Anda di halaman 1dari 66

STUDI EKSKURSI I

AMPHIBI
BIOLOGI E 2018
Fejervarya cancrivora
 Lokasi: Purwokerto (Banyumas); Mertoyudan
(Magelang); Kerjo (Karanganyar); Tretes-
Pasuruan (Jawa Timur); Prambanan
(Klaten);Lembang (Bandung Barat); Umbul
harjo, Sewon, Trimulyo, Wonokromo,
Srihardono, Kretek, Sumbersari, Seyegan,
Nglarang (DIY)
 Ketinggian: 0 – 2000 mdpl
 Curah hujan : 148 – 8390 mm/tahun
 Ditemukan di sawah, sekitar perumahan,
pinggir sungai, sekitar kolam, dan tempat
pemilik (peliharaan).
Klasifikasi
 Kingdom Animalia
 Filum Chordata
 Kelas Amphibia
 Ordo Anura
 Famili Dicroglossidae
 GenusFejervarya
 Species Fejervarya cancrivora (Gravenhorst, 1829)
Deskripsi
 Fejervarya cancrivora memiliki SVL (snout to vent length) sepanjang 68,2 mm. Sisi
kepala memiliki kutil kelenjar kecil. Pada bagian panggul memiliki lipatan kelenjar
dan bagian bawahnya memiliki kutil kelenjar. Bagian belakang terputus lipatan
dorsolateral. Sisi punggung tungkai memiliki kutil dan lipatan, sedangkan
permukaan perut halus. Ukuran kepala sedang dan relatif sempit. Moncongnya
lonjong.
 F. cancrivora memiliki canthus rostralis bulat, daerah loreal cekung, dan ruang
interorbital datar. Lubang hidung, yang lebih dekat ke ujung moncong daripada
mata, berbentuk oval dan memiliki penutup kecil. Terdapat beberapa gigi di
antara choanae dan daerah vomerine. Lidahnya besar dan memiliki lipatan
supratimpani. Tidak memiliki kelenjar parotoid. Jari-jarinya panjang dan ujung
jarinya meruncing. Beberapa jari memiliki pinggiran kulit, tetapi tidak memiliki
webbing (Dubois dan Ohler, 2000)
 Terdapat lipatan-lipatan kulit tipis memanjang di atas punggung.
Peta Persebaran
Brunei Darussalam, Kamboja,
India, Indonesia, Laos,
Malaysia, Myanmar,
Singapore, Thailand, Vietnam
Distribusi dan Habitat
 F. cancrivora tersebar luas di Asia Tenggara, termasuk Brunei Darussalam, India
(Great Nicobar Island), Indochina (Kamboja, Laos, Malaysia, Thailand, Vietnam),
pesisir selatan Cina (provinsi Hainan dan Guangxi), Filipina , Sulawesi, Nusa
Tenggara, dan Irian Jaya (Ren et al. 2009; Zhigang et al. 2009), serta di Bali (McKay
2006).
 Spesies ini juga diperkenalkan ke Guam (Christy et al. 2007) dan ke Papua Nugini
(Zhigang et al., 2009).
 Di sepanjang pantai Teluk Thailand dan di Singapura, F. cancrivora biasanya
ditemukan di rawa-rawa bakau (Dicker dan Elliott 1970). Biasanya dapat pula
ditemukan di tepian berliku-liku payau, di tepi tambak pasang surut, dan di
daerah perairan tawar (Elliott dan Karunakaran 1974; Ren et al. 2009).
 Di Bali, F. cancrivora ditemukan di hutan hujan dataran rendah, hutan
pegunungan bawah, hutan monsun, tepi hutan, bakau, saluran air payau lainnya,
dan areal pertanian hingga ketinggian 1300 m dpl (McKay, 2006).
Riwayat Hidup, Kelimpahan, Aktivitas, dan
Perilaku Khusus
 Meskipun bukan satu-satunya amfibi yang tahan terhadap salinitas Fejervarya
cancrivora adalah satu-satunya spesies amfibi yang hidup yang dapat menghuni
perairan asin secara konstan (Ren et al., 2009).
 Spesies ini dapat beradaptasi dengan lingkungan dengan salinitas yang sangat
berbeda. Ia dapat beradaptasi dari kolam air tawar menjadi air laut berkekuatan
penuh, hanya dalam beberapa jam. Laju pergerakan air melalui kulitnya sama di
semua osmolaritas, baik media luarnya terdiri dari NaCl, sukrosa, atau urea.
Prosesnya dengan meningkatkan konsentrasi osmolar plasma lebih besar
daripada cairan eksternal (Dicker dan Elliott, 1970).
 Kelenjar kulit hewan juga berkontribusi pada toleransi salinitasnya. Tidak seperti
spesies lain, F. cancrivora memiliki tiga jenis kelenjar kulit: kelenjar mukosa,
kelenjar campuran, dan kelenjar vakuol, dengan urutan kelimpahan masing-
masing (Seki et al. 1995). F. cancrivora telah dilaporkan mentolerir salinitas
eksternal dari 650 hingga 950 mOsm/L selama beberapa bulan (Dicker dan Elliott
1970).
 F. cancrivora mencari makan di air laut sekitar 1000-1100 mOsm/L (Dicker dan
Elliott 1970). Makanan katak di dekat air payau didominasi krustasea, termasuk
kepiting. Di sisi lain, makanan katak dekat air tawar terutama terdiri dari serangga
dan beberapa katak vertebrata kecil. Faktor pembatas pilihan makanan
tampaknya hanya ukuran mangsa (Elliott dan Karunakaran 1974).
 F. cancrivora berkembang biak sepanjang tahun, tetapi paling aktif pada awal
musim hujan. Panggilan itu terdengar seperti kumur tenggorokan cepat (McKay
2006).
 Meskipun spesiesnya melimpah, pemanenan berlebihan, perusakan habitat,
penebangan kayu dari hutan bakau, perluasan pemukiman manusia dan
pembangunan jalan dapat mengancam populasi (Zhigang et al. 2009).
 Sebanyak 75% kaki kodok Indonesia yang diekspor untuk konsumsi pangan terdiri
atas F. cancrivora. Katak sebagian besar ditangkap di Jawa dan umumnya
berukuran besar dan dewasa secara seksual (Kusrini dan Alford 2006).
 Kemungkinan penyebab menurunnya jumlah spesies
o Perubahan dan hilangnya habitat umum
o Modifikasi habitat dari deforestasi, atau aktivitas terkait penebangan
o Urbanisasi
o Kematian yang disengaja (panen berlebihan, perdagangan atau pengumpulan
hewan peliharaan)
 F. limnocharis adalah yang paling dekat hubungannya dengan F. cancrivora (Ren
et al., 2009).
Fejervarya limnocharis
 Lokasi: Sewon dan Mlati (DIY)
 Ketinggian: 45 – 499 mdpl
 Curah hujan : 0 – 2233 mm/tahun
 Ditemukan di sawah, dan
perumahan

