Anda di halaman 1dari 8

PENDAHULUAN

i.

Latar Belakang

Latar belakang dibuatnya makalah ini adalah untuk mengetahui hal-hal yang ada
dalam fiqih muamalah, khususnya mengenai Ash-shulhu (perdamaian). Karena di
dalam perdamaian ini banyak hal yang dapat kita gali untuk menjadi tambahan
ilmu serta wawasan, entah itu dari rukun, syarat, macam-macam, dan hikmah
Shulhu itu sendiri. Selain itu, kita sebagai umat islam patut mengetahui bahwa di
dalam islam, perdamaian diperbolehkan, asalkan tidak merubah hukum (yang
haram menjadi halal atau sebaliknya).
Dalam bahasa arab perdamaian diistilahkan dengan As-Shulhu , secara harfiah
atau
secara
etimologi
mengandung
pengertian
memutus
pertengkaran/perselisihan. Yang dimaksud dengan al-Shulh adalah suatu akad
yang bertujuan untuk mengakhiri perselisihan atau persengketaan. Perdamaian
dalam syariat islam memiliki dasar hukum yang kuat, yakni terdapat di dalam AlQuran dan Sunah Nabi SAW. Serta ijtihad para ulama. Didalam perdamaian tidak
terjadi secara begitu saja namun ada rukun dan syarat-syarat yanag harus
dipenuhi.

ii.
a.

Rumusan Masalah
Pengertian Sulhu

b.

Hukum Sulhu

c.

Rukun dan Syarat Shulhu

d.

Macam-macam Perdamaian

e.

Pelaksanaan Perdamaian

f.

Pembatalan Perjanjian Perdamaian

iii.

Tujuan Makalah

Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan


tentang Ash-shulhu (perdamaian) dan diharapkan bermanfaat bagi kita semua
serta untuk memenuhi nilai tugas Fiqih Muamalah.

BAB II
PEMBAHASAN

a.

Pengertian Sulhu

Dalam bahasa arab perdamaian diistilahkan dengan As-Shulhu , secara harfiah


atau
secara
etimologi
mengandung
pengertian
memutus
pertengkaran/perselisihan.
Sedangkan
menurut
istilah
(terminologi)
didefinisikan oleh para ulama adalah sebagai berikut:
1.Menurut imam Taqiy al-Din Abi Bakr ibn Muhammad al-Husaini dalam kitab
Kifayatu al-Akhyar yang dimaksud al-Sulh adalah akad yang memutuskan
perselisihan dua pihak yang berselisih.
2.Hasbi Ash-Shidieqy dalam bukunya pengantar fiqh muamalah berpendapat
bahwa yang dimaksud dengan Al-Shulh adalah Akad yang disepakati dua orang
yang bertengkar dalam hak untuk melaksanakan sesuatu, dengan akad itu dapat
hilang perselisihan. [Hasbie Ash-Shidieqy,Pengantar Fiqh Muamalah,(Bulan
Bintang: Jakarta,1984),hlm.92.]
3.Sulaiman Rasyid berpendapat bahwa yang dimaksud Al-Shulh adalah akad
perjanjian untuk menghilangkan dendam, permusuhan, dan perbantahan.
[Sulaiman Rasyid,fiqh Islam,(at-Tahairiyyah: Jakarta, 1976),hlm.151-152.]
4.Sayyid Sabiq berpendapat bahwa yang dimaksud dengan al-Shulh adalah
suatu jenis akad untuk mengakhiri perlawanan antara dua orang yang
berlawanan.
Dari pengertian diatas maka dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan alShulh adalah suatu akad yang bertujuan untuk mengakhiri perselisihan atau
persengketaan.
Masing-masing pihak yang mengadakan perdamaian dalam syariat Islam
diistilahkan dengan Mushalih sedangkan persoalan yang diperselisihkan oleh
para pihak atau obyek perselisihan disebut dengan Mushalih anhu, dan
perbuatan yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap pihak yang lain untuk
mengakhiri perrtikaian dinamakan dengan mushalih Alaihi atau disebut juga
badalush shulh. [Chairuman Pasaribu & Suhrawardi K. Lubis,Hukum Perjanjian
dalam Islam,(Jakarta: Sinar Grafika,1996),hlm.26]

b.

