Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

BIOVABILITAS DAN BIOEKUIVALENSI

Oleh:
NAMA : RUDIANSYAH
NIM : I40411610027

FAKULTAS KEDOKTERAN PROFESI APOTEKER


UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2016

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Obat memiliki peran yang sangat penting bagi kesehatan. Penanganan dan

pencegahan berbagai penyakit tidak dapat dilepaskan dari tindakan terapi dari

obat. Berbagai pemilihan obat saat ini tersedia sehingga diperlukan pertimbangan

yang sangat cermat dalam memilih obat untuk kasus penyakit. Badan Pengawas

Obat dan Makanan berkewajiban untuk menilai semua produk obat sebelum

dipasarkan, memberikan izin pemasaran, dan selanjutnya melakukan pengawasan

terhadap produk obat tersebut setelah dipasarkan untuk memberikan jaminan

kepada masyarakat bahwa produk obat tersebut memenuhi standar efikasi,

keamanan dan mutu yang dibutuhkan (Anonim, 2004).

Studi bioavailabilitas berguna dalam menetapkan produk obat dalam

kaitan pengaruhnya terhadap farmakokinetik obat, sedangkan studi bioekuivalensi

berguna dalam membandingkan bioavailabilitas suatuobat dari berbagai produk

obat. Apabila produk-produk obat dinyatakan bioekuivalen, maka efikasi dari

produkproduk obat ini dianggap sama (Shargel, L dan Andrew, B.C, 1998:170).

Ketersediaan hayati dilakukan baik terhadap bahan aktif yang telah disetujui

maupun obat dengan efek terapetik yang belum disetujui oleh FDA (Food Drug

Association) untuk dipasarkan. FDA dalam menyetujui suatu produk obat untuk

dipasarkan harus yakin bahwa produk obat tersebut aman dan efektif sesuai label

2
indikasi penngunaannya. Produk obat harus memenuhi seluruh standar yang

digunakan dalam identitas, kekuatan, kualitas, dan kemurnian (Syukri, Y.

2002:50-51).

Ketersediaan hayati zat aktif suatu obat timbul sejak adanya

ketidaksetaraan terapetik diantara sediaan bermerk dagang yang mengandung zat

aktif yang sama dan dibuat dalam bentuk sediaan farmasetik yang serupa, serta

diberikan dengan dosis yang sama. Berbagai kejadian (zat aktif menjadi tidak

aktif atau menjadi toksik) dapat merupakan sebab ketidaksetaraan tersebut.

(Syukri, Y. 2002:43). Oleh karena itu perlu dilakukan uji bioavailabilitas dan

bioekuivalensi untuk menjamin mutu, efikasi, dan keamanan dari obat-obat copy

yang telah beredar untuk dibandingkan dengan obat inovator. Uji ketersediaan

hayati perlu dilakukan pada suatu obat dengan alasan-alasan sebagai berikut

1. Sebagian besar obat memperlihatkan gambaran laju disolusi yang

terbatas dan absorpsi in vivo yang tidak lengkap

2. Beberapa obat diabsorpsi secara terbatas pada asaluran cerna.

3. Formulasi obat kemungkinan mengubah laju dan jumlah absorpsi,

sehingga menghasilkan kegagalan terapi, misalnya konsentrasi obat

dalam plasma kemungkinan berada di bawah Minimal Effective

Concentration (MEC) atau bahkan di atas Minimal Toxic

Concentration (MTC). Biasanya banyak terdapat pada obat-obat

dengan indeks terapi yang sempit.

3
4. Banyak obat-obat yang mengalami peristiwa extensive first past effect

yang menyebabakan variasi kadar darah yag tinggi antar individu. Uji

ketersediaan hayati harus dilakukan pada obat-obat yang memberikan

gambaran sebagai berikut:

1. life saving drug dari obat-obat untuk kondisi yang serius

2. Obat-obat dengan indeks terapi yang sempit

3. Obat-obat dengan non-linear pharmacokinetics pada dosis terapi

4. Obat-obat yang mengalami extensive first pass effect (Syukri, Y.

2002:47)

Ranitidin termasuk dalam obat yang harus diuji Bioavailabilitas dan

bioekuivalensi. Dalam penelitian ini dilakukan penetapan ranitidin dalam

plasma secara in vitro. Kadar obat dalam plasma sebanding dengan jumlah obat

yang akan berikatan dengan reseptor, sehingga obat dapat menimbulkan efek.

