Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN OBSERVASI

SELF CONTROL PADA PASIEN REHABILITASI DI BNNK


Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas
Keperawatan Dalam Rehabilitasi Pengguna NAPZA

Dosen Pengampu :
Bpk. Ns. Asmadi, M.Kep,. Sp.Kom.

Disusun oleh :
1. Astriani Nurohmah 9. Linda Rismawati
2. Cipta Ningrat 10. Nuraeni Lara Kencana A
3. Cintya Agustin 11. Nur Iman
4. Devi Fuji Astuti 12. Putri Sintia Agustiani
5. Dhita Anggraeni 13. Ripta Khatami
6. Firdayanti 14. Wina Amandaputri
7. Irma Damayanti 15. Yayan Sopyan
8. Isabela Yopita Putri 16. Zikri Musafa Haq

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUNINGAN
Tahun Anjaran 2019 – 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmatNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Keperawatan Dalam
Rehabilitasi Pengguna NAPZA yang berjudul “SELF CONTROL PADA PASIEN
REHABILITASI DI BNNK“.
Penyusunan laporan ini tentu tidak lepas dari bantuan serta bimbingan, oleh
karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada teman-teman sekalian yang
telah membantu mengerjakan laporan kelompok ini baik secara langsung maupun
tidak langsung.
Tiada Gading yang Tak Retak, tentunya laporan ini tidak lepas dari segala
kesalahan, maka dari itu penulis mohon maaf atas ketidaksempurnaan laporan ini dan
semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Kuningan, Januari 2020

Penyusun

ii
iii
2

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Narkoba di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di
bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan (dalam waktu operasi dan untuk
penenang), akan tetapi di sisi lain penyalahguanaan narkoba dapat menimbulkan
ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanda pengendalian
dan pengawasan yang tepat dan ketat. Penyalahgunaan Narkoba dewasa ini sudah
sangat kompleks dan menimbulkan banyak permasalahan. Dimana permasalahan
penyalahgunan narkoba dan peredaran gelap narkoba menunjukkan peningkatan
yang mengkhawatirkan dan berdampak pada hilangnya suatu generasi muda.
Konsumsi narkoba bemula dari rasa penasaran sehingga ingin mencoba, ikut
teman, stres, pelarian atau motif lainnya, yang pada akhirnya membuat generasi
muda ketagihan pada narkoba. Berdasarkan data hasil survei yang dilakuakan oleh
BNN jumlah penyalahguna narkoba di Indonesia pada tahun 2017 sebanyak
3.376.115 orang. Proporsi jumlah penyalahguna narkoba di Indonesia yaitu
14,49% merupakan pecandu bukan suntik, 59,53% coba pakai, 27,25% teratur
pakai dan 1,73% adalah pecandu suntik.
Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP)Jawa Barat menyatakan
hingga saat ini jumlah pengguna narkotika di Provinsi Jawa Barat mencapai
sekitar 800.000 orang. Mayoritas pengguna narkoba ialah generasi milenial atau
produktif berusia antara 15-25 tahun. Hasil analisa Badan Narkotika Nasional
(BNN) Kabupaten Kuningan menyebutkan pengguna penyalahgunaan narkoba di
Kabupaten Kuningan selama tahun 2018 ini terindikasi mengalami peningkatan.
Salah satu indikatornya adalah ditemukannya kasus penyalahgunaan narkoba
hingga menjangkau pelosok desa dengan pelakunya banyak dari kalangan pelajar
termasuk yang masih duduk di bangku SD. Dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan narkoba di Kabupaten Kuningan lanjut Edi, BNN
Kabupaten Kuningan telah melakukan banyak cara mulai dari sosialisasi kepada
masyarakat, rehabilitasi hingga penindakan. Menurut Petugas Rehabilitas
khususnya di Rumah Tenjo Laut pada tahun 2019 dibulan Agustus – Desember di
3

Tempat Rehabilitas Tenjo Laut ada 10 pengguna napza yang dirawat inap dan 50
orang rawat jalan.
Narkoba (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lain) memberikan
dampak negatif yang berbahaya bagi fisik, mental, dan sosial tetapi banyak yang
tetap menggunakannya. Dampak langsung penyalahgunaan narkoba terhadap
sikap dan perilaku seorang pemakai adalah kehilangan self control, agresif, dan
egoisme yang besar. Proses penyembuhan pengguna narkoba membutuhkan
waktu yang sangat panjang karena penyakit kecanduan narkoba sering disertai
episode sembuh dan kambuh atau relaps, dan penyebabnya-pun kompleks. Maka
dari itu dibutuhkan self control (kontrol diri) yang tinggi agar para mantan
penyalahguna narkoba tidak terjerumus kembali. Self control adalah kemampuan
dan keyakinan seseorang yang dapat mengatur dan mengarahkan perilakunya
untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan keinginannya sendiri. Pengenalan
diri sendiri merupakan bagian penting dari tugas hidup, agar dapat
mengembangkan kekuatan dan kelebihan diri serta mengatasi (bukan menutupi)
segala kelemahan dan kekurangannya.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, kami penulis tertarik untuk
mengetahui tentang gambaran self control pada pasien rehabilitasi yang terdapat
di kota Kuningan Provinsi Jawa Barat.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Bagaimana gambaran self control pada pasien rehabilitasi Tn.Y di
Kuningan?
1.3 TUJUAN OBSERVASI
Untuk mengetahui gambaran mengenai self control pada pasien
rehabilitasi Tn. Y di Kuningan?
.
1.4 MANFAAT OBSERVASI
1.4.1 Manfaat Teoritis
Menambah wawasan dan informasi pengetahuan mengenai Napza dan self
control pada pasien rehabilitasi

