Anda di halaman 1dari 13

Tugas Terstruktur Dosen Pengampu

Penyelesaian Sengketa Ekonomi Fuad Luthfi S.Ag., M.H.


Syariah

MAKALAH
PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH MELALUI
LEMBAGA KONSUMEN

OLEH :
Delia Sundari 210102040002
Uswatun Hasanah 210102040004
Syarifah Najwa Alawiyah Shahab 210102040008
Ahya Madina 210102040006
Eva Shofia Fitriati 210102040161
Siti Norriezka Aprilia 210102040221
Astri Wahyuni 210102040237
Nur Azizah 210102040241

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI


FAKULTAS SYARIAH
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH (MUAMALAH)
BANJARMASIN
2023
A. Pendahuluan
Kegiatan ekonomi merupakan kegiatan yang dilakukan oleh setiap
manusia, ada yang berskala kecil maupun besar. Pesatnya perkembangan
khususnya pada ekonomi syariah terutama dalam bidang perbankan,
sehingga penyelesaian sengketa ekonomi syariah juga menjadi perhatian
yang sangat besar dan penting.
Pada dasarnya, sengketa ekonomi syariah memiliki dua jalur untuk
penyelesaiannya yaitu litigasi dan non litigasi. Pada litigasi yaitu melalui
lembaga peradilan yaitu pengadilan agama. Kemudian pada jalur non
litigasi ada beberapa alternatif penyelesaian sengketa ekonomi syariah
yang dapat dilakukan. Salah satu alternatif itu ialah penyelesaian sengketa
ekonomi syariah melalui lembaga konsumen.
Penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui lembaga
konsumen dapat membantu meringankan beban Pengadilan Agama dari
meningkatnya kasus sengketa syariah yang diperkirakan akan terus
bertambah. Penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui lembaga
konsumen dapat membantu mencapai penyelesaian sengketa yang adil dan
efektif bagi kedua belah pihak.
B. Pengertian Sengketa Ekonomi Syariah Dan Lembaga Konsumen
Sengketa bisa terjadi dimana saja dan kapan saja. Beberapa
penyebab timbulnya sengketa jika ditinjau oleh salah satu teori yaitu teori
kepentingan manusia pada dasarnya teori ini menjelaskan bahwa konflik
dapat terjadi karena kebutuhan dan kepentingan manusia tidak dapat
terpenuhi atau merasa dihalangi oleh pihak lain.1
Sengketa ekonomi syariah merupakan suatu pertentangan antara
dua pihak atau lebih pelaku ekonomi yang kegiatan usahanya dilaksanakan
menurut prinsip dan asas hukum ekonomi syariah, yang bisa muncul
akibat perbedaan persepsi atas suatu kepentingan dan kepemilikan,

1
Takdir Rahmadi, Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat (Jakarta:
Rajawali pers, 2011), hal. 8.

1
menimbulkan akibat hukum dan terdapat sanksi terhadap salah satu pihak.2
Sengketa ekonomi syariah adalah merupakan suatu pertentangan
antara satu pihak atau lebih pelaku kegiatan ekonomi, dimana kegiatan
ekonomi tersebut berlandaskan pada prinsip-prinsip syariah dan ajaran
hukum ekonomi syariah yang ditimbulkan oleh adanya perbedaan
pendapat tentang suatu hal yang dapat mengakibatkan adanya sanksi
hukum terhadap salah satu pihak yang bersangkutan. Dan terjadinya suatu
sengketa tersebut karena salah satu pihak melakukan wanprestasi dan atau
melakukan perbuatan malawan hukum sehingga dapat menimbulkan
kerugian pada pihak yang lain. Wanprestasi adalah kelalaian pihak debitor
dalam memenuhi prestasi yang telah ditentukan dalam perjanjian.3
Dalam menyelesaikan sengketa ekonomi, para pelaku usaha
memiliki pilihan-pilihan lembaga penyelesaian sengketa. Peraturan
perundang-undangan di Indonesia memberikan alternatif bagi para pelaku
usaha untuk memilih lembaga mana yang cocok bagi mereka untuk
mendapatkan keadilan. Dalam masalah sengketa ekonomi syariah terdapat
beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelesaian
sengketa ekonomi syari'ah.
Lembaga konsumen adalah lembaga yang bertugas memberikan
perlindungan terhadap konsumen, membantu konsumen dalam
memperjuangkan haknya, dan menangani sengketa yang berkaitan dengan
perlindungan konsumen.
Di Indonesia, peraturan yang mengatur mengenai perlindungan
konsumen, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (UUPK). Pengertian perlindungan konsumen
diatur dalam Pasal 1 angka 1 UUPK yang berbunyi “perlindungan
kosumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum
untuk memberi perlindungan kepada konsumen.