Namun sebelumnya harus dilakukan optimasi dan validasi metode yang akan

digunakan terlebih dahulu agar didapatkan suatu metode yang sesuai dengan

persyaratan yang telah ditentukan. Uji bioavailabilitas dan bioekuivalen

ranitidin dapat dilakukan dengan berbagai metode, salah satunya adalah metode

spektrofotometri UV-VIS.. Spektrofotometri UV-VIS merupakan salah satu

metode analisis yang beragam terhadap suatu obat dalam sediaan dan juga

cairan biologis yang memiliki banyak kelebihan. Dengan memanfaatkan

kelebihan yang dimiliki metode ini, akan dilakukan uji bioavailabilitas dan

bioekuivalensi ranitidin dalam plasma manusia secara in vitro.

4
B. Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan bioavailabilitas dan bioekivalensi?

2. Apa saja yang perlu diperhatikan dalam uji bioavailabilitas dan

bioekivalensi?

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ranitidin

Menurut Ditjen POM (1995), ranitidin hidroklorida memiliki informasi yaitu:

Rumus Molekul : C13H22N4O3S.HCl

Nama Umum : Ranitidin

Pemerian : Serbuk hablur, putih sampai kuning pucat, praktis


tidak berbau,peka terhadap cahaya dan
kelembaban.Melebur pada suhu lebih kurang
140ºC, dan disertai peruraian.

Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, cukup larut dalam


etanol, dan dalam kloroform.

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, dan tidak tembus cahaya.

Indikasi : Sebagai antagonis reseptor-H2. Ranitidin digunakan


untuk tukak lambung atau usus dan keadaan
hipersekresi yang bersifat patologis.

Kegunaan : zat aktif obat

6
2.2 Magnesium stearat

Magnesium stearat merupakan senyawa magnesium dengan campuran


asam-asam organik padat yang diperoleh dari lemak, terutama terdiri dari
magnesium stearat dan magnesium palmitat dalam berbagai perbandingan.
Mengandung setara dengan tidak kurang dari 6,8% dan tidak lebih dari 8,3%
MgO

Rumus molekul : C36H70MgO4

Nama resmi : Magnesium stearat

Sinonim : Magnesium stearat

Pemerian : Berupa serbuk halus, putih dan voluminous, bau lemah


khas, mudah melekat di kulit, bebas dari butiran.

Kelarutan : Tidak larut dalam air, dalam etanol,dalam ethanol 95%


dan dalam eter. Sangat larut dalam benzene panas dan
ethanol (95%) panas.

Inkompatibilitas : Tidak tercampurkan dengan asam kuat, garam alkali dan


besi.

Kegunaan : Sebagai lubrikan.

2.3 Talk

Talk adalah magnesium silikat hidrat alam, kadang-kadang mengandung


sedikit aluminium silikat.

Nama resmi : Talk

Sinonim : Talkum, serbuk talk

Pemerian : Berupa serbuk hablur sangat halus, putih atau


putih kelabu. Berkilat, mudah melekat pada kulit
dan bebas dari butiran debu.

7
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam larutan asam dan
alkalis, pelarut organic dan air.

Inkompatibilitas : Tidak tercampurkan dengan campuran


ammonium quartener.

Kegunaan : Sebagai glidant dan sebagai lubrikan.

2.4 Mikrokristalin sellulosa

Rumus molekul : (C6H10O5)n

Nama resmi : Mikrokristalin sellulosa

Sinonim : Avicel

Pemerian : Berupa serbuk kristal poros, putih, tidak berbau,


tidak berasa, dan memiliki aliran yang baik.

Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, cairan asam dan


kebanyakan pelarut organik, sedikit larut dalam
larutan NaOH 5% b/v.

Inkompatibilitas : Tidak tercampurkan dengan bahan pengoksidasi


kuat.

Kegunaan : Sebagai bahan desintegran.

2.5 Manitol

Manitol mengandung tidak kurang dari 96,0% dan tidak lebih dari 101,5%
dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.

Rumus molekul : C6H14O6

Pemeriaan : : Berupa serbuk hablur atau granul mengalir


bebas, putih, tidak berbau, rasa manis.