3
4

1.4.2 Manfaat Praktis


a. Bagi Akademis
Secara akademis observasi ini berguna untuk bahan pertimbangan atau
referensi dalam rangkan mengembangkan konsep-konsep, teori-teori.
b. Bagi Pembaca
Hasil laporan observasi ini dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi
pembaca, khususnya tentang self control pada pasien rehabilitasi narkoba.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 PENGERTIAN NAPZA
NAPZA adalah singkatan dari narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif
lainnya, meliputi zat alami atau sintetis yang bila dikonsumsi menimbulkan
perubahan fungsi fisik dan psikis, serta menimbulkan ketergantungan (BNN,
2004).
NAPZA adalah zat yang memengaruhi struktur atau fungsi beberapa
bagian tubuh orang yang mengonsumsinya. Manfaat maupun risiko penggunaan
NAPZA bergantung pada seberapa banyak, seberapa sering, cara
menggunakannya, dan bersamaan dengan obat atau NAPZA lain yang dikonsumsi
(Kemenkes RI, 2010).
NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah
bahan/zat/obat yang bila masuk kedalam tubuh manusia akan mempengaruhi
tubuh terutama otak/susunan saraf pusat, sehingga menyebabkan gangguan
kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosialnya karena terjadi kebiasaan, ketagihan
(adiksi) serta ketergantungan (dependensi) terhadap NAPZA.
Istilah NAPZA umumnya digunakan oleh sektor pelayanan kesehatan,
yang menitik beratkan pada upaya penanggulangan dari sudut kesehatan fisik,
psikis, dan sosial.
NAPZA sering disebut juga sebagai zat psikoaktif, yaitu zat yang bekerja
pada otak, sehingga menimbulkan perubahan perilaku, perasaan, dan pikiran.
2.2 JENIS-JENIS NAPZA
NAPZA dibagi dalam 3 jenis, yaitu narkotika, psikotropika, dan bahan
adiktif lainnya. Tiap jenis dibagi-bagi lagi ke dalam beberapa kelompok.
a. Narkotika
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun bukan sintetis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran dan hilangnya rasa. Zat ini dapat
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan
ketergantungan.
Narkotika memiliki daya adiksi (ketagihan) yang sangat berat. Narkotika
juga memiliki daya toleran (penyesuaian) dan daya habitual (kebiasaan) yang

5
6

sangat tinggi. Ketiga sifat narkotika inilah yang menyebabkan pemakai narkotika
tidak dapat lepas dari “cengkraman”-nya.
Berdasarkan Undang-Undang No.35 Tahun 2009, jenis narkotika dibagi ke
dalam 3 kelompok, yaitu narkotika golongan I, golongan II, dan golongan III.
 Narkotika golongan I adalah: narkotika yang paling berbahaya. Daya
adiktifnya sangat tinggi. Golongan ini tidak boleh digunakan untuk
kepentingan apapun, kecuali untuk penelitian atau ilmu pengetahuan.
Contohnya ganja, heroin, kokain, morfin, opium, dan lain-lain.
 Narkotika golongan II adalah: narkotika yang memiliki daya adiktif kuat,
tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah petidin
dan turunannya, benzetidin, betametadol, dan lain-lain.
 Narkotika golongan III adalah: narkotika yang memiliki daya adiktif ringan,
tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah kodein
dan turunannya.
b. Psikotropika
Psikotropika adalah zat atau obat bukan narkotika, baik alamiah maupun
sintetis, yang memiliki khasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan
saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas normal dan
perilaku. Psikotropika adalah obat yang digunakan oleh dokter untuk mengobati
gangguan jiwa (psyche).
Berdasarkan Undang-Undang No.5 tahun 1997, psikotropika dapat
dikelompokkan ke dalam 4 golongan, yaitu :
 Golongan I adalah: psikotropika dengan daya adiktif yang sangat kuat, belum
diketahui manfaatnya untuk pengobatan, dan sedang diteliti khasiatnya.
Contohnya adalah MDMA, ekstasi, LSD, dan STP.
 Golongan II adalah: psikotropika dengan daya adiktif kuat serta berguna
untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah amfetamin,
metamfetamin, metakualon, dan sebagainya.
 Golongan III adalah: psikotropika dengan daya adiksi sedang serta berguna
untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah lumibal, buprenorsina,
fleenitrazepam, dan sebagainya.
 Golongan IV adalah: psikotropika yang memiliki daya adiktif ringan serta
berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah nitrazepam (BK,
mogadon, dumolid), diazepam, dan lain-lain.
c. Bahan Adiktif Lainnya
6
7