©2012 Martin Pickersgil


Klasifikasi
 Kingdom Animalia
 Filum Chordata
 Kelas Amphibia
 Ordo Anura
 Famili Dicroglossidae
 GenusFejervarya
 Species Fejervarya limnocharis (Gravenhorst, 1829)
Deskripsi
 Moncongnya menunjuk, menonjol ke luar mulut. Canthus tumpul.
Ruang internarial lebih panjang dari lebar interorbital, yang jauh lebih
kecil dari lebar kelopak mata atas. Artikulasi bibotarsal mencapai
timpani atau naris. Jari kaki tumpul atau dengan ujung agak bengkak,
setengah berselaput, tuberkel subartikular kecil dan menonjol. Tubuh
dengan tuberkel kecil, terkadang terdapat lipatan longitudinal kecil,
ventrum halus kecuali perut dan paha yang granular di posterior.
Pejantan memiliki daerah gular longgar, dengan tanda berbentuk W
berwarna coklat atau kehitaman, tungkai depan lebih kuat, dengan
bantalan seperti tuberkel subdigital di bawah jari telunjuk. Panjang
SVL 39-43 mm.
 Warna: Coklat abu-abu atau zaitun di atas, kadang-kadang diselimuti
dengan merah tua cerah; tanda gelap berbentuk V di antara mata,
sebagian besar ada garis tulang belakang kuning; bibir dan tungkai
berpalang, garis tipis di sepanjang betis, paha kuning ke samping,
marmer dengan warna hitam, ventrum putih, tenggorokan berbintik-
bintik coklat pada jantan.
Distribusi dan Habitat
 Distribusi negara: Bangladesh, Brunei Darussalam, Kamboja, Hong
Kong, India, Indonesia, Jepang, Laos, Makau, Malaysia, Myanmar,
Nepal, Pakistan, Filipina, Singapura, Sri Lanka, Taiwan, Thailand,
Vietnam . Diperkenalkan: Guam.
 Penyebaran: Spesies ini terutama tersebar di bagian sub-Himalaya
Pakistan, turun ke perairan Potwar Tableland ke sebagian besar
dataran Punjab dan beberapa lembah Indus bagian bawah yang lebih
langka. Itu berkisar dari Jepang hingga Pakistan.
Peta Persebaran
Bangladesh, Brunei Darussalam,
Kamboja, Hong Kong, India,
Indonesia, Japan, Laos, Macau,
Malaysia (Semenanjung Malaysia,
 Sabah, Sarawak), Myanmar, Nepal,
Pakistan, Filipina, Singapura, Sri Lanka,
Taiwan, Thailand, Vietnam
Riwayat Hidup, Kelimpahan, Aktivitas, dan
Perilaku Khusus
 Spesies ini paling umum dan tersebar luas di perairan tetangga Azad Kashmir,
pegunungan Pakistan dan meluas ke Potwar Tableland, turun ke sebagian besar
riparion Punjab. Ditemui di vegetasi marjinal di sepanjang kanal, sungai, aliran air,
kolam dan genangan air, ketika diganggu, katak melompat ke air untuk berenang
kembali sekaligus.
 Perkembangbiakan dipicu oleh hujan monsun. Limnonectes limnocharis adalah
salah satu amfibi pertama yang tiba di lokasi panggilan. Laki-laki yang menelepon
berjarak jauh satu sama lain dan umumnya ditempatkan dekat dengan aliran air
yang mengalir. Panggilan itu memiliki karakteristik "Ta, ta, ta, ta", diulang dengan
cepat beberapa kali.
 Telur berukuran sedang, dibungkus dengan kapsul jeli ganda, diletakkan secara
berkelompok, menempel pada bilah rumput.
 Jumlah karyotipe yang tercatat untuk spesies ini adalah 26 (Prakash, 1988).
 Kecebong bertubuh halus, memiliki tubuh lonjong panjang. Ventrum cembung,
bagian anterior tubuh tertekuk ke depan ke atas. Posisi mata dorsolateral, lebih dekat
ke moncong daripada ventilasi. Ekor panjang, kira-kira dua kali panjang tubuh,
perlahan meruncing, tajam tajam, sirip punggung paling lebar di tengah, sirip perut
sejajar dengan ekor.
 Cakram mulut anteroventral memiliki labium anterior lebih luas dari posterior, papila
lateral, pendek dan tebal. Baris gigi preoral lengkap diikuti oleh baris kedua yang
terputus secara medial. Dari tiga baris postoral, paling luar adalah yang terkecil.
Rumus baris gigi labial adalah 2 (2) / 3. Sebuah gigi terdiri dari tiga potongan gigi
serupa dengan panjang 0,4-0,5 mm, saling bertumpuk, mahkota dari setiap potongan
dengan 5-6 lingkaran halus yang tajam. Paruhnya halus, melengkung lebar, bergerigi
halus.
 Tren dan Ancaman: Polusi oleh pestisida dan bahan kimia yang digunakan pada tanaman,
Jatuh mangsa pada kecebong dan tahap dewasa ke air yang mengunjungi burung, ikan dan
ular.
 Kemungkinan penyebab berkurangnya jumlah spesies
o Perubahan dan hilangnya habitat umum
o Modifikasi habitat dari deforestasi, atau aktivitas terkait penebangan
o Urbanisasi
o Kekeringan berkepanjangan
o Fragmentasi habitat
o Pestisida, pupuk, dan polutan lokal
o Pestisida jarak jauh, racun, dan polutan
o Predator (alami atau introduksi)
 Perkembangbiakan dipicu oleh hujan monsun. Individu jantan yang memanggil dari jarak
jauh satu sama lain umumnya berada dekat dengan aliran air yang mengalir. Panggilan itu
memiliki karakteristik "Ta, ta, ta, ta", diulang dengan cepat beberapa kali.
Kodok Bangkong (Phrynoidis aspera)
 Lokasi: Umbulharjo(DIY), Praya
(Lombok Tengah)
 Ketinggian: 80 – 114 mdpl
 Curah Hujan: 1000 – 2500 mm/tahun
 Ditemukan di sekitar rumah dan
tempat pemilik (peliharaan).
Klasifikasi
 Kingdom Animalia
 Filum Chordata
 Kelas Amphibia
 Ordo Anura
 Famili Bufonidae
 GenusPhrynoidis
 Species Phrynoidis aspera (Gravenhorst, 1829)
Deskripsi

