Anda di halaman 1dari 9

PENYAKIT KOMPLEKS IMUN

Penyakit kompleks imun adalah sekelompok penyakit yang didasari oleh adanya
endapan kompleks imun pada organ spesifik atau jaringan tertentu. Penyakit ini dibagi atas
2 kelompok, yaitu kelompok penyakit kompleks imun alergi dan non-alergi. Penyakit
kompleks imun alergik antara lain reaksi arthus, reaksi serum sickness, bronco-alveoli alergi.
Sedangkan yang termasuk penyakit kompleks imun non-alergik antara lain Lupus
Eritmetosus Sistemik (LES), vaskulitis, grumerulonefritis, dan rhematoid arthritis.
Kompleks imun

merupakan kumpulan dari antigen dan antibodi yang saling

berikatan. Pada kondisi normal, kompleks imun dengan cepat dihilangkan dari sirkulasi.
Namun, pada kondisi tertentu kompleks imun terus bersrikulasi dan akan terperangkap ke
dalam jaringan dari ginjal, paru, kulit, sendi, atau pembuluh darah. Di dalam jaringan,
kompleks imun ini menginisiasi respon imun oleh komplemen dan inflamasi yang
menimbulkan kerusakan jaringan. Kompleks imun memiliki patogenesis tersendiri di dalam
menimbulkan suatu proses penyakit.1
Reaksi Artus
Dalam suasana antibodi berlebihan atau bila kadar antigen hanya relatif sedikit lebih
tinggi daripada antibodi, kompleks imun yang terbentuk cepat mengendap sehingga reaksi
yang ditimbulkan adalah kelainan setempat berupa infiltrasi hebat dari sel-sel PMN, agregasi
trombosit dan vasodilatasi yang kemudian menimbulkan eritema dan edema. Reaksi ini
disebut reaksi arthus. Reaksi Arthus ini merupakan prototipe semua reaksi kompleks imun
atau reaksi yang diperantarai oleh agregat senyawa antibodi dan antigen.
Artus yang menyuntikkan serum kuda ke dalam kelinci intradermal berulang kali
menemukan reaksi yang makin menghebat di tempat suntikan. Mula-mula hanya terjadi
eritema dalam 2-4 jam sesudah suntikan. Reaksi tersebut menghilang keesokan harinya.
Suntikan kemudian menimbulkan edema yang lebih besar dan suntikan yang ke 5-6
menimbulkan perdarahan dan nekrosis yang sulit sembuh. Hal tersebut disebut fenomena
Artus yang merupakan bentuk reaksi dari kompleks imun.
Reaksi Artus biasanya memerlukan antibodi dan antigen dalam jumlah besar. Antigen
yang disuntikkan akan membentuk kompleks yang tidak larut dalam sirkulasi atau
mengendap pada dinding pembuluh darah. Bila agregat menjadi besar, komplemen mulai
diaktifkan.

C3a dan C5a (anafilaktosin) yang terbentuk meninggikan permeabilitas

pembuluh darah dan terjadi edema. Komponen lain yang berperan adalah faktor kemotaktik.
Neutrofil dan trombosit mulai menimbun ditempat reaksi dan mengakibatkan stasis dan
obstruksi total aliran darah. Neutrofil yang diaktifkan memakan kompleks imun dan bersama
dengan trombosit yang digumpalkan melepas berbagai bahan toksik seperti oksigen radikal
bebas, protease, kolagenase, dan bahan vasoaktif. Akhiornya terjadi perdarahan disertai
dengan nekrosis jaringan setempat.
Dengan teknik imunofluoresen, antigen, antibodi, dan berbagai komplemen dapat
ditemukan di tempat kerusakan pada pembuluh darah. Bila kadar komplemen atau jumlah
granulosis (pada binatang, kadar komplemen dapat diturunkan dengan bisa kobra), maka
kerusakan khas dari Artus tidak terjadi. Di dalam klinik, reaksi Artus jarang terlihat.

