Anda di halaman 1dari 20

BAB II

SADZ ADZ-DZARI'AH SEBAGAI METODE IJTIHAD

A. Sekilas Tentang Ijtihad

1. Pengertian Ijtihad

Menurut bahasa, kata "ijtihad" yang mengikuti wazan "ifti'al"

diderivasi dari kata "jahd" (huruf jimnya dibaca fathah), dan kata "juhd"

(huruf jimnya dibaca dhammah). Kata "jahd dan juhd" merupakan bentuk

"masdar" (bentuk ketiga dari deklinasi fi'il), yang berasal dari akar kata

"jahada-yajhadu". Kata "jahd" dan "juhd" mempunyai arti "taqah"

(kemampuan, kekuatan). Ada juga yang membedakan makna keduanya;

yaitu, "jahd" berarti "masyaqqah" (kesulitan, kesukaran), sedangkan "juhd"

mempunyai arti "taqah". Ibnu al-Asir berkata, kata "jahd" berarti

masyaqah, ada juga yang mengartikannya dengan mubalaghah (sungguh-

sungguh) dan ghayah (maksimum, klimaks). Sedangkan kata "juhd" berarti

"wus'u" (kemampuan, kekuatan, kesanggupan), dan "taqah". Namun, ada

yang berpendapat bahwa baik kata "jahd" maupun "juhd" mempunyai arti

"wus'u", dan "taqah". Apabila diartikan dengan masyaqah dan ghayah,

maka huruf jimnya harus dibaca fatah (jahd). Dari beberapa arti etimologi

kata jahd dan juhd, Ibnu Manzur (w. 711/1311) mengartikan kata ijtihad

dan tajahud dengan: Bazl al wus'i wa al majhud (pencurahan segtala

kemampuan, kekuatan, dan kesanggupan). Kata ijtihad mengikuti wazan

ifti'al, hasil derifasi dari kata jahd, yang berarti taqah. Dengan mengacu

10
11

pada hadits Mu'az (ajtahidu ra'yi), maka kalimat ijtahada ra'yi al ijtihad

mempunyai arti mencurahkan kemampuan untuk mencari sesuatu.

Maksudnya, seorang hakim dalam memutuskan perkara yang dihadapinya

itu mengacu qiyas yang mengacu pada alkitab dan Sunnah, bukan

berdasarkan pendapat pribadi, yang terlepas dari keduanya.1

Dari beberapa arti tersebut dapat diartikan bahwa ijtihad secara

etimologis adalah suatu kemampuan, kesanggupan, dan kerja keras untuk

mendapatkan sesuatu. Pernyataan ini menunjukkan adanya pekerjaan yang

sangat sulit dan berat untuk dilakukan. Al-Ghazali (w. 505/1111)

menyatakan, bahwa kata ijtihad hanya dapat dipakai dalam konteks

perbuatan yang didalamnya mengandung kesulitan, dan hal yang berat.

Karena itu, dapat dibenarkan bila dikatakan ijtahada fi haml hajar al raha

(seseorang berusaha keras untuk membawa batu penggiling). Namun tidak

bisa dibenarkan bila dikatakan ijtihada fi haml khardalah (seseorang

berusaha keras membawa biji-bijian). Senada dengan al Ghazali, al Razi (

w. 606/1209) juga mengemukakan arti etimologi ijtihad. Menurutnya, kata

ijtihad hanya dapat dihubungkan dengan seseuatu yang berat. Sehingga

dikatakan, istafragha wus'ahu fi haml al syakil (seseorang berdaya upaya

membawa sesuatu yang berat), dan tidak benar bila dikatakan, istafragha

wus'ahu fi haml al nawa (seseorang mencurahkan kemampuannya untuk

1
Ibnu Mandzur, Lisan al-Arabi, Juz IV, Mesir, Dar al-Misriyah, tt. hlm. 107-109
12

membawa biji-bijian). Dalam pengertian seperti inilah, kata ijtihad dan

yang semusytaq dengannya dipakai dalam hadits Nabi.2

Adapun pengertian ijtihad secara terminologis menurut M. Hasbi

as-Syiddiqy adalah mencurahkan segala kemampuan secara sungguh-

sungguh dalam mengistimbathkan hukum syar’i dari dalil syara’ (bazlul

juhdi li tahsili hukmin syar’iyyin).3 Dia juga mendefinisikan ijtihad

dengan menggunakan segala kemampuan untuk mencari hukum syara’

