Oleh:
NAMA : RUDIANSYAH
NIM : I40411610027
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Obat memiliki peran yang sangat penting bagi kesehatan. Penanganan dan
pencegahan berbagai penyakit tidak dapat dilepaskan dari tindakan terapi dari
obat. Berbagai pemilihan obat saat ini tersedia sehingga diperlukan pertimbangan
yang sangat cermat dalam memilih obat untuk kasus penyakit. Badan Pengawas
Obat dan Makanan berkewajiban untuk menilai semua produk obat sebelum
produkproduk obat ini dianggap sama (Shargel, L dan Andrew, B.C, 1998:170).
Ketersediaan hayati dilakukan baik terhadap bahan aktif yang telah disetujui
maupun obat dengan efek terapetik yang belum disetujui oleh FDA (Food Drug
Association) untuk dipasarkan. FDA dalam menyetujui suatu produk obat untuk
dipasarkan harus yakin bahwa produk obat tersebut aman dan efektif sesuai label
2
indikasi penngunaannya. Produk obat harus memenuhi seluruh standar yang
2002:50-51).
aktif yang sama dan dibuat dalam bentuk sediaan farmasetik yang serupa, serta
diberikan dengan dosis yang sama. Berbagai kejadian (zat aktif menjadi tidak
(Syukri, Y. 2002:43). Oleh karena itu perlu dilakukan uji bioavailabilitas dan
bioekuivalensi untuk menjamin mutu, efikasi, dan keamanan dari obat-obat copy
yang telah beredar untuk dibandingkan dengan obat inovator. Uji ketersediaan
hayati perlu dilakukan pada suatu obat dengan alasan-alasan sebagai berikut
3
4. Banyak obat-obat yang mengalami peristiwa extensive first past effect
yang menyebabakan variasi kadar darah yag tinggi antar individu. Uji
2002:47)
plasma secara in vitro. Kadar obat dalam plasma sebanding dengan jumlah obat
yang akan berikatan dengan reseptor, sehingga obat dapat menimbulkan efek.
Namun sebelumnya harus dilakukan optimasi dan validasi metode yang akan
digunakan terlebih dahulu agar didapatkan suatu metode yang sesuai dengan
ranitidin dapat dilakukan dengan berbagai metode, salah satunya adalah metode
metode analisis yang beragam terhadap suatu obat dalam sediaan dan juga
kelebihan yang dimiliki metode ini, akan dilakukan uji bioavailabilitas dan
4
B. Rumusan Masalah
bioekivalensi?
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ranitidin
6
2.2 Magnesium stearat
2.3 Talk
7
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam larutan asam dan
alkalis, pelarut organic dan air.
Sinonim : Avicel
2.5 Manitol
Manitol mengandung tidak kurang dari 96,0% dan tidak lebih dari 101,5%
dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.
8
Kelarutan :Mudah larut dalam air, larut dalam larutan
basa, sukar larut dalam piridina, sangat sukar
larut dalam etanol, praktis tidak larut dalam
eter
Kegunaan : pemanis
Kegunaan : disentegran
2.6 Kitosan
Kelarutan : sukar larut dalam air dan praktis tidal larut dalam
etanol 95%,,pelarut anorganik lain dan larutan netral
atau basa pada PH di atas 6,5. kitosan mudah larut
dalam larutan asam organik encer maupun pekat
Kegunaan : disentegran
9
2.7 PVP
Kegunaan : pengikat
2.8 formula
BAHAN FUNGSI %
Chitosan superdisentagran 5
Manitol pemanis 10
Mg stearat Lubrikan 1
Talk glidan 2
PVP pengikat 2
10
2.8 Fase Biofarmasetik
11
tahap yaitu tahap pemecahan dan peluruhan, misalnya untuk sebuah tablet
(Aiache, 1993).
Setelah terjadi pelepasan, maka tahap kedua adalah pelarutan zat aktif.
Tahap kedua ini merupakan keharusan agar selanjutnya terjadi penyerapan
(Aiache, 1993).
3. Absorpsi melewati membran sel menuju sirkulasi sistemik. Agar suatu obat
dapat mencapai tempat kerja di jaringan suatu organ, obat tersebut harus
melewati berbagai membrane sel. Pada umumnya, membrane sel mempunyai
struktur lipoprotein yang bertindak sebagai membrane lipid semipermeabel.
