Anda di halaman 1dari 13

EKOLOGI DAN KONSERVASI

PESUT MAHAKAM
(Orcaella brevirostris Gray 1866)

YURIKO ASAHIRO / E351190031

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pesut mahakam (Orcaella brevirostris) memiliki nama umum Irrawaddy dolphin yang
berarti lumba—lumba sungai Irrawaddy (Ayeyarwadi), Myanmar. Pesut mahakam merupakan
spesies yang hidup pada daerah sungai dan dekat dengan pesisir pantai. Smith & Jefferson
(2002) dalam Kreb (2004) menyebutkan bahwa terdapat tiga spesies cetaceans yang telah
membentuk populasi terpisah di sungai dan di dekat pantai, perairan laut termasuk spesies
lumba-lumba Irrawaddy (Orcaella brevirostris), tucuxi (Sotalia fluviatilis), dan porpoise tak
ber sirip (Neophocaena phocaena).
Pesut mahakam memiliki penyebaran yang luas membentang dari India sampai Timur
Laut Australia. Penyebaran pesut mahakam pada wilayah pesisir lebih terpusat pada area
estuari dan area mangrove (Kreb 2004). Sedangkan penyebaran pada wilayah air tawar terbatas
pada tiga sistem sungai utama, yaitu Sungai Mahakam di Indonesia, Sungai Ayeyarwady di
Myanmar, dan Sungai Mekong di Laos, Kamboja, dan Vietnam (Kreb 2004).
Pesut mahakam merupakan salah satu spesies satwaliar yang dilindungi di Indonesia
berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.
P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018. Selain itu, pesut mahakam masuk kategori critically
endangered dalam Daftar Merah IUCN untuk sub populasi di Sungai Mahakam (Jefferson et
al 2008). Hal ini dikarenakan meskipun memiliki penyebaran yang luas, pesut mahakam
memiliki jumlah individu dalam populasi yang tidak merata dan cenderung sedikit. Kreb
(2014) dalam Noor (2016) menyebutkan bahwa terdapat 85 ekor pesut di Sungai Mahakam,
sementara penelitian Noor et al (2013) menyebutkan pada tahun 2012 terdapat 92 ekor pesut
di Sungai Mahakam. Dengan jumlah populasi yang kecil dan menurun, sebagai satwa top
predator dan satwa ikonik, maka kegiatan konservasi pesut mahakam sangat diperlukan. Untuk
mendukung kegiatan konservasi tersebut diperlukan informasi mengenai ekologi dan
konservasi pesut mahakam.

Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui dan mengidentifikasi ekologi dan
upaya konservasi dari pesut mahakam (Orcaella brevirotris Gray 1866).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Taksonomi dan Morfologi


Pesut mahakam atau Orcaella revirostris adalah nama dari suatu spesies mamalia air
yang hidup di wilayah pesisir pantai dan air tawar. Jenis ini memiiliki nama umum yaitu
Irrawaddy dolphin atau lumba-lumba Irrawaddy yang dasar penamaannya berasal dari sungai
Irrawaddy (Ayeyarwadi) di Myanmar. Lumba-lumba Irrawaddy hidup di perairan laut, payau
maupun air tawar seperti sungai atau danau, sehingga diberi julukan: ‘facultative river dolphin’
(Leatherwood & Reeves 1994; Kreb 2004 dalam Noor 2013).
Berdasarkan klasifikasi terbaru, pesut mahakam termasuk dalam ordo Cetartiodactyla,
Famili Delphinidae dan genus Orcaella. Ordo Cetartiodactyla merupakan penggabungan dari
ordo Artiodactyla (ungulata berkuku genap) dengan Cetacea (mamalia laut). Penempatan
klasifikasi spesies yang terbaru berdasarkan Jefferson et al (2008) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mammalia
Ordo : Cetartiodactyla (IUCN)
Famili : Delphinidae
Genus : Orcaella
Spesies : Orcaella brevirostris

