Anda di halaman 1dari 31

 

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Apendisitis merupakan suatu inflamasi pada apendiks dan merupakan suatu

keadaan gawat darurat medik, dan jika dibiarkan tanpa diobati, apendiks akan ruptur dan
1
menyebabkan
menyebabk an infeksi yang fatal.  
Angka kejadian apendisitis cukup tinggi di dunia. Di Amerika Serikat terdapat
70.000 kasus kejadian apendisitis setiap tahunnya. Kejadian apendisitis di Amerika Serikat
memiliki insiden 1-2 kasus per 10.000 anak per tahunnya antara kelahiran sampai anak 
tersebut berumur 4 tahun. Kejadian Apendisitis meningkat menjadi 25 kasus per 10.000
anak per tahunnya antara umur 10 dan umur 17 tahun di Amerika Serikat. Apabila dirata-
ratakan, maka didapatkan kejadian apendisitis 1,1 kasus per 1000 orang per tahun nya di
2
Amerika Serikat.  

Diagnosa apendisitis pada kelompok usia muda biasanya sangat sulit dilakukan
mengingat penderita usia muda sulit menyatakan
menyatakan perasaan sakit yang dialaminya, sehingga
1
kejadian apendisitis pada usia muda lebih sering diketahui setelah terjadi perforasi.  
Pada anak, apendisitis merupakan kegawatdaruratan medis yang paling sering
terjadi dan prosedur pembedahan yang paling sering dilakukan pada anak. Meskipun
apendiks belum diketahui fungsinya, namun apendiks dapat mengalami inflamasi. Kondisi
ini, yang disebut apendisitis, dapat secara cepat jatuh ke dalam keadaan yang mengancam
nyawa atau infeksi pada rongga abdomen (peritonitis) jika tidak segera ditangani.
Peritonitis merupakan kondisi yang mengancam jiwa dan sekitar 1% dari kasus dapat
1
menimbulkan kematian.  
Pasien pediatrik bukanlah orang dewasa yang kecil. Neonates (0-1 bulan), bayi (1-
12 bulan), anak kecil yang baru belajar berjalan (1-3 tahun) dan anak-anak yang masih
kecil (4-12 tahun) memiliki kebutuhan anestesi yang berbeda. Manajemen anestesi yang
aman tergantung dari karakteristik fisiologi, anatomi dan farmakologi dari setiap grup.
Karakteristik ini yang membedakan mereka dari dewasa yang membutuhkan modifikasi
dari peralatan anestesi dan teknik yang digunakan. Bayi memiliki resiko mortalitas dan
3
morbiditas yang lebih besar dari anak yang lebih tua.  

1
 

1.2. Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui tentang apendiks perforasi yang
menyebabkan peritonitis serta bagaimana penatalaksanaan awal di IGD dan teknik 
anestesi yang berhubungan dengan tindakan operasi yang dilakukan.

2
 

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Apendisitis
2.1.1. Definisi

Istilah apendisitis pertama kali diperkenalkan oleh Reginal Fitz pada tahun 1886 di
Boston. Morton pertama kali melakukan operasi apendektomi pada tahun 1887 di
4
Philadelphia.  
Apendisitis adalah inflamasi yang terjadi pada apendiks. Apendisitis merupakan
salah satu penyebab operasi emergensi di abdomen. Biasanya terjadi akibat apendiks
4
tersumbat oleh feses, benda asing, atau yang jarang terjadi, tumor.
t umor.  

Gambar : Normal appendix; barium enema radiographic examination

2.1.2. Patofisiologi
Apendisitis disebabkan oleh obstruksi lumen apendiks oleh karena berbagai hal.
Obstruksi diyakini dapat menyebabkan meningkatnya tekanan intralumen. Peningkatan
tekanan tersebut berhubungan dengan sekresi cairan dan mukus yang terus menerus dari
mukosa dan stagnasi dari material tersebut. Di saat yang sama, bakteri yang berada di
dalam lumen akan terus bermultiplikasi, memicu pelepasan sel leukosit dan pembentukan
5,6
pus dan tekanan intraluminal menjadi lebih tinggi.  

3
 

Jika obstruksi menetap, tekanan intraluminal akan terus meningkat dan menekan
vena di apendiks, memicu terjadinya obstruksi aliran vena. Akibatnya, dinding apendiks
akan mengalami iskemia, keseimbangan epitel akan hilang dan menyebabkan invasi
5,6
bakteri ke dinding apendiks.  
Dalam beberapa jam, kondisi ini akan semakin parah karena trombosis dari arteri

dan vena apendiks, menyebabkan terjadinya iskemik pada jaringan dan pada akhirnya
terjadi perforasi dan gangren. Hal ini jika berkelanjutan akan menyebabkan abses
5,6
periapendikular atau peritonitis.  

2.1.3. Gejala Klinis


Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis adalah nyeri
samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau periumbilikus.
Keluhan ini biasanya disertai dengan rasa mual, bahkan terkadang muntah, dan pada
umumnya nafsu makan menurun. Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan beralih ke

kuadran kanan bawah, ke titik Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih tajam dan jelas
letaknya, sehingga merupakan nyeri somatik setempat. 5,6 

2.1.4. Diagnosis
Gejala apendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit dilakukan
diagnosis, dan akibatnya apendisitis tidak ditangani tepat pada waktunya, sehingga
biasanya baru diketahui setelah terjadi perforasi. Pada anak-anak gejala awalnya sering
hanya menangis dan tidak mau makan. Seringkali anak tidak bisa menjelaskan rasa
nyerinya. Dan beberapa jam kemudian akan terjadi muntah- muntah dan anak menjadi

lemah dan letargik. Karena ketidakjelasan gejala ini, sering apendisitis diketahui setelah
perforasi. Begitupun pada bayi, 80-90 % apendisitis baru diketahui setelah terjadi
perforasi. 6,7 

2.1.5. Pemeriksaan Fisik


Inspeksi : pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga
pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut.
Palpasi : pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan bila
tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan kunci

diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada
perut kanan bawah. Ini disebut tanda Rovsing ( Rovsing Sign). Dan apabila tekanan di

4
 

perut kiri bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut kanan bawah.Ini disebut
tanda Blumberg ( Blumberg
 Blumberg Sign ).
Pemeriksaan colok dubur : pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis, untuk 
menentukan letak apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan
pemeriksaan ini dan terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang terletak 

didaerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis pada apendisitis pelvika.
Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator : pemeriksaan ini juga dilakukan untuk 
mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot
psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan,
kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang meradang menempel di m. psoas
mayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji obturator
dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila
apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding
panggul kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan
6,7

pada apendisitis pelvika.  

2.1.6. Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium : terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktif (CRP).
Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara10.000-20.000/ml
(leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum
yang meningkat. 4,5 
Radiologi : terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada pemeriksaan
ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada

apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang


dengan apendikalit serta perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya
pelebaran sekum. 4,5 

2.1.7. Penanganan
Apendektomi masih merupakan satu-satunya penanganan kuratif untuk apendisitis.
Namun beberapa studi mengatakan bahwa antibiotik profilaksis harus diberikan sebelum
apendektomi. Jika pasien tidak demam lagi dan jumlah leukosit normal, antibiotik dapat
dihentikan. 5,7 

Laparoskopi apendektomi merupakan penanganan emergensi alternatif pada apendisitis


akut pada anak. Pada apendisitis perforasi, tindakan laparoskopi menunjukkan tingkat

5
 

keamanan yang tinggi, masa rawatan di rumah sakit lebih singkat, nyeri lebih ringan dan
dapat kembali beraktivitas normal lebih cepat dengan komplikasi yang lebih sedikit. 5 

