Anda di halaman 1dari 6

Nama: Kelvin

NIM:140405057
Fakultas/Jurusan: Teknik/Teknik Kimia

Gua dan Fungsi Gua


Gua adalah suatu lorong yang terdapat di bawah tanah yang terbentuk karena
proses alami dan bisa dilalui oleh manusia, sedangkan gua berlorong kecil disebut
sebagai gua mikro. Gua juga dapat terbentuk oleh manusia yang disebut sebagai
gua buatan, dan biasa dugunakan sebagai tempat perlindungan. Gua alam
berdasarkan letak dan batuan pembentuknya di bedakan menjadi empat, yaitu:
1. Gua lava. Terbentuk karena kejadian yakni gejala aktivitas vulkanologi yang
biasanya sangat rapuh karena terbentuk dari batuan muda (endapan lahar)
dan tidak ditemui ornamen khas gua.
2. Gua Litoral. Sesuai dengan namanya yang terdapat di daerah pantai, palung
laut, atau pada tebbing muara sungai. Terbentuk akibat terpaan ombak
pantai sehingga membentuk lorong-lorong yang akhirnya menjadi sebuah
gua. Namun untuk menelusuri gua ini, kita harus berhati-hati karena gua
biasanya akan terendam oleh air pasang laut.
3. Gua batu gamping (karst). Gua yang satu ini merupakan jenis gua yang
paling banyak kita temui di seluruh dunia, yang prosentasenya mencapai
75% dari gua yang terdapat di seluruh dunia. Terbentuk akibat proses
pelarutan batuan kapur akibat aktivitas air. Sehingga tercipta lorong-lorong
dan bentukan batuan yang sangat menarik melalui proses kristalisasi dan
pelarutan. Ornamen gua banyak kita temui pada jenis gua ini.
4. Gua pasir, gua batu halit, gua es. Gua jenis sangat jarang untuk kita temui
diseluruh dunia. Hanya berkisar 5% dari gua di dunia.
Kita tahu bahwa pada jaman pra sejarah, gua merupakan tempat tinggal bagi
makhluk-makhluk purba agar terlindung dari dari serangan hewan buas, angin
dingin dan hujan. Itu merupakan salah satu dari fungsi gua. Namun pada jaman
sekarang, gua sudah beralih fungsi menjadi berbagai macam manfaat. Yang
diantaranya adalah:

Tempat penambangan mineral (kalsit/gamping, guano)


Sebagai tempat perburuan sarang walet atau kelelawar
Sebagai obyek wisata
Obyek sosial budaya
Indikator perubahan lingkungan. Karena gua memiliki kesensitifan pada
perubahan lingkungan sekitarnya.
Laboratorium ilmiah

