Anda di halaman 1dari 5

PERENCANAAN PENANGKARAN BUAYA AIR TAWAR IRIAN ( Crocodylus

novaguineae) DI TAMAN NASIONAL WASUR

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam rangka konservasi biodiversitas, sejak tahun 1982 Pemerintah Indonesia
menetapkan kebijakan konservasi alam yang dalam pelaksanaannya dilakukan secara
in situ dan eks situ. Pemerintah Indonesia telah menetapkan 535 lokasi kawasan
konservasi dengan luas mencapai 28.260.150,56 ha (Direktorat Jenderal Perlindungan
Hutan dan Konservasi Alam, 2007). Taman Nasional (TN) merupakan jenis kawasan
konservasi yang mempunyai luas terbesar yakni mencapai 16.375.251,31 ha atau
57,9% dari total luas kawasan konservasi.
Di Indonesia dikenal 4 jenis buaya, yaitu Tomistoma schlegelii, Crocodylus
porosus, Crocodylus siamensis, dan Crocodylus novaeguineae. Keempat jenis buaya
tersebut dilindungi oleh undang-undang berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Pertanian Nomor 327/Kpts/Um/5/1978 dan Nomor 716/Kpts/Um/10/1980. Berdasarkan
kepada kedua surat keputusan tersebut pemanfaatan semua jenis buaya di Indonesia
harus seijin Menteri Kehutanan Indonesia. Dari keempat jenis buaya yang terdapat di
Indonesia, hanya 2 jenis buaya yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan komersial, yaitu
Crocodylus porosus dan Crocodylus novaeguineae, karena kedua jenis buaya ini masuk
dalam daftar apendiks II CITES, sedangkan dua jenis lainnya masuk dalam daftar
apendiks I CITES.
Secara historis penduduk Indonesia telah memanfaatkan buaya untuk berbagai
aspek tujuan non-komersial. Penduduk asli Papua berburu buaya secara tradisional
hanya untuk mendapatkan tambahan protein hewani dalam menu makan mereka.
Pemanfaatan buaya untuk tujuan komersial oleh penduduk asli Papua merupakan
fenomena yang berlangsung sekitar 15 tahun terakhir, yaitu sejak Pemerintah
Indonesia melihat bahwa komersialisasi buaya dengan memanfaatkan kulitnya
merupakan kontribusi yang nyata untuk meningkatkan perekonomian masyarakat lokal
dan Propinsi Papua secara keseluruhan. Karena buaya termasuk satwa liar yang
dilindungi, maka keberhasilan konservasi buaya dengan berprinsip pada pemanfaatan
berkelanjutan diperlukan strategi manajemen yang cocok dan dapat mudah diterapkan
pada budaya masyarakat Papua.
Pada tahun 1994, proposal Indonesia mengenai manajemen pemanfaatan buaya
diterima CITES. Manajemen yang diterapkan adalah ranching. Ranching adalah
pengambilan anakan dari alam yang berukuran panjang total tubuh di bawah 80 cm
(baru menetas) kemudian dibesarkan di penangkaran. Strategi manajemen ini hanya
diterapkan di Propinsi Papua, karena populasi buaya di sana memungkinkan untuk
diterapkannya strategi ini.
Strategi manajemen pembesaran anakan buaya sudah terbukti di Papua New
Guinea dan Australia merupakan strategi yang tidak menurunkan populasi buaya di
alam. Diharapkan strategi seperti itu dapat diterapkan di Taman Nasional Wasur. Oleh
sebab itu strategi ranching dengan memanfaatkan anakan yang baru lahir di alam
kemudian membesarkannya di penangkaran merupakan strategi yang aman untuk
populasi buaya di alam.
Tujuan
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui perencanaan penangkaran
buaya air tawar Irian serta manfaatnya di Taman Nasional Wasur.

PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi
Taman Nasional Wasur berada di bagian tenggara Provinsi Papua. Wasur
sebenarnya nama salah satu desa yang berada di dalam taman nasional, yang berasal
dari kata Waisol, yang dalam bahasa Marori berarti kebun. Kawasan Taman Nasional
Wasur sebagian besar tergenang air selama 4 - 6 bulan dalam setahun, dan merupakan
perwakilan lahan basah yang paling luas di Papua. Lahan basah di kawasan ini
memegang peranan yang sangat penting, terutama sebagai habitat burung migran.
Siklus airnya merupakan pemelihara keseimbangan dan integritas habitat. Pada musim
kering, airnya surut membentuk rawa-rawa permanen yang satu dengan lainnya
dihubungkan oleh parit-parit yang mengalirkan airnya ke laut. Rawa-rawa disini
merupakan pendukung kehidupan makhluk hidup yang hidup di kawasan ini.
Secara geografis, kawasan Taman Nasional Wasur (TNW) terletak antara 140o
29' – 141o00' Bujur Timur dan 08o04' – 09o07' Lintang Selatan. Berdasarkan
administratif pemerintahan terletak di bagian tenggara Pulau Papua dalam wilayah
administratif Kabupaten Merauke dan 4 kecamatan/distrik, yaitu Merauke, Jagebob,
Sota dan Naukenjarai. Kawasan TNW mudah dijangkau hanya berjarak 2 km dari batas
kota dan berjarak 13 km dari bandar udara Mopah Merauke.

