KASUS
Skenario
Seorang perempuan berusia 15 tahun datang ke praktek dokter umum dengan keluhan bercak
merah pada pipi dan hidung.Hal ini dialami sejak 3 bulan yang lalu dan bertambah setelah
terkena sinar matahari.Hal ini disertai dengan keluhan nyeri sendi pergelangan tangan, kaki dan
jari.Nyeri sendi menghilang pada siang hari.Dia juga merasa lelah dan hilang nafsu makan.Pada
pemeriksaan urin ditemukan protein positif.
KATA/KALIMAT KUNCI
1. Perempuan 15 tahun
2. Bercak merah pada pipi dan hidung
3. Dialami sejak 3 bulan lalu
4. Bertambah setelah kena matahari
5. Nyeri sendi tangan, kaki dan jari
6. Kaku sendi menghilang pada siang hari
7. Lelah
8. Hilang nafsu makan
9. Protein positif pada urin
KATA SULIT
DAFTAR PERTANYAAN:
LO:
HIPOTESA
PROBLEM TREE
Penyakit kompleks imun adalah sekelompok penyakit yang didasari oleh adanya endapan
kompleks imun pada organ spesifik, jaringan tertentu atau berear dalam pembuluh darah
(circullating imune complex). Biasanya antibody berupa IgG atau IgM, tapi pada penyakit
tertentu juga terlihat peranan IgE dan IgA. Kompleks imun dapat berasal dari ikatan antibody-
antigen dalam sirkulasi ataupun terbentuk pada jaringan setempat. Pada beberapa penyakit
antigen merupakan komponen dari jaringan tubuh sendiri (autoantigen), sehingga dikenal
sebagai penyakit autoimun atau berasal dari agen infeksi. Setelah terbentuk kompleks imun
disirkulasi atau jaringan, kompleks akan mengaktifkan berbagai mediator inflamasi seperti
komplemen pengerahan sel-sel radang PMN dan monosit ke tempat lesi. Selanjutnya komplemen
yang telah diaktifkan akan melepas mediator-mediator inflamasi antara lain: C3a dan C5a yang
bersifat kemotaksis dan anafilatoksis dan sitolisisn yang menyebabkan lisis jaringan sekitarnya.
Sel-sel radang PMN dan monosit juga akan melepaskan bahan toksik yang berasal dari
metabolisme oksigen dan arginin, berbagai protease dan enzim-enzim lain yang pada akhirnya
kan menyebabkan kerusakan jaringan tempat endapan menjadi lebih parah. Penyakit kompleks
imun dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok alergi dan non alergi. Penyakit kompleks
imun alergi antara lain: reaksi artus, reaksi serum sickness, reaksi bronkoalveolaris. Penyakit
kompleks imn non alergi antara lain: lupus eritematosus sistemik (SLE), vaskulitis,
glomeronefritis, arthritis reumatoid, dan demam reumatik. Walaupun etiologi spesifik penyakit
ini sangat bervariasi, namun patofisiologi secara umum sama (sukmana, 2015)
Dasar patofisiologi penyakit kompleks imun ini adalah reaksi hipersensitivitas tipe III
menurut Gell dan Comb. Reaksi yang terjadi disebut reaksi kompleks imun, terjadi apabila
kompleks antigen-antibodi ditemukan dalam jaringan atau sirkulasi/dinding pembuluh darah dan
mengaktifkan komplemen. Antibody biasanya jenis IgM atau IgG, dan dapat pula berupa IgA
atau IgE. IgM dan IgG mengaktifkan komplemen melalui jalur alternative. Pada penyakit
kompleks imun alergik seperti Aspergilosis Bronkopulmonari Alergik IgE juga berperan melalui
reaksi hipersensitivitas Tipe I Gell dan Comb. Komplemen yang diaktifkan kemudian melepas
Macrophage Chemotactic Factor. Makrofag yang dikerahkan ketempat tersebut melepas enzim
protease dan enzim lain yang dapat merusak jaringan sekitarnya. Makrofag juga melepas bahan
toksik yang berasal dari metabolism oksigen dan arginin (Oksigen Radikal Bebas) yang akan
menyebabkan kerusakan jaringan lebih parah.
