PENDAHULUAN
Relung ekologi merupakan istilah dalam ekologi untuk mendeskripsikan peranan suatu
organisme dalam suatu ekosistem. Odum (1993) menjelaskan, yang dikatakan relung
ekologi adalah persaingan penggunaan habitat, termasuk ruang fisik dan peran fungsional
pada komunitas, serta posisi didalam gradien suhu, kelembaban, pH, tanah dan keadaan
lainnya. Aspek relung ekologi yang menyangkut dimensi sumber dayaatau hal mendasar
untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan dari suatu spesies harus berbeda (terpisah)
dengan spesies lainnya, agar dapat berkoeksistensi dalam habitat yang sama hingga waktu
yang lama. Sebagai tambahan, Wirakusumah (2013) menyatakan bahwa aspek waktu aktif
juga termasuk sebagai pembeda atau pemisah relung tersebut.
Berkurangnya lahan hutan atau habitat untuk satwa liar menjadi salah satu faktor
keberadaan primata akhir-akhir ini menjadi sangat memprihatinkan, disamping adanya
faktor lain seperti terjadinya perburuan primata untuk kepemilikan illegal, souvenir, dan
konsumsi. Akibat dari kerusakan dan terfragmentasinya hutan, hewan primata khususnya
monyet ekor panjang dan beruk meninggalkan habitat mereka karena menghadapi
kurangnya sumber makanan dan hilangnya tempat untuk tidur atau tempat berlindung.
Dampak dari keadaan ini dapat dilihat dari banyaknya laporan dan ditemukannya kedua
spesies monyet ini mencuri dan merusak ladang atau lahan pertanian sehingga spesies ini
dianggap sebagai hama dan diburu oleh manusia (Schwitzer et al. 2011). Kondisi ini tentu
saja dapat memicu pandangan negatif terhadap hewan primata dan berpengaruh terhadap
konservasinya.
Salah satu upaya untuk mengendalikan dan menjaga kelestarian populasi monyet ekor
panjang dan beruk yaitu dengan dilakukannya kegiatan monitoring agar diketahui keadaan
populasi dan habitatnya. Monitoring atau pemantauan hewan di suatu wilayah dapat
dilakukan dengan metode langsung maupun tidak langsung, seperti berdasarkan jejak dan
kotoran ataupun dengan menggunakan camera trap(perangkap kamera) (Wemmer et al.
1996). Khusus di Sumatera Barat, berbagai penelitian telah dilakukan untuk memantau
populasi dan melihat akibat aktivitas manusia terhadap hewan liar. Penelitian-penelitian ini
telah membuktikan keefektifan penggunaan camera trap dalam memantau kehadiran
hewan liar yang biasanya menghindari kontak dengan kehadiran manusia (Holden, Yanuar
dan Martyr, 2003; Kinnaird et al. 2003; Lizcano dan Cavelier, 2000; Novarino et al. 2005).
Berdasarkan fakta bahwa kerusakan dan terfragmentasinya hutan merupakan salah satu
faktor dari memprihatinkannya keadaan hewan primata saat ini, maka penelitian ini
dilaksanakan di kawasan hutan di PT. Tidar Kerinci Agung (PT TKA) Solok Selatan, serta
kolaborasi data hasil camera trap dibeberapa lokasi di Sumatera
Barat yang pemasangannya tersebar pada hutan sehamparan baik hutan primer maupun
hutan sekunder, habitat yang terfragmentasi, dan habitat riparian. Lokasilokasi tersebut
yakni di Hutan Pendidikan dan Penelitian Biologi(HPPB) Universitas Andalas, Cagar Alam
Lembah Anai, Hutan Kalaweit Supayang Kabupaten Solok, Nagari Mahat Kabupaten Lima
Puluh Kota, PT. Kencana Sawit Indonesia Solok Selatan, kawasan objek wisata alam Nyarai
Kecamatan Lubuk Alung, Cagar Alam Rimbo Panti Kabupaten Pasaman, dan di Suaka Alam
Malampah Kabupaten Pasaman.
Dari latar belakang diatas dapat diperoleh rumusan-rumusan masalh sebagai berikut:
1.3 Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
Setiap populasi mahluk hidup menempati habitat atau biotop tertentu Habitat suatu
populasi hewan pada dasarnya menunjukkan totalitas dari corak lingkungan yang ditempati
populasi itu termasuk faktor-faktor abiotik berupa ruang tipe substratum atau medium yang
ditempati cuaca dan iklimnya serta vegetasinya.
