Anda di halaman 1dari 16

ASPEK TEKNIS PENGEMBANGAN PENANGKARAN RUSA SAMBAR (Cervus

unicolor)

Taufik Setiawan
E351194031

PROGRAM STUDI KONSERVASI BIODIVERSITAS TROPIKA


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2020
I. PENDAHULUAN

Latar Belakang
Rusa sambar (Cervus unicolor) merupakan salah satu dari 4 jenis rusa yang ada di
Indonesia selain rusa timor (Cervus timorensis), rusa bawean (Axis kuhlii) dan rusa muntjak
(Muntiacus muntjak). Saat ini terdapat tidak kurang dari 16 genus, 38 spesies dan 189 sub
spesies rusa yang tersebar di seluruh dunia. Penyebaran rusa sambar menurut Leslie (2011)
tersebar mulai dari Sri Lanka, India, Cina bagian selatan, Asia Tenggara, Filipina, Sumatera dan
beberapa pulau berdekatan yang lebih besar. Di Indonesia penyebaran rusa sambar meliputi
Kalimantan, Sumatera, dan pulau Bangka dan Belitung (Maryanto et al. 2008).
Berdasarkan kategori IUCN Red List, sejak tahun 2015 rusa sambar termasuk dalam kategori
rentan (vulnerable). Di Indonesia, rusa termasuk jenis yang dilindungi berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Namun demikian,
rusa dapat dimanfaatkan melalui penangkaran sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwaliar, dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999
tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa ( Kwatrina 2009). Keberadaan rusa sambar saat
ini semakin terancam. Hal tersebut dikarenakan semakin luasnya pembukaan kawasan hutan
menjadi non-hutan yang menyebabkan habitat semakin terdesak, selain itu perburuan liar yang
terus berlangsung semakin mempercepat penurunan habitat alaminya (Setiawan 2018).
Upaya untuk mengurangi tekanan-tekanan terhadap kehidupan rusa sambar di alam sangat
diperlukan, terutama akibat perburuan liar. Untuk itu, maka perlu ditingkatkan kegiatan-kegiatan
konservasi ex-situ yang salah satu diantaranya melalui kegiatan penangkaran rusa (Setiawan
2018). Penangkaran bertujuan untuk menjaga kelestarian populasi rusa agar keberadaan rusa
tidak terancam dan terlindungi. Menurut Masy’ud (1997) sudah banyak penangkaran yang
dikembangkan sebagai upaya untuk pengembangan pemanfataan secara berkelanjutan. Dalam
melakukan penangkaran rusa, perlunya memperhatikan aspek teknis dalam pengelolaan
penangkaran. Hal ini dilakukan agar penangkaran rusa dapat berjalan efektif dan efisien, dan
sesuai dengan tujuannya.
Masy’ud dan Taurin (2000) menyatakan bahwa keberhasilan penangkaran bergantung pada
keberhasilan reproduksi satwa yang ditentukan oleh keberhasilan manajemen bibit, pakan,
kesehatan serta teknologi reproduksi dan pemuliaannya. Pengembangan sebuah penangkaran
rusa haruslah dilakukan agar mendapatkan hasil yang maksimal seperti menjaga kemurnian dari
rusa tersebut, mencegah adanya kepunahan yang terjadi pada rusa sambar. Penangkaran yang
ideal dapat menjadikan suatu spesies terhindar dari kepunahan dan hasilnya dapat dimanfaatkan
secara lestari (Sita dan Aunurohim 2013).

Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikuu

1. Mengetahui aspek-aspek teknis dalam penangkaran rusa sambar


2. Mengetahui aspek-aspek kesejahteraan satwa dalam penangkaran rusa sambar
II. PEMBAHASAN

Taksonomi dan Morfologi Rusa Sambar

Susunan taksonomi rusa sambar (Rusa unicolor), menurut Leslie (2011) termasuk dalam
Kingdom Animalia, Phylum Chordata, Sub Phylum Vertebrata, Class Mamalia, Ordo
Artiodactyla, Sub Ordo Ruminantia, Family Cervidae, Sub Family Cervinae, Genus Rusa,
Species Rusa unicolor. Rusa sambar merupakan salah satu spesies rusa yang mempunyai ukuran
tubuh yang besar dan kaki yang panjang. Van Bemmel (1949) menyatakan bahwa tinggi bahu
rusa sambar mencapai 120 cm dan panjang badannya mencapai 190 cm, dengan bagian perut
berwarna lebih gelap daripada punggungnya, dan warna bulunya hitam sampai cokelat tua, ekor
yang berambut panjang, muka datar dengan tanduk (bagi jantan) relatif kecil tetapi padat dan
kuat.
Semiadi (1998) mengemukakan bahwa berat badan betina rusa sambar dapat mencapai 300
kg. Untuk jantan bobotnya antara 180 – 300 kg, dan betina antara 150 – 200 kg, serta berat lahir
rata-rata antara 5 – 8 kg. Panjang tanduk berkisar antara 300 – 750 mm dan lebar antara tanduk
dari ujung ke ujung antara 250- 500 mm (Susanto 1980). Rusa sambar jantan memiliki warna
kulit coklat kehitaman (lebih gelap) daripada rusa sambar betina. Secara sosiologis bahwa tanduk
atau ranggah merupakan status sosial pada pejantan saat musim kawin. Pada musim kawin,
ukuran dan bentuk tanduk berperan penting untuk kepentingan dominasi kelompok dibandingkan
ukuran pejantan itu sendiri (Bartos 1990).

Habitat Rusa Sambar

Habitat rusa sambar bervariasi, mulai dari hutan pantai, hutan sekunder, hutan rawa,
padang alang-alang dan pada daerah pengunungan (Azwar 2018). Secara umum satwa jenis rusa
memilih kesukaan habitatnya lebih banyak dipengaruhi oleh kebutuhan energi dan nutrisi untuk
pertumbuhan dan massa tubuh bagi rusa jantan, dan untuk kebutuhan kehamilan serta menyusui
bagi rusa betina (Mcshea et al. 2001). Menurut Sutrisno (1986), rusa sambar dapat ditemukan
dari pantai sampai pada ketinggian 3000 mdpl, asalkan cukup banyak tempat berlindung dan
biasanya selalu dekat dengan sumber air pada malam hari. habitat rusa sambar tidak akan pernah
jauh dari sumber air. Selain itu menurut Garsetiasih dan Takandjandji (2006) menyatakan bahwa
rusa sambar dapat dijumpai di hutan payau. Rusa di habitat alaminya memerlukan tempat
berteduh dari panas dan hujan, serta tempat untuk melindungi diri dari predator dan tempat untuk
tidur.