dengan jalan dzan (istifraghil wus’I li tahsili hukmin syar’iyyin bi

thariqidzdznni).4

Dalam definisi yang pertama M. Hasbi As-Syiddiqy menggunakan

kata bazl. Definisi ini tampaknya diambil dari pendapat al-Ghazali yang

juga memakami kata Bazl dalam mendefinisikan ijtihad. Menurutnya,

ijtihad dalam termininologi fuqaha adalah: Bazl al Mujtahid Wus ahu fi

talab al ilm bi al ahkam al syar'iyyah (pencurahan segala kemampuan oleh

seorang mujtahid untuk mencari pengetahuan tentang hukum-hukum

syara'). Pemakaian kata Bazl yang digunakan al-Ghazali, diikuti oleh

ushuliyun lainnya. Misalnya, Ibnu Qudamah, Al Zarkasih, Al Kamal bin

Al-Humam, Muhibbullah bin Abd. Al Syakur, Abd. Al Hamid bin

Muhammad Ali Quds, Abi Abdillah Muhammad bin Muhammad al Ra'ini,

dan lain-lainnya.

2
M. Fauzi, “Pembaharuan Ruang Lingkup dan Syarat-syarat Ijtihad”, dalam DEkontruksi
dan Rekonstruksi Hukum Islam, Yogyakarta: Gama Media, 2002, hlm. 176
3
M. Hasbi As-Syidiqy, Pengantar Hukum Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1996,
hlm. 51
4
M. Hasbi As-Syidiqy, Pengantar Ilmu Fiqih, Jakarta: Bulan Bintang, 1991, hlm 192
13

Sedangkan dalam definisi kedua, M. Hasbi As-Syiddiqy

nampaknya menggunakan pendapat para ushuliyin yang memilih kata

istifragh dalam mendefinisikan ijtihad. Ulama-ulama tersebut adalah al

Razi (w.606/1209), al Amidi (w.631/1233), al Baidhawi (w.685/1286).

Berdasarkan penelitian terhadap berbagai macam definisi ijtihad,

Syarif al Imari lebih setuju dengan definisi ijtihad yang dikemukakan oleh

Ibn al-Humam dengan catatan menghilangkan kata faqih, sehingga definisi

ijtihad menurutnya adalah, mencurahkan kemampuan untuk

mengahasilkan hukum syara', baik yang aqli maupun naqli, qat'i maupun

zanni. Definisi semacam ini lebih menunjukkan kejelasan, dan lebih

umum. Karena, disamping dapat mencakup ijtihad terhadap yang qat'I dan

lainnya, juga memasukkan ijtihad kolektif dan individual, dan lebih dapat

diterima dibanding definisi-definisi yang lain.5

2. Syarat-syarat Ijtihad

Dalam melakukan ijtihad tidak bias dilakukan oleh setiap orang.

Dalam hal ini harus dipenuhi kualifikasi tertentu sehingga mampu

melakukan ijtihad dengan baik dan tidak asal-asalan dengan membuat-buat

hukum (tahakkum). Untuk menghindari agar proses ijtihad tidak dilakukan

asal-asalan maka para ulama menetapkan beberapa syarat isjtihad yang

harus dipenuhi. Dalam hal ini M. Hasbi As-Syidiqy menjelaskan beberapa

syarat yang harus dipenuhi yakni:

5
Lihat M. Fauzi, Op. Cit., hlm. 177
14

a. Mengetahui ayat-ayat dan hadits-hadits hukum

b. Mengetahui masalah-masalah yang telah dijma’kan oleh para ahlinya

c. Mengetahui nasikh mansukh

d. Mengetahui dengan sempurna bahasa Arab dan ilmu-ilmunya

e. Mengetahui Ushul Fiqh/Kaidah fiqhiyyah

f. Mengetahui rahasia-rahasia tasyri’6

Syarat mengetahui ushul fiqih merupakan salah satu dari metode

ijtihad yang nantinya akan digunakan untuk mengkaji dan menganalisis

Kompilasi Hukum Islam, khususnya aplikasi metode sadz adz-dzari’ah.

Dalam kajian ushul fiqh, banyak sekali metode yang dapat digunakan

dalam melakukan istimbath hukum sebagai bagian dari kegiatan ijtihad

yakni, qiyas, maslahat mursalah, istihsan, istishab, al-‘adah, al-‘urf, sadz

adz-dzari’ah dan lainnya. Masing-masing dari metode ijtihad tersebut

lengkap dengan pengertian, kehujjahannya dan aplikasi konkrit dalam

melakukan istimbat. Namun kaitannya dengan penelitian ini hanya akan

dielaborasi tentang sadz adz-dzari’ah.

