Penyakit kompleks imun adalah sekelompok penyakit yang didasari oleh adanya
endapan kompleks imun pada organ spesifik atau jaringan tertentu. Penyakit ini dibagi atas
2 kelompok, yaitu kelompok penyakit kompleks imun alergi dan non-alergi. Penyakit
kompleks imun alergik antara lain reaksi arthus, reaksi serum sickness, bronco-alveoli alergi.
Sedangkan yang termasuk penyakit kompleks imun non-alergik antara lain Lupus
Eritmetosus Sistemik (LES), vaskulitis, grumerulonefritis, dan rhematoid arthritis.
Kompleks imun
berikatan. Pada kondisi normal, kompleks imun dengan cepat dihilangkan dari sirkulasi.
Namun, pada kondisi tertentu kompleks imun terus bersrikulasi dan akan terperangkap ke
dalam jaringan dari ginjal, paru, kulit, sendi, atau pembuluh darah. Di dalam jaringan,
kompleks imun ini menginisiasi respon imun oleh komplemen dan inflamasi yang
menimbulkan kerusakan jaringan. Kompleks imun memiliki patogenesis tersendiri di dalam
menimbulkan suatu proses penyakit.1
Reaksi Artus
Dalam suasana antibodi berlebihan atau bila kadar antigen hanya relatif sedikit lebih
tinggi daripada antibodi, kompleks imun yang terbentuk cepat mengendap sehingga reaksi
yang ditimbulkan adalah kelainan setempat berupa infiltrasi hebat dari sel-sel PMN, agregasi
trombosit dan vasodilatasi yang kemudian menimbulkan eritema dan edema. Reaksi ini
disebut reaksi arthus. Reaksi Arthus ini merupakan prototipe semua reaksi kompleks imun
atau reaksi yang diperantarai oleh agregat senyawa antibodi dan antigen.
Artus yang menyuntikkan serum kuda ke dalam kelinci intradermal berulang kali
menemukan reaksi yang makin menghebat di tempat suntikan. Mula-mula hanya terjadi
eritema dalam 2-4 jam sesudah suntikan. Reaksi tersebut menghilang keesokan harinya.
Suntikan kemudian menimbulkan edema yang lebih besar dan suntikan yang ke 5-6
menimbulkan perdarahan dan nekrosis yang sulit sembuh. Hal tersebut disebut fenomena
Artus yang merupakan bentuk reaksi dari kompleks imun.
Reaksi Artus biasanya memerlukan antibodi dan antigen dalam jumlah besar. Antigen
yang disuntikkan akan membentuk kompleks yang tidak larut dalam sirkulasi atau
mengendap pada dinding pembuluh darah. Bila agregat menjadi besar, komplemen mulai
diaktifkan.
pembuluh darah dan terjadi edema. Komponen lain yang berperan adalah faktor kemotaktik.
Neutrofil dan trombosit mulai menimbun ditempat reaksi dan mengakibatkan stasis dan
obstruksi total aliran darah. Neutrofil yang diaktifkan memakan kompleks imun dan bersama
dengan trombosit yang digumpalkan melepas berbagai bahan toksik seperti oksigen radikal
bebas, protease, kolagenase, dan bahan vasoaktif. Akhiornya terjadi perdarahan disertai
dengan nekrosis jaringan setempat.
Dengan teknik imunofluoresen, antigen, antibodi, dan berbagai komplemen dapat
ditemukan di tempat kerusakan pada pembuluh darah. Bila kadar komplemen atau jumlah
granulosis (pada binatang, kadar komplemen dapat diturunkan dengan bisa kobra), maka
kerusakan khas dari Artus tidak terjadi. Di dalam klinik, reaksi Artus jarang terlihat.
