Anda di halaman 1dari 57

1

BAB I

PENDAHULUAN

Unggas memiliki organ eksterior dan organ interior. Organ eksterior meliputi

ciri fisik dari unggas tersebut sedangkan organ interior dari sistem pencernaan,

pernapasan, reproduksi dan kekebalan. Sistem pencernaan pada unggas meliputi paruh,

esofagus, tembolok, proventrikulus, gizzard, duodenum, jejenum, ileum, sekum,

rektum dan kloaka. Sistem respirasi unggas meliputi laring trakea, paru-paru dan

kantung udara. Sistem reproduksi unggas betina meliputi ovarium, infundibulum,

magnum, isthmus, uterus, vagina, dan kloaka sedangkan sistem reproduksi unggas

jantan meliputi testis, vas deferens dan kloaka. Sistem urinari pada ungags meliputi

ginjal dan uretra. Sistem kekebalan tubuh unggas meliputi limfa, timus dan bursa of

fabricus. Mempelajari organ eksterior dan organ interior sangat penting karena organ

eksterior dapat digunakan sebagai melihat perbedaan unggas air dan unggas darat

sedangkan organ interior digunakan untuk mengidentifikasi jenis penyakit.

Tujuan dari praktikum ini adalah dapat mengetahui jenis unggas berdasarkan

tipe dan karakteristiknya, mengetahui perbedaan antara unggas air dan darat,

mengetahui anatomi ternak unggas. Manfaat dari praktikum ini dapat membedakan

unggas air darat, dapat mengenali unggas air dan darat, juga dapat mengenali jenis

penyakit.
2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengenalan Jenis dan Klasifikasi Ternak Unggas

Unggas termasuk kelas aves, terbagi menjadi 2 subkelas, kelas neomithes

(burung modern) yang terbagi 26 ordo, kelas Archaeomithes (burung primitif) sudah

punah, kelas burung modern atau neomithes mempunyi 3 ordo penting bagi manusia

yaitu Galliformes (ayam, burung puyuh, kalkun), Columbiformes (merpati, burung

dara) dan Anseriformes (bebek, itik, angsa) (Ali, 2015). Jenis ternak unggas yaitu ayam,

kalkun, puyuh, itik dan merpati (Susilorini dkk, 2008).

Klasifikasi standar pengelompokan ayam menurut tempat pembentukan disebut

kelas seperti kelas Asia, kelas Amerika, kelas Inggris, kelas Mediterania (Irhamni,

2015). Ayam ras yaitu ayam yang sudah mengalami perbaikan mutu genetic sesuai

dengan tujuan pemeliharaan bersifat unggul dan berasal dari luar negeri (Susilorini dkk,

2008).

2.1.1. Klasifikasi secara internasional

Klasifikasi internasional merupakan pengelompokan jenis ternak berdasarkan

persamaan dan perbedaan karakteristik pada ternak tersebut misalnya unggas.

Klasifikasi internasional berstandar pada buku The American Standar of Perfection.

Pada buku tersebut pengelompokkan berdasarkan bangsa, ras, varietas dan strainnya

(Sudrajat, 2011). Klasifikasi unggas dapat dibedakan menurut asal-usul ternak unggas

tersebut dan bentuk fisiknya yaitu menurut kelas, bangsa, varietas dan strain, Menurut
3

kelasnya terdapat empat kelas ayam yaitu kelas Amerika, kelas Inggris, kelas

Mediterania, dan kelas Asia (Rahayu dkk., 2013).

2.1.2. Klasifikasi berdasar tujuan pemeliharaan

Tipe ayam petelur memiliki badan yang langsing dan tegap, dapat menghasikan

telur sekitar 200-300 butir pertahun, mempunyai masa rontok bulu untuk peremajaan

sel dalam tubuhnya dan bila dikawinkan dengan pejantan dapat meghasilkan telur tetas

(Rahayu dkk., 2011). Tipe dwiguna dikembangkan untuk memproduksi telur sekaligus

daging yang memiliki ukuran badan yang lebih besar dari tipe petelur, berperilaku

tenang, memiliki otot kaki dan dada lebih tebal, produksi telur cukup tinggi dengan

kulit telur tebal dan berwarna coklat (Sudarmono, 2003)

Tipe pedaging sangat efektif untuk menghasilkan daging dengan memiliki

karakteristik bentuk tubuh besar, pertumbuhan cepat, bulu merapat ke tubuh, kulit putih

dan produksi telur rendah (Susilorini dkk., 2008). Tipe fancy atau kesenangan karena

keindahan bentuk, warna bulu, suara maupun kekuatannya yang menjadikan tipe ini

memiliki harga yang lebih mahal dibandingkan dengan tipe lainnya karena

keistimewaan yang dimiliki (Rahayu dkk., 2011)

2.1.3. Unggas Darat

Unggas adalah hewan yang memiliki sayap, berkaki dua, bertelur serta

tergolong keluarga burung (aves) yang banyak dikembangkan dan dimanfaatkan

manusia (Rohajawati dan Supriyati, 2010). Unggas darat memiliki ciri-ciri yang

berbeda dari unggas air yaitu cakar berbentuk jari-jari yang terpisah satu sama lain

(Siwi dkk,. 2014). Ayam merupakan unggas darat yang berdarah panas, lincah, seluruh
4

tubuhnya ditutupi oleh bulu mulai dari kepala, sayap sampai ekor, mempunyai jengger

yang penuh berwarna merah dan mempunyai badan yang kompak (Adipratama, 2009).

Burung puyuh memiliki ukuran tubuh sedang, berbulu gelap dengan bagian cerah di

sekitar dada dan berparuh tebal berwarna hitam (Yuwanta, 2008). Merpati memiliki

tubuh kompak dan kuat tetapi beragam sehingga dapat beradaptasi dengan kehidupan

di darat maupun di udara, merpati jantan memiliki tekstur bulu lebih besar dan bulu

leher lebih tebal dibandingkan merpati betina (Firmasnyah, 2012).

2.1.3.1. Ayam

Klasifikasi Biologi ayam broiler termasuk dalam kingdom Animalia, filum

Chordata, kelas Aves, ordo Galliformes, famil Phasianidae, Genus Gallus, dan

spesiesnya adalah Gallus Gallus (Herren 2012). Ayam (Gallus gallus) merupakan

unggas domestikasi dari keturunan ayam hutan merah dari Asia Tenggara dan ayam

Indian liar dan juga berhubungan dengan ayam hutan abu-abu (Gallus sinnerati) yang

dipelihara sehingga dapat memberikan keuntungan yang ekonomis (Adipratama, 2009).

Jenis ayam yang banyak dibudidayakan oleh peternak adalah jenis ayam buras/petelur

dan juga pedaging/broiler (Rahmanto, 2012).

Ayam kampung atau buras memiliki bentuk badan yang kompak dan susunan

ototnya baik, pejantan memiliki ciri kejantanan yang jelas, baik dari bentuk tubuhnya

yang berukuran besar, cara berjalan yang gagah dan tingkah laku lainnya, sedangkan

ayam betina mempunyai ukuran tubuh lebih kecil dan selama setahun mampu bertelur

sebanyak 3 periode, dalam satu masa bertelur ayam ini mampu menghasilkan 12-18

butir (Hastuti, 2008).


5

Ciri pada ayam jantan badan lebih besar, gagah, tinggi dan padat, pada jengger

tumbuh lebih tegas, besar dan bergerigi nyata, mata besar dan bercahaya, kaki besar,

kuat dan kokoh, bulu ekor lebih cepat tumbuh dibanding bulu lainnya dan geraknya

lincah serta bersuara lebih keras. Ayam betina badan pendek dan lembek, jenggernya

tumbuh tipis dan pendek, mata kecil dan lemah, kaki kecil dan pendek, bulu badan

tumbuh rata dan geraknya kurang glincah serta suara lemah (Sujionohadi dan Setiawan,

2007)

2.1.3.2. Puyuh

Taksonomi puyuh yaitu kingdom animilia, filum chordata, class aves, familia

Phanasianidae, ordo galliformes, genus coturnix, spesies coturnixcoturnix japonica

potensi regenerasi 3 -4 generasi/tahun, asal Negara Jepang, lama pengeraman telur 16

17 hari (Wuryadi, 2011). Puyuh adalah jenis burung yang tidak bisa terbang jauh,

kaki pendek dan tubuh yang kecil (Mawaddah, 2011).

Puyuh domestikasi mempunyai warna kaki dan paruh kuning, warna bulu leher

puyuh betina cokelat muda dan warna bulu leher cokelat tua, bagian dada bulu betina

mempunyai totol-totol cokelat dan hitam, sedangkan pada jantan hanya berwarna coklat

(Hutagalung dkk, 2012). Cara mengetahui jenis kelamin puyuh yang akan dipelihara

harus harus dilakukan sexing yaitu dengan cara perut puyuh di urut ke arah anus

menggunakan tangan, jika terdapat ekskreta harus dibuang, pada puyuh jantan akan

terlihat tonjolan kecil di dinding atas kloaka (Abidin, 2009).


6

2.1.3.3. Merpati

Merpati dalam kelas internasional termasuk kelas asia dan termasuk tipe

dwiguna karena diambil dagingnya dan termasuk juga unggas fancy dan tergolong

dalam unggas buras (Suparman, 2009). merpati jantan memiliki warna bulu dada lebih

gelap daripada betina sedangkan untuk bentuk kepala dan tubuh merpati betina lebih

ramping daripada jantannya.

2.1.4. Unggas Air

Unggas air merupakan salah satu spesies unggas yang dapat hidup di air maupun

darat. Unggas air juga memiliki potensi untuk mengasilkan produksi telur cukup besar

(Arifah dkk., 2013). Di Indonesia sendiri, unggas air memiliki beberapa jenis unggas

air diantaranya itik. Itik di Indonesia memiliki beberapa jenis antara lain itik tegal, itik

alabio, itik mojosari, itik bali, itik magelang dan itik petelur lainnya (Setioko, 2012).

Itik Indonesia yang banyak dibudidaya adalah itik tegal. Itik tegal termasuk

dalam tipe runner karena kemampuannya yang mampu menempuh jarak jau pada saat

digembala (Rahayu dkk., 2016). Itik tegal berasal dari Tegal, Jawa Tengah yang

memiliki ciri-ciri warna bulu kecoklatan, pada bagian dada, punggung serta sayap

bagian luar terdapat totol berwarna coklat yang tampak jelas, paruh dan kaki berwarna

hitam (Zulfahmi dkk., 2014).


7

2.2. Anatomi dan Identifikasi Ternak Unggas.

2.2.1. Sistem Pencernaan

Sistem pencernaan pada ayam terdiri dari paruh, esophagus, tembolok,

proventikulus, ventrikulus, usus halus, usus besar dan kloaka. (Rahayu dkk., 2011).

Unggas air dan darat memiliki bentuk paruh yang berbeda, paruh ayam berbentuk

lancip dan keras berfungsi mematuk makanan yang akan di dorong oleh lidah dengan

bantuan saliva melewati esophagus menuju tembolok (Efendi, 2011). Tembolok adalah

modifikasi dari esophagus berfungsi untuk menyimpan pakan sementara yang akan

dicerna protein dan lemak di dalam proventikulus dengan mensekresikan pepsinogen

dan HCL (Yuwanta, 2008). Proventikulus merupakan perut kelenjar pelebaran dan

penebalan dari ujung esophagus yang memiliki peran kecil dibandingkan ventrikulus

yang sebagian besar pencernaan berbagai zat-zat makanan terjadi didalamnya

(Nugroho dkk., 2014). Usus halus merupakan tempat terjadinya pencernaan dan

penyerapan pakan sedangkan usus besar berfungsi untuk penyerapan air dan

menyalurkan sisa makanan dari usus menuju ke kloaka (Istichomah, 2007).