Penangkaran Rusa Sambar

Penangkaran satwa liar merupakan suatu kegiatan mengembangbiakkan satwa liar


dengan tujuan memperbanyak populasi dengan tetap mempertahankan keaslian genetiknya dan
memanfaatkannya secara optimal (Thohari et al. 1991). Penangkaran menurut PP No. 8 tahun
1999 adalah upaya perbanyakan melalui pengembangbiakan dan pembesaran tumbuhan dan
satwa liar dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya. Tujuan dilakukannya penangkaran
satwa liar terbagi menjadi dua, yaitu tujuan sosial, ekonomi, budaya, atau tujuan pemanfaatan,
dan tujuan perlindungan dan pengawetan jenis (Masy’ud dan Ginoga 2016). Menurut Peraturan
Menteri Kehutanan No. P.19 tahun 2005, tujuan dari upaya penangkaran yaitu untuk
mendapatkan spesimen tumbuhan dan satwa liar dalam jumlah, mutu, kemurnian jenis dan
keanekaraggaman jenis yang terjamin, untuk kepentingan pemanfaatan sehingga mengurangi
tekanan langsung terhadap populasi di alam, dan untuk mendapatkan kepastian secara
administratif maupun secara fisik bahwa pemanfaatan spesimen tumbuhan atau satwa liar yang
dinyatakan berasal dari kegiatan penangkaran adalah benar-benar dari kegiatan penangkaran
(Nurinsi 2019).
Membangun penangkaran rusa tidak cukup dengan memberikan pakan dan menyiapkan
sarana prasarana saja tetapi memerlukan teknik pengelolaan yang disertai dengan pengetahuan
dan keahlian dibidang penangkaran, karena dengan pengelolaan yang berbeda akan memberikan
pengaruh terhadap produksi, reproduksi, dan perilaku (Gusmalinda et al. 2018). Untuk
membangun sebuah penangkaran yang baik dan dapat menunjang tujuan konservasi spesies,
diperlukan sebuah kajian dasar mengenai desain dan rencana teknis pengelolaannya kedepan
(Sumanto et al. 2007; Garsetiasih 2007)
Secara umum sistem penangkarn rusa ada tiga sistem penangkaran, yaitu penangkaran
secara intensif (terkurung/sistem kandang), semi intesif (semi terkurung/mini ranch), dan secara
ekstensif (terbuka/bebas). Ketiga sistem penangkaran tersebut sangat tergantung atau disesuaikan
dengan ketersediaan biaya dan lahan yang ada (Takandjandji 2009). Penangkaran sistem intensif
atau terkurung, biasanya sistem pembiakan dilakukan didalam kandang terbatas, dan seluruh
kebutuhan hidup rusa (makan, minum dan lainnya) termasuk kebutuhan ruang, kesehatan, dan
reproduksi diatur oleh manusia. Sistem ini juga dikenal dengan istilah sistem farming, yang
menurut Takandjandji (2009) didefenisikan sebagai kegiatan memproduksi bibit rusa, kemudian
melepaskan ke areal yang lebih luas dan selanjutnya menangkap kembali hasilnya untuk dijual
sebagai produk penangkaran.
Sistem penangkaran berikutnya adalah sistem semi intensif yang dilakukan dengan cara
rusa dipelihara pada suatu areal yang luas dan dikelilingi pagar, lalu dibiarkan merumput sendiri
meskipun terkadang pakan disuplai dari luar apabila ketersediaan pakan didalam dirasa tidak
atau kurang mencukupi (Setio et al. 2011). Sistem penangkaran berikutnya adalah sistem
ekstensif atau terbuka, dimana penangkaran dilakukan secara ekstensif dalam areal yang luas dan
berpagar. Dalam sistem penangkaran ini rusa dibiarkan merumput secara alami tanpa ada campur
tangan manusia kecuali mengontrol dan mengatur daya dukung saja (Sumanto et al. 2007).