2.2. Peritonitis
Peritonitis merupakan respon inflamasi atau supurasi di daerah peritoneal akibat

iritasi secara langsung pada peritoneum. Peritonitis bisa muncul setelah perforasi,
inflamasi, infeksi, atau luka iskemik dari sistem gastrointestinal atau genitourinari. Berikut
ini merupakan beberapa penyebab peritonotis yang umum: 8 
Tingkat Keparahan Penyebab Angka Mortalitas
Ringan Apendisitis <10%
Perforasi ulkus gastroduodenal
gastroduodenal
Salpingitis akut
Sedang Divertikulitis (perforasi lokal) <20%
Perforasi usus halus nonvaskular

Kolesistitis gangren
Multipel trauma
Berat Perforasi usus besar 20 – 80%
20 –  80%
Luka iskemik usus halus
Pankreatitis nekrotik akut
Komplikasi post operasi

Peritonitis sekunder merupakan hasil dari kontaminasi bakteri yang berasal dari
viscera maupun sumber eksternal (misalnya luka tembus). Cairan empedu dan urin yang

mengalami ekstravasasi, meskipun hanya membuat iritasi ringan saat steril, dianggap
toksik jika terinfeksi dan memicu reaksi peritoneal yang kuat. Cairan lambung dari
perforasi ulkus duodenal dapat bertahan steril selama beberapa jam, dan nantinya akan
mengakibatkan peritonitis kimiawi yang disertai dengan kehilangan cairan yang banyak.
Jika dibiarkan tanpa pengobatan, akan terjadi bakterial peritonitis dalam 6  –  12 jam.
Cairan intraperitoneal akan melarutkan protein dan mengganggu proses fagositosis.
Kemudian saat hemoglobin muncul di rongga peritoneum, Eschericia coli akan
berkembang di sana dan menghasilkan leukotoksin yang akan mengurangi aktivitas
bakterisidal. Infeksi yang terlokalisasi dan terbatas dapat dihentikan oleh pertahanan tubuh

6
 

host , akan tetapi kontaminasi yang berkelanjutan akan mengakibatkan peritonitis


generalisata dan mungkin bisa jatuh ke septikemia dengan gagal organ multipel. 8 
Faktor yang mempengaruhi keparahan peritonitis antara lain: tipe kontaminasi
bakteri atau jamur, sifat dan durasi dari proses tersebut, dan status nutrisi serta imunitas
host . Tingkat keparahan peritonitis bervariasi sesuai dengan penyebabnya. Kontaminasi

yang tergolong bersih (misalnya perforasi usus proksimal) atau yang terlokalisasi
(misalnya ruptur apendiks) akan berkembang menjadi peritonitis yang parah dalam waktu
yang relatif lambat (12  –  24 jam). Sebaliknya,
(12 –  Sebaliknya, usus bagian distal yang terinfeksi bakteri
ataupun perforasi traktus biliar dapat dengan cepat mengganggu pertahanan tubuh host .
Kecuali spontaneous bacterial peritonitis, peritonitis biasanya polimikroba, hasil
kultur menunjukkan lebih dari satu bakteri aerob dan lebih dari dua bakteri anaerob.
Gambaran mikroba tersebut menunjukkan organ yang terlibat. Selama produksi asam
lambung dan pengosongan lambung masih normal, perforasi dari usus proksimal biasanya
masih dianggap steril atau berhubungan dengan sejumlah kecil bakteri gram positif.

Perforasi atau luka iskemik dari usus halus distal (seperti hernia strangulata) akan
membuat infeksi bakteri aerob dalam 30% kasus dan anaerob dalam 10% kasus. Feses
12
diperkirakan mengandung 10 atau lebih organisme per gramnya dan hal ini bersifat
sangat toksik. Kultur yang positif dengan bakteri gram negatif dan bakteri anaerob
merupakan ciri khas infeksi yang berasal dari apendiks, kolon, dan rektum. Bakteri aerob
yang patogen termasuk bakteri gram negatif E. coli, streptokokus, proteus, dan grup
Enterobakter-Klebsiella.
Enterobakter-Klebsiella. Selain Bacteroides fragilis, anaerob kokus dan klostridium adalah
organisme anaerob yang sering dijumpai. 8 
Manifestasi klinis peritonitis menunjukkan tingkat keparahan dan durasi infeksi.

Temuan fisik dapat dibagi menjadi tanda abdominal dan tanda sistemik. Peritonitis akut
merupakan kasus akut abdomen. Temuan lokal yaitu nyeri perut, nyeri tekan, rigiditas,
distensi, udara bebas peritoneal, dan berkurangnya peristaltik (tanda yang menunjukkan
iritasi peritoneum parietal dan mengakibatkan ileus). Temuan sistemik diantaranya
demam, menggigil, takikardi, berkeringat, takipnu, dehidrasi, oliguri, disorientasi, dan bisa
saja syok refraktori. Syok yang terjadi merupakan kombinasi dari hipovolemi dan
septikemi dengan gagal organ multipel. Syok berulang yang tak dapat dijelaskan
menunjukkan sepsis intraperitoneal yang serius. 8 
Pemeriksaan laboratorium termasuk di dalamnya hitung jumlah sel darah,

crossmatch , analisa gas darah, elektrolit, hemostasis, dan fungsi ginjal serta hati. Sampel

7
 

untuk kultur darah, urin, sputum, dan cairan peritoneal harus diambil sebelum dimulai
pemberian antibiotik. 8 
Perawatan preoperatif pada pasien peritonitis yang utama adalah pemberian cairan
intravena. Perpindahan cairan yang besar ke rongga peritoneal harus digantikan dengan
cairan intravena yang sesuai. Jika pasien mengalami toksisitas sistemik atau berada dalam

kondisi kesehatan yang rentan maka harus


h arus dilakukan pemasangan tekanan vena sentral dan
kateter, dibuat balans cairannya, dan pengukuran berat badan serial harus dilakukan.
Cairan Ringer Laktat harus dimasukkan secara cepat untuk mengoreksi hipovolemi
intravaskular dan untuk mengembalikan tekanan darah serta produksi urin agar normal.
Suplemen potasium diberi jika perfusi jaringan dan ginjal adekuat dan urin telah
dihasilkan. Darah dipersiapkan untuk pasien anemis atau pasien yang mengalami
perdarahan hebat. Obat-obatan kardiovaskular
kardiovaskular dan ventilasi mekanik dalam unit perawatan
intensif penting bagi pasien dengan septikemia lanjut.  Arterial line sangat membantu
untuk perekaman tekanan darah berkelanjutan dan sampel darah. Pemberian antibiotik 

intravena boleh dilakukan apabila hasil kultur telah ada. Antibiotik inisial yang
dipergunakan berupa sefalosporin generasi ketiga, ampisilin-sulbaktam, tikarsilin-asam
klavulanat, aztreonam atau imipenem-cilastatin untuk gram negatif koliform, dan
metronidazol atau klindamisin untuk organisme anaerob. Penggunaan aminoglikosida
harus secara hati-hati karena gangguan ginjal juga bisa menyertai peritonitis. Antibiotik 
empiris yang sudah diberikan harus diubah setelah operasi sesuai dengan hasil kultur dan
tes sensitivitas jika dijumpai tanda infeksi yang persisten. Antibiotik dilanjutkan sampai
pasien afebris dengan jumlah leukosit normal. 8 
Manajemen operatif dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu dengan

mengontrol sepsis (pada saat pembedahan,


pembedahan, dikeluarkan semua bagian
b agian yang terkontaminasi
dan bagian yang nekrotik),  peritoneal lavage (dilakukan lavage dengan cairan kristaloid
hangat sebanyak
sebanyak >3 L untuk membuang
membuang semua partikel yang kotor
kotor seperti darah, bekuan
fibrin, dan bakteri-bakteri), dan drainase peritoneal (diindikasikan pada fokal infeksi atau
pada kasus fistula dimana kontaminasi berkelanjutan dapat terjadi). 8 
Manajemen post operatif pasien dilakukan secara intensif dan terkadang diperlukan
bantuan ventilator bagi pasien yang tidak stabil. Tujuannya adalah untuk mencapai
stabilitas hemodinamik untuk perfusi organ utama, mungkin saja dibutuhkan agen
inotropik selain cairan dan darah. Antibiotik diberikan selama 10  –  14 hari, bergantung

pada derajat keparahan peritonitis. Pencabutan dini dari semua selang (arteri, vena sentral,
urin, dan nasogastrik) akan mengurangi resiko infeksi sekunder.  Drain harus dilepas jika

8
 

cairan yang dihasilkan berkurang dan menjadi semakin jernih. Suction yang berlebihan
perdarahan. 8 
dan berlama-lama dapat mengakibatkan fistel atau perdarahan.