Yang dimaksud disini adalah bahan/zat yang berpengaruh psikoaktif diluar


yang disebut Narkotika dan Psikotropika, meliputi :
 Minuman berakohol
Mengandung etanol etil alkohol, yang berpengaruh menekan susunan syaraf
pusat, dan sering menjadi bagian dari kehidupan manusia sehari-hari dalam
kebudayaan tertentu. Jika digunakan sebagai campuran dengan narkotika atau
psikotropika, memperkuat pengaruh obat/zat itu dalam tubuh manusia.
Ada 3 golongan minuman berakohol, yaitu :
- Golongan A : kadar etanol 1-5%, (Bir)
- Golongan B : kadar etanol 5-20%, (Berbagai jenis minuman anggur)
- Golongan C : kadar etanol 20-45 %, (Whiskey, Vodca, TKW, Manson House,
Johny Walker, Kamput).
 Inhalansia (gas yang dihirup) dan solven (zat pelarut) mudah menguap berupa
senyawa organik, yang terdapat pada berbagai barang keperluan rumah
tangga, kantor dan sebagai pelumas mesin. Yang sering disalah gunakan,
antara lain: Lem, thinner, penghapus cat kuku, bensin.
 Tembakau: Pemakaian tembakau yang mengandung nikotin sangat luas di
masyarakat. Pada upaya penanggulangan NAPZA di masyarakat, pemakaian
rokok dan alkohol terutama pada remaja, harus menjadi bagian dari upaya
pencegahan, karena rokok dan alkohol sering menjadi pintu masuk
penyalahgunaan.
 NAPZA lain yang lebih berbahaya.
Bahan/ obat/zat yang disalahgunakan dapat juga diklasifikasikan sebagai
berikut:
1) Sama sekali dilarang: Narkotika golongan I dan Psikotropika Golongan I.
2) Penggunaan dengan resep dokter: amfetamin, sedatif hipnotika.
3) Diperjual belikan secara bebas: lem, thinner dan lain-lain.
4) Ada batas umur dalam penggunannya : alkohol, rokok.
2.1 Berdasarkan Efeknya Terhadap Perilaku Yang Ditimbulkan NAPZA
Dapat Digolongkan Menjadi:
a. Golongan Depresan (Downer)
Adalah jenis NAPZA yang berfungsi mengurangi aktifitas fungsional tubuh.
Jenis ini menbuat pemakaiannya merasa tenang, pendiam dan bahkan
membuatnya tertidur dan tidak sadarkan diri. Golongan ini termasuk Opioida
(morfin, heroin/putauw, kodein), Sedatif (penenang), hipnotik (otot tidur), dan
tranquilizer (anti cemas) dan lain-lain.

7
8

b. Golongan Stimulan (Upper)


Adalah jenis NAPZA yang dapat merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan
kegairahan kerja. Jenis ini membuat pemakainya menjadi aktif, segar dan
bersemangat. Zat yang termasuk golongan ini adalah: Amfetamin (shabu,
esktasi), Kafein, Kokain.
c. Golongan Halusinogen
Adalah jenis NAPZA yang dapat menimbulkan efek halusinasi yang bersifat
merubah perasaan dan pikiran dan seringkali menciptakan daya pandang yang
berbeda sehingga seluruh perasaan dapat terganggu. Golongan ini tidak
digunakan dalam terapi medis. Golongan ini termasuk: Kanabis (ganja), LSD,
Mescalin.
d. Golongan Entaktogen
Adalah termasuk stimulan yang telah dimodifikasi yang juga memiliki sifat-
sifat halusinogen
e. Golongan Kanabinoid
Termasuk kelompok unik yang mempengaruhi reseptor tertentu pada otak.
2.2 Macam-Macam Bahan Narkotika Dan Psikotropika Yang Terdapat Di
Masyarakat Serta Akibat Pemakaiannya :
a. OPIOIDA
 Reaksi dari pemakaian ini sangat cepat yang kemudian timbul rasa ingin
menyendiri untuk menikmati efek rasanya dan pada taraf kecanduan
sipemakai akan kehilangan rasa percaya diri hingga tak mempunyai
keinginan untuk bersosialisasi. Mereka mulai membentuk dunia mereka
sendiri. Mereka merasa bahwa lingkungannya adalah musuh. Mulai
sering melakukan manipulasi dan akhirnya menderita kesulitan keuangan
yang mengakibatkan mereka melakukan pencurian atau tindak kriminal
lainnya.
b. KOKAIN
 Efek rasa dari pemakaian kokain ini membuat pemakai merasa segar,
kehilangan nafsu makan, menambah rasa percaya diri, juga dapat
menghilangkan rasa sakit dan lelah.
c. KANABIS
 Efek rasa dari kanabis tergolong cepat, pemakai cenderung merasa lebih
santai, rasa gembira berlebih (euforia), sering berfantasi. Aktif