Antigen dapat berasa dari infeksi kuman pathogen yang persisten (malaria), bahan yang
terhirup (spora jamur menimbulkan alveolitis alergik ekstrinsik) atau dari jaringan sendiri
(penyakit autoimun). Infeksi dapat disertai dengan antigen dalam jumlah yang berlebihan, tetapi
tanpa adanya respon antibody yang efektif. Dalam keadaan normal kompleks imun dimusnahkan
Meskipun kompleks imun berada didalam sirkulasi untuk jangka waktu lama, biasanya
tidak berbahaya. Permasalahan akan timbul bila kompleks imun tersebut mengendap di jaringa
Hal yang memungkinkan dan terjadinya pengendapan kompleks imun dalam jaringan
ialah kompleks imun yang kecil dan permeabilitsa vascular yang meninggi, antara lain kerena
histamine yang dilepas. Komplemen, mastosit dan trombosit ikut berperan pada pengelepasan
histamine tersebut. Histamine dilepas dari mastosi pada aktivasi komplemen anafilatoksin yang
dilepas pada aktivasi kompleemen. Kompleks imun lebih mudah untuk diedapkan, misalnya
dalam kapilar glomerulus, bifurkasi pemnuluh darah, pleksus korid dan Ciliary Body mata. Pada
lupus eritemasotosus sistemik, ginjal merupakan tempat endapan kompleksi imun. Pada Astritis
Reumatoid, sel plasma dalam sinovium membentuk anti-IgG (factor reumatik yang
menimbulkan kompleks imun di sendi) (sukmana, 2015).
Penimbunan antigen antibody pada embuluh darah diikuti aktivasi komplemen dan
peradangan akut. Antigendi dalam kompleks tersebut mungkin berupa antigen eksogen, seperti
protein mikroba, atau antigen endogen, seperti nukleoprotein. pembuatan kompleks imun sendiri
tidak sama dengan penyakit hipersensitivitas; kompleks antigen antibody dalam jumlah kecil
mungkin diproduksi selama reaksi imun normal dan biasanya difagositosis dan dihancurkan.
Hanya pada saat produksi kompleks imun yang cukup besar, menetap dan mengendap
dijaringan yang bersifat patogen. Kompleks imun yang patogenik mungkin dibuat di dalam
peredaran darah dan selanjutnya mengendap di pembuluh darah (kumar, 2013)
Systemic lupus erythematous (SLE) atau lupus eritomatosus sistemik adalah penyakit
autoimun multisistem dengan manifestasi khas dan prilaku klinis bervariasi. Secara klinis dapat
diramalkan penyakit yang mereda dan kambuh dengan permulaan akut atau berangsur angsur
yang dapat menjangkiti hampir semua organ tubuh seperti terutama mengenai kulit, ginjal,
membran serosa, sendi dan jantung secara imunologi penyakit ini berhubungan dengan berbagai
macam autoantibodi termasuk antibudi, antinukleus (kumar, 2013 ; 125).
b. Etiologi
Penyebab belum diketahui. Diduga faktor genetik, infeksi dan lingkungan ikut berperan
dalam patofisiologi SLE. Sistem imun tubuh kehilangan kemapuan untuk membedakan antigen
dari sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan reaksi imunologi ini akan enghasilkan
antibodi secara terus menerus. Antibodi ini juga berperan dalam pembentukan kompleks imun
sehingga mencetuskan penyakit inflamasi imun sistemik dengan kerusakan multiorgan.