 Phrynoidis aspera memiliki tubuh yang besar dan gemuk. Individu betina memiliki panjang
moncong-ventilasi 95-140 mm, sedangkan yang jantan memiliki panjang moncong-ventilasi 70-
100 mm. Kulit ditutupi dengan kutil atau tuberkel. Nama spesies ini diambil dari tekstur kulitnya
yang kasar. Kepalanya lebar dan tumpul.
 Kodok ini memiliki kelenjar parotoid berbentuk bulat telur yang terhubung ke punggung
supraorbital oleh punggung supratimpani. Timpanum terlihat. Tangan dan kaki berputar. Jari kaki
keempat adalah yang terpanjang, dan semua jari kaki kecuali yang keempat berselaput penuh.
Pejantan memiliki selaput nuptial di pangkal jari pertama. Phrynoidis aspera biasanya berwarna
coklat tua, abu-abu atau hitam, dengan bercak hitam di bagian perut (Iskandar 1998; Inger dan
Stuebing, 2005; Inger dan Bacon, 1968).
 Berudu Bufo asper berukuran kecil, mencapai 12-15 mm sebelum
bermetamorfosis. Tubuhnya lonjong dan agak pipih. Ekornya
berbentuk daun, membulat dengan ujung yang sempit. Bibir bawah
cukup lebar (Inger dan Stuebing 2005), dengan mulut seperti cangkir
memungkinkan kecebong menempel pada substrat bagian bawah
pada air yang mengalir (Iskandar 1998). Rumus dentikel adalah II / III.
Warna kecebong hitam atau coklat tua (Iskandar 1998).
Distribusi dan Habitat
 Spesies ini dapat ditemukan di hutan hujan primer dan sekunder tua
di Indonesia, Malaysia, Thailand, Myanmar dan Kalimantan, sampai
ketinggian 1500 m di atas permukaan laut (Iskandar, 1998; Inger et al.,
1974). Spesies ini juga dilaporkan terdapat di Vietnam, di perbatasan
provinsi Gia Lai dan Dac Lac di barat laut Plei Tung Than, pada
ketinggian sekitar 700 m (Nguyen et al. 2005). Kemungkinan juga di
antara Kamboja dan Laos, tetapi belum ada laporan dari negara-
negara tersebut. Phrynoidis aspera tinggal di sepanjang tepi sungai
kecil sampai menengah (lebar 3-30 m) dan sungai besar (Inger at al.
1974).
Peta Persebaran
Brunei Darussalam, Indonesia,
Malaysia (Semenanjung
Malaysia,  Sabah, Sarawak),
Myanmar, Thailand, Vietmam

