Anda di halaman 1dari 21

MODUL BERCAK MERAH PADA PIPI

KASUS

Skenario

Seorang perempuan berusia 15 tahun datang ke praktek dokter umum dengan keluhan bercak
merah pada pipi dan hidung.Hal ini dialami sejak 3 bulan yang lalu dan bertambah setelah
terkena sinar matahari.Hal ini disertai dengan keluhan nyeri sendi pergelangan tangan, kaki dan
jari.Nyeri sendi menghilang pada siang hari.Dia juga merasa lelah dan hilang nafsu makan.Pada
pemeriksaan urin ditemukan protein positif.

KATA/KALIMAT KUNCI

1. Perempuan 15 tahun
2. Bercak merah pada pipi dan hidung
3. Dialami sejak 3 bulan lalu
4. Bertambah setelah kena matahari
5. Nyeri sendi tangan, kaki dan jari
6. Kaku sendi menghilang pada siang hari
7. Lelah
8. Hilang nafsu makan
9. Protein positif pada urin

KATA SULIT

DAFTAR PERTANYAAN DAN LO

DAFTAR PERTANYAAN:

1. Apa yang dimaksud dengan penyakit kompleks imun?


2. Bagaimana pathogenesis penyakit kompleks imun?
3. Jelaskan etiologi bercak merah!
4. Jelaskan patomekanisme gejala pada kasus!
5. Penyakit apa saja yang berkaitan pada kasus? Jelaskan sesuai dengan kompetensi pada
SKDI 2012!

LO:

1. Mahasiswa dapat mengetahui tentang kompleks imun


2. Mahasiswa dapat mengetahui pathogenesis dasar penyakit kompleks imun
3. Mahasiswa dapat mengetahui etiologi bercak merah
4. Mahasiswa dapat mengetahui patomekanisme gejala pada kasus

1 | Modul Bercak Merah Pada Pipi


5. Mahasiswa dapat mengetahui penyakit yang berkaitan pada kasus sesuai dengan
kompetensi berdasarkan SKDI 2012

HIPOTESA

Gejala pada skenario kasus merupakan akibat dari kelainan imunologi

PROBLEM TREE

2 | Modul Bercak Merah Pada Pipi


PEMBAHASAN LO

1. Pengertian penyakit kompleks imun

Penyakit kompleks imun adalah sekelompok penyakit yang didasari oleh adanya endapan
kompleks imun pada organ spesifik, jaringan tertentu atau berear dalam pembuluh darah
(circullating imune complex). Biasanya antibody berupa IgG atau IgM, tapi pada penyakit
tertentu juga terlihat peranan IgE dan IgA. Kompleks imun dapat berasal dari ikatan antibody-
antigen dalam sirkulasi ataupun terbentuk pada jaringan setempat. Pada beberapa penyakit
antigen merupakan komponen dari jaringan tubuh sendiri (autoantigen), sehingga dikenal
sebagai penyakit autoimun atau berasal dari agen infeksi. Setelah terbentuk kompleks imun
disirkulasi atau jaringan, kompleks akan mengaktifkan berbagai mediator inflamasi seperti
komplemen pengerahan sel-sel radang PMN dan monosit ke tempat lesi. Selanjutnya komplemen
yang telah diaktifkan akan melepas mediator-mediator inflamasi antara lain: C3a dan C5a yang
bersifat kemotaksis dan anafilatoksis dan sitolisisn yang menyebabkan lisis jaringan sekitarnya.
Sel-sel radang PMN dan monosit juga akan melepaskan bahan toksik yang berasal dari
metabolisme oksigen dan arginin, berbagai protease dan enzim-enzim lain yang pada akhirnya
kan menyebabkan kerusakan jaringan tempat endapan menjadi lebih parah. Penyakit kompleks
imun dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok alergi dan non alergi. Penyakit kompleks
imun alergi antara lain: reaksi artus, reaksi serum sickness, reaksi bronkoalveolaris. Penyakit
kompleks imn non alergi antara lain: lupus eritematosus sistemik (SLE), vaskulitis,
glomeronefritis, arthritis reumatoid, dan demam reumatik. Walaupun etiologi spesifik penyakit
ini sangat bervariasi, namun patofisiologi secara umum sama (sukmana, 2015)

2. Patofisiologi penyakit kompleks imun

Dasar patofisiologi penyakit kompleks imun ini adalah reaksi hipersensitivitas tipe III
menurut Gell dan Comb. Reaksi yang terjadi disebut reaksi kompleks imun, terjadi apabila
kompleks antigen-antibodi ditemukan dalam jaringan atau sirkulasi/dinding pembuluh darah dan
mengaktifkan komplemen. Antibody biasanya jenis IgM atau IgG, dan dapat pula berupa IgA
atau IgE. IgM dan IgG mengaktifkan komplemen melalui jalur alternative. Pada penyakit
kompleks imun alergik seperti Aspergilosis Bronkopulmonari Alergik IgE juga berperan melalui
reaksi hipersensitivitas Tipe I Gell dan Comb. Komplemen yang diaktifkan kemudian melepas
Macrophage Chemotactic Factor. Makrofag yang dikerahkan ketempat tersebut melepas enzim
protease dan enzim lain yang dapat merusak jaringan sekitarnya. Makrofag juga melepas bahan
toksik yang berasal dari metabolism oksigen dan arginin (Oksigen Radikal Bebas) yang akan
menyebabkan kerusakan jaringan lebih parah.

Antigen dapat berasa dari infeksi kuman pathogen yang persisten (malaria), bahan yang
terhirup (spora jamur menimbulkan alveolitis alergik ekstrinsik) atau dari jaringan sendiri
(penyakit autoimun). Infeksi dapat disertai dengan antigen dalam jumlah yang berlebihan, tetapi
tanpa adanya respon antibody yang efektif. Dalam keadaan normal kompleks imun dimusnahkan

3 | Modul Bercak Merah Pada Pipi


oleh sel fagosit mononuclear, terutama dihati, limpa dan paru, tanpa bantuan komplemen. Dalam
proses tersebut, ukuran kompleks merupakan factor yang penting. Pada umumnya kompleks
yang besar dapat dengan mudah dan cepat oleh makrofag dalam hati, sedakngkan kompleks kecil
sulit untuk dimusnahkan karena itu dapat lebih lama berada dalam sirkulasi. Diduga bahwa
gangguan fungsi fagosit merupakan salag satu penyebab menga kompleks tersebut sulit
dimusnahkan.

