Anda di halaman 1dari 16

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Ijtihad dan Ijma’


1. Ijtihad

Dilihat dalam artian etimologi ijtihad diambil dari kata

“jahada” (‫)جھد‬. Bentuk kata mashdar-nya ada dua bentuk yaitu:

Jahdun (‫)جھد‬ yang berarti kesungguhan, sepenuh hati, serius. Dan

Juhdun (‫)جھد‬ yang berarti kesanggupan, kemampuan yang di


dalamnya terkandung arti sulit, berat dan susah. Karena adanya

perubahan dari kedua kata tersebut menjadi ij ta ha da (‫ )اجتحد‬dan


jika digabungkan dengan dua mashdar-nya maka akan mengandung
artian “kesanggupan yang sangat” atau “kesungguhan yang sangat”.1

Berdasarkan etimologi, Ijtihad adalah mengerahkan segala


potensi dan kemampuan untuk menetapkan hukum-hukum syariat.
Ijtihad menurut definisi ushul fiqh yaitu pengarahan segenap
kesanggupan oleh seorang ahli ushul fiqh untuk memperoleh
pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ dan hukum syara’
menunjukkan bahwa ijtihad hanyah berlaku di bidang fiqh, bidang
hukum yang berkenaan dengan amal, bukan bidang pemikiran ‘amaliy
dan bukan nizhariy.2

Menurut Al-Syaukani “Menggerahkan kemampuan dalam


memperoleh hukum syar’i yang bersifat amali melalui cara istinbath”.
Menurut Ibnu Subki “Pengerahan kemampuan seorang faqih untuk
menghasilkan dugaan kuat tentang hukum syar’i”. Menurut Saifuddin
al-Amidi “Pengerahan kemampuan dalam memperoleh dugaan kuat
tentang sesuatu dari hukum syara” dalam bentuk yang dirinya merasa
tidak mampu berbuat lebih dari itu”. Tujuan ijtihad adalah untuk

1 Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), Edisi Pertama,
Cetakan ke-5, hal.237-238.
2 Wardah Cheche, Ijtihad, Blogger, 2014, dikutip 05 Oktober 2017.
memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam
beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu
tertentu.

Jadi ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh dan mendalam yang


dilakukan oleh individu atau sekelompok untuk mencapai atau
memperoleh suatu hukum syariat melalui pemikiran yang sungguh-
sungguh berdasarkan dalil naqli yakni Al-Quran an Hadits. Orang-
orang yang mampu menetapkan suatu peristiwa dengan jalan ini
disebut Mujtahid.3

Jadi, ijtihad menurut pendapat pemakalah, jika dilihat dari


beberapa definisi di atas ijtihad adalah oarng yang telah mencapai
bidang keilmuan yang faqih, mengerahkan segala kemampuan ataupun
kesanggupan yang sangat untuk menetapkan suatu hal yang belum
jelas kedudukannya.

2. Ijma’

Dilihat dari segi etimologi, ijma’ (‫ )إجماع‬mempunyai dua arti,


yaitu ijma’ dengan arti ketetapan hati untuk melakukan sesuatu atau
keputusan berbuat sesuatu. Dan ijma’ dengan arti sepakat. Secara
istilah berarti “Kesepakatan para mujtahid ummat ini setelah wafatnya
Nabi saw. terhadap suatu hukum syara’ ”.

Pengertian ijma’ dalam istilah teknis hukum diantaranya:

a. Al-Ghazali mengartikan ijma’ dengan artian “Kesepakatan


umat Muhammad secara khusus atas suatu urusan agama”.
b. Al-Amidi merumuskan “Ijma’ adalah kesepakatan sejumlah
Ahlul Halli wal ‘Aqd (para ahli yang berkompeten megurusi
umat) dari umat Muhammad pada suatu masa atas hukum atau
suatu kasus”.