Hukum Sulhu

Perdamaian dalam syariat Islam sangat dianjurkan. Sebab, dengan perdamaian


akan terhindarlah kehancuran silaturahmi (hubungan kasih sayang) sekaligus
permusuhan di antara pihak-pihak yang bersengketa akan dapat diakhiri.

Adapun dasar hukum anjuran diadakan perdamaian dapat dilihat dalam alquran, sunah rasul dan ijma.

()
















Artinya : dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang
hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar
perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu
perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut,
damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku
adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (QS. AlHujurat : 9).
Mengenai hukum shulhu diungkapkan juga dalam berbagai hadits nabi, salah
satunya yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Imam Tirmizi yang artinya
perdamaian dibolehkan dikalangan kaum muslimin, kecuali perdamaian
menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang haram. Dan orang-orang
islam (yang mengadakan perdamaian itu) bergantung pada syarat-syarat mereka
(yang telah disepakati), selain syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram (HR. Ibnu Hibban dan Turmuzi).
Pesan terpenting yang dapat dicermati dari hadits di atas bahwa perdamaian
merupakan sesuatu yang diizinkan selama tidak dimanfaatkan untuk hal-hal
yang bertentangan dengan ajaran dasar keislaman. Untuk pencapaian dan
perwujudan perdamaian, sama sekali tidak dibenarkan mengubah ketentuan
hukum yang sudah tegas di dalam islam. Orang-orang islam yang terlibat di
dalam perdamaian mesti mencermati agar kesepakatan perdamaian tidak
berisikan hal-hal yang mengarah kepada pemutarbalikan hukum; yang halal
menjadi haram atau sebaliknya.
Dasar hukum lain yang mengemukakan di adakannya perdamaian di antara para
pihak-pihak yang bersengketa di dasarkan pada ijma.

c.

Rukun dan Syarat Shulhu

Rukun-rukun Al-Shulh adalah sebagai berikut:


1.
Mushalih,yaitu masing-masing pihak yang melakukan akad perdamaian
untuk menghilangkan permusuhan atau sengketa.
2.
Mushalihanhu,
disengketakan

yaitu

persoalan-persoalan

yang

diperselisihkan

atau

3.
Mushalihalaihi, ialah hal-hal yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap
lawannya untuk memutuskan perselisihan. Hal ini disebut juga dengan istilah
badal al-Shulh.

4.
Shigat, ijab dan Qabul diantara dua pihak yang melakukan akad
perdamaian.
[Hendi
Suhendi,Fiqh
Muamalah,(Jakarta:
Raja
Grafindo
Persada,2002), hlm.172.]
Ijab kabul dapat dilakukan dengan lafadz atau dengan apa saja yang
menunjukan adanya ijab Kabul yang menimbulkan perdamaian, seperti
perkataan: Aku berdamai denganmu, kubayar utangku padamu yang lima puluh
dengan seratus dan pihak lain menjawab Telah aku terima.
Adapun yang menjadi syarat sahnya suatu perjanjian perdamaian dapat
diklasifikasikan:
1)
Menyangkut subyek,
perjanjian perdamaian)

yaitu

musalih

(pihak-pihak

yang

mengadakan

Tentang subyek atau orang yang melakukan perdamaian haruslah orang yang
cakap bertindak menurut hukum. Selain cakap bertindak menurut hukum, juga
harus orang yang mempunyai kekuasaan atau mempunyai wewenang untuk
melepaskan haknya atas hal-hal yang dimaksudkan dalam perdamaian tersebut.
Adapun orang yang cakap bertindak menurut hukum dan mempunyai kekuasaan
atau wewenang itu seperti :
a. Wali, atas harta benda orang yang berada di bawah perwaliannya.
b. Pengampu, atas harta benda orang yang berada di bawah pengampuannya
c. Nazir (pengawas) wakaf, atas hak milik wakaf yang berada di bawah
pengawasannya.

2)

Menyangkut obyek perdamaian

Tentang objek perdamaian haruslah memenuihi ketentuan sebagai berikut :


a. Untuk harta (dapat berupa benda berwujud seperti tanah dan dapat juga
benda tidak berwujud seperti hak intelektual) yang dapat dinilai atau dihargai,
dapat diserah terimakan, dan bermanfaat.
b. Dapat diketahui secara jelas sehingga tidak melahirkan kesamaran dan
ketidak jelasan, yang pada akhirnya dapat pula melahirkan pertikaian yang baru
pada objek yang sama.