Gambar 1. Pesut mahakam (Jefferson et al 1993)

Pesut mahakam memiliki kemiripan morfologi dengan beluga, namun yang


membedakannya adalah keberadaan sirip punggung pada pesut mahakam. Pesut mahakam
memiliki sirip punggung kecil dan segitiga, dengan ujung bulat, dan terletak tepat di belakang
midback. Sirip samping besar memiliki ujung depan melengkung dan ujung bulat. Kepala pesut
berentuk tumpul, tanpa paruh; garis mulut lurus, dan mungkin ada lipatan leher yang terlihat.
Lubang sembur berbentuk U terbuka ke arah depan, kebalikan dari situasi di sebagian besar
spesies lumba-lumba. Bagian belakang dan samping pesut berwarna abu-abu sampai abu-abu
kebiruan; perut agak lebih ringan. Jumlah gigi 17 hingga 20 (atas) dan 15 hingga 18 (lebih
rendah) di setiap baris. Gigi memiliki mahkota yang sedikit mengembang (Jefferson et al 1993).
Satwa dewasa memiliki panjang tubuh bervariasi antara 1,9 m hingga 2,75 m (Marsh et al
1989; Stacey & Arnold 1999 dalam Noor 2013).

Evolusi, Paleoekologi, dan Spesiasi


Evolusi merupakan suatu proses perubahan genetik yang terjadi pada selang waktu
lama dari generasi ke generasi spesies dengan tujuan untuk menyesuaikan diri dengan
ligkungan. Sementara spesiasi merupakan sebuah proses evolusi munculnya spesies baru.
Sedangkan menurut Cook (1906 dan 1908) spesiasi adalah asal mula atau penggandaan spesies
oleh subdivisi, biasanya, jika tidak selalu, sebagai akibat dari insiden lingkungan. Palaekologi
merupakan suatu ilmu sejarah yang bergantung pada bukti empirik fosil dan batuan sedimen
untuk memberikan pemahaman dan kesimpulan tentang lingkungan kuno dan sejarah ekologi
kehidupan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pesut mahakam memiliki kekerabatan jauh
dengan jenis ungulata darat seperti dari famili Suinidae, Bovidae, dan lain-lain. Pesut
mahakam memiliki leluhur evolusi yang sama dengan genus Bos, Sus, Hippopotamidae, dan
banyak satwa darat lainnya (Geisler et al 2014, May-Collado dan Agnarsson 2006).
Kekerabatan ini didasarkan dengan penemuan terbaru tentang ordo Cetacea (paus dan lumba-
lumba) dan Artiodactyla (ungulata). Vislobokova (2013) menyatakan bahwa studi tentang
genom spesies hidup dan analisis cladistic tentang morfologi paus yang punah dan masih ada
(ordo Cetacea) dan bahkan spesies berkuku genap (ordo Artiodactyla) pada dasarnya
mengubah konsep asal dan hubungan ordo ini dan klasifikasi mereka. Ordo Cetartiodactyla
merupakan ordo gabungan antara ordo Cetacea dan Ordo Artiodactyla yang didasarkan pada
hubungan kekerabatan moyang dari kedua ordo. Studi filogenetik telah mengungkapkan
hubungan dekat Cetacea dan Artiodactyla dan memunculkan ide ordo Cetartiodactyla
(Montgelard et al., 1997 dalam Vislobokova 2013).
Proses spesiasi dari pesut sendiri masih menjadi perdebatan. Beberapa sumber
menyebutkan bahwa pesut memiliki kekerabatan dekat dengan paus pemunuh (Orcaenus orca),
sedangkan sumber lainnya menyebutkan bahwa pesut dekat dengan dugong dan lumba-lumba
tak bersirip. Jefferson et al (1993) menyebutkan bahwa pesut mahakam memiliki kemiripan
morfologis dengan dugong dan lumba-lumba tak bersirip.
Pesut mahakam termasuk kedalam famili Delphinidae. Dalam proses evolusi famili
Delphinidae terbagi menjadi beberapa clade seperti Delphininae (Genus Tursiops, Stenella,
Delphinus, dan Sousa), Stenoninae (Genus Sotalia dan Steno), Globicephalinae (Genus
Globicephala, Pseudorca, Grampus, Peponocephala, Feresa) termasuk genus Orcaella dan
hanya didukung dengan tanpa memasukan Orca, dan Orcaellinae (Cunha et al 2011). Dalam
Cunha et al (2011), genus Orcaella termasuk kedalam clade Globicephalla dan memiliki
kedekatan dengan genus Globicephala, Pseudorca, Grampus, Peponocephala, dan Feresa
dengan posisi dari paus pembunuh (Orcinus) dalam Famili tidak jelas. Hal ini berarti adanya
tidak jelasan hubungan kekerabatan antara paus pembunuh dengan pesut mahakam. Masuknya
pesut mahakam atau genus Orcaella kedalam clade Globicephalla juga didukung oleh Duchene
et al (2011) dan Geisler et al (2014). Akan tetapi hal ini berbeda dengan May-Collado dan
Agnarsson yang mendukung teori bahwa genus Orcaella termasuk kedalam clade Orcininae
bersama Orcinus.
Gambar 2. Kronograf untuk sekuens Delphinidae direkonstruksi menggunakan mitogenome lengkap
(Duchene et al 2011)

