Anda di halaman 1dari 14

1.

Hepatitits A
a. Definisi Hepatitis A Virus

Hepatitis adalah proses peradangan difus pada sel hati. Hepatitis A adalah
hepatitis yang disebabkan oleh infeksi Hepatitis A Virus.15 Infeksi virus hepatitis
A dapat menyebabkan berbagai macam komplikasi, diantaranya adalah hepatitis
fulminant, autoimun hepatitis, kolestatik hepatitis, hepatitis relaps, dan sindroma
pasca hepatitis (sindroma kelelahan kronik). Hepatitis A tidak pernah menyebabkan
penyakit hati kronik. (Setiati, 2015)

b. Etiologi Hepatitis A Virus

Hepatitis A disebabkan oleh hepatitis A virus. Virus ini termasuk virus


RNA, serat tunggal, dengan berat molekul 2,25-2,28 x 106 dalton, simetri
ikosahedral, diameter 27-32 nm dan tidak mempunyai selubung. Mempunyai
protein terminal VPg pada ujung 5’nya dan poli(A) pada ujung 3’nya. Panjang
genom HAV: 7500-8000 pasang basa. Hepatitis A virus dapat diklasifikasikan
dalam famili picornavirus dan genus hepatovirus. (Setiati, 2015)

c. Transmisi Hepatitis A Virus

Penyakit ini ditularkan secara fekal-oral dari makanan dan minuman yang
terinfeksi. Dapat juga ditularkan melalui hubungan seksual. Penyakit ini terutama
menyerang golongan sosial ekonomi rendah yang sanitasi dan higienenya kurang
baik. Masa inkubasi penyakit ini adalah 14-50 hari, dengan rata-rata 28 hari.
Penularan berlangsung cepat. Pada KLB di suatu SMA di Semarang, penularan
melalui kantin sekolah diperburuk dengan sanitasi kantin dan WC yang kurang
bersih. (Setiati, 2015)

d. Epidemiologi Hepatitis A Virus

Diperkirakan sekitar 1,5 juta kasus klinis dari hepatitis A terjadi di seluruh
dunia setiap tahun, tetapi rasio dari infeksi hepatits A yang tidak terdeteksi dapat
mencapai sepuluh kali lipat dari jumlah kasus klinis tersebut. Seroprevalensi dari
hepatitis A virus beragam dari beberapa negara di Asia. Pada negara dengan
endemisitas sedang seperti Korea, Indonesia, Thailand, Srilanka dan Malaysia, data
yang tersedia menunjukan apabila rasio insidensi mungkin mengalami penurunan
pada area perkotaan, dan usia pada saat infeksi meningkat dari awal masa kanak-
kanak menuju ke akhir masa kanak-kanak, dimana meningkatkan resiko terjadinya
wabah hepatitis A.14 Di Amerika Serikat, angka kejadian hepatitis A telah turun
sebanyak 95% sejak vaksin hepatitis A pertama kali tersedia pada tahun 1995. Pada
tahun 2010, 1.670 kasus hepatitis A akut dilaporkan; Incidence rate sebanyak
0,6/100.000, rasio terendah yang pernah tercatat. Setelah menyesuaikan untuk
infeksi asimtomatik dan kejadian yang tidak dilaporkan, perkiraan jumlah infeksi
baru ialah sekitar 17.000 kasus. (Setiati, 2015)

e. Patogenesis Hepatitis A Virus

HAV didapat melalui transmisi fecal-oral; setelah itu orofaring dan traktus
gastrointestinal merupakan situs virus ber-replikasi. Virus HAV kemudian di
transport menuju hepar yang merupakan situs primer replikasi, dimana pelepasan
virus menuju empedu terjadi yang disusul dengan transportasi virus menuju usus
dan feses. Viremia singkat terjadi mendahului munculnya virus didalam feses dan
hepar. Pada individu yang terinfeksi HAV, konsentrasi terbesar virus yang di
ekskresi kedalam feses terjadi pada 2 minggu sebelum onset ikterus, dan akan
menurun setelah ikterus jelas terlihat. Anak-anak dan bayi dapat terus
mengeluarkan virus selama 4-5 bulan setelah onset dari gejala klinis. Berikut ini
merupakan ilustrasi dari patogenesis hepatitis A. (Setiati, 2015)