Banyak obat mengandung substituen lipofilik dan hidrofilik. Obat–obat yang
12
lebih larut dalam lemak lebih mudah melewati membrane sel daripada obat
yang kurang larut dalam lemak atau obat yang lebih larut dalam air.
2.9 Bioavailabilitas
Bioavailabilitas adalah persentase dan kecepatan zat aktif dalam suatu
produk obat yang mencapai atau tersedia dalam sirkulasi sistemik dalam
bentuk utuh atau aktif setelah pemberian produk obat tersebut, diukur dari
kadarnya dalam darah terhadap waktu atau dari ekskresinya dalam urin.
Bioavailabilitas terbagi menjadi dua, yaitu :
1. Bioavailabilitas absolut
bioavailabilitas zat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik dari suatu
sediaan obat dibandingkan dengan bioavailabilitas zat aktif tersebut
dengan pemberian intravena.
2. Bioavailabilitas relatif
Bioavailabilitas zat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik dari suatu
sediaan obat dibandingkan dengan bentuk sediaan lain selain intravena.
13
Faktor-faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas :
1. Obat : sifat fisiko-kimia zat aktif, formulasi, dan teknik pembuatan.
2. Subjek : karakteristik subjek (umur, bobot badan), kondisi patologis,
posisi, dan aktivitas tubuh (pada subjek yang sama).
3. Rute pemberian
4. Interaksi obat atau makanan
Tujuan studi bioavailabilitas :
1. Pengembangan ilmu
2. Pengembangan produk atau formulasi
3. Pengembangan senyawa baru
4. Jaminan mutu produk (quality control)
Penelitian bioavailabilitas relatif dapat diterapkan untuk :
1. Memilih satu dari alternatif dua atau lebih bentuk sediaan yang sama
dengan formulasi yang berbeda yang akan diproduksi oleh suatu pabrik,
sehingga diketahui pengaruh komponen formulasi terhadap
bioavailabilitas.
2. Memilih bentuk sediaan yang mempunyai bioavailabilitas terbaik dari
beberapa alternatif bentuk sediaan yang akan dikembangkan.
3. Mengontrol variabilitas yang mungkin terjadi antar batch dari bentuk
sediaan yang sama dari batch yang berlainan.
4. Membandingkan secara komparatif produk pabrik mana yang mempunyai
bioavailabilitas terbaik.
Perbedaan dapat terjadi pada bioavailabilitas dan respon klinik apabila
obat dengan bentuk sediaan yang sama tetapi diproduksi oleh industri yang
berbeda. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor bahan baku, formulasi, dan cara
pembuatan yang berbeda. Apabila terdapat perbedaan yang bermakna pada
bioavailabilitas dari produk obat yang diuji dengan produk obat pembanding,
maka kedua produk itu dapat dikatakan inekivalen secara terapetik. Dalam hal
ini harus dilakukan reformulasi dan uji bioavailabilitas harus dilakukan lagi.
14
2.9.1 Faktor – faktor yang Mempengaruhi Bioavailabilitas Obat
Menurut Anonim (2006), Faktor-faktor yang mempengaruhi
bioavailabilitas obat antara lain:
1) Sifat Fisikokimia Obat
1. Ukuran partikel
3. Kelarutan obat
5. Lipofilisitas
6. Stabilitas obat
2) Faktor Formulasi
Untuk merancang suatu produk obat yang akan melepaskan obat aktif
dalam bentuk yang paling banyak berada dalam sistemik, farmasis harus
mempertimbangkan:
• Laju absorpsi
15
2.9.2 Parameter–parameter Bioavailabilitas.
a. T maksimum (T maks )
16
kadar plasma puncak dan bioavailabilitas terdapat hubungan langsung (Waldon,
2008).
2.10 Bioekivalensi
Dua produk obat disebut bioekivalen jika keduanya mempunyai
ekivalensi farmaseutik atau merupakan alternatif farmaseutik dan pada
pemberian dengan dosis molar yang sama akan menghasilkan bioavailabilitas
yang sebanding sehingga efeknya akan sama, dalam hal efikasi maupun
keamanan.
Alasan utama dilakukan studi bioekivalensi oleh karena produk obat
yang dianggap ekivalen farmasetik tidak memberikan efek terapetik yang
sebanding pada penderita. Persyaratan bioekivalensi diberlakukan oleh FDA
atas dasar sebagai berikut (Shargel dan Yu, 2005):
1. Adanya fakta dari percobaan klinik atau pengamatan pada penderita
yang menyatakan berbagai produk obat tidak memberi efek terapik
yang sebanding.