1. Faktor resiko genetic. Meliputi jenis kelamin (prekuensi pada wanita dewasa 8x lebih sering
dari pada pria dewasa), umur (lebih sering pada usia 20-40tahun), etnik dan faktor keturunan
(20x lebih sering dalam keluarga dimana terdapat anggota dengan penyakit tersebut.
2. Faktor hormon. Hormon estrogen menambah resiko SLE sedangkan androgen mengurangi
resiko.
3. Faktor sinar UV. Sinar UV mengurangi supresi imun sehingga terpapi menjadi kurang efektif
sehingga SLE kambuh atau bertambah berat. Ini disebabkan sel kulit mengeluarkan sitokin
dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut maupun secara sistemik
melalui peredaran dipembuluh darah.
Cacat dasar pada SLE adalah kegagalan untuk mempertahankan toleransi-diri, yang
menyebabkan produksi autoantibodi dalam jumlah besar yang dapat merusak jaringan baik
secara langsung maupun dalam bentuk endapan kompleks imun. Seperti terjadi pada penyakit
autoimun lain, patogenesis SLE merupakan gabungan dari faktor genetik dan lingkungan.
Penelitian-penelitian mutakhir mekanisme yang menarik tentang patogenesis dari penyakit yang
rumit ini.
Adanya satu atau beberapa factor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai
predisposes geneti akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel T CD4+,
mengakibbanyak atkan hilangnya toleransi sel T terhadap Self Antigen.
Pada SLE, autoantibody yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang terutama
terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan non histon.
Kebanyakan diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan atau
kompleks protein-RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas autoantigen ini
ialah bahwa mereka tidak Tissue spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel.
Antibody ini secara bersama-sama disebut ANA (anti nuclear antibody). Dengan
antigennya yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi. Telah
ditunjukan bahwa penangan kompleksi imun pada SLE terganggu. Dapat berupa gangguan
klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan
penuruan uptake kompleks imun pada limpa. Ganguan-gangguan ini memungkinkan
terbentuknya deposit kompleks imun diluar system fagosit mononuclear. Kompleks imun ini
akan mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada
organ tersebut. Peritiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi
penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan
d. Manifestasi klinis
SLE adalah penyakit multisistem yang sangat bervariasi dalam tampilan klinisnya. Secara
khas, penderita adalah wanita muda dengan sebagian, tetapi kadang-kadang semuanya, dari
perangai berikut: ruam menyerupai kupu-kupu di wajah, demam, nyeri dan pembengkakan pada
satu atau lebih sendi perifer (tangan dan pergelangan tangan, lulut, kaki, pergelangan kaki, siku,
bahu), nyeri dada karena pleuritis dan fotosensitivitas. Walaupun demikian, pada banyak
penderita, tampilan klinis SLE tidak jelas dan meragukan, dalam bentuk seperti penyakit demam
yang tidak diketahui sebabnya, kelainan analisis urin atau penyakit sendi menyerupai artritis
reumatika atau demam reuma.ANA ditemukan pada hampir 100 penderita, tetapi hal yang
penting adalah bahwa ANA tidak spesifik. Beragam penemuan klinis mungkin mengarah ke
terjangkitnya ginjal, termasuk hematuria, "cast" sel darah merah proteinuria, dan sindrom
nefrotik klasik. Bukti laboratori dari beberapa kelainan hematologik lazim terjadi, dan pada
sebagia penderita anemia atau trornbositopenia mungkin merupakan tampilan klinis disertai
masalah klinis yang dominan. Pada penderita lain kelainan neuropsikiatrik, psikosis atau kejang,
atau penyakit arteri koroner mungkin merupakan masalah klinis yang menonjol. Penderita SLE
mudah mengalami infeksi, dianggap karena disfungsi imunologi yang menjadi dasar penyakit
atau terapi dengan obat imunosupresif.Strategi pengobatan akhir-akhir ini termasuk melenyapkan
sel B dengan antibodi anti-CD20 (Rituximab) dan menghambat faktor pertumbuhan.Perjalanan
penyakit bervariasi dan tidak dapat diramalkan.Pada kasus akut yang jarang dapat berkembang
menuju kematian dalam beberapa minggu atau bulan.Lebih sering terjadi, dengan pengobatan
e. Pemeriksaan penunjang
1. ANA (antinuklear antibodi) tes ANA memiliki sensitivitas yang tinggi namun spesifitas
yang rendah
2. Anti dsDNA (double stranded) tes ini sangat spesifik untuk SLE biasanya titernya akan
meningkat sebelum SLE kambuh
3. Antibodi anti-S(smith). Antibodi spesifik terdapat pada 20-30% pasien
4. Anti RNP(ribonukleaoprotein), antiRO atau anti-SS-A, anti-La(antikoagulen lupus atau
anti SSB, antibodi antikardiolipin. Titernya tidak terkait dengan kambuhnya SLE.