Serum sickness
Dalam suasana antigen berlebihan, kompleks yang terbentuk adalah kompleks yang larut dan
beredar dalam sirkulasi sehingga mungkin menimbulkan reaksi sistem yang disebut serum sickness atau
terperangkap di berbagai jaringan di seluruh tubuh dan menimbulkan reaksi inflamasi setempat

Serum sickness merupakan fenomena jenis ke dua pada reaksi kompleks imun. Istilah
tersebut muncul sekitar seabad yang lalu ketika von Pirquet dan Schick menyuntikkan serum
imun dari kuda dalam rangka mengobati penderita beberapa penyakit menular, berupa difteri
dan tetanus. Secara umum telah diketahui bahwa penyakit difteri dan tetanus, yang masingmasing disebabkan oleh Corynebacterium dan Clostridium menghasilkan toksin yang sangat
merusak jaringan dari penderita yang terinfeksi, sedangkan bakterinya sendiri tidak terlalu
invasive dan hanya sedikit menyebabkan kerugian. Maka strategi para dokter waktu itu,
dengan segera menghilangkan dampak yang merugikan dari toksin sebelum berdampak
merusak jaringan penderitaan, dengan cara menetralisasidengan antibodi yang dibuat dalam
serum kuda. Karena imunisasi aktif pada manusia memerlukan waktu beberapa minggu agar
cukup antibodi dalam menetralkan toksin, maka dilakukan imunisasi pasif dengan
menyuntikkan serum dalam jumlah banyak yang mengandung anti-toksinsegera setelah
penyakit dapat didiagnosis. Kuda-kuda yang mudah diperoleh dan mudah diimunisasi dan
mampu memberikan antisera dalam jumlah yang sangat banyak, merupakan pilihan hewan
sebagai penghasil antibodi anti-toksin. Tetapi kini kita telah mengetahui bahwa dengan
menyuntikkan serum dari hewan heterologus) dalam jumlah banyak akan membangkitkan
respon imun terhadap keasingannya berupa satu penyaklit serum sickness pada beberapa
orang.
Dengan menggunakan antiserum kuda untuk imunusasi pasif, dapat berkembang
reaksi yang tidak diinginkan. Kira-kira 1-2 minggu setelah menerima serum kuda, mereka
mengalami demam dan rasa gatal-gatal, bengkak-bengkak di sebagian tubuh, rasa sakit pada
persendian yang bengkak, serta adanya kelenjar limfe. Kadang-kadang dalam urine mereka

ditemukan eritrosit dan albumin. Temuan ini menandakan adanya tanda-tanda peradangan
glomerulus dalam ginjal. Pada saatnya, semua gejala tersebut mereda dengan sedikit sisa-sisa
kerusakan, tetapi penyuntikan berulang serum kuda dapat menginduksi gejala yang lebih
parah dan bahkan dapat berakhir dalam kematian. Walaupun urutan peristiwa tersebut dapat
diinduksi oleh banyak jenis antigen lain dalam hal ini antigen serum kuda dipandang sebagai
antigen), penyakit yang timbul tetap dinamakan serum sickness. Bentuk hipersensitivitas
tersebut, lagi-lagi menjadi pertimbangan penting pada penderita yang mendapatkan
pengobatan antibodi monoclonal yang dibuat dari mencit atau tikus, terhadap penyakit
keganasan, penolakan jaringan cangkok, dan penyakit autoimun.
Mekanisme yang berlangsung yang bercirikan jenis rekasi seperti pada serum
sickness akan menjadi lebih jelas dipahami jika mengacu pada model hewan. Dalam model
hewan ini, seekor kelinci disuntik dengan protein asing dalam jumlah banyak. Misalnya
disuntik dengan albumin serum sapi (bovine serum albumin=BSA). Selama percobaan
dipantau kadar albumin bebas, antibodi anti-albumin dan senyawa kompleks imun yang
terbentuk. Setelah terjadi perimbangan dalam cairan tubuh, protein yang disuntikkan mulai
menghilang dengan kecepatan yang khas terjadi dalam proses biodegradasi normal. Setelah
8-10 hari kemudian, terjadilah perubahan mendadak dalam kecepatan penurunan kadarnya
yang berakhir dengan lenyapnya sisa-sisa protein bebas dalam peredaran. Peristiwa ini
disebut dengan eliminasi imun. Setelah terjadi eliminasi imun segera diikuti oleh adanya
antibodi anti-BSA yang beredar bebas dalam darah. Jadi pada saat lenyapnya antigen bebas
dalam serum, segera diikuti meningkatnya antibodi anti-BSA yang merupakan saat timbulnya
tanda-tanda serum sickness. Pada saat yang bersamaan terjadi penurunan kadar normal
aktivitas komplemen dalam serum. Perubahan-perubahan tersebut dijelaskan dengan temuan
dalam peredaran darah adanya kompleks imun (senyawa antibodi anti-BSA dan terbentuklah
kompleks imun pertama yang melibatkan antibodi yang masih berkadar rendah dengan kadar
antigen yang masih tinggi. Kompleks imun yang beredar dalam darah biasanya dibersihkan
oleh system retikuloendothelial. Lagipula eritrosit yang memiliki reseptor C3b dapat
mengikat kompleks imunyang telah mengikat komplemen dan kemudian diangkut ke hepar.
Dalam hepar kompleks imun dilenyapkan oleh sel-sel kuppffer. Dibawah beberapa kondisi
tertentu, kompleks imun tidak dibersihkan oleh sistem retikuloendothelial, melainkan
ditimbun dalam jaringan ginjal, persendian atau kulit. Penimbunan ini akan memicu
kerusakan jaringan karena mekanisme aktivasi sistem komplemen.
Ukuran kompleks imun sangat penting; senyawa yang berukuran besar dibersihkan
oleh hepar, sedang yang berukuran kecil dapat tidak ditimbun semua. Kompleks imun
berukuran sedang agaknya dapat menyebabkan kerusakan jaringan setempat.
Penanganan penyakit-penyakit infeksi dengan imunisasi passif memang berhasil
mengatasi penyakit yang diderita, walaupun sebagian akan menunjukkan reaksi
hipersensitivitas.. namun setelah pengetahuan vaksinasi berhasil dikembangkan, maka cara
penanganan tersebut diganti dengan pemberian vaksin dengan cara imunisasi aktif.
2. Aspergilosis Bronkopulmonari Alergik1