8
Kelarutan :Mudah larut dalam air, larut dalam larutan
basa, sukar larut dalam piridina, sangat sukar
larut dalam etanol, praktis tidak larut dalam
eter

Kegunaan : pemanis

2.5 Sodium starch glycolate

Sinonim : sodium starch glycolate

Pemeriaan : berwarna putih, mengalir dengan bebas dan


serbuk sangat higroskopik

Kelarutan : praktis tidak larut dalan metilen klorida

Incompatibities : inkompatibel dengan asam askorbat

Penyimpanan : dalam wadah tertutup rapat agar terlindung dari


humiditas dan suhu yang bervariasi yang dapat
menyebabkan caking(3).

Kegunaan : disentegran

2.6 Kitosan

Pemeriaan : bentuk serbuk atau serpihan berwarna putih


kecoklatan dan tidak berbau

Kelarutan : sukar larut dalam air dan praktis tidal larut dalam
etanol 95%,,pelarut anorganik lain dan larutan netral
atau basa pada PH di atas 6,5. kitosan mudah larut
dalam larutan asam organik encer maupun pekat

Kegunaan : disentegran

9
2.7 PVP

Pemeriaan : putih sampai krem ; pahit ; tidak berbau;


higroskopis

Kelarutan :praktis larut dalam asam , kloroform, etanol,


metanol,keton dan air. Praktis tidak larut dalam eter
hidrokarbon dan dan minyak mineral.

Stabilitas : stabil dalam suhu 110- 130 0c; mudah terurai


dengan adanya udara dari luar ; dapat tercampur
dengan air ; stabil jika disimpan ditempat kering

Kegunaan : pengikat

2.8 formula

BAHAN FUNGSI %

Ranitidin HCL Zat aktif 50

Chitosan superdisentagran 5

SSG (sodium starch superdisentagran 5


glycolate )

Manitol pemanis 10

Mg stearat Lubrikan 1

Talk glidan 2

PVP pengikat 2

MCC ( Microcrystalline pengisi Add 100


cellulose )

10
2.8 Fase Biofarmasetik

Biofarmasetika adalah ilmu yang mempelajari hubungan sifat fisikokimia


formulasi obat terhadap bioavaibilitas obat. Bioavaibilitas menyatakan kecepatan
dan jumlah obat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik (Shargel dan Yu,
2005).Fase biofarmasetik melibatkan seluruh unsur-unsur yang terkait mulai saat
permberian obat hingga terjadinya penyerapan zat aktif. Peristiwa tersebut
tergantung pada cara pemberian dan bentuk sediaan. Fase biofarmasetik dapat
diuraikan dalam tiga tahap utama yaitu liberasi (pelepasan), disolusi (pelarutan)
dan absorpsi (penyerapan) (Aiache, 1993).

2.8.1 Liberasi (Pelepasan)

Apabila pasien menerima obat berarti ia mendapat zat aktif yang


diformulasi dalam bentuk sediaan dan dosis tertentu. Proses pelepasan zat aktif
dari bentuk sediaan tergantung pada jalur pemberiaan dan bentuk sediaan serta
dapat terjadi secara cepat. Pelepasan zat aktif dipengaruhi oleh keadaan
lingkungan biologis dan mekanisme pada tempat pemasukan obat, misalnya gerak
peristaltik usus, hal ini penting untuk bentuk sediaan yang keras atau yang kenyal
(tablet, supositoria dan lain-lain). Tahap pelepasan ini dapat dibagi dalam dua

11
tahap yaitu tahap pemecahan dan peluruhan, misalnya untuk sebuah tablet
(Aiache, 1993).

2.8.2 Disolusi (Pelarutan)

Setelah terjadi pelepasan, maka tahap kedua adalah pelarutan zat aktif.
Tahap kedua ini merupakan keharusan agar selanjutnya terjadi penyerapan
(Aiache, 1993).

2.8.3 Absorpsi (Penyerapan)


Absorpsi atau penyerapan suatu zat aktif adalah masuknya
molekulmolekul obat ke dalam tubuh atau menuju ke peredaran darah tubuh
setelah melewati membran biologik. Penyerapan ini hanya dapat terjadi bila zat
aktif berada dalam bentuk terlarut. Tahap ini merupakan bagian dari fase
biofarmasetik dan tahap awal dari fase farmakokinetika. Penyerapan zat aktif
bergantung pada berbagai parameter, terutama sifat fisikokimia molekul obat.
Dengan demikian proses penyerapan zat aktif terjadi apabila sudah dibebaskan
dari sediaan dan sudah melarut dalam cairan biologis (Aiache, 1993). Menurut
Shargel dan YU (2005) pada umumnya produk obat mengalami absorpsi sistemik
melalui suatu rangkaian proses. Proses itu meliputi:
1. Disintegrasi produk obat yang diikuti pelepasan obat. Sebelum absorpsi
terjadi, suatu produk obat padat harus mengalami disintegrasi ke dalam
partikel–partikel kecil melepaskan obat.