Gudang air tanah potensial


Fasilitas penyangga mikro ekosistem yang sangat peka dan vital bagi
kehidupan makro ekosistem di luar gua.
Gua sebagai lingkungan yang gelap dapat berperan sebagai perangkap fauna dari
luar gua. Sehingga gua dapat memicu terjadinya proses evolusi fauna dari luar gua
untuk dapat beradaptasi bertahan hidup di dalam gua. Adaptasi di dalam gua
bermacam-macam baik secara morfologi maupun fisiologi, sehingga fauna gua
mempunyai bentuk bahkan perilaku yang berbeda dengan kerabatnya yang ada di
luar gua. Adaptasi yang paling utama adalah mereduksinya organ penglihatan
karena kondisi lingkungan gua yang gelap total. Karena tidak berfungsinya organ
penglihatan menyebabkan perkembangan organ lain untuk menggantikan organ
penglihatan. Di dalam kelompok Arthropoda, khususnya serangga organ
penglihatan digantikan oleh organ peraba yaitu antena. Antena serangga gua dapat
mencapai 10 kali panjang tubuhnya seperti pada jangkrik gua. Sedangkan kelompok
Arthropoda yang tidak mempunyai antena seperti kelompok Arachnida (Laba-laba)
mengalami adaptasi dengan berubah fungsinya kaki yang paling depan menjadi
organ peraba yang berfungsi seperti antena contohnya pada kala cemeti
(Amblypygi). Kondisi lingkungan gua yang terkadang minim bahan organik
menyebabkan fauna gua mempunyai laju metabolisme yang lebih lambat.
Lingkungan gua mempunyai kondisi mikroklimat yang relatif stabil baik temperatur,
kelembaban, kandungan karbondioksida dan oksigen. Hal ini disebabkan kondisi
lingkungan yang relatif stagnant karena minimnya aliran udara dalam gua. Kondisi
ini mempengaruhi adaptasi fauna gua pada lingkungan yang relatif stabil sehingga
mempunyai kisaran tolerasni yang sempit. Sedikit perubahan dalam lingkungan gua
akan berpengaruh sekali pada kehidupan fauna gua. Sehingga fauna yang telah
teradaptasi pada lingkungan gua sangat rentan sekali terhadap gangguan.
Perubahan lingkungan yang drastis seperti tercemarnya perairan gua akan
berpengaruh pada kehidupan fauna aquatik maupun terrestrial. Berdasarkan
tingkat adaptasi di dalam gua, fauna gua dibedakan menjadi 3 kelompok yaitu
trogloxenes, troglophiles dan troglobionts (Howarth 1983). Kelompok trogloxenes
merupakan kelompok dari fauna gua yang menggunakan gua sebagai tempat
tinggal namun hidupnya secara periodik masih tergantung pada lingkungan luar
gua terutama untuk mencari pakan. Contoh fauna dalam kelompok ini adalah
kelelawar, walet, sriti dan mamalia lain yang tinggal di sekitar mulut gua. Kelompok
troglophiles merupakan kelompok fauna yang seluruh daur hidupnya terdapat di
dalam gua namun kelompok ini juga dapat hidup di dalam maupun di luar gua.
Flora Fauna Pada Ekosistem Gua:
1. Mikroorganisme dan decomposer pada ekosistem gua, seperti jamur dan bakteri
2. Kelelawar Pemakan Serang, Pemakan Buah, dan Burung Walet
Lebih dari separuh spesies kelelawar pemakan serangga dan 3-4 spesies kelelawar
buah, menggunakan gua sebagai tempat tinggal, baik secara permanen atau hanya
pada masa tertentu saja. Spesies kelelawar yang bersarang di gua memiliki
preferensi berbeda-beda terhadap kondisi gua. Kelelawar buah Eonycteris spelaea

ditemukan pada ruangan di dekat mulut gua (Goodwin, 1979). Kelelawar lain,
Miniopterus cenderung ditemukan di zona gelap (Marshall, 1971). Beberapa spesies
kelelawar, termasuk kelelawar buah dan kelelawar pemakan serangga bersarang di
zona antara atau zona transisi. Beberapa jenis kelelawar dan walet memiliki
kemampuan echolocate; yakni menghasilkan suara dan memperkirakan echoes
yang direfleksikan kembali oleh benda keras, sehingga mereka memiliki gambaran
lingkungan sekitarnya. Di dalam gua kemampuan ini digunakan untuk menghindari
batu-batuan, sedangkan di luar gua digunakan untuk mendeteksi mangsa. Familia
hewan yang berbeda menggunakan sistem echolocate yang berbeda pula, dan
beberapa di antaranya dapat mendeteksi hewan berukuran 1 mm. Oleh karena itu
kelelawar dapat dengan mudah menangkap mangsanya, namun beberapa jenis
serangga dapat pula mendeteksi echolocate, sehingga dapat menghindar atau
mengeluarkan bunyi-bunyian yang membingungkan (Fenton dan Fullard 1981;
Fenton 1983).
3. Arthropoda. Arthropoda merupakan instrumen ekonomi penting karena dapat
mengontrol hama dan penyakit tanaman. Taksa ini juga penting sebagai agen
penyerbuk bunga dan dekomposisi seresah untuk menyuplai hara. Arthropoda
(serangga, laba-laba, udang, centipede, millipede, dan lainnya) juga menjadi dasar
rantai makanan, sehingga menjadi sangat penting karena menyusun bagian dasar
rantai makanan dan menjaga keseimbangan lingkungan serta memberi makan
hewan lain seperti ikan, reptil, burung, dan mamalia. Kebanyakan arthropoda tidak
sepenuhnya tinggal di kawasan karst, namun kerusakan lingkungan di sekitarnya
seringkali menjadikan kawasan karst sebagai tempat pengungsiannya yang terakhir
(Vermeulen dan Whitten, 1999). Beberapa di antaranya memiliki alat-alat tambahan
yang sangat panjang sebagai bentuk adaptasi fisiologisnya terhadap lingkungan,
misalnya kaki centipede dan antena jengkerik.
4. Molusca dan Cacing, organism ini berperan sebagai konsumen tingkat satu yang
akan membawa makanan jauh ke dalam gua.
5. Ikan, berperan sebagai predator pada ekosistem gua. Hidup jauh di dalam gua
yang gelap. Terdapat adaptasi fisiologis, yaitu tereduksinya organ penglihatan. Ikan
pada ekosistem gua menempati posisi predator pada rantai makanan.
6. Salamander, berperan sebagai predator pada ekosistem gua. Salamander pada
sisi kiri merupakan salamander yang berhabitat pada daerah senja atau remangremang pada gua, sedangkan salamander pada sisi kanan merupakan salamander
yang bermukim di zona gelap.
7. Ular
Rantai Makanan Pada Ekosistem Gua
Kondisi gelap total tidak memungkinkan produsen utama seperti di lingkungan luar
gua dapat hidup. Hal ini menyebabkan sumber energi dalam gua merupakan
sumber energi yang allochtonous dan sangat bergantung pada produktivitas
mikroorganisme yang ada dalam gua maupun sumbersumber lain yang berasal
dari luar gua.
Kelangkaan makanan menyebabkan beberapa hewan dapat menahan lapar untuk
jangka waktu lama, hingga musim hujan ketika makanan masuk gua, serta dapat
menyimpan sejumlah besar lemak (Howarth, 1983 dlm Rahmadi, 2007).

