Anda di halaman 1dari 6

LAPORAN MK.

PERTANIAN TERPADU
AGROFORESTRY TANAMAN KARET DENGAN KAKAO

Kelompok: 4 / Hari: Jum’at

Oleh:
Rahma Nur Hanifa A24140061
Dwi Rachmawati A24140064
Okky Tiara Sari Dewi A24140066
Nanda Rahmi Fitriani A24140069
Yettik Suryandari A24140070
Yuliana Styowati A24140072
Dodi Jauhari A24140073
Yeni Lilyan Sari A24140081
Ratna Nur Oktavia A24140083

Dosen Praktikum:
Arya W. Ritonga, SP., MSi.

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pembangunan sektor kehutanan sebagai salah satu bagian dari
pembangunan bidang ekonomi bangsa haruslah mampu memberikan manfaat
sebesar-besarnya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya
masyarakat desa sekitar hutan, sekaligus tetap menjaga kelestarian sumberdaya
alam dan kelangsungan fungsi serta mutu lingkungan hidup. Keberadaan hutan
sering terancam untuk perluasan kepentingan banyak pihak sementara itu,
masyarakat desa sekitar hutan memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap
sumberdaya alam, khususnya hutan. Hasil-hasil hutan, baik berupa kayu maupun
non kayu seperti getah, rotan, tanaman obat, buah-buahan, dan lain-lain sering
menjadi tumpuan ekonomi masyarakat desa sekitar hutan.
Sementara lahan yang tersedia untuk pertanian terbatas, maka akan
menimbulkan kecenderungan masyarakat sekitar hutan membuka hutan untuk
dijadikan areal budidaya pertanian, perkebunan, pemukiman, dan lain-lain, tanpa
memperhitungkan meningkatnya ancaman akibat deforestasi dan degradasi
lingkungan. Dalam kaitan itu yang menarik perhatian adalah bahwa pembukaan
hutan menjadi kebun-kebun karet rakyat secara tradisional oleh masyarakat
setempat diantaranya terdapat pola-pola pencampuran atau kombinasi penanaman
antara tanaman karet sebagai tanaman pokok dengan tanaman semusim (padi,
palawija, dan lain-lain), maupun dengan tanaman keras lainnya (kayu-kayuan dan
buah-buahan).
Khusus untuk penanaman karet rakyat dengan pencampuran atau kombinasi
tanaman lainnya seperti di atas, menurut de Foresta dan Michon (1992) adalah
merupakan suatu bentuk Agroforestry Karet yang biasa terdapat pada dataran-
dataran rendah di Sumatera dan Kalimantan yang menyerupai hutan sekunder
dengan tegakan-tegakan lebat, pohon-pohon rendah dan pergantian spesies yang
sangat cepat. Agroforestry didefinisikan sebagai suatu sistem pengolahan lahan
yang berdasarkan kelestarian yang meningkatkan hasil secara keseluruhan,
mengkombinasikan produksi tanaman pertanian (termasuk pohon-pohonan) dan
tanaman hutan dan atau hewan secara bersamaan atau berurutan pada lahan yang
sama dan menerapkan cara-cara pengelolaan yang sesuai dengan kebudayaan
penduduk setempat (King dan Chandler, 1978 dalam Departemen Kehutanan,
1992).

Tujuan
Makalah ini akan menjelaskan mengenai jenis agroforestry tanaman karet
dengan kakao serta manfaat ekologi, sosial, dan ekonomi yang didapatkan melalui
sistem agroforestry.
PEMBAHASAN

