhan, insidensi efusi pleura

sama antara pria dan wanita. Namun terdapat perbedaan pada kasus-kasus tertentu

dimana penyakit dasarnya dipengaruhi oleh jenis kelamin. Misalnya, hampir dua

pertiga kasus efusi pleura maligna terjadi pada wanita. Dalam hal ini efusi pleura

maligna paling sering disebabkan oleh kanker payudara dan keganasan

ginekologi. Sama halnya dengan efusi pleura yang berhubungan dengan

sistemic lupus erytematosus, dimana hal ini lebih sering dijumpai pada wanita.

Di Amerika Serikat, efusi pleura yang berhubungan dengan mesotelioma

maligna lebih tinggi pada pria. Hal ini mungkin disebabkan oleh tingginya

paparan terhadap asbestos. Efusi pleura yang berkaitan dengan pankreatitis

kronis insidensinya lebih tinggi pada pria dimana alkoholisme merupakan

etiologi utamanya. Efusi rheumatoid juga ditemukan lebih banyak pada pria

daripada wanita. Efusi pleura kebanyakan terjadi pada usia dewasa. Namun

demikian, efusi pleura belakangan ini cenderung meningkat pada anak-anak

dengan penyebab tersering adalah pneumonia.(Price, 2005)


c) Etiologi Dan Patofisiologi

Rongga pleura normal berisi cairan dalam jumlah yang relatif sedikit yakni 0,1

0,2 mL/kgbb pada tiap sisinya. Fungsinya adalah untuk memfasilitasi pergerakan

kembang kempis paru selama proses pernafasan. Cairan pleura diproduksi dan
dieliminasi dalam jumlah yang seimbang. Jumlah cairan pleura yang diproduksi
normalnya adalah 17 mL/hari dengan kapasitas absorbsi maksimal drainase
sistem limfatik sebesar 0,2-0,3 mL/kgbb/jam. Cairan ini memiliki konsentrasi
protein lebih rendah dibanding pembuluh limfe paru dan perifer. (Price, 2005)

Cairan dalam rongga pleura dipertahankan oleh keseimbangan tekanan


hidrostatik, tekanan onkotik pada pembuluh darah parietal dan viseral serta
kemampuan drainase limfatik (gambar 2.1). Efusi pleura terjadi sebagai akibat
gangguan keseimbangan faktor-faktor di atas. (Price, 2005)

Gambar 1. Skema yang memperlihatkan proses sirkulasi normal cairan pleura. Terlihat bahwa
cairan pleura berasal dari pembuluh darah sistemik pada membran pleura parietal dan viseral
(ditunjukkan pada panah yang terputus-putus). Pembuluh darah pleura parietal (mikrovaskular
interkostal) merupakan terpenting pada sistem ini sebab pembuluh darah ini paling dekat dengan
rongga pleura dan memiliki tekanan filtrasi yang lebih tinggi daripada mikrovaskuler bronkial
pada pleura viseral. Cairan pleura awalnya akan absorbsi kembali oleh mikrovaskuler, sisanya
akan dikeluarkan dari rongga pleura melalui saluran limfatik pada pleura parietal (panah utuh).
Dikutip dari: Broaddus VC. 2009. Mechanisms of pleural liquid accumulation in disease.
Uptodate.
Persamaan yang menunjukkan hubungan keseimbangan antara

tekanan hidrostatik dan onkotik adalah sebagai berikut : Q = k x [(Pmv

Ppmv) s (nmv npmv)]. Pada persamaan ini, Q merupakan tekanan

filtrasi, k merupakan koefisien filtrasi, Pmv dan Ppmv merupakan

tekanan hidrostatik pada ruang mikrovaskular dan perimikrovaskular. s

merupakan koefisien refleksi bagi total protein mulai dari skor 0

(permeabel penuh) hingga 1 (tidak permeabel). nmv dan npmv

menyatakan tekanan osmotik protein cairan di mikrovaskular dan

perimikrovaskular. Pada keadaan normal, cairan yang difiltrasi

jumlahnya sedikit dan mengandung protein dalam jumlah yang sedikit

pula.

