DISUSUN OLEH :
ARBAINA
YUSRIL HANAPI
SRI NURMAYATRI
PRODI KEPERAWATAN S1
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN BARAMULI PINRANG
TAHUN 2020
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.3 Tujuan
1 Tujuan Umum
Untuk memberikan sumber informasi tentang Masalah dan Penangannan Pasien
dengan Kegawat Daruratan NAPZA kepada pembaca dan masyarakat pada umumnya.
2 Tujuan Khusus
Diharapkan setelah mempelajari materi ini kita dapat mengetahui tentang :
a Definisi dari Kegawatdaruratan NAPZA
b Asuhan Keperawatan dari Kegawatdaruratan NAPZA
BAB II
PEMBAHASAN
c Jenis-jenis NAPZA
NAPZA dapat dibagi ke dalam beberapa golongan yaitu (Muchlisin Riadi, 2019):
1. Narkotika
Narkotika adalah suatu obat atau zat alami, sintetis maupun sintetis yang dapat
menyebabkan turunnya kesadaran, menghilangkan atau mengurangi hilang rasa atau
nyeri dan perubahan kesadaran yang menimbulkan ketergantungna akan zat tersebut
secara terus menerus. Contoh narkotika yang terkenal adalah seperti ganja, heroin,
kokain, morfin, amfetamin, dan lain-lain. Narkotika menurut UU No. 22 tahun 1997
adalah zat atau obat berbahaya yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik
sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan maupun
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa
nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan
Golongan narkotika berdasarkan bahan pembuatannya adalah:
a Narkotika alami yaitu zat dan obat yang langsung dapat dipakai sebagai
narkotik tanpa perlu adanya proses fermentasi, isolasi dan proses lainnya terlebih
dahulu karena bisa langsung dipakai dengan sedikit proses sederhana. Bahan alami
tersebut umumnya tidak boleh digunakan untuk terapi pengobatan secara langsung
karena terlalu berisiko. Contoh narkotika alami yaitu seperti ganja dan daun koka.
b Narkotika sintetis adalah jenis narkotika yang memerlukan proses yang bersifat
sintesis untuk keperluan medis dan penelitian sebagai penghilang rasa
sakit/analgesik. Contohnya yaitu seperti amfetamin, metadon, dekstropropakasifen,
deksamfetamin, dan sebagainya. Narkotika sintetis dapat menimbulkan dampak
sebagai berikut:
a. Depresan = membuat pemakai tertidur atau tidak sadarkan diri.
b. Stimulan = membuat pemakai bersemangat dalam beraktivitas kerja dan
merasa badan lebih segar.
c. Halusinogen = dapat membuat si pemakai jadi berhalusinasi yang mengubah
perasaan serta pikiran.
c) Narkotika semi sintetis yaitu zat/obat yang diproduksi dengan cara isolasi, ekstraksi,
dan lain sebagainya seperti heroin, morfin, kodein, dan lain-lain.
2. Psikotropika
Menurut Kepmenkes RI No. 996/MENKES/SK/VIII/2002, psikotropika adalah zat
atau obat, baik sintesis maupun semisintesis yang berkhasiat psikoaktif melalui
pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada
aktivitas mental dan perilaku. Zat yang tergolong dalam psikotropika (Hawari, 2006)
adalah: stimulansia yang membuat pusat syaraf menjadi sangat aktif karena
merangsang syaraf simpatis. Termasuk dalam golongan stimulan adalah amphetamine,
ektasy (metamfetamin), dan fenfluramin. Amphetamine sering disebut dengan speed,
shabu-shabu, whiz, dan sulph. Golongan stimulan lainnya adalah halusinogen yang dapat
mengubah perasaan dan pikiran sehingga perasaan dapat terganggu. Sedative dan
hipnotika seperti barbiturat dan benzodiazepine merupakan golongan stimulan yang
dapat mengakibatkan rusaknya daya ingat dan kesadaran, ketergantungan secara
fisik dan psikologis bila digunakan dalam waktu lama.
b. Inteligensia
Hasil penelitian menunjukkan bahwa inteligensia pecandu yang datang untuk
melakukan konseling di klinik rehabilitasi pada umumnya berada pada taraf di bawah
rata-rata dari kelompok usianya.
c. Usia
Mayoritas pecandu narkoba adalah remaja. Alasan remaja menggunakan narkoba karena
kondisi sosial, psikologis yang membutuhkan pengakuan, dan identitas dan kelabilan
emosi; sementara pada usia yang lebih tua, narkoba digunakan sebagai obat penenang.
e. Pemecahan Masalah
Pada umumnya para pecandu narkoba menggunakan narkoba untuk menyelesaikan
persoalan. Hal ini disebabkan karena pengaruh narkoba dapat menurunkan tingkat
kesadaran dan membuatnya lupa pada permasalahan yang ada.