Kerusakan sel hepar bukan dikarenakan efek direct cytolytic dari HAV;
Secara umum HAV tidak melisiskan sel pada berbagai sistem in vitro. Pada periode
inkubasi, HAV melakukan replikasi didalam hepatosit, dan dengan ketiadaan
respon imun, kerusakan sel hepar dan gejala klinis tidak terjadi. Banyak bukti
berbicara bahwa respon imun seluler merupakan hal yang paling berperan dalam
patogenesis dari hepatitis A. Kerusakan yang terjadi pada sel hepar terutama
disebabkan oleh mekanisme sistem imun dari Limfosit-T antigen-specific.
Keterlibatan dari sel CD8+ virus-specific, dan juga sitokin, seperti gamma-
interferon, interleukin-1-alpha (IL-1-α), interleukin-6 (IL-6), dan tumor necrosis
factor (TNF) juga berperan penting dalam eliminasi dan supresi replikasi virus.
Meningkatnya kadar interferon didalam serum pasien yang terinfeksi HAV,
mungkin bertanggung jawab atas penurunan jumlah virus yang terlihat pada pasien
mengikuti timbulnya onset gejala klinis. Pemulihan dari hepatitis A berhubungan
dengan peningkatan relatif dari sel CD4+ virus-specific dibandingkan dengan sel
CD8+. (Setiati, 2015)

Immunopatogenesis dari hepatitis A konsisten mengikuti gejala klinis dari


penyakit. Korelasi terbalik antara usia dan beratnya penyakit mungkin
berhubungan dengan perkembangan sistem imun yang masih belum matur pada
individu yang lebih muda, menyebabkan respon imun yang lebih ringan dan
berlanjut kepada manifestasi penyakit yang lebih ringan. (Setiati, 2015)

Dengan dimulainya onset dari gejala klinis, antibodi IgM dan IgG anti HAV
dapat terdeteksi. Pada hepatitis A akut, kehadiran IgM anti-HAV terdeteksi 3
minggu setelah paparan, titer IgM anti-HAV akan terus meningkat selama 4-6
minggu, lalu akan terus turun sampai level yang tidak terdeteksi dalam waktu 6
bulan infeksi. IgA dan IgG anti-HAV dapat dideteksi dalam beberapa hari setelah
timbulnya gejala. Antibodi IgG akan bertahan selama bertahun-tahun setelah
infeksi dan memberikan imunitas seumur hidup. Pada masa penyembuhan,
regenerasi sel hepatosit terjadi. Jaringan hepatosit yang rusak biasanya pulih dalam
8-12 minggu. (Setiati, 2015)

f. Manifestasi Klinis Hepatitis A Virus

Gambaran klinis hepatitis virus sangat bervariasi mulai dari infeksi


asimptomatik tanpa ikterus sampai yang sangat berat yaitu hepatitis fulminant yang
dapat menimbulkan kematian hanya dalam beberapa hari. Gejala hepatitis akut
terbagi dalam 4 tahap yaitu fase inkubasi, fase prodromal (pra ikterik), fase ikterus,
dan fase konvalesen (penyembuhan). (Setiati, 2015)

Fase Inkubasi. Merupakan waktu antara masuknya virus dan timbulnya


gejala atau ikterus. Fase ini berbeda-beda lamanya untuk tiap virus hepatitis.
Panjang fase ini tergantung pada dosis inokulum yang ditularkan dan jalur
penularan, makin besar dosis inokulum, makin pendek fase inkubasi ini. Pada
hepatitis A fase inkubasi dapat berlangsung selama 14-50 hari, dengan rata-rata 28-
30 hari. (Setiati, 2015)

Fase Prodromal (pra ikterik). Fase diantara timbulnya keluhan-keluhan


pertama dan timbulnya gejala ikterus. Awitannya dapat singkat atau insidious
ditandai dengan malaise umum, nyeri otot, nyeri sendi, mudah lelah, gejala saluran
napas atas dan anorexia. Mual muntah dan anoreksia berhubungan dengan
perubahan penghidu dan rasa kecap. Demam derajat rendah umunya terjadi pada
hepatitis A akut. Nyeri abdomen biasanya ringan dan menetap di kuadran kanan
atas atau epigastrium, kadang diperberat dengan aktivitas akan tetapi jarang
menimbulkan kolesistitis. (Setiati, 2015)