Adapun gambaran normal cairan pleura adalah sebagai berikut

Jernih, karena merupakan hasil ultrafiltrasi plasma darah


yang berasal dari pleura parietalis

pH 7,60-7,64

Kandungan protein kurang dari 2% (1-2 g/dL)

3
Kadungan sel darah putih < 1000 /m

Kadar glukosa serupa dengan plasma

14
Kadar LDH (laktat dehidrogenase) < 50% dari plasma.
Efusi pleura merupakan suatu indikator adanya suatu penyakit
dasar baik itu pulmoner maupun non pulmoner, akut maupun kronis.
Penyebab efusi pleura tersering adalah gagal jantung kongestif
(penyebab dari sepertiga efusi pleura dan merupakan penyebab efusi

pleura tersering), pneumonia, keganasan serta emboli paru. Berikut ini


merupakan mekanisme-mekanisme terjadinya efusi pleura :

1. Adanya perubahan permeabilitas membran pleura


(misalnya :inflamasi, keganasan, emboli paru)

2. Berkurangnya tekanan onkotik intravaskular


(misalnya :hipoalbuminemia, sirosis)

3. Meningkatnya permeabilitas pembuluh darah atau


kerusakan pembuluh darah (misalnya : trauma, keganasan,
inflamasi, infeksi, infark pulmoner, hipersensitivitas obat,
uremia, pankreatitis)

4. Meningkatnya tekanan hidrostatik pembuluh darah pada


sirkulasi sistemik dan atau sirkulasi sirkulasi paru (misalnya :
gagal jantung kongestif, sindrom vena kava superior)

5. Berkurangnya tekanan pada rongga pleura sehingga


menyebabkan terhambatnya ekspansi paru (misalnya :
atelektasis ekstensif, mesotelioma)

6. Berkurangnya sebagaian kemampuan drainase limfatik


atau bahkan dapat terjadi blokade total, dalam hal ini
termasuk pula obstruksi ataupun ruptur duktus torasikus
(misalnya : keganasan, trauma)

7. Meningkatnya cairan peritoneal, yang disertai oleh migrasi


sepanjang diafragma melalui jalur limfatik ataupun defek
struktural. (misalnya : sirosis, dialisa peritoneal)
8. Berpindahnya cairan dari edema paru melalui pleura viseral

9. Meningkatnya tekanan onkotik dalam cairan pleura secara


persisten dari efusi pleura yang telah ada sebelumnya
sehingga menyebabkan akumulasi cairan lebih banyak lagi.

Sebagai akibat dari terbentuknya efusi adalah diafragma menjadi


semakindatar atau bahkan dapat mengalami inversi, disosiasi mekanis
pleura viseral dan parietal, serta defek ventilasi restriktif.

Efusi pleura secara umum diklasifikasikan sebagai transudat dan


eksudat, bergantung dari mekanisme terbentuknya serta profil kimia
cairan efusi tersebut. Cairan transudat dihasilkan dari
ketidakseimbangan antara tekanan hidrostatik dan onkotik, sementara
eksudat dihasilkan oleh proses inflamasi pleura ataupun akibat
berkurangnya kemampuan drainase limfatik. Pada kasus-kasus
tertentu, cairan pleura dapat memiliki karakteristik kombinasi dari
transudat dan eksudat. (Davey, 2005)

a) Transudat

Efusi pleura transudatif terjadi jika terdapat perubahan dalam


tekanan hidrostatik dan onkotik pada membran pleura, misalnya
jumlah cairan yang dihasilkan melebihi jumlah cairan yang dapat
diabsorbsi. Pada keadaan ini, endotel pembuluh darah paru dalam
kondisi yang normal, dimana fungsi filtrasi masih normal pula
sehingga kandungan sel dan dan protein pada cairan efusi transudat
lebih rendah. Jika masalah utama yang menyebabkannya dapat
diatasi maka efusi pleura dapat sembuh tanpa adanya masalah yang

lebih lanjut. Selain itu, efusi pleura transudat juga dapat terjadi
akibat migrasi cairan yang berasal dari peritoneum, bisa pula
iatrogenik sebagai komplikasi dari pemasangan kateter vena sentra
dan pipa nasogastrik. Penyebab-penyebab efusi pleura transudat
relatif lebih sedikit yakni :

Gagal jantung kongestif

Sirosis (hepatik hidrotoraks)