Meskipun kompleks imun berada didalam sirkulasi untuk jangka waktu lama, biasanya
tidak berbahaya. Permasalahan akan timbul bila kompleks imun tersebut mengendap di jaringa

Hal yang memungkinkan dan terjadinya pengendapan kompleks imun dalam jaringan
ialah kompleks imun yang kecil dan permeabilitsa vascular yang meninggi, antara lain kerena
histamine yang dilepas. Komplemen, mastosit dan trombosit ikut berperan pada pengelepasan
histamine tersebut. Histamine dilepas dari mastosi pada aktivasi komplemen anafilatoksin yang
dilepas pada aktivasi kompleemen. Kompleks imun lebih mudah untuk diedapkan, misalnya
dalam kapilar glomerulus, bifurkasi pemnuluh darah, pleksus korid dan Ciliary Body mata. Pada
lupus eritemasotosus sistemik, ginjal merupakan tempat endapan kompleksi imun. Pada Astritis
Reumatoid, sel plasma dalam sinovium membentuk anti-IgG (factor reumatik yang
menimbulkan kompleks imun di sendi) (sukmana, 2015).

3. Etiologi bercak merah

Penimbunan antigen antibody pada embuluh darah diikuti aktivasi komplemen dan
peradangan akut. Antigendi dalam kompleks tersebut mungkin berupa antigen eksogen, seperti
protein mikroba, atau antigen endogen, seperti nukleoprotein. pembuatan kompleks imun sendiri
tidak sama dengan penyakit hipersensitivitas; kompleks antigen antibody dalam jumlah kecil
mungkin diproduksi selama reaksi imun normal dan biasanya difagositosis dan dihancurkan.
Hanya pada saat produksi kompleks imun yang cukup besar, menetap dan mengendap
dijaringan yang bersifat patogen. Kompleks imun yang patogenik mungkin dibuat di dalam
peredaran darah dan selanjutnya mengendap di pembuluh darah (kumar, 2013)

4. Patomekanisme gejala pada kasus


a) Bercak merah bertambah setelah kena sinar matahari
Sinar ultraviolet (UV),pajanan sinar matahari, menyebabkan munculnya lesi. Landasan
mekanisme dari pengaruh ini adalah sinar UV yang menyebabkan apoptosis sel tuan rumah, yang
mengakibatkan peningkatan beban fragmen inti sel dan reaksi inflamasi terhadap produk dari sel
yang mati (kumar, 2013).
b) Bercak merah pada pipi dan hidung
Kompleks antigen antibodi (kompleks imun) yang dibentuk di dalam peredaran darah
dapat mengendap pada pembuluh darah, diikuti aktivasi komplemen dan peradangan akut.
Antigendi dalam kompleks tersebut mungkin berupa antigen eksogen, seperti protein mikroba,
atau antigen endogen, seperti nukleoprotein. pembuatan kompleks imun sendiri tidak sama

4 | Modul Bercak Merah Pada Pipi


dengan penyakit hipersensitivitas; kompleks antigen antibody dalam jumlah kecil mungkin
diproduksi selama reaksi imun normal dan biasanya difagositosis dan dihancurkan. Hanya pada
saat produksi kompleks imun yang cukup besar, menetap dan mengendap dijaringan yang
bersifat patogen. Kompleks imun yang patogenik mungkin dibuat di dalam peredaran darah dan
selanjutnya mengendap di pembuluh darah, atau kompleks imun mungkin mengendap di tempat
antigen ditanamkan (komplek-imun in situ). Kompleks imun dapat menyebabkan jejas sistemik
apabila dibentuk di dalam sirkulasi dan mengendap di beberapa organ, atau terlokalisasi pada
organ tertentu (contoh ginjal, sendi atau kulit) apabila kompleksimun dibentuk di sirkulasi dan
mengendap di tempat yang spesifik (kumar, 2013).
c) Nyeri sendi
Pada proses inflamasi, misalnya pada artritis, proses terjadi karena stimulus nosiseptor
akibat pembebasan berbagai mediator biokimiawi selama proses inflamasi terjadi. Inflamasi
terjadi akibat rangkaian reaksi imunologik yang dimulai oleh adanya antigen yang kemudian
diproses oleh antigen presenting cells (APC) yang kemudian akan diekskresikan ke permukaan
sel dengan determinan HLA yag sesuai. Antigen yang diekspresikan tersebut akan diikat oleh se
T melalui reseptor sel T pada permukaan sel T membentuk kompleks trimolekuler. Kompleks
trimolekuler tersebut akan mencetuskan rangkaian reaksi imunologik. Dengan pelepasan
berbagai sitokin (IL-1,IL-2) sehingga terjadi aktifasi, mitosis dan proliferasi sel T tersebut. Sel T
yang teraktifasi juga akan menghasilkan berbagai limfokin dan mediator inflamasi yang bekerja
merangsang makrofag untuk meningkatkan aktivitas fagositosisnya dan merangsang proliferasi
dan aktivasi sel B untuk memproduksi antibody.
Setelah berikatan dengan antigen, antibody yang dihasilkan akan membentuk kompleks
imun yang akan mengendap pada organ target dan mengaktifkan sel radang untuk melakukan
fagositosis yang diikuti oleh pembebasan metabolic asam arakidonat, radikal oksigen bebas,
enzim protease yang pada akhirnya akan menyebabkan kerusakan pada organ target tersebut.
Kompleks imun juga dapat mengaktivasi system komplemen dan membebaskan
komponen aktif seperti C3a dan C5a yang merangsang sel mast dan trombosit untuk
membebaskan amina vasoaktif sehingga timbul vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas
vascular. Selain itu komponen komplemen C5a juga mempunyai efek kemotaktik sehingga sel-
sel polimorfonuklear dan mononuclear akan berdatangan ke daerah inflamasi.
d) Proteinuria
Agregrat kompleks imun akan disaring di ginjal dan mengendap di membrane basal
glomerulus. Kompleks lainnya mungkin mengaktifkan komplemen, dan menarik glanurosit dan
menimbulkan reaksi inflamasi sebagai glomerulonefritis. Kerusakan ginjal menimbulkan
proteinuria dan kadang-kadang perdarahan. Derajat gejala penyakit dapat berubah-ubah sesuai
dengan kadar kompleks imun.(sukmana, 2015)
e) Lelah
Penimbunan antigen antibody mengganggu sirkulasi darah dalam tubuh, pasokan oksigen
kurang. Akibatnya, jalur metabolisme aerob menjadi tidak optimal akibatnya energy yang
dihasilkan menurun sehingga orang tersebut mudah lelah. Saat proses metabolism aerob tidak