5. Komplemen C3,C4 dan CH50 (komplemen hemolitik)
6. Tes sel LE. Kurang spesifik dan juga positif pada artritis rematoid, sindrom sjorgen,
sklerodema, obat dan bahan bahan kimia lain.
7. Anti ssDNA (single stranded)
8. Pasien dengan anti ssDNA positif cenderung menderita nefritis.
Seorang pasien dikalasifikasikan menderita SLE apabila memenuhi minimal 4 dari 11 kriteria
diatas.
g. Penatalaksanaan
Kelompok ringan
SLE dengan gejala-gejala panas, artritis, perikarditis ringan, efusi pleura atau perikard ringan,
kelelahan, dan sakit kepala
Kelompok berat
SLE dengan gejalagejaka efusi pleura dan perikard masif, penyakit ginjal, anemia hemolitik,
trombositopenia, lupus serebra, vaskulitis akut, miokarditis, pneumonitis lupus, dan perdarahan
paru
1.Kelelahan bisa karena sakitnya atau karena penyakit lain seperti anemia, demam, infeksi,
gangguan hormonal, komplikasi pengobatan atau stress emosional. Upaya mengurangi
kelelahan disamping pemberian obat ialah istirahat, pembatasan aktivitas ang berlebih, dan
mampu menguba gaya hidup
2.Hindari merokok
3.Hindari perubahan cuaca karena akan mempengaruhi proses inflamasi
4.Hindari stres dan trauma fisik
5.Diet sesuai kelainan misalnya, hiperkoleseterolemia
6.Hindari pajanan sinar matahari, khususnya ultraviolet pada pukul 10.00-15.00
7.Hindari pemakaian kontrasepsi atau obat lain yang mengandung hormon estrogen.
Aspirin dan antiinflamasi nonsteroid merupakan pilihan utama dengan dosis sesuai derajat
penyakit
Penambahan obat antimalaria hanya bila ada ruam kulit dan lesi di mukosa membran
Bila gagal, dapat ditambahkan prednisone 2,5-5 mg/hari. Dosis dapat dinaikkan 20% secara
bertahap tiap satu sampai dua minggu sesuai kebutuhan
Pemberian steroid sistemik merupakan pilihan pertama dengan dosis sesuai dengan
kelainan organ sasaran yang terkena
Anemia heolitik autoimun: Prednisone 60-80 mg/hari (1,5 mg/kg BB/hari), dapat
ditingkatkan sampai 100-120 mg/hari bila dalam beberapa hari sampai satu minggu belum
ada perbaikan.
Trombositopenia autoimunprednison 60-80 mg/hari (1,5 mg/kg BB/ hari). Bila tidak ada
respon dalam 4 minggu ditambahkan imunoglobulin intravena denan dosis 0,4 mg/ kg
BB/hari selama lima hari berturutturut.
Vaskulitis sistemik akut: prednisone 60-100 mg/hai, pada keadaan akut diberikan
parenteral.