2.2.2. Sistem Pernafasan

Alat pernafasan unggas terdiri dari tiga komponen penting yaitu saluran

pernafasan (hidung, sinus hidung, trakea dan bronkus), paru-paru dan kantong udara

(air sac) bagi unggas yang bisa terbang (Adnin, 2015). Ayam bernafas melalui lubang

hidung, laring, trakea, bronkus dan masuk ke kantong udara di paru-paru lalu di dalam

paru paru oksigen yang terkandung dalam udara diikat oleh darah sedangkan

karbondioksida dikeluarkan (Rahayu dkk., 2011).


8

2.2.3. Sistem Reproduksi Jantan

Sistem reproduksi ayam jantan dibagi dalam 3 bagian utama, yaitu sepasang

testis, sepasang salurn vas deferens dan kloaka (Yuwanta, 2004). Hal ini diperkuat

dengan pernyataan bahwa sistem reproduksi ayam jantan terdiri dari dua testis yang

memiliki epididimis dan vas deferens yang menuju kea lat copulatory (copulatory

organ). Alat copulatory pada yam memiliki dua papillae dan satu alat copulatory

mengecil yang berada didaerah sekitar kloaka (vent) (Fadilah dan Polana, 2004)

Testis ayam jantan berbentuk biji buah buncis dengan warna putih krem yang

terletak dirongga badan dekat dengan tulang belakang, melekat pada bagian dorsal dari

rongga abdomen dan dibatasi oleh ligamentum mesorchium, berdekatan dengan aorta

dan vena cava. Saluran differens dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian atas yang

merupakan muara sperma dari testis, serta bagian bawah yang merupakan perpanjangan

dari saluran epididimis yang akan bermuara di kloaka (Yuwanta, 2004)

2.2.4. Sistem Reproduksi Betina

Organ reproduksi betina adalah ovarium. Ovarium memiliki fungsi sebagai

penghasil folikel, perkembangan serta pemasakan pada kuning telur (folikel), tempat

sintesis hormone steroid seksual serta gametosis (Salanga dkk., 2015). Perkembangan

folikel pada ovarium dipengaruhi oleh FSH (Folicel Stimulating Hormone), sehingga

oosit dalam folikel akan berkembang dan mengalami pematangan oosit (Sari, 2012).

Proses pembentukan sel telur yang telah diovulasikan akan memasuki pada

organ reproduksi secara berurutan yaitu infundibulum, magnum, isthmus, uterus,

vagina dan kloaka (Andriyanto dkk., 2014). Fungsi dari masing-masing organ
9

reproduksi betina adalah infundibulum untuk menampung ovum, magnum untuk

pembentukan putih telur, isthmus untuk pembentukan membran luar kulit telur dan

uterus untuk pembentukan kerabang telur (Afiati dkk., 2013).

2.2.5. Sistem Urinari

Sistem urinari unggas terdiri dari dua ginjal (renes) dan dua saluran urin (ureter),

ginjal dibagi menjadi bagian cranial, tengah dan kaudal serta urin yang mengalir dari

ginjal melalui ureter langsung ke kloaka (Susanti, 2009). Ginjal pada ternak unggas

umumnya memiliki bentuk seperti kacang yang merupakan organ penyaring plasma

dari darah dan kemudian secara selektif menyerap kembali air serta unsur-unsur

berguna yang kembali dari filtrate yang akhirnya mengeluarkan kelebihan dan produk

buangan plasma (Istichomah, 2007).

2.2.6. Sistem Kekebalan Tubuh

Sistem kekebalan tubuh unggas sebagian dibentuk di dalam sumsum tulang dan

sebagan lagi di dalam organ limfoid seperti timus, bursa of fabriscius dan limpa dengan

menghasilkan leukosit (Adipratama, 2009). Limpa bersama hati dan sumsum tulang

berperan dalam pembinasaan eritosit-eritosit tua serta membentuk sel limfosit yang

berhubungan dengan pembentukan atibodi (Istichomah, 2007). Sistem pertahanan

tubuh dapat dibagi menjadi dua, yaitu kekebalan humoral dan seluler (Ahmad, 2008).

Sistem kekebalan seluler terhadap patogen meliputi fagositosis, enkapsulasi dan

sitotoksitas, dan kekebalan humoral berdasarkan sifat antimikroba, hemolitik dan

pembekuan dari cairan tubuhnya (Damayanti dkk., 2009).


10

2.3. Formulasi Ransum Ternak Unggas

2.3.1. Cara pencampuran ransum

Menyusun ransum intinya adalah menyamakan antara kandungan nutrisi dari

bahan makanan terpilih dengan kebutuhan nutrisi (Rasyaf, 2011). Penyusunan ransum

perlu memperhatikan keseimbangan antara energi dan protein. Protein diambil sebagai

patokan, karena kualitas suatu bahan dan harga pakan ditentukan oleh kadar protein

tersebut (Rukmana, 2003).

2.3.2. Cara penyajian ransum

Pemberian pakan pada ayam 2 kali sehari dengan pembatasan pakan 75% lebih

baik dan lebih efisien dibandingkan dengan pemberian 2, 3 dan 4 kali sehari karena

dapat memaksimal konversi pada ayam broiler (Nianuraisyah, 2016). Penyajian ransum

perlu memperhatikan waktu penyajiannya. Peyajian pertama dapat dilakukan di pagi

hari dan penyajian kedua dapat dilakukan di siang atau menjelang (Rasyaf, 2008).

2.4. Sistem Kandang

Kandang merupakan unit bangunan kandang sebagai tempat unggas akan

tinggal. Pada ayam petelur kandang dikelompokkan menjadi tiga periode pemeliharaan,

yaitu kandang starter, grower dan layer. Kandang untuk starter menggunakan sistem

litter karena unggas masih kecil, kandang untuk grower menggunakan kandang sitem

liter atau kandang sistem sangkar dan kandang untuk layer pada umumnya

menggunakan kandang baterai (Susilorini dkk, 2008). Kelebihan menggunakan sistem

kandang liter seumur idup adalah memberikan keleluasaan ayam beraktivitas,


11

khususnya pada kandang berhalaman. kelemahan dari sistem kandang ini adalah

membutuhkan areal yang luas, terlebih lagi pada sistem berhalaman (Rasyaf, 2011)

2.4.1. Layout kandang

Kandang sebaiknya dibangun dengan bagian panjang membujur dari arah timur

ke barat sehingga dapat menekan terjadinya pengumpulan panas atau cekaman panas

didalam kandang yang berdampak terhadap produktivitas ayam (Sudarmono, 2003).

bahwa jarak antar kandang sebaiknya berjarak 7 8 meter karena sangat berpengaruh

terhadap produktivitas ayam petelur karena berkaitan dengan sirkulasi udara di daerah

kandang, selain itu juga jarak antar kandang yang ideal untuk menghindari penularan

penyakit antar kandang (Aini, 2003).

2.4.2. Konstruksi kandang

Konstruksi kandang harus dibuat dengan bentuk yang memudahkan peternak

untuk membersihkan kandang dan sesuai dengan perkembangan serta kebutuhan ayam

(Waluyo dan Efendi, 2016). Kontruksi kandang yang ideal dan bernilai sehat meliputi

alat, ventilasi harus cukup, bagian dinding harus terbuka, menghadap ke timur, ukuran

luar kandang memadai dan mencukupi kebutuhan gerak ayam serta alas kandang

terbuat dari tanah atau semen yang tertutup dengan campuran pasir kering, sekam dan

kapur (Ustomo, 2016).


12

2.4.3. Kapasitas dan daya dukung kandang

Kepadatan kandang ayam broiler 10 ekor/m2 memiliki lama dan frekuensi

makan lebih tinggi dari kepadatan kandang 12 ekor/m2 dan 14 ekor/m2, karena kandang

yang semakin padat akan menimbulkan sifat agonistic ayam sehingga tingkat

agresivitas ternak meningkat dan ayam memiliki persaingan antara satu dengan yang

lainnya (Puspani dkk., 2008). Kandang yang terlalu padat akan mempengaruhi

pertumbuhan serta pertambahan bobot badan pada ayam, sehingga kepadatan pada

antar ayam perlu diperhatikan sesuai dengan umur ayam (Wahyudi dkk., 2010).

Tempat pakan dan minum diletakkan secara menggantung dengan jarak sekitar

1 1,5 m, kapasitas tempat pakan 35 40 ekor sebesar 10 kg sedangkan 25 30 ekor

sebesar 5 kg serta kapasitas tempat minum untuk 20 25 ekor sebesar 1 volume galon

dan kapasitas tempat minum 100 ekor sebesar 2 volume galon (Jayanata dan Harianto,

2011). Tinggi tempat minum sejajar dengan punggung ayam, agar tidak dicakar dan

terkontaminasi kotoran, jarak tempat minum tidak boleh melebihi 4 m (Fadilah, 2013).
13

BAB III

MATERI DAN METODE

Praktikum Produksi Ternak Unggas dengan materi Pengenalan Jenis dan

Klasifikasi Ternak Unggas dan Anatomi Fisiologi Ternak Unggas dilaksanakan pada

hari Sabtu, 11 Maret 2017 pukul 13.00 16.00 WIB, sedangkan materi Formulasi

Ransum Ternak Unggas dan Perkandangan dilaksanakan pada hari Sabtu, 25 Maret

2017 pukul 13.00 16.00 WIB di Laboratorium Ilmu Ternak Unggas Fakultas

Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang.

3.1. Materi

3.1.1. Pengenalan Jenis dan Klasifikasi Ternak Unggas

Materi yang digunakan pada praktikum pengenalan jenis dan klasifikasi ternak

unggas yakni unggas darat yang berupa ayam jantan dan betina, puyuh jantan dan betina

dan merpati jantan dan betina serta unggas air yang berupa itik jantan dan betina.

3.1.2. Anatomi dan Fisiologi Ternak Unggas

Materi yang digunakan pada praktikum anatomi dan fisiologi ternak unggas

yakni ayam, merpati, itik dan puyuh. Alat yang digunakan yakni pisau bedah dan

gunting yang digunakan untuk pembedahan pada tenak unggas, masker untuk penutup

hidung, sarung tangan untuk pelindung tangan dari darah maupun kotoran, alas plastik

untuk pembuangan bangkai dari ternak, box plastic untuk tempat pembedahan, pita
14

ukur untuk mengukur panjang dari organ, timbangan analitik untuk menimbang berat

dari organ dan alat tulis untuk pencatatan hasil.

3.1.3. Formulasi Ransum Ternak Unggas

Materi yang digunakan pada praktikum formulasi ransum ternak unggas yakni

bahan pakan berupa jagung, bekatul, bungkil kedelai, crude palm oil (CPO), tepung

ikan, meat bone meal (MBM) dan premix. Alat yang digunakan dalam praktikum yakni

wadah untuk bahan pakan yang akan dicampurkan, timbangan analitik untuk

menimbang ransum dan laptop untuk perhitungan ransum secara trial dan error.

3.1.4. Perkandangan

Materi yang digunakan pada praktikum dengan perkandangan yakni kandang

ayam petelur. Alat yang digunakan dalam praktikum yakni meteran digunakan untuk

pengukuran pada kandang dan alat tulis untuk pencatatan hasil pengukuran.

2.2. Metode

Metode yang digunakan pada praktikum pengenalan jenis dan klasifikasi ternak

unggas yakni ayam, itik, puyuh dan merpati diamati perbedaan antara unggas darat

dengan unggas air. Setelah itu, catat hasil pengamatan pada tabel yang telah disediakan.

Metode yang digunakan pada praktikum anatomi dan fisiologi ternak unggas

yakni bagian mata ternak unggas digunting untuk dilihat penyakit yang ada ditubuhnya.