Aspek Penangkaran Rusa Sambar

Penangkaran rusa akan berlangsung dengan baik jika dilakukan dengan sumber daya yang
memadai dan didukung oleh para pihak yang terkait serta penerapan fungsi-fungsi manajemen
yang baik (Xavier 2018). Menurut Rokhayati (2014) manajemen adalah suatu kerjasama dengan
orang-orang dalam organisasi untuk menentukan, menginterpretasikan dan mencapai tujuan-
tujuan organisasi dengan melaksanaan fungsi-fungsi manajemen antara lain perencanaan
(planning), pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuating) dan pengawasan
(controlling). Riyadi (2015) menjelaskan bahwa manajemen adalah mengetahui ke mana yang
dituju, kesukaran apa yang harus dihindari, kekuatan-kekuatan apa yang dijalankan dan
bagaimana mengemudikan organisasi serta anggota dengan sebaik-baiknya tanpa pemborosan
waktu dalam proses mengerjakannya.
Pada pelaksanaannya, penerapan fungsi-fungsi manajemen tersebut perlu memperhatikan
faktor-faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam pengembangan usaha
penangkaran rusa agar usaha tersebut dapat berkelanjutan (sustainable) (Xavier 2018).
Pelaksanaan atau actuating dapat diartikan pergerakan anggota kelompok sedemikian rupa
sehingga berkeinginan dan berusaha untuk mencapai sasaran yang diinginkan (Riyadi 2015).
Dalam memenuhi target sasaran tersebut perlu perlu adanya kerjasama yang baik antar pekerja
atau pegawai dalam organisasi, maka kerjasama tim harus digerakkan dari setiap level pimpinan
agar tugas-tugas pegawai dapat diselesaikan dengan penuh tanggungjawab (Xavier 2018).
Pengembangbiakan suatu populasi satwaliar di penangkaran sangat ditentukan oleh
ketepatan keberhasilan aspek-aspek pengelolaan yang efektif. Aspek manajemen penangkaran
satwa menggunakan lima dari tujuh prinsip dalam Perdirjen PHKA No. P.6/IV-SET/2011
tentang Pedoman Penilaian Lembaga Konservasi yang telah dimodifikasi sesuai dengan kondisi
lapang. Komponen penilaian manajemen penangkaran satwa meliputi 1) pengelolaan satwa; 2)
kesehatan satwa; 3) administrasi dan fasilitas pengelolaan; 4) fasilitas pengunjung; 5)
sumberdaya manusia. Penilaian aspek manajemen dan kesejahteraan satwa mengacu pada
Perdirjen PHKA No. P.6/IV-SET/2011 tentang Pedoman Penilaian Lembaga Konservasi. Aspek
kesejahteraan satwa menggunakan lima prinsip kesejahteraan dalam Perdirjen PHKA No.
P.6/IV-SET/2011 yang terdiri dari 1) bebas dari rasa lapar dan haus; 2) bebas dari
ketidaknyamanan lingkungan; 3) bebas dari rasa sakit, luka, penyakit; 4) bebas dari rasa takut
dan stress; 5) bebas mengekspresikan perilaku alami. Penilaian terdiri dengan memberikan skor
pada masing-masing komponen seperti pengeloaan satwa, kesehatan satwa, administrasi dan
fasilitas pengelolaan, fasilitas pengunjung, sumberdaya manusia (Pedirjen PHKA No. P.6/IV-
SET/2011).
Penangkaran rusa yang efektif dan efisisen memerlukan adminitrasi pengelolaan yang baik,
agar penangkaran tersebut dapat berjalan dengan optimal dan sesuai dengan tujuannya.
Administrasi pengelolaan menurut Perdirjen PHKA No. P.6/IV-SET/2011 meliputi rencana
karya, laporan, kantor, dan registrasi koleksi. Berdasarkan hasil wawancara, belum adanya
rencana pengelolaan jangka panjang (30 tahun) dan jangka mengengah (5 tahun). Terkait
rencana tahunan sudah adanya rencana yang sudah dibicarakan dan akan dibuat. Sumberdaya
manusia dalam penangkaran rusa juga perlu untuk diperhatikan. Menurut Perdirjen PHKA No.
P.6/IV-SET/2011 meliputi karakteristik pegawai, bagan organisasi, dan kerja sama antar pihak.
Penangkaran dapat berjalan dengan baik apabila memiliki sumber daya manusia yang memadai
dan didukung oleh masyarakat setempat serta menerapkan fungsi manajemen yang baik (Xavier
et al. 2018). Selain itu dalam penangkaran, kesehatan satwa sangat penting untuk diperhatikan.
Kesehatan satwa menurut Perdirjen PHKA No. P.6/IV-SET/2011 meliputi ketersediaan dokter
hewan, fasilitas, dan program pengelolaan kesehatan. Fasilitas pengunjung dalam penangkaran
juga haruslah diperhatikan. Fasilitas pengunjung menurut Perdirjen PHKA No. P.6/IV-
SET/2011 meliputi tempat parkir, pusat informasi, tempat duduk, dan petunjuk.
Dalam Perdirjen PHKA No. P.6/IV-SET/2011 ada beberapa aspek kesejahteraan rusa yang harus
diperhatikan agar pengelolaannya berjalan efektif dan efisien. Aspek tersebut adalah sebagai
berikut.
1. Aspek Bebas dari Rasa Lapar dan Haus