Gambar 3. Filogeni Cetacea (Cunha et al 2011)


Gambar 4. Filogeni didukung oleh penelitian ini, dengan evolusi ekolokasi dan bentuk tengkorak (Geisler et
al 2014)
Gambar 5. Hipotesis filogenetik yang lebih disukai berdasarkan analisis Bayesian terhadap 63 spesies
cetacean dan 24 kelompok luar (May-Collado dan Agnarsson 2006)

Island Syndrome and Foster Rule


Island rule atau Foster rule adalah nama yang diberikan terhadap suatu kejadian yang
teramati bahwa spesies bertubuh kecil cenderung berevolusi menuju gigantisme di pulau-pulau,
tetapi spesies berbadan besar cenderung menuju kekerdilan di pulau (Foster 1964 dan Van
Valen 1973 dalam Bromham dan Cardillo 2007). Kejadian Island rule dipengaruhi oleh
keberadaan sumberdaya dan predator terhadap spesies tersebut. Satwa kecil yang dari pulau
besar berpindah ke pulau kecil akan kehilangan predator dan kemungkinan saingan terhadap
sumber pakan, sehingga menyebabkan gigantisme. Sedangkan satwa besar dari pulau besar
yang berpindah ke pulau kecil akan merasakan keterbatasan sumberdaya pakan sehingga
mengalami kekerdilan.
Sindrom pulau memprediksi perubahan arah dalam morfologi dan demografi vertebrata
insular, karena perubahan dalam kompleksitas trofik dan tingkat migrasi yang disebabkan oleh
ukuran pulau dan isolasi (Russell et al 2011). Perubahan dalam proses ekologis dan evolusi
dalam populasi pulau setelah kolonisasi secara kolektif disebut sebagai sindrom pulau (Adler
dan Levins 1994; Blondel 2000 dalam Russell et al 2011). Sindrom pulau berhubungan dengan
perbedaan ukuran dan isolasi pada pulau, relatif terhadap pulau lain atau pulau besar
(mainland), yang terjadi akibat ukuran pulau menentukan level dari kompleksitas habitat dan
trofik dari pulau (Russell 2011). Blondel (2000) dalam Russell et al (2011) menyatakan bahwa
Perubahan yang terjadi sebagai bagian dari sindrom terjadi pada morfologi, demografi dan
perilaku.
Pendugaan sindrom pulau pada pesut mahakam dilakukan dengan pendekatan
perbandingan ukuran dimensi tubuh dan habitat dengan spesies yang dipercaya masih memiliki
kekerabatan dekat dengan pesut mahakam seperti Snubfin dolphin (Orcaella heinsohni),
Risso’s dolphin (Grampus griseus), Short fined pilot whale (Globicephala macrorhynchus),
dan Long fined pilot whale (Globicephala melas). Perbandingan morfologi dan habitat dapat
dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perbandingan morfologi dan habitat