2 Faktor Eksternal
a Keluarga
Keluarga merupakan faktor yang paling sering menjadi penyebab seseorang
menjadi pengguna narkoba. Berdasarkan hasil penelitian tim UKM Atma Jaya dan
Perguruan Tinggi Kepolisian Jakarta pada tahun 1995, terdapat beberapa tipe
keluarga yang berisiko tinggi anggota keluarganya terlibat penyalahgunaan
narkoba, yaitu:
1 Keluarga yang memiliki riwayat (termasuk orang tua) mengalami
ketergantungan narkoba.
2 Keluarga dengan manajemen yang kacau, yang terlihat dari pelaksanaan
aturan yang tidak konsisten dijalankan oleh ayah dan ibu (misalnya ayah bilang
ya, ibu bilang tidak).
3 Keluarga dengan konflik yang tinggi dan tidak pernah ada upaya penyelesaian
yang memuaskan semua pihak yang berkonflik. Konflik dapat terjadi antara
ayah dan ibu, ayah dan anak, ibu dan anak, maupun antar saudara.
4 Keluarga dengan orang tua yang otoriter. Dalam hal ini, peran orang tua sangat
dominan, dengan anak yang hanya sekedar harus menuruti apa kata orang tua
dengan alasan sopan santun, adat istiadat, atau demi kemajuan dan masa depan
anak itu sendiri – tanpa diberi kesempatan untuk berdialog dan
menyatakan ketidaksetujuannya.
5 Keluarga yang perfeksionis, yaitu keluarga yang menuntut anggotanya
mencapai kesempurnaan dengan standar tinggi yang harus dicapai dalam
banyak hal.
6 Keluarga yang neurosis, yaitu keluarga yang diliputi kecemasan dengan alasan
yang kurang kuat, mudah cemas dan curiga, sering berlebihan dalam
menanggapi sesuatu.
g Penanggulangan NAPZA
Penanggulangan masalah NAPZA dilakukan mulai dari pencegahan, pengobatan sampai
pemulihan (rehabilitasi).
1) Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan, misalnya dengan:
a Memberikan informasi dan pendidikan yang efektif tentang
NAPZA
b Deteksi dini perubahan perilaku
c Menolak tegas untuk mencoba (“Say no to drugs”) atau “Katakan tidak pada
narkoba”
2) Pengobatan
Terapi pengobatan bagi klien NAPZA misalnya dengan detoksifikasi. Detoksifikasi
adalah upaya untuk mengurangi atau menghentikan gejala putus zat, dengan dua cara
yaitu:
a. Detoksifikasi tanpa subsitusi
Klien ketergantungan putau (heroin) yang berhenti menggunakan zat yang
mengalami gajala putus zat tidak diberi obat untuk menghilangkan gejala putus
zat tersebut. Klien hanya dibiarkan saja sampai gejala putus zat tersebut berhenti
sendiri.
b. Detoksifikasi dengan substitusi
Putau atau heroin dapat disubstitusi dengan memberikan jenis opiat misalnya kodein,
bufremorfin, dan metadon. Substitusi bagi pengguna sedatif-hipnotik dan alkohol
dapat dari jenis anti ansietas, misalnya diazepam. Pemberian substitusi adalah
dengan cara penurunan dosis secara bertahap sampai berhenti sama sekali.
Selama pemberian substitusi dapat juga diberikan obat yang menghilangkan gejala
simptomatik, misalnya obat penghilang rasa nyeri, rasa mual, dan obat tidur
atau sesuai dengan gejala yang ditimbulkan akibat putus zat tersebut.
3) Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu
melalui pendekatan non medis, psikologis, sosial dan religi agar pengguna NAPZA
yang menderita sindroma ketergantungan dapat mencapai kemampuan
fungsional seoptimal mungkin. Tujuannya pemulihan dan pengembangan
pasien baik fisik, mental, sosial, dan spiritual. Sarana rehabilitasi yang disediakan
harus memiliki tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan (Depkes, 2001).
Sesudah klien penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA menjalani program terapi
(detoksifikasi) dan konsultasi medik selama 1 (satu) minggu dan dilanjutkan dengan
program pemantapan (pascadetoksifikasi) selama 2 (dua) minggu, maka yang
bersangkutan dapat melanjutkan ke program berikutnya yaitu rehabilitasi (Hawari,
2003).