3 Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), Edisi Pertama,
Cetakan ke-5, hal.238-240.
c. Ulama Syi’ah ijma’ diartikan “kesepakatan suatu komunitas
yang kesepakatan mereka memiliki kekuatan dalam
menetapkan hukum syara”.
d. Al-Nazham mengartikan ijma’ dengan artian “Setiap perkataan
yang hujjahnya tidak dapat dibantah”.4

Kalau dilihat dari beberapa pengertian di atas, pemakalah lebih


sependapat dengan pendapat Ulama Syi’ah yang mengartikan ijma’
dengan kesepakatan suatu komunitas yang kesepakatan mereka
memiliki kekuatan dalam menetapkan hukum syara’. Karena tidak
semua umat setelah nabi Muhammad meninggal yang menetapkan
suatu kesepakatan dalam menetapkan hukum syara’.

B. Dasar Hukum Ijtihad dan Ijma’ serta Kehujjahannya


1. Dasar Hukum Ijtihad dan Kehujjahannya

Hukum dasar berijtihad ialah hukum dari orang yang


melakukan ijtihad, baik dari tujuan hukum taklifi, maupun hukum
wadh’i. Karena yang berwenang melakukan ijtihad adalah orang yang
telah mencapai tingkat faqih, maka mahkum ‘alaih-nya adalah orang
yang faqih.berbicara tentang hukum berijtihad seorang faqih dapat
dilihat dari dua segi. Pertama dari segi hasil ijtihadnya itu adalah untuk
kepentingan yang diamalkannya sendiri. Kedua dari segi bahwa
mujtahid itu adalah seorang mufti yang fatwanya akan diamalkan oleh
umat atau pengikutnya.

Hukum berijtihad seorang faqih dapat dilihat dari segi prinsip


umum dalam menetapkan hukum, tanpa memandang kepada keadaan
dan kondisi tertentu. Secara umum, hukum ijtihad adalah wajib.
Artinya, seorang mujtahid wajib melakukan ijtihad untuk menggali
dan merumuskan hukum syara’ dalam hal-hal yang syara’ sendiri
tidak menetapkannya secara jelas dan pasti. Beberapa dalil tentang
kewajiban untuk berijtihad:

4 Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta: Kencana, 2009), Edisi Pertama,
Cetakan ke-4, hal.131-136.
a. Surat Al-Hasyr (59): 2

‫ار ِه ْم أِل َ َّو ِل‬


ِ َ‫ب ِم ْن ِدي‬ِ ‫هُ َو الَّ ِذي أَ ْخ َر َج الَّ ِذينَ َكفَرُوا ِم ْن أَ ْه ِل ْال ِكتَا‬
ِ ‫ْال َح ْش ِر ۚ َما ظَنَ ْنتُ ْم أَ ْن يَ ْخ ُرجُوا ۖ َوظَنُّوا أَنَّهُ ْم َمانِ َعتُهُ ْم ُحصُونُهُ ْم ِمنَ هَّللا‬
َ‫ب ۚ ي ُْخ ِربُون‬ ُ ‫فَأَتَاهُ ُم هَّللا ُ ِم ْن َحي‬
َ ‫ْث لَ ْم يَحْ تَ ِسبُوا ۖ َوقَ َذفَ فِي قُلُوبِ ِه ُم الرُّ ْع‬
‫ار‬
ِ ‫ص‬َ ‫بُيُوتَهُ ْم بِأ َ ْي ِدي ِه ْم َوأَ ْي ِدي ْال ُم ْؤ ِمنِينَ فَا ْعتَبِرُوا يَا أُولِي اأْل َ ْب‬

Artinya:

“Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab


dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang
pertama. Kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan
merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat
mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; maka Allah
mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak
mereka sangka-sangka. Dan Allah melemparkan ketakutan dalam
hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan
tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka
ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang
yang mempunyai wawasan”.