Perikarditis ringan: obt antiinflamasi nonsteroid atau antimalaria. Bila tidak efektif dapat
diberikan prednison 20-40 mg/hari.
Lupus serebral: metilprednisolon 2 mg/kg BB/hari untuk 3-5 hari, bila berhasil dilanjutkan
pemberian oral 5-7 hari lalu diturunkan perlahan. Dapat diberikan metilprednisolon pulse
dosis selama 3 hari berturut-turut.
h. Prognosis
Dengan diagnosis dini dan penatalaksanaan yang mutakhir, maka 80-90% pasien dapat
mencapai harapan hidup sepuluh tahun dengan kualitas hidup yang yang kurang normal.
2. Artritis Rheumatoid
a. Pengertian
Artritis rheumatoid (RA) merupakan contoh penyakit autoimun. Di sini terbentuk Ig yang
berupa IgM (disebut rheumatoid faktor, RF) yag spesifik terhadap fraksi Fc dari molekul IgG.
Mengapa jenis Ig ini dibentuk dalam jumlah yang besar pada beberapa orang tidaklah diketahui.
Kompleks RF dan IgG ditimbun di synovial sendi dan mengaktifkan komplemen yang melepas
mediator dengan sifat kemotaktik dan lisis jaringan setempat. Respon inflamasi yang disertai
peningkatan permeabilitas vascular menimbulkan pembengkakan sendi dan sakit bila eksudat
bertambah banyak (pada gambar). (salim dan sukmana, 2007)
Enzim hidrolitik yang dilepas pada reaksi ini dapat pula menimbulkan destruksi
permukaan sendi sehingga mengganggu fungsi normal sendi tersebut. Akibaat inflamasi yag
berulang-ulang, terjadi penimbunan fibrin dan penggantian tulang rawan oleh jaringan ikat
b. patogenesis
Pathogenesis penyakit ini terjadi akibat rantai peristiwa imunologi yang menyebabkan
proses destruksi sendi. Berhubungan dengan faktor genetic, hormonal, infeksi, dan heat shock
protein.
c. Epidemiologi
Prevalensi dan insiden penyakit ini bervariasi antara populasi satu dengan lainya, di
Amerika Serikat dan beberapa daerah di Eropa prevalensi AR sekitar 1% pada kaukasia dewasa;
Perancis sekitar 0,3%, Inggris dan Finlandia sekitar 0,8% dan Amerika Serikat 1,1% sedangkan
di Cina sekitar 0,28%. Jepang sekitar 1,7% dan India 0,75%. Insiden di Amerika dan Eropa
Utara mencapai 20-50/100000 dan Eropa Selatan hanya 9-24/100000. Di Indonesia dari hasil
survey epidemiologi di Bandungan Jawa Tengah didapatkan prevalensi AR 0,3 %, sedang di
Malang pada penduduk berusia diatas 40 tahun didapatkan prevalensi AR 0,5 % di daerah
Kotamadya dan 0,6% di daerah Kabupaten. Di Poliklinik Reumatologi RSUPN Cipto
Mangunkusumo Jakarta, pada tahun 2000 kasus baru Artritis Reumatoid merupakan 4,1% dari
seluruh kasus baru. Di poliklinik reumatologi RS Hasan Sadikin didapatkan 9% dari seluruh
kasus reumatik baru pada tahun 2000-2002.(buku perhimpunan reumatologi Indonesia).
d. Manifestasi klinis
1. Kekakuan di waktu pagi pada atau di sekitar sendi yang berlangsung satu jam atau lebih
sebelum mengalami perbaikan maksimal.
2. Pembengkakan pada tiga sendi atau lebih.
3. Pembengkakan sendi pangkal jari-jari tangan, sendi buku-buku jari tangan bagian atas, atau
pergelangan tangan.