Penyakit ini merupakan peradangan saluran napas yang ditemukan pada pasien atopi
usia muda. Pasien sering memperlihatkan gejala alergi terhadap jamur Aspergillus fumigatus.
Penyakit ini dapat menyebabkan kerusakan pada bronkus (bronkiektasis) dan kerusakan
parenkim paru. Baik IgE maupun IgG terhadap Aspergilus, berperan dalam patogenesis
penyakit ini.

IgE terbentuk terhadap alergen spora sedangakn IgG terhadap alergen

miselium. Tidak didapatkan peningkatan titer IgE yang menyolok pada keadaan eksaserbasi
akut.
Pada penyakit ini didapatkan 2 mekanisme imunologik. Pertama: kompleks imun
yang terbentuk dari antigen aspergilus dan antibodi (IgG) menyebabkan inflamasi saluran
napas melalui mekanisme aktivasi komplemen dan sel-sel fagosit.

Kedua; kerusakan

parenkim paru dan bronkus terjadi pula akibat ikatan IgE dengan alergen aspergilus yang
menempel pada mastosit, yang selanjutnya menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe I akibat
penglepasan histamin dan mediator lainnya.
Gambaran klinis penyakit ini menyerupai asma dengan tanda-tanda serangan demam,
batuk produktif, nyeri dada dan kelelahan. Batuk darah jarang terjadi. Gejala lain dapat
berupa sakit kepala, nyeri sendi dan otot. Pada pemeriksaan fisik paru, ditemukan ronki yang
menunjukkan adanya infiltrat. Aspergilosis bronkopulomonari Alergik ini teremasuk dalam
kelompok penyakit Farmers Lung Disease.
Farmers Lung Disease ditemukan pula pada orang yang rentan dengan pemaparan
jerami yang mengandung banyak aktinomiset termofilik yang melepas spora-spora,
menimbulkan gangguan napas yaitu pneumonitis yang terjadi dalam 6-8 jam sesudah
pemaparan. Orang tersebut memproduksi banyak IgG yang spesifik terhadap actinomycete
termofilik dan membentuk kompleks antigen-antibodi. Reaksi Tipe III pulmoner lain-lain
yang sejenis adalah Pigeon breeders disease, Cheese washers disease. Bagassosis, Maple
bark strippers disease, Paprika workers disease, dan Thatched roof workers disease.
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE)
Lupus adalah suatu kondisi inflamasi kronik yang disebabkan oleh penyakit
autoimun. Penyakit lupus merupakan penyakit kelebihan kekebalan tubuh. Penyakit lupus
terjadi akibat produksi anti-bodi yang berlebihan, sehingga tidak berfungsi menyerang virus,
kuman atau bakteri yang ada di tubuh, melainkan justru menyerang sistem kekebalan sel dan
jaringan tubuh sendiri Jika jaringan kulit saja yang terlibat, disebut diskoid lupus, jika organorgan dalam turut terlibat, ia dikenali sebagai lupus eritematosus sistemik.4