Fase Ikterus. Ikterus muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga muncul
bersamaan dengan munculnya gejala. Pada banyak kasus fase ini tidak terdeteksi.
Setelah tibul ikterus jarang terjadi perburukan gejala prodromal, tetapi justru akan
terjadi perbaikan klinis yang nyata. (Setiati, 2015)

Fase konvalesen (penyembuhan). Diawali dengan menghilangnya ikterus


dan keluhan lain, tetapi hepatomegali dan abnormalitas fungsi hati tetap ada.
Muncul perasaan sudah lebih sehat dan kembalinya nafsu makan. Keadaan akut
biasanya akan membaik dalam 2-3 minggu. Pada hepatitis A perbaikan klinis dan
laboratorium lengkap terjadi dalam 9 minggu. Pada 5-10% kasus perjalanan
klinisnya mungkin lebih sulit ditangani, hanya <1% yang menjadi fulminant.

g. Diagnosis Hepatitis A Virus

Untuk menegakan diagnosis HAV diperlukan beberapa pemeriksaan.


Pemeriksaan tersebut antara lain adalah:

a. Pemeriksaan Klinis

Diagnosis klinik ditegakan berdasarkan keluhan seperti demam, kelelahan,


malaise, anorexia, mual dan rasa tidak nyaman pada perut. Beberapa individu
dapat mengalami diare. Ikterus (kulit dan sclera menguning), urin berwarna
gelap, dan feses berwarna dempul dapat ditemukan beberapa hari kemudian.
Tingkat beratnya penyakit beraragam, mulai dari asimtomatik (biasa terjadi pada
anak-anak), sakit ringan, hingga sakit yang menyebabkan hendaya yang
bertahan selama seminggu sampai sebulan. (Setiati, 2015)

b. Pemeriksaan Serologik

Adanya IgM anti-HAV dalam serum pasien dianggap sebagai gold standard
untuk diagnosis dari infeksi akut hepatitis A. Virus dan antibody dapat dideteksi
dengan metode komersial RIA, EIA, atau ELISA. Pemeriksaan diatas digunakan
untuk mendeteksi IgM anti-HAV dan total anti-HAV (IgM dan IgG). IgM anti-
HAV dapat dideteksi selama fase akut dan 3-6 bulan setelahnya. Dikarenakan
IgG anti-HAV bertahan seumur hidup setelah infeksi akut, maka apabila
seseorang terdeteksi IgG anti HAV positif tanpa disertai IgM anti-HAV,
mengindikasikan adanya infeksi di masa yang lalu. Pemeriksaan imunitas dari
HAV tidak dipengaruhi oleh pemberian passive dari Immunoglobulin/Vaksinasi,
karena dosis profilaksis terletak dibawah level dosis deteksi. (Setiati, 2015)

c. Rapid Test

Deteksi dari antibodi dapat dilakukan melalui rapid test menggunakan


metode immunochromatographic assay, dengan alat diagnosis komersial yang
tersedia. Alat diagnosis ini memiliki 3 garis yang telah dilapisi oleh antibodi, yaitu
“G” (HAV IgG Test Line), “M” (HAV IgM Test Line), dan “C” (Control Line)
yang terletak pada permukaan membran. Garis “G” dan “M” berwarna ungu akan
timbul pada jendela hasil apabila kadar IgG dan/atau IgM anti-HAV cukup pada
sampel. Dengan menggunakan rapid test dengan metode
immunochromatographic assay didapatkan spesifisitas dalam mendeteksi IgM
anti-HAV hingga tingkat keakuratan 98,0% dengan tingkat sensitivitas hingga
97,6%. (Setiati, 2015)