Serum sickness
Dalam suasana antigen berlebihan, kompleks yang terbentuk adalah kompleks yang larut dan
beredar dalam sirkulasi sehingga mungkin menimbulkan reaksi sistem yang disebut serum sickness atau
terperangkap di berbagai jaringan di seluruh tubuh dan menimbulkan reaksi inflamasi setempat
Serum sickness merupakan fenomena jenis ke dua pada reaksi kompleks imun. Istilah
tersebut muncul sekitar seabad yang lalu ketika von Pirquet dan Schick menyuntikkan serum
imun dari kuda dalam rangka mengobati penderita beberapa penyakit menular, berupa difteri
dan tetanus. Secara umum telah diketahui bahwa penyakit difteri dan tetanus, yang masingmasing disebabkan oleh Corynebacterium dan Clostridium menghasilkan toksin yang sangat
merusak jaringan dari penderita yang terinfeksi, sedangkan bakterinya sendiri tidak terlalu
invasive dan hanya sedikit menyebabkan kerugian. Maka strategi para dokter waktu itu,
dengan segera menghilangkan dampak yang merugikan dari toksin sebelum berdampak
merusak jaringan penderitaan, dengan cara menetralisasidengan antibodi yang dibuat dalam
serum kuda. Karena imunisasi aktif pada manusia memerlukan waktu beberapa minggu agar
cukup antibodi dalam menetralkan toksin, maka dilakukan imunisasi pasif dengan
menyuntikkan serum dalam jumlah banyak yang mengandung anti-toksinsegera setelah
penyakit dapat didiagnosis. Kuda-kuda yang mudah diperoleh dan mudah diimunisasi dan
mampu memberikan antisera dalam jumlah yang sangat banyak, merupakan pilihan hewan
sebagai penghasil antibodi anti-toksin. Tetapi kini kita telah mengetahui bahwa dengan
menyuntikkan serum dari hewan heterologus) dalam jumlah banyak akan membangkitkan
respon imun terhadap keasingannya berupa satu penyaklit serum sickness pada beberapa
orang.
Dengan menggunakan antiserum kuda untuk imunusasi pasif, dapat berkembang
reaksi yang tidak diinginkan. Kira-kira 1-2 minggu setelah menerima serum kuda, mereka
mengalami demam dan rasa gatal-gatal, bengkak-bengkak di sebagian tubuh, rasa sakit pada
persendian yang bengkak, serta adanya kelenjar limfe. Kadang-kadang dalam urine mereka
ditemukan eritrosit dan albumin. Temuan ini menandakan adanya tanda-tanda peradangan
glomerulus dalam ginjal. Pada saatnya, semua gejala tersebut mereda dengan sedikit sisa-sisa
kerusakan, tetapi penyuntikan berulang serum kuda dapat menginduksi gejala yang lebih
parah dan bahkan dapat berakhir dalam kematian. Walaupun urutan peristiwa tersebut dapat
diinduksi oleh banyak jenis antigen lain dalam hal ini antigen serum kuda dipandang sebagai
antigen), penyakit yang timbul tetap dinamakan serum sickness. Bentuk hipersensitivitas
tersebut, lagi-lagi menjadi pertimbangan penting pada penderita yang mendapatkan
pengobatan antibodi monoclonal yang dibuat dari mencit atau tikus, terhadap penyakit
keganasan, penolakan jaringan cangkok, dan penyakit autoimun.