Ketercukupan pakan dan minum merupakan syarat pertama yang harus dipenuhi dalam
penerapan kesejahteraan satwa (Kyriazakis dan Savory 1997). Pakan yang diberikan sesuai
dengan pernyataan Thohari et al. (2011) yang mengatakan bahwa rusa sambar merupakan
satwa herbivora yang mengonsumsi berbagai jenis pakan hijauan, herba dan buah-buahan
yang jatuh berserakan di permukaan tanah. Menurut Irwanto (2006) untuk memenuhi
kebutuhan satwa akan air untuk minum dan berkubang dapat memanfaatkan air bebas dari
alam seperti dari sungai, air hujan, embun dan sumber-sumber lain. Selain dijadikan sumber
minum, air kolam juga bisa dijadikan tempat berendam bagi.

2. Aspek Bebas dari Rasa Sakit, Luka dan Penyakit

Pada pengelolaan penangkaran terdapat bagian yang sulit untuk dihindari seperti sakit,
luka dan penyakit. Hal tersebut menjadi aspek utama dalam penilaian kesejahteraan satwa
disamping kebutuhan pakan dan minum (Kurniawan 2018). Kematian dalam penangkaran
rusa lebih banyak terjadi pada musim hujan karena kandang yang becek dan lembab
(Takandjandji 2011). Investigasi wabah penyakit belum pernah dilakukan oleh pengelola
(Kurniawan 2018). Penanggulangan penyakit hanya dilakukan dengan memberikan vitamin
dan mineral untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Vitamin yang diberikan dicampurkan ke
dalam pakan tambahan (Kurniawan 2018). Hal serupa ditemukan pada penelitian Puspitasari
(2014) yang menyatakan pemberian vitamin untuk rusa paling intensif diberikan pada
musim penghujan tiba.

3. Aspek Bebas Menampilkan Perilaku Alami


Satwa yang bebas dari rasa sakit dan luka berpotensi menampilkan perilaku alaminya
(Kurniawan 2018). Satwa yang ditempatkan pada kandang yang tidak memenuhi syarat akan
menunjukkan penurunan interaksi dengan lingkungan mereka yang diekspresikan kedalam
berbagai macam perilaku. Contoh peningkatan perilaku abnormal antara lain bergoyang-
goyang, mondar-mandir, menggeleng-gelengkan kepala, mempermainkan lidah, dan lainnya
(ISAW 2008). Dalam mengurangi kebosanan secara perlahan satwa akan menjauh dari
lingkungannya dari pada berinteraksi dengan lingkungannya sehingga satwa cenderung tidak
aktif (ISAW 2008).
Pengayaan kandang sangat diperlukan dalam membentuk habitat buatan, sehingga rusa
dapat mengekspresikan perilaku seperti di habitat alaminya Kolam merupakan salah satu
bentuk pengayaan di kandang rusa yang disediakan oleh pengelola Tahura Djuanda
(Kurniawan 2018). Keberadaan kolam yang baik juga sangat penting karena rusa juga
membutuhkan tempat berkubang terutama rusa jantan yang memasuki musim kawin.
Menurut Takandjandji et al. (1998), rusa jantan memerlukan kolam untuk berendam
khususnya pada saat birahi dan musim kawin (Kurniawan 2018). Aktivitas yang dilakukan
rusa di kandang antara lain makan, minum, berjalan-jalan, perilaku memelihara dan sesekali
ada persaingan antar rusa jantan. Menurut Bismark et al. (2011) menyatakan bahwa perilaku
harian rusa pada umumnya adalah nokturnal, namun perilaku tersebut dapat berubah sesuai
dengan tujuan pengelolaan, sebab rusa merupakan satwa yang mampu beradaptasi dengan
baik.