Secara garis besar dikenal empat tipe habitat utama yakni: daratan perairan
tawar,perairan payau,dan estuaria serta perairan bahari/laut. Masing-masing kategori
utama itu dapat dipilah-pilahkan lagi tergantung corak kepentingannya mengenai aspek
yang ingin diketahui.Dari sudut pandang dan kepentingan populasi-populasi hewan yang
menempatinya.pemilihan tipe-tipe habitat itu teratama didasarkan pada segi variasinya
menurut waktu dan ruang
2 Habitat yang bersifat memusim, yaitu suatu habitat yang kondisinya secara relatifteratur
JHsecara berganti-ganti antara baik dan kurang baik.
3. Habitat yang tidak menentu yaitu suatu habitat yang mengalami suatu perioda
dengankondisi baik yang lamanya juga bervariasi sehingga kondisinya tidak dapat
diramalkan.
4. Habitat yang efemeral yaitu suatu habitat yang mengalami perioda kondisi baik vang
berlangsung relatif lama sekali.
Berdasarkan variasi kondisi habitat menurut ruang habitat dapat diklasifikasi menjadi:
1. Habitat yang bersinambung yaitu apabila suatu habitat mengandung area dengan
berjumlah 10 ekor.
3. Habitat yang terisolasi merupakan suatu habitat yang mengandung area berkondisi baik
yang terbatas luasnya dan letaknya terpisah jauh dan area berkondisi baik yang lain
sehingga hewan-hewan tidak dapat menyebar untuk mencapainya,kecinii bila didukung oleh
faktor kebetulan Misal suatu pulau kecil yang dihuni oleh populasi rusa. Jika makanan habis
rusa tersebut tidak dapat pindah ke pulau lain. Pulau kecil tersebut bukan merupakan
habitat terisolasi bagi suatu populasi burung yang dapat dengan mudah pindah ke pulau
lainnya tetapi lebih cocok disebut habitat yang terputus.
Mikrohabitat
Menurut Keindegh (1980), Relung ekologi suatu populasi atau hewan adalah status
fungsional hewan itu dalam habitat yang ditempatinya berkaitan dengan adaptasi-adaptasi
fisiologis, struktur/morfologi, dan pola perilaku hewan itu.
Hutchinson (1957) dalam Begon, et al. (1986) telah mengembangkan konsep relung
ekologi multidimensi (dimensi-n atau hipervolume). Setiap kisaran toleransi hewan
terhadap suatu faktor lingkungan, misalnya suhu, merupakan suatu dimensi. Dalam
kehidupannya hewan dipengaruhi oleh bukan hanya satu faktor lingkungan saja, melainkan
banyak faktor lingkungan secara simultan Faktor lingkungan yang mempengaruhi atau
membatasi kehidupan organisme bukan hanya kondisi lingkungan, seperti suhu, cahaya,
kelembaban, salinitas, tetapi juga ketersediaan sumber daya yang dibutuhkan hewan
(makanan dan tempat untuk membuat sarang bagi hewan dan nutrien bagi tumbuhan).
Dua spesies hewan atau lebih yang hidup bersama dalam satu habitat dikatakan
berkohabitasi atau berkoeksistensi. Hewan-hewan yang berkoeksistensi biasanya memilki
keserupaan dalam kisaran toleransi dan preferendum terhadap faktor lingkungan dalam
habitat, bahkan mungkin juga memiliki keserupaan dalam jenis sumber daya yang
dibutuhkan. Berdasarkan konsep relung ekologi multidimensi, hal ini berarti antara kedua
populasi tersebut memiliki keselingkupan relung atau beberapa dimensi. Jika dalam suatu
saat jumlah sumber daya yang dibutuhkan terbatas maka akan terjadi persaingan.
Dari uraian tersebut diatas tampak bahwa aspek relung ekologi yang menyangkut
dimensi sumber daya, khususnya yang vital untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan dari
beberapa spesies harus berbeda (terpisah) agar dapat berkoeksistensi dalam habitat
yangsama. Perbedaan atau pemisahan relung itu juga mencakup aspek waktu aktif.
Jika memperhatikan tentang kehidupan berbagai jenis hewan diberbagai tempat sering
ditemukan spesies-spesies hewan serupa yang hidup didaerah geografi yang berbeda. Jenis-
jenis hewan yang menempati relung ekologi yang sama (ekivalen) dalam habitat yang
serupa didaerah zoogeografi yang berbeda disebut ekivalen-ekivalen ekologi. Biasanya
perkerabatan taksonomi dari skivalen-ekivalen ekologi sangat dekat, namun tidak selalu
demikian.
Evolusi yang menghasilkan pergeseran ciri pada spesies-spesies hewan dalam keadaan
simpatrik mempunyai dua kepentingan adaptif bagi spesies-spesies yang bersangkutan.