Lama rawat di unit rehabilitasi untuk setiap rumah sakit tidak sama karena
tergantung pada jumlah dan kemampuan sumber daya, fasilitas, dan sarana penunjang
kegiatan yang tersedia di rumah sakit. Menurut Hawari (2003), bahwa setelah klien
mengalami perawatan selama 1 minggu menjalani program terapi dan dilanjutkan
dengan pemantapan terapi selama 2 minggu maka klien tersebut akan dirawat di
unit rehabilitasi (rumah sakit, pusat rehabilitasi, dan unit lainnya) selama 3-6 bulan.
Sedangkan lama rawat di unit rehabilitasi berdasarkan parameter sembuh menurut
medis bisa beragam 6 bulan dan 1 tahun, mungkin saja bisa sampai 2 tahun..
Berdasarkan pengertian dan lama rawat di atas, maka perawatan di ruang rehabilitasi
tidak terlepas dari perawatan sebelumnya yaitu di ruang detoksifikasi. Untuk lebih
jelas dapat dilihat pada bagan di bawah ini (bagan 1).
Kenyataan menunjukkan bahwa mereka yang telah selesai menjalani detoksifikasi
sebagian besar akan mengulangi kebiasaan menggunakan NAPZA, oleh karena rasa
rindu (craving) terhadap NAPZA yang selalu terjadi (DepKes, 2001). Dengan
rehabilitasi diharapkan pengguna NAPZA dapat:
1. Mempunyai motivasi kuat untuk tidak menyalahgunakan NAPZA lagi
2. Mampu menolak tawaran penyalahgunaan NAPZA
3. Pulih kepercayaan dirinya, hilang rasa rendah dirinya
4. Mampu mengelola waktu dan berubah perilaku sehari-hari dengan baik
5. Dapat berkonsentrasi untuk belajar atau bekerja
6. Dapat diterima dan dapat membawa diri dengan baik dalam pergaulan dengan
lingkungannya.
B = Breathing Support
Bernafas adalah usaha seseorang yang dilakukan secara otomatis.Untuk menilai
secara normal dapat dilihat dari pengembangn dada dan berapa kali seseorang
bernafas dalam satu menit.Frekuensi/ jumlah pernafasan normal adalah 12-20x /
menit pada klien deawasa.
Pernafasan dikatakan tidak normal jika terdapat keadaan terdapat tanda-tanda sesak
nafas seperti peningkata frekuensi napas dalam satu menit, adanya napas
cupinghidung (cuping hidung ikut bergerak saat bernafas), adanya penggunaan otot-
otot bantu pernapasan (otot sela iga, otot leher, otot perut), warna kebiruan pada
sekitar bibir dan ujung-ujung jari tangan, tidak ada gerakan dada, tidak ada suara
napas, tidak dirasakan hembusannapas dan klien dalam keadaan tidak sadar dan tidak
bernapas.
Breathing support atau ksiganisasidarurat adalah penilain status pernapasan klien
untuk mengetahuiapakah klienmasih dapatbernapas secara spontan atau tidak. Prinsip
dari melakukan tindakan ini adalah dengan cara melihat, mendengar dan merasakan
(Look, Listen and Feel = LLF). Lihat, ada tidaknya pergerakan dada sesuai dengan
pernapasan.Dengar, ada tidaknya suara napas (sesuai irama) dari mulut dan hidung
klien.Rasakan, dengan pipi penolong ada tidaknya hembusan napas (sesuai irama)
dari mulut dan hidung korban.Lakukan LLF dengan waktu tidak lebih dari 10 detik.
Jika terlihat pergerakan dada, terdengar suara napas dan terasa hembusan napas klien,
maka berarti klientidak menglami henti napas.masalah yang ada hanyalah penurunan
kesadaran.dalam kondisi ini, tindakan terbaik yang dilakukan perawat adalah
mempertahankan jalan napas tetap terbuka agan ogsigenisasi klien tetap terjaga dan
memberikan posisi mantap.
Jika korban tidak bernapas, berikan 2 kali bantuan per-napasan dengan volume yang
cukup untuk dapat mengembangkan dada. Lamanya memberikan bantuan pernapasan
sampai dada mengembang adalah 1detik.Demikian halnya berlaku jika bantuan
pernapasan diberikan melalui mulut ke mulut dan mulut ke sungkup muka. Hindari
pemberian pernapasan yang terlalu banyak dan terlalu kuat karena akan menyebabkan
kembung (distensi abdomen) dan dapat menimbulan komplikasi pada paru-paru.