Hingga kini, faktor penyebab hadirnya lupus di tubuh belum diketahui secara
pasti. Namun beberapa penelitian kemungkinan lupus hadir melalui beberapa faktor
diantaranya :
Faktor Lingkungan
- Infeksi
- Stress
- Makanan
- Antibiotik (khususnya kelompok sulfa & penisilin)
- Ultraviolet
- Penggunaan obat-obat tertentu
Faktor Genetik
Sampai saat ini, tidak diketahui gen-gen yang menjadi penyebabnya, lupus
diturunkan angkanya relatif kecil, kemungkinan hanya 10 %.
Faktor Hormon
Faktor hormonal bisa menjelaskan mengapa kaum hawa lebih sering terkena
lupus dibanding pria. Meningkatnya angka pertumbuhan penyakit lupus sebelum
periode menstruasi atau selama masa kehamilan mendukung keyakinan bahwa
hormon, khususnya estrogen, menjadi pencetus lupus.
Faktor Sinar Matahari
Sinar matahari memancarkan sinar ultraviolet yang dapat merangsang
peningkatan hormon estrogen yang cukup banyak sehingga mempermudah terjadinya
reaksi autoimun.

Hubungan antara lupus dan patogenesis masih kontroversial, karena


komponen komplemen dan imunoglobulin, termasuk kompleks penghancur membran,
dapat dijumpai kedua kulit non-lesi dan lesi pada pasien lupus eritematosus sistemik.
Pada manusia normal, sistem kekebalan tubuh biasanya akan membuat antibodi yang fungsinya melindungi tubuh dari berbagai macam serangan virus, kuman,
bakteri maupun benda asing lainnya (anti-gen). Pada penyakit autoimun seperti lupus,

sistem kekebalan tubuh seperti kehilangan kemampuan melihat perbedaan antara


substansi asing dengan sel maupun jaringan tubuhnya sendiri. Pada lupus, produksi
anti-bodi yang seharusnya normal menjadi berlebihan. Akibatnya, anti-bodi ini tidak
lagi berfungsi untuk menyerang virus, kuman atau bakteri yang ada di tubuh, tetapi
justru menyerang sistem kekebalan sel dan jaringan tubuhnya sendiri. Anti-bodi
seperti ini disebut auto anti-bodi. Ia bereaksi dengan anti-gen membentuk immune
complex/ komplek imun.
Dapat berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan
pemrosesan komplek imun dalam hati dan penurunan uptake kompleks imun pada
limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan terbentuknya deposit kompleks imun
di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada
berbagai macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ
tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan
substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan
timbulnya keluhan atau gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti
ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan sebagainya.

3. Vaskulitis6,15
a. Definisi
Vaskulitis adalah suatu kumpulan gejala klinis dan patologis yang di tandai
adanya proses inflamasi dan nekrosis dinding pembuluh darah.Pembuluh darah yang
terkena dapat arteri atau vena dengan berbagai ukuran.5
b. Etiologi Vaskulitis
Sampai saat ini penyebab penyakit ini belum di ketahui dengan jelas, namun
ada beberapa yang memegang peranan yang memicu timbulnya penyakit ini yaitu:
a.
b.
c.
d.
e.