Atelektasis yang bisa disebabkan oleh keganasan atau emboli


paru

Hipoalbuminemia

Sindroma nefrotik

Dialisis peritoneal

Miksedema

Perikarditis konstriktif

Urinotoraks biasanya akibat obstuktif uropathy

Kebocoran cairan serebrospinal ke rongga pleura

Fistulasi duropleura

Migrasi kateter vena sentral ke ekstravaskular

Glisinotoraks sebuah komplikasi yang jarang akibat irigasi


kandung kemih dengan larutan glisin 1,5% yang dilakukan
setelah pembedahan urologi.

b) Eksudat

Efusi pleura eksudat dihasilkan oleh berbagai


proses/kondisi inflamasi dan biasanya diperlukan evaluasi dan
penanganan yang lebih luas dari efusi transudat. Cairan eksudat
dapat terbentuk sebagai akibat dari proses inflamasi paru
ataupun pleura, gangguan drainase limfatik pada rongga pleura,
pergerakan cairan eksudat dari rongga peritoneal melalui
diafragma, perubahan permeabilitas membran pleura, serta
peningkatan permeabilitas dinding kapiler atau kerusakan
pembuluh darah. Adapun penyebab-penyebab terbentuknya
cairan eksudat antara lain :

Parapneumonia

Keganasan (paling sering, kanker paru atau kanker payudara,


limfoma, leukemia, sedangkan yang lebih jarang, kanker
ovarium, kanker lambung, sarkoma serta melanoma)

Emboli paru

Penyakit-penyakit jaringan ikat-pembuluh darah (artritis


reumatoid,

sistemic lupus erythematosus)

Tuberkulosis

Pankreatitis

Trauma

Sindroma injuri paska-kardiak

Perforasi esofageal

Pleuritis akibat radiasi

Sarkoidosis

Infeksi jamur

Pseudokista pankreas

Abses intraabdominal

Paska pembedahan pintas jatung

Penyakit perikardial
Sindrom Meig (neoplasma jinak pelvis disertai asites dan efusi
pleura)

Sindrom hiperstimulasi ovarian

Penyakit pleura yang diinduksi oleh obat

Sindrom yellow nail (kuku kuning, limfedema, efusi pleura)

Uremia

Chylothorax (suatu kondisi akut dengan peningkatan kadar


trigilerida pada cairan pleura)

Pseudochylotoraks (suatu kondisi kronis dengan


peningkatan kadar kolesterol cairan pleura)

Fistulasi (ventrikulopleural, billiopleural, gastropleural).

d) Gambaran Klinis

Efek yang ditimbulkan oleh akumulasi cairan di rongga pleura


bergantung pada jumlah dan penyebabnya. Efusi dalam jumlah yang
kecil sering tidak bergejala. Bahkan efusi dengan jumlah yang besar
namun proses akumulasinya berlangsung perlahan hanya menimbulkan
sedikit atau bahkan tidak menimbulkan gangguan sama sekali. Jika
efusi terjadi sebagai akibat penyakit inflamasi, maka gejala yang
muncul berupa gejala pleuritis pada saat awal proses dan gejala dapat
menghilang jika telah terjadi akumulasi cairan. (Davey, 2005)

Gejala yang biasanya muncul pada efusi pleura yang jumlahnya


cukup besar yakni : nafas terasa pendek hingga sesak nafas yang nyata
dan progresif, kemudian dapat timbul nyeri khas pleuritik pada area
yang terlibat, khususnya jika penyebabnya adalah keganasan. Nyeri
dada meningkatkan kemungkinan suatu efusi eksudat misalnya infeksi,
mesotelioma atau infark pulmoner. Batuk kering berulang juga sering
muncul, khususnya jika cairan terakumulasi dalam jumlah yang banyak
secara tiba-tiba. Batuk yang lebih berat dan atau disertai sputum atau
darah dapat merupakan tanda dari penyakit dasarnya seperti pneumonia
atau lesi endobronkial. (Davey, 2005)