Manfaat Ekologi Sistem Agroforestry Tanaman Karet dengan Kakao


Tanaman kakao merupakan tanaman perkebunaan yang sangat
membutuhkan naungan terutama pada 2-3 tahun pertama. Naungan yang sedang
atau tidak terlalu lebat pada kakao diperlukan untuk mencegah kehilangan air
berlebihan dan mencegah terbakarnya daun kakao di musim kemarau. Karet dipilih
sebagai tanaman penaung tetap untuk kakao karena sesuai berdasarkan syarat
Noordwijk et al. (2004), karena karet bukan inang hama dan penyakit kakao, tidak
bersifat alelopati, memiliki perakaran dalam dan tahan hembusan angin kencang,
ukuran daunnya kecil sehingga dapat meneruskan cahaya difus. Menurut Ferry dan
Syamsudin (2014) pola tanam kebun campur antara kakao dengan naungan yaitu
tanaman karet, dapat menekan banyak jenis hama dan penyakit, meredam suhu
maksimum, pompa hara, memeperbaiki struktur tanah, mencegah erosi.
Jarak tanam karet tidak boleh terlalu dekat, karena dapat merugikan
tanaman kakao. Contohnya jika penanaman karet dengan jarak baris antar karet 12
meter dan 14 meter dapat menyebabkan tajuk karet bertemu sehingga memicu
busuk buah kakao. Perlu pengaturan jarak tanam yang tepat untuk karet (18 meter
antar karet) sebagai pohon naungan, supaya mendapatkan hasil yang optimal.
Iklim mikro selama kemarau mengakibatkan daun karet menggugur, hal ini
baik bagi pembungaan dan pembuahan kakao. Daun-daun karet yang gugur tersebut
akan melapuk menjadi bahan organik tanah. Sehingga tanah dapat diperbaiki
kualitasnya. Tanah yang baik akan memiliki banyak kandungan hara di dalamnya.
Sehingga tanaman mampu menyuplai kebutuhan hara untuk proses pembungaan
dan pembuahan. Menurut Siagian (2007), serasah dapat meningkatkan bahan
organik tanah melalui peningkatan kegiatan biologi tanah dan perakaran serta
mempertahankan dan meningkatkan ketersediaan air dalam lapisan perakaran.
Selain itu berdasarkan Ferry dan Syamsudin (2014) serasah dapat mengefisienkan
siklus hara, sehingga akan mendukung produktivitas lahan melalui penyuburan
tanah oleh berkembangnya mikroba tanah. Tersedianya konsentrasi bahan organik,
C, dan N tanah dari serasah akan berpengaruh pada biomasa mikroba tanah,
termasuk mikoriza yang aktif menyerap dan menyediakan unsur mikro P, N, Zn,
Cu, dan S kepada tumbuhan inang. Sehingga siklus hara pada agroforestri bersifat
efisien dan tertutup.
Stratifikasi tajuk pada pola penanaman antara kakao dengan karet dapat
mencegah erosi permukaan. Menurut Siagian (2000) tajuk pohon dapat
mengintersepsi dan menyimpan sejumlah air hujan dalam bentuk lapisan tipis air
pada permukaan daun dan batang. Sistem stratifikasi tajuk yang menyerupai hutan
dari segi konservasi tanah dan air akan lebih berdampak pada pengaturan tata air
dan hujan tidak langsung ke tanah yang dapat mencegah erosi permukaan.
Manfaat penerapan agroforestri lainnya adalah sebagai cadangan karbon di
alam dan mengurangi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer melalui penyerapan
gas CO2 yang telah ada di atmosfer oleh tanaman, dan mengakumulasikannya
dalam bentuk biomasa tanaman (Karyudi, 2000).

Manfaat Sosial Sistem Agroforestry Tanaman Karet dengan Kakao


Sistem agroforestri tanaman karet dengan tanaman kakao memiliki manfaat
sosial. Pemilihan jenis tanaman tersebut dipengaruhi oleh kehidupan sosial yang
mengalami perubahan. Menurut Suharjito et al. (2003) peningkatan hubungan
masyarakat desa dengan masyarakat kota/industri menyebabkan kehidupan
semakin konsumtif. Hal tersebut membuat para petani mengusahakan lahan yang
dimiliki dengan menanam tanaman yang bernilai ekonomi tinggi untuk memenuhi
kebutuhannya.
Sistem agroforestri mengandung aspek hubungan sosial yang berupa
hubungan kerja atau bagi hasil antara pemilik agroforestri dengan buruh tani,
hubungan sewa antara pemilik lahan dengan penyewa lahan, dan hubungan kontrak
lahan antara pemilik lahan dengan pemilik modal yang mengkontrak lahan untuk
budidaya agroforestri. Hubungan sosial tersebut menciptakan posisi dan kekuasaan
antara orang atau pihak-pihak yang terlibat. Pola hubungan dan sistem agroforestri
yang dikembangkan akan ditentukan oleh pihak yang memegang kekuasaan yang
lebih besar (Suharjito et al., 2003).
Sistem agroforestri tanaman karet dengan kakao dipilih bermanfaat untuk
meningkatkan hubungan sosial antara pemilik lahan dengan buruh tani. Pemilik
lahan membutuhkan buruh tani untuk mengambil hasil tanaman karet berupa lateks
dan hasil tanaman kakao berupa biji. Proses pemanenan kedua tanaman tersebut
tidak dapat dilakukan sendiri oleh pemilik lahan sistem agroforestri. Hal tersebut
menciptakan sebuah hubungan sosial dalam sistem agroforestri antara pemilik
lahan dengan buruh tani. Manfaat sosial lain yang diperoleh dari sistem agroforestri
tanaman karet dengan tanaman kakao adalah terciptanya sebuah kelembagaan.
Kelembagaan tersebut menjadi wadah bagi para petani untuk mendapatkan
pekerjaan dan memudahkan untuk memasarkan hasil dari sistem agroforestri.