4. Pembengkakan sendi harus simetris mengenai sisi kanan dan kiri.
5. Benjolan di bawah kulit (nodul subkutan).
6. Tes faktor rematik yang positif di dalam darah.
7. Erosi dan/atau pengeroposan tulang di sekitar sendi-sendi jari-jari dan/atau pergelangan
tangan.
Untuk keperluan klasifikasi, seseorang dikatakan menderita artritis reumatoid jika ia sekurang-
kurangnya memenuhi 4 dari 7 kriteria di atas. Kriteria 1 sampai 4 harus terdapat minimal selama
6 minggu.
Kelainan system pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan ulkus peptic yang
merupakan komplikasi utama pengguanan obat anti inflamasi non steroid (OAINS) atau obat
pengubah perjalanan penyakit (DMARD) yang menjadi faktor penyebab morbilitas dan
mortalitas utama pada RA.Komplikasi saraf yang terjadi tidak memberikan gambaran yang jelas,
sehingga sukar dibedakan antara akibat lesi artukilar dan lesi neuropatik umunya berhubungan
dengan mielopati akibat ketidakstabilan vertebra cervical dan neuropati iskemik akibat vasculitis
(kapita selekta kedokoteran jilid1, 1999).
f. Pemeriksaan penunjang
Tidak banyak berperan dalam diagnosis RA, namun dapat menyokong bila terdapat
keraguan atau untuk melihat prognosis pasien. Pada pemeriksaan laboratorium terdapat :
a. Tes faktor reuma biasanya positif pada lebih dari 75% pasien RA terutama bial masih aktif.
Sisanya dapat dijumpai pada pasien lepra, tuberkulosis paru, sirosis hepatis, hepatitis, dan
lain-lain.
c. LED meningkat.
f. Trombosit meningkat.
Pada pemeriksaan rontgen, semua sendi dapat terkena tapi yang tersering adalah sendi
metatarsofalang dan biasanya simetris.Sendi sakroiliaka juga sering terkena.Pada awalnya terjadi
pembekakan jaringan lunak dan demineralisasi juksta articular.Kemudian tejadi penyempitan
ruang sendi dan erosi.
g. Penatalaksanaan
1. Pendidikan pada pasien mengenai penyakitnya dan penatalaksanaan yang akan dilakukan
sehingga terjadi hubungan baik dan terjamin ketaatan pasien untuk tetap berobat dalam
jangka waktu yang lama.
2. OAINS diberikan sejak dini untuk mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi yang sering
dijumpai. OAINS yang dapat diberikan:
pasien dibawah 65 tahun dapat mulai dengan dosis 3-4 kali 1 gram per hari, kemudian
dinaikkan 0,3-0,6 gram per minggu sampai terjadi perbaikan atau gejala toksik. Dosis terapi
20-30 mg/dl.
3. DMARD digunakan untuk melindungi rawan sendi dan tulang dari proses destruksi akibat
RA. Mula khasiatnya bru terlihat setelah sampai 3-12 bulan kemudian. Setelah 2-5 tahun,
maka efektifitasnya dalam menekan proses rheumatoid akan berkurang. Umumnya segera
diberikan setelah diagnosis RA ditegakkan atau bila respon OAINS tidak baik, meski masih
dalam status tersangka.
b. Sulfasalazine dalam bentuk tablet bersalut enteric digunakan dalam dosis 1x500 mg/hari,
ditingkatkan 500 mg/minggu, sampai mencapai dosis 4x500 mg. setelah remisi tercapai,
dosis dapat diturunkan hingga 1 g/hari untuk dipakai dalam jangka panjang sampai tercapai
remisi sempurna. Jika dalam waku 3 bulan tidak terlihat khasiatnya, obat ini dihentikan dan
diganti dengan yang lain, atau dikombinasi.Efek sampingny nausea, muntah, dan dyspepsia.