Riwayat penyakit pasien juga perlu ditanyakan misalnya apakah pada


pasien terdapat hepatitis kronis, sirosis hepatis, pankreatitis, riwayat
pembedahan tulang belakang, riwayat keganasan, dll. Riwayat
pekerjaan seperti paparan yang lama terhadap asbestos dimana hal ini
dapat meningkatkan resiko mesotelioma. Selain itu perlu juga
ditanyakan obat-obat yang selama ini dikonsumsi pasien. Hasil
pemeriksaan fisik juga tergantung dari luas dan lokasi dari efusi.
Temuan pemeriksaan fisik tidak didapati sebelum efusi mencapai
volume 300 mL. Gangguan pergerakan toraks, fremitus melemah, suara
beda pada perkusi toraks, egofoni, serta suara nafas yang melemah
hingga menghilang biasanya dapat ditemukan. Friction rub pada
pleura juga dapat ditemukan. Cairan efusi yang masif (> 1000 mL)
dapat mendorong mediastinum ke sisi kontralateral. Efusi yang sedikit
secara pemeriksaan fisik kadang sulit dibedakan dengan pneumonia
lobaris, tumor pleura, atau fibrosis pleura. Merubah posisi pasien
dalam pemeriksaan fisik dapat membantu penilaian yang lebih baik
sebab efusi dapat bergerak berpindah tempat sesuai dengan posisi
pasien. Pemeriksaan fisik yang sesuai dengan penyakit dasar juga dapat
ditemukan misalnya, edema perifer, distensi vena leher, S3 gallop pada
gagal jantung kongestif. Edema juga dapat muncul pada sindroma
nefrotik serta penyakit perikardial. Ascites mungkin menandakan suatu
penyakit hati, sedangkan jika ditemukan limfadenopati atau massa yang
dapat diraba mungkin merupakan suatu keganasan. (Davey, 2005)

e) Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan pencitraan radiologis
Evaluasi efusi pleura dimulai dari pemeriksaan imejing
untuk menilai jumlah cairan, distribusi dan aksesibilitasnya serta
kemungkinan adanya abnormalitas intratorakal yang berkaitan
dengan efusi pleura tersebut. Pemeriksaan foto toraks
posteroanterior (PA) dan lateral sampai saat ini masih merupakan
yang paling diperlukan untuk mengetahui adanya efusi pleura pada
awal diagnosa.
Pada posisi tegak, akan terlihat akumulasi cairan yang
menyebabkan hemitoraks tampak lebih tinggi, kubah diafragma
tampak lebih ke lateral, serta sudut kostofrenikus yang menjadi
tumpul. Untuk foto toraks PA setidaknya butuh 175-250 mL cairan
yang terkumpul sebelumnya agar dapat terlihat di foto toraks PA.
Sementara foto toraks lateral dekubitus dapat mendeteksi efusi
pleura dalam jumlah yang lebih kecil yakni 5 mL. jika pada foto
lateral dekubitus ditemukan ketebalan efusi 1 cm maka jumlah
cairan telah melebihi 200 cc, ini merupakan kondisi yang
memungkinkan untuk dilakukantorakosentesis. Namun pada
efusi loculated temuan diatas mungkin tidak dijumpai. Pada
posisi supine, efusi pleura yang sedang hingga masif dapat
memperlihatkan suatu peningkatan densitas yang homogen yang
menyebar pada bagian bawah paru, selain itu dapat pula terlihat
elevasi hemidiafragma, disposisi kubah diafragma pada daerah
lateral.
Tomografi komputer (CT-scan) dengan kontras harus
dilakukan pada efusi pleura yang tidak terdiagnosa jika
memang sebelumnya belum pernah dilakukan.
(Davey, 2005)
b) Pemeriksaan cairan pleura

Analisa cairan pleura merupakan suatu sarana yang sangat


memudahkan untuk mendiagnosa penyebab dari efusi tersebut.
Prosedur torakosentesis sederhana dapat dilakukan secara bedside
sehingga memungkinkan cairan pleura dapat segera diambil, dilihat
secara makroskopik maupun mikroskopik, serta dianalisa. (Davey,
2005)

Indikasi tindakan torasentesis diagnostik adalah pada kasus


baru efusi pleura atau jika etiologinya tidak jelas dimana cairan yang
terkumpul telah cukup banyak untuk diaspirasi yakni dengan ketebalan
10 mm pada pemeriksaan ultrasonografi toraks atau foto lateral
dekubitus (gambar 2.2). Observasi saja diindikasikan jika efusi yang
terjadi diyakini akibat dari gagal jantung kongestif, pleurisi viral, atau
akibat pembedahan torak dan abdomen sebelumnya. Namun, jika pada
keadaan ini jika dijumpai adanya hal-hal berikut yakni :

i. pasien mengalami demam atau merasakan nyeri dada khas


pleuritik,
ii. jika efusi yang terjadi unilateral atau bilateral namun dengan
ukuran yang jelas berbeda,
iii. tidak ditemukan kardiomegali,
iv. efusi tidak respon dengan terapi gagal jantung.