3. Macam-macam Ijtihad

Menurut Prof. Tengku M. Hasbi As-Syiddiqy, macam-macam

ijtihad adalah:7

a. Ijtihad dalam merumuskan hukum yang dikehendaki oleh nash yang

bersifat dzanniyutstsubut maupun dzanniyuddalalah. Dalam hal ini

6
M. Hasby As-Syiddiqy, Pengantar Hukum Islam,Op. Cit., hlm.96-98
7
M. Hasby As-Syiddiqy, Pengantar Ilmu Fiqih, Jakarta: Bulan Bintang, 1991, hlm. 192-
193
15

ijtihad dilakukan dalam batas memahami nash dan mentarjihnya

sebagian atas yang lain, seperti mengetahui sanad nash dan jalannya.

b. Ijtihad dalam merumuskan hukum yang tidak ada nash qathi, nash

dzanni dan tidak ada ijma’. Dalam hal ini ijtihad diperoleh dengan

berpegang pada tanda-tanda dan wasilah-wasilah yang telah diletakkan

oleh syara’ seperti qiyas dan istihsan. Inilah yang disebut ijtihad bir

ra’yi.

c. Ijtihad untuk memperoleh hukum syara’ dengan jalan menerapkan

kaidah-kaidah kulliyah. Ijtihad ini berlaku dalam bidang yang mungkin

diambil dari kaidah-kaidah dan nash-nash yang kulliyah, tidak ada

nash tertentu, dan tidak pula ditetapkan dengan qiyas maupun istihsan.

Hal ini sebenranya kembali kepada mendatangkan kemaslahatan dan

menolak kemafsadatanb, sesuai dengan kaidah-kaidah syara’.

Adapun mengenai jumlah orang yang melakukan, ijtihad dapat

dibedakan menjadi dua yakni ijtihad fardi dan ijtihad jama’i. Ijtihad fardli

dilakukan secara individual oleh satu orang yang menguasai kualifikasi

ijtihad dan mumpuni keintelektualannya. Salah satu contohnya adalah

ijtihad yang dilakukan oleh para imam mazhab. Sedangkan ijtihad jama’i

adalah ijtihad yang dilakukan oleh beberapa orang yang mempunyai

banyak keahlian yang beragam baik mengenai fiqih, tafsir, ushul fiqh,

kaidah fiqhiyyah, hadits, bahasa Arab, maupun para ahli lain di luar

wilayah ilmu-ilmu keagamaan yang sengaja diundang untuk menjelaskan

masalah yang akan dikaji secara detail. Misalnya ahli bidang kedokteran,
16

makanan, gizi, sosial, hukum, dan politik. Ijtihad model ini saat ini

seringkali dikemandangkan dalam menjawab persoalan hukum Islam

kontemporer.

B. Sadz Adz-dzari’ah Sebagai Metode Ijtihad

1. Pengertian Sadz Adz-Dzari’ah

Secara etimologi, dzariah ( ‫ ) ﺍﻟﺩﺭﻴﻌـﺔ‬berarti jalan yang menuju pada

sesuatu. Ada juga yang mengkhususkan pengertian dzari’ah dengan sesuatu

yang membawa kepada yang dilarang dan mengandung kemudharatan.

Akan tetapi, Ibn Qayyim al-Jauziyah (691-751 H/ 1292-1350 M/ahli fiqh

Hanbali), mengatakan bahwa pembatasan pengertian dzari’ah kepada

sesuatu yang dilarang saja tidak tepat, karena ada juga dzariah yang

bertujuan kepada yang dianjurkan. Oleh sebab itu, menurutnya, pengertian

dzari’ah lebih baik dikemukakan yang bersifat umum sehingga dzari’ah

mengandung dua pengertian, yaitu yang dilarang, disebut dengan sadd al-

dzari’ah dan yang dituntut untuk dilaksanakan, disebut fath al-dzariah.8

Sesuai dengan pembahasan penelitian ini maka akan difokuskan pada sadz

adz-dzariah.

Ada beberapa definisi sadz adzari’ah yakni:

1. M. Hasbi as-Syidiqy mendefinisikan bahwa sadz adz-dzariah adalah

mencegah sesuatu yang menjadi jalan kerusakan untuk menolak

8
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, I'lam al-Muwaqqi'in, Beirut: Dar al-Fikr, tt.
17

kerusakan atau menyumbat jalan yang menyampaikan seseorang kepada

kerusakan.9

2. As-Syatibi mendefinisikan dzari’ah dengan:

‫ﺍﻟﺘﻮﺳﻞ ﲟﺎ ﻫﻮ ﻣﺼﻠﺤﺔ ﺇﱃ ﻣﻔﺴﺪﺓ‬


Artinya: “Suatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan
untuk menuju kepada suatu kemafsadatan”. 10

Maksudnya adalah seseorang melakukan suatu pekerjaan yang

pada dasarnya dibolehkan karena mengandung suatu kemaslahatan, tetapi

tujuan yang akan ia capai berakhir pada suatu kemafsadatan.