5 | Modul Bercak Merah Pada Pipi


optimal, berlangsung proses metabolism anaerob. Pada metabolism anaerob energi yang
dihasilkan sedikit dan menghasilkan asam laktat yang menyebabkan kelelahan otot.
f) Kurang nafsu makan
Pada keadaan normal makanan yang ada dalam saluran pencernaan akan berjalan dari
lambung ke usus halus dengan melakukan kontraksi peristaltic. dimana pada proses kontraksi
otot polos pada lambung dan usus akan membutuhka banyak ATP yaitu pada perlekatan dan
pelepasan aktin dan myosin. Pada keadaan anemia jaringan tubuh akan terjadi hipoksia yang
menyebabkan pembentukan energy (ATP) juga akan berkurang karena hanya bias mengaktifkan
metabolism anaerob dimana pada proses ini energy yang di hasilkan dalam jumlah yang lebih
sedikit. Pada keadaan ini akan mengakibatkan kerja lambung dalam hal ini kontraksi otot
lambung akan berkurang sehingga proses pemindahan makanan akan terhambat sehingga
menimbulkan rasa kenyang terus menerus.( guyton: 2011)
5. Penyakit yang berkaitan pada kasus
1) Systemic lupus erythematous
a. Pengertian

Systemic lupus erythematous (SLE) atau lupus eritomatosus sistemik adalah penyakit
autoimun multisistem dengan manifestasi khas dan prilaku klinis bervariasi. Secara klinis dapat
diramalkan penyakit yang mereda dan kambuh dengan permulaan akut atau berangsur angsur
yang dapat menjangkiti hampir semua organ tubuh seperti terutama mengenai kulit, ginjal,
membran serosa, sendi dan jantung secara imunologi penyakit ini berhubungan dengan berbagai
macam autoantibodi termasuk antibudi, antinukleus (kumar, 2013 ; 125).

b. Etiologi

Penyebab belum diketahui. Diduga faktor genetik, infeksi dan lingkungan ikut berperan
dalam patofisiologi SLE. Sistem imun tubuh kehilangan kemapuan untuk membedakan antigen
dari sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan reaksi imunologi ini akan enghasilkan
antibodi secara terus menerus. Antibodi ini juga berperan dalam pembentukan kompleks imun
sehingga mencetuskan penyakit inflamasi imun sistemik dengan kerusakan multiorgan.

Faktor Resiko yang mempengaruhi penyakt SLE:

1. Faktor resiko genetic. Meliputi jenis kelamin (prekuensi pada wanita dewasa 8x lebih sering
dari pada pria dewasa), umur (lebih sering pada usia 20-40tahun), etnik dan faktor keturunan
(20x lebih sering dalam keluarga dimana terdapat anggota dengan penyakit tersebut.
2. Faktor hormon. Hormon estrogen menambah resiko SLE sedangkan androgen mengurangi
resiko.
3. Faktor sinar UV. Sinar UV mengurangi supresi imun sehingga terpapi menjadi kurang efektif
sehingga SLE kambuh atau bertambah berat. Ini disebabkan sel kulit mengeluarkan sitokin
dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut maupun secara sistemik
melalui peredaran dipembuluh darah.

6 | Modul Bercak Merah Pada Pipi


4. Faktor imunitas. Pada pasien SLE terdapat hiperaktifasi sel B atau intoleransi terhadap selT.
5. Faktor obat obatan. Jenis obat yang dapat menyebabkan lupus adalah :
a. Obat yang pasti menyebabkan lupus : klorpromazin, metil dopa, hidralasin, prokainamid
dan isoniazid.
b. Obat yang mungkin menyebabkan lupus : dilantin, penisilamin, dan kuinidin
c. Obat yang hubungannya belum jelas : garam emas, beberapa jenis antibiotik dan
grisofulvin
6. Faktor infeksi. P asie SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang kadang penyekit
ini kambuh setelah infeksi
7. Faktor stress. Stress berat dapat mecetuskan SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecenderungan akan penyakit ini.
c. Patogenesis

Cacat dasar pada SLE adalah kegagalan untuk mempertahankan toleransi-diri, yang
menyebabkan produksi autoantibodi dalam jumlah besar yang dapat merusak jaringan baik
secara langsung maupun dalam bentuk endapan kompleks imun. Seperti terjadi pada penyakit
autoimun lain, patogenesis SLE merupakan gabungan dari faktor genetik dan lingkungan.
Penelitian-penelitian mutakhir mekanisme yang menarik tentang patogenesis dari penyakit yang
rumit ini.

Pathogenesis SLE dihipotesiskan sebagai berikut:

Adanya satu atau beberapa factor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai
predisposes geneti akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel T CD4+,
mengakibbanyak atkan hilangnya toleransi sel T terhadap Self Antigen.

Pada SLE, autoantibody yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang terutama
terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan non histon.
Kebanyakan diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan atau
kompleks protein-RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas autoantigen ini
ialah bahwa mereka tidak Tissue spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel.