Kemudian, bagian leher sampai ke bagian bawah antara ke dua kaki dibedah

menggunakan pisau bedah. Bagian kulit luar dipisahkan dengan menggunakan gunting

antara organ pencernaan, pernafasan, kekebalan, urinari dan reproduksi. Masing-


15

masing organ disusun untuk diamati bagian-bagian dan masing-masing organ tersebut

difoto. Setelah disusun, panjang pada setiap organ diukur dengan pita ukur dan berat

pada setiap organ ditimbang dengan menggunakan timbangan. Hasil penimbangan lalu

dicatat pada tabel yang tersedia.

Metode yang digunakan pada praktikum formulasi ransum ternak unggas yakni

masing-masing bahan pakan diamati dengan uji organoleptik yang meliputi bau, tekstur

dan warna. Setelah itu, masing-masing bahan pakan ditimbang sesuai dengan ketentuan

ransum yang dibuat. Semua bahan pakan kemudian dicampur hingga homogen.

Metode yang digunakan pada praktikum perkandangan yakni kandang ayam

petelur diukur dengan pita ukur dari panjang, lebar, tinggi atap dan tinggi dinding.

Setelah itu jenis kandang, bahan dinding, bahan atap dan bahan lantai diamati dan

dievaluasi perkandangannya.
16

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pengenalan Jenis dan Klasifikasi Ternak Unggas

Ternak unggas atau yang disebut poultry adalah unggas yang dipelihara atau

dibudidayakan untuk di ambil manfaatnya yaitu protein dari daging atau telur untuk

kebutuhan manusia. Unggas mempunyai kingdom animalia, filum chordata, subfilum

vertebrata, kelas aves. Ternak unggas yang biasa dibudidayakan yaitu ayam (Gallus

domesticus), itik (Anas plathyrynchos), puyuh (Coturnix coturnix), merpati (Colomba

livia) dan kalkun (Meliagris galopavo) yang sudah didomestikasi dan mempunyai

karakteristik berbeda-berbeda baik pada eksterior tubuh, interior tubuh, cara

pemeliharaan dan pakan yang dikonsumsi. Hal tersebut sesuai dengan pendapat

Susilorini dkk (2008) yang menyatakan bahwa yang termasuk jenis ternak unggas yaitu

ayam, kalkun, puyuh, itik dan merpati. Ali (2015) menyatakan bahwa unggas termasuk

kelas aves, terbagi menjadi 2 subkelas, kelas neomithes (burung modern) yang terbagi

26 ordo, kelas Archaeomithes (burung primitif) sudah punah, kelas burung modern atau

neomithes mempunyi 3 ordo penting bagi manusia yaitu Galliformes (ayam, burung

puyuh, kalkun), Columbiformes (merpati, burung dara) dan Anseriformes (bebek, itik,

angsa).

Klasifikasi ternak unggas sendiri dibagi menjadi empat, yaitu klasifikasi

berdasarkan taksonomi, klasifikasi berdasarkan kelas yaitu berdasarkan tempat yang

didasarkan pada buku The American Standard of Perfection yang mempunyai 12

kelas, tetapi hanya 4 kelas yang terpenting. Menurut Irhamni (2015) yang menyatakan
17

bahwa pada klasifikasi standar pengelompokan ayam menurut tempat pembentukan

disebut kelas seperti kelas Asia, kelas Amerika, kelas Inggris, kelas Mediterania.

Klasifikasi berdasarkan tujuan pemeliharaan yaitu ternak unggas yang budidayakan

untuk di ambil manfaatnya seperti tipe petelur, tipe pedaging, tipe dwiguna (dual

purpose) dan tipe kesenangan (fancy), klasifikasi berdasarkan habitat yaitu unggas

darat dan unggas air, klasifikasi Indonesia yaitu ayam buras (ayam lokal) dan ayam ras

(ayam import unggul). Hal tersebut sesuai dengan pendapat Susilorini dkk (2008) yang

menyatakan bahwa yang disebut ayam ras yaitu ayam yang sudah mengalami perbaikan

mutu genetik sesuai dengan tujuan pemeliharaan bersifat unggul dan berasal dari luar

negeri.

4.1.1. Ayam

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, diperoleh hasil sebagai berikut:

Jantan Betina
Ilustrasi 1. Ayam Jantan dan Betina

Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan, diperoleh hasil bahwa ayam

yang digunakan dalam praktikum adalah ayam buras atau ayam kampung. Ayam buras

atau ayam kampung merupakan tipe ayam petelur dan pedaging. Ayam merupakan jenis
18

unggas yang memiliki habitat hidup didarat. Adipratama (2009) berpendapat bahwa

ayam buras atau kampung (Gallus domesticus) merupakan unggas darat hasil

domestikasi dari keturunan ayam hutan merah dari Asia Tenggara dan ayam Indian Liar

dan juga berhubungan dengan ayam abu-abu (Gallus sinnerati) yang dipelihara

sehingga memberikan keuntungan yang ekonomis. Klasifikasi ayam buras berdasarkan

taksonomi biologi ayam termasuk dalam kingdom Animalia, filum Chordata, kelas

Aves, ordo Galliformes, famil Phasianidae, Genus Gallus, dan spesiesnya adalah Gallus

Gallus domesticus. Herren (2012) berpendapat bahwa klasifikasi biologi ayam buras

termasuk dalam kingdom Animalia, filum Chordata, kelas Aves, ordo Galliformes,

famil Phasianidae, Genus Gallus, dan spesiesnya adalah Gallus domesticus. Ayam

buras termasuk klasifikasi ayam asli Indonesia yang banyak dibudidayakan dengan

tujuan pemeliharaan dwiguna yaitu menghasilkan telur dan daging. Rahmanto (2012)

berpendapat bahwa jenis ayam yang banyak dibudidayakan oleh peternak adalah jenis

ayam petelur dan juga pedaging.

Perbedaan pada ayam jantan dan betina adalah ayam jantan mempunyai tubuh

yang besar, gagah, tinggi dan kompak, jengger lebih tegas, besar dan bergerigi, mata

lebar dan bercahaya, kaki besar, kuat dan kokoh, bulu ekor lebih cepat tumbuh

dibanding bulu lainnya, warna bulu tubuh bervariasi dan geraknya lincah serta

berkokok, sedangkan pada ayam betina memiliki ciri tubuh bulat dan lembek, jengger

tipis dan pendek, mata kecil dan lemah, kaki kecil dan lemah, bulu badan tumbuh rata

serta warna bulu tidak begitu bervariasi serta gerak pada ayam betina kurang lincah.

Sujionohadi dan Setiawan (2007) berpendapat bahwa ciri pada ayam jantan badan lebih

besar, gagah, tinggi dan padat, pada jengger tumbuh lebih tegas, besar dan bergerigi

nyata, mata besar dan bercahaya, kaki besar, kuat dan kokoh, bulu ekor lebih cepat
19

tumbuh dibanding bulu lainnya dan geraknya lincah serta bersuara lebih keras,

sedangkan ayam betina badan pendek dan lembek, jenggernya tumbuh tipis dan pendek,

mata kecil dan lemah, kaki kecil dan pendek, bulu badan tumbuh rata dan geraknya

kurang glincah serta suara lemah. Hastuti (2008) menambahkan bahwa perbedaan ayam

kampung atau buras pada pejantan memiliki ciri kejantanan yang jelas, baik dari bentuk

tubuhnya yang berukuran besar, cara berjalan yang gagah dan tingkah laku lainnya,

sedangkan pada betina betina mempunyai ukuran tubuh lebih kecil dan selama setahun

mampu bertelur sebanyak 3 periode, dalam satu masa bertelur ayam ini mampu

menghasilkan 12-18 butir.

4.1.2. Itik

Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan, diperoleh hasil sebagai

berikut:

Jantan Betina
Ilustrasi 2. Itik Tegal Jantan dan Betina.

Jenis unggas air yang diamati adalah itik tegal. Itik tegal termasuk dalam

kingdom Animalia, filum Vertebrata, kelas Aves, ordo Anseriforme, familia Anatidae,

genus Anas dan spesies Anas platyhyncos. Itik tegal merupakan domestikasi itik liar
20

keturunan dari Indian Runner. Hal ini sesuai dengan pendapat Rahayu dkk. (2016)

menyatakan bahwa itik tegal termasuk dalam tipe runner karena kemampuannya yang

mampu menempuh jarak jauh pada saat digembala. Itik tegal memiliki ciri-ciri warna

bulu coklat seluruhnya, ada juga bulu yang berwarna coklat totol-totol, berkepala kecil,

leher langsing, badan tegap, paruh dan kaki berwarna hitam, paruh panjang dan lebar

diujungnya, tipe petelur. Hal ini sesuai dengan pendapat Zulfahmi dkk. (2014)

menyatakan bahwa ciri-ciri itik tegal antara lain warna bulu kecoklatan, pada bagian

dada, punggung serta sayap bagian luar terdapat totol berwarna coklat yang tampak

jelas, paruh dan kaki berwarna hitam, tipe petelur dengan produksi telur 250 butir pada

itik totol coklat sedangkan pada warna coklat seluruhnya 200 butir/tahun.

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan bahwa itik jantan dan itik betina

memiliki perbedaan. Ciri-ciri dari itik jantan adalah memiliki kepala yang besar, bagian

ekor naik ke atas, paruhnya lebih besar, warna tubuh lebih gelap dan tubuhnya lebih

ramping. Sedangkan pada itik betina memiliki ciri-ciri kepala lebih kecil, bagian ekor

datar, paruhnya lebih kecil, warna tubuh lebih terang dan tubuhnya lebih besar. Menurut

pendapat Wulandari dkk. (2015) menyatakan bahwa itik tegal jantan memiliki ciri-ciri

adalah kepala lebih besar dari betina, memiliki leher yang langsing, lehernya bulat serta

panjang, dan bagian ekor mengarah ke atas. Menurut pendapat Wakhid (2013)

menyatakan bahwa memiliki tubuh yang lebih langsing dari jantan, kepala lebih kecil

dari jantan, ekornya datar atau lurus dan memiliki paruh yang lebih kecil dari jantan.
21

4.1.3. Puyuh

Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan, diperoleh hasil sebagai

berikut:

Jantan Betina

Ilustrasi 3. Puyuh Jantan dan Puyuh Betina

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diketahui bahwa taksonomi puyuh

yaitu kingdom animilia, filum chordata, kelas aves, family Phanasianidae,

ordo galliformes, genus coturnix, spesies coturnix coturnix japonica. Ukuran tubuh

puyuh kecil, pendek dan bulat, berkaki pendek dan kuat. Puyuh adalah ternak unggas

yang habitatnya didarat atau cara memperoleh pakan didarat. Jenis puyuh tersebut

adalah puyuh jepang, puyuh petelur yang banyak dibudidayakan di Indonesia. Hal

tersebut sesuai dengan pendapat Wuryadi (2014) bahwa jenis puyuh yang banyak di

ternakan di Indonesia adalah puyuh jepang (Coturnix coturnix japonica) yang berasa

dari jepang yang sudah dijinakkan, produksi telur 250-300 butir/ekor/tahun. Mawaddah

(2011) juga berpendapat bahwa puyuh adalah jenis burung yang tidak bisa terbang jauh,

kaki pendek dan tubuh yang kecil.