2.3. Dehidrasi

Dehidrasi adalah keadaan di mana berkurangnya volume air tanpa elektrolit


(natrium) atau berkurangnya
berkurangnya air jauh melebihi
melebihi berkurangny
berkurangnyaa jumlah natrium da
dari
ri cairan
ekstrasel. Akibat terjadinya peningkatan natrium dalam ekstrasel maka cairan intrasel akan
masuk ke ekstrasel sehingga volume cairan intrasel berkurang. Dehidrasi melibatkan
pengurangan
pengurangan cairan intrasel dan ekstrasel secara bersamaan dimana 40 % dari cairan yang
hilang berasal dari ekstrasel dan 60 % berasal dari intrasel. Pada keadaan dehidrasi akan
terjadi hipernatremia karena cairan yang keluar atau hilang adalah cairan yang sifatnya
hipotonik. 9 

Pemeriksaan fisik pada pasien dengan kecurigaan dehidrasi terdiri dari

pemeriksaan turgor kulit, hidrasi dari membrane mukosa, pulsasi nadi perifer, detak 
 
 jantung, tekanan darah dan volume
volume urine. Terdapat 3 klasifikasi dari dehidrasi berdasarkan
berdasarkan
 
 jumlah cairan yang gejala klinis yang timbul, yaitu : 9
yang hilang serta gejala

Derajat Defisit Cairan Gejala Klinis


Dehidrasi
Ringan 3 - 5 % x BB -  Keadaan umum baik 
-  Nadi normal atau meningkat
-  Pernapasa
Pernapasan
n normal
-  Turgor kulit sedikit menurun
-  Volume urine normal atau sedikit berkurang
-  Rasa haus (+)
Sedang 6 – 10
6 –  10 % x BB -  Keadaan umum gelisah
-  Takikardia (120-140 x/menit)
-  Pernapasan agak cepat
-  Turgor kulit menurun
-  Volume urine sangat berkurang atau tidak 
ada
-  Mata cekung
-  Membrane mukosa kering

9
 

Berat 10 -15 % x BB -  Keadaan umum apatis/koma


-  Nadi sangat cepat (>140 x/menit)
-  Pernapasa
Pernapasan
n Kussmaul (cepat dan dalam)
-  Tekanan darah menurun
-  Tidak ada urine

-  Mata sangat cekung


-  Mukosa membrane sangat kering
-  Turgor kulit sangat lambat

Klasifikasi lain dari dehidrasi adalah berdasarkan kondisi elektrolit pasien, yaitu
dehidrasi isotonik (osmolaritas serum 270-300, natrium serum 130-150), dehidrasi
hipotonik (osmolaritas serum < 270, natrium serum <130) dan dehidrasi hipertonik 
(osmolaritas serum >310, natrium serum >155). Cara perhitungan untuk menentukan
osmolaritas serum adalah 2 (Na meq/L) + BUN (mg/dl) / 2.8 + Glucose (mg/dl) / 18. 9 
Penatalaksanaan dari pasien dengan dehidrasi adalah dengan rehidrasi. Rehidrasi
adalah usaha mengembalikan keadaan hidrasi yang normal dari keadaan dehidrasi. Tujuan
utama rehidrasi adalah mengembalikan cairan tubuh ke volume normal, osmolaritas yang
efektif dan komposisi yang tepat untuk keseimbangan asam basa. Pemilihan cairan
rehidrasi bergantung pada kondisi apakah pasien kehilangan cairan saja atau beserta
elektrolit atau sudah terjadi gangguan
gangguan keseimbangan asam basa. Gangguan keseimbangan
keseimbangan
 
asam basa dapat dinilai berdasarkan fungsi paru dan ginjal. 10
Rehidrasi dapat dilakukan dengan koloid atau kristaloid sesuai dengan perhitungan
perhitungan
defisit kehilangan cairan berdasarkan derajat dehidrasi. Pada dehidrasi berat, rehidrasi
dilakukan dengan bolus cairan 20 cc/KgBB selama 20 menit. Rehidrasi dihentikan bila
volume intravaskuler adekuat. Pada kasus dehidrasi ringan dan sedang, dilakukan rehidrasi
selama 24 jam dengan penghitungan defisit cairan dan cairan maintenans, yang dibagi
menjadi 8 jam pertama dan 16 jam kedua. Perlu diperhatikan juga kehilangan cairan yang
 
terus berlangsung. Pada dehidrasi anak terdapat 3 fase rehidrasi, yaitu : 10 
(0 – 4
1.  Fase I (0 –  4 jam)
a.  Dehidrasi ringan dan sedang maka rehidrasi 10-20 cc/KgBB selama 1-2
 jam.
b.  Dehidrasi berat maka rehidrasi 30-50 cc/kgBB/jam sampai dengan tanda
vital stabil.

10
 

Pada kasus dehidrasi pada anak, terutama pada kasus yang bersifat akut, cairan
isotonik merupakan pilihan utama, seperti normal saline dan ringer laktat. Terdapat
2 pilihan sediaan normal saline yang biasa digunakan pada anak, yaitu ½ dan ¼
normal saline yang disertai adanya dextrose 5 %. Selanjutnya, berikan cairan 10
cc/KgBB/jam sampai dengan volume urine adekuat.

jam – 2
2.  Fase II (4 jam –  2 hari)
a.  Dehidrasi isotonik : lanjutkan rehidrasi dengan cairan maintenans dan
penambahan jika dijumpai adanya kehilangan cairan yang tetap
berlangsung. Dosis maintenance dari cairan tubuh berdasarkan pada berat
badan, yaitu 10 kg pertama 4 ml/kgBB/jam, 10 kg kedua 2 ml/KgBB/jam
 
dan selebihnya 1 ml/kgBB/jam. Penambaha
Penambahan
n subtitusi elektrolit bergantung
pada kadar elektrolit dalam serum.
b.  Dehidrasi hipotonik : Tambahkan subtitusi natrium.
c.  Dehidrasi hipertonik : Pilih cairan rendah natrium dan bila dijumpai adanya

kadar kalsium serum < 8,5 mg/dl maka tambahkan kalsium glukonat setiap
500 cc cairan.
3.  Fase III
Jika masih dijumpai adanya defisit sampai dengan 2-4 hari maka lanjutkan
subtitusi dan bila kadar natrium > 175 mmol/L maka fase II dilanjutkan sampai 3-4
hari dan menuju fase III jika kadar natrium < 145 mmol/L.
Pemantauan yang dilakukan pada pasien rehidrasi adalah tanda vital (nadi dan
tekanan darah), keseimbangan intake dan output cairan (balans cairan dan volume urine),
tanda-tanda kelebihan cairan dan kondisi elektrolit tubuh. 9 

10
Tabel. Komposisi Cairan Intravena 
+ - + 2+
Jenis Cairan Na Cl K Ca Laktat
Normal saline (0,9%NaCl) 154 154 - - -
½ Normal saline (0.45% NaCl) 77 77 - - -
¼ Normal saline (0.225% NaCl) 38,5 38,5 - - -
Ringer laktat 130 109 4 3 28

11
 

2.4. Anestesi pediatri

Pasien pediatrik bukanlah orang dewasa yang kecil. Neonates (0-1 bulan), bayi (1-
12 bulan), anak kecil yang baru belajar berjalan (1-3 tahun) dan anak-anak yang masih
kecil (4-12 tahun) memiliki kebutuhan anestesi yang berbeda. Manajemen anestesi yang
aman tergantung dari karakteristik fisiologi, anatomi dan farmakologi dari setiap grup.