8
9

berkomonikasi, selera makan tinggi, sensitif, kering pada mulut dan


tenggorokan.
d. AMPHETAMINES
e. LSD (Lysergic acid)
 Efek rasa ini bisa disebut tripping. Yang bisa digambarkan seperti
halusinasi terhadap tempat. Warna dan waktu. Biasanya halusinasi ini
digabung menjadi satu. Hingga timbul obsesi terhadap halusinasi yang ia
rasakan dan keinginan untuk hanyut didalamnya, menjadi sangat indah
atau bahkan menyeramkan dan lama-lama membuat paranoid.
f. SEDATIF-HIPNOTIK (BENZODIAZEPIN)
 Pemakaian benzodiazepin dapat melalui : oral,intra vena dan rectal
 Penggunaan dibidang medis untuk pengobatan kecemasan dan stres serta
sebagai hipnotik (obat tidur).
g. SOLVENT / INHALANSIA
 Efek yang ditimbulkan : pusing, kepala terasa berputar, halusinasi ringan,
mual, muntah, gangguan fungsi paru, liver dan jantung.
h. ALKOHOL
 Konsentrasi maksimum alkohol dicapai 30-90 menit setelah tegukan
terakhir. Sekali diabsorbsi, etanol didistribisikan keseluruh jaringan tubuh
dan cairan tubuh. Sering dengan peningkatan kadar alkohol dalam darah
maka orang akan menjadi euforia, mamun sering dengan penurunannya
pula orang menjadi depresi.
2.3 TINGKAT PEMAKAIAN NAPZA
a. Pemakaian coba-coba (experimental use)
b. Pemakaian sosial/rekreasi (social/recreational use)
c. Pemakaian Situasional (situasional use).
d. Penyalahgunaan (abuse)
e. Ketergantungan (dependence use)
2.4 PENYALAHGUNAAN NAPZA
Penyalahgunaan NAPZA adalah penggunaan NAPZA yang bersifat
patologis, paling sedikit telah berlangsung satu bulan lamanya sehingga
menimbulkan gangguan dalam pekerjaan dan fungsi sosial. Sebetulnya NAPZA
banyak dipakai untuk kepentingan pengobatan, misalnya menenangkan klien atau
mengurangi rasa sakit. Tetapi karena efeknya “enak” bagi pemakai, maka NAPZA
kemudian dipakai secara salah, yaitu bukan untuk pengobatan tetapi untuk

9
10

mendapatkan rasa nikmat. Penyalahgunaan NAPZA secara tetap ini menyebabkan


pengguna merasa ketergantungan pada obat tersebut sehingga menyebabkan
kerusakan fisik (Sumiati, 2009).
Menurut Pasal 1 UU RI No.35 Tahun 2009 Ketergantungan adalah kondisi
yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan Narkotika secara terus-menerus
dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila
penggunaannya dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan
gejala fisik dan psikis yang khas.
Ketergantungan terhadap NAPZA dibagi menjadi 2, yaitu (Sumiati, 2009):
 Ketergantungan fisik adalah keadaan bila seseorang mengurangi atau
menghentikan penggunaan NAPZA tertentu yang biasa ia gunakan, ia akan
mengalami gejala putus zat. Selain ditandai dengan gejala putus zat,
ketergantungan fisik juga dapat ditandai dengan adanya toleransi.
 Ketergantungan psikologis adalah suatu keadaan bila berhenti menggunakan
NAPZA tertentu, seseorang akan mengalami kerinduan yang sangat kuat
untuk menggunakan NAPZA tersebut walaupun ia tidak mengalami gejala
fisik.
2.5 KELOMPOK PENYALAHGUNA NARKOBA
a. Coba Pakai
adalah mereka yang pakai narkoba kurang dari 5 kali dalam setahun
terakhir dari saat survei.
b. Teratur Pakai
adalah mereka yang pakai narkoba sebanyak 5 sampai 49 kali dalam
setahun terakhir dari saat survei.
c. Pecandu Bukan Suntik
adalah mereka yang pakai narkoba lebih dari 49 kali dalam setahun dari
saat survei.
d. Pecandu Suntik
adalah mereka yang pakai narkoba dengan cara suntik berapapun
jumlahnya dalam setahun terakhir dari saat survei.
2.6 FAKTOR RESIKO PENYALAHGUNAAN NAPZA
Menurut Soetjiningsih (2004), faktor risiko yang menyebabkan
penyalahgunaan NAPZA antara lain faktor genetik, lingkungan keluarga,
pergaulan (teman sebaya), karakteristik individu dan faktor kesempatan.