Dengan definisi ini asy-Syatibi mencontohkan tentang kasus

zakat. Sebelum waktu haul (batas waktu penghitungan zakat) datang,

seseorang yang memiliki sejumlah harta yang wajib dizakatkan,

menghibahkan kepada anaknya sehingga berkurang nisab harta itu dan ia

terhindar dari kewajiban zakat.

Pada dasarnya menghibahkan harta kepada anak atau orang lain

dianjurkan oleh syara', karena perbuatan ini merupakan salah satu akad

tolong menolong. Akan tetapi, karena tujuan hibah yang dilakukan itu

adalah untuk menghindari kewajiban yaitu membayar zakat maka

perbuatan ini dilarang. Larangan ini didasarkan pemikiran bahwa hibah

yang hukumnya sunnah menggugurkan zakat yang hukumnya wajib.

Asy-Syatibi mengemukakan tiga syarat yang harus dipenuhi,

sehingga suatu perbuatan itu dilarang, yaitu :

9
M. Hasbi As-Syiddiqy, Pengantar Hukum islam, Op. Cit., hlm. 220
10
As-Syitibi, al-I'tisham, Beirut: Dar al-Fikr, tt.
18

a) Perbuatan yang boleh dilakukan itu membawa kepada kemafsadatan,

b) Kemafsadatan lebih kuat dari kemasalahatan pekerjaan, dan

c) Dalam melakukan perbuatan yang dibolehkan unsur kemafsadatanya

lebih banyak.11

2. Macam-macam Dzari’ah

Ada dua pembagian dzariah yang dikemukakan para ulama ushul

fiqh. Dzaraiah dilihat dari segi kualitas kemafsadatannya dan dzariah

dilihat dari segi jenis kemafsadatannya.

a) Dzari’ah dilihat dari segi kualitas kemafsadatanya

Asy-Syatibi mengemukakan bahwa dari segi kualitas

kemafsadatannya, dzariah terbagi kepada empat macam:

1) Perbuatan yang dilakukan itu membawa kepada kemafsadatan

secara pasti (qat'iy). Misalnya, seseorang menggali sumur di depan

pintu rumah orang lain pada malam hari dan pemilik rumah tidak

mengetahuinya. Bentuk kemafsadatan perbuatan ini dapat

dipastikan, yaitu terjatuhnya pemilik rumah kedalam sumur

tersebut; dan itu dapat dipastikan, karena pemilik rumah tidak

mengetahui adanya sumur didepan rumahnya. Perbuatan seperti ini

dilarang dan jika ternyata pemilik rumah jatuh ke sumur tersebut

maka pengali lubang dikenakan hukum, karena perbuatan itu

dilakukan dengan sengaja untuk mencelakakan orang lain.

11
Harun Nasroen, Ushul Fiqih, Jakarta: Logos, 1997, hlm. 189
19

2) Perbuatan itu boleh dilakukan, karena jarang membawa pada

kemafsadatan. Misalnya menggali sumur di tempat yang biasanya

tidak memberi mudharat atau menjual sejenis makan yang biasanya

tidak memberi mudharat kepada orang yang memakannya.

Perbuatan ini tetap pada hukum asalnya, yaitu mubah, karena yang

dilarang itu adalah apabila diduga keras bahwa perbuatan itu

membawa kepada kemafsadatan. Sedang dalam kasus ini, jarang

sekali terjadi kemafsadatan.

3) Perbuatan yang dilakukan itu biasanya atau besar kemungkinan

membawa kepada kemafsadatan. Misalnya, menjual senjata kepada

musuh atau menjual anggur kepada produsen minuman keras.

Menjual senjata kepada musuh, sangat mungkin senjata itu akan

digunakan untuk berperang, atau paling tidak digunakan untuk

membunuh. Perbuatan seperti ini dilarang, karena dugaan keras

(zhann al-ghalib) bahwa perbuatan itu membawa kepada

kemafsadatan, sehingga dapat dijadikan patokan dalam

menetapkan larangan terhadap perbuatan itu.

4) Perbuatan itu pada dasaranya boleh dilakukan karena mengandung

kemaslahatan, tetapi memungkinkan juga perbuatan itu membawa

kepada kemafsadatan. Misalnya, kasus jual beli yang disebut bai’

al-ajal di atas. Jual beli seperti itu cenderung berimplikasi kepada

riba. 12

12
As-Syatibi, , Op. Cit., hlm.
20

Apabila pandangan hanya ditujukan kepada patokan dasar jual beli,

maka jual beli seperti itu boleh, karena rukun dan syaratnya terpenuhi.