Bantuan pernapasan dari mulut ke mulut bertujuan memberikan ventilasi oksigen
kepada klien. Untuk memberikan bantuan tersebut, buka jalan napas klien, tutup
cuping hidung klien dan mulut penolong mencakup seluruh mulut klien.Berikan 1
kali pernapasan dalam waktu 1 detik.lalu penolong bernapas biasa dan berikan
pernapasan 1 kali lagi.Perhatikan adakah pengenbangan dada klien. Jika tidak terjadi
pengembangan dada, maka cara penolong tidaak tepat dalam membuka jalan napas.
Cara yang samaa dilakukan jika alat pelindung terdiri dari 2 tipe, yaitu pelindung
wajah dan sungkup wajah.Pelindung wajah berbentuk lembaran yang terbuat dari
plastic bening atau silicon yang dapat mengurangi kontak antara klien dengan
penolong.Sedangkan jika memakai sungkup wajah, maka biasanya terdapat lubang
khusus untuk memasukkan oksigen.Ketika oksigen telah tersedia, maka berikan aliran
oksigen sebanyak 10-12 liter/menit.
C = Circulation Support
Circulation support adalah pemberian ventilasi buatan dan kompresi dada luar yang
diberikan pada klien yang mengalami henti jantung. Selain itu untuk
mempertahankan sirkulasi spontan dan mempertahankan sistem jantung paru agar
dapat berfungsi optimal dilakukan bantuan hidup lanjut (advance life support). Jika
tindakan ini dilakukan dengan cara yang salah maka akan menimbulkan penyulit-
penyulit seperti patah tulang iga, atau tulang dada, perdarahan rongga dada dan injuri
organ abdomen.
Sebelum melakukan RJP pada klien perawat harus memastikan bahwa klien dalam
keadaan tidak sadar, tidak bernapas dan arteri karotis tidak teraba. Cara melakukan
pemeriksaan arteri karotis adalah dengan cara meletakkan dua jari diatas laring
(jakun). Lalu geser jari penolong ke arah samping dan hentikan disela-sela antara
laring dan otot leher. Setelah itu barulah penolong merasakan denyut nadi. Perabaan
dilakukan tidak boleh lebih dari 10 detik.
Melakukan resusitasi yang benar adalah dengan cara meletakkan kedua tangan
ditulang dada bagian sepertiga bawah dengan jari mengarah ke kiri dengan posisi
lengan tegak lurus dengan sendi siku tetap dalam eksteni (kepala tengkorak). Untuk
memberikan kompresi dada yang efektif. Lakukan kompresi dengan kecepatan
100x/menit dengan kedalaman kompresi 4-5 cm. Kompresi dada harus dilakukan
selam nadi tidak teraba dan hindari penghentian kompresi yang terlalu sering. Rasio
kompresi ventilasi yang direkomendasian adalah 30:20. Rasio ini dibuat untuk
menigkatkan jumlah kompresi dada, mengurangi kejadian hiperventilasi, dan
mengurangi pemberhentian kompresi untuk melakukan ventilasi.
2. Penilaian Klinik
Penatalaksanaan intoksikasi harus segera dilakukan tanpa menunggu hasil
pemeriksaan toksikologi. Beberapa keadaan klinik perlu mendapat perhatian karena
dapat mengancam nyawa seperti koma, kejang, henti jantung, henti nafas, dan syok.
3. Anamnesis
Pada keadaan emergensi, maka anamnesis kasus intoksikasi ditujukan pada tingkat
kedaruratan klien. Yang paling penting dalam anamnesis adalah mendapatkan
informasi yang penting seperti :
a Kumpulkan informasi selengkapnya tentang obat yang digunakan, termasuk obat
yang ering dipakai, baik kepada klien (jika memungkinkan), anggota keluarga,
teman, atau petugas kesehatan yang biasa mendampingi (jika ada) tentang obat
yang biasa digunakan.
b Tanyakan riwayat alergi atau riwayat syok anafilaktik.
c Pemeriksaan fisik
Lakukan pemeriksaan fisik untuk menemukan tanda/kelainan akibat intosikasi, yaitu
pemeriksaan kesadaran, tekanan darah, nadi, denyut jatung, ukuran pupil, keringat,
dan lain-lain. Pemeriksaan penunjang diperlukan berdasarkan skala prioritas dan pada
keadaan yang memerlukan observasi maka pemeriksaan fisik harus dilakukan
berulang.