10
11

a. Faktor Genetik
b. Lingkungan Keluarga
c. Pergaulan (Teman Sebaya)
d. Karakteristik Individu
 Umur
 Pendidikan
 Pekerjaan
e. Faktor Kesempatan
Ketersediaan dan kemudahan memperoleh NAPZA juga dapat dikatakan
sebagai pemicu.Saat ini Indonesia merupakan sasaran empuk bagi sindikat
Narkoba internasional untuk mengedarkan barang tersebut, yang pada gilirannya
menjadikan zat ini dengan mudah diperoleh.
2.7 DAMPAK PENYALAHGUNAAN NAPZA
a. Terhadap kondisi fisik
 Akibat zat itu sendiri
Termasuk di sini gangguan mental organik akibat zat, misalnya
intoksikasi yaitu suatu perubahan mental yang terjadi karena dosis berlebih
yang memang diharapkan oleh pemakaiannya. Sebaliknya bila pemakaiannya
terputus akan terjadi kondisi putus zat.
Contohnya:
1) Ganja: pemakaian lama menurunkan daya tahan sehingga mudah
terserang infeksi. Ganja juga memperburuk aliran darah koroner.
2) Kokain: bisa terjadi aritmia jantung, ulkus atau perforasi sekat hidung,
jangka panjang terjadi anemia dan turunnya berat badan.
3) Alkohol: menimbulkan banyak komplikasi, misalnya: gangguan
lambung, kanker usus, gangguan hati, gangguan pada otot jantung dan
saraf, gangguan metabolisme, cacat janin dan gangguan seksual.
 Akibat bahan campuran/pelarut : bahaya yang mungkin timbul : infeksi,
emboli.
 Akibat cara pakai atau alat yang tidak steril
Akan terjadi infeksi, berjangkitnya AIDS atau hepatitis.
 Akibat pertolongan yang keliru
Misalnya dalam keadaan tidak sadar diberi minum.
 Akibat tidak langsung
Misalnya terjadi stroke pada pemakaian alkohol atau malnutrisi karena
gangguan absorbsi pada pemakaian alkohol.
 Akibat cara hidup pasien
Terjadi kurang gizi, penyakit kulit, kerusakan gigi dan penyakit kelamin.
b. Terhadap kehidupan mental emosional
11
12

Intoksikasi alkohol atau sedatif-hipnotik menimbulkan perubahan pada


kehidupan mental emosional yang bermanifestasi pada gangguan perilaku tidak
wajar. Pemakaian ganja yang berat dan lama menimbulkan sindrom
amotivasional. Putus obat golongan amfetamin dapat menimbulkan depresi
sampai bunuh diri.
c. Terhadap kehidupan sosial
Gangguan mental emosional pada penyalahgunaan obat akan mengganggu
fungsinya sebagai anggota masyarakat, bekerja atau sekolah. Pada umumnya
prestasi akan menurun, lalu dipecat/dikeluarkan yang berakibat makin kuatnya
dorongan untuk menyalahgunakan obat.
Dalam posisi demikian hubungan anggota keluarga dan kawan dekat pada
umumnya terganggu. Pemakaian yang lama akan menimbulkan toleransi,
kebutuhan akan zat bertambah. Akibat selanjutnya akan memungkinkan terjadinya
tindak kriminal, keretakan rumah tangga sampai perceraian. Semua pelanggaran,
baik norma sosial maupun hukumnya terjadi karena kebutuhan akan zat yang
mendesak dan pada keadaan intoksikasi yang bersangkutan bersifat agresif dan
impulsif (Alatas, dkk, 2006).
2.8 SELF CONTROL
1. Pengertian Self control
Menurut kamus psikologi (Chaplin, 2002), definisi kontrol diri atau self
control adalah kemampuan individu untuk mengarahkan tingkah lakunya sendiri
dan kemampuan untuk menekan atau menghambat
dorongan yang ada.
Goldfried dan Merbaum, mendefinisikan kontrol diri sebagai suatu
kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk
perilaku yang dapat membawa individu kearah konsekuensi positif.
Disamping itu kontrol diri memiliki makna sebagai suatu kecakapan individu
dalam kepekaan membaca situasi diri dan lingkungannya serta kemampuan untuk
mengontrol dan mengelola faktor-faktor perilaku sesuai dengan situasi dan
kondisi untuk menampilkan diri dalam melakukan sosialisasi (Calhoun dan
Acocela, 1990).
2. Ciri-ciri control diri
Ciri-ciri seseorang mempunyai kontrol diri antara lain :
a. Kemampuan untuk mengontrol perilaku yang ditandai dengan kemampuan
menghadapi situasi yang tidak diinginkan dengan cara mencegah atau
menjauhi situasi tersebut, mampu mengatasi frustasi dan ledakan emosi.
b. Kemampuan menunda kepuasan dengan segera untuk mengatur perilaku
agar dapat mencapai sesuatu yang lebih berharga atau lebih diterima oleh
masyarakat

12
13

c. Kemampuan mengantisipasi peristiwa dengan mengantisipasi keadaan


melalui pertimbangan secara objektif.
d. Kemampuan menafsirkan peristiwa dengan melakukan penilaian dan
penafsiran suatu keadaan dengan cara memperhatikan segi-segi positif
secara subjektif
e. Kemampuan mengontrol keputusan dengan cara memilih suatu tindakan
berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya.
Orang yang rendah kemampuan mengontrol diri cenderung akan reaktif dan
terus reaktif (terbawa hanyut ke dalam situasi yang sulit). Sedangkan orang yang
tinggi kemampuan mengendalikan diri akan cenderung proaktif (punya kesadaran
untuk memilih yang positif). Untuk mengecek sejauh mana kita punya
kemampuan mengendalikan diri, kita bisa melihat petunjuk di bawah ini:

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kontrol diri


a. Kepribadian. Kepribadian mempengaruhi control diri dalam konteks
bagaimana seseorang dengan tipikal tertentu bereaksi dengan tekanan yang
dihadapinya dan berpengaruh pada hasil yang akan diperolehnya. Setiap
orang mempunyai kepribadian yang berbeda (unik) dan hal inilah yang
akan membedakan pola reaksi terhadap situasi yang dihadapi. Ada
seseorang yang cenderung reaktif terhadap situasi yang dihadapi,
khususnya yang menekan secara psikologis, tetapi ada juga seseorang
yang lamban memberikan reaksi.
b. Situasi. Situasi merupakan faktor yang berperan penting dalam proses
kontrol diri. Setiap orang mempunyai strategi yang berbeda pada situasi
tertentu, dimana strategi tersebut memiliki karakteristik yang unik. Situasi
yang dihadapi akan dipersepsi berbeda oleh setiap orang, bahkan
terkadang situasi yang sama dapat dipersepsi yang berbeda pula sehingga
akan mempengaruhi cara memberikan reaksi terhadap situasi tersebut.
Setiap situasi mempunyai karakteristik tertentu yang dapat mempengaruhi
pola reaksi yang akan dilakukan oleh seseorang.
c. Etnis. Etnis atau budaya mempengaruhi kontrol diri dalam bentuk
keyakinan atau pemikiran, dimana setiap kebudayaan tertentu memiliki
keyakinan atau nilai yang membentuk cara seseorang berhubungan atau
bereaksi dengan lingkungan. Budaya telah mengajarkan nilai-nilai yang
akan menjadi salah satu penentu terbentuknya perilaku seseorang,
sehingga seseorang yang hidup dalam budaya yang berbeda akan
menampilkan reaksi yang berbeda dalam menghadapi situasi yang
menekan, begitu pula strategi yang digunakan.
d. Pengalaman. Pengalaman akan membentuk proses pembelajaran pada diri
seseorang. Pengalaman yang diperoleh dari proses pembelajaran
lingkungan keluarga juga memegang peran penting dalan kontrol diri
seseorang, khususnya pada masa anak-anak. Pada masa selanjutnya
seseorang bereaksi dengan menggunakan pola fikir yang lebih kompleks
dan pengalaman terhadap situasi sebelumnya untuk melakukan tindakan,
sehingga pengalaman yang positif akan mendorong seseorang untuk

13
14

bertindak yang sama, sedangkan pengalaman negatif akan dapat merubah


pola reaksi terhadap situasi tersebut.
e. Usia. Bertambahnya usia pada dasarnya akan diikuti dengan bertambahnya
kematangan dalam berpikir dan bertindak. Hal ini dikarenakan
pengalaman hidup yang telah dilalui lebih banyak dan bervariasi, sehingga
akan sangat membantu dalam memberikan reaksi terhadap situasi yang
dihadapi. Orang yang lebih tua cenderung memiliki control diri yang lebih
baik dibanding orang yang lebih muda.

4. Jenis-Jenis Kontrol Diri


Kontrol diri yang digunakan seseorang dalam menghadapi situasi tertentu,
meliputi :
a. Behavioral control, kemampuan untuk mempengaruhi atau memodifikasi
suatu keadaan yang tidak menyenangkan. Adapun cara yang sering
digunakan antara lain dengan mencegah atau menjauhi situasi tersebut,
memilih waktu yang tepat untuk memberikan reaksi atau membatasi
intensitas munculnya situasi tersebut
b. Cognitive control, kemampuan individu dalam mengolah informasi yang
tidak diinginkan dengan cara menginterpretasi, menilai dan
menggabungkan suatu kejadian dalam sutu kerangka kognitif sebagai
adaptasi psikologis atau untuk mengurangi tekanan. Dengan informasi
yang dimiliki oleh individu terhadap keadaan yang tidak menyenangkan,
individu berusaha menilai dan menafsirkan suatu keadaan dengan cara
memperhatikan segi-segi positif secara subyektif atau memfokuskan pada
pemikiran yang menyenangkan atau netral.
c. Decision control, kemampuan seseorang untuk memilih suatu tindakan
berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya. Kontrol diri
dalam menentukan pilihan akan berfungsi baik dengan adanya suatu
kesempatan, kebebasan atau kemungkinan untuk memilih berbagai
kemungkinan (alternative) tindakan
d. Informational control, Kesempatan untuk mendapatkan informasi
mengenai kejadian yang menekan, kapan akan terjadi, mengapa terjadi dan
apa konsekuensinya. Kontrol informasi ini dapat membantu meningkatkan
kemampuan seseorang dalam memprediksi dan mempersiapkan yang akan
terjadi dan mengurangi ketakutan seseorang dalam menghadapi sesuatu
yang tidak diketahui, sehingga dapat mengurangi stress.
e. Retrospective control, Kemampuan untuk menyinggung tentang
kepercayaan mengenai apa atau siapa yang menyebabkan sebuah peristiwa
yang menekan setelah hal tersebut terjadi. Individu berusaha mencari
makna dari setiap peristiwa yang terjadi dalam kehidupan. Hal ini bukan
berarti individu mengontrol setiap peristiwa yang terjadi, namun individu
berusaha memodifikasi pengalaman stress tersebut untuk mengurangi
kecemasan.
5. Prinsip-prinsip dalam mengendalikan diri
a. Prinsip kemoralan. Setiap agama pasti mengajarkan moral yang baik bagi
setiap pemeluknya, misalnya tidak mencuri, tidak membunuh, tidak