c. De-penisilamin, kurang disukai karena bekerja sangat lambat. Digunakan dalam dosis
250-300 mg/hari, kemudian dosis ditingkatkan setiap 2-4 minggu sebesar 250-300 mg/hari
untuk mencapai dosis total 4x250-300 mg/hari. Efek samping: ruam kulit urtikaria atau
mobiliformis, stomatitis, dan pemphigus.
d. Garam emas adalah gold standar bagi DMARD. Khasiatnya tidakn diragukan lagi meski
sering timbul efek lain. Aurosodiumtiomalat (AST) diberikan intramuscular, dimulai dengan
dosis percobaan pertama 10 mg, seminggu kemudian disusul dosis kedua sebesar 20 mg.
seminggu kemudian diberikan dosis penuh 50 mg/minggu selama 20 minggu. Efek sampin
berupa pruritus, stomatitis, proteinuria, trombositopenia, dan aplasia sumsum tulang.
metotreksat sangat mudah digunakan dan waktu mula kerjanya relative pendek
dibandingkan dengan yang lain. Dosis dimulai 5-7,5 mg setiap minggu. Bila dalam 4 bulan
4. Rehabilitasi, bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Caranya antara lain
dengan mengistirahatkan sendi yang terlibat; latihan, pemanasan, dan sebagainya.
Fisioterapi dimulai segera setelah rasa sakit pada sendi berkurang atau minimal.Bila tidak
juga berhasil, mungkin diperlukan pertimbangan untuk tindakan operatif.Sering pula
diperlukan alat-alat.
5. Pembedahan.
Jika berbagai cara pengobatan telah dilakukan dan tidak berhasil serta terdapat alasan yang
cukup kuat, dapat dilakukan pengobatan pembedahan. Jenis pengobatan ini pada pasien RA
umumnya bersifat ortopedik, misalnya sinovektomi, atrodesis, total hip replacement,
memperbaiki deviasi ulnar, dan sebagainya.
3. Kekuatan menggenggam.
5. Peningkatan LED.
h. Prognosis
Perjalanan penyakit RA sangat bervariasi, bergantung pada ketaatan pasien untuk berobat
dalam jangka waktu lama. Sekitar 50-70% pasien RA akan mengalami remisi dalam 2 tahun.
Selebihnya akan mengalami prognosis yang lebih buruk. Golongan ini umumnya meninggal 10-
15 tahun lebih cepat daripada orang tanpa RA.Penyebab kemaiannya adalah infeksi, penyakit
jantung, gagal pernapasa, gagal ginjal, dan penyakit saluran cerna. Umumnya mereka memiliki
keadaan umum yang buruk, lebih dari 30 buah sendi yang mengalami peradangan dengan
Beberapa terapi lain dan pencegahan yang dapat dilakukan oleh para penderita rheumatoid
arthritis (RA) di antaranya adalah sebagai berikut:
Latihan atau olahraga ringan dapat membantu menguatkan otot di sekitar sendi. Beberapa jenis
olahraga yang baik dilakukan oleh penderita RA adalah: jalan santai, aerobik ringan, berenang,
dan tai chi. Pasien RA sebaiknya didorong untuk melakukan latihan yang bersifat dinamis dan
sederhana.
- Relaksasi
Penderita RA diharapkan dapat menghindari stres yang berlebihan karena dapat memicu
terjadinya penyakit tersebut.Gerakan relaksasi otot dan meditasi dapat membantu mengontrol
rasa nyeri yang dialami oleh pasien.Selain itu, penderita RA juga dianjurkan untuk tidak terlalu
lelah secara fisik karena hal tersebut juga dapat menjadi salah satu pencetus munculnya gejala
penyakit ini.
Beberapa obat herbal atau suplemen yang dianggap dapat membantu menyembuhkan gejala
penyakit RA adalah: minyak ikan, jahe, dan teh hijau.