d. Pemeriksaan Penunjang Lain

Diagnosis dari hepatitis dapat dibuat berdasarkan pemeriksaan biokimia


dari fungsi liver (pemeriksaan laboratorium dari: bilirubin urin dan urobilinogen,
total dan direct bilirubin serum, alanine transaminase (ALT) dan aspartate
transaminase (AST), alkaline phosphatase (ALP), prothrombin time (PT), total
protein, serum albumin, IgG, IgA, IgM, dan hitung sel darah lengkap). Apabila
tes lab tidak memungkinkan, epidemiologic evidence dapat membantu untuk
menegakan diagnosis. (Setiati, 2015)

e. Pencegahan Hepatitis A Virus


Suplai air bersih yang adekuat dengan pembuangan kotoran yang baik dan
benar didalam komunitas, dikombinasikan dengan praktik higiene personal yang baik,
seperti teratur mencuci tangan, dapat mengurangi penyebaran dari HAV. Imunisasi
pasif dengan immunoglobulin normal atau immune serum globulin prophylaxis dapat
efektif dan memberi perlindungan selama 3 bulan. Akan tetapi, dengan penemuan
vaksin yang sangat efektif, immunoglobulin tersebut menjadi jarang digunakan.
Imunisasi pasif ini diindikasiskan untuk turis yang berkunjung ke daerah endemik
dalam waktu singkat, wanita hamil, orang yang lahir di daerah endemis HAV, orang
dengan immunocompromised yang memiliki resiko penyakit berat setelah kontak erat,
dan pekerja kesehatan setelah terpajan akibat pekerjaan.15, 16 Ketika sumber infeksi
HAV teridentifikasi, contohnya makanan atau air yang terkontaminasi HAV, immune
serum globulin prophylaxis harus diberikan kepada siapa saja yang telah terpapar dari
kontaminan tersebut. Hal ini terutama berlaku untuk wabah dari HAV yang terjadi di
sekolah, rumah sakit, penjara, dan institusi lainnya.15 Imunisasi aktif dengan vaksin
mati memberikan imunitas yang sangat baik. Imunisasi ini diindikasikan untuk turis
yang berkunjung ke daerah endemik, untuk memusnahkan wabah, dan untuk
melindungi pekerja kesehatan setelah pajanan atau sebelum pajanan bila terdapat
risiko akibat pekerjaan.4 Vaksinasi HAV memberikan kemanjuran proteksi terhadap
HAV sebesar 94-100% setelah 2-3 dosis suntikan yang diberikan 6-12 bulan secara
terpisah, dengan efek samping yang minimal. (Setiati, 2015)
f. Penatalaksanaan Hepatitis A Virus
Penatalaksanaan hepatitis A virus sebagian besar adalah terapi suportif,
yang terdiri dari bed rest sampai dengan ikterus mereda, diet tinggi kalori, penghentian
dari pengobatan yang beresiko hepatotoxic, dan pembatasan dari konsumsi
alkohol.Sebagian besar dari kasus hepatitis A virus tidak memerlukan rawat inap.
Rawat inap direkomendasikan untuk pasien dengan usia lanjut, malnutrisi, kehamilan,
terapi imunosupresif, pengobatan yang mengandung obat hepatotoxic, pasien muntah
berlebih tanpa diimbangi dengan asupan cairan yang adekuat, penyakit hati
kronis/didasari oleh kondisi medis yang serius, dan apabila pada pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang didapatkan gejala-gejala dari hepatitis fulminan. Pasien
dengan gagal hati fulminant, didefinisikan dengan onset dari encephalopathy dalam
waktu 8 minggu sejak timbulnya gejala. Pasien dengan gagal hati fulminant harus
dirujuk untuk pertimbangan melakukan transplantasi hati. (Setiati, 2015)
2. Hepatitis C
a. Definis

Virus hepatitis C adalah nama yang telah diberikan salah satu jenis virus
hepatitis dari virus hepatitis lainnya (Hepatitis A, B, D, G, tt). Virus ini ditemukan
pada tahun 1989, dan menjadi penyebab kasus hepatitis NANB pasca transfusi.
Pada tahun 1970 dikenal kasus kasus hepatitis pasca transfusi. Virus hepatitis C
merupakan virus hepatitis dengan masa inkubasi yang lama dan sering ditandai
dengan gejala subklinis yang ringan , tetapi dengan tingkat kronisitas dan
progresifitas kearah sirosis. Penyakit Hepatitis C adalah penyakit yang disebabkan
oleh virus hepatitis C, virus ini merupakan jenis virus RNA dari keluarga
Flaviviridae. Terdapat 6 genotip HCV dan lebih dari 50 subtipe. Respons limfosit
T yang menurun dan kecenderungan virus untuk bernutasi nampaknya
menyebabkan tingginya angka infeksi kronis . (Setiati, 2015)