4. Bebas Dari Rasa Takut dan Tertekan

Pengelolaan rusa sambar pada aspek bebas dari rasa takut dan tertekan menunjukkan
bahwa pengelolaan berjalan dengan cukup baik (Kurniawan 2018). Pengelolaan dalam
menghadapi satwa stres dapat dilakukan dengan pengadaan area pakan, shelter atau cover
yang sesuai, dan stimulus lainnya yang membuat satwa merasa nyaman (Kurniawan 2018).
Menurut Ecclestone (2009) bebas dari rasa takut dan tertekan menjamin kondisi dan
perlakuan satwa dengan baik untuk menghindari satwa dari ancaman takut, stres dan
kesusahan. Suatu penangkaran dinilai berhasil apabila dapat mengembangbiakan satwa yang
ditangkarkan (Masy’ud 2002).
5. Bebas Mengekspresikan Perilaku Alami

Dalam penangkaran rusa, rusa juga harus bebas mengekspresikan perilaku alami. Aspek
bebas mengekspresikan perilaku alami meliputi pengayaan di dalam penangkaran dan
perkawinan (Rosviani 2018). Rusa jantan akan menggarukkan ranggahnya ke pohon saat
ranggah tersebut matang atau akan lepas (Wirdateti et al. 2005). Kegiatan menggaruk ranggah
merupakan bentuk penandaan teritori, mempertajam tanduk, dan mencari harem untuk
dikawini (Handarini et al. 2004).
III. PENUTUP

Adapun Kesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini adalah sebagai berikut.

1. Aspek mananjemen penangkaran menggunakan lima dari tujuh prinsip dalam penilaian
komponen manajemen penangkaran rusa. Komponen tersebut diantaranya ialah pengelolaan
satwa, kesehatan satwa, adminitrasi dan fasilitas pengelolaanm fasilitas pengunjung, dan
sumberdaya manusia.
2. Aspek kesejahteraan satwa yang harus dipertimbangkan dalam penangkaran rusa sambar.
Aspek tersebut diaantaranya ialah aspek dari bebas rasa lapar; aspek bebas dari rasa
ketidaknyamanan; aspek bebas dari rasa sakit, luka, dan penyakit, dan lain sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA

Azwar F. 2018. Desain penangkaran rusa sambar di kawasan hutan dengan tujuan khusus
Kemampo, Banyuasin, Sumatera Selatan [tesis]. Bogor (ID): Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.

Bartos L. 1990. Social status and antler development in red deer. 442-459 in Bubenik GA,
Bubenik AB, editor. Horn, Proghorns and Anthler. New York (ID). Springer-Sverlag
Publishing.

[Ditjen PHPA] Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2011. Peraturan
Direktue Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor : P.6/IV-SET/2011
Tentang Pedoman Penilaian Lembaga Konservasi. Jakarta (ID): Dirjen Perlindungan Hutan
dan Konservasi Alam.

Ecclestone KJ. 2009. Animal welfare di Jawa Timur: Model kesejahteraan binatang di Jawa
Timur [Skripsi]. Malang (ID): Universitas Muhammadiyah Malang.

Handarini R, Nalley WMM, Semiadi G, Agung P, Subandriyo, Purwantara B, Toelihere MR.


2004. Lama tahap pertumbuhan ranggah dalam satu siklus ranggah rusa pada rusa timor
(Cervus timorensis) jantan. Teknologi Peternakan dan Veteriner. 459-465.

Irwanto. 2006. Perencanaan Perbaikan Habitat Satwa Liar Burung Pasca Bencana Alam Gunung
Meletus [internet]. [diunduh 2020 April 18]. Tersedia pada
http://saveforest.webs.com/habitat_burung.pdf.

[ISAW] International Society of Animal Welafare. 2008. Prinsip kesejahteraan satwa di kebun
binatang [internet]. [diunduh 2020 April 18]. Tersedia pada: http://www.isaw.or.id.htm.