3)

Persoalan yang boleh di damaikan

Adapun persoalan atau pertikaian yang boleh atau dapat di damaikan adalah
hanyalah sebatas menyangkut hal-hal berikut :
a. Pertikaian itu berbentuk harta yang dapat di nilai

b. Pertikaian menyangkut hal manusia yang dapat diganti


Dengan kata lain, perjanjian perdamaian hanya sebatas persoalan-persoalan
muamalah (hukum privat). Sedangkan persoalan-persoalan yang menyangkut
hak ALLAH tidak dapat di lakukan perdamaian. [Pasaribu & K.
Lubis,Hukum.,.hlm.28-30]

d.

Macam-macam Perdamaian

Dijelaskan dalam buku fiqh, syafiiah oleh Idris Ahamd bahwa al-Shulh dibagi
menjadi empat bagian berikut ini:
1.
Perdamaian antara muslimin dengan kafir, yaitu membuat perjanjian untuk
meletakkan senjata dalam massa tertentu (gencatan senjata) secara bebas atau
dengan jalan mengganti kerugian yang diatur dalam undang-undang yang
disepakati dua belah pihak.
2.
Perdamaian antara kepala Negara/penguasa (imam) dengan pemberontak,
yakni membuat perjanjian-perjanjian atau peraturan-perauran mengenai
keamanan dalam Negara yang harus ditaati.
3.
Perdamaian antara suami istri, yaitu membuat peraturan-peraturan
(perjanjian) pembagian nafkah, masalah durhaka, serta dalam masalah
menyerahkan haknya kepada suuaminya manakala terjadi perselisihan.
4.
Perdamaian antara pihak yang melakukan transaksi (perdamaian dalam
muamalat), yaitu membentuk perdamaian dalam masalah yang ada kaitannya
dengan
perselisihan
yang
terjadi
dalam
masalah
muamalat.
[Suhendi,fiqh,hlm.174.]
Dijelaskan oleh Sayyid Sabiq bahwa Al-Shulh dibagi menjadi tiga macam
[Ibid,hlm.174-176.]:
1)

Perdamaian Tentang Iqrar

Perdamaian tentang iqrar adalah seseorang mendakwa orang lain yang


mempunyai utang, kemudian tergugat mengakui kegagalan tersebut, kemudian
mereka melakukan perdamaian. Kemudian jika tergugat mengaku memiliki utang
berupa uang, dan dia berjanji akan membayarnya dengan uang juga, maka ini
dianggap pertukaran dan syarat-syaratnya harus dituruti. Jika ia mengaku bahwa
ia berutang uang dan berdamai akan membayarnya dengan benda-benda atau
sebaliknya, maka ini dianggap sebagai jual beli yang hokum-hukumnya harus
ditaati.
2)

Perdamaian Tentang Inkar dan Sukut

Damai tentang inkar adalah bahw seseorang menggugat orang lain tantang
sesuatu materi, utang atau manfaat. Tergugat menolak gugatan atau
mengingkari apa yang digugatkan kepadanya, kemudian mereka berdamai.

Damai tentang sukut adalah seseorang menggugat orang lain, kemudian


tergugat berdiam diri,dia tidak mengakui dan tidak pula mengingkari.
3)

Hukum damai Inkar dan sukut

Para ulama membolehkan dilakukannya perdamaian tentang gugatan yang


diingkari dan didiamkan. Ibn Hazm dan Imam Syafii berpendapat bahwa sesuatu
yang diingkari dan didiamkan tidak boleh didamaikan. Damai dilakukan untuk
sesuatu yang diakui karena al-shulh adalah mengenai hak yang ada, sedangkan
dalam ingkar dan sukut tidak ada
e.

Pelaksanaan Perdamaian

Adapun yang dimaksud dengan pelaksanaan perdamaian disini adalah


menyangkut tempat dan waktu pelaksanaan perjanjian perdamaian yang
diadakan oleh para pihak.
1.