b. Etiologi

Hepatitis C disebabkan oleh virus hepatitis C (HCV) yang merupakan virus


RNA dengan amplop, diklasifikasikan ke dalam genus berbeda (Hepacavirus) dari
famili Flaviviridae. Penyakit hepatitis C merupakan peradangan pada organ liver
(hati) yang disebabkan oleh penyebaran virus hepatitis C. Virus hepatitis C yang
masuk ke organ hati melalui aliran darah ini kemudian akan merusak sistem kerja
organ hati (liver) dan menginfeksi jaringan sel-sel disekitar organ hati. Virus ini
dapat mengakibatkan infeksi seumur hidup, sirosis hati, kanker hati, kegagalan hati,
dan kematian. Penyebab penyakit hepatitis C adalah karena infeksi dari bawaan
darah. Penyakit hepatitis C ini ditularkan lewat kontak darah dengan darah, disaat
darah mengalami suatu infeksi lewat aliran darah dari orang lain. Pengguna narkoba
suntikan (IDU) yang memakai jarum suntik dan alat suntik lain secara bergantian
berisiko paling tinggi terkena infeksi HCV. Hal ini karena kedua virus menular
dengan mudah melalui hubungan darah ke darah. HCV dapat menyebar dari darah
orang yang terinfeksi yang masuk ke darah orang lain melalui cara yang berikut:

 Memakai alat suntik (jarum suntik, semprit, dapur, kapas, air) secara
bergantian.
 Kecelakaan ketusuk jarum.
 Luka terbuka atau selaput mukosa (misalnya di dalam mulut, vagina, atau
dubur).
 Produk darah atau transfusi darah yang tidak diskrining.
Berbeda dengan HIV, umumnya dianggap bahwa HCV tidak dapat menular
melalui air mani atau cairan vagina kecuali mengandung darah. Ini berarti risiko
terinfeksi HCV melalui hubungan seks adalah rendah. Namun masih dapat terjadi,
terutama bila berada infeksi menular seksual seperti herpes atau hubungan seks
dilakukan dengan cara yang meningkatkan risiko luka pada selaput mukosa atau
hubungan darah ke darah, misalnya akibat kekerasan. Perempuan dengan HCV
mempunyai risiko di bawah 6 persen menularkan virusnya pada bayinya waktu
hamil atau saat melahirkan, walaupun risiko ini meningkat bila viral load HCV-nya
tinggi. Kemungkinan HCV tidak dapat menular melalui menyusui (Setiati, 2015)
c. Faktor Risiko
Menurut booklet mengenai Hepatitis C yang diterbitkan Roche Indonesia,
Virus Hepatitis C ditularkan melalui kontak dengan darah yang terinfeksi, misalnya
pada:
o .Penggunaan instrumen medis yang terkontaminasi.
o Penggunaan jarum suntik yang tidak steril atau digunakan secara bergantian.
o Tindik (telinga, hidung, dan bagian tubuh lain), tato, dan cukur dengan alat
yang tidak steril.
o Penerima transfusi atau produk darah dengan sumber yang belum
diskrining.
o Aktivitas seksual yang tidak terproteksi atau penularan pada bayi dari ibu
yang terinfeksi, walaupun kasusnya sangat jarang.
Hepatitis C tidak ditularkan melalui Air Susu Ibu (ASI), makanan atau
minuman, atau dengan kontak fisik seperti memeluk, mencium, atau berbagi
makanan dan minuman dengan orang yang terinfeksi.
Berdasarkan diagram tersebut, penggunaan narkoba suntik menjadi
faktor risiko yang paling banyak menyebabkan Hepatitis C, disusul dengan
hubungan seksual, transfusi darah, dan lain-lain. (Setiati, 2015)
d. Komplikasi dan Dampak
Komplikasi hepatitis terdiri dari edema serebral, perdarahan saluran
cerna, gagal ginjal, gangguan elektrolit, gangguan pernafasan, hipoglikemia,
sepsis, gelisah, koagulasi intra vaskuler diseminata, hipotensi dan kematian.
Tanda-tanda edema selebral adalah kenaikan tekanan intrakranial dengan gejala
dini transpirasi, hiperventilasi, heperefleksi, opistotonus, kejang-kejang,
kelainan kedua pupil yang terakhir dengan reflek negatif terhadap cahaya.
Komplikasi dari hepatitis adalah kegagalan hati (gepatoseluler), hipertensi
portal, asites, ensefalopati,peritonitis bakterial spontan, sindrom hepatorenal dan
transformasi kearah kanker hati primer (hepatoma). (Setiati, 2015)
e. Patofisiologis
Jika masuk ke dalam darah maka HCV akan segera mencari hepatosit
(sel hati) dan kemungkinan sel limfosit B. Hanya dalam sel hati HCV bisa
berkembang biak. Sulitnya membiakkan HCV pada kultur, juga tidak adanya
model binatang non-primata telah memperlambat lajunya riset HCV. Namun
daur hidup HCV telah dapat dikemukakan seperti penjelasan dibawah ini:
1. HCV masuk ke dalam hepatosit dengan mengikat suatu reseptor permukaan
sel yang spesifik. Reseptor ini belum teridentifikasi secara jelas, namun
protein permukaan CD8 adalah suatu HCV binding protein yang
memainkan peranan dalam masuknya virus. Salah satu protein khusus virus
yang dikenal sebagai protein E2 menempel pada reseptor site di bagian luar
hepatosit.
2. Kemudian protein inti dari virus menembus dinding sel dengan suatu proses
kimiawi dimana selaput lemak bergabung dengan dinding sel dan
selanjutnya dinding sel akan melingkupi dan menelan virus serta
membawanya ke dalam hepatosit. Di dalam hepatosit, selaput virus
(nukleokapsid) melarut dalam sitoplasma dan keluarlah RNA virus (virus
uncoating) yang selanjutnya mengambil alih peran bagian dari ribosom
hepatosit dalam membuat bahan-bahan untuk proses reproduksi.
3. Virus dapat membuat sel hati memperlakukan RNA virus seperti miliknya
sendiri. Selama proses ini virus menutup fungsi normal hepatosit atau
membuat lebih banyak lagi hepatosit yang terinfeksi kemudian menbajak
mekanisme sintesis protein hepatosit dalam memproduksi protein yang