Pandangan seperti ini muncul dari Imam Syafi'i dan Imam Abu Hanifah,

karena menurut mereka, jika bertolak dari dugaan belaka (zhann a-l

mujarad) dalam kasus seperti ini, maka tidak dapat dijadikan dasar

keharaman bai’ al-ajal tersebut.

Apabila pandangan ditujukan kepada akibat dari perbuatan (jual

beli) itu, yang lebih cenderung kepada riba, maka perbuatan itu dilarang.

Pandangan terakhir ini dianut oleh Imam Malik dan Imam Ahmad bin

Hanbal.

Oleh sebab itu, menurut As-Syatibi, dalam menentukan hukum

bentuk yang keempat di atas terdapat perbedaan pendapat. Ulama

Hanafiyah dan Syafi'iyyah mengatakan bahwa dzari’ah dalam bentuk yang

keempat tidak dilarang, karena terjadinya kemafsadatan masih bersifat

kemungkinan membawa kemafsadatan atau tidak. Oleh sebab itu, dugaan

seperti ini tidak bisa membuat perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan

menjadi dilarang, kecuali apabila kemafsadatan itu diyakini atau diduga

keras akan terjadi. Dalam kasus bai’ al-ajal di atas, secara hukum, pembeli

telah membeli barang seharga seribu rupiah secara kredit. Jual beli ini sah.

Kemudian, pembeli menjual kembali barangnya itu, secara kebetulan

kepada penjual semula seharga lima ratus rupiah. Ini pun sah. Tidak bisa
21

dikatakan bahwa diantara keduanya ada niat untuk menghalalkan riba,

karena hal ini baru bersifat dugaan semata.13

Akan tetapi, ulama Malikiyah dan Hanafiyah berpendapat bahwa

jual beli seperti itu termasuk dalam perbuatan yang membawa kepada

kemafsadatan. Oleh sebab itu, akad seperti itu dilarang, karena bagi

mereka yang dijadikan patokan boleh atau tidaknya transaksi tidak hanya

dilihat dari segi niat saja, tetapi dari segi akibat yang ditimbulkan dari

perbuatan tersebut. Dilihat dari segi niat, jual beli tersebut memang sulit

diduga bertujuan untuk menghalalkan riba. Akan tetapi, dari segi akibat

yang ditimbulkannya, maka secara umum diduga keras membawa kepada

kemafsadatan. Dari sisi inilah ulama Malikiyah dan Hanifiyyah, jual beli

seperti itu dilarang.

Ada tiga alasan yang dikemukakan oleh Imam Malik dan Imam

Ahmad ibn Hanbal dalam mendukung pendapatnya,yaitu:

1. Dalam bai’ al-ajal perlu dipertimbangkan tujuan yang membawa

kepada riba, sekalipun sifatnya ghilbah al zhan (dugaan berat), karena

dalam banyak kasus syar'iy sendiri sering mengisyaratkan penentuan

hukum atas dasar ghilbah al dzan. Disamping itu syara' juga senantiasa

menekankan akan perlunya bersikap ihtiyath (waspada) dalam

beramal. Tujuan yang diduga membawa kepada sesuatu kemafsadatan,

menurut mereka bisa dijadikan dasar untuk melarang bai' al ajal,

karena:

13
Ibid.,
22

‫ﺩﻓﻊ ﺍﳌﻔﺎﺳﺪ ﻣﻘﺪﻡ ﻋﻠﻰ ﺟﻠﺐ ﺍﳌﺼﺎﱀ‬


Artinya : “Menolak segala bentuk kemafsadatan lebih didahulukan
daripada mengambil kemaslahatan.” 14

2. Dalam bai’ al ajal terdapat dua dasar yang bertentangan, yaitu bahwa

jual beli pada dasarnya dibolehkan, selama rukun dan syaratnya

terpenuhi dan bahwa seseorang harus terhindar dari segala bentuk

kemudharatan. Dalam hubungan hal ini Imam Malik dan Imam Ahmad

ibn Hanbal, menguatkan prinsip pemeliharaan kemaslahatan orang lain

dari kemudaratan, sedangkan bai' al ajal jelas-jelas membawa

kemafsadatan. Karenanya, bai' al ajal dilarang sejalan dengan prinsip

syad adz-dzariah.