Sumber: amphibiaweb.org
Riwayat Hidup, Kelimpahan, Aktivitas, dan
Perilaku Khusus
 Bufo asper bersifat nokturnal dan sebagian akuatik, keluar pada malam hari dan
bersembunyi di bawah batu yang terendam pada siang hari (Iskandar, 1998).
 Ia hidup di sepanjang tepi sungai daripada berkeliaran melalui hutan, hampir selalu
berada dalam jarak 2 m dari tepi air. Di sungai Borneo, jarak jelajah median bervariasi
dari 43-75 m (Inger et al. 1974). Pejantan memanggil betina dari tempat yang luas di
sepanjang tepi sungai pada malam hari, terutama ketika ada bulan purnama (Inger
1969; Iskandar 1998).
 Panggilan itu digambarkan sebagai kicauan serak, yang terkadang diulangi (Inger dan
Stuebing 2005). Mereka tidak membentuk paduan suara (Emerson dan Hess 1996).
 Spesies ini bereproduksi sepanjang tahun. Sel telur matang memiliki diameter 1,26
mm. Spesies ini bertelur dalam jumlah banyak, rata-rata 12.792 telur per kopling (Inger
dan Bacon 1968). Bufo asper lebih suka bertelur di bagian sungai yang tenang, karena
larva yang bermetamorfosis ditemukan di sepanjang aliran sungai di Pulau Kalimantan
(Inger et al., 1974). Berudu agak pipih, dan biasanya menempel di dasar sungai dengan
arus lambat hingga sedang menggunakan mulut bawah tanahnya yang seperti cangkir.
Bibir membesar, memungkinkan untuk memangsa (Iskandar, 1998).
 Individu dewasa tidak banyak bergerak pada hari tertentu (Inger dan Stuebing 2005).
Namun, katak ini terbukti menunjukkan pergerakan bersih (jarak antara titik
penangkapan pertama dan terakhir selama periode waktu tertentu) hingga 465 m
selama periode 180 hari (Inger, 2003). Telah dihipotesiskan bahwa ketidakstabilan ini
memungkinkan persebaran antara benua Asia dan Pulau Kalimantan selama periode
regresi laut yang relatif singkat selama Pleistosen (Inger 2003).
 Spesies ini cukup tangguh. Meskipun keberadaan spesies ini terpengaruhi oleh
hilangnya habitat dan polusi, ia berhasil bertahan hidup di daerah di mana
banyak spesies katak lainnya telah punah, terutama di Sumatera dan Jawa
(Iskandar, 1998; IUCN, 2006). Akan tetapi, populasi di fragmen hutan Malaysia
terbukti memiliki keragaman genetik yang relatif kurang (Inger et al., 1974).
 Kaitannya dengan Manusia
o Katak ini dikonsumsi untuk makanan di Sabah dan Semenanjung Malaysia
(IUCN, 2006).
o Kemungkinan penyebab penurunan amfibi
o Perubahan dan hilangnya habitat umum
o Modifikasi habitat dari deforestasi, atau aktivitas terkait penebangan
o Pertanian intensif atau penggembalaan
 Racun kulit dari Bufo asper mampu menginduksi efek signifikan
berikut pada tikus dengan dosis 100 mg/tikus: kesulitan alat gerak,
sujud, dan kejang, dengan pemulihan parsial setelah 5 jam.
Komponen toksik utama dalam ekstrak kulit asper Bufo adalah
bufotalin (a bufadienolide), dengan komponen resibufogenin yang
lebih rendah dan sejumlah kecil bufadienolides dan bufotoxins lainnya
(Daly et al., 2004).
 Jumlah kromosom diploid adalah 22, dengan lima pasang kromosom
besar dan enam pasang kromosom yang lebih kecil (Iskandar, 1998).
Rana bariensis
 Lokasi: Umbulharjo(DIY)
 Ketinggian: 114 mdpl
 Curah Hujan: 2012 mm/tahun
 Ditemukan di tempat pemilik
(peliharaan).
Klasifikasi
 Kingdom : Animalia
 Pilum : Chordata
 Subpilum : Vertebrata
 Kelas : Amphibia
 Ordo : Anura
 Family : Ranidae
 Genus : Rana
 Spesies : bariensis
 Nama ilmiah : Rana bariensis
Deskripsi
Rana bariensis adalah katak yang berukuran kecil; jantan dewasa 35–45 mm dan betina dewasa 45–50
mm SVL (snout-vent length, dari moncong ke anus). Perawakan ramping, dengan kaki panjang dan
ramping. Kepala memanjang, lebarnya sekitar 0,26–0,30 SVL dan panjangnya 0,36–0,39 SVL;
moncongnya meruncing, jauh lebih panjang dari lebar mata, dengan profil menonjol. Lubang hidung
lebih dekat ke ujung moncong ketimbang ke mata. Jarak antar orbit sama atau lebih lebar daripada
pelupuk mata atas. Gendang telinga (timpanum) jelas terlihat, antara ¾ hingga 4/5 diameter mata, 0,07–
0,09 SVL. Ujung-ujung jari tungkai depan melebar membentuk piringan kecil yang hampir sama besar,
dengan lekuk sirkum-marginal mendatar di tepinya, jarang-jarang mencapai ukuran 2x lebar jari, dan
kurang dari setengah lebar timpanum. Jari ke-1 sama atau lebih panjang dari jari ke-2; sisi dalam jari
ke-3 (jarang) dengan sibir kulit sempit, jari yang lain tak pernah dengan sibir semacam itu. Piringan
pada jari kaki lebih besar daripada piringan tungkai depan; selaput renang mencapai pertengahan jarak
antara bintil subartikular dengan piringan, pada sisi luar tiga jari yang pertama; 2½–3 ruas jari ujung jari
ke-4 bebas selaput renang; terdapat bintil metatarsal bentuk oval di sisi dalam dan bentuk bulat di sisi
luar pergelangan kaki. Panjang betis lk 0,50–0.58 SVL. Punggung dan kaki biasanya cokelat muda
hingga tua, dengan beberapa pola yang lebih gelap di sekitar selangkang. Kadang-kadang terdapat dua
garis agak kabur sejajar tulang belakang. Sisi tubuh biasanya lebih gelap sampai hitam, memanjang dari
antara hidung dan mata terus sampai ke selangkang.Terdapat sepasang lipatan dorsolateral sempit di
punggungnya. Suara: enam hingga sepuluh nada keras dan tajam, yang disuarakan dengan cepat
Peta Persebaran Rana nicobariensis
Indonesia, Malaysia,
Singapur, Brunei
Darusalam, Filipina (
https://mol.org/species/
Hylarana_nicobariensis
).
Distribusi dan Habitat
Rana nicobariensis mempunyai distribusi vertikal yang luas, mulai dari 0 meter sampai
1500 meter dari permukaan laut(dpl) (Kurniati et al. 2000; Kurniati 2006)
Didapati di daerah perbatasan antara hutan dengan wilayah yang terganggu, di dekat air
yang tergenang atau yang mengalir lambat. Di Jawa, jarang dijumpai di dekat permukaan
laut, dan lebih banyak di dataran tinggi hingga elevasi 1.500 mdpl. Beberapa lokasi yang
tercatat di antaranya: Ujung Kulon (P. Peucang, Cikarang, Ujung Kulon), Jakarta, Bogor
 (Ciapus, G. Salak), G. Gede Pangrango (Cibodas, Situ Gunung), G. Burangrang, G.
Tangkubanparahu, Lembang, G. Patuha, G. Malabar, dan lain-lain.[2]
Di Kalimantan, kodok ini tersebar luas di wilayah-wilayah yang terganggu, termasuk di
lingkungan perkotaan yang tidak jauh dari pantai. Kebanyakan tercatat hingga ketinggian
100 mdpl., tetapi dijumpai pula di Dataran Tinggi Kelabit (elevasi 1.000–1.150 mdpl.).
Suara panggilan katak jantan, yang khas dan membisingkan, acapkali menjadi ciri khas
wilayah rawa-rawa rumput dan tepi jalan berparit. Katak-katak ini lebih sering terdengar
daripada terlihat, dan meskipun katak jantan banyak berkumpul namun mereka tidak
berbunyi dalam kelompok.
Riwayat Hidup, Kelimpahan, Aktivitas, dan Perilaku Khusus
Rana nicobariensis adalah jenis kodok yang distribusinya sangat luas di Asia Tenggara
yaitu mulai dari Thailand bagian selatan, Semenanjung Malaysia,Kepulauan Nicobar,
Filipina, Sumatra,Kalimantan dan Jawa (IUCN 2009). Jenis kodok ini termasuk dalam
kelompok jenis non-hutan, yang banyak dijumpai pada hasil modifikasi manusia (Inger
&Lian 1996; Inger & Stuebing 1996).
Rana nicobariensis berbiak di sepanjang tahun. Kecebongnya didapati di parit-parit
dangkal dan genangan air. Katak ini memangsa aneka jenis serangga. Jenis kodok Rana
nicobariensis bersifat semiakuatik dan semi-arboreal. Rana nicobariensis cenderung
selektif dalam memilih tipe vegetasi, faktor lingkungan berpengaruh nyata pada
kelimpahan kodok Rana nicobariensis .
Rana erythraea
 Lokasi: Umbulharjo(DIY); Wonosobo
(Jawa Tengah)
 Ketinggian: 114 - 2250 mdpl
 Curah Hujan: 1.713 – 4.255 mm/tahun
 Ditemukan di tempat pemilik
(peliharaan) dan sekitar perumahan
Klasifikasi
 Kerajaan:Animalia
 Filum: Chordata
 Kelas:Amphibia
 Ordo: Anura
 Famili: Ranidae
 Genus: Rana
 Spesies: Rana erythraea (Schlegel, 1837).
Deskripsi :
Rana erythraea biasa disebut Kongkang gading. Rana erythraea yakni berasal dari
nama sebuah kota kecil di Asia Tengah (Iskandar, 1998). Dalam bahasa Inggris, dikenal
dengan nama golden-lined frog, green paddy frog, green lotus frog atau common
greenback. Kodok yang ramping dan berwarna hijau zaitun, hijau lumut atau hijau muda
di punggungnya. Sepasang lipatan dorsolateral yang jelas, besar, berwarna kuning
gading dan kadang-kadang disertai dengan garis hitam, terdapat di kiri kanan punggung.
Tangan dan kaki berwarna kuning coklat muda, dengan coreng-coreng terutama pada
paha. Sisi bawah tubuh berwarna putih. Kulit licin dan halus. Kodok jantan sekitar 30-45
mm, dan yang betina 50-75 mm.
Tangan dengan ujung jari melebar serupa piringan yang meruncing, yang terbesar sekitar
setengah diameter timpanum (gendang telinga). Piringan pada jari kaki lebih kecil.
Selaput renang mencapai pangkal piringan di jari-jari kaki, kecuali pada jari keempat
yang memiliki dua ruas bebas dari selaput. Terdapat sekurangnya satu bintil metatarsal di
kaki, yakni di sisi dalam.
Peta Persebaran
Rana erythraea dapat
ditemukan di Myanmar, Laos,
Thailand, Vietnam, Kamboja,
Malaysia, Singapur, Filipina,
dan Indonesia (
https://mol.org/species/).
Distribusi dan Habitat
Rana erythraea biasa ditemukan di kolam-kolam terbuka, sungai, danau, rawa, tepi telaga, atau
sawah; kadang-kadang didapati dalam kelompok agak besar. Lebih sering berada di air, kodok ini
pada siang hari bersembunyi di antara vegetasi yang tumbuh di air yang dangkal atau di tepian. Dan
malam harinya turun ke daratan di tepi air. Kerap berbunyi-bunyi di pagi hari. Kodok jenis ini pola
persebarannya mengelompok. Chapman (1931) menyatakan bahwa pola distribusi bersifat
mengelompok yang paling sering ditemukan di alam bebas.

