Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

IJTIHAD, ITTIBA’, TAQLID

Dosen Pengampu : Dr. Farhan Indra, MA

Disusun Oleh:
Kelompok 4

Adellia Fitriani (0403223201)


Indri hasnur kasturi (0403221079)
Abdillah hasibuan (0403221042)

PROGRAM STUDI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
MEDAN
2023
IJTIHAD, ITTIBA’, TAQLID

A. Al- Ijtihad
1. Pengertian Ijtihad
Kata Ijtihad berasal dari kata “Ijtahada-yajtahidu-ijtihādan” yang berarti
mengerahkan segala kemampuan untuk menanggung beban. Menurut bahasa, ijtihad
artinya bersungguh-sungguh dalam mencurahkan pikiran. Menurut istilah, ijtihad adalah
mencurahkan segenap tenaga dan pikiran secara bersungguh-sungguh untuk menetapkan
suatu hukum (yang sulit), dan dalam prakteknya digunakan untuk sesuatu yang sulit dan
memayahkan. Oleh karena itu, tidak disebut ijtihad apabila tidak ada unsur kesulitan di
dalam suatu pekerjaan. Secara terminologis, berijtihad berarti mencurahkan segenap
kemampuan untuk mencari syariat melalui metode tertentu.

Namun dalam Al-Qur’an kata “jahda” sebagaimana dalam Q.S (16):38

‫واقسموا باهلل جهد امياهنم اليبعث اهلل من ميوت بلى وعداهلل حقا ولكن اكثرالناس‬
‫اليعلمون‬

Mengandung arti “Badzlu Al-Wus’I Wa Al-Thoqoti” (pengarahan segala kesanggupan


dan kekuatan) atau juga berarti “Al-Mubalaghah fil al-yamin” (berlebih-lebih dalam
sumpah). Dengan demikian arti ijtihad adalah pengarahan segala kesanggupan dan
kekuatan untuk memperoleh apa yang dituju sampai batas puncaknya. 1

Ijtihad dalam bidang putusan hakim (pengadilan) ialah jalan yang diikuti hakim
dalam menetapkan hukum, baik yang berhubungan dengan nash undang-undang ataupun
dengan mengistinbathkan hukum yang wajib diterapkan di waktu tak ada nash. 2
Adapula yang mengatakan, ijtihad itu ialah qiyas, tetapi oleh al-Ghozaliy di dalam
al-mustashfa, pendapat itu tidak disetujui menurutnya itu adalah keliru, sebab ijtihad itu
lebih umu daripada qiyas, sebab kadang-kadang ijtihad itu memandang di dalam
keumuan dan lafadz-lafadz yang pelik dan semua jalan asillah (berdalil) selain daripada
qiyas. Imam Syafi’i sendiri menyebutkan bahwa dalam arti sempit qiyas itu juga adalah
ijtihad. Ijtihad adalah suatu alat untuk menggali hukum Islam, dan hukum Islam yang
dihasilkan dengan jalan ijtihad statusnya adalah zanni. Zanni artinya pengertian yang
berat kepada benar, dengan arti kata mengandung kemungkinan salah.

1 Nadith Syarif al- Umari, al-ijtihad fi al islam: Ushuluhu, Ahkamuhu, Afaquhu, (Beiru: Muassasah Risalah, 1981) hal. 18
2 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqiey, pengantar ilmu fiqih, semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,1999, hal. 200