Jenis spesies
Morfologi Pesut Snubbfin Risso’s Short fined pilot Long fined
No mahakam Dolphin Dolphin whale pilot whale
dan
.
Habitat (Orcaella (Orcaella (Grampus (Globicephala (Globiceph
brevirostris) heinsohni) griseus) macrorhynchus) ala melas)
1 Panjang 146 – 275 210 - 240 At least 380 550 cm betina 570 cm
cm cm cm dan 610cm betina dan
jantan 670 cm
jantan
2 Berat 114 – 133 114 – 133 400 – 500 Jantan sampai Jantan 3800
kg kg kg 3600 kg kg dan
betina 1800
kg
3 Habitat Wilayah Menghuni Pelagic Perairan terbuka Bioma
pesisir, perairan spesies. yang dalam di akuatik air
perairan pantai Mereka dekat rak asin dengan
payau di dangkal sering kontinental, suhu 13
muara dan hingga terlihat di serta di daerah hingga 30
delta kedalaman dekat tepi pesisir. derajat
sungai, dan 30 m dan rak benua, Celcius dan
tidak 23 km dari atau di bioma
menjelajah pantai dekat fitur akuatik
jauh lepas batimetri pelagis dan
pantai pesisir

Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pesut
mahakam dengan snubfin dolphin karena memiliki habitat dan tempat hidup yang relatif sama
yaitu perairan dangkal. Sedangkan apabila dibandingkan dengan spesies lainnya, terdapat
perbedaan yang signifikan. Perbedaan ini diakibatkan oleh adanya perbedaan habitat. Pesut
mahakam lebih banyak ditemukan di wilayah sungai, air payau, dan pesisir pantai, sedangkan
lumba-lumba Risso, paus pilot sirip pendek, dan paus pilot sirip panjang hidup di wilayah
pelagik atau perairan terbuka yang dekat dengan rak benua (continental shelf) yang lebih luas
dan dalam dibandingkan dengan perairan sungai. Berdasarkan data pada Tabel 1 dapat
disimpulkan bahwa terjadi sindrom pulau pada pesut mahakam seiring dengan proses evolusi
yang terjadi, dari leluhur paus dan lumba-lumba (ordo Cetaceans dan famili Delphinidae) yang
hidup di wilayah laut atau perairan bebas yang lebih besar, dan datang ke wilayah pesisir dan
sungai dengan wilayah yang lebih kecil. Hal ini menyebabkan adanya keterbatasan atau
pengurangan sumberdaya pakan yang menyebabkan kekerdilan pada leluhur pesut mahakam.
Untuk lebih jelasnya perbedaan dimensi morfologi antara paus pembunuh pigmy
(Feresa atenuata)(kotak abu-abu), lumba-lumba Risso (Grampus gricus)(kotak kuning), paus
pilot sirip pendek (Globicephala macrorhynchus)(kotak biru), dan pesut mahakam (Orcaella
brevirostris)(kotak merah) dapat dilihat di Gambar 6.

Gambar 6. Perbandingan dimensi morfologi beberapa jenis mamalia laut di Asia Tenggara. Kotak abu-abu:
Feresa atenuata; Kotak kuning: Grampus gricus; Kotak biru: Globicephala macrorhynchus; Kotak merah:
Orcaella brevirostris.