Karakteristik ini yang membedakan mereka dari dewasa yang membutuhkan modifikasi
dari peralatan anestesi dan teknik yang digunakan. Bayi memiliki resiko mortalitas dan
morbiditas yang lebih besar dari anak yang lebih tua. Neonates memiliki resiko terbesar. 3 

Tabel : Perbedaan anatomi dan fisiologi antara pasien dewasa dan anak-anak 3 
Variabel fisiologi Kontras antara anak dan dewasa Implikasi anestetik 
Ukuran kepala Ukuran kepala lebih luas relatif  Mempertimbangkan gulungan
menurut badan dibawah bahu atau leher untuk 
posisi intubasi optimal
Ukuran lidah Ukuran lebih luas relatif  Buat jalan nafas tampak lebih
terhadap mulut ramping di anterior, jalan nafas
mulut sangat menolong selama
ventilasi dengan masker
Bentuk jalan nafas Diameter terdekat di bawah Uncuffed tubes dapat membuat
glottis pada level krikoid pada tersegel atau tertutup ketika
anak  menyediakan ukuran pada anak 
lebih muda dari 8 tahun

2.4.1. Evaluasi preoperatif 


Evaluasi preoperatif pada pasien pediatrik harus mencakup riwayat keturunan
pasien, riwayat kelahiran dan neonates, pemeriksaan fisik, tinggi badan, berat badan, dan
tanda vital. Penggunaan obat-obatan seperti bronkodilator, steroid, dan agen kemoterapi
memiliki implikasi untuk manajemen anestesi. Sekitar 50 % dari seluruh anak yang telah 2
minggu pasca operasi dengan onset cemas, menangis di malam hari, enuresis, cemas saat
berpisah, temperamental, dan gangguan makan dan tidur. Kebanyakan perilaku ini
menghilang setelah 3-4 minggu pasca operasi. 3,11 

12
 

Kondisi penyakit yang ada


1.  Infeksi saluran nafas bagian atas
Meningkatkan risiko perkembangan laringospasme, bronkospasme, desaturasi oksigen,
batuk saat selesai ekstubasi, dan atelektasis pasca operasi. Anak dengan asma, dispasia
bronkopulmonal, anak di bawah 1 tahun, anak dengan penyakit sickle cell, anak yang

tinggal dengan orang tua perokok, dan anak yang menjalani bronkoskopi memiliki
risiko tinggi dalam perkembangan morbiditas perioperatif jika menderita infeksi
saluran nafas atas. Sebaliknya, penggunaan masker laring dihubungkan dengan jumlah
komplikasi jalan nafas sebagai pipa endotrakeal pada populasi ini.
2.  Obstructive sleep apnea 
Hipertrofi adenotonsilar berat dengan Obstructive sleep apnea (OSA) adalah indikasi
sering untuk tonsilektomi dan adenoidektomi. Pasien OSA berisiko untuk sumbatan
 jalan nafas dengan penggunaan
penggunaan sedatif
sedatif preoperatif dan selama proses induksi.
induksi.
3.  Asma

Anak dengan asma harus di bawah perawatan medis optimal sebelum menjalani
anestesi umum dan operasi. Semua obat oral dan inhalasi seperti kortikosteroid dan ß-
agonis harus dilanjutkan dan termasuk pada hari operasi dil
dilaksanaka n. 11 
aksanakan.

Evaluasi laboratorium
Anak dengan nilai hemoglobin kurang dari standar harus diinvestigasi penyebab
anemianya dan juga harus dikoreksi. Untuk bayi dan neonates, nilai hemoglobinnya
tergantung umur gestasi dan status kesehatannya. 3 
Pemeriksaan bleeding time dan  protrombin time perlu untuk pemeriksaan
3
koagulasi seperti pada sickle cell anemia dan hemoglobinopati.  

Periode puasa preoperatif 


Untuk meminimalisasi pneumonia aspirasi, the American Society of 
 Anesthesiologist  membuat panduan mengenai puasa preoperatif. Makanan padat
dihentikan 6-8 jam sebelum operasi (biasanya setelah tengah malam), susu 4 jam sebelum
operasi dan minuman 2 jam sebelum operasi. Minuman ini seperti jus apel, teh manis dan
sejenisnya menunda lambung kosong dan mencegah hipoglikemia sewaktu operasi. 11 

13
 

2.4.2. Sedatif preoperatif 


Sedasi sebelum operasi adalah metode yang efektif yang digunakan secara luas
untuk anak-anak untuk menurunkan kegelisahan. Tujuan utama premedikasi pada anak 
untuk membebaskan kegelisahan
kegelisahan dan lepas dari orang tua serta menginduksi anestesi. Efek 
samping pada pasien termasuk amnesia, keadaan anxiolysis , pencegahan stress fisiologis

dan analgesia. Seterusnya, anak-anak yang diberi sedasi sebelum masuk ke ruang operasi
dapat terjadi stress yang berhubungan dengan perubahan perilaku. 11 

Oral
Midazolam adalah premedikasi sedatif yang paling sering digunakan di Amerika
Serikat. Sekitar 85 % dari semua operasi di Amerika menggunakan midazolam. Memiliki
onset cepat dan efek terprediksi tanpa menyebabkan depre
depresi
si nafas dan jantung. Pada dosis
0,5 – 0,75
0,5 –  0,75 mg/kg, efek midazolam puncaknya sekitar 30 menit setelah digunakan dan pada
operasi selama 1 jam atau lebih. Walaupun sangat efektif pada kebanyakan anak, sekitar

14 % anak tidak respon terhadap midazolam pada dosis 0,5 mg/kg. Dosis yang lebih tinggi
t epat pada pasien ini. 11 
yaitu 0,75 mg/kg dapat lebih tepat
Midazolam telah menunjukkan peranan penting dalam penurunan stress
perioperatif untuk pasien dan keluarga, walaupun penambahan kehadiran akan
menghasilkan peningkatan kepuasan seluruh tindakan operasi. Midazolam dapat
diantagonis dengan flumazenil, yang berkompetitif dengan benzodiazepine. Dosis inisial
yang direkomendasikan ntravena hingga total 1 mg. 11 
direkomendasikan pada anak-anak 0,05 mg/kg dititrasi iintravena
Ketamin oral juga digunakan sebagai medikasi sedatif pada dosis 5-6 mg/kg untuk 
anak 1-6 tahun. Sedasi maksimal berlaku hingga 20 menit. Kombinasi ketamin dan

midazolam juga digunakan sebagai premedikasi sedatif oral. Dilaporkan kombinasi ini
memiliki tingkat kesuksesan 90 %. Mual dan muntah sedikit meningkat pada anak yang
menerima ketamin oral. 11 
Fentanyl transmukosa oral adalah obat percobaan komersial untuk mengirim
medikasi pada anak dengan jalur oral transmukosa dan menunjukkan sedasi anak sebelum
anestesi induksi. Efek samping termasuk gatal di wajah, mual muntah pasca operasi dan
desaturasi oksigen arterial. Oleh karena itu, obat ini tidak rutin digunakan pada
perioperatif. 11 
Clonidine adalah α2-agonis,
α2 -agonis, yang diberikan kombinasi dengan atropine,

menghasilkan sedasi preoperatif memuaskan, mudah dipisahkan dari orang tua dan efek 
45 menit. Dosis clonidine oral 4 µg/kg telah didemonstrasikan menyebabkan sedasi,