b. Surat An-Nisa’ (4): 59

ۖ ‫ُول َوأُولِي اأْل َ ْم ِر ِم ْن ُك ْم‬َ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا أَ ِطيعُوا هَّللا َ َوأَ ِطيعُوا ال َّرس‬
ِ ‫ُول إِ ْن ُك ْنتُ ْم تُ ْؤ ِمنُونَ بِاهَّلل‬
ِ ‫فَإ ِ ْن تَنَا َز ْعتُ ْم فِي َش ْي ٍء فَ ُر ُّدوهُ إِلَى هَّللا ِ َوال َّرس‬
َ ِ‫َو ْاليَوْ ِم اآْل ِخ ِر ۚ ٰ َذل‬
‫ك خَ ْي ٌر َوأَحْ َس ُن تَأْ ِوياًل‬

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul


(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya. “5

Seorang mujtahid dalam kehidupan sehari-harinya pada waktu


mengamalkan ajaran agama sering menemukan hal-hal yang perlu
diselesaikan dengan ijtihad. Bertaklid kepada orang lain tidak
diperbolehkan bagi seseorang yang memiliki kualifikasi sebagai
mujtahid. Jika tidak dibolehkan bertaklid, berarti ia harus berijtihad.
Kalau tidak berijtihad, maka ia tidak akan dapat beramal, karena tidak
memperoleh petunjuk dari dalil yang kuat. Beberapa orang faqih yang
mampu melakukan ijtihd, maka hukum berijtihad bagi faqih tersebut
aalah wajib kifayah. 6

Berijtihad itu hukumnya haram untuk kasus yang telah ada


hukumnya dan ditetapkan berdasarkan dalil yang sharih dan qath’i,
atau bila orang yang melakukan ijtihad itu belum mencapai tingkat
faqih. Jadi, haramnya hukum ijtihad dalam hal ini adalah pertam
karena ijtihad tidak boleh dilakukan bila telah ada nash yang sharih
dan qath’i yang mengaturnya, kedua karena orang yang berijtihad
tidak (belum) memenuhi syarat yang dituntut untuk ijtihad. Dalam
menghadapi suatu kasus yang sudah terjadi dalam kenyataan ataupun
yang belum terjadi, dan kasus tersebut belum diatur secara jelas dalam
nash Al-Quran maupun sunah, sedangkan orang yang memiliki
kualifikasi sebagai mujtahid ada beberapa orang, maka dalam hal ini
hukum berijtihad bagi seorang faqih hukumnya mubah.7

2. Dasar Hukum Ijma’ dan Kehujjahannya

5 Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), Edisi Pertama,
Cetakan ke-5, hal.240-243.
6 Dr. Mardani, Ushul Fiqh/Mardani, ( Jakarta: Rajawali Pers, 2013), Edisi Pertama, Cetakan
Pertama, hal.
7 Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), Edisi Pertama,
Cetakan ke-5, hal.243.
Jumhul ulama berpendapat bahwa ijma’ adalah hujjah yang
Qorh’i sebagai sumber hukum Islam yang ke-3 setelah Al-Quran dan
As-Sunnah, dengan dasar kehujjahan sebagai berikut :

a. Surat An-Nisa’ (8): 59

ۖ ‫ُول َوأُولِي اأْل َ ْم ِر ِم ْن ُك ْم‬َ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا أَ ِطيعُوا هَّللا َ َوأَ ِطيعُوا ال َّرس‬
ِ ‫ُول إِ ْن ُك ْنتُ ْم تُ ْؤ ِمنُونَ بِاهَّلل‬
ِ ‫فَإ ِ ْن تَنَا َز ْعتُ ْم فِي َش ْي ٍء فَ ُر ُّدوهُ إِلَى هَّللا ِ َوال َّرس‬
َ ِ‫َو ْاليَوْ ِم اآْل ِخ ِر ۚ ٰ َذل‬
‫ك خَ ْي ٌر َوأَحْ َس ُن تَأْ ِوياًل‬

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul


(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya. “

b. Surat Al-Baqarah (2): 143


ٰ
َ‫اس َويَ ُكون‬ ِ َّ‫َو َك َذلِكَ َج َع ْلنَا ُك ْم أُ َّمةً َو َسطًا لِتَ ُكونُوا ُشهَدَا َء َعلَى الن‬
‫ال َّرسُو ُل َعلَ ْي ُك ْم َش ِهيدًا ۗ َو َما َج َع ْلنَا ْالقِ ْبلَةَ الَّتِي ُك ْنتَ َعلَ ْيهَا إِاَّل لِنَ ْعلَ َم َم ْن‬
‫َت لَ َكبِي َرةً إِاَّل َعلَى‬
ْ ‫يَتَّبِ ُع ال َّرسُو َل ِم َّم ْن يَ ْنقَلِبُ َعلَ ٰى َعقِبَ ْي ِه ۚ َوإِ ْن َكان‬

ِ َّ‫ُضي َع إِي َمانَ ُك ْم ۚ إِ َّن هَّللا َ بِالن‬


ٌ ‫اس لَ َر ُء‬
‫وف‬ ِ ‫الَّ ِذينَ هَدَى هَّللا ُ ۗ َو َما َكانَ هَّللا ُ لِي‬
‫َر ِحي ٌم‬

Artinya:

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam),


umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas
(perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi
atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang
menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui
(supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang
membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat,
kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah;
dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya
Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia”.8

Hujjah ijma’ adalah Qorh’i, karenanya ijma’ hanya dapat


dipergunakan sebagai pegangan dalam bidang amal dan tidak bisa
dipakai sebagai pegangan dalam bidang aqidah, sebab urusan aqidah
harus berdasarkan dalil yang qoth’i.9

C. Objek Ijtihad, Syarat-Syarat dan Tingkatan Mujtahid, Pembagian


Ijtihad, dan Macam-Macam Ijtihad
1. Objek Ijtihad

Menurut Al-Ghazali, objek ijtihad adalah setiap hukum syara’


yang tidak memiliki dalil qathi’. Syariat Islam dalam kaitannya dengan
ijtihad terbagi dalam dua bagian:

a. Syariat yang tidak boleh dijadikan ijtihad, yaitu hukum-hukum


yang telah dimaklumi sebagai landasan pokok Islam, yang
berdasarkan pada dalil-dalil yang qathi’, seperti kewajiban
pelaksanaan shalat, zakat, puasa, ibadah haji atau haramnya
melakukan zina, mencuri dan lain sebagainya. Semua itu telah
ditetapkan hukumnya di dalam Al-Quran dan Sunnah.
b. Syariat yang bisa dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum yang
didasarakan pada dalil-dalil yang bersifat zhanni, baik maksudnya,
petunjuknya, ataupun eksistensinya, serta hukum-hukum yang
belum ada nash-nya dan ijma’ para ulama.10
2. Syarat-Syarat dan Tingkatan Mujtahid

8 Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta: Kencana, 2009), Edisi Pertama,
Cetakan ke-4, hal.138-142.
9 Ijma Sebagai Sumber Hukum Islam. http://penertianijmadanqiyassertarukundansyarat. Dikutip
06 Oktober 2017.
10 Buchoriahmad12. Pengertian Ijtihad, Objek dan Macam-Macamnya, 2011, eling-
buchoriahmad12.blogspot.com., dikutip 07 Oktober 2017
a. Syarat-Syarat Menjadi Mujtahid

Dari segi kepribadian dan kemampuan, para ahli


menetapkan syarat menjadi mujtahid sebagai berikut:

1) Syarat yang berhubungan dengan kepribadian, yang


menyangkut dua hal yaitu:
a) Syarat yang harus dimiliki seorang mujtahid adalah telah
baliq dan berakal. Hanya pada orang dewasa dapat
ditemukan adanya kemampuan. Pada orang yang berakal
ditemukan adanya kemampuan ilmu dan ijtihad itu sendiri
adalah suatu karya ilmiah.
b) Syarat kepribadian khusus. Seorang mujtahid harus
beriman kepada Allah secara sempurna, percaya akan
keberadaan, kemahakuasaan, dan hukum Allah. Percaya
kepada kerasulan Nabi Muhammad dan percaya pula akan
fungsi beliau sebagai penyampai dan penjelas hukum Allah
kepada umat manusia.
2) Syarat yang berhubungan dengan kemampuan, yaitu:
a) Mengetahui ilmu alat (bahasa Arab)
b) Pengetahuan tentang Al-Quran
c) Memahami hadits Nabi
d) Mempunyai pengetahuan tentang ijma’ ulama
e) Mempunyai pengetahuan tentang Qiyas
f) Mempunyai pengetahuan tentang maksud Syar’i dalam
menetapkan hukum
g) Mempunyai pengetahuan tentang ushul fiqh11
b. Tingkatan Mujtahid
Peringkat mujtahid menurut Abu Zahra dalam kitabnya Tarikh,
yaitu:

11 Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), Edisi Pertama,
Cetakan ke-5, hal.270-283.
1) Mujtahid dalam hkum syara’. Mujtahid ini menggali,
menemukan dan mengeluarkan hukum langsung dari
sumbernya.
2) Mujtahid muntasib. Mujtahid ini dalam berijtihad, memilih dan
mengikuti ilmu ushul serta metode yang telah ditetapkan oleh
mujtahid terdahulu, namun ia tidak harus terkait kepada
mujtahid tersebut dalam menetapkan hukum furu’ meskipun
hasil temuan yang ditetapkannya ada yang kebetulan sama
dengan yang telah ditetapkan oleh imam mujtahid yang
dirujuknya.
3) Mujtahid mazhab. Ia mengikuti temuan yang dicapai imam
mazhab dan tidak menyalahi apa yang telah ditetapkan oleh
imamnya, tetapi memungkinkan untuk mengeluarkan hukum
dengan cara menghubungkannya kepada apa yang telah
digariskan oleh imamnya dengan pengetahuan dan ilmu yang
luas tentang mazhabnya.
4) Mujtahid murajjih. Mujtahid yang berusaha menggali dan
mengenal hukum furu’, namun tidak sampai mengistinbatkan
sendiri hukum dari dalil syar’i maupun dari nash imannya.
5) Mujtahid muwazzin. Ulama yang tidak mempunyai kemapan
untuk men-tarjih diantara beberapa pendapat mazhab, hanya
sekedar membandingkan pendapat dalam mazhab kemudian
berdalil dengan apa yang lebih tepat untuk diamalkan.
6) Golongan huffaz. Golongan ini tidak melakukan ijtihad dalam
pengertian istilah, tetapi mempunyai kemampuan untuk
menghafal dan mengingat hukum-hukum yang telah ditemukan
imam mujtahid terdahulu secara langsung dari nash atau apa
yang ditemukan mujtahid mazhab dengan men-takhrij-kannya
dari pendapat imam mazhab.
7) Golongan muqallid. Kalangan umat yang tidak mempunyai
kemampuan dalam melakukan ijtihad dalam pengertian istilah,
juga tidak mempunyai kemampuan untuk men-tahrij-kan
pendapat imam, ia juga tidak memahami dalil-dalil, hanya
megikuti apa yang dikatakan imam mazhab.12
3. Pembagian Ijtihad

Beberapa pendapat ahli ushul fiqh mengenai pembagian ijtihad,


diantaranya:

1) Mahdi Fadhl Allah membagi ijtihad menjadi dua bagian:


a) Ijtihad muthlaq atau ijtihad paripurna, yaitu ijtihad yang
melingkupi semua masalah hukum, tidak memilah-
milahnya dalam bentuk bagian-bagian masalah hukum
tertentu.
b) Ijtihad juz-i atau ijtihad parsial, yaitu ijtihad yang
melingkupi kajian mendalam tentang bagian tertentu dari
hukum dan tidak mendalami bagian yang lain.
Imam mujtahid yang empat (Maliki, Syafi’i, Hanbali dan
Ahmad) termasuk kepada bagian pertama (mujtahid
muthlaq) dan kebanyakan mujtahid lainnya termasuk
bagian yang kedua (mujahid juz’i).
2) Muhammad Abu Zahra dalam bukunya, Ushul Fiqh, mebagi
ijtihad dari segi bentuk karya ijtihadnya, kepada dua bagian:
a) Ijtihad istinbathi, yaitu kegiatan ijtihad yang berusaha
menggali dan menemukan hukum dari dalil-dalil yang telah
ditentukan.
b) Ijtihad tathbiqi, yaitu kegiatan ijtihad yang bukan untuk
menemukan dan menghasilkan hukum, tetapi menerapkan
hukum hasil temuan imam mujtahi terdahulu kepada
kejadian yang muncul kemudian.
3) Menurut Ibn Subki, kegiatan ijtihad tathbiqi (yang menerapkan
hasil ijtihad mujahid terdahulu) di atas, terbagi kepada dua:
a) Takhrij Al-Ahkam, yaitu menetapkan hukum terhadap
suatu kejadian yang baru dengan cara menghubungkannya

12 Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), Edisi Pertama,
Cetakan ke-5, hal.293-297.
kepada hukum yang pernah ditetapkan imam mujahid
terdahulu.
b) Tarjih, yaitu untuk menemukan kejelasan sebagai pegangan
di kemudian hari bagi para pengikut seorang imam mujahid
dengan memilih dan memilah mana yang terkuat diantara
pendapat yang berkembang di antara berbagai pendapat
ulama mujtahid untuk diikuti dan dijalankan.
4. Macam-Macam Ijtihad

Dalam menetapkan macam-macam ijtihad para ahli membagi


ijtihad dengan melihat ke beberapa titik pandang yang berbeda:

1) Karya ijtihad dilihat dari segi dalil yang dijadikan pedoman,


ada tiga macam:
a) Ijtihad bayani, yaitu ijtihad untuk menemukan hukum yang
terkandung dalam nash, namun sifatnya dhanni, baik dari
segi ketetapannya maupun dari segi penunjuknya.
b) Ijtihad qiyasi, yaitu ijtihad yang menggali dan menetapkan
hukum terhadap suatu kejadian yang tidak di temukan
dalilnya secara tersurat dalam nash – baik secar qath’i
maupun secara dhanni, - juga tidak ada ijma’ yang telah
menetapkan hukumnya.
c) Ijtihad istilahi, yaitu karya ijtihad untuk menggali,
menemukan, dan menemukan hukum syar’i dengan cara
menetapkan kaidah kulli untuk kejadian yang ketentuan
hukumnya tidak terdapat nash – baik qath’i – maupun
zhanni - , dan tidak memungkinkan mencari kaitannya
dengan nash yang ada, juga belum diputuskan dalam ijma’.
2) Al-Syatibi dalam kitabnya Al-Muwafaqat melihat bentuk
ijtihad dari segi mungkin atau tidak mungkin terhenti
kegiatannya. Dalam hal ini, ia membagi ijtihad ke dalam dua
macam:
a) Ijtihad yang tidak mungkin terhenti kegiatannya, ijtihad
dalam bentuk ini ialah disebut tahqiq al-manath atau ijtihad
dalam menjelaskan hukum. Bentuk ijtihad ini adalah apa
yang disebut dengan ijtihad bayani yang dikemukakan oleh
Salam Madzkur di atas, yang keberadaannya di akui oleh
semua pihak.
b) Ijtihad yang mungkin terhenti kegiatannya. Ijtihad dalam
hal ini ada dua macam, yaitu: tanqih al-manath dan takhrij
al-manath.
3) Dari segi hasil yang dicapai melalui ijtihad,al-Syatibi membagi
ijtihad itu ke dalam dua bentuk:
a) Ijtihad mu’tabar, yaitu ijtihad yang secara hukum dapat
dipandang sebagai penemuan hukum, yaitu ijtihad yang
dihasilkan oleh pakar yang mempunyai kemampuan untuk
berijtihad berdasarkan syarat-syarat yang ditetapkan.
b) Ijtihad ghairu mu’tabar, yaitu ijtihad yang secara hukum
tidak apat dipandang sebagai cara dalam menemukan
hukum. Ijtihad dalam bentuk ini adalah ijtihad yang
dilakukan oleh orang-orang yang tidak mempunyai
kemampuan untuk berijtihad berdasarkan syarat-syarat
yang telah ditentukan.
4) Al-Mawardi membagi ijtihad dari sudut kegiatan ijtihad dalam
kaitannya dengan cara yang digunakan. Menurut titik pandang
ini, ijtihad itu ada 8 macam:
a) Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari makna
tujuan yang terdapat dalam nash. Umpamanya, firman
Allah dalam surat Al-Baqarah (2) : 276
Ayat
Artinya: Allah memusnahkan riba dan menumbuh suburkan
shadaqah.
b) Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari
keiripan yang terdapat dalam nash. Umpamanya dalam
menetapkan status seorang hamba sahaya: apakah statusnya
sebagai seorang manusia atau sesosok hewan.
c) Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari
keumuman lafaz nash. Umpamanya menetapkan pihak
yang berhak memaafkan suami yang menceraikan istrinya
sebelum dicampuri.
d) Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari
kumpulan nash. Umpamanya ijtihad dalam menetapkan
kadar mut’ah, yaitu kewajiban mahar yang harus dibayar
suami yang menceraikan istrinya sebelum dicampuri,
sedangkan besarnya mahar tersebut belum ditetapkan. Hal
ini terdapat dalam surat Al-Baqarah (2): 236:
Ayat
Artinya: Hendaklah kamu berikan mut’ah kepada mereka.
Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang
yang miskin menurut kemampuannya.
e) Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari
keadaan keadaan yang terdapat dalam nash. Umpamanya
ijtihad dalam menetapkan dam (denda) pada haji tamattu’
yang dinyatakan dalam surat Al-Baqarah (2): 196:
Ayat
Artinya: “Barang siapa yang tidak memperoleh (hewan
yang akan disembelih) hendaklah puasa tiga hari di waktu
haji dan tujuh harisetelah kembali.”
f) Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari dalil
(petunjuk yang kuat) dalam nash. Umpamanya ijtihad
dalam menetapkan ukuran kewajiban suami atas nafkah
istrinya seperti yang terdapat dalam surat At-Thalaq (65): 7:
Ayat
Artinya: “ Orang yang mampu hendaknya memberikan
nafkah sesuai dengan kemampuannya...”
g) Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari ‘amarat
(petunjuk yang kurang kuat) dalam nash. Umpamanya
ijtihad dalam menetapkan arah kiblat bagi orang yang
samar tentang kiblat. Diterangkan dalam surat An-Nahl
(16): 16:
Ayat
Artinya: “...dan tanda-tanda serta dengan bintang mereka
mendapat petunjuk.”
h) Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum bukan dari
nash juga bukan dari prinsip nash. Bentuk ijtihad ini lepas
dari keterkaitannya dengan nash baik secara langsung
maupun tidak langsung.
5) Macam ijtihad dilihat dari segi pelakasanaannya atau dari segi
siapa yang terlibat langsung dalam melakukan penggalian dan
penemuan hukum untuk kasus tertentu. Dalam hal ini
mengandung kemungkinan bahwa yang melakukan ijtihad
dapat lebih dari satu orang. Dilihat dari kasus ini, ijtihad ada
dua macam:
a) Ijtihad fardi atau ijtihad perseorangan, yaitu ijtihad yang
pelakunya hanya satu orang.
b) Ijtihad jama’i atau ijtihad kolektif, yaitu ijtihad yang
dilakukan oleh beberapa orang secara kolektif (bersama). 13
D. Ijma’ di Zaman Kontemporer
1. Ijma’ Pada Masa Klasik
Sejarah tasyri’ Islam telah menorehkan tintanya bahwa ijtihad
pernah terjadi di masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar dan tidak
seorangpun sahabat yang menafikan kenyataan itu. Sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Maimun bin Mahran bahwa jika khalifah Abu Bakar
dan Umar dihadapkan dengan suatu pertentangan atau masalah, maka
akan mencari jawabannya di dalam al-Qur’an atau sunnah Nabi, dan
jika tidak menemukan jawaban maka mereka akan memanggil dan
mengumpulkan para tokoh kaum muslimin pada saat itu dan para
ulama’ untuk diajak musyawarah, berijtihad dan mencari jawaban, dan
hal ini juga dikatakan oleh al-Juwaini. Dan merupakan bukan hal yang