22

Ciri-ciri puyuh jantan dan betina dapat di lihat dari organ eksteriornya yaitu

pada puyuh jantan warna muka dan paruh bagian bawah gelap atau hitam, sedangkan

pada puyuh betina berwarna lebih terang atau putih kecoklatan. Puyuh jantan

mempunyai bulu dada coklat muda atau terang, pada puyuh betina bulu dada berwarna

hitam atau gelap bintik-bintik. Dubur puyuh jantan ketika di tekan mengeluarkan busa

putih dan terdapat tonjolan merah kecil, pada puyuh betina tidak ada. Puyuh jantan

dewasa dapat berkokok dengan keras, ketika masih DOQ (Day Old Quail) puyuh jantan

mempunyai warna garis pada bulu punggung hitam. Hal tersebut sesuai dengan

pendapat Hutagalung dkk (2012) bahwa pada puyuh domestikasi mempunyai warna

kaki dan paruh kuning, warna bulu leher betina cokelat muda dan jantan cokelat tua,

bagian dada bulu betina mempunyai totol-totol cokelat dan hitam, sedangkan pada

jantan hanya berwarna coklat. Abidin (2009) juga berpendapat bahwa untuk

mengetahui jenis kelamin puyuh yang akan dipelihara harus dilakukan sexing yaitu

perut puyuh di urut ke arah anus, pada puyuh jantan akan terlihat tonjolan kecil di

dinding atas kloaka.

4.1.4. Merpati

Berdasarkan praktikum yang telah telah dilaksanakan, diperoleh hasil sebagai

berikut:
23

Jantan Betina
Ilustrasi 4. Merpati Jantan dan Betina

Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan didapatkan hasil bahwa merpati

termasuk dalam kelas asia karena banyak ditemukan diwilayah asia, buras karena

memiliki ciri-ciri tersendiri dari merpati luar Indonesia dan tipe dwiguna karena dapat

digunkan untuk konsumsi (pedaging) atau untuk hiburan (fancy). Hal ini sesuai dengan

pendapat Suparman, 2009 yang menyatakan bahwa merpati dalam kelas internasional

termasuk kelas asia dan termasuk tipe dwiguna karena diambil dagingnya dan termasuk

juga unggas fancy dan tergolong dalam unggas buras. Merpati termasuk dalam kingdom

Animalia berfillum Chordata termasuk dalam kelas aves memiliki ordo Columbiformes

dan famili Columbidae. Hal ini sesuai dengan pendapat Dimas dkk., 2015 yang

menyatakan bahwa merpati termasuk dalam genus columba, famili columbidae, ordo

columbiformes dan hewan yang termasuk kedalam kelas aves dikarenakan memiliki

organ berupa sayap yang tertutup bulu.

Merpati jantan dan betina memiliki perbedaan terutama bulu bagian dada untuk

yang jantan lebih gelap daripada betina. Hal ini diperkuat oleh pendapat Darwati, 2012

yang menyatakan bahwa merpati jantan memiliki warna bulu dada lebih gelap daripada

betina sedangkan untuk bentuk kepala dan tubuh merpati betina lebih ramping daripada
24

jantannya. Habitat merpati di Indonesia adalah didarat karena makanan yang mereka

butuhkan banyak didarat. Hal ini sesuai dengan pendapat Dimas dkk., 2015 yang

menyatakan bahwa merpati memiliki habitat didarat karena sumber pakannya ada

didarat dan merpati yang berada di Indonesia berasal dari eropa.

4.1.5. Perbedaan Unggas Darat dan Unggas Air

Berdasarkan praktikum dengan materi pengenalan karakteristik unggas darat

dan unggas air diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel 5. Perbedaan unggas darat dan air

No Karakteristik Unggas darat Unggas air


1. Jengger Terdapat Jengger Tidak Terdapat Jengger
2. Pial Terdapat Pial Tidak Terdapat Pial
3. Paruh Runcing Pipih
4. Tembolok Berkembang Tidak berkembang
5. Leher Pendek Tegak memanjang
6. Bentuk Badan Melengkung Cenderung Tegak
7. Bulu Tidak berminyak Berminyak
8. Jalu / Taji Terdapat jalu Tidak terdapat jalu
9. Bentuk Pakan Kering Basah atau cair
10. Kaki Terpisah Berselaput

Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan, diperoleh hasil bahwa terdapat

beberapa perbedaan antara unggas darat dengan unggas air. Perbedaan tersebut antara

lain unggas darat yang memiliki jengger, pial dan jalu sedangkan unggas air tidak

memiliki jengger, pial dan jalu. Jengger dan pial berfungsi sebagai organ seks sekunder

yang dapat menarik perhatian pada betina dan jalu berfungsi sebagai pertahanan diri

atau melindungi diri dari serangan. Hal ini sesuai dengan pendapat Yuwanta (2008)

yang menyatakan bahwa perbedaan mendasar dari unggas darat dengan air dapat dilihat

dari terdapatnya jengger, pial serta jalu pada unggas darat yang tidak dimiliki oleh
25

unggas air. Perbedaan antara unggas darat dan unggas air juga dapat diliat dar bentuk

kakinya. Unggas air memiliki kaki yang berselaput diantara jari-jarinya, sedangkan

pada unggas darat jari-jarinya memisah satu sama lain. Kaki yang berselaput pada

unggas air berfungsi sebagai alat bantu berenang di air saat unggas tersebut berada di

dasaran air. Hal ini sesuai dengan pendapat Suharno dan Setiawan (2012) yang

menyatakan bahwa kaki yang berselaput pada unggas air dapat memudahkan ternak

tersebut untuk berenang.

Bentuk paruh yang dimiliki oleh unggas darat juga berbeda dengan unggas air.

Unggas darat cenderung memiliki paruh yang runcing sehingga pakan yang dikonsumsi

cenderung bersifat kering sedangkan unggas air memiliki bentuk paruh yang pipih dan

mengkonsumsi pakan yang bersifat cair. Dewanti (2007) menyatakan bahwa unggas

darat banyak mengkonsumsi biji-bijian yang bersifat kering, namun unggas air

mengkonsumsi bahan pakan yang basah atau cair. Perbedaan antara bahan pakan yang

dicerna juga menyebabkan tembolok pada unggas darat berkembang dengan baik, 1wc

sedangkan pada unggas air temboloknya cenderung tidak berkembang. Perbedaan

tersebut disebabkan karena pada unggas darat terdapat proses perendaman pakan pakan

sementara di tembolok sedangkan pada unggas air tidak ada proses perendaman pakan

ditembolok. Hal ini sesuai dengan pendapat Arianti dan Ali (2009) yang menyatakan

bahwa unggas air memiliki tembolok namun tidak berkembang disebabkan karena

unggas air mengkonsumsi bahan pakan yang berbentuk cair dan tidak memerlukan

perendaman sementara di tembolok sehingga tembolok tidak banyak berfungsi


26

4.2. Anatomi dan Identifikasi Penyakit Ternak Unggas

4.2.1. Sistem pencernaan

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, diperoleh hasil sebagai berikut:

1.
2.
3.
4.
5.
6.
a. Ayam b. Itik
7.
8.
9.

c. Puyuh d. Merpati
Ilustrasi 1. Sistem pencernaan a. Ayam b. Itik c. Puyuh d. Merpati

Keterangan : 1. Mulut
2. Esofagus
3. Tembolok
4. Proventrikulus
5. Ventrikulus / Gizzard
6. Usus Halus
7. Seka
27

8. Usus Besar
9. Kloaka

Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan sistem pencernaan terdiri dari

paruh, esofagus, tembolok, proventrikulus, ventrikulus, duodenum, pankreas, hati,

empedu, kloaka dan seka. Sistem pencernaan pada unggas terdiri dari organ pencernaan

utama dan organ pencernaan tambahan. Hal ini sesuai dengan pendapat Yuwanta (2008)

yang menyatakan bahwa sistem pencernaan unggas terdiri dari pencernaan utama yaitu

esofagus, tembolok, proventrikulus, ventrikulus, usus halus, usus besar, sekum dan

kloaka sedangkan organ pencernaan tambahan yaitu hati, empedu dan pancreas. Unggas

memiliki tembolok sebagai tempat penyimpanan sementara yang nantinya pakan akan

dteruskan ke ventrikulus melewati proventrikulus. Hal ini sesuai dengan pendapat

Rahayu dkk. (2011) yang menyatakan bahwa unggas memiliki tembolok untuk tempat

penampungan sementara pakan yang dilanjutkan ke proventrikulus terjadi pencernaan

secara sederhana lalu masuk ke proventrikulus terjadi penggilingan atau penghancuran

pakan.

Tembolok pada puyuh, merpati, itik, dan ayam memiliki ukuran yang berbeda.

Itik memiliki tembolok yaitu 6,5 cm, ayam yaitu 5 cm, dan merpati yaitu 3,5 cm, dan

yang terakhir yang paling pendek adalah puyuh yaitu 2 cm. Besar kecilnya organ

pencernaan pada unggas dipengaruhi oleh ukuran tubuh, jenis pakan yang dikonsumsi

dan jumlah konsumsi pakan. Hal ini sesuai dengan Frandson (2009) yang menyatakan

bahwa besar kecilnya suatu organ pencernaan unggas dipengaruhi oleh ukuran tubuh

dan jumlah konsumsi pakan. Proventrikulus memiliki bentuk yang kecil dan merupakan

organ penghubung dengan ventrikulus. Hal ini sesuai dengan pendapat Yuwanta (2008)
28

yang menyatakan bahwa proventrikulus adalah lintasan pakan yang sangat cepat

menuju ventrikulus sehingga hanya terjadi proses pencernaan sementara.

Berdasarkan hasil praktikum dapat diketahui bahwa kondisi itik sehat tidak

terserang penyakit karena organ pencernaannya sempurna tidak terluka. Hal ini sesuai

dengan pendapat Tabbu (2010) yang menyatakan bahwa unggas yang sehat organ

pencernaannya masih utuh, sempurna dan tidak terluka. Saluran pencernaan itik sehat

karena tidak terjadi pendarahan. Hal ini sesuai dengan pendapat itik Andoko dan

Sartono (2013) yang menyatakan bahwa itik yang sakit mengalami pendarahan di organ

pencernaannya atau yang biasa disebut coccidiosis.


29

4.2.2. Sistem respirasi

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, diperoleh hasil pengamatan

sistem organ pernafasan pada unggas sebagai berikut :

a. Ayam b. Itik

c. Puyuh d. Merpati
Ilustrasi 2. Sistem pernafasan a. Ayam b. Itik c. Puyuh d. Merpati

Keterangan : 1. Trakhea
2. Bronchus
3. Paru-paru

Saluran pernapasan pada unggas tersusun atas lubang hidung, laring,

trakea/tenggorokan, bronkus dan paru-paru. Lubang hidung berjumlah sepasang dan


30

terletak dibagian permukaan atas paruh, berfungsi untuk menghirup dan

menghembuskan udara. Organ pernafasan utama penyusun sistem pernafasan pada

unggas adalah trakea, bronkus dan paru-paru. Trakea merupakan saluran panjang yang

tersusun menyerupai cincin melingkar membentuk huruf o yang rapat dan berfungsi

sebagai penyalur udara menuju broncus. Bronkus merupakan saluran pernapasan

lanjutan dari trakea yang bercabang menjadi dua bagian menuju paru-paru kanan dan

kiri yang disebut bronkiolus. Paru-paru terletak di dalam rongga dada dan merekat pada

tulang rusuk, berfungsi sebagai tempat pertukaran udara bersih dan udara kotor sisa

metabolisme. Rahayu dkk. (2011) menyatakan bahwa alur pernapasan pada unggas

terjadi melalui faring (pangkal kerongkongan), laring (pangkal tenggorokan), trakea

(batang tenggorokan), bronkus (cabang tenggorokan) dan masuk ke kantong udara di

dalam paru-paru. Yuwanta (2008) mengemukakan bahwa paru-paru pada unggas

berfungsi sebagai tempat pertukaran gas oksigen dan karbondioksida.

Organ-organ penyusun sistem pernafasan pada ayam, itik, puyuh dan merpati

mempunyai struktur yang sama namun mempunyai bentuk dan ukuran maupun volume

yang berbeda. Perbedaan ini dipengaruhi oleh faktor jenis unggas, umur, jenis kelamin,

kondisi lingkungan fisik dan pemberian pakan dengan kadar nutrisi yang berbeda.