Karakteristik Habitat, Penyebaran, dan Populasi


Pesut mahakam hidup di daerah perairan dangkal di pesisir tropis dan sub-tropis Indo-
Pasifik Barat. Lumba-lumba Irrawaddy hidup pada berbagai macam habitat: laut pesisir,
estuari/muara sungai berair payau, danau/laguna berair payau dan sungai/danau air tawar
(Marsh et al. 1989; Kreb & Budiono 2005; Beasley 2007 dalam Noor 2013). Priyono (1993)
dalam Ainah (2010) menyebutkan bahwa pesut mahakam tidak ditemukan di perairan Sungai
Mahakam dan sekitarnya pada perairan yang mempunyai kedalaman dibawah 2,5 meter dan
tertutup oleh vegetasi air (rumput dan gulma). Satwa ini juga menyukai badan-badan air yang
dalam (Kreb & Budiono 2005; Beasley 2007; Smith et al. 2009 dalam Noor 2013), terutama
yang berada pada pertemuan arus, seperti pada muara anak-anak sungai (Noor 2013). Selain
itu, pengaruh kedalaman membuat Pesut lebih mudah beratraksi dalam mengejar ikan (Kreb
dan Budiono 2005 dalam Prayoga 2014).
Pesut mahakam memiliki penyebaran populasi yang luas akan tetapi antar sub populasi
sulit untuk berinteraksi. Di beberapa tempat dalam wilayah sebarannya, populasi kecil dari O.
brevirostris hidup terisolasi di danau payau atau pedalaman sungai yang berair tawar (Stacey
& Arnold 1999; Reeves et al. 2003 dalam Noor 2013). Pesut dapat ditemukan di teluk
Balikpapan dan Sangkulirang serta perairan di sepanjang pesisir Kalimantan Timur (Kreb 2004
dalam Noor 2013). Pesut juga dapat ditemukan di Sungai Kumai, Kalimantan Tengah
(Kartasana & Suwelo 1994 dalam Noor 2013). Selain itu, pesut juga tersebar pada berbagai
tempat lain di Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi (Morzer Bruyns 1966 dalam Noor
2013). Pesut juga ditemukan di 3 sistem sungai besar di Asia Tenggara: Mekong, Mahakam,
dan Ayeyarwady (Baird et al. 2005 dalam Prayoga 2014) dan di perairan pesisir timur Pulau
Kalimantan (Kreb dan Budiono 2005a dalam Prayoga 2014).

Gambar 2. Daerah Sebaran Lumba-lumba Irrawaddy, O. Brevirostris (arsir warna merah); Sumber:
Jefferson et al. (2008) dalam Noor (2013)

Informasi mengenai jumlah individu dalam populasi dari satwa liar merupakan hal yang
sangat penting untuk diketahui guna kegiatan pengelolaan satwa tersebut. Data populasi dapat
digunakan untuk menduga kesejahteraan, kelestarian, dan keberlanjutan dari suatu populasi
satwa liar. Populasi pesut mahakam di Indonesia terus mengalami penurunan. Berdasarkan
penelitian dari Noor et al (2012), diketahui bahwa jumlah pesut mahakam di Sungai Mahakam
sebanyak 92 ekor. Akan tetapi berdasarkan Kreb (2014) dalam Noor (2016) terdapat 85 ekor
pesut mahakam di Sungai Mahakam. Semenara Purnomo et al (2017) menyebutkan bahwa
terdapat 9 ekor pesut di area simpang lidah, Kabupaten Kayong Utara; 2 ekor di Batu ping,
Kabupaten Kayong Utara; dan 3 ekor di muara bumbun, Kabupaten Kubu Raya.

