Anda di halaman 1dari 11

TUGAS BIOFARMASETIKA

CONTOH OBAT KELAS II DAN KELAS III

BIOPHARMACEUTICAL CLASSIFICATION SYSTEM

GLIBENKLAMID DAN ASICLOVIR

Disusun oleh :

Arinda Nur Cahyani 1408010080

Intan Robiatul Amalia 1408010145

Kelas VI B

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO

2017
BAB I
PENDAHULUAN

A. Definisi BCS (Biopharmaceutical Classification System)


BCS (Biopharmaceutical Classification System) atau sistem klasifikasi
biofarmasetika adalah suatu model eksperimental yang mengukur permeabilitas dan
kelarutan suatu zat dalam kondisi tertentu. Sistem ini dibuat untuk pemberian obat
secara oral. Untuk melewati studi bioekivalen secara in vivo, suatu obat harus
memenuhi persyaratan kelarutan dan permeabilitas yang tinggi (Bethlehem, 2011).
Bioavaibilitas obat merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan
untuk menilai efektifitas suatu sediaan farmasi. Kecepatan disolusi dan waktu tinggal
obat dalam saluran cerna merupakan faktor yang dapat mempengaruhi bioavaibilitas.
Sistem dispersi padat dan sistem penghantaran obat mukoadhesif merupakan salah
satu cara yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan kecepatan disolusi dan
waktu tinggal obat dalam saluran cerna (Sutriyo dkk., 2007).

B. Tujuan dan Konsep BCS


Tujuan dari BCS adalah (Reddy dkk., 2011) :
a. Untuk meningkatkan efisiensi pengembangan obat dan proses peninjauan dengan
merekomendasikan strategi untuk mengidentifikasi uji bioekivalensi.
b. Untuk merekomendasikan kelas pelepasan cepat dari bentuk sediaan padat oral
yang secara bioekivalensi dapat dinilai berdasarkan uji disolusi in vitro.
c. Untuk merekomendasikan suatu metode untuk klasifikasi yang sesuai dengan
disolusi bentuk sediaan dengan karakteristik kelarutan dan permeabilitas produk
obat.

C. Klasifikasi BCS
BCS (Biopharmaceutical Classification System) atau sistem klasifikasi biofarmasetika
diklasifikasikan menjadi empat kelas, diantaranya adalah :
1. Kelas I (Permeabilitas tinggi, Kelarutan tinggi)
Misalnya Metoprolol, Diltiazem, Verapamil, Propranolol. Obat kelas I
menunjukkan penyerapan yang tinggi dan disolusi yang tinggi. Senyawa ini
umumnya sangat baik diserap. Senyawa Kelas I diformulasikan sebagai produk
dengan pelepasan segera, laju disolusi umumnya melebihi pengosongan lambung.
Oleh karena itu, hampir 100% penyerapan dapat diharapkan jika setidaknya 85%
dari produk larut dalam 30 menit dalam pengujian disolusi in vitro dalam berbagai
nilai pH, oleh karena itu data bioekivalensi in vivo tidak diperlukan untuk
menjamin perbandingan produk (Wagh dkk., 2010).

2. Kelas II (Permeabilitas tinggi, Kelarutan rendah)


Misalnya Fenitoin, Danazol, Ketokonazol, asam mefenamat, Nifedipine.
Obat kelas II memiliki daya serap yang tinggi tetapi laju disolusi rendah. Dalam
disolusi obat secara in vivo maka tingkat penyerapan terbatas kecuali dalam
jumlah dosis yang sangat tinggi. Penyerapan obat untuk kelas II biasanya lebih
lambat daripada kelas I dan terjadi selama jangka waktu yang lama. Korelasi in
vitro-in vivo (IVIVC) biasanya diterima untuk obat kelas I dan kelas II.
Bioavailabilitas produk ini dibatasi oleh tingkat pelarutnya. Oleh karena itu,
korelasi antara bioavailabilitas in vivo dan in vitro dalam solvasi dapat diamati
(Reddy dkk., 2011).