Riwayat Hidup, Kelimpahan, Aktivitas, dan Perilaku Khusus


Jenis kodok Rana erythraea bersifat semi-akuatik dan semi-arboreal. Pada lokasi lahan basah
Ecology Park, R. erythraea dapat berada sekitar 10 meter dari batas tepi danau atau di atas vegetasi
setinggi sekitar 1,5 meter.
kelimpahan R. erythraea dipengaruhi kuat oleh vegetasi dan jenis tumbuhan yang terdapat di bagian
tepi danau.
Ranaerythraea merupakan spesies yang biasanya saling berasosiasi di habitat akuatik danau atau
rawa. Kedua jenis ini sering ditemukan di rerumputan rawa. Berbeda dengan Rana hosii yang lebih
menyukai habitat sungai. Rana hosii biasanya selalu berhubungan dengan sungai (Iskandar, 1998)
dan tinggal di sungai yang jernih dan sungai besar (Inger, 2005).
Rana picturata
 Lokasi : Umbulharjo (DIY)
 Ketinggian : rata-rata 114 m diatas
permukaan laut
 Curah Hujan : 2012 mm/tahun
 Ditemukan di tempat pemilik
(peliharaan).
Klasifikasi
 Kingdom  : Animalia
 Pilum  : Chordata
 Subpilum  : Vertebrata
 Kelas : Amphibia
 Ordo  : Anura
 Family  : Ranidae
 Genus  : Rana
 Spesies  : picturata
 Nama ilmiah  : Rana picturata
Deskripsi Distribusi dan Habitat
Rana picturata (Spotted Stream Frog) adalah jenis katak yang Rana picturata ditemukan di sepanjang sungai yang
berukuran kecil sampai sedang. Tympanum terlihat jelas. Kulit berarus sedang di hutan primer dan hutan sekunder
berwarna hitam dengan bercak berwarna kuning. Terdapat garis (Mistar, 2003). Jenis ini biasa hinggap di ranting-ranting
kuning putus-putus dari moncong ke mata dan sampai ke sisi sungai ± 20 sampai 50 cm dari permukaan air. Spesies
kloaka. Kaki belakang terdapat garis kuning. Jantan terdapat di ini banyak di Semenanjung Malaysia dan Indonesia
sepanjang sungai hutan primer dan sekunder. Betina lebih (Sumatera dan Kalimantan).
terestrial. Katak ini tercatat pada lokasi pinggiran sungai
(riparian) merupakan habitatnya. Katak ini lebih
menyukaisungai yang memiliki aliran yang deras.

Riwayat Hidup, Kelimpahan, Aktivitas, dan Perilaku Khusus


Rana picturata (Spotted Stream Frog) adalah spesies riparian yang mendiami hutan dataran rendah dimana mereka dapat
ditemukan di sepanjang aliran sungai atau sungai kecil. Laki-laki biasanya terdengar memanggil dari tepi sungai, dalam
akar kusut, overhang atau celah batu atau bertengger di vegetasi rendah, batu, batang kayu atau cabang yang patah.
Peta Persebaran Rana picturata
Indonesia, Malaysia,
Singapur, Brunei Darussalam
(
https://mol.org/species/Hylara
na_picturata
)
Bufo melanostictus
 Lokasi : Berbah, Banguntapan, Jetis,
Tempel (DIY) Prambanan (Klaten);
Borobudur (Magelang); Lembang
(Bandung Barat); Cileungsi (Bogor).
 Ketinggian : 45-2000 mdpl.
 Curah Hujan: 1500 - 4255 mm/tahun
 Ditemukan di sekitar tempat tinggal dan
pekarangan rumah.
Klasifikasi :
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Sub Phylum : Vertebrata
Class : Amphibia
Ordo : Anura
Familia : Bufonidae
Genus : Bufo
Species : Bufo melanostictus.
(Goin. et al 1978).
Deskripsi :
Kodok berukuran sedang, yang dewasa berperut gendut, berbintil-bintil kasar. Kodok jantan panjangnya (dari moncong

ke anus) 55-80 mm, betina 65-85 mm. Di atas kepala terdapat gigir keras menonjol yang bersambungan, mulai dari atas

moncong; melewati atas, depan dan belakang mata; hingga di atas timpanum ( gendang telinga ). Gigir ini biasanya berwarna

kehitaman. Sepasang kelenjar parotoid ( kelenjar racun ) yang besar panjang terdapat di atas tengkuk.