II Pemeriksaan Fisik
Diagnosa Medis :
Dibuat di :
Hari :
Tanggal :
Oleh :
Tanda tangan :
d Dekontaminasi
Umumnya zat atau bahan kimia tertentu dapat dengan cepat diserap kulit, sehingga sering
dekontaminasi permukaan sangat diperlukan. Sedang dekontaminasi saluran cerna
ditujukan agar bahan yang tertelan akan sedikit diabsorpsi. Biasanya dapat diberikan
arang aktif, pencahar, obat perangsang muntah dan kumbah lambung.
e Pemberian Antidotum
Mengingat tidak semua intoksikasi ada penawarnya, sehingga prinsip utama adalah
mengatasi sesuai dengan besarnya masalah.
f Terapi Modalitas dan Rehabilitasi
Terapi Modalitas dan Rehabilitasi harus dilihat secara holistik dan cost efectifity
disesuaikan dengan kondisi di masing-masing pelayanan kesehatan.
d Intoksikasi alkohol
Intoksikasi alkohol biasanya ditunjukkan dengan adanya gejala-gejala (satu atau
lebih) bicara cadel, inkoordinasi, jalan sempoyongan nistagmus, tidak dapat
memusatkan perhatian, daya ingat menurun dan stupor atau koma.
Penatalaksanaan untuk klien yang mengalami koma adalah dengan menidurkan
klien terlentang dan posisi ”face down” untuk mencegah aspirasi, melakukan
observasi tanda vital dengan ketat tiap 15 menit,memberikan tindakan kolaboratif
dengan pemberian Thiamine 100 mg secara IV untuk profilaksis terjadinya
Wernicke Encephalopaty kemudian memberikan 50 ml Dextrose 5% secara IV
serta dengan memberikan 0,4 – 2 mg Naloksone bila klien memiliki riwayat atau
kemungkinan pemakaian opioida.
Dalam penatalaksanaan intoksikasi alkohol , perawat harus selalu waspada atas
perilaku klien, diantaranya adalah antipasi jika klien agresif,. Untuk itu diperlukan
sikap toleran dari perawat sehingga tidak membuat klien merasa ketakutan dan
terancam.Untuk itu harus diciptakan suasana yang tenang dan bila perlu tawarkan
klien untuk makan.Untuk mengatasi klien yang agresif, dapat diberikan sedatif
dengan dosis rendah dan jika perlu dapat diberikan Halloperidol injeksi secara IM.
e Intoksikasi Kokain
Tingkah laku maladaptif yang bermakna secara klinis atau perubahan psikologis
misalnya euforia atau efek mendatar, perubahan dalam stabilitas, hypervigilance /
kewaspadaan yang meningkat, interpersonal sensitivity, ansietas, kemarahan,
tingkah laku yang stereotip, menurunnya fungsi sosial dan fungsi pekerjaan yang
berkembang selama atau setelah penggunaan kokain.
Tanda dan gejala ( dua atau lebih) yang muncul diantaranya adalah takikardia atau
bradikardia, dilatasi pupi, peningkatan atau penurunan tekanan darah, berkeringat
atau rasa dingin, mual atau muntah, penurunan berat badan, agitasi atau retardasi
psikomotor, kelemahan otot, depresi, nyeri dada atau arimia jantung, bingung
(confusion), kejangdyskinesia, dystonia, hingga dapat menimbulkan koma.
Penatalaksanaan setelah pemberian bantuan hidup dasar adalah dengan melakukan
tindakan kolaborati berupa pemberian terapi-terapi simtomatik, misalnya
pemberian Benzodiazepin bila timbul gejala agitasi, pemberian obat-obat anti
psikotik jika timbul gejala psikotik , dan pemberian terapi-terapi lainnya sesuai
dengan gejala yang ditemukan.
Ketergantungan atau yang disebut dengan withdrawl adalah suatu kondisi cukup berat
yang ditandai dengan adanya ketergantungan fisik yaitu toleransi dan sindrome putus zat.
Sindroma putus zat adalah suatu kondisi dimana orang yang biasa menggunakan secara
rutin, pada dosis tertentu berhenti menggunakan atau menurunkan jumlah zat yang biasa
digunakan, sehingga menimbulkan gejala pemutusan zat.
Terapi yang dapat diberikan pada keadaan sindrom putus zat yaitu :
Terapi putus zat opioida, terapi ini sering dikenal dengan istilah detoksifikasi.
Terapi detoksifikasi dapat dilakukan dengan cara berobat jalan maupun rawat
inap. Lama program terapi detoksifikasi berbeda-beda ada yang 1-2 minggu untuk
detoksifikasi konvensional dan ada yang 24-48 jam untuk detoksifikasi opioid
dalam anestesi cepat (Rapid Opiate Detoxification Treatment). Detoksifikasi
hanyalah merupakan langkah awal dalam proses penyembuhan dari
penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA.