14
15

menipu, tidak berbohong, tidak mabuk-mabukan, tidak melakukan


tindakan asusila maupun tidak merugikan orang lain. Saat ada dorongan
hati untuk melakukan sesuatu yang negatif, maka kita dapat bersegera lari
ke rambu-rambu kemoralan. Apakah yang kita lakukan ini sejalan atau
bertentangan dengan nilai-nilai moral dan agama? Saat terjadi konflik diri
antara ya atau tidak, mau melakukan atau tidak, kita dapat mengacu pada
prinsip moral di atas.
b. Prinsip kesadaran. Prinsip ini mengajarkan kepada kita agar senantiasa
sadar saat suatu bentuk pikiran atau perasaan yang negatif muncul. Pada
umumnya orang tidak mampu menangkap pikiran atau perasaan yang
muncul, sehingga mereka banyak dikuasai oleh pikiran dan perasaan
mereka. Misalnya seseorang menghina atau menyinggung kita, maka kita
marah. Nah, kalau kita tidak sadar atau waspada maka saat emosi marah
ini muncul, dengan begitu cepat, tiba-tiba kita sudah dikuasai kemarahan
ini. Jika kesadaran diri kita bagus maka kita akan tahu saat emosi marah
ini muncul, menguasai diri kita dan kemungkinan akan melakukan
tindakan yang akan merugikan diri kita dan orang lain. Saat kita berhasil
mengamati emosi maka kita dapat langsung menghentikan pengaruhnya.
Jika masih belum bisa atau dirasa berat sekali untuk mengendalikan diri,
maka kita dapat melarikan pikiran kita pada prinsip moral.
c. Prinsip perenungan. Ketika kita sudah benar-benar tidak tahan untuk
meledakkan emosi karena amarah dan perasaan tertekan, maka kita bisa
melakukan sebuah perenungan. Kita bisa menanyakan pada diri sendiri
tentang berbagai hal, misalnya apa untungnya saya marah, apakah benar
reaksi saya seperti ini, mengapa saya marah atau apakah alasan saya marah
ini sudah benar. Dengan melakukan perenungan, maka kita akan
cenderung mampu mengendalikan diri. Secara sederhana dapat
digambarkan bahwa saat emosi aktif maka logika kita tidak jalan, sehingga
saat kita melakukan perenungan atau berpikir secara mendalam maka
kadar kekuatan emosi atau keinginan kita akan cenderung menurun.
d. Prinsip kesabaran. Pada dasarnya emosi kita naik – turun dan timbul,
tenggelam. Emosi yang bergejolak merupakan situasi yang sementara saja,
sehingga kita perlu menyadarinya bahwa kondisi ini akan segera berlalu
seiring bergulirnya waktu. Namun hal ini tidaklah mudah karena perlu
adanya kesadaran akan kondisi emosi yang kita miliki saat itu dan tidak
terlalu larut dalam emosi. Salah satu cara yang perlu kita gunakan adalah
kesabaran, menunggu sampai emosi negatif tersebut surut kemudian baru
berpikir untuk menentukan respon yang bijaksana dan bertanggung jawab
(reaksi yang tepat).
e. Prinsip pengalihan perhatian. Situasi dan kondisi yang memberikan
tekanan psikologis sering menghabiskan waktu, tenaga dan pikiran yang
cukup banyak bagi seseorang untuk menghadapinya. Apabila berbagai cara
(4 prinsip sebelumnya) sudah dilakukan untuk berusaha menghadapi
namun masih sulit untuk mengendalikan diri, maka kita bisa menggunakan
prinsip ini dengan menyibukkan diri dengan pikiran dan aktifitas yang
positif. Ketika diri kita disibukkan dengan pikiran positif yang lain, maka

15
16

situasi yang menekan tersebut akan terabaikan. Begitu pula manakala kita
menyibukkan diri dengan aktifitas lain yang positif, maka emosi yang
ingin meledak akibat peristiwa yang tidak kita sukai tersebut akan
menurun bahkan hilang. Saat kita berhasil memaksa diri memikirkan
hanya hal-hal yang positif maka emosi kita akan ikut berubah kearah yang
positif juga.

16
BAB III
METODOLOGI OBSERVASI
2.1 METODE OBSERVASI
1. Observasi
Untuk melengkapi cara memperoleh data yang lengkap penulis
mempergunakan metode observasi, yaitu mengamati, mencari data dari beberapa
fakta mengenai hal yang ada hubungannya dengan permasalahan. Menggunakan
sistem Observasi yang sifatnya berpartisipasi (Pertisipant Observation) yaitu
observer ikut aktif dalam kegiatan observasi.

2. Wawancara
Wawancara adalah suatu cara untuk mengumpulkan data dengan jalan
bertatap muka (tanya jawab) langsung dengan informan.
3. Studi Lapangan
Studi lapangan dilakukan dengan cara melihat dan berinteraksi langsung
dengan objek secara realistik ketempat itu berada diluar perkuliahan untuk
mendapatkan informasi secara real atau nyata.