Relung Ekologi , Perilaku, dan Perilaku Makan Satwa Liar


Relung ekologi merupakan posisi, peran atau lakon dari suatu individu di dalam
habitatnya. Relung ekologi mengarah pada cara dan perilaku organisme dalam menyesuaikan
diri dengan lingkungan habitatnya. Relung ekologi dari pesut mahakam di habitatnya adalah
sebagai top predator yang dapat membantu dalam mengendalikan populasi spesies pakan dan
keseimbangan ekosistem. Pesut mahakam memakan ikan, cephalopod, dan crustacea
merupakan top predator ekosistem perairan dan mengontrol populasi dari hewan mangsa
sehingga tidak terjadinya ledakan populasi dari hewan mangsa. Pesut mahakam juga
merupakan inang untuk beberapa jenis parasit termasuk cacing gelang (Anisakis simplex),
cacing (Braunina cordiformis), dan cacing pita (Monorygma delphini) (Boran et al 2009 dalam
Kos set al 2012). Oleh karena itu, pesut mahakam termasuk kedalam keystone spesies atau
spesies kunci (Boran et al 2009 dalam Kos set al 2012). Selain sebagai top predator dan spesies
kunci, pesut mahakam juga merupakan ikonik spesies dari sungai mahakam. Spesies ikonik
dapat berfungsi sebagai penarik minat wisatawan untuk mengunjungi sungai mahakam sebagai
kawasan wisata yang dapat meningkatkan pemasukan dari masyarakat sekitar sehingga perlu
untuk dilindungi.
Perilaku satwa merupakan suatu tingkah dan laku satwa untuk menanggapi rangsang
baik dari dalam diri sendiri (lapar, haus, lelah) maupun dari lingkungan (predator, cuaca,
manusia). Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa pesut
mahakam merupakan makhluk sosial yang hidup berkelompok. Pesut mahakam tinggal dalam
kelompok yang terdiri dari tiga sampai enam individu. Pesut mahakam bersifat sosial, baik
didalam kelompoknya maupun terhadap kelompok lain (Koss 2012). Saat memeriksa area,
pesut mahakam mengangkat kepalanya keluar dari air dan berputar untuk melihat
lingkungannya. Pesut mahakam berenang perlahan dan menunjukkan gerakan lamban. Ketika
mereka muncul untuk menarik napas, hanya bagian atas kepala yang terlihat dan dilakukan
dengan cepat; hanya 14% dari semua permukaan di antara penyelaman yang panjang termasuk
penggulungan, percikan, atau ekstremitas yang melambai dan menampar. Sebelum
penyelaman pesut mahakam, biasanya muncul dua kali. Penyelaman yang tercatat paling lama
adalah lebih dari enam menit (Koss 2012). Berdasarkan penelitian Parra (2005), diketahui
bahwa perilaku pesut yang paling banyak teramati adalah perilaku makan (foraging) dan
bergerak (traveling). Kreb (2004) menjelaskan bahwa interaksi antar kelompok pada pesut
mahakam “teluk” lebih banyak karena keperluan seperti mencari makan, sedangkan pesut
mahakam sungai berinteraksi antar kelompok berubah-ubah secara alami, mencari makan,
perjalanan, sosialisasi, interaksi yang berat.
Perilaku makan adalah tingkah dan laku dari satwa dimulai dari proses mencari makan
sampai saat makanan masuk ke sistem pencernaan. Pesut mahakam memakan ikan, cephalopod,
dan crustacea. Pesut mahakam akan sesekali menyemburkan air saat makan yang mungkin
dilakukan untuk menggiring ikan (Koss 2012). Para peneliti telah mendokumentasikan bahwa
di Sungai Irrawaddy (atau Ayerarwady), Myanmar, pesut ini terlibat dalam penangkapan
bersama dengan para nelayan. Nelayan mencari pesut dan memanggil mereka dengan
mengetuk lahai kway, kunci kayu, di sisi kapal mereka. Satu atau dua pimpinan pesut kemudian