(Davey, 2005)
Gambar 2. Algoritma evaluasi pasien dengan efusi pleura. Dikutip dari: Light
RW. 2002. Pleural effusion. New england journal medicine, vol 346, no 25.

Langkah diagnostik pertama dalam analisa cairan pleura adalah


membedakan antara transudat dan eksudat. Hal ini diperlukan untuk
menyederhanakan kemungkinan-kemungkinan etiologi sebelum akhirnya
dicapai kesimpulan etiologi yang benar. Selain itu, langkah ini juga dapat
menentukan apakah perlu untuk melakukan pemeriksaan lanjutan terhadap
efusi pleura untuk memastikan diagnosa.

f) Penatalaksanaan

Efusi transudatif biasanya ditangani dengan mengobati penyakit


dasarnya. Namun demikian, efusi pleura yang masif, baik transudat
maupun eksudat dapat menyebabkan gejala respiratori berat. Dalam
keadaan ini, meskipun etiologi dan penanganan penyakit dasarnya
telah dipastikan, drainase efusi perlu dilakukan untuk memperbaiki
keadaan umum pasien. Penanganan efusi eksudatif bergantung
pada etiologi yang mendasarinya. tiga etiologi utama yang paling
sering dijumpai pada efusi eksudatif adalah pneumonia, keganasan
dan tuberkulosis. Parapneumonia yang mengalami komplikasi dan
empiema harus didrainase untuk mencegah pleuritis fibrotik. Efusi
maligna biasanya didrainase untuk meringankan gejala bahkan
pleurodesis diindikasikan untuk mencegah rekurensi. Beberapa
obat-obatan diketahui dapat menyebabkan efusi pleura yang bersifat
transudatif. Hal ini perlu diketahui secara dini untuk
menghindari prosedur diagnostik lain yang tidak perlu. (Davey,
2005)

c) Efusi Parapneumonik

Dari seluruh efusi pleura eksudatif, efusi pleura


parapneumonik secara khusus mendapat prioritas utama untuk
sesegera mungkin didiagnosa dan penanganan berupa drainase
meskipun antibiotik empiris telah diberikan. Hal ini disebabkan
karena efusi pleura yang terinfeksi dapat mengalami koagulasi
secara cepat dan membentuk lapisan fibrous sehingga nantinya
memerlukan tindakan bedah untuk dekortikasi.

Adapun indikasi torakosentesis urgensi pada efusi


parapneumonia antara lain : (1) cairan purulen ; (2) pH cairan
pleura < 7,2 ; (3) efusi terlokulasi ; (4) dijumpai bakteri pada
pewarnaan Gram atau pada biakan. Pasien yang tidak memenuhi
kriteria diatas harus menunjukkan perbaikan dengan terapi
antibiotik yang sesuai dan diberikan selama 1 minggu.

(Davey,
2005)

a) Efusi Pleura Maligna

Efusi pleura merupakan suatu pertanda kondisi yang berat


dengan harapan hidup kurang dari 1 tahun. Pada beberapa
pasien, drainase cairan efusi pleura dalam jumlah yang banyak
dapat mengurangi gejala yang disebabkan oleh distorsi
diafragma dan dinding toraks oleh cairan efusi. Jenis efusi
ini biasanya sering berulang sehingga perlu dilakukan
torakosentesis berulang, pleurodesis atau pemasangan kateter
yang menetap sehingga pasien dapat mengeluarkan cairan efusi
sesuai kebutuhan di luar rumah sakit. Pada pasien yang
mengalami efusi masif sehingga jaringan paru mengalami
pendesakan, maka pemasangan kateter yang menetap
merupakan pilihan utama. Namun jika tidak ada pendesakan
terhadap paru, maka pilihan lain yang dapat digunakan adalah
pleurodesis (pleural sklerosis). Dari sebuah penelitian non-
randomized oleh Fysh ET dkk (2012) didapati bahwa 34 pasien
yang memilih menggunakan kateter menetap secara signifikan
lebih cepat pulang dari rumah sakit, lebih jarang mengalami
rekurensi efusi, dan lebih cepat memperoleh perbaikan kualitas
hidup dibanding 31 pasien lainnya yang memilih tindakan
pleurodesis. (Davey, 2005)