Penangkaran Buaya Dengan Manajemen Ranching

Manajemen pemanfaatan buaya di Indonesia dibagi menjadi 2 berdasarkan pada


wilayah regional, yaitu manajemen buaya regional Papua dan regional di luar Papua.
Manajemen pemanfaatan buaya di Papua berprinsip pada manajemen ranching atau
pembesaran anakan buaya dari alam di kandang pembesaran (Messel et al 1997).
Ranching adalah pengambilan anakan dari alam yang berukuran panjang total
tubuh di bawah 80 cm (baru menetas) kemudian dibesarkan di penangkaran. Strategi
manajemen ini hanya diterapkan di Propinsi Papua, karena populasi buaya di sana
memungkinkan untuk diterapkannya strategi ini. Diharapkan strategi ini dapat berhasil
dilaksanakan khususnya di Taman Nasional Wasur yang merupakan salah satu habitat
buaya air tawar Irian Oleh sebab itu strategi ranching dengan memanfaatkan anakan
yang baru lahir di alam kemudian membesarkannya di penangkaran merupakan strategi
yang aman untuk populasi buaya di alam.
Salah satu strategi yang dapat dilakukan yakni mengembangkan infrastruktur
kandang pembesaran buaya. Tiga komponen penting dalam infrastruktur kandang
pembesaran dan pemeliharaan buaya, yaitu :
1.Kandang karantina
2.Kandang pembesaran
3.Kandang isolasi

Manfaat Penangkaran Buaya Air Tawar Irian (Crocodylus novaguinae)

Di Taman Nasional Wasur terdapat 2 jenis buaya dari 4 jenis buaya yang ada di
Indonesia. Kedua jenis buaya tersebut yaitu buaya Muara dan buaya air tawar Irian.
Buaya Muara tersebar di seluruh perairan Indonesia, terutama di daerah-daerah muara
sungai (Iskandar 2000). Sedangkan buaya air tawar Irian merupakan satwa endemik
yang hanya terdapat di kepulauan Irian, yaitu di Propinsi Irian Jaya Barat dan Propinsi
Papua.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan Majid (2009) dalam aspek
ekonomi masyarakat sekitar kawasan membuka dua kios kerajinan kulit buaya yang
ada di kota Merauke yang bisa dikatakan tergolong produsen kelas besar karena telah
memiliki anak cabang dan produknya di kirim ke Pulau Jawa dan satu koperasi industri
kerajinan rakyat yang telah mengekspor produknya ke luar negeri, umumnya mereka
menerima penjualan kulit buaya dari masyarakat adat maupun makelar. Hal ini
terutama dilakukan oleh kios-kios yang menjual 61 sekaligus juga pengrajin kerajinan
kulit buaya tersebut. Pada saat dilakukan penelitian, kulit buaya memiliki harga Rp.
30.000,- sampai Rp. 37.000,- perinci. Bagi pengrajin, mereka tidak memperdulikan
apakah buaya itu termasuk satwa yang dilindungi atau tidak sehingga boleh
dimanfaatkan secara langsung yang penting memiliki ijin usaha untuk berjualan atau
buka kios. Bahkan diantara mereka ada yang terus terang menerima buaya dari
kampung Rawa Biru. Yang mereka ketahui adalah bahwa jika buaya tersebut berasal
dari TN wasur, maka mereka tidak diperbolehkan untuk membelinya. Jadi, persepsi
mereka yang dilindungi itu bukanlah buayanya melainkan kawasan tempat buaya itu
yang dilindungi. Walaupun demikian, mereka tetap saja menerima buaya yang dijual
karena merupakan pekerjaan yang dapat menghasilkan uang.
Sedikitnya data populasi buaya air tawar Irian di Danau Rawa Biru yang
menunjukkan apakah populasinya berkurang, tetap atau bertambah dari tahun ke
tahunnya. Satu hal yang pasti, masyarakat merasakan jumlah buaya yang ada di Danau
Rawa Biru sangatlah sedikit dibandingkan dengan duapuluh tahun yang lalu. Jika
dahulu tiap kali masyarakat menyeberangi danau selalu melihat buaya, maka saat ini
hanya ketika beruntung saja kita akan bertemu dengan buaya terutama buaya air tawar
Irian. Penghitungan populasi dan pemantauan habitat dan populasi buaya air tawar Irian
di Danau Rawa Biru perlu diadakan dan dilakukan secara intensif. Begitupun di bagian
wilayah lain di Taman Nasional Wasur, sehingga hasilnya nanti selain dapat digunakan
untuk mengetahui perkembangan populasi buaya air tawar Irian di Taman Nasional
Wasur juga memungkinkan untuk menghitung quota buaya terutama buaya air tawar
Irian yang dapat diambil atau dipanen dari alam untuk ditangkarkan terlebih dahulu
kemudian di manfaatkan atau di ekspor F2 atau keturunan keduanya.

DAFTAR PUSTAKA
Alikodra Hadi S. 2002. Pengelolaan Satwa Liar .Yayasan Penerbit Fakultas
Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Harto Juni. 2002. Budidaya dan Pelestarian Buaya Air Tawar Irian (Crocodylus
novaeguineae) [Skripsi]. Bogor : Fakultas Kedokteran Hewan. Institut
Pertanian Bogor.
Hutton, J.M dan G.J.W. Webb (eds.). 1990. An introduction to the farming of
crocodilians. Proceeding of the 10th working meeting of the Crocodile
Specialist Group/SSC/IUCN. Gainesville. Florida. 21-27 April 1990. 1-39 hal.
Iskandar DT. 2000. Kura-kura dan Buaya Indonesia & Papua Nugini. Bandung :
PALMedia Citra.
Messel, H., Broad, S., Samedi, Dwiatmo dan Sutedja. 1997. Crocodile management
program for Indonesia (revised). Report for Ministry of Forestry, Directorate
General of Forest Protection & Nature Conservation. Jakarta. 28 hal.
Majid MA. 2009. Sebaran Spasial dan Karakteristik Habitat Buaya Air Tawar Irian
(Crocodylus novaeguineae Schmidt,1928) di Taman Nasional Wasur.
[Skripsi]. Institut Pertanian Bogor.

Anda mungkin juga menyukai