Bagian punggung bervariasi warnanya antara coklat abu-abu gelap, kekuningan, kemerahan, sampai kehitaman. Ada pula

yang dengan warna dasar kuning kecoklatan atau hitam keabu-abuan. Terdapat bintil-bintil kasar di punggung dengan ujung

kehitaman.

Sisi bawah tubuh putih keabu-abuan, berbintil-bintil agak kasar. Telapak tangan dan kaki dengan warna hitam atau

kehitaman; tanpa selaput renang, atau kaki dengan selaput renang yang sangat pendek. Hewan jantan umumnya dengan

dagu kusam kemerahan.


Peta persebaran :
Distribusi dan habitat :
Bufo melanostictus ini juga dikenal dengan beberapa nama lain seperti kodok buduk ( Jakarta ), kodok berut ( Jawa ), kodok brama ( Jawa

yang berwarna kemerahan), dan Asian black-spined toad ( Inggris ). Kodok ini menyebar luas mulai dari India, Republik Rakyat Cina selatan,

Indochina sampai ke Indonesia bagian barat. Di Indonesia, dengan menumpang pergerakan manusia, hewan amfibi ini dengan cepat menyebar (

menginvasi ) dari pulau ke pulau. Kini bangkong kolong juga telah ditemui di Bali, Lombok, Sulawesi dan Papua barat (Schneider, 1799).

Spesies Bufo melanostictus, kodok jenis ini merupakan spesies yang paling tahan dengan kondisi habitat yang terganggu,spesies ini dapat

digambarkan sebagai "generalis habitat" (Csurhes, 2010).

B.melanostictus adalah salah satu jenis amfibi yang lebih menyukai habitat terbuka dan sering terjadi kepadatannya lebih tinggi di habitat

terganggu sekitar pemukiman manusia daripada di hutan yang tidak terganggu, jenis ini sering ditemukan di kolam dan peternakan (Maskey

dkk, 2002 dan Kentwood,2007).

.
Distribusi dan habitat :

Bahkan Iskandar (1998) sendiri mengatakan bahwa habitat jenis ini selalu berada di dekat hunian manusia atau wilayah yang terganggu. Jenis ini tidak

pernah terdapat di hutan hujan tropis.


Perilaku khusus :
Bangkong kolong paling sering ditemukan di sekitar rumah. Melompat pendek – pendek, kodok ini keluar dari persembunyiannya di bawah

tumpukan batu, kayu, atau di sudut-sudut dapur pada waktu magrib dan kembali ke tempat semula di waktu subuh. Terkadang, tempat

persembunyiannya itu dihuni bersama oleh sekelompok kodok besar dan kecil; sampai 6-7 ekor.

Bangkong ini kawin di kolam-kolam, selokan berair menggenang, atau belumbang, sering pada malam bulan purnama. Kodok jantan

mengeluarkan suara yang ramai sebelum dan sehabis hujan untuk memanggil betinanya, kerapkali sampai pagi.

Pada saat-saat seperti itu, dapat ditemukan beberapa pasang sampai puluhan pasang bangkong yang kawin bersamaan di satu kolam.

Sering pula terjadi persaingan fisik yang berat diantara bangkong jantan untuk memperebutkan betina, terutama jika betinanya jauh lebih

sedikit. Oleh sebab itu, si jantan akan memeluk erat-erat punggung betinanya selama prosesi perkawinannya. Nampaknya kodok ini memiliki

asosiasi yang erat dengan lingkungan hidup manusia. Dari waktu ke waktu, bangkong kolong terus memperluas daerah sebarannya mengikuti

aktivitas manusia. Iskandar ( 1998 ) mencatat bahwa kodok ini tak pernah terdapat di dalam hutan hujan tropis.
Polypedates leucomystax

 Lokasi : Cileungsi (Bogor); Umbulharjo,


Tempel (DIY); Mertoyudan (Magelang)
 Ketinggian : 107 - 999 mdpl.
 Curah Hujan: 2012 – 2120 mm/tahun
 Ditemukan di pohon papaya, sekitar
perumahan, dan tempat pemilik
(Peliharaan).
Klasifikasi :
Kingdom : Animalia
Phyllum : Chordata
Class : Amfibia
Ordo : Anura
Famili : Rhacophoridae
Sub-Famili : Rhacophorinae
Genus : Polypedates
Spesies : Polypedates leucomystax
(Irawan, 2008)
Deskripsi :
Penamaan katak ini kemungkinan karena keberadaan garis pada bagian atas tubuh yang berwarna gelap,

meskipun kadangkala ada individu yang tidak memiliki garis tersebut. Indi-vidu dewasa umumnya berwarna

coklat kekuningan, dengan satu warna atau bintik hitam. Katak dewasa memiliki enam atau empat garis

longitudinal yang jelas memanjang dari kepala sampai ujung tubuh (Iskandar1998).

Sedangkan individu muda mem-iliki warna tubuh yang pudar. Ciri-cirinya yaitu jari tangan dan jari kaki

melebar dengan ujung rata, kulit kepala menyatu dengan tengkorak, jari tangan setengahnya berselaput, jari

kaki hampir sepenuhnya berselaput serta pada berudunya terdapat ciri khas berupa bintik putih di bagian

moncong (Kusrini 2013).

Menurut Hass dan Das (2009) ukuran panjang moncong hingga dubur jantan dewasa adalah 50 mm dan

betina 70 mm, sedangkan berudu memiliki panjang tubuh 40-50 mm.


Peta persebaran :

https://mol.org/species/Polypedates_leucomystax
Distribusi dan habitat :

Suku Rhacophoridae hidup secara arboreal yaitu di vegetasi dekat dengan sumber air (permanen atau temporer).