Antibody ini secara bersama-sama disebut ANA (anti nuclear antibody). Dengan
antigennya yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi. Telah
ditunjukan bahwa penangan kompleksi imun pada SLE terganggu. Dapat berupa gangguan
klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan
penuruan uptake kompleks imun pada limpa. Ganguan-gangguan ini memungkinkan
terbentuknya deposit kompleks imun diluar system fagosit mononuclear. Kompleks imun ini
akan mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada
organ tersebut. Peritiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi
penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan

7 | Modul Bercak Merah Pada Pipi


atau gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus
koroideus, kulit dan sebagainya. (IPD UI Edisi IV)

d. Manifestasi klinis

SLE adalah penyakit multisistem yang sangat bervariasi dalam tampilan klinisnya. Secara
khas, penderita adalah wanita muda dengan sebagian, tetapi kadang-kadang semuanya, dari
perangai berikut: ruam menyerupai kupu-kupu di wajah, demam, nyeri dan pembengkakan pada
satu atau lebih sendi perifer (tangan dan pergelangan tangan, lulut, kaki, pergelangan kaki, siku,
bahu), nyeri dada karena pleuritis dan fotosensitivitas. Walaupun demikian, pada banyak
penderita, tampilan klinis SLE tidak jelas dan meragukan, dalam bentuk seperti penyakit demam
yang tidak diketahui sebabnya, kelainan analisis urin atau penyakit sendi menyerupai artritis
reumatika atau demam reuma.ANA ditemukan pada hampir 100 penderita, tetapi hal yang
penting adalah bahwa ANA tidak spesifik. Beragam penemuan klinis mungkin mengarah ke
terjangkitnya ginjal, termasuk hematuria, "cast" sel darah merah proteinuria, dan sindrom
nefrotik klasik. Bukti laboratori dari beberapa kelainan hematologik lazim terjadi, dan pada
sebagia penderita anemia atau trornbositopenia mungkin merupakan tampilan klinis disertai
masalah klinis yang dominan. Pada penderita lain kelainan neuropsikiatrik, psikosis atau kejang,
atau penyakit arteri koroner mungkin merupakan masalah klinis yang menonjol. Penderita SLE
mudah mengalami infeksi, dianggap karena disfungsi imunologi yang menjadi dasar penyakit
atau terapi dengan obat imunosupresif.Strategi pengobatan akhir-akhir ini termasuk melenyapkan
sel B dengan antibodi anti-CD20 (Rituximab) dan menghambat faktor pertumbuhan.Perjalanan
penyakit bervariasi dan tidak dapat diramalkan.Pada kasus akut yang jarang dapat berkembang
menuju kematian dalam beberapa minggu atau bulan.Lebih sering terjadi, dengan pengobatan

8 | Modul Bercak Merah Pada Pipi


yang tepat, penyakit yang kambuh dan mengalami remisi dalam rentang waktu bertahun-tahun
atau bahkan beberapa dekade.Pada masa aktivasi akut, pengendapan kompleks imun sertai
aktivasi komplemen menyebabkan hipokomplementemia.Eksaserbasi penyakit biasanya diobati
dengan kortikosteroid atau obat imunosupresif. Bahkan tanpa terapi, penyakit dapat berjalan
dalam bentuk jinak, hanya menyebabkan kelainan kulit dan hematuria ringan selama bertahun-
tahun.Hasil pengobatan menunjukkan perbaikan bermakna, daya tahan hidup 5 tahun dapat
diharapkan terjadi pada sekitar 95% penderita.Penyebab kematian yang paling sering adalah
gagal ginjal, infeksi berulang dan penyakit kardiavaskular. Angka kejadian kanker juga
meningkat, terutama limfoma jenis sel B, suatu hubungan yang sering terjadi pada penyakit yang
ditandai oleh peningkatan stimulasi limfositB (kumar, 2013 ; 125).

e. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan meliput :

1. ANA (antinuklear antibodi) tes ANA memiliki sensitivitas yang tinggi namun spesifitas
yang rendah
2. Anti dsDNA (double stranded) tes ini sangat spesifik untuk SLE biasanya titernya akan
meningkat sebelum SLE kambuh
3. Antibodi anti-S(smith). Antibodi spesifik terdapat pada 20-30% pasien
4. Anti RNP(ribonukleaoprotein), antiRO atau anti-SS-A, anti-La(antikoagulen lupus atau
anti SSB, antibodi antikardiolipin. Titernya tidak terkait dengan kambuhnya SLE.
5. Komplemen C3,C4 dan CH50 (komplemen hemolitik)
6. Tes sel LE. Kurang spesifik dan juga positif pada artritis rematoid, sindrom sjorgen,
sklerodema, obat dan bahan bahan kimia lain.
7. Anti ssDNA (single stranded)
8. Pasien dengan anti ssDNA positif cenderung menderita nefritis.

9 | Modul Bercak Merah Pada Pipi


f. Diagnosis

Kriteria menurut ARA untuk SLE:

Seorang pasien dikalasifikasikan menderita SLE apabila memenuhi minimal 4 dari 11 kriteria
diatas.

g. Penatalaksanaan

Untuk penatalaksanaan, pasien SLE dibagi menjadi:

Kelompok ringan

SLE dengan gejala-gejala panas, artritis, perikarditis ringan, efusi pleura atau perikard ringan,
kelelahan, dan sakit kepala

Kelompok berat

SLE dengan gejalagejaka efusi pleura dan perikard masif, penyakit ginjal, anemia hemolitik,
trombositopenia, lupus serebra, vaskulitis akut, miokarditis, pneumonitis lupus, dan perdarahan
paru

10 | Modul Bercak Merah Pada Pipi


Beberapa pertanyaan sebelum melakukan penatalaksanaan SLE yaitu:

1. Apakah pasien termasuk kriteria ARA atau tidak.


2. Bila tidak apakah pasien memenuhi kriteria biopsi atau tidak. Dengan panduan biopsi
ditentukan apakah pasien masuk SLE atau lupus discoid.
3. Apakah keluhan yang muncul adalah bagian dari penyakit konektif lainnya atau tidak.
4. Setelah mengetahui SLE, pastikan organ sasaran yang terkena dengan derajat sakitnya.
5. Adakah penyakit lain yang terjadi bersamaan dengan SLE. Bila ada tentukan apakah
primer atau sekunder.
6. Upaya pengobatan ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup dengan
mempetimbangkan untung rugi dari suatu regimen pengobatan.

Penatalaksanaan umum yaitu:

1.Kelelahan bisa karena sakitnya atau karena penyakit lain seperti anemia, demam, infeksi,
gangguan hormonal, komplikasi pengobatan atau stress emosional. Upaya mengurangi
kelelahan disamping pemberian obat ialah istirahat, pembatasan aktivitas ang berlebih, dan
mampu menguba gaya hidup
2.Hindari merokok
3.Hindari perubahan cuaca karena akan mempengaruhi proses inflamasi
4.Hindari stres dan trauma fisik
5.Diet sesuai kelainan misalnya, hiperkoleseterolemia
6.Hindari pajanan sinar matahari, khususnya ultraviolet pada pukul 10.00-15.00
7.Hindari pemakaian kontrasepsi atau obat lain yang mengandung hormon estrogen.