3. Banyak sekali nash yang menunjukan dilarangnya perbuatan-

perbuatan yang membawa pada kemafsadatan, sekalipun pada

dasarnya perbuatan itu semula diizinkan (ma'dzun). Misalnya larangan

berkholwat antara seorang lelaki dengan seorang wanita yang bukan

muhrim dan wanita dilarang bepergian lebih dari tiga hari tanpa

muhrim (HR. Bukhari Muslim dan Ahmad Ibn Hanbal). Dalam kasus

seperti ini terjadinya fitnah masih dalam status dugaan (dzan), tetapi

Rasulullah melarangnya. Rasulullah SAW juga melarang mengawini

wanita sekaligus mengawini saudaranya atau tantenya, karena

perbuatan ini bisa memutus hubungan kekerabatan antara keduanya

(HR. Al Thabrani dan Abu Dawud dar Ibn Abbas). Rasulullah juga

14
As-Suyuthi, Asbah wan Nadlair, Semarang: Toha Putra, tt
23

melarang meminang wanita yang masih ber’iddah, sehingga wanita itu

tidak menyembunyikan keadaannya yang sebenarnya (HR. Ahmad ibn

Hanbal, Muslim, al Nasai, al Tirmidzi, Ibn Majah dan Abu Dawud,

dari Fatimah binti Qois). Dalam kasus inipun, sikap permusuhan yang

akan mengakibatkan putusnya hubungan kekerabatan masih dalam

kasus dugaan tetapi Rasulullah melarangnya.15

b) Dzari'ah dari Segi Jenis Kemafsadatan yang ditimbulkannya

Dengan memperhatikan asal dari dzari’ah dan efek perbuatan

yang ditimbulkannya, Ibn Qayyim al Jauziah, dzari'ah merinci dzariah

menjadi empat macam:

1. Dzari’ah yang membawa kerusakan secara pasti.

2. Dzariah yang diperbolehkan menurut asalnya dan orang mukallaf

yang melakukannya tidak ada niat selain menurut pengertian yang

asli, dan perbuatan tersebut dapat membawa kepada kerusakan,

akan tetapi kemaslahatan yang terdapat di dalamnya lebih kuat

daripada kerusakannya.

3. Dzari’ah yang diperbolehkan menurut asalnya dan orang mukallaf

yang melakukannya tidak ada niat selain menurut pengertiannya

yang asli, akan tetapi dapat membawa kepada kerusakan yang lebih

berat.

15
Harun Nasroen, Op. Cit., hlm. 198
24

4. Dzari’ah yang menurut asalnya diperbolehkan, akan tetapi orang

mengerjakannya bermaksud menggunakannya sebagai media

kepada kemafsadatan. 16

C. Kehujjahan Sadz adz-Dzari’ah

Terdapat perbedaan pendapat ulama terhadap keberadaan syad adz-

dzari'ah sebagai dalil dalam menetapkan hukum syara'. Ulama Malikiyah dan

ulama Hanabilah menyatakan bahwa syad adz-dzari'ah dapat diterima sebagai

salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara'.

Alasan yang mereka kemukakan adalah firman Allah dalam surat al

An'am, 6 : 108 :

‫ﻭﻻ ﺗﺴﺒﻮﺍ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻳﺪﻋﻮﻥ ﻣﻦ ﺩﻭﻥ ﺍﷲ ﻓﻴﺴﺒﻮﺍ ﺍﷲ ﻋﺪﻭﺍ ﺑﻐﲑﻋﻠﻢ‬


Artinya: “Dan jangan kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selai
Allah, karena nanti mereka akan memaki Allah dengan tanpa batas
tanpa pengetahuan.”17

Dalam ayat ini Allah melarang kaum muslimin memaki-maki orang-

orang musyrikin atau tuhan yang mereka sembah. Karena perbuatan ini akan

menyebabkan mereka membalas memaki-maki Allah SWT.18

Alasan lain yang dikemukakan ulama Malikiyah dan Hanbaliyah

adalah hadits Rasulullah SAW; diantaranya adalah :

16
Ibnu Qoyyim al-Jauziyah, Op. Cit.,
17
Team Penerjemah Alqur'an, Al-Qur'an dan Terjemahannya, Jakarta: Departemen
Agama, 1995.
18
Ibid., hlm. 348
25

‫ ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﻛﻴﻒ ﻳﻠﻌﻦ ﺍﻟﺮﺟﻞ‬: ‫ ﻗﻴﻞ‬,‫ﺇﻥ ﻣﻦ ﺃﻛﱪ ﺍﻟﻜﺒﺎﺋﺮ ﺃﻥ ﻳﻠﻌﻦ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﻭﺍﻟﺪﻳﻪ‬