14
 

mengurangi syarat anestesi dan mengurangi keperluan analgesik pasca operasi. Itu juga
melemahkan respon hemodinamik untuk intubasi trakeal. Dengan dosis rekomendasi,
hipotensi perioperatif tidak dipantau. Kerugian sedatif ini adalah onset yang lama
dibanding midazolam. 11 

Gambar : A. frekuensi
f rekuensi premedikasi sedatif di AS tahun 2002 dan B. frekuensi premedikasi
sedatif di AS tahun 1996. 11

15
 

Nasal
Kerugian dari medikasi sedatif intranasal adalah anak menangis karena mengiritasi
 jalan nasal. Absorpsi cepat dan mencegah metabolisme di hati pertama adalah keuntungan
rute ini. 11 

Rectal
Pemberian midazolam perektal pada dosis 0,5-1 mg/kg efektif mengurangi gelisah
pada anak sebelum induksi. Kedua methohexical dan thiopental telah digunakan juga pada
formulasi rectal dengan dosis 25 mg/mg. onset sedasi membutuhkan kira-kira 10
menit.depresi nafas dan desaturasi oksigen dapat terjadi karena variasi absorpsi medikasi
di rectum. 11 

 —  pilihan obat dan dosis 3 


Tabel Premedikasi — 
DOSE TIME TO ELIMINATION HALF-
MEDICATIONROUTE
MEDICATIONROUTE (mg/kg) ONSET (min) LIFE T ½ (hr)
Midazolam Oral 0.25 – 1.0
1.0 10 2
Intranasal0.2 – 0.3
Intranasal0.2 0.3 <10 2 – 3
Rectal 0.3 – 1.0
1.0 10 2 – 3
Ketamine Oral 3.0 – 6.0
6.0 10 2 – 3
3.0 – 5.0
Intranasal3.0
Intranasal 5.0 <10 3
Rectal 5.0 – 6.0
6.0 20 – 30
30 3
Clonidine Oral 0.002 – 0.004
0.004 45 8 – 1
122

Intramuskular
Intramuskular midazolam pada dosis 0,3 mg/kg membuat penurunan gelisah dalam
5-10 menit. Ketamin dengan dosis intramuscular 3-4 mg/kg membuat tenang, bernafas,
respon minimal pasien mendekati 5 menit. 3 
Penting diketahui bahwa rute oral sejauh ini adalah yang paling sering digunakan
sebagai rute sedasi untuk anak-anak. 3 

2.4.3. Agen anestesi


Konsentrasi alveolar minimal
Konsentrasi alveolar minimal (MAC) anestesi yang dibutuhkan pada pasien
pediatric dibedakan tergantung usia. Ada sedikit peningkatan pada MAC antara bayi dan
umur 2-3 bulan, yang membutuhkan usia MAC tertinggi. Setelah itu waktu MAC menurun
secara lambat dengan usia. Untuk sevoflurane pergantian di MAC ditandai, dengan nilai
kira-kira 2,5 % untuk bayi muda dibandingkan dengan 2 % untuk remaja dan dewasa. 3 

16
 

 
Tabel: Aproksimasi nilai MAC untuk pasien anak-anak 3
Agen Neonatus bayi Anak kecil Dewasa
Halothane 0.87 1.1 – 1.2
1.2 0.87 0.75

Sevoflurane 3.2 3.2 2.5 2.0

Isoflurane 1.60 1.8 – 1.9


1.9 1.3 – 1.6
1.6 1.2

Desflurane 8 – 9 9 – 10


10 7 – 8 6.0

Agen Inhalasi untuk Induksi Anestesi


Hanya ada 2 agen anestetik potensial yang biasa digunakan sesuai dengan induksi
inhalasi adalah sevoflurane dan halothane. Kedua agen ini diterima dengan baik dan
digunakan sebagai induksi inhalasi pada anak-anak. Keuntungan sevoflurane adalah onset
cepat dan frekuensi rendah disritmia dan hipotensi. Beberapa dari gejala ini dibedakan
karena disain alat penguap bahwa adalah mungkin untuk mengirim MAC multipel lebih

tinggi dari halothane versus sevoflurane. Halothane telah menunjukkan efek depresif yang
lebih besar pada kontraktilitas jantung dari pada sevoflurane selama teknik induksi
inhalasi standar. 11 
Sevoflurane digunakan
digunakan dengan aliran gas segar 1 L/menit tampak aman pada anak-
anak. Ketika anestesi darurat adalah lebih cepat dengan sevoflurane dari pada agen yang
lebih larut seperti halothane atau isoflurane. Medikasi yang digunakan mengurangi
masalah agitasi setelah pemberian sevoflurane adalah midazolam, ketorolac, fentanyl,
propofol dan dexmedetomidine. Hati-hati dalam kontrol nyeri adalah indikasi. 11 
Halothane memiliki sejarah panjang yang aman dan efisien sebagai agen inhalasi

untuk anestesi pediatric. Walaupun dapat mensensitasi miokardium pada katekolamin, ada
sedikit masalah pada ketiadaan hiperkarbia atau anestesi ringan. Epinefrin hingga 10
µmg/kg dapat digunakan untuk meminimalisasi risiko disritmia jantung pada pasien
pediatric normokarbia. 11 
Isoflurane dapat menurunkan tekanan darah pada pasien anak, mereduksi tahanan
vascular perifer. Kerugian isoflurane adalah berbau busuk dan insiden tinggi terjadinya
laringospasme ketika diinduksikan. Karena alasan ini, isoflurane seharusnya tidak 
digunakan untuk induksi inhalasi anestesi. 11 

17
 

Desflurane juga aman dan agen efektif untuk dosis pemeliharaan pada anak.
Insiden batuk, meningkatnya sekresi dan laringospasme menghalangi penggunaannya
sebagai agen induksi inhalasi. 11 

Agen intravena

Agen hipnotik sedatif dapat bekerja setelah induksi inhalasi anestesi (secara instan,
memperdalam anestesi untuk manajemen jalan nafas) atau mereka digunakan sebagai
induksi primer dan agen pemeliharaan pada anak yang telah menggunakan intravena.
Tempat intravena dapat membuat lebih mudah untuk membangunkan pasien
menggunakan anestesi topical seperti campuran anestesi lokal, krim lidokain liposomal
topical, atau krim anestetik lokal topical. Sebagai agen inhalasi yang disebutkan
sebelumnya, dosis agen intravena yang digunakan pada bayi dan anak yang mulai berjalan
akan sering membutuhkan peningkatan 25-40 % untuk menyamakan level sedasi pada
anak dibanding dewasa. 11 

Propofol, thiopental, methoxital, etomidate, midazolam dan ketamin telah


digunakan untuk memproduksi anestesi atau sedasi induksi intravena yang efektif pada
bayi dan anak-anak. Propofol adalah yang paling luas digunakan sebagai agen induksi dan
pemeliharaan anestesi atau sedasi pada anak. Induksi propofol dengan dosis 3-4 mg/kg
untuk anak yang lebih muda dari pada 2 tahun kira-kira 2,5-3 mg/kg untuk anak yang
lebih tua. Pemeliharaan anestesi general membutuhkan 200-300 µg/kg/menit. Nyeri pada
injeksi propofol dapat terjadi. Lidokain lebih dahulu atau (dicampur dengan) bolus
propofol dapat bekerja mengurangi nyeri injeksi intravena. Teknik lain untuk mengurangi
rasa tidak nyaman adalah premedikasi fentanyl, ketamine dan inhalasi nitro oksida.

