PEMBAHASAN
1 Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), Edisi Pertama,
Cetakan ke-5, hal.237-238.
2 Wardah Cheche, Ijtihad, Blogger, 2014, dikutip 05 Oktober 2017.
memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam
beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu
tertentu.
2. Ijma’
3 Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), Edisi Pertama,
Cetakan ke-5, hal.238-240.
c. Ulama Syi’ah ijma’ diartikan “kesepakatan suatu komunitas
yang kesepakatan mereka memiliki kekuatan dalam
menetapkan hukum syara”.
d. Al-Nazham mengartikan ijma’ dengan artian “Setiap perkataan
yang hujjahnya tidak dapat dibantah”.4
4 Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta: Kencana, 2009), Edisi Pertama,
Cetakan ke-4, hal.131-136.
a. Surat Al-Hasyr (59): 2
Artinya:
ۖ ُول َوأُولِي اأْل َ ْم ِر ِم ْن ُك ْمَ يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا أَ ِطيعُوا هَّللا َ َوأَ ِطيعُوا ال َّرس
ِ ُول إِ ْن ُك ْنتُ ْم تُ ْؤ ِمنُونَ بِاهَّلل
ِ فَإ ِ ْن تَنَا َز ْعتُ ْم فِي َش ْي ٍء فَ ُر ُّدوهُ إِلَى هَّللا ِ َوال َّرس
َ َِو ْاليَوْ ِم اآْل ِخ ِر ۚ ٰ َذل
ك خَ ْي ٌر َوأَحْ َس ُن تَأْ ِوياًل
Artinya:
5 Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), Edisi Pertama,
Cetakan ke-5, hal.240-243.
6 Dr. Mardani, Ushul Fiqh/Mardani, ( Jakarta: Rajawali Pers, 2013), Edisi Pertama, Cetakan
Pertama, hal.
7 Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), Edisi Pertama,
Cetakan ke-5, hal.243.
Jumhul ulama berpendapat bahwa ijma’ adalah hujjah yang
Qorh’i sebagai sumber hukum Islam yang ke-3 setelah Al-Quran dan
As-Sunnah, dengan dasar kehujjahan sebagai berikut :
ۖ ُول َوأُولِي اأْل َ ْم ِر ِم ْن ُك ْمَ يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا أَ ِطيعُوا هَّللا َ َوأَ ِطيعُوا ال َّرس
ِ ُول إِ ْن ُك ْنتُ ْم تُ ْؤ ِمنُونَ بِاهَّلل
ِ فَإ ِ ْن تَنَا َز ْعتُ ْم فِي َش ْي ٍء فَ ُر ُّدوهُ إِلَى هَّللا ِ َوال َّرس
َ َِو ْاليَوْ ِم اآْل ِخ ِر ۚ ٰ َذل
ك خَ ْي ٌر َوأَحْ َس ُن تَأْ ِوياًل
Artinya:
Artinya:
8 Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta: Kencana, 2009), Edisi Pertama,
Cetakan ke-4, hal.138-142.
9 Ijma Sebagai Sumber Hukum Islam. http://penertianijmadanqiyassertarukundansyarat. Dikutip
06 Oktober 2017.
10 Buchoriahmad12. Pengertian Ijtihad, Objek dan Macam-Macamnya, 2011, eling-
buchoriahmad12.blogspot.com., dikutip 07 Oktober 2017
a. Syarat-Syarat Menjadi Mujtahid
11 Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), Edisi Pertama,
Cetakan ke-5, hal.270-283.
1) Mujtahid dalam hkum syara’. Mujtahid ini menggali,
menemukan dan mengeluarkan hukum langsung dari
sumbernya.
2) Mujtahid muntasib. Mujtahid ini dalam berijtihad, memilih dan
mengikuti ilmu ushul serta metode yang telah ditetapkan oleh
mujtahid terdahulu, namun ia tidak harus terkait kepada
mujtahid tersebut dalam menetapkan hukum furu’ meskipun
hasil temuan yang ditetapkannya ada yang kebetulan sama
dengan yang telah ditetapkan oleh imam mujtahid yang
dirujuknya.
3) Mujtahid mazhab. Ia mengikuti temuan yang dicapai imam
mazhab dan tidak menyalahi apa yang telah ditetapkan oleh
imamnya, tetapi memungkinkan untuk mengeluarkan hukum
dengan cara menghubungkannya kepada apa yang telah
digariskan oleh imamnya dengan pengetahuan dan ilmu yang
luas tentang mazhabnya.
4) Mujtahid murajjih. Mujtahid yang berusaha menggali dan
mengenal hukum furu’, namun tidak sampai mengistinbatkan
sendiri hukum dari dalil syar’i maupun dari nash imannya.