2. Pelarutan obat dalam media “aqueous” Pelarutan merupakan proses di mana


suatu bahan kimia atau obat menjadi terlarut dalam suatu pelarut. Dalam
sistem biologik pelarutan obat dalam media “aqueous” merupakan suatu
bagian penting sebelum kondisi absorpsi sistemik.

3. Absorpsi melewati membran sel menuju sirkulasi sistemik. Agar suatu obat
dapat mencapai tempat kerja di jaringan suatu organ, obat tersebut harus
melewati berbagai membrane sel. Pada umumnya, membrane sel mempunyai
struktur lipoprotein yang bertindak sebagai membrane lipid semipermeabel.
Banyak obat mengandung substituen lipofilik dan hidrofilik. Obat–obat yang

12
lebih larut dalam lemak lebih mudah melewati membrane sel daripada obat
yang kurang larut dalam lemak atau obat yang lebih larut dalam air.

Menurut Siswandono dan Soekardjo (2000) Adapun faktor–faktor yang


mempengaruhi proses absorpsi obat di saluran cerna antara lain:

• Bentuk sediaan obat, meliputi ukuran partikel bentuk sediaan, adanya


bahan-bahan tambahan dalam sediaan.
• Sifat kimia fisika obat, misalnya: bentuk garam, basa, amorf, kristal.
• Faktor biologis, seperti: gerakan saluran cerna, luas permukaan saluran
cerna, waktu pengosongan lambung, banyaknya pembuluh darah dalam
usus, aliran (perfusi) darah dari saluran cerna.

• Faktor-faktor lain, seperti: usia, interaksi obat dengan makanan, interaksi


obat dengan obat lain, penyakit tertentu.

2.9 Bioavailabilitas
Bioavailabilitas adalah persentase dan kecepatan zat aktif dalam suatu
produk obat yang mencapai atau tersedia dalam sirkulasi sistemik dalam
bentuk utuh atau aktif setelah pemberian produk obat tersebut, diukur dari
kadarnya dalam darah terhadap waktu atau dari ekskresinya dalam urin.
Bioavailabilitas terbagi menjadi dua, yaitu :
1. Bioavailabilitas absolut
bioavailabilitas zat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik dari suatu
sediaan obat dibandingkan dengan bioavailabilitas zat aktif tersebut
dengan pemberian intravena.
2. Bioavailabilitas relatif
Bioavailabilitas zat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik dari suatu
sediaan obat dibandingkan dengan bentuk sediaan lain selain intravena.

13
Faktor-faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas :
1. Obat : sifat fisiko-kimia zat aktif, formulasi, dan teknik pembuatan.
2. Subjek : karakteristik subjek (umur, bobot badan), kondisi patologis,
posisi, dan aktivitas tubuh (pada subjek yang sama).
3. Rute pemberian
4. Interaksi obat atau makanan
Tujuan studi bioavailabilitas :
1. Pengembangan ilmu
2. Pengembangan produk atau formulasi
3. Pengembangan senyawa baru
4. Jaminan mutu produk (quality control)
Penelitian bioavailabilitas relatif dapat diterapkan untuk :
1. Memilih satu dari alternatif dua atau lebih bentuk sediaan yang sama
dengan formulasi yang berbeda yang akan diproduksi oleh suatu pabrik,
sehingga diketahui pengaruh komponen formulasi terhadap
bioavailabilitas.
2. Memilih bentuk sediaan yang mempunyai bioavailabilitas terbaik dari
beberapa alternatif bentuk sediaan yang akan dikembangkan.
3. Mengontrol variabilitas yang mungkin terjadi antar batch dari bentuk
sediaan yang sama dari batch yang berlainan.
4. Membandingkan secara komparatif produk pabrik mana yang mempunyai
bioavailabilitas terbaik.
Perbedaan dapat terjadi pada bioavailabilitas dan respon klinik apabila
obat dengan bentuk sediaan yang sama tetapi diproduksi oleh industri yang
berbeda. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor bahan baku, formulasi, dan cara
pembuatan yang berbeda. Apabila terdapat perbedaan yang bermakna pada
bioavailabilitas dari produk obat yang diuji dengan produk obat pembanding,
maka kedua produk itu dapat dikatakan inekivalen secara terapetik. Dalam hal
ini harus dilakukan reformulasi dan uji bioavailabilitas harus dilakukan lagi.