Unggas jantan dan betina mempunyai ukuran paru-paru dan panjang trakhea yang

berbeda. Unggas jantan mempunyai ukuran organ saluran pernapasan yang cenderung

lebih besar karena konsumsi pakan yang lebih tinggi mempengaruhi perkembangan

organ pernapasan. Perbedaan habitat unggas juga memberikan pengaruh perbedaan

ukuran organ pernapasan unggas. Itik mempunyai paru-paru dengan ukuran yang paling

besar diantara jenis unggas lain karena sesuai fungsinya untuk mampu menampung

oksigen lebih banyak saat berenang. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Putra dkk.
31

(2016) yang menyatakan bahwa perbedaan ukuran organ pencernaan pada unggas

dikarenakan perbedaan status fisiologi unggas, unggas air cenderung mempunyai

ukuran organ pernapasan lebih besar karena kebutuhan menyimpan udara saat

berenang. Sofyan dkk. (2010) menyatakan bahwa perbedaan volume dan ukuran organ

pernafasan unggas disebabkan karena penggunaan sumber energi yang berbeda antar

spesies.

Unggas yang digunakan untuk praktikum pengamatan organ pernafasan, dalam

kondisi sehat dan tidak terserang penyakit. Pengamatan organ dalam saluran

pernapasan unggas saat pembedahan, diperoleh hasil pemngamatan permukaan trakea

yang halus tidak berbintik dan tidak berlendir. Pada pengamatan paru-paru diperoleh

paru-paru berwarna cerah. Kencana dkk. (2014) menyatakan bahwa ciri-ciri unggas

yang sehat tidak terdapat lenir pada saluran pernapasan yang menunjukkan unggas

terserang flu. Menurut Damayanti dkk. (2012) ciri-ciri ayam yang sehat adalah tidak

terjadi peradangan pada paru-paru dan batang tenggorokan tidak berlendir.


32

4.2.3. Sistem reproduksi jantan

Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan diperoleh hasil pengamatan

sistem reproduksi jantan sebagai berikut:

1.
2.
3. b. Itik
a. Ayam 4.

d. Merpati
c. Puyuh
Ilustrasi 3. Sistem reproduksi jantan a. Ayam b. Itik c. Puyuh d. Merpati

Keterangan : 1. Testis
2. Epididimis
3. Vas Deferens
4. Kloaka

Berdasarkan hasil praktikum diperoleh hasil bahwa reproduksi jantan pada

unggas terdiri dari sepasang testis yang berfungsi sebagai penghasil hormon androgen
33

dan spermatozoa. Hal ini sesuai pendapat Rahayu dkk. (2011) yang menyatakan bahwa

testis memiliki jumlah sepasang dan terletak di dalam rongga perut dan berfungsi

menghasilkan spermtozoa. Epididimis yang berfungsi sebagai tempat pematangan,

pengentalan, penyimpanan, pengangkutan dan reabsorbsi. Vas Deferens yang berfungsi

sebagai tempat penyalur dan penyimpanan sperma sebelum diejakulasikan. Hal ini

sesuai dengan pendapat Yuwanta (2004) yang menyatakan bawah penyimpanan sperma

sebelum diejakulasikan berada dalam saluran vas deferens. Kloaka sebagai alat

kopulasi dan sebagai tempat pengeluaran ekskreta yaitu urin yang telah bercampur

dengan feses.

Berdasarkan hasil diperoleh hasil bahwa rata-rata panjang organ reproduksi

jantan mulai dari testis hingga kloaka sebesar 1,7 cm dengan ukuran organ reproduksi

paling besar ialah itik 12,7 cm dan paling kecil ialah merpati 2,8 cm. Sedangkan rata-

rata berat organ reproduksi jantan sebesar 0,8 gram dengan ukuran organ reproduksi

paling berat ialah merpati 4,01 gram dan paling kecil ialah ayam dan itik yaitu 3 gram.

Perbedaan ukuran pada organ reproduksi jantan karena adanya faktor fase fisiologis.

Hal ini sesuai pendapat Fadilah (2011) yang menyatakan bahwa fisiologis merupakan

faktor yang membedakan organ reproduksi jantan. Ukuran testis dapat di pengaruhi

oleh umur dan pakan yang diberikan. Hal ini sesuai pendapat Yuwanta (2004) yang

menyatakan bahwa pemberian pakan dan umur pada unggas dapat mempengaruhi

ukuran testis.

Berdasarkan hasil praktikum diperoleh hasil bahwa sistem reproduksi jantan

pada puyuh, merpati, ayam dan itik tidak terdapat penyakit pada masing-masing organ

reproduksi sehingga dapat dikatakan bahwa ternak unggas yang diamati organ
34

reproduksinya dalam kondisi sehat. Ciri- ciri organ reproduksi jantan yang sehat ialah

tidak terdapatnya bercak-bercak pada saluran reproduksi dan saluran reproduksi

berwarna merah. Hal ini sesuai dengan pendapat Fadilah dan Polana (2004) yang

menyatakan bahwa warna merah pada saluran organ reproduksi jantan dan tidak

terdapatnya bercak-bercak merupakan ciri-ciri organ reproduksi yang sehat. Ternak

yang sehat dapat disebabkan karena manajemen yang tepat seperti pemilihan bibit yang

berkualitas dan pemeliharaan yang baik sehingga ternak tidak mudah terserang

penyakit. Hal ini sesuai pendapat Tamalluddin (2014) yang menyatakan bahwa

penyakit pada unggas dapat dicegah jika dilakukan manajemen yang tepat.
35

4.2.4. Sistem reproduksi betina

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, diperoleh hasil sebagai berikut:

1.
2.
3.
4.
a. Ayam 5. b. Itik
6.
7.
.

d. Merpati
c. Puyuh
Ilustrasi 4. Sistem reproduksi betina a. Ayam b. Itik c. Puyuh d. Merpati

Keterangan : 1. Ovarium
2. Infundibulum
3. Magnum
4. Isthmus
5. Uterus
7. Vagina
8. Kloaka

Sistem reproduksi unggas betina memiliki satu ovarium dan satu oviduk.

Ovarium mengandung sekitar 1000-3000 folikel dan di dalam folikel terdapat kuning

telur (yolk). Ukuran folikel berkisar dari yang mikroskopik hingga besarnya seperti
36

yolk, tergantung tingkat kemasakan yolk. Urutan organ reproduksi unggas yaitu

infundibulum, magnum, isthmus, uterus dan vagina. Menurut Yuwanta (2008) bahwa

organ reproduksi unggas betina teridiri dari ovarium, infundibulum, magnum, isthmus,

uterus, vagina dan kloaka. Ovarium berfungsi sebagai tempat pembentukan kuning

telur. Infundibulum berfungsi menangkap kuning telur dan tempat penampungan

sperma. Menurut Horhoruw (2012) bahwa infundibulum berfungsi untuk menangkap

kuning telur (yolk) setelah terjadi ovulasi. Magnum berfungsi memberi albumen.

Isthmus berfungsi membuat membrane sel dalam dan keluar. Uterus berfungsi sebagai

kalsifikasi kerabang telur. Hal ini sesuai dengan pernyataan Salanga dkk. (2015) bahwa

saat telur di isthmus dan uterus terjadi proses kalsifikasi atau pengapuran pada kerabang

telur. Vagina berfungsi untuk menyimpanan kutikel di kerabang sehingga membentuk

pori-pori. Lama proses pembentukan telur sekitar 23-26 jam dari pembentukan kuning

telur sampai terbentuk telur yang siap dikeluarkan.

Organ reproduksi betina pada masing-masing unggas yang diamati berbeda. Hal

ini dapat dilihat berdasarkan hasil pengukuran bobot dan panjang masing-masing organ

reproduksinya. Bobot maupun ukuran setiap organ pada merpati lebih besar dibanding

puyuh. Sedangkan pada ayam menunjukan lebih besar itik. Perbedaan yang mencolok

dari keempat komoditas ternak ini yaitu ukuran oviduknya. Salah satu penyebabnya

yaitu tingkat daur reproduksi. Hal ini sesuai dengan pendapat Yuriwati dkk. (2016)

bahwa ukuran oviduk bervariasi tergantung pada tingkat daur reproduksi setiap spesies

unggas. Perubahan ukuran organ reproduksi dipengaruhi oleh tingkat hormon

gonadotropin. Hal ini sesuai dengan pendapat Mardiati dan Sitasiwi (2008) bahwa

Hormon gonadotropin yang disekresikan oleh pituitary anterior serta produksi hormon

estrogen dari ovarium mempengaruhi perkembangan ukuran organ reproduksi ternak.


37

Pengoptimalan perkembangan alat reproduksi dapat dilakukan dengan penambahan

bahan makanan berupa zat gizi (feed suplement) atau zat non gizi (feed additive).

Berdasarkan hasil praktikum diperoleh hasil bahwa organ reproduksi keempat

jenis unggas yang digunakan dalam kondisi sehat. Hal ini terlihat dari perkembangan

setiap organ sesuai dengan umur unggas, saluran reproduksinya tidak ada malfungsi.

Menurut pendapat Supridjatna dkk. (2008) bahwa ciri-ciri organ reproduksi unggas

sehat perkembangan organ reproduksi dan produksi telur normal. Organ reproduksi

unggas dalam kondisi sehat terlihat dari tidak ada pembengkakan atau benjolan dan

memar serta bercak merah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Iswanto (2005) bahwa alat

reproduksi dalam kondisi tidak sehat salah satunya ditandai dengan tumbuhnya

benjolan atau tumor.


38

4.2.5. Sistem urinari

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diperoleh hasil gambar sistem

urinari ayam, itik, puyuh dan merpati sebagai berikut:

a. Ayam 2 b. Itik

d. Merpati
c. Puyuh
Ilustrasi 5. Sistem urinari a. Ayam b. Itik c. Puyuh d. Merpati

Keterangan : 1. Ginjal
2. Ureter
3.Usus Besar
4. Kloaka

Sistem urinari unggas terdiri dari organ ginjal, ureter yang menyalurkan urin

menuju urodeum pada bagian kloaka. Ginjal berfungsi menyaring darah (filtrasi),

penyerapan kembali zat-zat yang diperlukan (reabsorbsi) dan penambahan zat untuk

menghasilkan urin sesungguhnya (augmentasi). Hal ini sesuai dengan pendapat Sultana
39

dkk. (2012) yang menyatakan bahwa sistem urinari unggas terdiri dari ginjal yang

berfungsi mengahsilkan urin sesungguhnya, ureter yang berfungsi menyalurkan urin

bermuara di urodeum. Urin yang dihasilkan akan lansung disalurkan menuju kloaka

dan bercampur dengan feses menjadi eskreta karena unggas tidak mempunyai kantung

kemih. Menurut Aini (2008) urin langsung disalurkan menuju kloaka akibat unggas

tidak mempunyai kantung kemih.

Organ urinari bagian ginjal yang terpanjang adalah pada itik betina dan yang

terpendek adalah pada puyuh jantan. Berat organ ginjal yang tertinggi dalah pada itik

betina dan yang terendah adalah pada puyuh betina. Panjang maupun berat organ urinari

keempat unggas diatas berbeda dipengaruhi oleh status fisiologis unggas tersebut.

Semakin dewasa umur unggas yang diamati, maka semakin panjang dan berat organ

yang dimiliki. Menurut Aini (2008) berat ginjal pada unggas dipengaruhi oleh umur

ternak tersebut. Pakan dari unggas juga mempengaruhi pertumbuhan jaringan organ

yang akan mempengaruhi panjang dan berat organ. Hal ini diperkuat oleh Yaman

(2012) manajemen pakan yang baik akan membuat laju pertumbuhan unggas baik pula.