1
Definisi ijtihad secara bahasa adalah mengerahkan segala kemampuan dan kekuatan
(badzl al-wus’i wa al-thāqah) dan berlebihan dalam bersumpah (al-mubālaghat fī al yamīn).2
Pengertian itu didasarkan pada arti kata dasar ijtihad yang berasal dari kata jahada, yang telah
mengalami olomorf atau proses sharfīyah dari tsulatsī mujarrad ke dalam bentuk tsulasī mazīd
yang khumāsī (lima huruf), yaitu ijtahada-yajtahidu ijtihādan. Pada bentuk mashdar-nya,
ditemukan lafaz ijtihad itu. Baik kata jahada maupun ijtihada memiliki kesamaan arti, yaitu
berusaha dengan sungguh-sungguh, dengan syarat dimasuki huruf jīr fī (‫ )في‬di awalnya. Jika
diawali dengan huruf jīr bi ) ‫(ب‬, maka kata jahada dan ijtihada itu akan mengalami perbedaan
arti, menjadi menguji atau mengetes. 3 Oleh karenanya, penggunaan kata jahada maupun ijtihada
harus benar-benar tepat. Sedangkan dalam buku„Metodologi Studi Islam‟ disebutkan, arti bahasa
kata ijtihad itu didasarkan pada kata jahda (bentuk mashdar dari fi’il madi jahada) seperti
disinyalir dalam QS. al-Nahl: 38, QS. al-Nūr: 53, dan QS. Fāthir: 42.

‫واقسموا باهلل جهد امياهنم اليبعث اهلل من ميوت بلى وعداهلل حقا ولكن اكثرالناس‬
‫اليعلمون‬

Artinya: “Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang sungguh-sungguh:
Allah tidak akan membangkitkan orang yang mati‟. (Tidak demikian) bahkan (pasi Allah akan
membangkitkannya), sebagai suatu janji yang benar dari Allah, akan tetapi kebanyakan manusia
tidak mengetahui.” QS. al-Nahl: 383

‫واقسمواباهلل جهد امياهنم لئن امرهتم ليخرجن قل التقسموا طاعة معروفة ان اهلل خبري مبا‬
‫تعملون‬
Artinya: “Dan mereka bersumpah dengan nama Allah sekuat-kuat sumpah, jika kamu suruh
mereka berperang, pastilah mereka akan pergi. Katakanlah: „Janganlah kamu bersumpah,
(karena ketaatan yang diminta ialah) ketaatan yang sudah dikenal. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan‟”. QS. al-Nūr: 53.4

‫واقسموا باهلل جهد امياهنم لئن جاءىم نذير ليكونن اىدى من احدى االمم فلما جاءىم‬
‫نذير مازادىم اال نفورا‬

Artinya: “Dan mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sekuat-kuat sumpah,sesungguhnya
jika datang kepada mereka seorang pemberi peringatan, niscaya mereka akan lebih mendapat
petunjuk dari salah satu umat-umat (yang lain). Tatkala datang kepada mereka datang memberi
peringatan, maka kedatangannya itu tidak menambah kepada mereka pemberi peringatan, maka
kedatangannya itu tidak menambah kepada mereka, kecuali jauhnya mereka dari (kebenaran).
QS. Fāthir: 425

3 QS. An-nahl (38)


4 QS. An-nur (53)
5 QS. Al-fathir (42)

2
2.Landasan Ijtihad

Dasar hukum ijtihad bisa diperoleh dari al-Qur‟an dan Hadits Nabi. Di antaranya Nabi
Muhammad Saw bersabda:

‫اذااجتهد احالكم فأصاب فلو اجران وان اجتهد فأخطأ فلو أجر واحد‬
Artinya: “Apabila seorang hakim memutus suatu perkara berdasarkan ijtihadnya yang benar,
maka dia memperoleh dua pahala. Jika dia ber-ijtihad dalam suatu perkara, ternyata ijtihadnya
itu salah, maka dia pun masih memperoleh satu pahala.”

Dasar ijtihad juga menggunakan hadits yang diperoleh dari Sahabat Muadz bin Jabal ketika ia
diutus oleh Nabi ke daerah Yaman sebagai hakim. Sebelum berangkat bertugas, Muadz bin Jabal
terlebih dahulu menjalani pembekalan langsung dari Nabi.

Dasar-dasar ijtihad di atas diperkuat dengan al-Qur‟an. Di antaranya QS. al-Nisā‟: 105, QS. al-
Rūm: 21, QS. al-Zumar: 42, dan QS. al- Jātsiyah: 13.
Satu di antaranya disebutkan di sini.

‫إنا انزلنااليك الكتب باحلق لتحكم بني الناس مبا ارىك اهلل والتكن للخائنني خصيما‬

Artinya: Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran,
supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan
janganlah kamu menjadi pentang (orang-orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-
orang yang khianat.

Seseorang yang mampu melakukan Ijtihad Hukum Syara’ disebut mujtahid. Yaitu
seseorang yang sudah memenuhi syarat-syarat untuk menjadi seorang Mujtahid. Menurut Abu
Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazali, syarat-syarat untuk menjadi seorang mujtahid
ada dua. Pertama mengetahui syariat-syariat yang ada serta hal-hal yang berkaitan dengannya,
sehingga dapat mendahulukan yang seharusnya didahulukan dan mengakhiri sesuatu yang
harusnya diakhiri. Kedua, Adil dan tidak melakukan maksiat yang dapat merusak keadilannya.
Lebih merinci, menurut Fakhir al Din Muhammad bin Umar bin Husain, syarat-syarat Mujtahid
adalah:
a. Mukallaf, karena hanya mukallaf yang dapat melakukan penetapan hukum.
b. Mengetahui makna-makna lafadz dan rahasianya
c. Mengetahui keadaan Mukhatab yang merupakan sebab pertama terjadinya perintah larangan.
d. Mengetahui keadaan lafadz; apakah meimliki qarimah apa tidak.

3
e. Memahami tujuan-tujuan syara’ (maqashid al syariah), yaitu dlaruriyat yang mencakup
pemeliharaan agama, pemeliharaan jiwa, pemeliharaan akal, pemeliharaan keturunan dan
pemeliharaan harta.
f. Mampu melakukan penetapan hukum
g. Memahami Bahasa Arab dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengannya.
h. Akhaqul karimah. 6

3.Tingkatan Mujtahid

Menurut para Ulama Muta`akhirin mengklarifikasi Ulama dan Mujtahid kepada beberapa tingkat,
yaitu:

a. Tingkatan Pertama
Tingkatan ini dalam Syari’at dinamakan Mujtahid Mutlaq, yaitu mereka yang
mengeluarkan hukum-hukum Syara’ dari dasar atau sumbernya, yaitu Al-Qur`an, Hadits, Ijma’,
Qiyas, dan sumber lainnya. Menurut Jumhur Ulama “seorang Mujtahid Mutlaq harus menguasai
Lima macam jenis Ilmu, yaitu:
1) Al-Qur`an.
2) Hadits Rasulullah SAW.
3) Mengetahui perkataan Ulama terdahulubaik berupa Qiyasnya ataupun Ikhtilaf.
4) Ilmu Lughah(bahasa).
5) Ilmu Qiyas, yaitu cara mengambil hukum dari Al-Qur`an dan Hadits jika tidak jelas. 7
b. Tingkatan Kedua
Tingkatan kedua dari Mujtahid dinamakan Mujtahid Mutabak, yaitu Mujtahid yang
sanggup mengeluarkan Hukum dengan dalil-dalil yang berdasarkan Qawaid (undang-undang)
dari Imamnya sekalipun mereka berselisih dalam beberapa hal dalam Furu’ Fiqh, tetapi mereka
tetap berpegang kepada Ushul MazhabImam Mereka. Mujtahid ini tetap pada Ushul Imamnya
mengikuti pendapat Imamnya dan menisbatkan dasar hukum kepada Imamnya. Mujtahid yang
termasuk tingkatan ini adalah:
a. Imam Muzanni, Imam Buwaithi dari Ulama Syafi’iyah,
b. Qadhi Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan dari Ulama Hanafiyah.

6 http://www.islamcendikia.com/2014/01/pengertian-ijtihad-dan-syarat-syarat-mujtahid
7 Dr.Tgk.H.M. Zukhdi,Lc, MA, pengantar fiqih mazhab, Banda Aceh, Rumoh, cetak:2021, hal.55

4
c. Tingkatan Ketiga
Tingkatan ketiga dari Mujtahid dinamakan Mujtahid Mazhab, yaitu mereka yang
dinamakan dengan Ashabul Wujuh yang mengikuti Imamnya dari segala sesuatu baik dari
Ushulnya maupun Fatwanya. Mereka tidak menyalahi serta dan mereka mengetahui undang-
undang dan landasan pengambilan Mazhab Imamnya. Maka apabila terjadi permasalahan baru
yang tidak mereka ketahui dalil dari Imamnya, mereka berijtihad dan mengelurakan Fatwa sesuai
dengan Qawaid Imamnya.

Mujtahid yang sampai derajat ini adalah:


a. Imam Al-Khasyah, Thahawi, dan Imam Kharhi dari Ulama Hanafiyah
b. Imam Al-Qafal, Abu Hamid Al-Ghazali, Imam Al-Syairaz, Juwaini Imam
Al-Haramain dari Ulama Syafi’iyah. 8
d. Tingkatan Keempat
Tingkatan kedua dari Mujtahid dinamakan Mujtahid Ashab AtTarjih, yaitu mereka yang
menguatkan salah satu dari dalil-dalil Mazhabnya dari berbagai riwayat dan pendapat yang
saling bertentangan dan menyatakan 6 pendapat yang lebih kuat dalilnya atau lebih dekat kepada
Sunnah dan lebih sesuai dengan Qiyas atau lebih diterima kebanyakan manusia Mereka yang
sampai ketingkatan ini adalah:
a. Imam Ar-Rafi’i dan Imam An-Nawawi dari Ulama Syafi’iyah.
b. Imam Al-Qaduri, dan Imam Marghinani dari Ulama Hanafiyah. 9
e. Tingkatan Kelima
Tingkatan kedua dari Mujtahid dinamakan Mujtahid At-Tahqiq, yaitu mereka yang tidak
menguatkan pendapat Imamnya, tetapi mengemukakan pendapat serte mengelurkan dalil-dalil
pendapat Imamnya serta membuat perbandingan antara satu dalil dengan dalil lainnya tanpa
mentarjih Hukumnya.
Mereka yang sampai tingkatan ini adalah:
a. Syeikh Ramli dan Ibnu Hajar Al-Haitami dari Ulama Syafi’iyah. 10
f. Tingkatan Keenam
Tingkatan ini adalah yang paling rendah yaitu tingkatan At-Taqlid, yaitu mereka yang
tidak sanggup seperti di atas. Mereka tersebut dinamakan dengan orang yang mengamalkan dan
menerima Fiqh. Mereka terbagi kepada dua golongan, yaitu:
a. Mereka yang mengamalkan Hukum Mazhab dan meriwayatkannya serta memahami dalil-dalil
naqlinya.
b. Mereka yang tidak Faqih kecuali memahami kitab yang ada Tarjihnya.

8 Ibid, hal. 58
9 Ibid, hal 58
10 Ibid, hal 58

5
B. At-Taqlid
1. Pengertian Taqlid
Secara etimologi, kata taqlid adalah istilah yang berasal dari Bahasa Arab, yaitu qallada-
yuqallidu-taqliidan. Asal kata tersebut memiliki arti yang tergantung pada dan pemakaiannya di
dalam kalimat. Adakalanya Tqlid berarti menghiasi,meniru,menyerahkan,mengikuti, dan lain
sebagainya. Taqlid secara Bahasa terambil dari al-qalladah yang berarti mengalungkan,
sedangkan menurut istilah sebagaimana yang diungkapkan Imam Al-Ghazali (al-Mustasfa: 370:
tth) adalah:
‫قبول قول بال حجة‬
“Menerima ucapan tanpa adanya hujjah atau dalil”.

Sedangkan Ibnu Subki mendefinisikan Taqlid adalah:


‫قبول قول الغير من غير حجة‬
“Mengambil suatu perkataan tanpa mengetahui dalil”

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Taqlid secara istilah adalah mengambil
pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya serta tidak mengetahui apakah dalilnya itu kuat
atau tidak.
2. Hukum Taqlid
Pada asalnya menurut hukum Islam bertaqlid itu dicela atau dilarang karena ia hanya
mengikuti tanpa mengetahui alasan dan dalilnya, karena hal itu akan membuat orang yang
bertaqlid menjadi fanatic yang berlebihan kepada orang yang bertaqlidinya. Dalam menghukumi
Taqlid menurut para Ulama terdapat tiga macam hukum: pertama, Taqlid yang diharamkan,
kedua, Taqlid yang diwajibkan, ketiga, taqlid yang dibolehkan. 11

Taqlid yang Haram


Taqlid menjadi haram, apabila terjadi hal-hal yang menyebabkan haramnya taqlid.
Adapun penyebab taqlid menjadi haram antara lain adalah taqlid seorang mujtahid mutlak, dan
taqlid kepada selain mujtahid. Mujtahid adalah seorang seseorang yang dalam ilmu fikih sudah
mencapai derajat ijtihad dan memiliki kemampuan istinbath (inferensi) hukum-hukum syariat
dari sumber-sumber muktabar dan diandalkan. Sedangkan mujtahid mutlak adalah seseorang
yang telah mencapai tingkat keilmuan yang membuatnya dapat mengaplikasikan kaidah-kaidah
yang dirumuskannya sendiri secara independen dan dijadikannya metodologi berpikir dalam
proses penggalian hukum Islam.

11 Sanusi Ahmad, Sohari, Ushul fiqh, hal. 239

6
Seorang yang sudah mencapai derajat sebagai mujtahid mutlak dalam hukum syariah,
haram baginya untuk bertaqlid kepada mujtahid yang lain. Sebab seorang mujatahid mutlak
berada pada urutan tertinggi dari para mujtahid. Selain itu hukum taqlid adalah haram jika
seseorang melakukan taqlid pada selain mujtahid. Orang awam yang tidak memiliki ilmu agama
yang mumpuni, diperkenankan untuk taqlid kepada orang lain yang lebih memahami agama,
dalam hal ini adalah mujtahid. Akan tetapi haram baginya untuk taqlid pada selain mujtahid.
Orang awam yang tidak punya ilmu dan kurang syarat untuk berijtihad, diharamkan
untuk bertaqlid kepada mereka yang statusnya orang awam juga. Selain itu, taqlid yang
diharamkan adalah taqlid pada orang sesat. Kalau taqlid kepada orang shalih tetapi tidak berilmu
sudah tidak boleh, apa lagi bertaqlid kepada orang yang sesat dalam agama.

Taqlid Wajib
Taqlid yang wajib adalah taqlid seorang awam yang ilmu agamanya belum mendalam
kepada seseorang mujtahid yang kompeten sehingga memenuhi syarat untuk melakukan ijtihad.
Walaupun kita melakukan ijtihad hukum, hasilnya pun tidak boleh dipakai oleh siapapun, baik
oleh mujtahid ataupun untuk orang awam lainnya.

Taqlid yang Mubah


Taklid yang hukumnya boleh adalah taklid yang tidak mengapa untuk dilakukan, tidak
merupakan kewajiban, juga bukan merupakan keharaman. Taqlid yang hukumnya boleh berlaku
bagi para mujtahid yang tidak sampai batas sebagai mujtahid mutlak. Mereka punya kapasitas
dan punya semua syarat untuk berijtihad sendiri.
Meski demikian, penting bahwa sebagai muslim kita harus belajar agama dari sumber-
sumber utamanya, yakni Al-Qur'an dan Sunnah, setidaknya untuk melakukan verifikasi dari apa
yang dikatakan ulama atau imam, sehingga kita tidak terjebak pada taqlid buta.