Mekanisme yang berlangsung yang bercirikan jenis rekasi seperti pada serum
sickness akan menjadi lebih jelas dipahami jika mengacu pada model hewan. Dalam model
hewan ini, seekor kelinci disuntik dengan protein asing dalam jumlah banyak. Misalnya
disuntik dengan albumin serum sapi (bovine serum albumin=BSA). Selama percobaan
dipantau kadar albumin bebas, antibodi anti-albumin dan senyawa kompleks imun yang
terbentuk. Setelah terjadi perimbangan dalam cairan tubuh, protein yang disuntikkan mulai
menghilang dengan kecepatan yang khas terjadi dalam proses biodegradasi normal. Setelah
8-10 hari kemudian, terjadilah perubahan mendadak dalam kecepatan penurunan kadarnya
yang berakhir dengan lenyapnya sisa-sisa protein bebas dalam peredaran. Peristiwa ini
disebut dengan eliminasi imun. Setelah terjadi eliminasi imun segera diikuti oleh adanya
antibodi anti-BSA yang beredar bebas dalam darah. Jadi pada saat lenyapnya antigen bebas
dalam serum, segera diikuti meningkatnya antibodi anti-BSA yang merupakan saat timbulnya
tanda-tanda serum sickness. Pada saat yang bersamaan terjadi penurunan kadar normal
aktivitas komplemen dalam serum. Perubahan-perubahan tersebut dijelaskan dengan temuan
dalam peredaran darah adanya kompleks imun (senyawa antibodi anti-BSA dan terbentuklah
kompleks imun pertama yang melibatkan antibodi yang masih berkadar rendah dengan kadar
antigen yang masih tinggi. Kompleks imun yang beredar dalam darah biasanya dibersihkan
oleh system retikuloendothelial. Lagipula eritrosit yang memiliki reseptor C3b dapat
mengikat kompleks imunyang telah mengikat komplemen dan kemudian diangkut ke hepar.
Dalam hepar kompleks imun dilenyapkan oleh sel-sel kuppffer. Dibawah beberapa kondisi
tertentu, kompleks imun tidak dibersihkan oleh sistem retikuloendothelial, melainkan
ditimbun dalam jaringan ginjal, persendian atau kulit. Penimbunan ini akan memicu
kerusakan jaringan karena mekanisme aktivasi sistem komplemen.
Ukuran kompleks imun sangat penting; senyawa yang berukuran besar dibersihkan
oleh hepar, sedang yang berukuran kecil dapat tidak ditimbun semua. Kompleks imun
berukuran sedang agaknya dapat menyebabkan kerusakan jaringan setempat.
Penanganan penyakit-penyakit infeksi dengan imunisasi passif memang berhasil
mengatasi penyakit yang diderita, walaupun sebagian akan menunjukkan reaksi
hipersensitivitas.. namun setelah pengetahuan vaksinasi berhasil dikembangkan, maka cara
penanganan tersebut diganti dengan pemberian vaksin dengan cara imunisasi aktif.
2. Aspergilosis Bronkopulmonari Alergik1
Penyakit ini merupakan peradangan saluran napas yang ditemukan pada pasien atopi
usia muda. Pasien sering memperlihatkan gejala alergi terhadap jamur Aspergillus fumigatus.
Penyakit ini dapat menyebabkan kerusakan pada bronkus (bronkiektasis) dan kerusakan
parenkim paru. Baik IgE maupun IgG terhadap Aspergilus, berperan dalam patogenesis
penyakit ini.
miselium. Tidak didapatkan peningkatan titer IgE yang menyolok pada keadaan eksaserbasi
akut.
Pada penyakit ini didapatkan 2 mekanisme imunologik. Pertama: kompleks imun
yang terbentuk dari antigen aspergilus dan antibodi (IgG) menyebabkan inflamasi saluran
napas melalui mekanisme aktivasi komplemen dan sel-sel fagosit.
Kedua; kerusakan
parenkim paru dan bronkus terjadi pula akibat ikatan IgE dengan alergen aspergilus yang
menempel pada mastosit, yang selanjutnya menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe I akibat
penglepasan histamin dan mediator lainnya.
Gambaran klinis penyakit ini menyerupai asma dengan tanda-tanda serangan demam,
batuk produktif, nyeri dada dan kelelahan. Batuk darah jarang terjadi. Gejala lain dapat
berupa sakit kepala, nyeri sendi dan otot. Pada pemeriksaan fisik paru, ditemukan ronki yang
menunjukkan adanya infiltrat. Aspergilosis bronkopulomonari Alergik ini teremasuk dalam
kelompok penyakit Farmers Lung Disease.