2. Adanya fakta dari studi bioekivalensi menyatakan bahwa produk-
produk tersebut bukan merupakan produk obat yang bioekivalen.
3. Adanya fakta bahwa produk-produk obat memperhatikan rasio
terapik yang sempit dan konsentrasi efektif minimum dalam darah,
serta penggunaannya secara aman dan efektif memerlukan dosis
yang cermat dan memerlukan pemantauan pada penderita.
Dua sediaan obat yang ber-ekivalensi kimia tetapi tidak ber-ekivalensi
biologik dikatakan memperlihatkan bioinekivalensi. Terutama terjadi pada
obat – obat yang absorpsinya lambat karena sukar larut dalam cairan saluran
17
cerna dan obat yang mengalami metabolisme selama absorpsinya. Jika
sampai dengan 10% umumnya tidak menimbulkan perbedaan berarti dalam
efek kliniknya artinya memperlihatkan ekivalensi terapi. Jika lebih dari 10%
dapat menimbulkan inekivalensi terapi.
Rancangan dan pelaksanaan uji bioekivalensi :
1. Harus mengikuti Pedoman Cara Uji Klinis yang Baik (CUKB).
2. Protokol harus lolos kajian ilmiah dan kajian etik sebelum penelitian
dimulai.
3. Protokol harus mendapat persetujuan dari BPOM sebelum penelitian
dimulai.
Obat yang harus diuji bioekivalensinya adalah obat oral dengan
pelepasan segera, yaitu:
1. Non-linier farmakokinetik.
2. Obat oral yang diberikan untuk kondisi segera.
3. Obat oral dengan indeks terapi sempit.
4. Obat oral dengan sifat fisikokimia tidak menguntungkan.
A. Uji Bioavailabilitas dan Bioekivalensi
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam uji bioavailabilitas dan
bioekivalensi :
1. Adanya pemahaman terhadap farmakokinetik obat (adsorbsi, distribusi,
metabolisme, dan eliminasi).
2. Pemilihan metode analisis yang tepat : hal ini diperlukan untuk
mengetahui efek samping, efek toksik, dan penanganan terhadap efek-
efek tersebut.
3. Stabilitas obat dalam sampel.
4. Penyusunan percobaan protocol yang tepat : sebelum dilakukan uji
sebaiknya mendapat persetujuan dari BPOM dan dilakukan kajian etik
terlebih dahulu. Protokol harus lulus kajian ilmiah.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam rancangan percobaan
bioavailabilitas dan bioekivalensi :
1. Sediaan pembanding.
18
2. Subjek percobaan dan kriteria.
3. Jumlah subjek.
4. Desain percobaan.
5. Interval waktu pemberian.
6. Modalitas pengambilan sampel : tunggal, berulang, jumlah dosis, dan lain-
lain.
7. Senyawa yang akan dianalisis dan metodenya.
8. Frekuensi dan waktu pengambilan sampel.
9. Jenis sampel yang akan dikumpulkan : darah atau urin.
19
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1.1 Alat
Alat- alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Alat uji disolusi
vortex, mikropipet, alat-alat gelas, neraca analitik (Shimadzu AUY 220) dengan
3.1.2 Bahan
dan Ranitidin sebagai produk obat uji; tablet Ranmagh produk inovator sebagai
produk obat pembanding; larutan dapar sitrat pH 4,5 dibuat dari: Natriun
berderajat p.a, Reidel-de Haen), larutan dapar HCl pH 1,2 dibuat dari: KCl dan
HCl (p.a, Riedel-de Haen), dan aquadest. aquabidestilata , EDTA , TCA 10%,
20
3.2 Produk uji
Ramagh sebagai obat baru ( produk inovator) yang akan di uji sedangkan
akan dibandingkan dengan obat ranitidin yang berada dipasaran sebagai kontrol
positif.