dibutuhkannya untuk berfungsi dan berkembang biak.
4. RNA virus dipergunakan sebagai cetakan (template) untuk memproduksi
masal poliprotein (proses translasi).
5. Poliprotein dipecah dalam unit-unit protein yang lebih kecil. Protein ini ada
2 jenis yaitu protein struktural dan regulatori. Protein regulatori memulai
sintesis kopi virus RNA asli.
6. Sekarang RNA virus mengopi dirinya sendiri dalam jumlah besar (miliaran
kali) untuk menghasilkan bahan dalam membentuk virus baru. Hasil kopi
ini adalah bayangan cermin RNA orisinil dan dinamai RNA negatif. RNA
negatif lalu bertindak sebagai cetakan (template) untuk memproduksi serta
RNA positif yang sangat banyak yang merupakan kopi identik materi
genetik virus.
7. Proses ini berlangsung terus dan memberikan kesempatan untuk terjadinya
mutasi genetik yang menghasilkan RNA untuk strain baru virus dan subtipe
virus hepatitis C. Setiap kopi virus baru akan berinteraksi dengan protein
struktural, yang kemudian akan membentuk nukleokapsid dan kemudian
inti virus baru. Amplop protein kemudian akan melapisi inti virus baru.
8. Virus dewasa kemudian dikeluarkan dari dalam hepatosit menuju ke
pembuluh darah menembus membran sel.
Keluaran dan derajat keparahan dari infeksi virus hepatitis bergantung
pada jenis virus, jumlah virus dan faktor dari host. (Setiati, 2015)
f. Patogenesis
Setiap proses peradangan akan menimbulkan gejala. Berat ringannya
gejala yang timbul tergantung dari ganasnya penyebab penyakit (patogenitas)
dan daya tahan tubuh penderita itu sendiri. Secara umum terdapat empat
stadium pada penyakit hepatitis yang timbul akibat proses peradangan hati akut
oleh virus, yaitu masa tunas, fase prod moral, fase kuning, dan fase
penyembuhan. Masa Tunas Yaitu sejak masuknya virus pertama kali ke dalam
tubuh sampai menimbulkan gejala klinis. Masa tunas dari masing-masing
penyebab virus hepatitis tidaklah sama. Kerusakan sel-sel hati terutama terjadi
pada stadium ini. Fase Prodmoral (fase preikterik) Fase ini berlangsung
beberapa hari. Timbul gejala dan keluhan pada penderita seperti badan terasa
lemas, cepat lelah, lesu, tidak nafsu makan (anoreksia), mual, muntah, perasaan
tidak enak dan nyeri diperut, demam kadang-kadang menggigil, sakit kepala,
nyeri pada persendian (arthralgia), pegal-pegal diseluruh badan terutama
dibagian pinggang dan bahu (mialgia), dan diare. Kadang-kadang penderita
seperti akan pilek dan batuk, dengan atau tanpa disertai sakit tenggorokan.
Karena keluhan diatas seperti sakit flu, keadaan diatas disebut pula sindroma
flu. Fase kuning (fase ikterik) Biasanya setelah suhu badan menurun, warna
urine penderita berubah menjadi kuning pekat seperti air teh. Bagian putih dari
bola mata (sklera), selaput lendir langit-langit mulut, dan kulit berubah menjadi
kekuningan yang disebut juga ikterik. Bila terjadi hambatan aliran empedu
yang masuk kedalam usus halus, maka tinja akan berwarna pucat seperti
dempul, yang disebut faeces acholis. (Setiati, 2015)
Warna kuning atau ikterik akan timbul bila kadar bilirubin dalam serum
melebihi 2 mg/dl. Pada saat ini penderita baru menyadari bahwa ia menderita
sakit kuning atau hepatitis. Selama minggu pertama dari fase ikterik, warna
kuningnya akan terus meningkat, selanjutnya menetap. Setelah 7-10 hari,
secara perlahan-lahan warna kuning pada mata dan kulit akan berkurang. Pada
saat ini, keluhan yang ada umumnya mulai berkurang dan penderitamerasa
lebih enak. Fase ikterik ini berlangsung sekitar 2-3 minggu. Pada usia lebih
lanjut sering terjadi gejala hambatan aliran empedu (kolestasis) yang lebih
berat sehingga menimbulkan warna kuning yang lebih hebat dan berlangsung
lebih lama. Fase penyembuhan (konvaselen) Ditandai dengan keluhan yang
ada dan warna kuning mulai menghilang. Penderita merasa lebih segar
walaupun masih mudah lelah. Umumnya penyembuhan sempurna secara klinis
dan laboratoris memerlukan waktu sekitar 6 bulan setelahtimbulnya penyakit.
Tidak semua penyakit hepatitis mempunyai gejala klasik seperti diatas. Pada
sebagian orang infeksi dapat terjadi dengan gejala yang lebih ringan (subklinis)
atau tanpa memberikan gejala sama sekali (asimtomatik). Bisa jadi ada