Beberapa jenis cara mengatasi putus opioida :
Tanpa diberi terapi apapun,putus obat seketika (abrupt withdrawal atau cold
turkey). Terapi hanya simptomatik saja. Untuk nyeri diberi analgetika kuat
seperti : Tramadol, Analgrtik non-narkotik,asam mefenamat dan sebagainya.
Untuk rhinore beri dekongestan,misalnya fenilpropanolamin, Untuk mual beri
metopropamid, Untuk kolik beri spasmolitik, Untuk gelisah beri antiansietas,
Untuk insomnia beri hipnotika,misalnya golongan benzodiazepine.
Terapi putus opioida bertahap (gradual withdrawal), Dapat diberi
morfin,petidin,metadon atau kodein dengan dosis dikurangi sedikit demi sedikit.
Terapi putus opioida dengan substitusi non opioda Dipakai Clonidine dimulai
dengan 17 mikrogram/kg BB perhari dibagi dalam 3-4 kali pemberian. Dosis
diturunkan bertahap dan selesai dalam 10 hari. Sebaiknya dirawat inap (bila
sistole < 100 mmHg atau diastole < 70 mmHg), terapi harus dihentikan.
Terapi putus opioida dengan metode Detoksifikasi cepat dalam anestesi (Rapid
Opioid Detoxification). Prinsip terapi ini hanya untuk kasus single drug opiat saja,
dilakukan di RS dengan fasilitas rawat intensif oleh Tim Anestesiolog dan
Psikiater, dilanjutkan dengan terapi menggunakan anatagonist opiat (naltrekson)
lebih kurang 1 tahun.
Terapi putus zat sedative/hipnotika dan alcohol Harus secara bertahap dan dapat
diberikan Diazepam. Tentukan dahulu test toleransi dengan cara : Memberikan
benzodiazepin mulai dari 10 mg yang dinaikan bertahap sampai terjadi gejala
intoksikasi. Selanjutnya diturunkan kembali secara bertahap 10 mg perhari sampai
gejala putus zat hilang.
Terapi putus Kokain atau Amfetamin, Rawat inap perlu dipertimbangkan karena
kemungkinan melakukan percobaan bunuh diri. Untuk mengatasi gejala depresi
berikan anti depresi.
Terapi untuk waham dan delirium pada putus NAPZA
- Pada gangguan waham karena amfetamin atau kokain berikan Injeksi
Haloperidol 2.5-5 mg IM dan dilanjutkan peroral 3x2,5-5 mg/hari.
- Pada gangguan waham karena ganja beri Diazepam 20-40 mg IM.
- Pada delirium putus sedativa/hipnotika atau alkohol beri Diazepam seperti
pada terapi intoksikasi sedative/hipnotika atau alkohol
Terapi putus opioida pada neonates, Gejala putus opioida pada bayi yang
dilahirkan dari seorang ibu yang mengalami ketergantungan opioida, timbul
dalam waktu sebelum 48-72 jam setelah lahir. Gejalanya antara lain : menangis
terus(melengking), gelisah, sulit tidur, diare, tidak mau minum, muntah, dehidrasi,
hidung tersumbat, demam, berkeringat. Berikan infus dan perawatan bayi yang
memadai. Selanjutnya berikan Diazepam 1-2 mg tiap 8 jam setiap hari diturunkan
bertahap,selesai dalam 10 hari
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN NAPZA
3.1 Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah utama dalam proses keperawatan. Data yang valid dan tepat
akan menentukan langkah-langkah berikutnya. Kesalahan dalam pengumpulan data akan
berdampak pada penentuan rencana keperawatan yang salah. Untuk memperoleh data yang
lengkap diperlikan keahlian wawancara dan pemeriksaan fisik khusus karena umumnya klien
cenderung manipulatif.
1 Anamesa/wawancara
Pada saat melakukan anamnesa, yang perlu dilakukan adalah mengkaji keluhan utama saat ini,
riwayat pemakaian zat, jenis zat, cara pakai zat dan dosis setiap kali pakai, frekuensi
pemakaian zat (jam/hari/minggu/bulan/dan kapan terakhir pemakaian zat tersebut digunakan.
Hal ini penting untuk menentukan anti dotum dan menentukan waktu timbul dan berakhirnya
withdrawal atau ketagihan dari masing-masing zat.
Informasi dapat dikumpulkan dari anggota keeluarga, teman, atau petugas tentang obat yang
digunakan. Tanyakan dan simpan sisa obat muntahan (jika ada) untuk pemeriksaan
toksikologi. Tanyakan juga riwayat alergi obat, riwayat shock anafilaktik dan riwayat penyakit
yang pernah sedang diderita.