Penatalaksanaan medika mentosa yaitu:

SLE derajat ringan

Aspirin dan antiinflamasi nonsteroid merupakan pilihan utama dengan dosis sesuai derajat
penyakit

Penambahan obat antimalaria hanya bila ada ruam kulit dan lesi di mukosa membran

Bila gagal, dapat ditambahkan prednisone 2,5-5 mg/hari. Dosis dapat dinaikkan 20% secara
bertahap tiap satu sampai dua minggu sesuai kebutuhan

SLE derajat berat

Pemberian steroid sistemik merupakan pilihan pertama dengan dosis sesuai dengan
kelainan organ sasaran yang terkena

11 | Modul Bercak Merah Pada Pipi


Pengobatan pada keadaan khusus

Anemia heolitik autoimun: Prednisone 60-80 mg/hari (1,5 mg/kg BB/hari), dapat
ditingkatkan sampai 100-120 mg/hari bila dalam beberapa hari sampai satu minggu belum
ada perbaikan.

Trombositopenia autoimunprednison 60-80 mg/hari (1,5 mg/kg BB/ hari). Bila tidak ada
respon dalam 4 minggu ditambahkan imunoglobulin intravena denan dosis 0,4 mg/ kg
BB/hari selama lima hari berturutturut.

Vaskulitis sistemik akut: prednisone 60-100 mg/hai, pada keadaan akut diberikan
parenteral.

Perikarditis ringan: obt antiinflamasi nonsteroid atau antimalaria. Bila tidak efektif dapat
diberikan prednison 20-40 mg/hari.

Perikarditir berat: diberikan prednison 1 mg/kg BB/hari

Miokarditis: prednison 1-1,5 mg/kg BB/hari selama 4-6 minggu.

Lupus serebral: metilprednisolon 2 mg/kg BB/hari untuk 3-5 hari, bila berhasil dilanjutkan
pemberian oral 5-7 hari lalu diturunkan perlahan. Dapat diberikan metilprednisolon pulse
dosis selama 3 hari berturut-turut.

h. Prognosis

Dengan diagnosis dini dan penatalaksanaan yang mutakhir, maka 80-90% pasien dapat
mencapai harapan hidup sepuluh tahun dengan kualitas hidup yang yang kurang normal.

2. Artritis Rheumatoid

a. Pengertian

Artritis rheumatoid (RA) merupakan contoh penyakit autoimun. Di sini terbentuk Ig yang
berupa IgM (disebut rheumatoid faktor, RF) yag spesifik terhadap fraksi Fc dari molekul IgG.
Mengapa jenis Ig ini dibentuk dalam jumlah yang besar pada beberapa orang tidaklah diketahui.
Kompleks RF dan IgG ditimbun di synovial sendi dan mengaktifkan komplemen yang melepas
mediator dengan sifat kemotaktik dan lisis jaringan setempat. Respon inflamasi yang disertai
peningkatan permeabilitas vascular menimbulkan pembengkakan sendi dan sakit bila eksudat
bertambah banyak (pada gambar). (salim dan sukmana, 2007)

Enzim hidrolitik yang dilepas pada reaksi ini dapat pula menimbulkan destruksi
permukaan sendi sehingga mengganggu fungsi normal sendi tersebut. Akibaat inflamasi yag
berulang-ulang, terjadi penimbunan fibrin dan penggantian tulang rawan oleh jaringan ikat

12 | Modul Bercak Merah Pada Pipi


sehingga sendi menyatu (ankilosis) yang menjadi sukit untuk digerakkan. Berbagai sitokin yang
terlibat dala kerusakan sendi dapat dilihat pada table 1.(salim dan sukamana, 2007).

b. patogenesis

Pathogenesis penyakit ini terjadi akibat rantai peristiwa imunologi yang menyebabkan
proses destruksi sendi. Berhubungan dengan faktor genetic, hormonal, infeksi, dan heat shock
protein.

c. Epidemiologi

Prevalensi dan insiden penyakit ini bervariasi antara populasi satu dengan lainya, di
Amerika Serikat dan beberapa daerah di Eropa prevalensi AR sekitar 1% pada kaukasia dewasa;
Perancis sekitar 0,3%, Inggris dan Finlandia sekitar 0,8% dan Amerika Serikat 1,1% sedangkan
di Cina sekitar 0,28%. Jepang sekitar 1,7% dan India 0,75%. Insiden di Amerika dan Eropa
Utara mencapai 20-50/100000 dan Eropa Selatan hanya 9-24/100000. Di Indonesia dari hasil
survey epidemiologi di Bandungan Jawa Tengah didapatkan prevalensi AR 0,3 %, sedang di
Malang pada penduduk berusia diatas 40 tahun didapatkan prevalensi AR 0,5 % di daerah
Kotamadya dan 0,6% di daerah Kabupaten. Di Poliklinik Reumatologi RSUPN Cipto
Mangunkusumo Jakarta, pada tahun 2000 kasus baru Artritis Reumatoid merupakan 4,1% dari
seluruh kasus baru. Di poliklinik reumatologi RS Hasan Sadikin didapatkan 9% dari seluruh
kasus reumatik baru pada tahun 2000-2002.(buku perhimpunan reumatologi Indonesia).
d. Manifestasi klinis

kriteria RHEUMATOID ARTHRITIS. Menurut American College of Rheumatology


tahun 1987, kriteria rheumatoid arthritis adalah sbb:

1. Kekakuan di waktu pagi pada atau di sekitar sendi yang berlangsung satu jam atau lebih
sebelum mengalami perbaikan maksimal.
2. Pembengkakan pada tiga sendi atau lebih.
3. Pembengkakan sendi pangkal jari-jari tangan, sendi buku-buku jari tangan bagian atas, atau
pergelangan tangan.
4. Pembengkakan sendi harus simetris mengenai sisi kanan dan kiri.
5. Benjolan di bawah kulit (nodul subkutan).
6. Tes faktor rematik yang positif di dalam darah.
7. Erosi dan/atau pengeroposan tulang di sekitar sendi-sendi jari-jari dan/atau pergelangan
tangan.