Perdamaian Diluar Sidang pengadilan

Di dalam penyelesaian persengketaan dapat saja kedua belah pihak


menyelesaikan sendiri, misalnya mereka meminta bantuan kepada sanak
keluarga, pemuka masyarakat atau pihak lainnya, dalam upaya mencari
penyelesaian persengketaan diluar sidang secara damai sebelum persengketaan
itu diajukan atau selama proses persidangan berlangsung, dengan cara ini
banyak yang berhasil.
Namun sering pula terjadi dikemudian hari sengketa yang sama mungkin timbul
kembali misalnya dalam hal sengketa tanah sawah, dimana mereka telah berjanji
untuk mengadakan perdamaian dan salah satu pihak juga telah pula
menyerahkan kembali tanah itu secara damai, namun beberapa waktu kemudian
diambil/dikuasai kembali oleh pihak yang menyerahkannya.
Untuk menghindari timbulnya persoalan yang sama dikemudian hari, maka
dalam praktek sering perjanjian perdamaian itu dilaksanakan secara tertulis,
yaitu dibuat akta perjanjian perdamaian. Agar akta perjanjian itu
memilikikekuatan hokum tentuunya haruslah dibuat secara autentik, yaitu dibuat
dihadapan Notaris.
2.

Melalui Sidang Pengadilan

Perdamaian melalui sidang pengadilan berlainan caranya dengan perdamaian


diluar sidang pengadilan, perdamaian melalui sidang pengadilan dilangsungkan
pada saat perkara tersebut diproses di depan sidang pengadilan (gugatan
sedang berjalan). Di dalam ketentuan perundang-undangan ditentukan bahwa
sebelum perkara tersebut diproses Hakim harus menganjurkan agar para pihak
yang bersengketa berdamai. Dalam hal ini tentunya peranan Hakim sangat
menentukan.
Andaikata Hakim berhasil untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa,
maka dibuatlah akta perdamaian dan kedua belah pihak yang bersengketa
dihukum untuk menaati isi dari akta perjanjian perdamaiann tersebut. Lazimnya

dalam praktek diistilahkan


Lubis,Hukum.,.hlm. 30-32].

f.

dengan

Akta

Dading

[Pasaribu

&

K.

Pembatalan Perjanjian Perdamaian

Bahwa pada dasarnya perjanjian perdamaian tidak dapat dibatalkan secara


sepihak, dan ia telah memiki kekuatan hokum yang sama dengan keputusan
Pengadilan Tingkat terahir, dengan kata lain tidak dapat lagi diajukan gugatan
terhadap perkara yang sama dan telah memiliki kekuatan hokum yang tetap.
Namun demikian perjanjian perdamaian tersebut masih ada kemungkinan untuk
dapat dibatalkan, yaitu apabila; (1) telah terjadi suatu kekhilafan mengenai
subyeknya (orangnya), (2) telah terjadi kekhilafan terhadap pokok perselisihan.

Bab III
Penutup
Kesimpulan
Dari uraian diatas maka dapat ditarik kesimpulan inti yakni bahwasanya Al-Sulh
dalam bahasa arab yang diartikan sebagai perdamaian yang bertujuan memutus
perselisihan diantara kedua bela pihak yang bersengketa. Dasar hokum
dianjurkannya perdamaian diantara para pihak yang bersengketa ini dapat
dilihat dalam ketentuan Al-Quran, Sunnah Rasul dan Ijma. Perdamaian
disyariatkan Allah sebagaimana yang tertuang didalam Al-Quran surat Al hujaratt
ayat 9.
Perdamaian dapat dikatakan sah apabila terpenuhinya rukun-rukun dan syaratsyaratnya yaitu Mushalih,yaitu masing-masing pihak yang melakukan akad
perdamaian.Mushalih anhu, yaitu persoalan-persoalan yang diperselisihkan.
Mushalihalaihi, ialah hal-hal yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap
lawannya untuk memutuskan perselisihan.Shigat, ijab dan Qabul diantara dua
pihak yang melakukan akad perdamaian.

Adapun pelaksanaan perdamaian ada 2 jalan yakni pelaksanaan perdamaian


diluar sidang pengadilan dan perdamaian melalui persidangan pengadilan yang
masing masing cara bisa ditempuh untuk terciptanya perjanjian perdamaian.

Anda mungkin juga menyukai