13 Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), Edisi Pertama,
Cetakan ke-5, hal.283-293.
meragukan lagi bahwa pada waktu itu tidak semua para ulama’ yang
dikumpulkan, karena para ulama’ tidak dalam satu tempat tetapi
tersebar di berbagai daerah seperti di Makkah, di Syam dan di Yaman
dan jika menunggu keseluruhan para ulama’ terkumpul maka akan
membutuhkan waktu yang  lama.
Contoh ijma’ yang dilakukan pada masa sahabat seperti ijma’
yang dilandaskan pada al-Qur’an adalah kesepakatan para ulama’
tentang keharaman menikahi nenek dan cucu perempuan berdasarkan
QS. An-Nisa’ ayat 23. Para ulama’ sepakat bahwa kata ummahat (para
ibu) dalam ayat tersebut mencakup ibu kandung dan nenek, sedangkan
kata banat (anak-anak wanita) dalam ayat tersebut mencakup anak
perempuan dan cucu perempuan.
Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa jika ada masalah yang
tidak ditemukan jawabannya baik dalam al-Qur’an maupun Sunah
maka bermusyawarah dengan para ulama’ untuk menyelesaikan
permasalahan tersebut. Seperti khalifah Umar ketika itu
mengumpulkan para sahabat untuk membahas masalah pembagian
penghasilan hasil bumi Irak dan tanah-tanah taklukan lainnya yang
merupakan ghanimah perang. Ternyata mereka sepakat untuk
membiarkan tanah itu diolah penduduk aslinya dan tidak
membagikannya kepada para pasukan. Demikianlah yang mereka
lakukan sepanjang masa hayat hingga masa itu berganti dan orang-
orang sepeninggal mereka menjalankan apa yang telah disepakati.
2. Ijma’ Pada Masa Modern
Salah satu hikmah yang dilimpahkan oleh Allah adalah bahwa
Allah tidak menjadikan kandungan al-Qur’an berupa materi-materi
yudisial yang terbatas  sebagaimna dunia matematika yang tidak
memberi kemungkinan inovasi pemikiran kreatif (ijtihad). Seiring
perputaran yang terus-menerus dan perjalanan yang cepat, muncullah
persoalan-persoalan baru yang belum dikenal oleh ulama terdahulu
bahkan belum tersirat di benak para ulama’ salaf, sehingga hukum dan
fatwa yang ditetapkan oleh ulama’ terdahulu tidak relevan lagi, dan hal
inilah yang memotivasi untuk berijtihad lantaran berubahnya masa,
tempat, adat dan kondisi serta keadaan masyarakat yang selalu berubah
dan berkembang.
Para ulama’ sepakat bahwa ijma’ merupakan dasar
pengambilan hukum setelah al-Qur’an dan hadits Nabi, namun dalam
aplikasinya masih terdapat perbedaan pandangan apakah ijma’ hanya
terjadi pada masa sahabat saja atau apakah ijma’ dapat dilakukan pada
masa sekarang.14

14Sbayram, Arsip Blog.Ushul Fiqh, -See more at: http://vincentpubliser.blogspot.com , 2012,


dikutip 17 Oktober 2017.

Anda mungkin juga menyukai