2 Pemeriksaan Fisik
a Kaji jalan napas
Periksa adanya sumbatan seperti lidah, sekret, benda asing, dan darah. Bebaskan
dengan teknik chin lift atau jaw trust. Bila diperlukan pasang orofaringeal atau
nosofaringeal.
b Kaji pernapasan
Periksa adanya bunyi napas, irama pengembangan paru dan pola napas. Atasi bila
kurang baik, karena pada beberapa kasus seperi pada opioida, sedatif hipnotik, dan
multi drug abuse seringkali ditemukan depresi pernapasan sampai dengan henti
napas.
c) Kaji sirkulasi
Periksa sirkulasi dengan memeriksa kulit, akral dan nadi. Atasi segera jika kulit
pucat dan andi cepat atau kecil, karena ada kemungkinan terjadi syok.
Daerah yang
Respon Nilai
diperiksa
Mata Membuka mata denga spontan 4
Membuka mata denga instruksi 3
Membuak mata dengan rangsangan 2
Tidak ada respon 1
Verbal Orientasi orang, tempat dan waktu 5
Berbicara tapi tidak sepenuhnya dapat dimengerti 4
Bersuara tapi tidak dapat dimengerti 3
Bersuara tetapi tidak dikenal kata-katanya 2
Tidak ada respon 1
Motorik Mengikuti perintah dengan mudah 6
Mengenal lokasi nyeri tetapi tidak dapat mengikuti perintah 5
Menari dari rangsangan dengan tangan difleksikan
Fleksi abnormal 4
Ekstensi abnormal ( deserebrasi) 3
Tidak ada respon 2
1
e Kaji intoksikasi
Intoksikasi perlu dikaji untuk mengetahui adanya obat atau zat makanan, kimia, gas
karena sering ditemui kasus di IGD seringkali klien datang dengan masalah depresi
berat yang mencoba bunuh diri dengan bahan-bahan tersebut.
f Kaji nyeri
Kaji skala nyeri, intensitas dan lokasi dimana hal tersebut sering timbul pada klien
dengan pemakaian zat jenis heroin, morfin, atau opiat
g Kaji integumen
Kaji adanya neadle track atau bekas suntikan, lihat kondisi baru atau atau sudah lama
serta letak bekas suntikan tersebut.
h Turgor kulit
Kaji adanya dehidrasi, mukosa mulut, muntah, dan adanya pendarahan. Atasi bila
ada gangguan keseimbangan volume cairan.
i Kaji muskoloskeletal
Kaji adanya perubahan sensorik-motorik, adanya kerusakan jaringan serta perubahan
bentuk ektremitas.
j Kaji psikososial
Kaji adanya kecemasan, perilaku kekerasan yang dapat mencederai diri dan orang
lain.
d. Resiko injuri
Tujuan keperawatan : injuri tidak terjadi
Intervensi :
1 Observasi TTV
2 monitor tingkat kesadaran dan perilaku
3 beriakn restain halus pada pergelangan (fixasi)
4 tempatkan klien pada lokasi yang muadah dilihat
5 jauhkan klien terhadap hal-hal yang membahayakan
6 kolaborasi : pemberian terapi sedatif
e. perilaku kekerasan
Tujuan : perilaku kekerasan tidak terjadi
Intervensi :
1 Bina hubungan saling percya
2 Terapkan komunikasi terupetik
3 Ajarkan telnik relaksasai
4 Tempatkan klien pada ruangan yag terang, amandan nyaman
5 Jauhkan benda-benda taja yang dapat digunakan untuk menyakiti diri sendiri dan orang
lain
6 Berikan desempatan pada kien untuk melampiasakna kemarahannya secara verbal
7 Identifikasi penyebab klien marah
8 Tawarkan pada klien untuk melakukan aktifiatas yang dapat mengurangi tindakan agresif
9 Jelaskan pada klien kemungkiann konsekuensi yang akan diterima atas perilaku klien
10 Pasang fiksasi dan isolasikan klien
11 Observasi klien secara intensif
12 Kolaborasi :
▪ pemberian teraoi Chlopromazine (torzine), dizepam (valium), halloperidol
(haldol) atau klordiazikpoksida (librium)
▪ konsulkan ke psikiater
3.4 Evaluasi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan :
a Bersihan jalan napas efektif
b Pola napas adekuat
c Volume cairan terpenuhi
d Injuri tidak terjadi
e Perilaku kekerasan tidak terjadi
Adapun Diagnosa Keperawatan dari jenis Kegawatdaruratan Napza yang dapat muncul adalah :
1. Ancaman kehidupan
a. Gangguan keseimbangan cairan: mual, muntah berhubungan dengan pemutusan zat opioda
b. Resiko terhadap amuk berhubungan dengan intoksikasi sedatif hipnotik
c. Resiko cidera diri berhubungan dengan intoksikasi aklkohol, sedatif, hipnotik
d. Panik berhubungan dengan putus zat alcohol
2. Intoksikasi
a. Cemas berhubungan dengan intoksikasi ganja
b. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan intoksikasi sedatif hipnotik, alcohol,
opioda
3. Withdrawl
a. Perubahan proses piker: waham berhubungan dengan putus zat alcohol, sedatif, hipnotik
b. Nyeri berhubungan dengan putus zat opioda, MDMA: extasy
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan putus zat opioda
4. Pasca detoksikasi
a. Gangguan pemusatan perhatian berhubungan dengan dampak penggunaan zat adiktif
b. Gangguan konsep diri : harga diri rendah berhubungan dengan tidak mampu
mengenal kualitas yang positif dari diri sendiri.