Untuk keperluan klasifikasi, seseorang dikatakan menderita artritis reumatoid jika ia sekurang-
kurangnya memenuhi 4 dari 7 kriteria di atas. Kriteria 1 sampai 4 harus terdapat minimal selama
6 minggu.

13 | Modul Bercak Merah Pada Pipi


e. Komplikasi

Kelainan system pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan ulkus peptic yang
merupakan komplikasi utama pengguanan obat anti inflamasi non steroid (OAINS) atau obat
pengubah perjalanan penyakit (DMARD) yang menjadi faktor penyebab morbilitas dan
mortalitas utama pada RA.Komplikasi saraf yang terjadi tidak memberikan gambaran yang jelas,
sehingga sukar dibedakan antara akibat lesi artukilar dan lesi neuropatik umunya berhubungan
dengan mielopati akibat ketidakstabilan vertebra cervical dan neuropati iskemik akibat vasculitis
(kapita selekta kedokoteran jilid1, 1999).

f. Pemeriksaan penunjang

Tidak banyak berperan dalam diagnosis RA, namun dapat menyokong bila terdapat
keraguan atau untuk melihat prognosis pasien. Pada pemeriksaan laboratorium terdapat :

a. Tes faktor reuma biasanya positif pada lebih dari 75% pasien RA terutama bial masih aktif.
Sisanya dapat dijumpai pada pasien lepra, tuberkulosis paru, sirosis hepatis, hepatitis, dan
lain-lain.

b. Protein C-reaktif biasanya positif.

c. LED meningkat.

d. Leukosit normal atau meningkat sedikit.

e. Anemia normositik hipokrom qakibat adanya inflamasi yang kronik.

f. Trombosit meningkat.

g. Kadar albumin serum turun dan globulin naik.

Pada pemeriksaan rontgen, semua sendi dapat terkena tapi yang tersering adalah sendi
metatarsofalang dan biasanya simetris.Sendi sakroiliaka juga sering terkena.Pada awalnya terjadi
pembekakan jaringan lunak dan demineralisasi juksta articular.Kemudian tejadi penyempitan
ruang sendi dan erosi.

g. Penatalaksanaan

1. Pendidikan pada pasien mengenai penyakitnya dan penatalaksanaan yang akan dilakukan
sehingga terjadi hubungan baik dan terjamin ketaatan pasien untuk tetap berobat dalam
jangka waktu yang lama.

2. OAINS diberikan sejak dini untuk mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi yang sering
dijumpai. OAINS yang dapat diberikan:

14 | Modul Bercak Merah Pada Pipi


a. Aspirin

pasien dibawah 65 tahun dapat mulai dengan dosis 3-4 kali 1 gram per hari, kemudian
dinaikkan 0,3-0,6 gram per minggu sampai terjadi perbaikan atau gejala toksik. Dosis terapi
20-30 mg/dl.

b. Ibuprofen, naproksen, piroksikam, diklofenak, dan sebagainya.

3. DMARD digunakan untuk melindungi rawan sendi dan tulang dari proses destruksi akibat
RA. Mula khasiatnya bru terlihat setelah sampai 3-12 bulan kemudian. Setelah 2-5 tahun,
maka efektifitasnya dalam menekan proses rheumatoid akan berkurang. Umumnya segera
diberikan setelah diagnosis RA ditegakkan atau bila respon OAINS tidak baik, meski masih
dalam status tersangka.

jenis-jenis yang digunakan adalah:

a. Klorokuin, paling banyak digunakan karena harganya terjangkau, namun efektifitasnya


lebih rendah disbanding dengan yang lain. Dosis anjuran klorokuin fosfat 250 mg/hari atau
hidroksiklorokuin 400 mg/hari.Efek samping bergantung pada dosis harian, berupa
penurunan ketajaman penglihatan, dermatitis makulo popular, nausea, diare, dan anemia
hemolitik.

b. Sulfasalazine dalam bentuk tablet bersalut enteric digunakan dalam dosis 1x500 mg/hari,
ditingkatkan 500 mg/minggu, sampai mencapai dosis 4x500 mg. setelah remisi tercapai,
dosis dapat diturunkan hingga 1 g/hari untuk dipakai dalam jangka panjang sampai tercapai
remisi sempurna. Jika dalam waku 3 bulan tidak terlihat khasiatnya, obat ini dihentikan dan
diganti dengan yang lain, atau dikombinasi.Efek sampingny nausea, muntah, dan dyspepsia.

c. De-penisilamin, kurang disukai karena bekerja sangat lambat. Digunakan dalam dosis
250-300 mg/hari, kemudian dosis ditingkatkan setiap 2-4 minggu sebesar 250-300 mg/hari
untuk mencapai dosis total 4x250-300 mg/hari. Efek samping: ruam kulit urtikaria atau
mobiliformis, stomatitis, dan pemphigus.

d. Garam emas adalah gold standar bagi DMARD. Khasiatnya tidakn diragukan lagi meski
sering timbul efek lain. Aurosodiumtiomalat (AST) diberikan intramuscular, dimulai dengan
dosis percobaan pertama 10 mg, seminggu kemudian disusul dosis kedua sebesar 20 mg.
seminggu kemudian diberikan dosis penuh 50 mg/minggu selama 20 minggu. Efek sampin
berupa pruritus, stomatitis, proteinuria, trombositopenia, dan aplasia sumsum tulang.

e. Obat immunosupresis atau imunoregulator.

metotreksat sangat mudah digunakan dan waktu mula kerjanya relative pendek
dibandingkan dengan yang lain. Dosis dimulai 5-7,5 mg setiap minggu. Bila dalam 4 bulan

15 | Modul Bercak Merah Pada Pipi


tidak menunjukkan perbaikan, dosis harus ditingkatkan..dosis jarang melebihi 20
mg/minggu. Efek samping jarang ditemukan.

f. Kortikosteroid, hanya digunakan untuk pengobatan RA dengan komplikasi berat dengan


mengancam jiwa, seperti vasculitis, karena obat ini memiliki efek sampin yang sangat berat.
Dalam dosis rendah (seperti prednisone 5-7,5 mg 1x sehari) sangat bermanfaat sebagai
bridging therapy dalam mengatasi synovitis sebelum DMARD mulai bekerja yang
kemudian dihentikan secara bertahap. Dapat diberikan suntikan kortikosteroid intrartikular
jika terdapat peradangan yang berat.Sebelumnya infeksi harus disingkirkan terlebih dahulu.