3.3 Subyek
Obat diberikan sekitar pukul 7.30 pagi dengan segelas air putih setelah
sukarelawan berpuasa selama satu malam. Sukarelawan tidak minum obat lain
selama minimal satu minggu sebelum percobaan dimulai dan selama percobaan
tunggal (satu tablet 50 mg) dengan jarak pemberian 2 minggu dan diatur secara
21
3.5 cara kerja
tablet satu persatu kemudian dihitung bobot rata-ratanya. Hasil yang didapatkan
tidak boleh lebih dari dua tablet yang menyimpang dari bobot rata-rata yang
ditetapkan pada kolom A dan tidak boleh ada tablet yang menyimpang dari bobot
menit. Setelah dikocok kemudian ditambahkan NaOH 0,1 N sampai volume 500,0
mL, kemudian disaring. Larutan furosemid diencerkan dengan cara larutan dipipet
sebanyak 5 mL, kemudian ditambah larutan NaOH 0,1N sampai volume 500,0
22
3.5.3 Uji Disolusi
(metode dayung). Tablet diletakkan dalam labu disolusi beralas bulat yang berisi
900 mL media disolusi larutan dapar HCl pH 1,2 dan larutan dapar sitrat pH 4,5.
Kecepatan pengadukan diatur pada 50 putaran per menit, suhu 7 waterbath 37°C ±
dilakukan pada 10, 15, 30, 45, 60, dan 75 menit. Setiap pengambilan sampel
diganti dengan media disolusi dengan volume yang sama. Kadar Ranmagh yang
terlarut ditentukan dari absorbansi larutan Ranmagh yang diukur pada panjang
gelombang maksimum (λmaks) dalam larutan dapar HCl pH 1,2 dan larutan dapar
sitrat pH 4,5 yaitu masing-masing adalah 273,5 dan 275,8 nm. Data yang
diperoleh digunakan untuk menentukan profil disolusi Ranmagh dan produk obat
Reagen yang dibuat pada penelitian ini adalah HCl 0,1N, TCA 10% .
Larutan stok dibuat dengan melarutkan 100 mg tablet Ramagh dan tablet
23
antikoagulan. Selanjutnya disentrifuge selama 15 menit dengan kecepatan 2000
yaitu:
Cara I: Pada cara ini larutan baku ranitidin ditambahkan di awal. Diambil
2000 ppm, lalu tambahkan TCA 10 % sebanyak 2,5 ml, sehingga diperoleh
konsentrasi akhir ranitidin dalam plasma 500 ppm, dimasukkan dalam tabung
Cara II: Pada cara kedua ini, larutan baku ranitidin ditambahkan di
akhir.Konsentrasi akhir ranitidin dalam plasma yang digunakan adalah 25, 50,
100, dan 500 ppm. Satu ml plasma ditambah 5 ml TCA 10%, dimasukkan dalam
masing 1 ml larutan baku ranitidin konsentrasi 100, 200, 400, dan 2000 ppm.
gelombang 200-400 nm. Blanko plasma juga disiapkan, dengan cara blanko
plasma ditambah 1 ml larutan HCl 0,1 N. Dari kedua metode tersebut, maka
dipilih metode mana yang dapat memberikan hasil yang optimal sehingga dapat
24
3.5.8. Penentuan operating time
rpm selama 5 menit dengan suhu 37º C. Selanjutnya disaring, diambil 3 ml dan
Dibuat seri konsentrasi larutan stok Ranmagh 800; 1200; 1600; 2000; dan
disentrifugasi dengan kecepatan 14000 rpm selama 5 menit pada suhu 37° C,
masing 1 ml larutan stok ranitidin konsentrasi 800; 1200; 1600; 2000; 2400 ppm,
penambahan larutan stok di awal dan di akhir, agar dapat dibandingkan metode
yang mana yang dapat memberikan nilai presisi yang lebih bagus. Preparasi
25
sampel dan perlakuan pada pengujian presisi sama dengan cara kerja kurva baku
dan penetapan panjang gelombang maksimum. Namun pada presisi ini digunakan
konsentrasi akhir ranitidin dalam plasma 500 ppm, dan replikasi 3 kali.
kecepatan 14000 rpm suhu 37º C selama 5 menit, saring, diambil 3 ml filtrat,
konsentrasi akhir ranitidin dalam plasma 500 ppm. Dibaca absorbansinya pada
ditetapkan Badan pengawas obat dan makanan yaitu kandungan zat aktif tidak
boleh berbeda lebih dari 5%. Profil disolusi antara produk uji dan produk
dengan Rt = persentase kumulatif obat yang larut pada setiap waktu sampling dari
larut pada setiap waktu sampling dari produk uji (T = test). Nilai f2 sama dengan
26
50 atau lebih besar (50-100) menunjukkan kesamaan atau ekivalensi kedua kurva
27