3. Kelas III (Permeabilitas rendah, Kelarutan tinggi)


Misalnya Simetidin, Acyclovir, Neomycin B, Captopril. Permeabilitas
obat berpengaruh pada tingkat penyerapan obat, namun obat ini mempunyai laju
disolusi sangat cepat. Obat ini menunjukkan variasi yang tinggi dalam tingkat
penyerapan obat. Karena pelarutan yang cepat, variasi ini disebabkan perubahan
permeabilitas membran fisiologi dan bukan faktor bentuk sediaan tersebut. Jika
formulasi tidak mengubah permeabilitas atau waktu durasi pencernaan, maka
kriteria kelas I dapat diterapkan (Reddy dkk., 2011).

4. Kelas IV (Permeabilitas rendah, Kelarutan rendah)


Senyawa ini memiliki bioavailabilitas yang buruk. Biasanya mereka
tidak diserap dengan baik dalam mukosa usus. Senyawa ini tidak hanya sulit
untuk terdisolusi tetapi sekali didisolusi, sering menunjukkan permeabilitas
yang terbatas di mukosa GI. Obat ini cenderung sangat sulit untuk
diformulasikan (Wagh dkk., 2010).
BAB II
PEMBAHASAN

A. Glibenklamid
1. Formulasi tablet liquisolid glibenklamid

Bahan Jumlah (mg)


Glibenklamid 5
PEG 400 5
Laktosa 307
Aerosil 12
Avicel PH-102 200
SSG 17,5
Mg Stearat 3,5

2. Monografi Bahan
a. Glibenklamid
Pemerian : Serbuk hablur putih atau hamper putih, tidak berbau atau
hamper tidak berbau. Kelarutannya tidak larut dalam air, agar sukar larut
dalam metilen klorida, sukar larut dalam etanol dan methanol (Dirjen
POM,2014).
Kelarutan : Memiliki kelarutan yang rendah dalam air dan glibenklamid
termasuk salah satu obat yang masuk dalam golongan Sistem Klasifikasi
Biofarmasetika (BSC) yang memiliki kelarutan yang rendah dalam air dan
memiliki permeabilitas yang tinggi. Berikut struktur dari glibenklamid :


Farmakokinetika Glibenklamid : Glibenclamide Terikat protein 90% -
100%. Onset dari Glibenclamide yaitu 3jam. Sedangkan waktu paruh
Glibenclamide yaitu 1.5 4 Jam. Untuk durasi aksi Glibenclamide selama
24 jam. Glibenclamide dimetabolisme diHati menjadi metabolit aktif. Dan
Rute eliminasi / eksresi Glibenclamide yaitu melalui Feses dan Setengannya
dieksresikan melalui Urin.

b. PEG 400
Pemerian : Cairan kental jernih, tidak berwarna, bau khas lemah, sedikit
higroskopis.
Kelarutan : PEG 400 dapat larut dalam air, etanol (95%), aseton, glikol
dan hidrokarbon aromatic, praktis tidak larut dalam eter, dan dalam
hidrokarbon alifatik. PEG 400 merupakan pelarut non-volatile yang
digunakan dalam pembuatan tablet liquisolid (Kulkarni et al,.2010).
Alasan penggunakan PEG 400 karena glibenklamid memiliki kelarutam
dalam PEG 400 sebesar 15 mg/ml selain itu PEG 400 memiliki sifat yang
stabil, mudah bercampur dengan komponen-komponen lain, tidak iritatif
dan efektif dalam rentang pH yang lebar.

c. Laktosa
Pemerian : serbuk putih, mengalir bebas. Nama lainnya adalah 4-O-beta-
D-Galaktopiranosil-D-Glukosa.
Kelarutan : Laktosa mudah larut dalam air secara perlahan-lahan,praktis
tidak larut dalam etanol.
Alasan penggunaan Laktosa yaitu karena memiliki stabilitas yang baik dan
merupakan zat yang dapat memberikan pelepasan dan laju disolusi zat aktif
dengan baik sehingga laktosa digunakan dalam formulasi ini. Selain itu juga
laktosa adalah salah satu jenis carrier material yang termasuk golongan
sakarida. Formulasi dengan laktosa biasanya menunjukkan kecepatan
pelepasan zat aktif dengan baik, mudah dikeringkan, harganya murah dan
tidak peka terhadap variasi moderat dalam kekerasan tablet pada
pengempaan.
d. Aerosil
Pemerian : Bahan berbentuk serbuk keputih-putihan, ringan, tidak berbau,
dan tidak berasa.
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam pelarut organik, air danasam kecuali
asam hidrofluorat.
Pemilihan Aerosil digunakan dalam formulasi ini berfungsi sebagai glidant
pada konsentrasi 0,1-0,5 %.