Pertama,karena ciri (adaptasi morfologis,misalnya) yang nyata bedanya akan menyebabkan
terjadinya pemisahan relung ekologi, dengan demikian maka kemungkinan terjadinya
interaksi berupa persaingan, apabila spesies itu berkohabitusi, akan tereduksi. Kedua
berbedanya ciri morfologi yang menghasilkan berbedanya pola perilaku, misalnya perilaku
berbiak, akan lebih menjamin terjadinya pemisahan genetik diantara spesies-spesies yang
berkerabat itu bial berköhabitasi, atau menghindari terjadinya inbreeding yang tidak
menguntungkan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Setiap populasi mahluk hidup menempati habitat atau biotop tertentu. Habitat suatu
populasi hewan pada dasarnya menunjukkan totalitas dari corak lingkungan yang ditempati
populasi itu termasuk faktor-faktor abiotik berupa ruang tipe substratumatau medium yang
ditempati cuaca dan iklimnya serta vegetasinya.
2. Secara garis besar dikenal empat tipe habitat utama yakni: daratan perairan tawar,
perairan payau, dan estuaria serta perairan bahari laut.
Berdasarkan variasi kondisi habitat menurut ruang habitat dapat diklasifikasi menjadi
3 macam yaitu:
3. Menurut Keindegh (1980), Relung ekologi suatu populasi atau hewan adalah status
fungsional hewan itu dalam habitat yang ditempatinya berkaitan dengan adaptasi-adaptasi
fisiologis, struktur morfologi, dan pola perilaku hewan itu konsep relung dibagi menjadi
relung fundamental dan relung yang terealisasikan
4. Asas "Ekslusi Persaingan" atau aturan "Gause" menyatakan bahwa suatu relung okologi
tidak dapat ditempati secara simultan dan sempurna oleh populasi stabil lebih dari satu
spesies." Asas koeksistensi", beberapa spesies yang dapat hidup secara langgeng dalam
habitata yang sama ialah spesies-spesies yang relung ekologinya berbeda-berbeda.
5. Ekivalen-ekivalen ekologi adalah jenis-jenis hewan yang menempati relung ekologi yang
sama (ekivalen) dalam habitat yang serupa di daerah zoogeografi yang berbeda.Biasanya
perkerabatan taksonomi dari ekivalen-ekivalen ekologi sangat dekat, namuntidak selalu
demikian.
6. Evolusi divergen terjadi jika spesies-spesies hewan yang berkerabat dekat (kogenerik)
ditemukan dalam keadaan simpatrik, seleksi alam akan menghasilkan ciri-ciri tubuh yang
semakin mencolok perbedaannya. Evolusi konvergen terjadi jika spesies-spesies hewan yang
berkerabat dekat (kogenerik) dalam keadaan alopatrik seleksi alami, sehingga perbedaan-
perbedaan ciri-ciri itu makin kabur. Kedua fenomena tersebut dikenal dengan pergeseran
ciri.
DAFTAR PUSTAKA
Atharamadhana, Fauziah Habitat dan Relung. Ringkasan Ekologi SDH Habitat, Relung &
Produktifitas Ekosistem. Blogspot : Blogger. (Diakses Jumat, 10 Februari 2017 pada :
Drs.LugtyastyonoBn,M.Pd Bab 10 Ekosistem (X). Biologi Klaten. Pemerintah Kabupaten
Kelaten. Wordpress. (Diakses Sabtu, 11 Maret 2017 pada : 10-ekosistem-x/)
Fauzan, Ahmad Ekologi. Relung. Blogspot : Blogger. (Diakses Jumat, 10 Februari 2017 pada :
Kurniawan, Dheka Arie Relung Ekologi (Ecological Niche). Biopedia Indonesia. Kalimantan
Utara. Blogspot : Blogger. (Diakses Jumat, 10 februari 2017 pada : Lestari, Siti Segregasi
Relung Pada Hewan. Makalah Persilangan Monohibrid dan Dihibrid.
Blogspot : Blogger. (Diakses Jumat 10 Februari 2017 pada : Noname Tikus Sawah. Wikipedia
Ensiklopedia Bebas. Blogger. (Diakses Sabtu, 11 Maret 2017 pada : Rachmawati, Riana
Interaksi, Kedudukan Relung Ekologi dan Niche Spesies. Relung. Blogspot : Blogger. (Diakses
Jumat, 10 Februari 2017 pada : Supra, Agus Habitat dan Relung. Biologi. Blogspot : Blogger.
(Diakses Sabtu, 11 Maret 2017 pada : 20