Organ urinari pada ayam, itik, puyuh dan merpati dalam keadaan normal karena

tidak terdeteksi peradangan. Peradangan dapat ditandai dengan terdapat pembengkakan

yang disertai pendarahan disekitar ginjal. Menurut Cahyono (2011) peradangan pada

organ urinari unggas (nefrosis), disebabkan oleh air minum yang kurang baik sehingga

terjadi pendarahan pada ginjal. Air minum yang diberikan pada unggas harus diberikan

seara ad libitum dengan kualitas air yang baik. Menurut Sultana dkk. (2012) air minum

harus diberikan dengan kualitas yang baik contohnya dari sumur, mata air dan

perusahaan air minum (PAM) untuk mencegah timbulnya penyakit pada unggas akibat

bakteri patogen. Ciri-ciri ginjal yang sehat adalah tidak terdapat bercak darah
40

(pendarahan) dengan warna merah gelap namun bersih. Menurut Aini (2008) bercak-

bercak merah dari ginjal dapat dijadikan indikator bahwa unggas tersebut mengalami

nefrosis.

4.2.6. Sistem kekebalan tubuh

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, diperoleh hasil sebagai berikut:

1.
a. Ayam
2. b. Itik

3.

c. Puyuh
d. Merpati
Ilustrasi 6. Sistem kekebalan tubuh a. Ayam b. Itik c. Puyuh d. Merpati

Keterangan : 1. Thymus
2. Limpa
3. Bursa Fabricius

Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan timus unggas terletak di sisi

kanan dan kiri saluran pernafasan. Dengan ciri ciri berwarna pucat kuning kemerah

merahan serta berbentuk tidak teratur dan berjumlah 3 - 8 lobi pada masing - masing
41

leher. Salah satu fungsi dari timus ialah mengatur sistem kekebalan pada tubuh dengan

cara pengembangan sel kekebalan yang berperan untuk imunitas sel. Menurut Febriana

(2008) Timus memiliki ciri ciri warna pucat kuning kemerah merahan serta

berbentuk tidak teratur dan berjumlah 3 8 lobi pada masing masing leher. Menurut

Siagian (2012) timus memiliki fungsi untuk memproduksi limfosit T yang berperan

penting dalam perkembangan sistem imun tubuh pada unggas

Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan limpa pada unggas terletak

di dekat ampela dalam rongga perut. Ciri ciri limpa ialah berwarna merah. Fungsi

limpa diantaranya pendewasaan sel T, sel B, dan mengatur interaksi makrofag selama

respon kekebalan berlangsung. Menurut Palupi (2012) limpa memiliki fungsi sebagai

tempat pendewasaan sel T, sel B, dan mengatur interaksi makrofag selama respon

kekebalan tubuh berlangsung. Menurut Resnawati (2014) Limpa terletak di dekat

ampela dalam rongga perut pada unggas.

Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa bursa

fabricius terletak di dekat kloaka. Ciri ciri bursa fabricius adalah bentuknya bulat serta

ada lapisan lapisan di dalamnya. Bursa fabricius memiliki fungsi sebagai organ

limfoid sekunder yaitu dapat menangkap antigen serta membentuk antibody. Menurut

Febriana (2008) Fungsi bursa fabricius adalah sebagai organ limfoid sekunder yang

dapat menangkap antigen serta membentuk antibody. Menurut Wahyuwardani dkk.

(2015) Bursa Fabricius yang terletak di bagian dorsokaudal dari kolorektal.


42

4.3. Formulasi Ransum Ternak Unggas

4.3.1. Cara pencampuran ransum

Berdasarkan formulasi ransum ayam fase starter diperoleh data yang disajikan

pada tabel 1.

Tabel 1. Formulasi Ransum Ayam Petelur Fase Starter

No Bahan Pakan Komposisi Protein Kasar Energi Harga


(%) Metabolisme ( (Rp/kg)
kkal/kg)
1 Jagung 62,5 5,99375 1768,125 3000
2 Bekatul 14 1,9432 455,42 406
3 Bungkil Kedelai 17 8,7295 546,21 1275
4 Crude Palm Oil 0 0 0 0
5 Tepung ikan 3 1,3569 88,02 234
6 MBM 1,5 0,7851 41,535 18,85
7 Premix 2 0 0 180
Total 100 18,80845 2899,31 5113,85

Berdasarkan tabel 1 tatacara pencampuran ransum dimulai dari partikel terbesar

dan komposisi terbanyak terlebih dahulu yaitu jagung. Setelah jagung dicampurkan

kemudian ditambahkan bungkil kedelai, bekatul, tepung ikan, premix dan MBM.

Pencampuran dengan prinsip terbsebut agar ransum mudah untuk homogen atau merata

saat di campurkan. Bahan pakan yang dipilih memiliki kandungann nutrisi seperti

sumber energi, sumber protein, sumber mineral, sumber vitamin dan additive yang

dibutuhkan oleh ayam petelur fase starter. Ransum yang telah disusun termasuk dalam

kategori standar dan sudah memenuhi kebutuhan ayam petelur fase starter yaitu PK

18,8 % dan energi (ME) sebesar 2899 kkal/kg dengan harga Rp 5.113/kg . Hal ini sesuai

dengan pendapat Setyono dkk (2013) yang menyatakan bahwa kebutuhan protein kasar

ayam petelur 0-6 minggu strain putih yaitu 18 % dan energy (ME) sebesar 2850 kkal/kg

sedangkan strain cokelat 17% dan energy (ME) sebesar 2800 kkal/kg. Menurut
43

Udjianto (2016) pakan alternatif atau ransum yang siap pakai dari pabrik biasanya dijual

oleh produsen dengan harga berkisar Rp 5.000-Rp 6.000/kg. Menurut Sinurat dkk

(2007) pemilihan bahan pakan dalam ransum mencakup jumlah ketersediaan,

kandungan gizi, faktor pembatas atau zat anti nutrisi dan proses peningkatan kualitas

gizi agar dapat digunakan sebagai pakan yang optimal.

4.3.2. Cara penyajian ransum

Penyajian ransum diberikan harus berdasarkan kebutuhan protein dan energi

setiap fase pertumbuhan ternak. Penyajian ransum pada ternak tidak sembarangan pada

ransum berbentuk pellet atau crumble disajikan sesuai bentuknya akan tetapi ransum

all-mash dapat disajikan dalam dua bentuk yaitu kering dan basah. Hal ini sesuai

dengan pendapat Rasyaf (2007) yang menyatakan bahwa ransum all-mash disajikan

dalam sajian kering yaitu ransum langsung diberikan pada ternak sehingga cara ini

mudah dan cepat ada bisa juga disajikan dengan cara basah seperti bubur yang kental.

Penyajian ransum tidak hanya tentang wujud fisik ransum akan tetapi perlu

diperhatikan faktor tempat pakan dan waktu penyajian. Hal ini sesuai dengan pendapat

Aprilianti (2016) yang menyatakan bahwa warna tempat makan mempengaruhi seperti

tempat makan berwarna merah akan merangsang nafsu makan ayam dan waktu mulai

pagi hingga menjelang sore merupakan waktu yang baik untuk memberi pakan.

4.4. Sistem Kandang

Kandang ayam petelur yang diamati memiliki sistem kadang dengan tipe atap

gable yang tidak membutuhkan bahan yang yang banyak serta sirkulasi udara dalam

kandang rata, bahan atap yang digunakan berupa seng karena harga murah dan awet,
44

tipe dinding yang digunakan berupa tipe terbuka agar sirkulasi udara dalam kandang

lancar sehingga udara yang kotor dalam kandang dapat keluar dan digantikan oleh udara

segar dari luar serta cukup sinar matahari, tipe lantai kandang berupa cages karena jenis

ayam yang dipelihara berupa tipe ayam petelur yang sedang masa produksi.

Zumrotun dan Tiswo (2006) menyatakan bahwa kandang yang sehat adalah mempunyai

sirkulasi udara dalam kandang yang lancar, yaitu dengan dinding kandang terbuka atau

berlubang sehingga udara dalam kandang yang kotor dapat keluar dan digantikan

dengan udara bersih dari luar serta mendapatkan sinar matahari yang cukup agar ayam

sehat dan tidak mudah terserang penyakit ssehingga tidak mengganggu produktivitas

telur. Sistem kandang yang diamati kurang baik dikarenakan bahan atap yang

digunakan berupa seng yang dapat menyerap panas matahari dan tipe dinding terbuka

yang mengakibatkan ayam terjadi kontak langsung dengan udara luar yang banyak

membawa penyakit. Retnani dkk. (2009) berpendapat bahwa peternakan dengan sistem

kandang terbuka memiliki peluang terinfeksi penyakit lebih tinggi dibandingkan

dengan sistem kandang tertutup karena mudah berinteraksi dengan lingkungan luar

yang banyak membawa penyakit.


45

4.4.1. Layout kandang

Tampak depan Tampak samping Tampak belakang

Ilustrasi 1. Kandang Ayam Petelur

Kandang ayam petelur yang ada di peternakan Fakultas Peternakan dan Pertanian

Universitas Diponegoro memiliki arah membujur dari utara ke selatan. Berdasarkan

praktikum yang telah dilakukan, diketahui bahwa arah kandang seperti ini baik untuk

ayam karena kandang tidak mendapatkan cahaya matahari secara langsung pada pagi

hari dan sore hari. Hal ini membuat cahaya matahari langsung dan panas yang

dipantulkan oleh permukaan tanah terdekat pada kandang terbuka dapat dihindari

masuk ke dalam kandang ayam. Arah kandang sangat berpengaruh terhadap

produktivitas ayam petelur karena berkaitan dengan cekaman panas di daerah kandang.

Menurut Sudarmono (2003), kandang dibangun dengan bagian panjang membujur dari

arah utara ke selatan sehingga dapat menekan terjadinya pengumpulan panas atau

cekaman panas didalam kandang yang berdampak terhadap produktivitas ayam.

Unggas tidak memiliki kelenjar keringat sehingga perlu adanya manajemen kandang
46

yang baik supaya ternak tidak stres. Menurut Latipudin dan Mushawwir (2011) bahwa

jalur utama untuk menjaga keseimbangan tubuh ayam yaitu dengan cara panting atau

bernafas dengan tenggorokan tujuannya untuk menghindari cekaman panas dan stress

pada ternak.

Berdasarkan hasil pengamatan praktikum yang telah dilakukan diketahui bahwa

tata letak kandang ayam petelur yang diamati sangat baik karena jarak antar kandang

tidak sempit, sekitar 6-7 meter. Menurut Murni (2009) bahwa jarak antar kandang

sebaiknya berjarak 7 8 meter. Jarak antar kandang sangat berpengaruh terhadap

produktivitas ayam petelur karena berkaitan dengan sirkulasi udara di daerah kandang,

selain itu juga jarak antar kandang yang ideal berhubungan dengan menghindari

penularan penyakit antar kandang. Menurut Sudarmono (2003) bahwa kandang yang

jaraknya ideal akan membuat sirkulasi udara didalam kandang baik dan dapat

mencegah timbulnya sakit pada ternak. Jarak antar kandang dibuat minimal sama

dengan lebar kandang. Keadaan ini akan mempengaruhi kualitas lintasan udara

kedalam kandang dan dapat menekan suhu udara pada batas bangunan kandang.
47

4.4.2. Konstruksi kandang

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diperoleh kontruksi kendang

sebagai berikut:

Ilustrasi 2. Konstuksi Kandang Ayam.