Komplek imun
Infeksi bakteri atau virus
Elergi terhadap obat atau akibat pajanan terhadap bakteri, virus dan parasit.
Genetik
Nekrosis granulomatosa

Glomerulonefritis
Glomerulonefritis

pascastreptokok

didahului

oleh

infeksi

Streptococcus

hemolyticus grup A jarang oleh streptokokus dari tipe yang lain. Hanya sedikitStreptococcus

-hemolyticus grup A bersifat nefritogenik yang mampu mengakibatkan timbulnya


glomerulonefritis pascastreptokokus. Beberapa tipe yang sering menyerang saluran napas
adalah dari tipe M1, 2, 4, 12, 18, 25 dan yang menyerang kulit adalah tipe M49, 55, 57, 60.
Glomerulonefritis akut pascastreptokokus menyertai infeksi tenggorokan atau kulit
olehstrain nefritogenik dari streptococcus -hemolyticus grup A tertentu. Faktor-faktor
yang memungkinkan bahwa hanya strain streptokokus tertentu saja yang menjadi
nefritogenik tetap belum jelas. Selama cuaca dingin glomerulonefritis streptokokus
biasanya menyertai tonsilofaringitis streptokokus, sedangkan selama cuaca panas
glomerulonefritis biasanya menyertai infeksi kulit atau pioderma streptokokus. Epidemi
nefritis telah diuraikan bersama dengan infeksi tenggorokan (serotipe 12) maupun infeksi
kulit (serotipe 49), tetapi penyakit ini sekarang paling lazim terjadi secara sporadik.6,7
Penyakit infeksi lain yang juga dapat berhubungan ialah skarlatina, otitis
media, mastoiditis, abses peritonsiler dan bahkan infeksi kulit. Jasad reniknya hampir
selalu streptokok beta hemolitik golongan A, dan paling sering ialah tipe 12. Strain
nefritogenik lain yang dapat ditemukan pula ialah tipe 4, 47, 1, 6, 25
dan Red Lake (49)6,7,10
Periode antara infeksi saluran nafas atau kulit dengan gambaran klinis dari
kerusakan glomerulus dinamakan periode laten. Periode laten ini biasanya antara 1-2
minggu, merupakan ciri khusus dari penyakit ini sehingga dapat dibedakan dengan
sindrom nefritik akut karena sebab lainnya. Periode laten dari infeksi kulit (impetigo)
biasanya antara 8-21 hari.10
Patogenesis1,4
Glomerulonefritis pascastreptokok dapat terjadi setelah radang tenggorok dan
jarang

dilaporkan

bersamaan

dengan

demam

reumatik

akut.

Berdasarkan

hubungannya dengan infeksi streptokokus, gejala klinis, dan pemeriksaan


imunofluoresensi ginjal, jelaslah kiranya bahwa glomerulonefritis pascastreptokokus
adalah suatu glomerulonefritis yang bermediakan proses imunologis. Meskipun secara
umum patogenesis glomerulonefritis telah dimengerti, namun mekanisme yang tepat
bagaimana terjadinya lesi glomerulus, terjadinya proteinuria dan hematuria pada
glomerulonefritis pascastreptokokus belumlah jelas benar. Pembentukan kompleksimun bersirkulasi dan pembentukan kompleks-imun in situ, telah ditetapkan sebagai
mekanisme patogenesis glomerulonefritis pascastreptokok. Hipotesis lain yang sering
disebut-sebut adalah adanya neuraminidase yang dihasilkan oleh streptokokus yang

mengubah

IgG

endogen

sehingga

terbentuklah autoantibody terhadap

IgG

menjadi
yang

autoantigenik.