4. Rehabilitasi, bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Caranya antara lain
dengan mengistirahatkan sendi yang terlibat; latihan, pemanasan, dan sebagainya.
Fisioterapi dimulai segera setelah rasa sakit pada sendi berkurang atau minimal.Bila tidak
juga berhasil, mungkin diperlukan pertimbangan untuk tindakan operatif.Sering pula
diperlukan alat-alat.

5. Pembedahan.

Jika berbagai cara pengobatan telah dilakukan dan tidak berhasil serta terdapat alasan yang
cukup kuat, dapat dilakukan pengobatan pembedahan. Jenis pengobatan ini pada pasien RA
umumnya bersifat ortopedik, misalnya sinovektomi, atrodesis, total hip replacement,
memperbaiki deviasi ulnar, dan sebagainya.

Untuk menilai kemajuan pengobatan dipakai parameter:

1. Lamanya morning stiffness.

2. Banyaknya sendi yang nyeri bila digerakkan/berjalan.

3. Kekuatan menggenggam.

4. Waktu yang diperlukan untuk berjalan 10-15 meter.

5. Peningkatan LED.

6. Jumlah obat-obat yang digunakan.

h. Prognosis

Perjalanan penyakit RA sangat bervariasi, bergantung pada ketaatan pasien untuk berobat
dalam jangka waktu lama. Sekitar 50-70% pasien RA akan mengalami remisi dalam 2 tahun.
Selebihnya akan mengalami prognosis yang lebih buruk. Golongan ini umumnya meninggal 10-
15 tahun lebih cepat daripada orang tanpa RA.Penyebab kemaiannya adalah infeksi, penyakit
jantung, gagal pernapasa, gagal ginjal, dan penyakit saluran cerna. Umumnya mereka memiliki
keadaan umum yang buruk, lebih dari 30 buah sendi yang mengalami peradangan dengan

16 | Modul Bercak Merah Pada Pipi


manifestasi ekstraartikular dan tingkat pendidikan yang rendah, golongan ini memerlukan terapi
secara agresif dan dini karena kerusakan tulang yang luas dapat terjadi dalam 2 tahun pertama.

Terapi Lain dan Pencegahan

Beberapa terapi lain dan pencegahan yang dapat dilakukan oleh para penderita rheumatoid
arthritis (RA) di antaranya adalah sebagai berikut:

- Latihan atau olahraga

Latihan atau olahraga ringan dapat membantu menguatkan otot di sekitar sendi. Beberapa jenis
olahraga yang baik dilakukan oleh penderita RA adalah: jalan santai, aerobik ringan, berenang,
dan tai chi. Pasien RA sebaiknya didorong untuk melakukan latihan yang bersifat dinamis dan
sederhana.

- Relaksasi

Penderita RA diharapkan dapat menghindari stres yang berlebihan karena dapat memicu
terjadinya penyakit tersebut.Gerakan relaksasi otot dan meditasi dapat membantu mengontrol
rasa nyeri yang dialami oleh pasien.Selain itu, penderita RA juga dianjurkan untuk tidak terlalu
lelah secara fisik karena hal tersebut juga dapat menjadi salah satu pencetus munculnya gejala
penyakit ini.

- Penggunaan obat-obat herbal atau suplemen

Beberapa obat herbal atau suplemen yang dianggap dapat membantu menyembuhkan gejala
penyakit RA adalah: minyak ikan, jahe, dan teh hijau.

- Diet

Meskipun tidak ada diet khusus bagi para penderita RA, makanan yang kaya akan antioksidan
dianggap dapat membantu mengontrol dan mengurangi inflamasi. Selain itu, ikan, sayur-sayuran,
buah-buahan, dan minyak zaitun dianggap baik untuk dikonsumsi oleh penderita penyakit
RA.Penurunan berat badan pada pasien RA yang obesitas juga perlu dilakukan untuk mencegah
gejala penyakit yang lebih berat.

- Operasi

Jika diperlukan, operasi dapat dilakukan pada penderita untuk memperbaiki sendi yang rusak
dan mengurangi rasa nyeri. Prosedur operasi yang dapat dilakukan di antaranya adalah:
penggantian sendi, perbaikan tendon, dan fusi sendi. Penggantian sendi dilakukan jika ada
kerusakan sendi yang parah dan obat-obat yang digunakan tidak dapat mengontrol gejala
penyakit.

17 | Modul Bercak Merah Pada Pipi


3. Rosasea
a. Pengertian

Rosasea adalah penyakit kulit kronis pada daerah sentral wajah (yang menonjol atau cembung)
yang di tandai dengan kemerahan pada kulit dan telangiektasi di sertai episode peradangan yang
memunculkan erupsi pakul, pustule,edema

b. Etiologi dan pathogenesis

Etiologi rosasea tak di ketahui. Ada berbagai hipotesis factor penyebab:

1. makanan : alcohol merupakan penyebab rosasea yang diutarakan sejak zaman


Shakespeare yang pernah di tulis dalam salah satu bukunya. Konstipasi, diare penyakit
gastrointestinal dan bahkan penyakit kelenjar empedu telah pula di anggap sebagai factor
penyebabnya
2. psikis
3. obat : adanya peningkatan radikinin yang dilepas oleh adrenalin pada saat kemerahan
kulit flushing menimbulkan dugaan adanya peran berbagai obat, baik sebagai penyebab
maupun yang dpat di gunakan sebagai terapi rosasea
4. infeksi : demodex folliculorum dahulu di anggap berperan pada etiologi rosasea, namun
akhir akhir ini mulai di tinggalkan
5. musim : peran musim panas atau musim dingin, termasuk di dalamnuya peran sinar
ultraviolet matahari yang dapat menimbulkan kerusakan pembuluh darah kulit penyebab
eritema persistem masih terus diselidiki karena belum jelas dan bertentangan hasilnya
6. imunologis : dari lapisan dermo-epidermal penderita rosasea ditemukan adanya deposit
iminoglobulin oleh beberapa peneliti, sedang di kolangan papiler di temukan antibodi
antikolagen dan antinuclear antibody sehingga ada dugaan factor imunologis pada
rosasea
7. lainnya : defisiensi vitamin, hormonal dan sebore pernah di sangka berperan pada etiologi
rosasea namun tidak dapat di buktikan
c. Epidemiologi

Rosasea sering di derita pada umur 30-40an, namu dapat pula pada remaja maupun
orangtua.Umumnya wanita lebih sering terkena dari pria. Ras kulit putih (Kaukasia) lebih
banyak terkena dari kulit hitam (Negro) atau berwarna (Polinesia), dan di Negara barat lebih
sering pada mereka yang bertaraf sosio-ekonomi rendah.

d. Gejala Klinis

Tempat predileksi rosasea adalah disentral wajah, yaitu hidung, pipi, dagu, kening, dan
alis. Kadang-kadang meluas ke leher bahkan pergelangan tangan atau kaki. Lesi umumnya
simetris.