e. Avicel PH 102
Pemerian : Serbuk putih, tidak berbau, tidak berasa.
Kelarutan : Larut dalam 5% b/v larutan NaOH, praktis tidak larut dalam
air, larutan asam, dan sebagian pelarut organic.
Avicel digunakan sebagi pengikat dan juga meliliki kompresibilitas dan
sifat alir yang baik dan dapat meningkatkan waktu hancur.

f. Sodium Starch Glycolate (SSG)


Pemerian : Serbuk putih, tidak berbau, tidak berasa dan mudah mengalir.
Kelarutan : Larut dalam sebagian etanol 95% dan praktis tidak larut dalam
air.
SSG dalam formulasi tablet liquisolid sebagai superdisintegran.

g. Magnesium Stearat
Pemerian : Serbuk halus, putih, voluminous, bau lemah khas.
Kelarutan : Mg Stearat tidak larut dalam air, dalam etanol, dan dalam eter.
Mg sterat digunakan sebagi pelican (lubrikan ) pada konsentrasi 0,25-5%.

3. Cara Pembuatan sediaan tablet liquisolid


a. Semua bahan ditimbang sesuai formula dan sebelumnya laktosa dikeringkan
dengan oven pada sushu 600C selama 10 menit
b. Glibenklamid dan PEG 400 dimasukkan dalam mortar dan aduk hingga rata dan
membentuk suspensi
c. Campuran tersebut (suspense) diserap dengan laktosa yang sudah dikeringkan
dan diaduk hingga terbentuk masa serbuk.
d. Tambahkan aerosil dan dimasukkan kedalam cube mixer, dicampr selama 15
menit dengan kecepatan 20 rpm.
e. Masa serbuk dikeluarkan dari cube mixer , dan diayak dengan pengayakan mesh
16
f. Masa serbuk yang telah diayak dimasukkan dalam cube mixer
g. Tambahkan avicel PH 102, SSG dan Mg stearat yang sudah ditimbang dan
dicampu dalam cube mixer selama 15 menit dengan kecepatab 20 rpm
h. Keluarkan masa serbuk dari cube mixer dan diayak dengan pengayakan mesh
16
i. Masa serbuk diuji homogenitas dan sifat alir
j. Kempa tablet

4. Alasan bentuk sediaan Liquisolid


Liquisolid adalah metode pembuatan tablet yang digunakan untuk
meningkatkan kelarutan obat yang sukar larut atau tidak larut dalam air sehingga
berpengaruh pada kecepatan disolusi. Karena zat aktif ini yaitu glibenklamid
memiliki kelarutan yang rendah dalam air dan memiliki permeabilitas yang tinggi
sehingga dilakukan modifikasi liquisolid. Metode ini memiliki komponen utama
yaitu carrier material dimana sangat mempengaruhi sifat fisik dan kecepatan disolusi
tablet. Bahan pelarut yang digunakan pada formula ini adalah PEG 400 dimana ini
dapat meningkatkan kelarutan obat yang sukar larut, mempercepat waktu hancur
karena bbersifat larut dalam air, dan bersifat stabil.
B. Aciclovyr
1. Formulasi Nanokapsul Aciclovyr
Nama Bahan Jumlah (ml)
Kitosan 114
Na. Alginat 38
Asiklovir 125
Na. Tripolifosfat 23
Tween 80 5

(Ismail dkk, 2014)

2. Monografi Bahan
a. Kitosan
Pemerian : serbuk atau serpihan berwarna putih atayu krem dan
tidak berbau. Larutan kitosan dengan pH 1% dalam air berkisar 4,0-6,0.
Kelarutan : agak sukar larut dalam air; praktis tidak larut dalam
etanol 95%, pelrut organik lain, dan pelarut netral atau basa pada pH 6,5.
Kitosan larut dengan mudah pada hampir semua asam organik encer
maupun pekat dan sampai jumlah tertentu dalam asam netral anorganik
(kecuali asam fosfor dan asam sulfat).
(Rowe et all, 2009)
Alasan : sebagai agen penyalut yang sangat baik.
b. Na. Alginat
Pemerian : serbuk putih atau kuningan-coklat pucat, tidak berbau
dan tidak berasa.
Kelarutan : praktis tidak larut dalam etanol (95), eter, kloroform,
dan etanol lebih dari 30%. Selain itu praktis tidak larut dalam pelarut
organik lain dan larutan asam encer dimana pH kurang dari 3. Larut
perlahan dalam air yang membentuk larutan koloidal lengket.
Alasan :