berenang di setengah lingkaran yang lebih kecil dan lebih kecil menggiring ikan menuju pantai.
Selama memancing bersama, pesut sering menyelam dalam-dalam dengan cacing mereka
tinggi-tinggi tepat setelah jaring dilemparkan dan menciptakan turbulensi di bawah permukaan
sekitar bagian luar jaring. Pesut tampaknya mendapat manfaat dari memancing dengan
memangsa ikan yang bingung oleh jaring yang tenggelam, dan mereka yang terperangkap di
sekitar tepi garis timah atau terjebak di dasar lumpur tepat setelah jaring ditarik ke atas (Kreb
2004; Smith and Mya 2007 dalam Koss 2012).
Upaya Konservasi
Identifikasi stakeholder merupakan hal yang penting untuk dilakukan dalam upaya
konservasi baik untuk burung kakatua tanimbar maupun spesies lainnya. Adapun stakeholder
yang berperan dalam konservasi pesut mahakam adalah:
1. Pemerintah sebagai pemegang wewenang tertinggi dan pihak yang dapat mengeluarkan
peraturan untuk melindungi ataupun menetapkan wilayah lindung untuk pesut
mahakam.
2. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai pihak yang memiliki perhatian khusus
terhadap sosial atau lingkungan di wilayah habitat pesut mahakam. Dapat berkontribusi
dalam memberikan data terbaru mengenai kondisi nyata di lapang dan menggerakan
masyarakat untuk peduli terhadap pesut mahakam serta meningkatkan pengetahuan
masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan dan habitat.
3. Kaum Akademisi (peneliti dan mahasiswa) sebagai pihak yang mengerti keilmuan dan
ahli dalam bidangnya seperti konservasi dan ekologi. Dapat berperan sebagai
pendamping masyarakat dalam melakukan kegiatan, baik kegiatan konservasi maupun
kegiatan penunjang lainnya. Selain itu juga dapat sebagai penyedia data terbaru melalui
kajian-kajian dan penelitian-penelitian terbaru tentang kondisi habitat, dinamika
populasi, ekologi, dan ekosistem dari pesut mahakam.
4. Masyarakat sekitar habitat pesut mahakam sebagai elemen terpenting karena memiliki
intensitas pertemuan dan konflik paling tinggi dengan pesut mahakam. Masyarakat
dapat berkontribusi dengan mengurangi kegiatan yang dapat merusak habitat dan
kegiatan nelayan yang lebih ramah lingkungan dan memperhatikan kelestarian pesut
mahakam.
Upaya-upaya konservasi yang dilakukan tentunya tidak dapat dilakukan saling terpisah
antar satu stakeholder dengan lainnya. Diperlukan kerjasama dalam melakukan manajemen
sumberdaya hayati, dan tentunya dalam kegiatan konservasi sumberdaya hayati tersebut.
Seperti dalam peningkatan kesadaran dan pengetahuan masyarakat akan pentingnya konservasi.
Pemerintah dapat bekerja sama dengan LSM, atau kaum akademisi. Sama halnya dengan
pembaruan informasi. Baik pemerintah dan LSM memerlukan pembaruan informasi untuk
menjalankan program mereka dan dapat bekerja sama dengan akademisi dan masyarakat dalam
melakukan kajian dan penelitian.
Upaya lain yang dapat dilakukan selain kegiatan in-situ tersebut adalah dengan
melakukan kegiatan konservasi ex-situ. Kegiatan ex-situ yang dilakukan dapat berupa
penangkaran guna membantu menyangga populasi maupun program introduksi pada wilayah
yang berdasarkan hasil kajian dapat digunakan sebagai habitat pesut mahakam. Kegiatan-
kegiatan ini tentu memerlukan kerjasama antar pihak seperti pemerintah sebagai lembaga yang
mengeluarkan kebijakan serta pihak penangkar atau lembaga yang melakukan kegiatan