14
2.9.1 Faktor – faktor yang Mempengaruhi Bioavailabilitas Obat
Menurut Anonim (2006), Faktor-faktor yang mempengaruhi
bioavailabilitas obat antara lain:
1) Sifat Fisikokimia Obat
1. Ukuran partikel

2. Luas permukaan obat

3. Kelarutan obat

4. Bentuk kimia obat, yaitu garam, bentuk anhydrous atau hidrous

5. Lipofilisitas

6. Stabilitas obat

2) Faktor Formulasi

Untuk merancang suatu produk obat yang akan melepaskan obat aktif
dalam bentuk yang paling banyak berada dalam sistemik, farmasis harus
mempertimbangkan:

1. jenis produk obat;

2. sifat bahan tambahan dalam produk obat;

3. sifat fisikokimia obat itu sendiri (Shargel dan Yu, 2005).

Untuk obat yang diberikan secara oral, bioavailabilitasnya mungkin


kurang dari 100% karena :

• Obat diabsorpsi tidak sempurna

• Eliminasi lintas pertama (First-Pass Elimination), Obat diabsorpsi


menembus dinding usus, darah vena porta mengirimkan obat ke hati
sebelum masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Obat dapat dimetabolisme di
dalam dinding usus atau bahkan di dalam darah vena porta. Hati dapat
mengekskresikan obat ke dalam empedu.

• Laju absorpsi

15
2.9.2 Parameter–parameter Bioavailabilitas.

a. T maksimum (T maks )

(Tmaks ) yaitu konsentrasi plasma mencapai puncak dapat disamakan


dengan waktu yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi obat maksimum
setelah pemberian obat. Pada absorpsi obat adalah terbesar, dan laju absorpsi obat
sama dengan laju eliminasi obat. Absorpsi masih berjalan setelah tercapai, tetapi
pada laju yang lebih lambat. Harga menjadi lebih kecil (berarti sedikit waktu yang
diperlukan untuk mencapai konsentrasi plasma puncak) bila laju absorpsi obat
menjadi lebih cepat (Shargel dan Yu, 2005).

b. Konsentrasi plasma puncak (C maks )

(Cmaks) menunjukkan konsentrasi obat maksimum dalam plasma setelah


pemberian secara oral. Untuk beberapa obat diperoleh suatu hubungan antara efek
farmakologi suatu obat dan konsentrasi obat dalam plasma (Shargel dan Yu,
2005).

c. AUC (Area Under Curve)

AUC adalah permukaan dibawah kurva (grafik) yang menggambarkan


naik turunnya kadar plasma sebagai fungsi dari waktu. AUC dapat dihitung secara
matematis dan merupakan ukuran untuk bioavailabilitas suatu obat. AUC dapat
digunakan untuk membandingkan kadar masing-masing plasma obat bila
penentuan kecepatan eliminasinya tidak mengalami perubahan. Selain itu antara

16
kadar plasma puncak dan bioavailabilitas terdapat hubungan langsung (Waldon,
2008).

2.10 Bioekivalensi
Dua produk obat disebut bioekivalen jika keduanya mempunyai
ekivalensi farmaseutik atau merupakan alternatif farmaseutik dan pada
pemberian dengan dosis molar yang sama akan menghasilkan bioavailabilitas
yang sebanding sehingga efeknya akan sama, dalam hal efikasi maupun
keamanan.
Alasan utama dilakukan studi bioekivalensi oleh karena produk obat
yang dianggap ekivalen farmasetik tidak memberikan efek terapetik yang
sebanding pada penderita. Persyaratan bioekivalensi diberlakukan oleh FDA
atas dasar sebagai berikut (Shargel dan Yu, 2005):
1. Adanya fakta dari percobaan klinik atau pengamatan pada penderita
yang menyatakan berbagai produk obat tidak memberi efek terapik
yang sebanding.
2. Adanya fakta dari studi bioekivalensi menyatakan bahwa produk-
produk tersebut bukan merupakan produk obat yang bioekivalen.
3. Adanya fakta bahwa produk-produk obat memperhatikan rasio
terapik yang sempit dan konsentrasi efektif minimum dalam darah,
serta penggunaannya secara aman dan efektif memerlukan dosis
yang cermat dan memerlukan pemantauan pada penderita.
Dua sediaan obat yang ber-ekivalensi kimia tetapi tidak ber-ekivalensi
biologik dikatakan memperlihatkan bioinekivalensi. Terutama terjadi pada
obat – obat yang absorpsinya lambat karena sukar larut dalam cairan saluran