c. Resiko melarikan diri berhubungan dengan ketergantungan tehadap zat
adiktif sehingga diagnosa yang mungkin timbul :
1. Resiko tinggi menciderai diri sendiri berhubungan dengan intoksikasi
2. Intoksikasi berhubungan dengan menarik diri
3. Harga diri rendah berhubungan dengan gangguan konsep diri
4. Harga diri rendah berhubungan dengan koping mal adaptif
Rencana Tindakan Keperawatan :
1. Kondisi overdosis
Tujuan : Klien tidak mengalami ancaman kehidupan
Rencana tindakan:
- Observasi tanda – tanda vital, kesadaran pada 15 menit pada 3 jam pertama, 30menit pada 3
jam kedua tiap 1 jam pada 24 jam berikutnya
- Bekerja sama dengan dokter untuk pemberian obat
- Observasi keseimbangan cairan
- Menjaga keselamatan diri klien
- Menemani klien
- Fiksasi bila perlu
2. Kondisi intoksikasi
Tujuan: intoksikasi pada klien dapat diatasi, kecemasan berkurang/hilang
Rencana tindakan:
a. Membentuk hubungan saling percaya
b. Mengkaji tingkat kecemasan klien
c. Bicaralah dengan bahasa yang sederhana, singkat mudah dimengerti
d. Dengarkan klien berbicara
e. Sering gunakan komunikasi terapeutik
f. Hindari sikap yang menimbulkan rasa curiga, tepatilah janji, memberi jawaban nyata,
tidak berbisik di depan klien, bersikap tegas, hangat dan bersahabat
3. Kondisi withdrawl
a. Observasi tanda- tanda kejang
b. Berikan kompres hangat bila terdapat kejang pada perut
c. Memberikan perawatan pada klien waham, halusinasi: terutama untuk menuunkan perasaa
yang disebabkan masalah ini: takut, curiga, cemas, gembira berlebihan, benarkan persepsi
yang salah
d. Bekerja sama dengan dokter dalam memberikan obat anti nyeri
4. Kondisi detoksikasi
a. Melatih konsentrasi: mengadakan kelompok diskusi pagi
b. Memberikan konselin untuk merubah moral dan spiritual klien selama ini yang
menyimpang, ditujukan agar klien menjadi manusia yang bertanggung jawab, sehat mental,
rasa bersyukur, dan optimis
c. Mempersiapkan klien untuk kembali ke masyarakat, dengan bekerja sama dengan pekerja
social, psikolog.
BAB 4
PENUTUP
Kesimpulan
Kegawatdaruratan NAPZA adalah suatu keadaan yang mengancam kehidupan
seseorang akibat penggunaan zat/obat yang berlebihan (intoksikasi/over dosis) sehingga
dapat mengancam kehidupan, apabila tidak dilakukan penanganan dengan segera.
Masalah keperawatan yang sering ditemukan pada kegawatdaruratan NAPZA
diantaranya: a Bersihan jalan napas tidak efektik behubungan dengan adanya sumbatan
b Pola napas tidak efektif berhubungan dengan depresi susunan syaraf pusat.
c Volume cairan kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake dan output
tidak seimbang.
d Resiko injuri berhubungan dengan kejang, agitasi
e Perilku kekerasan.
4.2 Saran
1 Bagi Perawat
Untuk memberikan Asuhan keperawatan yang optimal bagi klien kegawatdaruratan
NAPZA.
Bagi Klien
Untuk tidak melakukan kesalahan yang kedua kali dalam penyalahgunaan NAPZA.
DAFTAR PUSTAKA