- Diet
Meskipun tidak ada diet khusus bagi para penderita RA, makanan yang kaya akan antioksidan
dianggap dapat membantu mengontrol dan mengurangi inflamasi. Selain itu, ikan, sayur-sayuran,
buah-buahan, dan minyak zaitun dianggap baik untuk dikonsumsi oleh penderita penyakit
RA.Penurunan berat badan pada pasien RA yang obesitas juga perlu dilakukan untuk mencegah
gejala penyakit yang lebih berat.
- Operasi
Jika diperlukan, operasi dapat dilakukan pada penderita untuk memperbaiki sendi yang rusak
dan mengurangi rasa nyeri. Prosedur operasi yang dapat dilakukan di antaranya adalah:
penggantian sendi, perbaikan tendon, dan fusi sendi. Penggantian sendi dilakukan jika ada
kerusakan sendi yang parah dan obat-obat yang digunakan tidak dapat mengontrol gejala
penyakit.
Rosasea adalah penyakit kulit kronis pada daerah sentral wajah (yang menonjol atau cembung)
yang di tandai dengan kemerahan pada kulit dan telangiektasi di sertai episode peradangan yang
memunculkan erupsi pakul, pustule,edema
Rosasea sering di derita pada umur 30-40an, namu dapat pula pada remaja maupun
orangtua.Umumnya wanita lebih sering terkena dari pria. Ras kulit putih (Kaukasia) lebih
banyak terkena dari kulit hitam (Negro) atau berwarna (Polinesia), dan di Negara barat lebih
sering pada mereka yang bertaraf sosio-ekonomi rendah.
d. Gejala Klinis
Tempat predileksi rosasea adalah disentral wajah, yaitu hidung, pipi, dagu, kening, dan
alis. Kadang-kadang meluas ke leher bahkan pergelangan tangan atau kaki. Lesi umumnya
simetris.
e. Histopatologi
f. Pengobatan
1. Topikal
a. Tetrasiklin, klindamisin, eritromisin dalam salap 0,5 2.0%. eritromisin lebih baik
hasilnya dibandingkan lainnya.
b. Metronidasol 0,75 % gel atau krim 2% efektif untuk lesi papul dan pustule.
c. Imidasol sendiri atau dengan ketokonasol atau sulfur 2-5% dapat dicoba.
d. Isotretonoin krim 0,2% juga bermanfaat.
e. Antiparasit untuk membunuh D. follikulorum ; misalnya lindane, krotamiton, atau
bensoil bensoat.
f. Kortikosteroid kekuatan rendah (Krim hidrokortison 1%) hanya dianjurkan pada
stadium berat.
2. Sistemik
a. Tetrasiklin, eritromisin, doksisiklin, minosiklin dengan dosis sama dengan dosis akne
vulgaris beradang memberikan hasil yang baik karena efek antimikroba dan anti-
inflamasinya.
Dosis kemudian diturunkan bila lesi membaik.
h. Prognosis
Rosasea umunya persisten, berangsur bertambah berat melalui episode akut.Namun adapula
yang remisi secara spontan.
Diagnosis Banding
SYSTEMIC LUPUS ya ya ya ya ya
ERYTHEMATOUS
Djuanda, Adhi. 2005. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin Edisi IV. Jakarta: FKUI.
Guyton, Arthur C. 2011. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi XII. Jakarta: EGC
Pringgoutomo, Sudarto., Himawa, Sutisna., Tjarta, Achmad. 2002. Buku Ajar Patologi I
(Umum) Edisi I. Jakarta: Sagung Seto
Kumar, Vinay., Cotran, R.S., Dan Robbins SL. 2013. Buku Ajar Patologi. Jakarta: EGC.
Mansjoer, Arif. 1999. Kapita Selekta Kedokteran FKUI. Jakarta: Media Aesculspius FKUI.
Suarjana, I Nyoman. 2015. Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI Jilid III. Jakarta: Interna
Piblushing.
Sukmana, Nanang. 2015. Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI Jilid I. Jakarta: Interna Piblushing.