17
cerna dan obat yang mengalami metabolisme selama absorpsinya. Jika
sampai dengan 10% umumnya tidak menimbulkan perbedaan berarti dalam
efek kliniknya artinya memperlihatkan ekivalensi terapi. Jika lebih dari 10%
dapat menimbulkan inekivalensi terapi.
Rancangan dan pelaksanaan uji bioekivalensi :
1. Harus mengikuti Pedoman Cara Uji Klinis yang Baik (CUKB).
2. Protokol harus lolos kajian ilmiah dan kajian etik sebelum penelitian
dimulai.
3. Protokol harus mendapat persetujuan dari BPOM sebelum penelitian
dimulai.
Obat yang harus diuji bioekivalensinya adalah obat oral dengan
pelepasan segera, yaitu:
1. Non-linier farmakokinetik.
2. Obat oral yang diberikan untuk kondisi segera.
3. Obat oral dengan indeks terapi sempit.
4. Obat oral dengan sifat fisikokimia tidak menguntungkan.
A. Uji Bioavailabilitas dan Bioekivalensi
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam uji bioavailabilitas dan
bioekivalensi :
1. Adanya pemahaman terhadap farmakokinetik obat (adsorbsi, distribusi,
metabolisme, dan eliminasi).
2. Pemilihan metode analisis yang tepat : hal ini diperlukan untuk
mengetahui efek samping, efek toksik, dan penanganan terhadap efek-
efek tersebut.
3. Stabilitas obat dalam sampel.
4. Penyusunan percobaan protocol yang tepat : sebelum dilakukan uji
sebaiknya mendapat persetujuan dari BPOM dan dilakukan kajian etik
terlebih dahulu. Protokol harus lulus kajian ilmiah.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam rancangan percobaan
bioavailabilitas dan bioekivalensi :
1. Sediaan pembanding.

18
2. Subjek percobaan dan kriteria.
3. Jumlah subjek.
4. Desain percobaan.
5. Interval waktu pemberian.
6. Modalitas pengambilan sampel : tunggal, berulang, jumlah dosis, dan lain-
lain.
7. Senyawa yang akan dianalisis dan metodenya.
8. Frekuensi dan waktu pengambilan sampel.
9. Jenis sampel yang akan dikumpulkan : darah atau urin.

19
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Alat dan bahan

3.1.1 Alat

Alat- alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Alat uji disolusi

tipe 2 (metode dayung), Hanson SR2, pH meter Cyberscan 100, Spektofotometer

Hitachi U-2001. seperangkat alat Spektrofotometer UV-VIS 1601 SHIMADZU,

sentrifugator Jouan Centrifuge BR4i Multifunction, tabung mikrosentrifuge,

vortex, mikropipet, alat-alat gelas, neraca analitik (Shimadzu AUY 220) dengan

kepekaan 0,00001 g, dan kertas saring.

3.1.2 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian: tablet Ranmagh produk

dan Ranitidin sebagai produk obat uji; tablet Ranmagh produk inovator sebagai

produk obat pembanding; larutan dapar sitrat pH 4,5 dibuat dari: Natriun

hidroksida (NaOH), Asam Sitrat (C6H8O71H2O), Metanol (semua bahan

berderajat p.a, Reidel-de Haen), larutan dapar HCl pH 1,2 dibuat dari: KCl dan

HCl (p.a, Riedel-de Haen), dan aquadest. aquabidestilata , EDTA , TCA 10%,

20
3.2 Produk uji

Ramagh sebagai obat baru ( produk inovator) yang akan di uji sedangkan

akan dibandingkan dengan obat ranitidin yang berada dipasaran sebagai kontrol

positif.

3.3 Subyek

3.4 Pemberian obat

Obat diberikan sekitar pukul 7.30 pagi dengan segelas air putih setelah

sukarelawan berpuasa selama satu malam. Sukarelawan tidak minum obat lain

selama minimal satu minggu sebelum percobaan dimulai dan selama percobaan

berlangsung. Setiap sukarelawan menerima masing-masing obat dalam dosis

tunggal (satu tablet 50 mg) dengan jarak pemberian 2 minggu dan diatur secara

cross-over (three-way crossover design).