penderita hepatitis yang tidak terlihat kuning (anikterik). Namun, ada juga yang
penyakitnya menjadi berat dan berakhir dengan kematian yang dinamakan
hepatitis fulminan. Hepatitis fulminan ditandai dengan warna kuning atau
ikterus yang bertambah berat, suhu tubuh meningkat, terjadi perdarahan akibat
menurunnya faktor pembekuan darah, timbulnya tanda-tanda ensefalopati
berupa mengantuk, linglung, tidak mampu mengerjakan pekerjaan sederhana,
dan akhirnya kesadaran menurun sampai menjadi koma. Kadar bilirubin dan
transaminase (SGOT, SGPT) serum sangat tinggi, juga terjadi peningkatan sel
darah putih (leukositosis). Keadaan ini menandakan adanya kematian
(nekrosis) sel parenkim hati yang luas. (Setiati, 2015)
g. Penularan
Penularan hepatitis C melalui:
 Darah dan cairan tubuh
 Penularan masa perinatal sangat kecil
 Melalui jarum suntik
 Transplantasi organ
 Kecelakaan kerja (petugas kesehatan)
Hubungan seks dapat menularkan tetapi sangat kecil (Kemenkes, 2014)
Transmisi HCV terjadi terutama melalui paparan darah yang tercemar. Paparan
ini biasanya terjadi pada:
 pengguna narkoba suntik
 transfusi darah
 pencangkokan organ dari donor yang terinfeksi
 praktek medis yang tak aman
 paparan okupasional terhadap darah yang tercemar
 kelahiran dari ibu yang terinfeksi
 hubungan seksual dengan orang yang terinfeksi
 perilaku seksual resiko tinggi, dan
 kemungkinan penggunaan kokain intranasal.
(Setiati, 2015)
h. Pencegahan
Untuk mencegah infeksi (NSW HEALTH, 2007):
1. Jangan bersama-sama menggunakan alat suntik.
2. Jangan bersama-sama menggunakan alat pribadi yang mungkin terkena
darah
3. Jika sedang membuat tato atau menindik tubuh, pastikan bahwa hanya
peralatan steril saja yang digunakann
4. Lakukan seks aman
(Setiati, 2015)
i. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan adalah untuk mengeliminasi atau eradikasi virus HCV dan
mencegah progresifitas penyakit menjadi sirosis maupun karsinoma hepatoselular
dan sebagai endpoint therapy adalah mencapai sustained virologic response (SVR).
 Tatalaksana hepatitis C akut:
Dari saat identifikasi infeksi HCV akut, pasien harus dipantau tiap 4 minggu
untuk serokonversi atau terbentuknya HCV RNA viremia. Pada 12 minggu,
sekitar 15-30% akan sembuh disertai pembersihan HCV tanpa pengobatan.
Mereka yang tidak sembuh harus segera mendapat pegylated interferon selama
24 minggu. Oleh karena itu, tatalaksana dapat ditunda selama 12-16 minggu
menunggu terjadinya resolusi spontan terutama pada yang simptomatik. Pada
pasien genotip IL28B non-CC pemberian antivirus dapat lebih awal yaitu 12
minggu karena kemungkinan terjadinya resolusi spontan lebih rendah.
Pemberian monoterapi dengan Peg-IFN dapat diberikan pada tatalaksana
hepatitis C akut. Lama terapi hepatitis C akut pada genotip 1 dilanjutkan selama
24 minggu dan pada genotip 2 dan 3 selama 12 minggu. Ini akan mencegah
terjadinya infeksi HCV kronik pada kebanyakan pasien. (Setiati, 2015)
 Tatalaksana hepatitis C kronik :
Penatalaksanaan hepatitis C lebih tertuju pada hepatitis C kronik. Umumnya
pasien hepatitis C datang berobat sudah dalam fase kronik. Target terapi
antivirus adalah pencapaian SVR, yaitu muatan virus HCV RNA <50 IU/mL
atau tetap tidak terdeteksi setelah 24 minggu setelah pemberian terapi antivirus
selesai. Untuk mengetahuinya, dilakukan pemeriksaan HCV RNA secara
berkala. Bila rapid virological response (RVR) tercapai, yaitu muatan virus
HCV RNA <50 IU/mL atau tidak terdeteksi setelah pemberian terapi antivirus
selama 4 minggu, dapat diperkirakan 72,5-100% akan tercapai .
Pilihan terapi standar untuk hepatitis C kronik adalah kombinasi antara
Pegylated Interferon-α (Peg-INFα) dan ribavirin (RBV). Pada genotip 1
memberikan respon 40-50% mencapai SVR, pada genotip 2 dan 3 sekitar 80%
mencapai SVR. Telah ditemukan agen direct acting antivirus (DAA) yaitu
boceprevir (BOC), telaprevir (TVR), simeprevir, sofosbuvir, dll. Di Indonesia
yang baru tersedia adalah boceprevir. (Setiati, 2015)

Dapus : Setiati,P. 2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI. Jilid 2. Jakarata
: Interna Publishing

Anda mungkin juga menyukai