2.2 TEMPAT DAN WAKTU OBSERVASI


Tempat: Kantor BNN Kuningan
Waktu : Kamis, 2 Januari 2020

2.3 SUBJEK OBSERVASI


1. Klien atau pasien rehabilitasi

19
BAB IV
HASIL OBSERVASI

3.1 HASIL WAWANCARA DENGAN KLIEN REHABILITASI


Nama responden : Tn. Y
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 43 Tahun
Asal : Kuningan
Tn.Y mengatakan latar belakang ia memakai Narkoba disebabkan oleh
lingkungan pergaulannya. Pada saat itu ia kuliah di luar kota. Beberapa tahun
kemudian tepatnya pada tahun 2015, Tn.Y bertemu dengan teman kuliahnya di
luar kota dan pada saat itu ia ditawari oleh temannya shabu lalu temannya
menjelaskan bagaimana cara memakainya,dll. Lalu ia pun mencoba shabu
tersebut. Setelah bertanya tanya dan mencoba Tn.Y berkemas untuk kembali lagi
ke Kuningan. Setelah memakai shabu ternyata Tn.Y merasa sangat rindu dengan
obat tersebut. Menurut Tn.Y rindunya itu 10x lipat dibandingkan rindu dengan
seorang pacar. Pada saat ia ditugaskan ke luar kota lagi, ia menemui teman yang
menawari sabu itu dan ingin mencobanya lagi, lalu kali ini Tn.Y harus membeli
sabu itu. Mulai dari sini Tn.Y jadi sering mengosumsi sabu, sampai ia mencari
cari sabu itu sendiri. Ia bisa mengosumsi narkoba 2x/minggu.
Menurut Tn.Y setelah memakai shabu efeknya yaitu merasa bahagia,
berbunga-bunga, dan juga sangat fokus saat sedang mengerjakan sesuatu sampai
lupa waktu. Misalnya pada saat mengerjakan laporan sampai 24 jam full tidak
tidur, jika seperti itu seharusnya tubuh merasa lemas tapi tubuh malah merasa baik
baik saja, itu adalah ilusi yang dihasilkan oleh otak karena mengosumsi shabu.
Tn.Y mengatatakan ia telah mengosumsi shabu sejak tahun 2015 sampai ia
ditangkap oleh pihak berwajib pada tanggal 7 Juli 2019. Ia tidak hanya
mengosumsi shabu, ia mengosumsi pil ectasy juga. Setelah ia tertangkap oleh
pihak berwajib, ia sempat dikurung selama 4 bulan lalu dibebaskan.
Tn.Y bercerita pada saat ia tertangkap dan mengalami efek putus zat itu
luar biasa sangat menyiksa. Efek yang dirasakan yaitu gelisah, emosian/sangat

20
19

sensitif, sering marah tanpa sebab, serta mental yang tersiksa ( merasa sendiri
ditengah keramaian). Ia melampiaskan emosinya itu dengan melakukan kekerasan
ke tahanan baru lain. Tn.Y mengatakan juga efek fisik nya yaitu giginya yang
suka mengeretak-geretak bahkan sampai saat ini ia masih seperti itu, karena sering
menghisap narkoba.
Tn.Y mengatakan cara ia mensiasati/self control nya yaitu dengan rajin
sholat 5 waktu, sholat tahajud, melakukan puasa sunah tujuannya untuk melatih
diri & melatih emosi, banyak mendengarkan dan berbagi ilmu agama dengan
seorang ustad, serta berusaha untuk selalu berfikir positif. Menurut Tn.Y faktor
penentu dirinya bisa berubah menjadi lebih baik yaitu niat dari diri sendiri dan
keluarga terdekat.
Tn.Y sangat menyadari sanksi sosial yang akan didapatnya, seperti
dikucilkan, mendapat stigma negatif dari masyarakat sekitar. Namun Tn.Y
menanggapinya dengan baik karena ia sudah mempunyai self control yang baik
juga.
Pesan dari Tn.Y yaitu jangan sekali-kali mencoba, karena akan banyak
sekali dampak yang merugikan dan banyak yang dirugikan juga. Jika ada
seseorang pengguna narkoba jangan sampai dijauhi, raihlah lalu anjurkan untuk
datang konsultasi ke BNN, cari saran/solusi bagaimana dia bisa sembuh, karena
mereka itu sama saja dengan orang-orang sakit yang perlu diobati namun
diobatinya dengan cara yang berbeda-beda.
BAB V
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
4.2 SARAN
DAFTAR PUSTAKA

BNN. (2017). Survei Nasional Penyalahgunaan Narkoba di 34 Provinsi Tahun


2017. Jurnal Health, II(1), 83–88. https://doi.org/10.1073/pnas.0703993104
Nasution, H. H., Lubis, W. H., & Sudibrata, A. (2014). Penyalahgunaan Napza,
3(1), 1–21.

BNN.(2012). . . Juni 15, 2013. www.bnn.go.id.documents/data-and-


analysys/wdr2012.

Nies, Mary A. (2001). Comunity Health Nursing: Promoting The Health Of


Populations. W.B Saunders Company: Philadelphia.
Nursalam, (2001), Proses Dan Dokumentasi Keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika.
(RISKESDAS) Riset Kesehatan Dasar. (2007).Jakarta. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Smeltzer, S. C. & Bare, B. G. (2005). Brunner & Sudarth’s textbook Of medical-
surgical nursing. (8th ed). (Agung Waluyo. Terjemahan). Jakarta: EGC

33
LAMPIRAN

35

Anda mungkin juga menyukai