‫ ﻭﻳﺴﺐ ﺃﻣﻪ ﻓﻴﺴﺐ ﺃﻣﻪ‬,‫ ﻳﺴﺐ ﺃﺑﺎ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﻓﻴﺴﺐ ﺃﺑﺎﻩ‬: ‫ﻭﺍﻟﺪﻳﻪ؟ ﻗﺎﻝ‬
Artinya:“Sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang
melaknak kedua orang tuanya. Lalu Rasulullah ditanya orang,
wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seseorang melaknat kedua
ibu bapaknya ? Rasulullah menjawab : seseorang mencaci maki
ayah orang lain, maka ayahnya juga dicaci maki orang itu, dan
seseorang mencaci maki ibu orang lain, maka ibunya juga akan
dicaci maki oleh orang itu.” ( HR. Bukhari, Muslim dan Abu
Dawud).19

Dalam kasus lain Rasulullah SAW melarang memberi pembagian harta

warisan kepada anak yang membunuh anaknya (HR. al Bukhari dan Muslim),

untuk menghambat terjadinya pembunuhan orang tua oleh anak-anak yang

ingin segera mendapatkan harta warisan.

Ulama Hanafiyah, Syafi'iyah dan Syi'ah, dapat menerima syad adz-

dzari'ah sebagai dalil dalam masalah-masalah tertentu dan menolaknya dalam

kasus-kasus lain. Imam al Syafi'I membolehkan seseorang yang karena udzur

seperti sakit dan musafir untuk meninggalkan shalat jum'at dan menggantinya

dengan shalat dhuhur. Akan tetapi, menurutnya, ia secara tersembunyi dan

diam-diam mengerjakan shalat dhuhur tersebut, agar tidak dituduh sengaja

meninggalkan shalat jum'at. Demikian juga dalam masalah puasa. Orang yang

tidak berpuasa karena udzur agar tidak makan dihadapan orang-orang yang

tidak mengetahui udzurnya, sehingga ia terhindar dari fitnah. Contoh lain

adalah, Imam Syafi'i mengatakan bahwa seseorang yang membunuh tidak

19
Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Singapura: Sulaiman Mar'I, tt.
26

berhak mendapatkan harta dari orang yang ia bunuh, karena apabila ia diberi

harta warisan, maka anak akan berusaha membunuh ayahnya agar ia segera

mendapatkan bagian warisan.20 Contoh-contoh ini, difatwakan Imam Syafi'i

berdasarkan prinsip sadz adz-dzari'ah.

Ulama Hanafiyah juga menggunakan kaidah sadz adz-dzari'ah dalam

berbagai kasus hukum. Misalnya, mereka mengatakan bahwa orang yang

melaksanakan puasa yaum al syak (akhir bulan sya'ban yang diragukan apakah

telah masuk bulan ramadhan atau belum), sebaiknya dilakukan dilakukan

secara diam-diam, apalagi kalau ia adalah seorang mufti, sehingga ia tidak

dituduh melakukan puasa pada yaum al syak tersebut, sedangkan Rasulullah

SAW mengatakan,

‫ﻣﻦ ﺻﺎﻡ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﺸﻚ ﻓﻘﺪ ﻋﺼﻰ ﺃﺑﺎ ﺍﻟﻘﺎﺳﻢ‬


Artinya : “Siapa yang puasa pada yaum al syak, maka ia telah ingkar kepada
aba al qasim”21 (Rasulullah SAW). ( HR. al Bukhari).

Ulama Hanafiyah juga tidak menerima pengakuan (ikrar) orang yang

dalam keadaan mardh al maut (sakit atau keadaan yang membawa seseorang

kepada kematian), karena diduga pengakuannya ini akan berakibat pembatalan

terhadap hak orang lain dalam menerima warisan. Misalnya, orang yang

mardh al maut itu mengaku berhutang kepada orang lain yang meliputi

seluruh atau sebagian hartanya. Dalam kasus ini, ulama Hanafiyah menduga

bahwa pengakuan ini hanya akan membatalkan hak ahli waris terhadap harta

tersebut. Oleh sebab itu, pengakuan ini, menurut mereka tidak sah.
20
Harun Nasroen, Op. Cit., hlm. 192
21
Imam Bukhari, Op. Cit., Juz I hlm. 327
27

Husain Hamid Hasan (guru besar ushul Fiqh di fakultas hukum

Universitas Cairo, Mesir), mengatakan ulama Hanafiyah dan ulama Syafi'iyah

dapat menerima kaidah sadz adz-dzari'ah apabila kemafsadatan yang akan

muncul itu dapat dipastikan terjadi atau sekurang-kurangnya diduga keras

(ghilbah al- zhann) akan terjadi.

Ada dua sisi cara memandang dzari'ah yang dikemukakan para ulam

ushul fiqh, yaitu:

1. Dari sisi motifasi yang mendorong melakukan suatu pekerjaan, baik

bertujuan untuk yang halal atau yang haram. Seperti seseorang yang

menikahi seseorang wanita yang telah dicerai suaminya sebanyak tiga kali

dengan tujuan agar wanita ini boleh dikawini kembali oleh suami

pertamanya. Nikah seperti ini oleh ahli fiqh disebut nikah al tahlil. Pada

dasarnya nikah dianjurkan Islam, tetapi motifasinya mengandung tujuan

yang tidak sejalan dengan tujuan Islam, maka nikah seperti dilarang.

2. Dari sisi akibat seseorang yang membawa dampak negatif. Misalnya,

seorang muslim yang mencaci sesembahan orang kaum musyrik. Niatnya

mungkin untuk menunjukkan kebenarnya kaidahnya menyembah Allah

yang Maha Benar. Tetapi, akibat caciannya ini bisa membawa dampak

yang lebih buruk lagi, yaitu munculnya cacian yang serupa atau lebih dari

mereka terhadap Allah. Karenanya perbuatan ini dilarang.

3. Terjadinya perbedaan pendapat antara Malikiyah dengan Hanabilah disatu

pihak Hanafiyah dan Syafi'iyah dipihak lain berhujjah dengan syad adz-

dzari'ah, adalah disebabkan perbedaan pandangan tentang niat dan lafal


28

masalah transaksi (akad). Ulama Hanafiyah dan Syafi'iyah mengatakan

bahwa dalam suatu transaksi yang dilakukan adalah akadnya, bukan niat

dari orang yang melakukan akad. Apabila akad yang disepakati dua orang

telah memenuhi rukun dan syarat, maka akad itu sah. Adapun masalah niat

yang tersembunyi dalam akad diserahkan sepenuhnya kepada Allah.

Mereka mengatakan bahwa, selama tidak ada indikasi menununjukan niat

dari pelaku, maka berlaku kaidah :

‫ﺍﳌﻌﺘﱪ ﰲ ﺃﻭﺍﻣﺮ ﺍﷲ ﺍﳌﻌﲎ ﻭﺍﳌﻌﺘﱪ ﰲ ﺃﻣﻮﺭ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩ ﺍﻻﺳﻢ ﻭﺍﻟﻠﻔﻆ‬


Artinya : “Patokan dasar dalam hal-hal yang berkaitan denga hak Allah
adalah niat, sedangkan yang berkaitan dengan hak-hak hamba
(manusia) adalah lafalnya”.22

Akan tetapi, jika tujuan orang yang berakad itu dapat ditangkap

dengan jelas ataua diketahui dengan beberapa indikator yang ada, maka

ketika itu berlaku kaidah:

‫ﺍﻟﻌﱪﺓ ﺑﺎﳌﻌﺎﱐ ﻻ ﺑﺎﻷﻟﻔﺎﻅ ﻭ ﺍﳌﺒﺎﱐ‬


Artinya : “Yang menjadi patokan dasar adalah makna/ niat, bukan lafal
dan bentuk.23

Ulama Malikiyah dan Hanabilah mengatakan untuk mengukur sah

atau tidaknya suatu pekerjaan adalah : niat, tujuan dan akibat dari

pekerjaan itu sendiri. Ibn Qayyim al-Jauziah mengatakan, apabila niat

sejalan dengan perilaku, maka akad itu sah. Apabila tujuan orang itu tidak

sesuai dengan semestinya, tetapi tidak ada indikasi yang menunjukkan


22
Abu Zahrah, Ushul Fiqih, Beirut: Dar al-Fikr, tt
23
Ibid.
29

bahwa niatnya sesuai dengan tujuan tersebut, maka dianggap sah, tetapi

antara pelaku dengan Allah tetap ada perhitungan, karena Allah yang

mengetahui niatnya. Apabila ada beberapa indikator yang dapat

menunujukan niatnya dan niat itu tidak bertentangan dengan tujuan syara',

maka akadnya sah. Namun apabila niatnya bertentangan dengan kehendak

syara' maka perbuatan itu fasid (rusak) dan tidak ada efek hukumnya.24

Dengan demikian, menurut Wahbah al-Zuhaili, Malikiyah dan

Hanabilah dalam menilai perbuatan seseorang berpegang pada tujuan dan

akibat hukum dari perbuatan itu, sedangkan Hanabilah dan Syafi'iyah

berpegang pada bentuk akad dan perbuatan yang dilakukan.

Ulama Zahiriyah tidak menerima sadz adz-dzari'ah sebagai salah

satu dalil yang menetapkan hukum syara'. Penolakan ini sesuai dengan

prinsip mereka yang hanya beramal dengan berdasarkan nash secara

harfiyah dan tidak menerima campur tangan logika dalam masalah

hukum.25

24
Harun Nasroen, Op. Cit., hlm. 193
25
Ibid.,

Anda mungkin juga menyukai