Farmers Lung Disease ditemukan pula pada orang yang rentan dengan pemaparan
jerami yang mengandung banyak aktinomiset termofilik yang melepas spora-spora,
menimbulkan gangguan napas yaitu pneumonitis yang terjadi dalam 6-8 jam sesudah
pemaparan. Orang tersebut memproduksi banyak IgG yang spesifik terhadap actinomycete
termofilik dan membentuk kompleks antigen-antibodi. Reaksi Tipe III pulmoner lain-lain
yang sejenis adalah Pigeon breeders disease, Cheese washers disease. Bagassosis, Maple
bark strippers disease, Paprika workers disease, dan Thatched roof workers disease.
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE)
Lupus adalah suatu kondisi inflamasi kronik yang disebabkan oleh penyakit
autoimun. Penyakit lupus merupakan penyakit kelebihan kekebalan tubuh. Penyakit lupus
terjadi akibat produksi anti-bodi yang berlebihan, sehingga tidak berfungsi menyerang virus,
kuman atau bakteri yang ada di tubuh, melainkan justru menyerang sistem kekebalan sel dan
jaringan tubuh sendiri Jika jaringan kulit saja yang terlibat, disebut diskoid lupus, jika organorgan dalam turut terlibat, ia dikenali sebagai lupus eritematosus sistemik.4
Hingga kini, faktor penyebab hadirnya lupus di tubuh belum diketahui secara
pasti. Namun beberapa penelitian kemungkinan lupus hadir melalui beberapa faktor
diantaranya :
Faktor Lingkungan
- Infeksi
- Stress
- Makanan
- Antibiotik (khususnya kelompok sulfa & penisilin)
- Ultraviolet
- Penggunaan obat-obat tertentu
Faktor Genetik
Sampai saat ini, tidak diketahui gen-gen yang menjadi penyebabnya, lupus
diturunkan angkanya relatif kecil, kemungkinan hanya 10 %.
Faktor Hormon
Faktor hormonal bisa menjelaskan mengapa kaum hawa lebih sering terkena
lupus dibanding pria. Meningkatnya angka pertumbuhan penyakit lupus sebelum
periode menstruasi atau selama masa kehamilan mendukung keyakinan bahwa
hormon, khususnya estrogen, menjadi pencetus lupus.
Faktor Sinar Matahari
Sinar matahari memancarkan sinar ultraviolet yang dapat merangsang
peningkatan hormon estrogen yang cukup banyak sehingga mempermudah terjadinya
reaksi autoimun.
3. Vaskulitis6,15
a. Definisi
Vaskulitis adalah suatu kumpulan gejala klinis dan patologis yang di tandai
adanya proses inflamasi dan nekrosis dinding pembuluh darah.Pembuluh darah yang
terkena dapat arteri atau vena dengan berbagai ukuran.5
b. Etiologi Vaskulitis
Sampai saat ini penyebab penyakit ini belum di ketahui dengan jelas, namun
ada beberapa yang memegang peranan yang memicu timbulnya penyakit ini yaitu:
a.
b.
c.
d.
e.
Komplek imun
Infeksi bakteri atau virus
Elergi terhadap obat atau akibat pajanan terhadap bakteri, virus dan parasit.
Genetik
Nekrosis granulomatosa
Glomerulonefritis
Glomerulonefritis
pascastreptokok
didahului
oleh
infeksi
Streptococcus
hemolyticus grup A jarang oleh streptokokus dari tipe yang lain. Hanya sedikitStreptococcus
dilaporkan
bersamaan
dengan
demam
reumatik
akut.
Berdasarkan
mengubah
IgG
endogen
sehingga
IgG
menjadi
yang
autoantigenik.
telah
berubah
Akibatnya
tersebut,
yang