introduksi yang tentunya dapat melibatkan akademisi sebagai pendamping kegiatan. Selain itu,
diperlukan suatu kegiatan pengawasan kualitas air yang rutin guna mendukung kelestarian
habitat dari pesut mahakam.
Daftar Pustaka
Ainah H. Perspektif kelestarian pesut mahakam (orcaella brevirostris gray, 1886) berdasarkan
habitat serta persepsi dan sikap masyarakat (Studi Kasus Masyarakat Sekitar Danau
Semayang Dan Danau Melintang) . [Skripsi]. Bogor (ID):IPB
Bromham L dan Cardillo M. 2007. Primates follow the ‘island rule’: implications for
interpreting Homo floresiensis. Biol Lett. 3(4): 398–400.
Cook, OF. (1906). Factors of Species-Formation. http://doi.org/10.1126/science.23.587.506
Jefferson TA, Leatherwood S, and Webber MA. 1993. FAO species identification guide.
Marine mammals of the world. Rome: FAO.
Cook O. F.,Evolution Without Isolation. The American Naturalist. 42(503): 727-731.
Jefferson TA, Karczmarski L, Kreb D, Laidre K, O’Corry-Crowe G, Reeves R, Rojas-Bracho
L, Secchi E, Slooten E, Smith BD, Wang JY & Zhou K. 2008. Orcaella brevirostris
Mahakam River subpopulation (errata version published in 2016). The IUCN Red List
of Threatened Species 2008:
e.T39428A98842174. http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2008.RLTS.T39428A1023
7530.en. Downloaded on 03 October 2019.
Koss, M, Mahan L and Merrill S. 2012. "Orcaella brevirostris" (On-line), Animal Diversity
Web. Accessed October 14, 2019 at
https://animaldiversity.org/accounts/Orcaella_brevirostris/
Kreb D. 2004. Facultative river dolphins : conservation and social ecology of freshwater and
coastal Irrawaddy dolphins in Indonesia. Amsterdam: Universiteit van Amsterdam.
Noor IY, Basuni S, Kartono AP, dan Kreb D. 2013. Kelimpahan dan sebaran populasi pesut
mahakam (Orcaella brevirostris Gray, 1866) di Sungai Mahakam Kalimantan Timur
(Abundance and Distribution of Mahakam Irrawaddy Dolphin (Orcaella brevirostris
Gray, 1866) in Mahakam River, East Kalimantan). Jurnal penelitian hutan dan
konservasi alam. 10(3): 283-296.
Noor IY. 2013. Re-desain konservasi pesut mahakam (orcaella brevirostris gray, 1866)
berbasis perubahan sebaran Di sungai mahakam, kalimantan timur. [Disertasi]. Bogor
(ID): IPB
Noor IY. 2016. Pesut Mahakam, Profil, Peluang kepunahan dan upaya konservasinya.
Kalimantan (ID): Pusat pengendalian pembangunan ekoregion Kalimantan.
Parra GJ. 2005. Behavioural ecology of Irrawaddy, Orcaella brevirostris (Owen in Gray, 1866),
and Indo-Pacific humpback dolphins, Sousa chinensis (Osbeck, 1765), in northeast
Queensland, Australia: a comparative study. Disertasi. Australia: James Cook
University.
Prayoga AP. 2014. Sebaran dan preferensi habitat pesut (Orcaella brevirostris) di Teluk
Balikpapan, Kalimantan Timur. [Skripsi]. Bogor (ID): IPB.
Purnomo A, Rifanjani S, Wahdina. 2017. Sebaran pesut (Orcaella brevirostris) di perairan
Kabupaten Kubu Raya dan di perairan Kabupaten Kayong Utara Provinsi Kalimantan
Barat. Jurnal hutan lestari. 5 (1) : 28 – 33.
Russell JC, Ringler D, Trombini A, dan Le Corre M. 2011. The island syndrome and
population dynamics of introduced rats. Oecologia. 167: 667–676.
Vislobokova IA. 2013. On the Origin of Cetartiodactyla: Comparison of Dataon Evolutionary
Morphology and Molecular Biology. Paleontological Journal. 47(3): 321–334.

Anda mungkin juga menyukai