Tipe atap yang digunakan pada kandang yang diamati adalah tipe (gable). Atap

yang digunakan pada kandang yang diamati merupakan seng. Tipe dinding yang

digunakan pada kandang yang diamati adalah tipe dinding terbuka. Dinding

menggunakan anyaman kawat. Tipe lantai yang digunakan pada kandang yang diamati

adalah tipe litter. Pada kandang tipe lantai litter terdapat bahan penutup tanah yaitu

sekam dan serbuk gergaji. Kelebihan pada kandang yang diamati adalah sirkulasi udara

terjadi dengan baik, serta atap dinding yang menggunakan seng mempunyai nilai

ekonomis sehingga berbanding lurus dengan peningkatan profitibilitas. Namun,

kekurangan pada kandang yang diamati adalah penyebaran penyakit lebih cepat akibat

dinding kandang yang terbuka disertai atap kandang yang tertutup. Menurut Ali dan

Febrianti (2009) sirkulasi udara pada kandang yang terbuka terjadi sangat cepat

sehingga memudahkan penyebaran penyakit. Tipe lantai litter memudahkan peternak


48

untuk membersihakan area kandang karena eksreta yang keluar langsung menuju

tempat yang telah disediakan. Menurut Rahayu dan Santosa (2009) efisiensi kendang

litter adalah pada proses pembersihan kotoran ayam yang dihasilkan.

4.4.3. Kapasitas dan daya dukung kandang

Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan, diperoleh hasil sebagai

berikut:

Gambar dalam kandang Alat pendukung kendang


Ilustrasi 3. Daya Dukung Kandang Ayam Broiler

Ukuran kandang ayam broiler memiliki panjang 11,24 m, lebar 4,78 m dan

tinggi 5,27 m, sedangkan luas kandang adalah 53,73 m2. Ayam broiler pada fase grower

memiliki kapasitas 7 ekor /m2. Jadi, kandang ayam broiler dapat menampung sekitar

316 ekor. Menurut pendapat Rasyaf (2010) menyatakan bahwa kapasitas kandang

untuk ayam broiler yang berada di dataran rendah adalah 8 9 ekor/m2, sedangkan pada
49

dataran tinggi adalah 11 12 ekor/m2. Kandang ayam yang terlalu panas dan padat,

akan mempengaruhi fisiologi dari ayam tersebut serta menghambat pertumbuhan pada

ayam. Menurut pendapat Wahyudi dkk. (2010) menyatakan bahwa kandang yang

terlalu padat akan mempengaruhi pertumbuhan serta pertambahan bobot badan pada

ayam, sehingga kepadatan pada antar ayam perlu diperhatikan sesuai dengan umur

ayam.

Daya dukung merupakan semua fasilitas yang diberikan peternak dengan tujuan

untuk memberikan kenyamanan bagi ternak maupun untuk mendukung produksi dari

ternak. Daya dukung kandang ayam yang ada didalamnya antara lain tempat minum,

tempat makan, alat pembersih seperti sapu lidi, ember, sikat, skop, sprayer dan garu

kecil. Kapasitas tempat pakan untuk 316 ekor ayam dapat menampung 5 kg pakan pada

setiap tempat pakan. Sedangkan untuk tempat minum dapat menampung sekitar 2

volume galon pada setiap tempat minum. Menurut Jayanata dan Harianto (2011)

menyatakan bahwa tempat pakan dan minum diletakkan secara menggantung dengan

jarak sekitar 1 1,5 m, kapasitas tempat pakan 35 40 ekor sebesar 10 kg sedangkan

25 30 ekor sebesar 5 kg serta kapasitas tempat minum untuk 20 25 ekor sebesar 1

volume galon dan kapasitas tempat minum 100 ekor sebesar 2 volume galon.

Ketinggian dalam pemasangan tempat makan maupun minum, juga perlu diatur supaya

itik nyaman ketika mengambil pakan maupun minumnya. Menurut Fadilah (2013)

menyatakan bahwa tinggi tempat minum sejajar dengan punggung ayam, agar tidak

dicakar dan terkontaminasi kotoran, jarak tempat minum tidak boleh melebihi 4 m.
50

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa

perbedaan panjang maupun berat dari sistem pencernaan, respirasi, reproduksi jantan,

reproduksi betina, urinari dan kekebalan tubuh dipengaruhi oleh status fisiologis ternak

tersebut. Formulasi dan penyajian ransum dilakukan dengan meninjau fase ternak

unggas yang akan diberikan. Sistem perkandangan pada kandang yang diamati perlu

disubtitusi kontruksi atapnya untuk menunjang produktivitas ternak.

5.2. Saran

Sebaiknya ketika proses praktikum berlangsung disediakan peralatan yang lebih

lengkap untuk menunjang proses pembelajaran.


51

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. 2009. Meningkatkan Produktivitas Puyuh: Si Kecil Yang Penuh


Potensi (Buku Rekomendasi). Agromedia Pustaka. Jakarta.
Adipratama, D.M. 2009. Pengaruh ekstrak etanol temulawak (Curcuma xanthorrhiza
roxb) terhadap jumlah total dan diferensiasi leukosit pada ayam petelur (Gallus
gallus) strain Isa Brown. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor,
Bogor. (Skripsi)
Adiyati, P. N. 2011. Ragam jenis ektoparasit pada hewan uji coba tikus putih (Rattus
Norvegicus) galur Sprague dawley. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut
Pertanian Bogor, Bogor. (Skripsi)
Adnin, N. 2015. Gambaran patologi trakea pada ayam petelur yang terserang penyakit
snot (Coryza) setelah pemberian ekstrak daun sirih (piper betle linn). Fakultas
Kedokteran, Universitas Hasanuddin, Makassar. (Skripsi)
Afiati, F., Herdis dan S. Said. 2013. Pembibitan Ternak dengan Insiminasi buatan
cetakan I. Penebar Swadaya, Jakarta.

Ahmad, R. Z. 2008. Pemanfaatan cendawan untuk meningkatkan produktivitas dan


kesehatan ternak. J. Litbang Pertanian. 27 (3): 1 9.

Aini, U. K. 2008. Kajian Histopatologi Pemberian Kombinasi Herbal (Bawang Putih


dan Kunyit) dengan Zink terhadap Organ Ginjal Ayam Broiler yang Terinfeksi
Virus Marek. (Skripsi)

Ali, A., dan N. Febrianti. 2009. Performans itik pedaging (lokal x peking) fase starter
pada tingkat kepadatan kendang yang berbeda di Desa Laboi Jaya Kabupaten
Kampar. J. Peternakan 6 (1): 29-35.

Ali, M. S. H. 2015. Morfologi kelenjar mandibularis dan lingualis ayam ketawa dan
ayam kampung (Gallus gallus domesticus) dengan tinjauan khusus pada distribusi dan
kandungan karbohidrat. Program Studi Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin Makassar. (Skripsi).
Amanu, S dan B. Riyanto. 2004. Kejadian infeksi bakteri Mycoplasma gallisepticum
pada kalkun, itik, entok dan angsa di kabupaten Sleman, Daerah Istimewa
Yogjakarta. J. Sains Veteriner. 22 (1): 1 4.

Andoko, S dan Sartono. 2013. Beternak Itik Pedaging. AgroMedia Pustaka, Jakarta

Andriyanto, R. Arif, M. Miftahurrohman, Y. S. Rahayu, E. Chandra, A. Fitriningrum,


R. Anggraeni, D. N. Pristihadi, A. A. Mustika dan W. Manalu. 2014.
Peningkatan produktivitas ayam petelur melalui pemberian ekstrak etanol daun
kemangi. J. Veteriner. 15 (2) : 281 287.
52

Aprilianti, D.R. 2016. Pengaruh frekuensi penyajian ransum yang berbeda terhadap
produksi karkas ayam kampong super. Fakultas Peternakan dan Pertanian,
Universitas Diponegoro, Semarang. (Skripsi)

Arianti dan A. Ali. 2009. Performans itik pedaging (local x peking) pada fase starter
yang diberi pakan dengan persentase penambahan jumlah air yang berbeda. J.
Peternakan. 6 (2): 71 77.

Arifah, N., Ismoyowati dan N. Iriyanti. 2013. Tingkat pertumbuhan dan konversi pakan
pada berbagai itik lokal jantan (Anas plathyrhinchos) dan itik manila jantan
(Cairrina moschata). J. Ilmiah Peternakan. 1 (2) : 718 725.

Budiman, R. 2007. Pengaruh penambahan bubuk bawang putih pada ransum terhadap
gambaran darah ayam kampung yang diinfeksi cacing nematode (Ascaridia
Galii). Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Skripsi)

Damayanti, A. P. 2005. Pengukuran aktivitas metabolisme basal pada itik, entog dan
mandalung. J. Agrisains. 6 (2): 114 120.

Damayanti, E., A. Sofyan, H. Julendra dan T. Untari. 2009. Pemanfaatan tepung cacing
tanah Lumbricus rubellus sebagai agensia anti-pullorum dalam imbuhan pakan
ayam broiler. J. Ilmu Ternak dan Veteriner.
14 (2): 82 89.

Damayanti, Y., I. B. O. Winaya dan M.D. Rudyanto. 2012. Evaluasi penyakit virus
pada cadaver Broiler berdasarkan pengamatan patologi anatomi di rumah
pemotongan unggas. J. Medicus Veterinus. 1 (3): 417 427.

Darwati, S. 2012. Produktivitas dan pendugaan parameter genetik burung merpati lokal
(Columbia livia) sebgai merpati balap dan penghasil daging. IPB Press, Bogor.

Dewanti, R. 2007. Potensi nutrisi tepung Azolla microphylla dalam memperbaiki


performan itik manila (Cairina moschata). J. Sains Peternakan.
5 (2): 1217.

Dimas, A. J., D. Garnida dan I. Setiawan. 2015. Identifikasi sifat-sifat kuantitatif


merpati balap tinggian dan merpati balap dasar jantan. Media Peternakan.
1 (3): 45-53.

Effendi, B. 2011. Pengaruh penggunaan ampas kecap sebagai subsitusi bungkil kedelai
dalam ransum terhadap nilai kecernaan ayam pedaging broiler periode grower.
Fakultas Sains Dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim, Malang. (Skripsi)
Fadilah, R. dan A. Polana. 2004. Aneka Penyakit pada Ayam dan Cara Mengatasinya.
Agromedia Pustaka, Jakarta.
Fadilah, R. 2006. Ayam Broiler Komersial. Agromedia Pustaka, Jakarta.
53

Fadilah, R dan A. Polana. 2011. Aneka Penyakit pada Ayam dan Cara Mengatasinya.
Agromedia Pustaka, Jakarta
Fadilah, R dan A. Polana. 2011. Mengatasi 71 Penyakit Pada Ayam. Agromedia
Pustaka, Jakarta
Fadilah, R. 2013. Super Lengkap Beternak Ayam Broiler. Agromedia Pustaka, Jakarta.
Febriana, E. 2008. Gambaran histopatologi bursa fabricius dan timus pada ayam broiler
yang terinfeksi marek dan pengaruh pemberian bawang putih, kunyit
dan zink. Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Skripsi)
Fitriyah, A., Wihandoyo, Supadmo, Ismaya. 2008. Kadar hormone testosteron plasma
darah dan kualitas spermatozoa burung puyuh (Coturnix coturnix japonica)
setelah diberi minyak ikan lemuru dan minyak sawit. Animal Production 10 (3) :
157 163.