Katak pohon bergaris dapat ditemukan hingga ketinggian 1500 m dpl. Ketinggian tempat dapat berpengaruh pada variasi

mofometri katak ini. Di Sumatera Barat katak pohon bergaris di daerah ketinggian di atas 1000 m dpl memiliki ukuran

karakter kepala dan karakter ektremitas yang lebih panjang dari populasi di bawah 1000 m dpl (Addaha et al. 2014).

Katak pohon bergaris tersebar di Bangla-desh, Brunei Darussalam, Kamboja, Cina, India, Malaysia, Myanmar, Nepal,

Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam dan Indonesia (Bali, Jawa, Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur, Maluku,

dan diintroduksi di Papua) (Diesmos et al. 2004). Diduga katak pohon bergaris merupakan jenis cryptic. Hasil penelitian

morfologi menunjukkan bahwa jenis yang dianggap sebagai P. leucomystax di Sulawesi merupakan jenis berbeda dan diberi

nama P. iskandari.
Perilaku khusus :
Pada saat berkembang biak, telur akan disimpan di
sarang busa yang berada di permukaan kolam air,
vegetasi atau ranting (Hass dan Das 2009).
Duttaphrynus melanostictus

 Lokasi : Kerjo (Karanganyar);


Umbulharjo, Kretek (DIY).
 Ketinggian : 0 - 450 mdpl
 Curah Hujan: 1834 – 8390
mm/tahun
 Ditemukan di sekitar rumah dan
tempat pemilik (peliharaan).
Klasifikasi :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Amphibia
Ordo : Anura
Famili : Bufonidae
Genus: Duttaphrynus
Spesies : Duttaphrynus melanostictus (Schneider, 1799)
Deskripsi : :

Kodok buduk merupakan salah satu jenis amfibi dari Famili Bufonidae. Bufonidae merupakan
jenis kodok sejati dengan ciri-ciri ukuran tubuh yang besar, permukaan kulit yang kasar serta
terdapat benjolan-benjolan hitam yang tersebar di hampir seluruh bagian tubuh. Kodok buduk
memiliki ciri-ciri moncong yang runcing, alur supraorbital yang bersambung dengan alur
supratimpanik dan tidak memiliki alur parietal, kelenjar paratoid yang berbentuk elips, jari tangan
dan jari kaki tumpul, jari kaki terdapat selaput yang melebihi setengah jari, terdapat juga bintil
metatarsal yang bagian luarnya lebih kecil dari bagian dalamnya, memiliki ukuran sedang hingga
besar dengan panjang mulai dari ujung moncong sampai dubur melebihi 80 mm (Kusrini 2013).
Peta persebaran :

https://mol.org/species/Duttaphrynus_melanostictus
Distribusi dan habitat :
Duttaphrynus melanostictus merupakan jenis kodok yang sangat umum ditemukan. Habitat kodok buduk yaitu

dataran rendah yang terganggu, lahan pertanian, pemukiman hingga wilayah perkotaan. Jenis ini biasa ditemukan di atas

tanah (Terestrial) atau bersembunyi di bawah penutup tanah seperti batu, serasah, dan pohon tumbang.

Menurut IUCN Red List jenis ini memiliki status konservasi berisiko rendah karena sangat umum ditemukan,

persebaran yang luas, serta sangat toleran terhadap perubahan habitat. Persebaran kodok buduk meliputi Pakistan Utara

melalui Nepal, Bangladesh, India (Andaman dan Pulau Nicobar), Sri Lanka, Cina Selatan (Taiwan, Hongkong dan Macau),

Myanmar, Laos, Vietnam, Thailand, Kamboja, Malaysia, Singapura, Indonesia (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Pulau Anambas

dan Pulau Natuna, Bali, Sulawesi, Ambon, Manokwari,) New Guinea (bagian timur laut Semenanjung Vogelkop, berpusat di

Manokwari). Telah tercatat dari permukaan laut hingga 1.800 m dpl.