5) Mujtahid muwazzin. Ulama yang tidak mempunyai kemapan
untuk men-tarjih diantara beberapa pendapat mazhab, hanya
sekedar membandingkan pendapat dalam mazhab kemudian
berdalil dengan apa yang lebih tepat untuk diamalkan.
6) Golongan huffaz. Golongan ini tidak melakukan ijtihad dalam
pengertian istilah, tetapi mempunyai kemampuan untuk
menghafal dan mengingat hukum-hukum yang telah ditemukan
imam mujtahid terdahulu secara langsung dari nash atau apa
yang ditemukan mujtahid mazhab dengan men-takhrij-kannya
dari pendapat imam mazhab.
7) Golongan muqallid. Kalangan umat yang tidak mempunyai
kemampuan dalam melakukan ijtihad dalam pengertian istilah,
juga tidak mempunyai kemampuan untuk men-tahrij-kan
pendapat imam, ia juga tidak memahami dalil-dalil, hanya
megikuti apa yang dikatakan imam mazhab.12
3. Pembagian Ijtihad
12 Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), Edisi Pertama,
Cetakan ke-5, hal.293-297.
kepada hukum yang pernah ditetapkan imam mujahid
terdahulu.
b) Tarjih, yaitu untuk menemukan kejelasan sebagai pegangan
di kemudian hari bagi para pengikut seorang imam mujahid
dengan memilih dan memilah mana yang terkuat diantara
pendapat yang berkembang di antara berbagai pendapat
ulama mujtahid untuk diikuti dan dijalankan.
4. Macam-Macam Ijtihad
13 Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), Edisi Pertama,
Cetakan ke-5, hal.283-293.
meragukan lagi bahwa pada waktu itu tidak semua para ulama’ yang
dikumpulkan, karena para ulama’ tidak dalam satu tempat tetapi
tersebar di berbagai daerah seperti di Makkah, di Syam dan di Yaman
dan jika menunggu keseluruhan para ulama’ terkumpul maka akan
membutuhkan waktu yang lama.
Contoh ijma’ yang dilakukan pada masa sahabat seperti ijma’
yang dilandaskan pada al-Qur’an adalah kesepakatan para ulama’
tentang keharaman menikahi nenek dan cucu perempuan berdasarkan
QS. An-Nisa’ ayat 23. Para ulama’ sepakat bahwa kata ummahat (para
ibu) dalam ayat tersebut mencakup ibu kandung dan nenek, sedangkan
kata banat (anak-anak wanita) dalam ayat tersebut mencakup anak
perempuan dan cucu perempuan.
Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa jika ada masalah yang
tidak ditemukan jawabannya baik dalam al-Qur’an maupun Sunah
maka bermusyawarah dengan para ulama’ untuk menyelesaikan
permasalahan tersebut. Seperti khalifah Umar ketika itu
mengumpulkan para sahabat untuk membahas masalah pembagian
penghasilan hasil bumi Irak dan tanah-tanah taklukan lainnya yang
merupakan ghanimah perang. Ternyata mereka sepakat untuk
membiarkan tanah itu diolah penduduk aslinya dan tidak
membagikannya kepada para pasukan. Demikianlah yang mereka
lakukan sepanjang masa hayat hingga masa itu berganti dan orang-
orang sepeninggal mereka menjalankan apa yang telah disepakati.
2. Ijma’ Pada Masa Modern
Salah satu hikmah yang dilimpahkan oleh Allah adalah bahwa
Allah tidak menjadikan kandungan al-Qur’an berupa materi-materi
yudisial yang terbatas sebagaimna dunia matematika yang tidak
memberi kemungkinan inovasi pemikiran kreatif (ijtihad). Seiring
perputaran yang terus-menerus dan perjalanan yang cepat, muncullah
persoalan-persoalan baru yang belum dikenal oleh ulama terdahulu
bahkan belum tersirat di benak para ulama’ salaf, sehingga hukum dan
fatwa yang ditetapkan oleh ulama’ terdahulu tidak relevan lagi, dan hal
inilah yang memotivasi untuk berijtihad lantaran berubahnya masa,
tempat, adat dan kondisi serta keadaan masyarakat yang selalu berubah
dan berkembang.
Para ulama’ sepakat bahwa ijma’ merupakan dasar
pengambilan hukum setelah al-Qur’an dan hadits Nabi, namun dalam
aplikasinya masih terdapat perbedaan pandangan apakah ijma’ hanya
terjadi pada masa sahabat saja atau apakah ijma’ dapat dilakukan pada
masa sekarang.14