b) Pleura Tuberkulosa

Hal yang khas dari efusi yang disebabkan oleh


tuberkulosa adalah sifatnya yang dapat sembuh sendiri.
Namun demikian, 65% pasien dengan pleuritis tuberkulosa
primer mengalami reaktivasi dalam 5 tahun. Oleh karena
itu pemberian obat antituberkulosis biasanya akan dimulai
sebelum hasil kultur diperoleh jika keadaan klinis
mendukung, dan hasil analisa cairan pleura menunjukkan
suatu eksudat yang tidak dapat dijelaskan atau dengan
cairan efusi limfositik serta tes tuberkulin positif. (Davey,
2005)

c) Intervensi bedah

Intervensi bedah paling sering diperlukan dalam


penanganan efusi parapneumonia yang tidak dapat didrainase
secara adekuat dengan jarum biasa ataupun dengan kateter
ukuran kecil.

Torakoskopi dengan tuntunan video bermanfaat untuk


dapat memvisualisasi dan biopsi pleura secara langsung
untuk mendiagnosa efusi eksudatif secara lebih baik.
Tindakan dekortikasi bermanfaat untuk membebaskan
bagian paru yang terjebak pada bagian pleura yang
mengalami penebalan. ( D a v e y , 2 0 0 5 )
Pemasangan pintasan pleuroperitoneal merupakan
salah satu pilihan dalam penanganan efusi pleura
yang mengalami rekurensi, simtomatik, dan kebanyakan
hal ini dijumpai pada efusi pleura maligna, namun digunakan
pula pada efusi chylous. Namun sayangnya jalur pintasan
sering mengalami disfungsi sehingga sering diperlukan
pembedahan untuk perbaikan.Tindakan bedah juga
diperlukan untuk kasus-kasus jarang seperti defek diafragma
pada pasien dengan ascites, serta untuk mengikat duktus
torasikus untuk mencegah reakumulasi efusi chylous.
Disiplin ilmu lain yang mungkin terlibat dalam penanganan
efusi pleura antara lain : pulmonologis, radiologi
intervensi, serta bedah toraks bergantung pada lokasi efusi
dan kondisi klinis. (Davey, 2005)

d) Torasentesis terapeutik
Torasentesis teraputik betujuan untuk mengeluarkan
cairan dalam jumlah yang banyak pada efusi pleura untuk
mengurangi sesak dan menghambat proses inflamasi yang
sedang berlangsung dan juga fibrosis pada efusi
parapneumonia. Tiga hal berikut penting untuk diperhatikan
dalam prosedur torasentesis yakni, (1) gunakan kateter
berukuran kecil atau kateter yang didesain khusus untuk
drainase cairan dan upayakan jangan menggunakan jarum
untuk menghindari pneumotoraks. (2) monitoring oksigenasi
ketat selama dan setelah tindakan perlu dilakukan untuk
memantau oksigenasi arterial yang dapat saja memburuk
akibat perubahan perfusi dan ventilasi selama proses re-
ekspansi paru. (3) Usahakan cairan yang diambil tidak terlalu
banyak aqgar tidak terjadi edema paru dan pneumotoraks.
Biasanya 400-500 cc cairan yang dikeluarkan telah
memberikan dampakk berupa berkurangnya sesak
nafas. Sedangkan batasan yang direkomendasikan
dalam sekali prosedur torakosentesis adalah 1-1,5 L. Batuk
sering terjadi pada proses torasentesis. Hal ini sering terjadi
dan tidak merupakan indikasi untuk menghentikan
prosedur kecuali pasien merasa sangat tidak nyaman.
(Davey, 2005)
e) Pipa Torakostomi
Pipa torakostomi diindikasikan pada efusi yang
lebih masif dan efusi parapneumonia yang terkomplikasi
ataupun empiema
(Davey, 2005)

DAFTAR PUSTAKA
Davey, P.2005.At a Glance Medicine. Jakarta : Erlangga.
Price, S.A . 2005. Patofisiologi : Konsep klinis proses-pross penyakit, Ed6.Jakarta: EGC.
Light RW. 2002. Pleural effusion. New england journal medicine, vol 346, no 25.

Anda mungkin juga menyukai