Propofol akan menyebabkan penurunan ringan hingga berat tekanan darah ketika sesuai
dengan dosis rekomendasi. 11 
Walaupun pertama kali dideskripsikan 40 tahun yang lalu, ketamine dilaporkan
meningkat penggunaannya pada anestesi, prosedur sedasi, dan sedasi perawatan intensif 
untuk anak. Ini adalah satu-satunya agen intravena yang memiliki 2 potensi hipnotik dan
analgetik. Aspek unik lain termasuk ketamine memelihara reflex jalan nafas, memelihara
kemudi respirasi, menambah sekresi katekolamin endogenous dan sedikit efek 
bronkodilatasi. Induksi 1 mg/kg intravena efektif dan memiliki onset cepat. Dosis
intramuscular 3-4 mg/kg menghasilkan status sama dengan anestesi signifikan. 11 

Pemberian simultan antikolinergik akan meminimalisasi sekresi oral. Emergensi


dari sedasi ketamin dapat ditandai dengan diplopia, gangguan mimpi, dan mual-muntah

18
 

dimana pada anak-anak lebih sedikit dari pada dewasa. Penggunaan midazolam 0,025
sampai 0,5 mg/kg menurunkan beberapa efek samping. Dosis tunggal ketamine dapat
mengurangi agitasi emergensi setelah anestesi sevoflurane. 11 

Opioid

Opioid adalah elemen penting untuk keseimbangan anestesi dan sedasi pada anak.
Penggunaannya dalam anestesi operasi akan menurunkan MAC agen inhalasi,
hemodinamik yang baik selama manajemen saluran nafas atau prosedur stimulasi dan
pemberian analgesik pasca operasi. Dosis yang biasa digunakan adalah fentanyl 1-5 µ g/kg,
morphine 0,10 mg/kg, sufentanil
sufentanil 1 µ g/kg dan alfentanyl 50-100 µg/kg. Remifentanyl 0,25-
1 µg/kg/menit juga efektif tetapi memiliki usia paruh yang pendek. Opioid dikenal dapat
menekan usaha pusat pernafasan sehingga diperlukan monitor yang ketat. 3,11 

Relaksan otot

Agen relaksan otot depolarisasi seperti succinylcholine dengan dosis 1,5-2 mg/kg
baik untuk intubasi dalam 60 detik. Succinylcholine dapat juga diberikan secara
intramuscular dengan dosis 4 mg/kg saat emergensi ketika akses intravena sulit. Relaksan
ini kontra indikasi absolut pada pasien dengan distropi otot, luka bakar, cedera spinal dan
imobilisasi. 11 
Semua agen relaksan otot nondepolarisasi yang digunakan pada dewasa efektif 
pada anak-anak. Karena mereka punya persentase total cairan tubuh yang lebih banyak,
neonatus dan bayi muda mempunyai distribusi luas untuk obat hidrofilik ini. Kejang otot
harus dimonitor dan agen reversal seperti neostigmin 0,05 mg/kg dengan 0,015 mg/kg
11
atropine atau 0,01 mg/kg glycopirrolate.  

Tabel Aproksimasi ED95 untuk relaksan otot pada bayi dan anak. 3 
Agen Bayi ED95 (mg/kg) Anak-anak ED95 (mg/kg)

Succinylcholine
Succinylcholine 0.7 0.4

Mivacurium 0.15 0.15

Atracurium 0.25 0.35

Cisatracurium 0.05 0.06

19
 

Rocuronium 0.25 0.4

Vecuronium 0.05 0.08

Pancuronium 0.07 0.09

Table: Onset, Durasi, efek kardiovascular, harga, and pertimbangan khusus agen
3
Nondepolarizing Neuromuscular-Blocking pada anak-anak   
SPECIAL
RECOMMENDE DURATIO CARDIOVASCULA CONSIDERATIO
D DOSE(µG/KG) ONSET N R EFFECTS COST NS
Atracurium 500 Intermediat Intermediate Rare hypotension Intermediat Mild erythema
e e common
Cis- 80 – 200
200 Slow- Intermediate Absent Inexpensive
atracurium intermediat – long
long -
e intermediat
e
Mivacurium 250 – 400
400 Intermediat Short Rare hypotension Intermediat Mild erythema
e e common
Pancuroniu 100 Intermediat Intermediate Tachycardia, InexpensiveEffect
Inexpensive Effect prolonged in
m e  – long
long occasional renal failure
hypertension
Rocuroniu 500 – 1,200
1,200 Rapid Intermediate Slight increase in Intermediat Deltoid injection
m heart rate e facilitates tracheal
intubation
Vecuroniu 100 – 400
400 Intermediat Intermediate Absent Intermediat
m e (rapid (long with e
with large doses >150
doses) µg/kg)

Peralatan jalan nafas untuk pasien pediatrik 3 

Tabel. Peralatan jalan nafas untuk pasien pediatric  


Prematur Neonatus Bayi Bayi Anak Anak
muda kecil muda
Umur 0 – 1 bulan 0 – 1 bulan 1 – 12
12 1 – 3 3 – 8 8 – 12
12 tahun
bulan tahun tahun

Berat badan (kg) 0.5 – 3 3 – 5 4 – 10


10 8 – 16
16 14 – 30
30 25 – 50
50

Tracheal (ET)tube (mm 2.5 – 3 3 – 3.5


3.5 3.5 – 4 4 – 4.5
4.5 4.5 – 5.5
5.5 5.5 – 6
i.d.) (cuffed)

kedalaman ET (cm 6 – 9 9 – 10


10 10 – 12
12 12 – 14
14 14 – 16
16 16 – 18
18
pada bibir)

Kateter isap (F) 6 6 8 8 10 12

20
 

Laryngoscope blade 00 0 1 1.5 2 3

Ukuran Masker 00 0 0 1 2 3

Oral airway 000 – 00


00 00 0 (40 1 (50 2 (70 3 (80 mm)
mm) mm) mm)

Laryngeal mask airway  —  1 1 2 2.5 3


(LMA)

ET, endotracheal tube.

Diameter endotrakeal tube dapat disesuaikan dengan formula : 3 


4 + umur/4 = diameter tube (mm)
Panjang endotrakeal dapat dirumuskan dengan formula :
12 + umur/2 = panjang tube (cm)

Manajemen komplikasi pasca operatif 


Laringospasmee dapat diatasi dengan ventilasi tekanan positif, maneuver  jaw thrust,
Laringospasm
lidokain intravena (1-1,5 mg/kg), atau paralisis dengan suksinilkolin intravena (0,5-1
mg/kg) atau rokuronium (0,4 mg/kg) dan control ventilasi. Croup (batuk disertai sesak)
akibar edema trakeal atau glottis pasca ekstubasi diatas dengan dexametason intravena
(0,25-0,5 mg/kg) dapat mencegah edema. Inhalasi epinefrin nebulizer (0,25-0,5 ml dari
2,25 % larutan dalam 2,5 ml normal salin) adalah terapi efektif. 3 
Untuk penatalaksanaan nyeri pasca operatif biasa digunakan adalah parenteral
opioid seperti fentanyl 1-2 µg, morpin 0,05-0,1 mg/kg, hydromorphone 0,015 mg/kg dan
meperidine 0,5 mg/kg. ketorolac secara signifikan menurunkan kebutuhan opioid.
Acetaminophen rectal (40 mg/kg) juga membantu. 3 

21
 

BAB 3
LAPORAN KASUS

ANAMNESA PRIBADI
Nama :S

Umur : 7 Tahun
No MR : 49.53.62
Alamat : Jl. Bunga Sakura Lingkungan
Lingkungan I, Desa Tanjung Selamat, Medan
Datang tanggal : 08 Desember 2011
Pukul : 13.30 WIB

ANAMNESA PENYAKIT
Keluhan Utama : Nyeri pada seluruh lapangan perut
Telaah : Hal ini dialami pasien sejak ± 1 mgg sebelum masuk RSHAM.