Hastuti, R.P. 2008. Pengaruh Penggunaan Bubuk Bawang Putih (Allium sativum) dalam
Ransum Terhadap Performa Ayam Kampung yang Diinfeksi Cacing Ascaridia
galli. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Skripsi)
Herren, R, V. 2012. The Science of Animal Agricultur: 4th Edition. Nelson Education,
Canada.
Hutagalung, R. P., Hamdan dan Z. Siregar. 2012. Analisis morfometrik dan sifat
kualitatif warna bulu pada puyuh liar (Turnix suscitator atrogularis) dan
puyuh domestikasi (Coturnix-coturnix japonica). J. Peternakan Integraif.
1 (2): 200-214.
Irhamni, M. Z. 2015. Analisis kelayakan usaha peternakan ayam ras petelur
(layer) pola kemitraan dan pola mandiri di Kabupaten Blitar. Fakultas
Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga, Surabaya. (Skripsi).
Istichomah, N. 2007. Pengaruh pemberian bungkil biji jarak pagar (Jatropha curcas L)
terfermentasi dalam ransum terhadap berat karkas, organ dalam serta
histopatologi hati dan ginjal ayam broiler. Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor, Bogor. (Skripsi)
Iswanto, H. 2005. Mengenal Lebih Dekat Ayam Kampung Pedaging. AgroMedia
Pustaka, Depok.
Jayanata, C. E dan B. Harianto. 2011. 28 Hari Panen Ayam Broiler. Agromedia Pustaka,
Jakarta.
Kencana, G. A. Y., I. M. Kardena dan I. G. N. K. Mahardika. 2012. Peneguhan diagnose
penyakit Newcastle disease lapang pada ayam buras di Bali menggunakan
teknik RT-PCR. J. Kedokteran Hewan. 6 (1): 28 31.
54

Kholis, S. dan B. Sarwono. 2013. Ayam Elba Kampung Petelur Super. Penebar
Swadaya, Jakarta

Latipudin, D., dan A. Mushawwir. 2011. Regulasi panas tubuh ayam ras petelur fase
grower dan layer. Jurnal Sain Peternakan Indonesia. 6 (2) : 77 82.

Mardiati, S. M., dan A. J. Sitasiwi. 2008. Korelasi jumlah folikel ovarium dengan
konsentrasi hormon estrogen mencit (Mus musculus) setelah konsumsi harian
tepung kedelai selama 40 hari. Buletin Anatomi dan Fisiologi.
16 (2) : 54 59.

Mawaddah, S. 2011. Kandungan kolesterol, lemak, vitamin a dan e dalam daging, hati,
dan telur, serta performa puyuh dengan pemberian ekstrak dan tepung
daun katuk (Sauropus androgynus L. Merr) dalam ransum. Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Skripsi).

Murni, M. C. 2009. Mengelola kandang dan Peralatan Ayam Pedaging. Departemen


Peternakan. Cianjur.

Nianuraisyah. 2016. Pengaruh frekuensi penyajian ransum yang berbeda terhadap


performans ayam kampung super. Universitas Diponegoro, Semarang.
(Skripsi).

Nugroho. E., I M. Nuriyasa, dan N. W. Siti, Offal. 2014. Internal itik bali yang diberi
ransum komersial dengan suplementasi daun pepaya (Carica papaya). J.
Peternakan Tropika. 3 (2): 476-486.

Palupi, K. 2012. Pengaruh pemberian kortikosteroid terhadap gambaran histopatologi


organ limfoid ayam broiler. Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Skripsi)
Purba, M dan L.H. Prasetyo. 2014. Respon pertumbuhan dan produksi karkas itik
pedaging epmp terhadap perbedaan kandungan serat kasar dan protein dalam
pakan. J. Ilmu Ternak dan Veteriner. 19 (3) : 220-230

Puspani, E., I. M. Nuriyasa, A. A. P. P. Wibawa dan D. P. M. A. Candrawinata. 2008.


Pengaruh tipe lantai kandang dan kepadatan ternak terhadap tabiat makan ayam
pedaging umur 2 6 minggu. J. Majalah Ilmiah Peternakan. 11 (1) : 7 11.
Putra, A. S., R. Sutrisna dan P. E. Santosa. 2016. Kondisi fisiologi itik Mojosari betina
yang diberi ransum berbeda. JIPT. 4 (2): 108 114.

Rahayu, I., T. Sundaryani dan H. Santosa. 2011. Panduan Lengkap Ayam. Penebar
Swadaya, Jakarta.

Rahayu, I., T. Sudaryani., dan H. Santosa. 2013. Panduan Lengkap Ayam. Penebar
Swadaya, Jakarta.
55

Rahayu, A. R., H. Pancasakti dan A. Budiharjo. 2016. Pelacakan gen sitokrom oksidase
subunit 1 (co1) dna mitokondria pada itik tegal (anas sp.). J. Bioma. 18 (2) : 114
122.

Rahmanto. 2012. Struktur histologik usus halus dan efisiensi pakan ayam broiler.
Fakultas Matematikan dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri
Yogyakarta, Yogyakarta. (Skripsi)
Rasyaf, M. 2007. Seputar Makanan Ayam Kampung. Kanisius, Yogyakarta

Rasyaf, M. 2008. Panduan Beternakan Ayam Pedaging Cetakan I. Penebar Swadaya,


Jakarta.

Rasyaf, M. 2011. Beternak Itik. Kanisius, Yogyakarta

Resnawati, H. 2014. Bobot organ-organ tubuh pada ayam pedaging yang diberi pakan
mengandung minyak biji saga. J. Ilmu Ternak dan Veteriner.
19 (2): 670-673

Retnani,E.B., F.Satrija, U.K.Hadi dan S.H.Sigit. 2009. Analisis Faktor-faktor Resiko


Infeksi Cacing Pita pada Ayam Ras Petelur Komersial di Bogor.
10 (3):165-172.
Rohajawati, S dan R. Supriyati. 2010. Sistem pakar: diagnosis penyakit unggas dengan
metode certain factor. J. CommIT. 1 (4): 41-46

Rukmana, H. R. 2003. Ayam Buras Intensifikasi Dan Kiat Pengembangan. Kanisius,


Yogyakarta.

Salanga, F., L. Wahyudi, E. D. Queljoe dan D. Y. Katili. 2015. Kapasitas ovarium ayam
petelur aktif. J. Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. 4 (1) : 99 102.

Sari, M. L. 2012. Pengaruh pemberian grit kerang dan cahaya terhadap kualitas
kerabang telur ayam arab (Silver Braker kriel). J. Peternakan Sriwijaya.
1 (1) : 28 33.

Setioko, A. R. 2012. Teknologi inseminasi buatan untuk meningkatkan produktivitas


itik hibrida serati sebagai penghasil daging. J. Pengembangan Inovasi Pertanian.
5 (2) : 108 123.

Setyono, D. J., M. ulfah dan S. Suharti. 2013. Sukses beternak ayam petelur. Penebar
swadaya, Jakarta.

Siagian, W. M. 2012. Efektivitas pemberian kenikir terhadap performa, organ limfoid


dan profil darah ayam kampung. Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Skripsi)
56

Sinurat, A.P., T. Purwadaria, I. A. K Bintang dan T. Pasaribu. 2007. Penngkatan nilai


gizi Solid heavy phase dalam Ransum Unggas sebagai Pengganti Jagung. JITV
12 (2): 87-95.
Siregar, C. J. 2009. Gambaran respon kebal terhadap infectious bursal disease (IBD)
pada ayam pedaging yang divaksin IBD killed setengah dosis dan ditantang
dengan virus IBD. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor,
Bogor. (Skripsi)

Siwi, N., T.H. Wahyuni dan Hamdan. 2014. Identifikasi morfologi dan morfometri
organ pencernaan serta sifat kualitatif warna bulu belibis kembang
(Dendrocygna arcuata) dan belibis batu (Dendrocygna javanica). J. Peternakan
Integrative. 2 (2): 193-208.
Sofyan, A., H. Julendra, E. Damayanti, B. Sutrisno dan M. H. Wibowo. 2010. Performa
dan histopatologi ayam Broiler yang diinfeksi dengan Salmonella pullorum
setelah pemberian imbuhan pakan mengandung tepung cacing tanah
(Lumbricus rubellus). J. Media Peternakan.
33 (1): 31 35.

Sudarmono, A.S. 2003. Pedoman Pemeliharaan Ayam Ras Petelur. Kanisius,


Yogyakarta.
Sudrajat. 2011. Asal Usul dan Kalsifikasi Unggas. Kanisius, Yogyakarta.

Suharno, B dan T. Setiawan. 2012. Beternak Itik Petelur di Kandang Baterai. Penebar
Swadaya, Jakarta.

Sujionohadi, K dan A.I. Setiawan. 2007. Ayam Kampung Petelur. Penebar Swadaya,
Jakarta.
Sulistiyangto, B., C. I. Sutrisno, S. Sumarsih dan C. S. Utama. 2014. Ipteks bagi
masyarakat (IBM) kelompok tani ternak itik. J. INFO. 16 (1): 1 8.

Sultana, S., M. Z. Ali and M.T. Rahman. Effect of different dietary calcium and
phosphorus ratio on urinary system and incidence of gout in broiler chiks.
J.Innov. 6 (2): 19-23.

Suparman. 2009. Cara Beternak Merpati. JP Books, Surabaya.

Suprijatna, E., U. Atmomarsonodan R. Kartasudjana. 2008. Ilmu Dasar Ternak Unggas.


Penebar Swadaya, Jakarta.

Susanti, D. R. 2009. Pengaruh pemberian ekstrak etanol temulawak (Curcuma


xanthorrhiza roxb.) pada gambaran histopatologi ginjal ayam petelur. Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Skripsi)
Susilorini, T. E., M. E. Sawitri dan Muharlien. 2008. Budi Daya 22 Ternak
Potensial. Penebar Swadaya, Jakarta.
57

Tabbu, C.R. 2010. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Kanisius, Yogyakarta

Tamalluddin, F. 2014. Bisnis Pembesaran Pullet. Penebar Swadaya, Jakarta.

Udjianto, A. 2016. Beternak Ayam Kampung Hemat Pakan dan Tanpa Bau. Agromedia
Pustaka, Jakarta.
Ustomo, E. 2016. 99% Gagal Berternak Ayama Petelur. Penebar Swadaya, Jakarta.

Wahyudi, W. A., H. Afriani dan N. Idris. 2010. Evaluasi adopsi teknologi peternakan
ayam broiler di Kecamatan sungai gelam kabupaten muaro jambi. J. Penelitian
Universitas Jambi Seri Humaniora. 12 (2) : 23 28.

Wahyuwardani, S., Priyono, D. R. A., dan Manalu, W. 2015. Gambaran patologi bursa
fabricius embrio ayam pascavaksinasi gumboro secara in ovo
menggunakan vaksin lokal dan komersial. J. Veteriner. 16 (3): 399-408.
Wakhid, A. 2013. Super Lengkap Beternak Itik. PT AgroMedia Pustaka, Jakarta.
Waluyo, S dan M. Efendi. 2016. Beternak Ayam Broiler Tanpa Bau Tanpa Vaksin.
AgroMedia Pustaka, Jakarta

Wulandari, D., Sunarno dan T. R. Saraswati. 2015. Perbedaan somatometri itik tegal,
itik magelang dan itik pengging. J. Bioma. 17 (2) : 94 101.

Wuryadi, S. 2011. Buku Pintar Beternak dan Bisnis Puyuh. Agromedia Pustaka,
Jakarta.
Wuryadi, S. 2014. Beternak dan Bisnis Puyuh. Agromedia Pustaka, Jakarta.
Yuriwati, F. N., S. M. Mardiati., S. Tana. 2016. Perbandingan struktur histologi
magnum pada Itik Magelang, Itik Tegal dan Itik Pengging. Buletin Anatomi dan
Fisiologi Universitas Diponegoro. 24 (1) : 76-85.

Yaman, A. 2012. Ayam Kampung. Agriflo, Depok.

Yuwanta, T. 2004. Dasar Ternak Unggas. Kanisius, Yogyakarta.

Yuwanta, T. 2008. Dasar Ternak Unggas. Kanisus, Yogyakarta.

Zulfahmi, M., Y. B. Pramono dan A. Hintono. 2014. Pengaruh marinasi ekstrak kulit
nenas pada daging itik tegal betina afkir terhadap aktivitas antioksidan dan
kualitas kimia. J. Aplikasi Teknologi Pangan. 3 (2) : 46 48.

Zumrotun dan Tiswa. 2006. Beternak Ayam Petelur. Musi Perkas Utama, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai