1. Pengertian Ijtihad
diderivasi dari kata "jahd" (huruf jimnya dibaca fathah), dan kata "juhd"
(huruf jimnya dibaca dhammah). Kata "jahd dan juhd" merupakan bentuk
"masdar" (bentuk ketiga dari deklinasi fi'il), yang berasal dari akar kata
yang berpendapat bahwa baik kata "jahd" maupun "juhd" mempunyai arti
maka huruf jimnya harus dibaca fatah (jahd). Dari beberapa arti etimologi
kata jahd dan juhd, Ibnu Manzur (w. 711/1311) mengartikan kata ijtihad
ifti'al, hasil derifasi dari kata jahd, yang berarti taqah. Dengan mengacu
10
11
pada hadits Mu'az (ajtahidu ra'yi), maka kalimat ijtahada ra'yi al ijtihad
itu mengacu qiyas yang mengacu pada alkitab dan Sunnah, bukan
Karena itu, dapat dibenarkan bila dikatakan ijtahada fi haml hajar al raha
membawa sesuatu yang berat), dan tidak benar bila dikatakan, istafragha
1
Ibnu Mandzur, Lisan al-Arabi, Juz IV, Mesir, Dar al-Misriyah, tt. hlm. 107-109
12
thariqidzdznni).4
kata bazl. Definisi ini tampaknya diambil dari pendapat al-Ghazali yang
dan lain-lainnya.
2
M. Fauzi, “Pembaharuan Ruang Lingkup dan Syarat-syarat Ijtihad”, dalam DEkontruksi
dan Rekonstruksi Hukum Islam, Yogyakarta: Gama Media, 2002, hlm. 176
3
M. Hasbi As-Syidiqy, Pengantar Hukum Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1996,
hlm. 51
4
M. Hasbi As-Syidiqy, Pengantar Ilmu Fiqih, Jakarta: Bulan Bintang, 1991, hlm 192
13
Syarif al Imari lebih setuju dengan definisi ijtihad yang dikemukakan oleh
mengahasilkan hukum syara', baik yang aqli maupun naqli, qat'i maupun
umum. Karena, disamping dapat mencakup ijtihad terhadap yang qat'I dan
lainnya, juga memasukkan ijtihad kolektif dan individual, dan lebih dapat
2. Syarat-syarat Ijtihad
5
Lihat M. Fauzi, Op. Cit., hlm. 177
14
Dalam kajian ushul fiqh, banyak sekali metode yang dapat digunakan
3. Macam-macam Ijtihad
ijtihad adalah:7
6
M. Hasby As-Syiddiqy, Pengantar Hukum Islam,Op. Cit., hlm.96-98
7
M. Hasby As-Syiddiqy, Pengantar Ilmu Fiqih, Jakarta: Bulan Bintang, 1991, hlm. 192-
193
15
sebagian atas yang lain, seperti mengetahui sanad nash dan jalannya.
b. Ijtihad dalam merumuskan hukum yang tidak ada nash qathi, nash
dzanni dan tidak ada ijma’. Dalam hal ini ijtihad diperoleh dengan
oleh syara’ seperti qiyas dan istihsan. Inilah yang disebut ijtihad bir
ra’yi.
nash tertentu, dan tidak pula ditetapkan dengan qiyas maupun istihsan.
dibedakan menjadi dua yakni ijtihad fardi dan ijtihad jama’i. Ijtihad fardli
ijtihad yang dilakukan oleh para imam mazhab. Sedangkan ijtihad jama’i
banyak keahlian yang beragam baik mengenai fiqih, tafsir, ushul fiqh,
kaidah fiqhiyyah, hadits, bahasa Arab, maupun para ahli lain di luar
masalah yang akan dikaji secara detail. Misalnya ahli bidang kedokteran,
16
makanan, gizi, sosial, hukum, dan politik. Ijtihad model ini saat ini
kontemporer.
sesuatu yang dilarang saja tidak tepat, karena ada juga dzariah yang
mengandung dua pengertian, yaitu yang dilarang, disebut dengan sadd al-
Sesuai dengan pembahasan penelitian ini maka akan difokuskan pada sadz
adz-dzariah.
8
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, I'lam al-Muwaqqi'in, Beirut: Dar al-Fikr, tt.
17
kerusakan.9
dianjurkan oleh syara', karena perbuatan ini merupakan salah satu akad
tolong menolong. Akan tetapi, karena tujuan hibah yang dilakukan itu
9
M. Hasbi As-Syiddiqy, Pengantar Hukum islam, Op. Cit., hlm. 220
10
As-Syitibi, al-I'tisham, Beirut: Dar al-Fikr, tt.
18
lebih banyak.11
2. Macam-macam Dzari’ah
pintu rumah orang lain pada malam hari dan pemilik rumah tidak
11
Harun Nasroen, Ushul Fiqih, Jakarta: Logos, 1997, hlm. 189
19
Perbuatan ini tetap pada hukum asalnya, yaitu mubah, karena yang
riba. 12
12
As-Syatibi, , Op. Cit., hlm.
20
maka jual beli seperti itu boleh, karena rukun dan syaratnya terpenuhi.
Pandangan seperti ini muncul dari Imam Syafi'i dan Imam Abu Hanifah,
karena menurut mereka, jika bertolak dari dugaan belaka (zhann a-l
mujarad) dalam kasus seperti ini, maka tidak dapat dijadikan dasar
beli) itu, yang lebih cenderung kepada riba, maka perbuatan itu dilarang.
Pandangan terakhir ini dianut oleh Imam Malik dan Imam Ahmad bin
Hanbal.
seperti ini tidak bisa membuat perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan
keras akan terjadi. Dalam kasus bai’ al-ajal di atas, secara hukum, pembeli
telah membeli barang seharga seribu rupiah secara kredit. Jual beli ini sah.
kepada penjual semula seharga lima ratus rupiah. Ini pun sah. Tidak bisa
21
jual beli seperti itu termasuk dalam perbuatan yang membawa kepada
kemafsadatan. Oleh sebab itu, akad seperti itu dilarang, karena bagi
mereka yang dijadikan patokan boleh atau tidaknya transaksi tidak hanya
dilihat dari segi niat saja, tetapi dari segi akibat yang ditimbulkan dari
perbuatan tersebut. Dilihat dari segi niat, jual beli tersebut memang sulit
diduga bertujuan untuk menghalalkan riba. Akan tetapi, dari segi akibat
kemafsadatan. Dari sisi inilah ulama Malikiyah dan Hanifiyyah, jual beli
Ada tiga alasan yang dikemukakan oleh Imam Malik dan Imam
hukum atas dasar ghilbah al dzan. Disamping itu syara' juga senantiasa
karena:
13
Ibid.,
22
2. Dalam bai’ al ajal terdapat dua dasar yang bertentangan, yaitu bahwa
kemudharatan. Dalam hubungan hal ini Imam Malik dan Imam Ahmad
syad adz-dzariah.
muhrim dan wanita dilarang bepergian lebih dari tiga hari tanpa
muhrim (HR. Bukhari Muslim dan Ahmad Ibn Hanbal). Dalam kasus
seperti ini terjadinya fitnah masih dalam status dugaan (dzan), tetapi
(HR. Al Thabrani dan Abu Dawud dar Ibn Abbas). Rasulullah juga
14
As-Suyuthi, Asbah wan Nadlair, Semarang: Toha Putra, tt
23
dari Fatimah binti Qois). Dalam kasus inipun, sikap permusuhan yang
daripada kerusakannya.
yang asli, akan tetapi dapat membawa kepada kerusakan yang lebih
berat.
15
Harun Nasroen, Op. Cit., hlm. 198
24
kepada kemafsadatan. 16
dzari'ah sebagai dalil dalam menetapkan hukum syara'. Ulama Malikiyah dan
An'am, 6 : 108 :
orang musyrikin atau tuhan yang mereka sembah. Karena perbuatan ini akan
16
Ibnu Qoyyim al-Jauziyah, Op. Cit.,
17
Team Penerjemah Alqur'an, Al-Qur'an dan Terjemahannya, Jakarta: Departemen
Agama, 1995.
18
Ibid., hlm. 348
25
ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﻛﻴﻒ ﻳﻠﻌﻦ ﺍﻟﺮﺟﻞ: ﻗﻴﻞ,ﺇﻥ ﻣﻦ ﺃﻛﱪ ﺍﻟﻜﺒﺎﺋﺮ ﺃﻥ ﻳﻠﻌﻦ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﻭﺍﻟﺪﻳﻪ
ﻭﻳﺴﺐ ﺃﻣﻪ ﻓﻴﺴﺐ ﺃﻣﻪ, ﻳﺴﺐ ﺃﺑﺎ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﻓﻴﺴﺐ ﺃﺑﺎﻩ: ﻭﺍﻟﺪﻳﻪ؟ ﻗﺎﻝ
Artinya:“Sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang
melaknak kedua orang tuanya. Lalu Rasulullah ditanya orang,
wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seseorang melaknat kedua
ibu bapaknya ? Rasulullah menjawab : seseorang mencaci maki
ayah orang lain, maka ayahnya juga dicaci maki orang itu, dan
seseorang mencaci maki ibu orang lain, maka ibunya juga akan
dicaci maki oleh orang itu.” ( HR. Bukhari, Muslim dan Abu
Dawud).19
warisan kepada anak yang membunuh anaknya (HR. al Bukhari dan Muslim),
seperti sakit dan musafir untuk meninggalkan shalat jum'at dan menggantinya
meninggalkan shalat jum'at. Demikian juga dalam masalah puasa. Orang yang
tidak berpuasa karena udzur agar tidak makan dihadapan orang-orang yang
19
Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Singapura: Sulaiman Mar'I, tt.
26
berhak mendapatkan harta dari orang yang ia bunuh, karena apabila ia diberi
harta warisan, maka anak akan berusaha membunuh ayahnya agar ia segera
melaksanakan puasa yaum al syak (akhir bulan sya'ban yang diragukan apakah
SAW mengatakan,
dalam keadaan mardh al maut (sakit atau keadaan yang membawa seseorang
terhadap hak orang lain dalam menerima warisan. Misalnya, orang yang
mardh al maut itu mengaku berhutang kepada orang lain yang meliputi
seluruh atau sebagian hartanya. Dalam kasus ini, ulama Hanafiyah menduga
bahwa pengakuan ini hanya akan membatalkan hak ahli waris terhadap harta
tersebut. Oleh sebab itu, pengakuan ini, menurut mereka tidak sah.
20
Harun Nasroen, Op. Cit., hlm. 192
21
Imam Bukhari, Op. Cit., Juz I hlm. 327
27
Ada dua sisi cara memandang dzari'ah yang dikemukakan para ulam
bertujuan untuk yang halal atau yang haram. Seperti seseorang yang
menikahi seseorang wanita yang telah dicerai suaminya sebanyak tiga kali
dengan tujuan agar wanita ini boleh dikawini kembali oleh suami
pertamanya. Nikah seperti ini oleh ahli fiqh disebut nikah al tahlil. Pada
yang tidak sejalan dengan tujuan Islam, maka nikah seperti dilarang.
yang Maha Benar. Tetapi, akibat caciannya ini bisa membawa dampak
yang lebih buruk lagi, yaitu munculnya cacian yang serupa atau lebih dari
pihak Hanafiyah dan Syafi'iyah dipihak lain berhujjah dengan syad adz-
bahwa dalam suatu transaksi yang dilakukan adalah akadnya, bukan niat
dari orang yang melakukan akad. Apabila akad yang disepakati dua orang
telah memenuhi rukun dan syarat, maka akad itu sah. Adapun masalah niat
Akan tetapi, jika tujuan orang yang berakad itu dapat ditangkap
dengan jelas ataua diketahui dengan beberapa indikator yang ada, maka
atau tidaknya suatu pekerjaan adalah : niat, tujuan dan akibat dari
sejalan dengan perilaku, maka akad itu sah. Apabila tujuan orang itu tidak
bahwa niatnya sesuai dengan tujuan tersebut, maka dianggap sah, tetapi
antara pelaku dengan Allah tetap ada perhitungan, karena Allah yang
menunujukan niatnya dan niat itu tidak bertentangan dengan tujuan syara',
syara' maka perbuatan itu fasid (rusak) dan tidak ada efek hukumnya.24
satu dalil yang menetapkan hukum syara'. Penolakan ini sesuai dengan
hukum.25
24
Harun Nasroen, Op. Cit., hlm. 193
25
Ibid.,