Awalnya nyeri dirasakan di perut kanan bawah sejak ± 2 mgg yang lalu kemudian
menyebar ke seluruh lapangan perut. Riw. perut kembung (+) sejak ± 2 mgg yang lalu dan
berkurang sejak ± 1 mgg ini. Demam (+) sejak ± 2 mgg yang lalu, demam bersifat naik 
turun, demam turun dengan obat penurun panas. Mual (+), muntah (+) sejak ± 2 mgg yang
lalu, isi apa yang dimakan dan diminum, frek. ± 5x/hari. Badan lemas (+) sejak ± 2 mgg
yang lalu dan pasien hanya
hanya bisa berbaring tidur. Sejak ± 4 hari yang lalu muntah be
berwarna
rwarna
kehijauan.
RPT :-
RPO :-

TIME SEQUENCES
08/12/2011
Masuk RS HAM, IGD, pukul 13.30 Wib 

08/12/2011, pukul 23.00 Wib


Pasien konsul anastesi untuk dilakukan operasi

ACC operasi dari anastesi pukul 23.15 WIB

09/12/2011,
Dilakukan pukul
operasi 01.00 Wib
laparotomi eksplorasi

22
 

PEMERIKSAAN FISIK
STATUS LOKALISATA
Kepala : Tidak dijumpai kelainan
Thorax :
Inspeksi : Simetris kanan = kiri

Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri


Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : SP : vesikuler, ST : (-)
Abdomen :
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Soepel, nyeri tekan pada seluruh lapangan perut (+)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Peristaltik (-)
Genitalia : Tidak dijumpai kelainan

Ekstremitas :
Superior : Tidak dijumpai kelainan
Inferior : Tidak dijumpai kelainan

Hasil Direct Rectal Examination :


Perineum biasa, spinkter ani ketat, nyeri dise
diseluruh
luruh arah jarum jam, ampula recti kosong,
kosong,
pada sarung tangan tidak dijumpai adanya feces, darah maupun lendir.

Diagnosa sementara :

Peritonitis d/t suspek Appendix


Appendix Perforasi

Rencana :
- Darah rutin
- Fungsi hati
- Fungsi ginjal
- Elektrolit
- HST
- KGD Ad Random

- Foto Rontgen thoraks PA erect


- Foto Rontgen abdomen supine dan erect 
erect 

23
 

PEMERIKSAAN FISIK DI IGD TANGGAL 08/12/2011 PKL 19.30 WIB

B1 : Airway clear, RR: 28 x/i, SP: vesikuler kanan=kiri,


kanan=kiri, ST: -/-

B2 : Akral : H/M/K, TD: 90/60 mmHg, HR: 120 x/i, reguler, t/v kuat/cukup,
temperatur 38C

B3 : Sens CM, pupil bulat isokor, ø 3mm, RC: +/+

B4 : UOP (+), vol. 25 cc/jam, warna kuning jernih

B5 : Abdomen soepel, peristaltik (-), mual (+), muntah (-), NGT (+), warna hijau

B6 : Oedem (-). Fraktur (-)

PEMERIKSAAN FISIK DI IGD TANGGAL 08/12/2011 PKL 23.00 WIB 

B1 : Airway clear, RR: 30 x/i, SP: vesikuler kanan=kiri,


kanan=kiri, ST: -/-

B2 : Akral : H/M/K, TD: 120/80 mmHg, HR: 120 x/i, reguler, t/v kuat/cukup,

temperature 38,6C

B3 : Sens CM, pupil bulat isokor, ø 3mm, RC: +/+

B4 : UOP (+), vol. 45 cc/jam, warna kuning jernih

B5 : Abdomen soepel, peristaltik (-), mual (+), muntah (-), NGT (+), warna hijau

B6 : Oedem (-). Fraktur (-)

PENANGANAN DI IGD TANGGAL 08/12/2011 PKL 23.00 WIB


WI B 

  Rawat stabilisasi 

  O2 1 L/i 

  NGT terpasang 

  Kateter terpasang 

  Pasien digolongkan Dehidrasi


 Dehidrasi Sedang (defisit 8% BB)
Defisit = 8% x 21.000 gr = 1680 cc
Rehidrasi lambat :

8 jam I : 840 + (2x21x8) = 1176 cc/8 jam  49 gtt/i makro

24
 

16 jam II : 840 + (2x21x16) = 1512 cc  31 gtt/i makro


   Evaluasi hemodinamik, produksi urine dan temperatur
   Demam  beri Inj. Novalgin 200 mg/iv  pkl. 23.15 WIB

PEMERIKSAAN LABORATORIUM (08/12/2011)

•   Hb : 10.5 g%
•   Ht : 30.3 %
3
•   Leukosit : 13.860 mm  
• 3
  Trombosit : 484.000 mm
•   PT/APTT/TT/INR : 15,6(14,4)/31,9(35,5)/15(13,8)/1,28
15,6(14,4)/31,9(35,5)/15(13,8)/1,28
•   Na/K/Cl : 132/3,9/107
•   KGD ad random : 68,7 mg/dl
•   SGOT : 45 U/L
•   SGPT : 58 U/L
•   Albumin : 2,3 mg/dl
•   Ureum : 24 mg/dl
•   Creatinin : 0,23 mg/dl

Pkl. 18.00 WIB  KGD ad random= 96 mg/dl

Pkl. 22.00 WIB  KGD ad random = 151 mg/dl

PEMERIKSAAN RADIOLOGI (08/12/2011)

FOTO TORAKS

25
 

FOTO POLOS ABDOMEN

Dilakukan Laparotomi Emergency tanggal 24 Agustus 2011, pukul 22.30 WIB


Jenis tindakan : Laparotomi
PS ASA : 2E
Anestesi : GA-ETT
Posisi : Supine
Teknik Anestesi:
  Tilt test  negatif 
  Head up 30°
  Suction aktif  keluar cairan warna coklat ± 20 cc  cabut NGT
  Preoksigenasi 8 L/i
  Premedikasi : fentanil 50 mcg
  Induksi propofol 30 mg, sellick manuver (+)
  Inj. Rocuronium 20 mg  RSI  insersi ETT no. 5,5  cuff (+)  SP ka=ki  

fiksasi
  Maintenance :
o   O2 : N2O = 2L/i : 2L/i
o   Isoflurane 1-2%
o   Rocuronium 4 mg/20 menit
o   Fentanil 20 mcg/jam

26
 

o  Ketamin 3mg/kg/jam
o  Cairan masuk pre operatif : 634 cc
Durante op 5 jam 45 menit:
- TD : 98-110/60-70 mmHg
- HR : 90-115x/i

- SpO2 : 99-100 %

Input cairan
Pre op → HES 6% 200 cc
Durante op → RL 500 cc, HES 300 cc, PRC 100 cc
Output cairan
Perdarahan :
-  Suction : 80 cc
-  Kasa basah : 15 cc
-  Kasa ½ basah : 5 cc
100 cc
Maintenance + Penguapan : (4x10)
(4x10) + (2x10) + (1x1) + (8x21) = 229 cc/jam
UOP : pre op : 200 cc
durante op : 300 cc

Diagnosa Post Op

Post Eksplorasi Laparotomi d/t Peritonitis d/t Appendix Perforasi

27
 

Terapi Post Op :
- Puasa hingga peristaltik (+) 
- Bedrest head up 30° 
- O2 2 lpm 
- IVFD RL 27 gtt/i (makro)

- Inj. Ketorolac 15 mg/IV/8 jam 


- Inj. Ceftriaxone 500 mg/IV/8 jam (Bedah) 
- Inj. Novalgin 200 mg/IV/8 jam (Bedah) 

Follow Up 09/12/2011 (HCU)


S: -
O:

B1 : Airway clear, RR 18 x/i, SP vesikuler , ST (-), SpO2 98-100%


B2 : Akral H/M/K, TD 124/62 mmHg,
mmHg, HR 68 x/i, reguler, t/v kuat/cukup.
kuat/cukup. Temp.
Temp. 36,5 
B3 : Sens : CM, pupil bulat
bulat isokor, ø 3mm, RC: +/+
+/+
B4 : UOP (+), vol.
vol. 65 cc/jam, warna kuning jernih
B5 : Abdomen soepel, peristaltik (+) lemah, mual (-), muntah (-). LO tertutup verband.
Drain (+) di abdomen sebelah kanan, warna serous hemorrhage, kesan tidak aktif 
B6 : Oedem (-)

A: Post operasi eksplorasi laparotomi d/t peritonitis d/t appendix perforasi


P:

- O2 2L/i nasal canule


- Bed rest, head up 30 
- Puasa hingga peristaltik (+)
- IVFD RL 28 gtt/I (lanjutan
(lanjutan rehidrasi lambat
lambat 8 jam I)
I)
- Inj. Fentanil 100 mcg + NaCl 0,9% 50 cc  3 cc/jam/SP
- Inj. Ceftriaxone 1gr/12 jam/iv
- Inj. Metronidazole
Metronidazole 1000 mg/24 jam/iv
- Inj. Vit. C 100 mg/12 jam/iv

28
 

BAB 4
PEMBAHASAN

Gejala awal yang khas yang merupakan gejala klasik apendisitis adalah nyeri di
daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau periumbilikus dapat disertai dengan rasa

mual, bahkan terkadang muntah. Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan beralih ke
kuadran kanan bawah, ke titik McBurney. Di titik ini nyeri terasa lebih tajam dan jelas
letaknya, sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Pada pasien ini awalnya nyeri
dirasakan pada daerah kuadran kanan bawah perutnya. Mual dan muntah juga dialami oleh
pasien sebelumnya.
Gejala apendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit dilakukan
diagnosis, dan akibatnya apendisitis tidak ditangani tepat pada waktunya, sehingga
biasanya baru diketahui setelah terjadi perforasi. Pada anak-anak gejala awalnya sering
hanya menangis dan tidak mau makan. Seringkali anak tidak bisa menjelaskan rasa

nyerinya. Karena ketidakjelasan gejala ini, sering apendisitis diketahui setelah perforasi.
Pada pasien dengan peritonitis dapat dijumpai  temuan lokal yaitu nyeri perut, nyeri
tekan, rigiditas, distensi, udara bebas peritoneal, dan berkurangnya peristaltik (tanda yang
menunjukkan iritasi peritoneum parietal dan mengakibatkan ileus). Temuan sistemik 
diantaranya demam, menggigil, takikardi, berkeringat, takipnu, dehidrasi, oliguri,
disorientasi, dan bisa saja syok refraktori . Pada pasien ini dijumpai   nyeri yang menyebar
ke seluruh lapangan perut. Pada pemeriksaan fisik dijumpai nyeri tekan pada seluruh
abdomen dan peristaltik tidak dijumpai.
Pada pasien ini dilakukan pemilihan teknik anestesi GA ETT dimana pada anak-

anak sering tidak fokus dan tidak tenang, sehingga anestesi regional kurang tepat
dilakukan. GA TIVA dapat menjadi pilihan dalam teknik anestesi untuk pasien ini, namun
pada pasien ini dibutuhkan waktu operasi yang sedikit lebih lama sehingga penggunaan
GA ETT lebih baik dari GA TIVA.

29
 

BAB 5
KESIMPULAN

Apendisitis merupakan suatu inflamasi pada apendiks dan merupakan suatu


keadaan gawat darurat medik, dan jika dibiarkan tanpa diobati, apendiks akan ruptur dan

menyebabkan infeksi yang fatal.


menyebabkan
Diagnosa apendisitis pada kelompok usia muda biasanya sangat sulit dilakukan
mengingat penderita usia muda sulit melukiskan perasaan sakit yang dialaminya, sehingga
kejadian apendisitis pada usia muda lebih sering diketahui setelah terjadi perforasi dan
menyebabkan
menyebabkan peritonitis.
Faktor yang mempengaruhi keparahan peritonitis antara lain: tipe kontaminasi
bakteri atau jamur, sifat dan durasi dari proses tersebut, dan status nutrisi serta imunitas
host . Tingkat keparahan peritonitis bervariasi sesuai dengan penyebabnya. Kontaminasi
yang tergolong bersih (misalnya perforasi usus proksimal) atau yang terlokalisasi

(misalnya ruptur apendiks) akan berkembang menjadi peritonitis yang parah dalam waktu
(12 – 24
yang relatif lambat (12 –  24 jam).
Manajemen operatif dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu dengan
mengontrol sepsis (pada saat pembedahan, dikeluarkan semua bagian yang terkontaminasi
dan bagian yang nekrotik),  peritoneal lavage (dilakukan lavage dengan cairan kristaloid
hangat sebanyak
sebanyak >3 L untuk membuang
membuang semua partikel yang kotor
kotor seperti darah, bekuan
fibrin, dan bakteri-bakteri), dan drainase peritoneal (diindikasikan pada fokal infeksi atau
pada kasus fistula dimana kontaminasi berkelanjutan dapat terjadi).

30
 

DAFTAR PUSTAKA

1.  Encyclopediao
EncyclopediaofChildren'sHealth
fChildren'sHealth
Available at:http://www.healthofchildren.com/A/Appendicitis.html)
at:http://www.healthofchildren.com/A/Appendicitis.html)..
2.  (Pediatric Appendicitis Author: Robert K Minkes, MD, PhD; Chief Editor: Carmen

Cuffari, MD.
Available at: http://emedicine.medscape.com/article/926
http://emedicine.medscape.com/article/926795-overview#a015
795-overview#a0156)
6)..
3.  Morgan, G.E., Michail M.S., Pediatric Anesthesia. In : Morgan, G.E. Clinical
Anesthesiology.. 4 th Ed. 2006. New York : Mc Graw hills, Inc.
Anesthesiology
4.  Rai R., et al. Appendicitis in Children: Benefits of Early Laparoscopic Surgery. Ann
Acad Med Singapore 2007;36:277-80.
Available at: http://www.annals.edu.sg/pdf/36VolNo4A
http://www.annals.edu.sg/pdf/36VolNo4Apr2007/V36N4p277
pr2007/V36N4p277
5.  Sjamsuhidajat, R., Jong, W.D., editor., ―Usus Halus, Apendiks, Kolon, Dan
Anorektum‖, dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. EGC, Jakarta, 2005,hlm.639-645.

6.  Craig S., et al. Appendicitis. Emedicine-Medscape. Available at :


http://emedicine.medscape.com/article
http://emedicine.medscape.com/article/773895-overview#a
/773895-overview#aw2aab6b2b2a
w2aab6b2b2aaa
7.  Zeller, J.L., Burke, A.E., Glass, R.M., ‖Acute Appendicitis in Children‖,  JAMA, 15
Juli 2007, 298(4): 482.
Available at: http://jama.ama-assn.org/cgi/reprint/298/4/482, 
http://jama.ama-assn.org/cgi/reprint/298/4/482, 
8.  Doherty, G.M. Peritoneal Cavity. In : Current Diagnosis and Treatment Surgery. 3 rd
Ed. 2010. USA : Mc Graw Hill. 464-468.
9.  Berhman, A, Kliegman.  Deficit Therapy. In : Nelson Textbook of Pediatric. 17 th Ed.
2004. USA : Saunders, an Imprient of Elsevier.

10. Siegel, N.J., Fluid, Electrolit, and Acid Base. In : Rudolf Pediatric. 21 St. Ed. 2006.
USA : Mc Graw Hill companies.
11. Cravard, J.P., Pediatric Anesthesia. In: Barash, P. G., Cullen, B. F., Stoelting, R. K.,
Cahalan, M. K., Stock, M. C., Clinical Anesthesia 7th Edition. 2009 Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.

31

Anda mungkin juga menyukai