18 | Modul Bercak Merah Pada Pipi


Gejala utama rosasea adalah eritema, tealngiektasia, papul, edema, dan pustul.Komedo
tak ditemukan dan bila ada mungkin kombinasi dengan agne (komedo solaris, agne
kosmetika).Adanya eritema dan telangiectasia adalah persisten pada setiap episode dan
merupakan gejala khas rosasea.Papul kemerahan pada rosasea tidak nyeri, berbeda dengan agne
vulgaris, dan hemisferikal.Pustule hanya ditemukan pada 20% penderita, sedang edema dapat
menghilang atau menetap antara episode rosasea.Pada tahap awal (Stadium I) rosasea dimulai
dengan timbulnya eritema tanpa sebab atau akibat sengatan matahari.Eritema ini menetap lalu
diikuti timbulnya beberapa telangiectasia.Pada tahap kemudian (Stadium II) dengan diselingi
episode akut yang menyebabkan timbulnya papul, pustule dan edema, terjadilah eritema,
persisten, dan banyak telangiectasia, papul dan pustule.Pada tahap lanjut (Stadium III) terlihat
eritema persisten yang dalam, banyak telangiectasia, papul, pustule, nodus, dan
edema.Komplikasi rinofima atau peradangan okuler merupakan hal yang terjadi kemudian.

e. Histopatologi

Gambaran histopatologi rosasea khas namun tidak patognomonik.Terdapat ektasia


vascular, edema dermis, dan disorganisasi jaringan konektif dermis.Solar elastosis juga sering
terlihat.Derajat peradangan bergantung pada kondisi dan stadium lesi.Sel radang limfosit dan
histiosit dan bahkan sel raksasa pada dermis dan perivaskuler, sel plasma dan sel mast dapat juga
terlihat, apalagi bila edema berlangsung lama.Pada pustule terdapat sebaran sel PMN sekitar
folikel.Demodex folliculorum sering dapat ditemukan daplam folikel infundibulum dan duktus
sebasea.

f. Pengobatan

1. Topikal
a. Tetrasiklin, klindamisin, eritromisin dalam salap 0,5 2.0%. eritromisin lebih baik
hasilnya dibandingkan lainnya.
b. Metronidasol 0,75 % gel atau krim 2% efektif untuk lesi papul dan pustule.
c. Imidasol sendiri atau dengan ketokonasol atau sulfur 2-5% dapat dicoba.
d. Isotretonoin krim 0,2% juga bermanfaat.
e. Antiparasit untuk membunuh D. follikulorum ; misalnya lindane, krotamiton, atau
bensoil bensoat.
f. Kortikosteroid kekuatan rendah (Krim hidrokortison 1%) hanya dianjurkan pada
stadium berat.
2. Sistemik
a. Tetrasiklin, eritromisin, doksisiklin, minosiklin dengan dosis sama dengan dosis akne
vulgaris beradang memberikan hasil yang baik karena efek antimikroba dan anti-
inflamasinya.
Dosis kemudian diturunkan bila lesi membaik.

19 | Modul Bercak Merah Pada Pipi


b. Isotretinoin (13 cis retinoat) 0,5 1,0/kgBB sehari dapat digunakan kecuali bila ada
rosasea pada mata. Penggunaannya harus diamati secara ketat.
c. Metromidasol 2x500mg /hari efektif baimstadium awal maupun lanjut.
3. Lainnya
a. Sunblock dengan SPF 15 atau lebih dianjurkan dipakai penderita untuk menahan
sinar UVA dan UVB.
b. Masasea fasial dahulu dianjurkan dilakukan, namun hasilnya tidak jelas.
c. Diet rokok, alcohol, kopi, pedas, dapat dilakukan untuk mengurangi rangsangan
eritem.
d. Bedah kulit ; scalpel atau dermabrasi untuk rinofima dan bedah listrik untuk
telangiectasia.
g. Komplikasi

Rinofima, inflamasi ocular, dan rosasea limfedema.

h. Prognosis

Rosasea umunya persisten, berangsur bertambah berat melalui episode akut.Namun adapula
yang remisi secara spontan.

Diagnosis Banding

Penyekit Lelah Kurang nafsu Proteinuria Bercak merah Nyeri sendi


makan

ARTRITIS Ya tidak ya tidak ya


REUMATOID

ROSASEA tidak tidak tidak ya tidak

SYSTEMIC LUPUS ya ya ya ya ya
ERYTHEMATOUS

20 | Modul Bercak Merah Pada Pipi


Daftar Pustaka

Djuanda, Adhi. 2005. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin Edisi IV. Jakarta: FKUI.

Guyton, Arthur C. 2011. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi XII. Jakarta: EGC

Pringgoutomo, Sudarto., Himawa, Sutisna., Tjarta, Achmad. 2002. Buku Ajar Patologi I
(Umum) Edisi I. Jakarta: Sagung Seto

Kumar, Vinay., Cotran, R.S., Dan Robbins SL. 2013. Buku Ajar Patologi. Jakarta: EGC.

Mansjoer, Arif. 1999. Kapita Selekta Kedokteran FKUI. Jakarta: Media Aesculspius FKUI.

Suarjana, I Nyoman. 2015. Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI Jilid III. Jakarta: Interna
Piblushing.

Sukmana, Nanang. 2015. Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI Jilid I. Jakarta: Interna Piblushing.

21 | Modul Bercak Merah Pada Pipi

Anda mungkin juga menyukai