21
3.5 cara kerja

3.5.1 Penetapan Keseragaman Bobot Tablet

Pemeriksaan keseragaman bobot dilakukan dengan cara menimbang 20

tablet satu persatu kemudian dihitung bobot rata-ratanya. Hasil yang didapatkan

tidak boleh lebih dari dua tablet yang menyimpang dari bobot rata-rata yang

ditetapkan pada kolom A dan tidak boleh ada tablet yang menyimpang dari bobot

rata-rata yang ditetapkan pada kolom B.

3.5.2 Penetapan Kadar dalam Tablet

Tablet furosemid sebanyak 20 tablet digerus sampai menjadi serbuk.

Serbuk ditimbang secara seksama setara dengan 200 mg Ranmagh. Serbuk

Ranmagh dilarutkan dalam NaOH 0,1N sebanyak 300 mL dikocok selama 10

menit. Setelah dikocok kemudian ditambahkan NaOH 0,1 N sampai volume 500,0

mL, kemudian disaring. Larutan furosemid diencerkan dengan cara larutan dipipet

sebanyak 5 mL, kemudian ditambah larutan NaOH 0,1N sampai volume 500,0

mL. larutan diukur absorbansinya pada panjang gelombang maksimum (λmaks)

yaitu 271,4 nm (Departemen Kesehatan RI, 1979).

22
3.5.3 Uji Disolusi

Penentuan laju disolusi Ranmagh dilakukan menggunakan alat tipe 2

(metode dayung). Tablet diletakkan dalam labu disolusi beralas bulat yang berisi

900 mL media disolusi larutan dapar HCl pH 1,2 dan larutan dapar sitrat pH 4,5.

Masing-masing mengunakan 12 tablet sesuai dengan ketentuan dari BPOM.

Kecepatan pengadukan diatur pada 50 putaran per menit, suhu 7 waterbath 37°C ±

0,5°C. Pengujian dilakukan selama 75 menit, pengambilan sampel sebanyak 5 mL

dilakukan pada 10, 15, 30, 45, 60, dan 75 menit. Setiap pengambilan sampel

diganti dengan media disolusi dengan volume yang sama. Kadar Ranmagh yang

terlarut ditentukan dari absorbansi larutan Ranmagh yang diukur pada panjang

gelombang maksimum (λmaks) dalam larutan dapar HCl pH 1,2 dan larutan dapar

sitrat pH 4,5 yaitu masing-masing adalah 273,5 dan 275,8 nm. Data yang

diperoleh digunakan untuk menentukan profil disolusi Ranmagh dan produk obat

pembanding yaitu Ranitidin.

3.5.5. Pembuatan reagen

Reagen yang dibuat pada penelitian ini adalah HCl 0,1N, TCA 10% .

3.5.6. Pembuatan larutan stok

Larutan stok dibuat dengan melarutkan 100 mg tablet Ramagh dan tablet

Ranitidin dalam 50 mL HCl 0,1 N sehingga diperoleh masing- masing

konsentrasi 2000 ppm.

3.5.7. Pengambilan sampel darah

Sampel diambil dari darah manusia melalui vena. Kemudian dimasukkan

ke dalam tabung reaksi yang di dalamnya sudah berisi EDTA sebagai

23
antikoagulan. Selanjutnya disentrifuge selama 15 menit dengan kecepatan 2000

rpm. Kemudian ambil supernatannya. Penetapan panjang gelombang maksimum

Penetapan panjang gelombang maksimum dilakukan dengan dua cara,

yaitu:

Cara I: Pada cara ini larutan baku ranitidin ditambahkan di awal. Diambil

0,5 ml plasma, kemudian ditambah dengan 1 ml larutan baku ranitidin konsentrasi

2000 ppm, lalu tambahkan TCA 10 % sebanyak 2,5 ml, sehingga diperoleh

konsentrasi akhir ranitidin dalam plasma 500 ppm, dimasukkan dalam tabung

mikrosentrifuge, disentrifugasi dengan kecepatan 14000 rpm selama 5 menit pada

suhu 37º lalu saring, selanjutnya dibaca absorbansinya dengan spektrofotometer

pada panjang gelombang 200-400 nm.