Kaitan Manusia dengan Alam


Manusia adalah makhluk hidup yang memiliki kecerdasan baik secara emosional
maupun spiritual yang mampu mengelola dan mengolah segala sesuatu yang
terdapat dalam lingkungan hidup menjadi sesuatu yang mampu menyokong
kehidupannya. Manusia dan lingkungan merupakan unsur yang tak dapat
dipisahkan.Lingkungan hidup merupakan komponen penting dari kehidupan
manusia begitu pun sebaliknya kehidupan manusia memiliki pengaruh besar
terhadap kelangsungan lingkungan hidup. Sebuah contoh sederhana bisa diberikan
untuk menggambarkan interaksi timbal balik antara manusia dan lingkungan hidup.
Agar bisa bertahan hidup manusia membutuhkan kegiatan makan dan minum.
Dalam memenuhi kebutuhan itu manusia memanfaatkan bagian-bagian lingkungan
hidup seperti hewan-hewan, tumbuh-tumbuhan, air, udara, sinar matahari, garam,
kayu, barang-barang tambang dan lain sebagainya. Komponen-komponen
lingkungan hidup itu merupakan sumber mutlak manusia untuk mempertahankan
atau meneruskan kehidupannya. Begitu pentingnya interaksi antara manusia
dengan lingkungan hidupnya dapat digambarkan dalam pernyataan bahwa hanya
dalam lingkungan hidup yang optimal, manusia dapat berkembang dengan baik,
dan hanya dengan manusia yang baik lingkungan akan berkembang ke arah yang
optimal.Interaksi antara manusia dan lingkungan hidup merupakan proses saling
mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung. Kalau seseorang
melakukan sesuatu atas lingkungannya, misalnya mencangkul maka di sini telah
terjadi interaksi antara manusia dengan tanah yang dicangkul, demikian pula
terhadap makhluk-makhluk hidup yang berada di sekitar tanah yang dicangkul
seperti tumbuh-tumbuhan, hewan, cacing, ulat-ulatan dan binatang mikroba lainya
serta terhadap suhu udara di sekitarnya. Proses interaksi semacam ini disebut
sebagai ekosistem, yaitu suatu interaksi timbal balik antara makhluk-makhluk hidup
dengan lingkungannya sebagai satu kesatuan dalam wujud yang teratur. Ekosistem
tidak saja merupakan interaksi antara manusia dengan lingkungannya tetapi juga
antara makhluk hidup satu dengan lainnya. Antara binatang dengan binatang lain,
dengan tumbuh-tumbuhan dan lingkungan sekitarnya.Apa yang dimaksud dengan
lingkungan hidup adalah semua benda, daya dan kondisi yang terdapat dalam suatu
tempat atau ruang yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia dan makhluk
hidup. Pengertian lain yang lebih luas dapat diberikan untuk menjelaskan
lingkungan hidup, yaitu kesatuan ruang dengan semua benda, daya dan keadaan,
dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang
mempengaruhi perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup
lainnya.Peranan manusia dalam ekosistem sangat luas. Sebab lingkungan hidup
manusia tidak hanya terbatas pada sarana fisik kimia dan biologi saja tetapi
termasuk juga di dalamnya persoalan ekonomi, sosio-budaya dan agama. Segala
macam perubahan dalam lingkungan hidup manusia, mau tidak mau akan
berpengaruh terhadap dirinya.Manusia dengan kemampuan ilmu dan teknologi bisa
membuat perubahan-perubahan, baik kecil maupun besar pada lingkungannya.
Perubahan-perubahan itu terutama terjadi karena meningkatnya kebutuhan hidup