Garsetiasih R, Takandjandji M. 2006. Model penangkaran rusa. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil


Penelitian: Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan, Padang 20 September 2006.
Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam.
Garsetiasih R. 2007. Daya dukung kawasan hutan Baturaden sebagai habitat penangkaran rusa.
Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. 4(5):531-542. Tersedia pada:
https://doi.org/10.20886/jphka.2007.4.5.531-542.

Gusmalinda R, Dewi BS, Masruri NW. 2018. Perilaku sosial rusa sambar (Cervus unicolor) dan
rusa totol (Axis axis) di kandang penangkaran PT Gunung Madu Plantations Lampung
Tengah. Jurnal Sylva Lestari. 6(1):75-84. Tersedia pada:
https://dx.doi.org/10.23960/jsl1676-85.

[KEMENHUT] Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. 2005. Peraturan Menteri


Kehutanan Nomor : P.19/Menhut-II/2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar.
Jakarta (ID): Kementerian Kehutanan Republik Indonesia.

Kurniawan RA. 2018. Pengelolaan kesejahteraan rusa timor (cervus timorensis) dan
pemanfaatannya sebagai obyek wisata di Tahura Djuanda Bandung [skripsi]. Bogor (ID):
Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Kwatrina TR. 2009. Penentuan kuota panen dan ukuran populasi awal Rusa Timor di
Penangkaran Hutan Penelitian Dramaga [tesis]. Bogor (ID): Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.

Kyriazakis I, Savory CJ. 1997. Animal Welfare: Hunger and Thirst. Wallingford (GB): CABI
Publishing.

Leslie DM. 2011. Rusa unicolor (Artiodactyla: Cervidae). Mamm Species. 43(1):1-30. Tersedia
pada: https://doi.org/10.1644/871.1.
Mcshea WJ, Aung M, Poszig D, Wemmer C, Monfort S. 2001. Forage, habitat use, and sexual
segregation by a tropical deer (Cervus eldi thamin) in a dipterocarp forest. J. of Mamm.
82(3):848–857. Tersedia pada: https://doi.org/10.1644/1545-
1542(2001)082<0848:FHUASS>2.0.CO;2.

Maryanto I, AS Ahmadi, AP Kartono. 2008. Mamalia dilindungi perundang-undangan


Indonesia. Jakarta (ID) : LIPI-Press.

Masy’ud B. 1997. Reproduksi pada Rusa. Bogor (ID): IPB.

Masy’ud B, Taurin MB. 2000. Karakteristik dan pengawetan sperma rusa timor (Rusa
timorensis). Media Konservasi. 6 (3): 105 –107.

Masy’ud B. 2002. Penangkaran Cucak Rawa. Jakarta (ID): Agromedia.

Masy’ud B, Ginoga LN. 2016. Konservasi Eksitu Satwaliar. Bogor (ID): IPB Press.
Nurinsi ZS. 2019. Perilaku harian dan preferensi pakan rusa timor (Rusa timorensis) di Taman
Rusa Bumi Patra Indramayu [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian
Bogor.

Puspitasari A. 2014. Pengelolaan kesejahteraan satwa, persepsi dan perilaku pengunjung


terhadap rusa timor di taman satwa cikembulan garut [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

[RI] Presiden Republik Indonesia. 1999. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8
Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Jakarta (ID): RI.

Riyadi F. 2015. Urgensi Manajemen dalam bisnis islam. Jurnal Bisnis dan Manajemen Islam.
3(1): 64-85. Tersedia pada: http://dx.doi.org/10.21043/bisnis.v3i1.1472.

Rokhayati I. 2014. Perkembangan teori manajemen dari pemikiran scientific management hingga
era modern suatu tinjauan pustaka. Jurnal Ekonomi dan Bisnis. 15(2): 1-20.

Rosviani L. 2018. Manajemen penangkaran rusa timor (Rusa timorensis) di Taman Rusa Bumi
Patra Indramayu Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian
Bogor.