C. Al-Ittiba’
1. Pengertian Al- Ittiba
Kata Ittiba’ berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata kerja atau fi’il ittaba’a - yattabi’u -
ittiba’an, yang artinya adalah mengikuti atau menurun. Ittiba’ yang dimaksudkan disini adalah :
“Menerima perkataan orang lain, dan kamu mengetahui alasan perkataannya.” Disamping itu ada
juga yang memberi definisi :
“Menerima perkataan seseorang dengan dalil yang lebih kuat.”
Jika kita gabungkan definisi-definisi di atas, dapatlah kita simpulkan bahwa ittiba’ adalah
mengambil atau menerima perkataan seorang Faqih atau Mujtahid, dengan mengetahui
alasannya serta tidak terikat pada salah satu Madzhab dalam mengambil suatu hukum
berdasarkan alasan yang dianggap lebih kuat dengan jalan membanding.

7
2. Dasar Hukum
Ittiba’ bukanlah mengikuti pendapat ulama tanpa alasan Agama. Adapun orang yang
mengambil atau mengikuti pendapat ulama dengan disertai alasan-alasan, dinamakan Muttabi’ .

Hukum ittiba’ adalah wajib bagi setiap muslim, karena ittiba’ adalah perintah Allah,

sebagaimana firman-Nya:
“Ikuti apa yang dirutunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-
pemimpin selain Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)”. (Q.S. Al-
A’raf [7]:3)12

Dalam ayat tersebut kita diperintahkan untuk mengikuti perintah perintah Allah. Kita
telah mengikuti bahwa tiap-tiap perintah adalah wajib, dan tidak terdapat dalil merubahnya.Ada
pula firman Allah dalam Q.S. Ali ‘Imran ayat 31 :
“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi
dan mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”( Q.S. Ali-
Imran [3]: 31)13

12 QS. Al- araf (12)


13 QS. Ali-imran (31)

8
Kesimpulan
Ijtihad adalah mencurahkan segenap tenaga dan pikiran secara bersungguh-sungguh
untuk menetapkan suatu hukum (yang sulit), dan dalam prakteknya digunakan untuk sesuatu
yang sulit dan memayahkan. Sedangkan orang yang sudah Mampu Melakukan Ijtihad disebut
sebagai Mujtahid dan dikategorikan dalam tingkatan tertentu jika sudah memenuhi syarat-syarat,
yaitu Mukallaf, Mengetahui keadaan Mukhatab yang merupakan sebab pertama terjadinya
perintah larangan, Mengetahui keadaan lafadz, Memahami tujuan-tujuan syara’ (maqashid al
syariah), Mampu melakukan penetapan hukum, Memahami Bahasa Arab dan ilmuilmu yang
berhubungan dengannya, dan berakhaqul karimah.
Taqlid secara istilah adalah mengambil pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya
serta tidak mengetahui apakah dalilnya itu kuat atau tidak. Ittiba’ adalah mengambil atau
menerima perkataan seorang Faqih atau Mujtahid, dengan mengetahui alasannya serta tidak
terikat pada salah satu Madzhab dalam mengambil suatu hukum berdasarkan alasan yang
dianggap lebih kuat dengan jalan membanding.

9
DAFTAR PUSTAKA

Syarif Nadith al- Umari, al-ijtihad fi al islam: Ushuluhu, Ahkamuhu, Afaquhu, (Beiru:
Muassasah Risalah, 1981) hal. 18
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqiey, pengantar ilmu fiqih, semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra,1999, hal. 200
http://www.islamcendikia.com/2014/01/pengertian-ijtihad-dan-syarat-syarat-mujtahid
Zukhdi, pengantar fiqih mazhab, Banda Aceh, Rumoh, cetak:2021, hal.55
Al-quran

10

Anda mungkin juga menyukai