manusia yang mengakibatkan interaksi antara manusia dan lingkungannya semakin


intensif, misalnya dalam penggalian sumber alam, pengelolaan dan penggunaan
sumber alam. Dengan demikian, peranan manusia sangat berpengaruh terhadap
kondisi struktur dan sifat fungsional ekosistem.Pada dasarnya, interaksi antara
manusia dan lingkungan hidupnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu interaksi
harmonis dan tidak harmonis. Suatu interaksi dikatakan harmonis apabila interaksi
manusia dan lingkungan hidupnya berada dalam batas-batas keseimbangan dan
dapat pulih seketika dalam keseimbangan. Namun, apabila batas-batas kemampuan
salah satu subsistem sudah terlampaui, tidak seimbang, atau tidak mampu
memainkan fungsinya, maka interaksi manusia dan lingkungan hidupnya berubah
menjadi tidak harmonis dan di sini timbul apa yang disebut dengan masalah
lingkungan hidup. Pola interaksi harmonis antara manusia dan lingkungan hidup
dapat ditelusuri dari nilai-nilai dan pandangan hidup suatu masyarakat terhadap
alam di sekitarnya. Misalnya, di beberapa kalangan masyarakat pedesaan hinggga
kini masih terdapat pandangan yang menggambarkan manusia sebagai bagian
yang tidak terpisahkan dengan lingkungan hidupnya. Pandangan semacam ini
biasanya mewujud dalam pola kebiasaan masyarakat untuk memitoskan atau
mengeramatkan alam. Misalnya tidak boleh membuang sembarangan sesuatu
benda atau sampah di sebuah sungai tertentu karena akan berakibat munculnya
penyakit atau malapetaka. Tidak boleh menebangi pohon-pohon di tempat-tempat
tertentu atau tidak boleh menangkap ikan di suatu bagian sungai atau danau.
Dengan demikian, pola-pola kebiasaan masyarakat itu secara tidak langsung
bermanfaat untuk mempertahankan konservasi lingkungan dan sumber-sumber
daya alam. Pandangan atau nilai-nilai yang dipertahankan oleh masyarakat melalui
kaidah-kaidah hidup, tradisi atau kebiasaan yang bersifat mitos dan mistis ini
disebut dengan pandangan immanen atau holistis.Namun, pesatnya kemajuan
dunia ilmu pengetahuan dan teknologi yang diikuti dengan perkembangan
kebutuhan manusia telah membawa perubahan cara pandangan manusia mngenai
lingkungan hidup. Manusia tidak lagi memegang teguh pandangan immanen tetapi
cenderung memandang lingkungannya bukan sebagai bagian (subsistem) yang
tidak terpisahkan. Lingkungan dianggap sebagai objek yang dapat dieksploitasi
semaksimal mungkin. Pandangan semacam ini disebut dengan pandangan
transenden yang membuat suatu masyarakat semakin menutup diri terhadap
hubungan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan dan akhirnya berusaha
memusatkan ekosistem pada diri manusia, antroposentrisme. Antroposentrisme
adalah suatu pandangan yang menempatkan manusia sebagai pusatnya. Istilah
kerusakan lingkungan merupakan konsep antroposentris, yaitu memandang
lingkungan hidup dari sudut pandang kepentingan manusia. Begitu sentralnya
kepentingan manusia maka apabila terjadi pencemaran lingkungan hidup akibat
kegiatan manusia sering kali diabaikan dengan alasan demi kepentingan hidup
orang banyak. Dengan demikian, kelestarian dan kerusakan lingkungan hidup
sangat bergantung pada sikap masyarakat terhadap lingkungan hidup itu
sendiri.Farde (1963:463) melihat bahwa “antara lingkungan alam dan
kegiatan manusia selalu ada perantara yang menghubungkannya., yaitu

sekumpulan tujuan dan nilai-nilai, seperangkat pengetahuan dan kepercayaan


– dengan kata lain dinamakan pola-pola kebudayaan”. Dengan
kebudayaan, manusia dapat memahami serta menginterpretasikan lingkungan alam
dan seluruh isinya, menyeleksi hal-hal yang berguna baginya dan dimanfaatkan
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan bagi kelangsungan hidupnya, dan
melakukan adaptasi terhadap lingkungan alamnya.

Anda mungkin juga menyukai