c. Asiklovir
Pemerian : serbuk hablur putih hingga hampir putih; melebur
pada suhu lebih dari 250o disertai peruraian.
Kelarutan : larut dalam asam klorida 0,1 N; agak sukar larut dalam
air; rtidak larut dalam etanol.

d. Na. Tripolifosfat
Pemerian : padatan atau serbuk hablur putih; tidak berbau
Kelarutan : tidak larut dalam etanil dan aseton; larut dalam
gliserol, dimetilformamida; mudah larut dalam air.
Alasan : sebagai pembentuk ikatan silang ionik dan sebagai zat
pengikat silang yang paling baik.

e. Tween 80
Pemerian : cairan seperti minyak berwarna putih bening atau
kekunngan; sedikit berasa seperti basa; bau khas.
Kelarutan : larut dalam etanol dan air; tidak larut dalam minyak
mineral dan nabati.
Fungsi : sebagai surfaktan

3. Cara pembuatan nanopartikel :


a. Melarutkan 114 ml kitosan dalam asam asetat 1% dalam labu erlenmayer
b. Menambahkan 38 ml alginat dan diaduk dengan homogenizer
c. Setelah homogen ditambahkan 125 ml Asiklovir 0,85 (b/v) dan 23 ml
natrium tripolifosfat 5% (b/v) lalu homogenkan
d. Menambahkan sedikit demisedikit tween-80 3% (b/v) sebanyak 5 mll
e. Disinikasi menggunakan sonikator
f. Disentrifugasi selama 60 menit dengan kecepatan 5.000 rpm hingga terpisah
antara residu dan supernata.
g. Residu yang didapatkan kemudian dikeringkan sehinga diperoleh sampel
dalam bentuk serbuk.
(Ismail dkk, 2014)
4. Alasan bentuk sediaan Nanokapsul/ nanopartikel
Nanopartikel sebagi sistem penghantar obat telah dilaporkan dapat
meningkatkan khasiat obat, bioavailabilitas, mengurangi toksisitas dan
meningkatkan kepatuhan pasien dengan menargetkan sel-sel dan jaringan untuk
menghasilkan tindakan farmakologis yang diinginkan (Kaur et al, 2011, 3: 1227).
DAFTAR PUSTAKA

Adi,Yudha Prabowo.2015. Formulasi Sediaan Tablet Liquisolid Glibenklamid dengan


pelarut PEG 400 dan Laktosa Sebagai Carrier Material.Skripsi.5,19-23.
Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan RI.2014,.Farmakope Indonesia jilid V.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.Jakart app 753.1523-1526.
Ismail. Isriany, Harsini, Surya Ningsi., 2014., Formulasi dan Karakteristik Nanokapsul
Asiklovir Tersalut Kitosan-Alginat yang Dipaut Silang dengan Natrium
Tripolifosfat., JK FIK UNINAM Vol. 2 No. 4 : Makasar.
Katzung, B.G., 1997, Farmakologi Dasar dan Klinik, diterjemahkan oleh Agoes A.et al.,
Farmakologi Fakultas Kedokteran UNSRI, Edisi VI 673 678, Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.
Kaur, Simar Preet; Rekha Rao; afzal Hussain; Sarita Khatkar. Preparation and
Characterization of Rivastigmine Loaded Chitosan Nanoparticles. Jourbal of
Pharmaceutical Science and Research 3, no. 5 (2011); hal 1227-1232.
Mutschler, E., 1999, Dinamika Obat, diterjemahkan oleh Mathilda B.Widianto dan Anna
Setiadi Ranti, Edisi V, 349-350, Penerbit ITB, Bandung.
Rowe, Raymond C. et al. 2009. Handbook of Pharmaceutical Excipients Sixth Edition.
Published by the Pharmaceutical Press.

Anda mungkin juga menyukai