Cara II: Pada cara kedua ini, larutan baku ranitidin ditambahkan di

akhir.Konsentrasi akhir ranitidin dalam plasma yang digunakan adalah 25, 50,

100, dan 500 ppm. Satu ml plasma ditambah 5 ml TCA 10%, dimasukkan dalam

tabung sentrifuge, disentrifugasi selama 5 menit dengan kecepatan 14000 rpm

pada suhu 37º C, saring. Diambil 3 ml filtrat, dimasukkan ke dalamnya masing-

masing 1 ml larutan baku ranitidin konsentrasi 100, 200, 400, dan 2000 ppm.

Vortek 10 detik, dibaca absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang

gelombang 200-400 nm. Blanko plasma juga disiapkan, dengan cara blanko

plasma ditambah 1 ml larutan HCl 0,1 N. Dari kedua metode tersebut, maka

dipilih metode mana yang dapat memberikan hasil yang optimal sehingga dapat

digunakan untuk langkah kerja berikutnya.

24
3.5.8. Penentuan operating time

Digunakan konsentrasi akhir ranitidin dalam plasma 500 ppm. Satu ml

plasma ditambah dengan TCA 10 % sebanyak 5 ml. Kemudian dimasukkan ke

dalam tabung mikrosentrifuge, setelah itu disentrifuge dengan kecepatan 14000

rpm selama 5 menit dengan suhu 37º C. Selanjutnya disaring, diambil 3 ml dan

ditambahkan ke dalamnya 1 ml larutan stok konsentrasi 2000 ppm, vortek selama

10 detik. Kemudian dibaca absorbansinya pada panjang gelombang maksimum

pada menit ke 0, 3, 6, 9, 12, dan15 sampai diperoleh absorbansi konstan.

3.5.9. Penentuan kurva baku

Dibuat seri konsentrasi larutan stok Ranmagh 800; 1200; 1600; 2000; dan

2400 ppm untuk pembuatan kurva baku. Diambil masing-masing 1 ml plasma,

dimasukkan ke dalam 5 tabung reaksi. Kemudian ditambahkan masingmasing 5

ml TCA 10 %, lalu dimasukkan ke dalam tabung mikrosentrifuge, selanjutnya

disentrifugasi dengan kecepatan 14000 rpm selama 5 menit pada suhu 37° C,

kemudian disaring. Diambil masing-masing 3 ml lalu ditambahkan masing-

masing 1 ml larutan stok ranitidin konsentrasi 800; 1200; 1600; 2000; 2400 ppm,

vortek 10 detik. Setelah itu dibaca absorbansinya pada panjang gelombang

maksimum dengan spektrofotometer.

3.5.10. Ketelitian (Precision)

Presisi dilakukan dengan menggunakan dua metode, yaitu dengan

penambahan larutan stok di awal dan di akhir, agar dapat dibandingkan metode

yang mana yang dapat memberikan nilai presisi yang lebih bagus. Preparasi

25
sampel dan perlakuan pada pengujian presisi sama dengan cara kerja kurva baku

dan penetapan panjang gelombang maksimum. Namun pada presisi ini digunakan

konsentrasi akhir ranitidin dalam plasma 500 ppm, dan replikasi 3 kali.

3.5.11. Kecermatan (Accuracy)

Satu ml plasma ditambah dengan 5 ml TCA 10%, sentrifugasi dengan

kecepatan 14000 rpm suhu 37º C selama 5 menit, saring, diambil 3 ml filtrat,

ditambahkan 1 ml larutan baku ranitidin konsentrasi 2000 ppm sehingga diperoleh

konsentrasi akhir ranitidin dalam plasma 500 ppm. Dibaca absorbansinya pada

spektrofotometer dengan panjang gelombang maksimum dan operating time

3.5.12. Analisis Data

Hasil penetapan kadar Ranmagh dalam tablet sesuai persyaratan yang

ditetapkan Badan pengawas obat dan makanan yaitu kandungan zat aktif tidak

boleh berbeda lebih dari 5%. Profil disolusi antara produk uji dan produk

pembanding dibandingkan dengan menggunakan faktor kemiripan (f2) yang

dihitung dengan persamaan berikut:

dengan Rt = persentase kumulatif obat yang larut pada setiap waktu sampling dari

produk pembanding (R = reference), dan Tt = persentase kumulatif obat yang

larut pada setiap waktu sampling dari produk uji (T = test). Nilai f2 sama dengan

26
50 atau lebih besar (50-100) menunjukkan kesamaan atau ekivalensi kedua kurva

yang berarti kemiripan profil disolusi kedua produk (BPOM, 2004).

27

Anda mungkin juga menyukai