Peta Persebaran Amphibi Katak Kelas Bio E 2018
Daftar Pustaka
 Addaha H, Tjong DH, Novarino W. 2014. Variasi morfologi katak pohon bergaris Polypedates leucomystax Gravenhorst 1829 (Anura:
Rha-cophoridae) di Sumatera Barat. Jurnal of Natural Science. 4(3): 348-354.
 Chapman, R. N. 1931. Animal Ecology. Mc. Graw-Hill Book Company. New York.
 Christy, M. T., Clark, C. S., Gee II, D. E., Vice, D., Vice, D. S., Warner, M. P., Tyrrell, C. L., Rodda, G. H. and Savidge, J. A. (2007). ''Recent records
of alien anurans on the Pacific Island of Guam.'' Pacific Science, 61(4), 469-483.
 Csurhes, S. 2010. Asian spined toad (Bufo melanostictus). Department of Employment,Economic Development, and Innovation. The State of
Queensland.
 Daly, J. W., Noimai, N., Kongkathip, B., Kongkathip, N., Wilham, J. M., Garraffo, H. M., Kaneko, T., Spande, T. F., Ninit, Y., Nabhitabhata, J., and
Chan-Ard, T. (2004). ''Biologically active substances from amphibians: preliminary studies on anurans from twenty-one genera of
Thailand.'' Toxicon, 44, 805-815.
 Dicker, S.E. and Elliott, A.B. (1970). ''Water uptake by the Crab-eating Frog Rana Cancrivora, as affected by osmotic gradients and by
neurohypophysial hormones.'' Journal of Physiology, 207, 119-132.
 Diesmos AC, Alcala A, Brown R, Afuang LE, Gee G, Sukumaran J, Yaakob N, Ming L, Chuaynkern Y, Thirakhupt K, Das I, Iskandar D, Mumpuni,
Inger RF, Stuebing R, Yambun P, Lakim M. 2004. Polypedates leucomystax. (errata version published in 2016) The IUCN Red List of
Threatened Species 2004: e.T58953A86477485.
 Dubois, A. and Ohler, A. (2000). ''Systematics of Fejervarya limnocharis (Gravenhorst, 1829) (Amphibia, Anura, Ranidae) and related species.
1. Nomenclatural status and type-specimens of the nominal species Rana limnocharis Gravenhorst, 1829.'' Alytes, 18(1-2), 15-50.
 Elliott, A.B., and Karunakaran, L. (1974). ''Diet of Rana cancrivora in fresh water and brackish water environments.'' Journal of Zoology,
London, 174, 203-215.
 Emerson, S. B., and Hess, D. L. (1996). ''The role of androgens in opportunistic breeding tropical frogs.'' General and Comparative
Endocrinology, 103, 220-230.
 Goin, J.C; O.B. Goin & G.R. Zug. 1978. Introduction to Herpetology. San Fransisco: W.H. Freeman and Company.
 Haas A, Das I. Editor. 2009. Frogs of Borneo: The frogs of East Malaysia and their Larva forms.
 https://mol.org/species/ (diakses pada 10 Oktober 2020, pukul 20.47 WIB).
 Inger RF and Lian TF. 1996. The natural history of amphibians and reptiles in Sabah. Natural History Publication (Borneo). Kota Kinabalu.
 Inger, R. F. (1969). ''Organization of communities of frogs along small rain forest streams in Sarawak.'' Journal of Animal Ecology, 38, 123-
148.
 Inger, R. F. (2003). ''Sampling biodiversity in Bornean frogs.'' The Natural History Journal of Chulalongkorn University, 3(1), 9-15.
 Inger, R. F. and Bacon, J. P. (1968). ''Annual reproduction and clutch size in rain forest frogs from Sarawak.'' Copeia, 1968, 602-606.
 Inger, R. F. and Stuebing, R. B. (2005). A Field Guide to the Frogs of Borneo, 2nd edition. Natural History Publications (Borneo), Kota Kinabalu.
 Inger, R. F., Voris, H. K., and Voris, H. H. (1974). ''Genetic variation and population ecology of some Southeast Asian frogs of the
genus Bufo and Rana.'' Biochemical Genetics, 12(2), 121-145.
 Irawan F. 2008. Preferensi Habitat Berbiak Katak Pohon Bergaris (Polypedates leucomystax Gravenhorst 1829) Di Kampus IPB Dramaga
Bogor [skripsi]. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan Dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
 Iskandar DT. 1998. Amfibi Jawa dan Bali-seri panduan lapangan. Puslitbang LIPI. Bogor.
 Iskandar, D. T. (1998). The Amphibians of Java and Bali. Research and Development Centre for Biology-LIPI, Bogor, Indonesia.
 Iskandar, D. T. 1998.. Bogor: Puslitbang LIPI. Amfibi Jawa dan Bali
 Iskandar, D.T. 1998. Amfibi Jawa dan Bali. Puslitbang Biologi LIPI, Bogor.
 IUCN, Conservation International, and NatureServe. (2006). Global Amphibian Assessment: Bufo asper. Www.globalamphibians.org.
Accessed on 23 November 2007.
 Kurniati H. 2003. Amphibians andreptiles of Gunung Halimun National Park, West Java, Indonesia. Research Center for Biology-LIPI.
Cibinong.
 Kurniati H. 2005. Biodiversity and natural history of amphibians and reptiles in Kerinci Seblat National Park, Indonesia. LIPI-NEF Annual
Report. 65 pp.
 Kurniati H. 2005. Species richness and habitat preferences of herpetofauna in Gunung Halimun National Park, West Java. Berita Biologi 7 (4):
263-271.
 Kusrini MD. 2013. Panduan Bergambar Identifikasi amfibi Jawa Barat. Bogor (ID): Pustaka Media Konservasi.
 Kusrini MD. 2013. Panduan bergambar indentifikasi amfibi Jawa Barat. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB dan Direktorat Konservasi Keane-
karagaman Hayati.
 Kusrini, M.D., and Alford, R.A. (2006). ''Indonesia’s exports of frogs’ legs.'' TRAFFIC Bull, 21, 13-24.
 Maskey, T., H. H. Schleich, and W.Kästle. 2002. Amphibians andreptiles of Nepal. Biology,Systematics, Field Guide. Ruggell. Gantner
Verlag.
 McKay, J.L. (2006). A Field Guide to the Amphibians and Reptiles of Bali. Krieger Publishing Company, Malabar, Florida.
 Megaskumbara, M., S. Megaskumbara, G. Bowatte, K. Manamendra-Arachchi, R. Pethiyagoda, J. Hanken dan C. J. Schneider. 2010. Taruga
(Anura: 74 Rhacophoridae), A New Genus of Foam-Nesting Tree Frogs Endemic to Sri Lanka. Cey. J. Sci. (Bio. Sci.). 39(2): 75-94.
 Mistar. 2003. Panduan Lapangan Amfibi Kawasan Ekosistem Leuser  .The GibbonFoundation & PILI-NGO Movement: Bogor.
 Nguyen, V. S., Ho, C. T., and Nguyen, T. Q. (2005). A Checklist of the Amphibians and Reptiles of Vietnam. Nha Xuat Ban Nong Nghiep, Hanoi,
Vietnam
 Prakash, S. (1988). Genetic studies on Rana limnocharis. Unpublished Ph.D. dissertation, North Eastern Hill University, Shillong.
 Ren, Z., Zhu, B., Ma, E., Wen, J., Tu, T., Cao, Y., Hasegawa, M., and Zhong, Y. (2009). ''Complete nucleotide sequence and gene arrangement
of the mitochondrial genome of the crab-eating frog Fejervarya cancrivora and evolutionary implications.'' Gene, 441, 148-155.
 Schlegel, H. 1837. Essai sur la physionomie des serpens. Partie Descriptive. La Haye (J. Kips, J. HZ. et W. P. van Stockum), 606 S.
 Seki, T., Kikuyama, S., and Yanaihara, N. (1995). ''Morphology of the skin glands of the Crab-eating Frog (Rana cancrivora).'' Zoological
Science, 12(5), 623-626.
 Species. Version 2011.2. Www.iucnredlist.org. Downloaded on 11 November 2011.
 Zhigang, Y., Zhao, E., Haitao, S., Diesmos, A., Alcala, A., Brown, R., Afuang, L., Gee, G., Sukumaran, J., Yaakob, N., Ming, L. T., Chuaynkern, Y.,
Thirakhupt, K., Das, I., Iskandar, D., Mumpuni, and Inger, R. (2009). Fejervarya cancrivora. In: IUCN 2011. IUCN Red List of Threatened

Anda mungkin juga menyukai