telah

berubah

Akibatnya

tersebut,

yang

mengakibatkan pembentukan kompleks imun bersirkulasi, yang kemudian mengendap


dalam ginjal6,7
Adanya periode laten antara infeksi streptokok dengan gambaran klinis dari
kerusakan glomerulus menunjukan bahwa proses imunologis memegang peranan
penting dalam patogenesis glomerulonefritis. Glomerulonefritis akut pasca streptokok
merupakan salah satu contoh dari penyakit kompleks-imun6,7,9
Pada penyakit kompleks-imun, antibodi tubuh (host) akan bereaksi
dengancirculating antigen dan komplemen yang beredar dalam darah untuk
membentukcirculating immunne complexes.
Pembentukkan circulating immunne complexes ini memerlukan antigen dan
antibodi dengan perbandingan 20 : 1. Jadi antigen harus lebih banyak atau antibodi
lebih sedikit. Antigen yang bersirkulasi dalam darah bersifat heterolog baik eksogen
maupun endogen. Kompleks-imun yang beredar dalam darah dalam jumlah banyak
dan waktu yang singkat akan menempel/melekat pada kapiler-kapiler glomeruli dan
terjadi proses kerusakan mekanis melalui aktivasi sistem komplemen, reaksi
peradangan dan mikrokoagulasi
Rheumatoid arthritis (RA)
Rheumatoid arthritis (RA) didefinisikan sebagai inflamasi kronis yang umum
disebabkan oleh kelainan autoimun dengan etiologi yang belum diketahui. Inflamasi pada
RA akan mengakibatkan penghancuran pada kartilago dan tulang persendian. Kejadian
inflamasi ini melibatkan bagian-bagian sendi terutama membrane synovial (membrane yang
membungkus sendi berisi cairan synovial). Kesehatan penderita RA akan menurun
dikarenakan rasa nyeri, kelelahan, ketidakmampuan fungsional tubuh, serta ekonomi pasien
yang dapat melemah akibat perkembangan penyakit yang progesif (Gibofsky, 2012).
MEKANISME
Rheumatoid arthritis merupakan penyakit yang dapat terjadi karena penyebab
internal berupa genetic maupun eksternal berupa antigen-antigen khusus (toksin bakteri
dan rokok). Dari segi genetik, seseorang akan mengalami peningkatan prosentase penderita
RA apabila ada DNA nya terdapat gen HLA-DRB 1 yang diekspresikan. Pengekspresian gen
ini akan menyebabkan perubahan epitope pada sel limfosti yang nantinya akan berikatan
dengan MHC dan menghasilkan antibody IgG yang berbeda pada orang normal. Antibody ini
disebut dengan ACPA (Anti Citrunilated Protein Antigen). ACPA akan berikatan dengan

protein-protein tersitrunilasi dan menyebabkan pembentukan kompleks imun pada sendi


yang disebut Rheumatoid Factor ( RF) (McInnes, 2007)
Rheumatoid arthritis merupakan perubahan konformasi pada sendi akibat adanya
inflamasi kronis pada persendian tersebut. Inflamasi ini disebabkan karena adanya kelainan
pada system imun. RA kerap dihubungkan dengan adanya hipersensitivitas tipe III dan
adanya kelainan autoimun yang memicu teraktivasinya system imun secara berlebihan.
Hipersensitivitas tipe III ini diawali dengan adanya antigen yang khusus yang dapat memicu
pembentukan kompleks dari imunoglubulin tertentu. Beberapa antigen yang dapat memicu
kompleks antibody adalah antigen dari dalam diri (autoimun) seperti vimetn, fibrin, dll,
kemudian dikatakan adanya infeksi dari bakteri dan virus, serta adanya allergen seperti spoa
dari aspergilus yang menyebabkan terjadinya kompleks antibody ada paru-paru. Kompleks
antibody kemudian akan terdeposit pada jaringan terdekat (Marc, 2012).
Pada penderita RA, dalam cairan sinovialnya terdapat banyak sel myeloid dan sel
dendrite yang melimpah. Sel-sel ini akan teraktifasi dengan adanya antigen berupa protein
tersitrunilasi sel T helper terutama Th 1 dan Th17 yang teraktivasi akan menghasilkan
berbagai mediator-mediator inflamasi seperti IL-17, IL-17F, IL-22, dan TNF alfa sedangkan
sel dendrite dan myeloid akan menghasilkan IL-1beta, IL-6, IL-21, dan TGF-beta. Proteinprotein inflamasi ini akan meyebabkan deferensial IL-17 meningkat dan menurunkan
deferensiasi sel T regulatory (sel T yang dapat menekan system imun). Pada penderita RA,
ditemukan dalam airan sinovialnya sel T regulatory yang mengalami penurunan fungsi,
sehingga tidak ada proses supresi dari mediator-mediator inflamasi. Hal ini mengakibatkan
adanya inflamasi pada daerah persendian. Sel B (CD20) yang membantu sel T pada
membrane synovial juga akan membentuk sel B plasma yang akan mensekresikan IgG. Pada
orang dengan allele HSL-DRB 1, IgG yang dihasilkan merupakan IgG dengan FC anti protein
tersitrunilasi (ACPA) sehingga akan membentuk kompleks imun dengan protein
tersitrunilasi. Akibatnya, protein komplemen akan teraktivasi menggunakan jalur klasik
sehingga terjadi kerusakan pada persendian (Mc Innes, 2007)

Anda mungkin juga menyukai