Manfaat Ekonomi Sistem Agroforestry Tanaman Karet dengan Kakao


Agroforestri merupakan salah satu bentuk penggunaan lahan secara
multitajuk yang terdiri dari campuran pepohonan, semak dengan atau tanaman
semusim yang sering disertai dengan ternak dalam satu bidang lahan. Komposisi
yang beragam tersebut menjadikan agroforestri memiliki fungsi dan peran yang
lebih dekat dengan hutan dibandingkan dengan pertanian, perkebunan, lahan
kosong atau lahan terlantar (Olivi et al., 2015)
Tujuan agroforestry untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat petani,
terutama di sekitar hutan yaitu dengan memprioritaskan partisipasi aktif masyarakat
dan memperbaiki keadaan lingkungan yang rusak dan berlanjut dengan
pemeliharaannya. Program agroforestry biasanya diarahkan pada peningkatan dan
pelestarian produktivitas sumberdaya yang akhirnya akan meningkatkan taraf hidup
masyarakat sendiri (Triwanto et al, 2012)
Menurut Yuyun (2015) , karakteristik tipikal sistem agroforestry adalah
agroforestry terdiri dari 2 atau lebih jenis tanaman (dan atau hewan) dan paling
sedikit salah satu berupa tanaman berkayu tahunan (woody perennial) misalnya
adalah agroforestri tanaman kakao dan karet. Sistem agroforestry memiliki dua atau
lebih output. Suatu sistem agroforestry, produknya selalu beraneka ragam dan
saling bergantung antara satu dengan lainnya. Sekurang - kurangnya satu komponen
merupakan spesies tanaman keras berkayu, sehingga siklusnya selalu lebih dari satu
tahun. Contohnya adalah agroforestry antara tanaman kakao dan karet.
Sistem agroforestri memberikan banyak manfaat dalam hal ekologi, sosial
– budaya, dan ekonomi. Sistem agroforestri berbasis tanaman karet dan kakao pada
populasi normal menunjukkan penaungan yang berat bagi kakao yang nampak dari
hasil buahnya menjadi rendah. Pada tanaman karet yang berumur 30 tahun dengan
jarak tanam 3 x 7 m menunjukkan penerusan cahaya oleh tajuk karet hanya sebesar
33,58% - 48, 95% terhadap penyinaran langsung.
Kakao yang ditanam di antara dua lajur karet pada jarak dalam baris 3 m
menunjukkan pertumbuhan vegetatif yang sehat. Namun hasil buah pada umur 3,5
tahun hanya sekitar 3,69 – 4,6 % buah per pohon per semester.
DAFTAR PUSTAKA
de Foresta H. dan G. Michon. 1992. Agroforest: Contoh-contoh dari Indonesia.
(Terjemahan oleh R. Budiman). ORSTOM-ICRAF. Bogor.
Departemen Kehutanan. 1992. Manual Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta.
Ferry Y. dan Syamsudin. 2014. Keragaan awal tanaman karet rakyat dan penerapan
teknologi budidayanya di Kabupaten Karimun. 2(2):101-112.
Karyudi. 2000. Peranan perkebunan karet untuk mengurangi panas bumi dan
implikasinya terhadap carbon trading. Warta Pusat Penelitian Karet. 19 (1-
3):1-10.
Noordwijk M.V., Agus F., Hairiah K., Pasya G., Verbist B. dan Farida. 2004.
Peranan Agroforestri dalam mempertahankan fungsi hidrologi daerah aliran
sungai (DAS). J. Agrivita .26(1): 1-8.
Olivi R., Qurniati R., dan Firdasari. 2015. Kontribusi agroforestri terhadap
pendapatan petani Desa Sukoharjo Kecamatan Sukoharjo Kabupaten
Pringsewu. Jurnal Sylva Lestari. 3 (2): 1-12.
Siagian N. 2002. Pertumbuhan tanaman karet pada masa remaja pada berbagai
system tanam populasi tinggi. Jurnal Penelitian Karet. 20(1-3): 56-71.
Suharjito D., Sundawati L., Suyanto dan Utami S.R. 2003. Aspek Sosial Ekonomi
dan Budaya Agroforestri. World Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor.
Triwanto J., Syariffudin A., Muttaqin T. 2012. Aplikasi agroforestri di Desa
Mentraman Kecamatan Donomulyo Kabupaten Malang. Dedikasi 9 (1):
13 – 21.
Yuyun Y. 2015. Potensi agroforestri untuk meningkatkan pendapatan,
kemandirian bangsa dan perbaikan lingkungan. Prosiding Seminar
Nasional Agroforestri. 1 – 21.

Anda mungkin juga menyukai