Semiadi G. 1998. Budidaya rusa tropika sebagai hewan ternak. Biologi (ID): Masyarakat
Zoologi Indonesia.

Setiawan T. 2018. Studi produktivitas hijauan sebagai pakan rusa sambar (Cervus unicolor) di
Penangkaran Rusa PT. Gunung Madu Plantations. Jurnal Sylva Lestari. 6(2): 16-21.
Tersedia pada: https://dx.doi.org/10.23960/jsl2616-21.

Setio P, Bismark M, Subiandono E. 2011. Pembangunan pusat pengembangan teknologi


penangkaran rusa. Sintesis Hasil-hasil Litbang Pengembangan Penangkaran Rusa Timor
(Rusa timorensis Blainville, 1822). Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan.

Sita V, Aunurohim. 2013. Tingkah laku makan rusa sambar (Cervus unicolor) dalam konservasi
ex-situ di kebun binatang Surabaya. JSDSP. 2(1):171-176. Tersedia pada:
https://doi.org/10.12962/j23373520.v2i2.3968.

Sumanto, Masyud B, Thohari AM. 2007. Desain penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de
Blainville) berdasarkan sistem deer farming di kampus IPB Darmaga Bogor. Media
Konserv. 12(3):119-124. Tersedia pada: https://doi.org/10.29244/medkon.12.3.%25p.

Susanto M. 1980. Habitat dan tingkah laku rusa di Indonesia. Biologi (ID): Materi Kursus
Pengelolaan Konservasi Lingkungan Angkatan Ke-II.
Sutrisno E. 1986. Studi tentang potensi makanan dan populasi rusa sambar (Cervus unicolor) di
padang penggembalaan Cigumentong Taman Buru Gunnung Masigit Kareumbi [skripsi].
Bogor (ID): Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Takandjandji M , Ramadhani N, Sinaga M. 1998. Penampilan reproduksi rusa timor (Cervus


timorensis) di penangkaran. Buletin Penelitian Kehutanan. 3(1).

Takandjanji M. 2009. Desain penangkaran rusa timor berdasarkan analisis komponen bio-
ekologi dan fisik di Hutan Penelitian Dramaga, Bogor [tesis]. Bogor (ID): Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor

Thohari M, Haryanto, Masy’ud B, Rinaldi D, Arief H, Djatmiko WA, Mardiah SN, Kosmaryandi
N, Sudjatnika. 1991. Studi Kelayakan dan Perencanaan Tapak Penangkaran Rusa di
BKPH Jonggol, KPH Bogor. Bogor(ID): Perum Perhutani.

Thohari AM, Masyud B, Takandjandji M. 2011. Teknis penangkaran rusa timor (Cervus
timorensis) untuk stok perburuan. Seminar Sehari Prospek Penangkaran Rusa Timor
Sebagai Stok Perburuan [Internet]; 2011 April 14; Bogor (ID): [penerbit tidak diketahui].
hlm 1-15; [diunduh 2020 April 18]. Tersedia pada:
http://www.iwf.or.id/assets/document/67643.pdf.

Van Bemmel ACV. 1949. Revision of the rusine deer in the Indo-Australian archipelago.
Treubia. 20: 191 – 237. Tersedia pada: https://doi.org/10.14203/treubia.v20i2.2625.

Wirdateti, Mansur M, Kundarmasno A. 2005. Pengamatan tingkah laku rusa timor (Cervus
timorensis) di PT Kuala Tembaga, Desa Aertembaga, Bitung-Sulawesi Utara. Animal
Production. 7(2): 121-126. Tersedia pada: http://doi.org/10.35792/zot.38.2.2018.20111.

Xavier S, Harianto SP, Dewi BS. 2018. Pengembangan penangkaran rusa timor (Cervus
timorensis) di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman Lampung. Jurnal Sylva Lestari.
6(2): 94-102. Tersedia pada: https://dx.doi.org/10.23960/jsl2794-102.

Anda mungkin juga menyukai