2
Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, Teori & Praktik (Jakarta:
Kencana, 2017), hal. 42.
3
Aqimuddin Eka An, Solusi Bila Terjerat Kasus Bisnis (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2010),
hal. 75.

2
Terdapat beberapa lembaga yang berwenang dalam melakukan
perlindungan terhadap konsumen, antara lain Badan Perlindungan
Konsumen Nasional (BPKN), Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat (LPKSM), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)
dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Lembaga-lembaga
perlindungan konsumen tersebut memiliki perannya tersendiri dalam
upaya memberikan perlindungan terhadap konsumen, seperti menerima
pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, bekerja sama
dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen,
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen
serta untuk menyelesaikan sengketa terkait perlindungan konsumen.4
C. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Melalui Lembaga Konsumen
Penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui lembaga
konsumen diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Akan tetapi, Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak memberikan batasan tentang
apa yang di maksud dengan sengketa konsumen. Definisi sengketa
konsumen dapat dipahami dalam Peraturan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan.
Menurut Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan dalam
Surat Keputusan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tanggal 10 Desember
Tahun 2001 menegaskan bahwa yang dimaksud dengan sengketa
konsumen adalah sengketa antara pelaku usaha dan konsumen yang
menuntut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau yang menderita
kerugian akibat mengonsumsi barang atau memanfaatkan jasa.
Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa konsumen ini
adalah pihak konsumen dan pihak pelaku usaha. Selanjutnya, berdasar-
kan Pasal 45 ayat (2) dan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, maka penyelesaian sengketa konsumen

4
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perllindungan Konsumen (Jakarta: Sinar Grafika,
2011), hal. 118.

3
dilakukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia yang berperan
sebagai mediator.
Selain penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui lembaga
konsumen, juga dikenal penyelesaian sengketa oleh lembaga atau instansi
yang berwenang yaitu melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK). Penyelesaian dalam konteks ini diatur dalam Pasal 47 ayat (2)
dan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Adapun tata cara penyelesaian tersebut dapat
dilakukan dengan mekanisme konsiliasi, mediasi, atau arbitrase yang
kemudian hasilnya dituangkan dalam sebuah kesepakatan. Beberapa
penjelasan singkat mengenai mekanisme yang dapat dilakukan, yaitu:
1. Konsiliasi
Konsiliasi berasal dari bahasa Inggris, yaitu "conciliation"
yang berarti permufakatan.5 Sementara itu, dalam Kamus Hukum:
Dictionary of Law Complete Edition, diartikan sebagai: "Usaha
untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak yang bersengketa
agar mencapal kesepakatan guna menyelesai kan sengketa dengan
cara kekeluargaan."6
Penyelesaian sengketa melalui konsiliasi yang dilakukan di
BPSK dengan memanggil konsumen dan pelaku usaha yang
berbeda pendapat dengan ahli atau saksi, menyediakan forum
konsiliasi bagi konsumen dan pelaku usaha jika diperlukan, dan
menanggapi pertanyaan tentang peraturan perundang-undangan
perlindungan konsumen dari konsumen dan pelaku usaha.
Konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa menandatangani
perjanjian tertulis yang memuat hasil pembicaraan yang menjadi
kesepakatan. Kesepakatan ini diperkuat dengan Keputusan Majelis

5
Bambang Sutiyoso, Penyelesaian Sengketa Bisnis: Solusi dan Antisipasi Bagi Peminat
Bisnis dalam Menghadapi Sengketa Kini dan Mendatang (Yogyakarta: Citra Media Hukum,
2006), hal. 92.
6
M. Marwan dan Jimmy P, Kamus Hukum: Dictionary of Law Complete Edition
(Surabaya: Reality Publisher, 2009), hal. 376.

4
BPSK yang mengatur syarat-syarat kesepakatan.7
Putusan BPSK melalui konsiliasi pada hakikatnya hanya
mengungkapkan syarat-syarat perjanjian damai yang disepakati dan
ditandatangani oleh kedua belah pihak yang bersengketa.
2. Mediasi
Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan dengan perantaraan BPSK sebagai penasihat dan
penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak.8 Mediasi
berpartisipasi aktif dalam proses mediasi dengan menawarkan
nasihat, saran, dan upaya lain untuk menyelesaikan perbedaan
pendapat. Dengan bantuan mediator, jika proses mediasi
menghasilkan kesepakatan antara para pihak, maka para pihak
harus merumuskan kesepakatan tersebut secara tertulis dan
menandatanganinya.9 Dalam uraiannya, berikut beberapa tanggung
jawab yang menjadi tanggung jawab majelis BPSK dalam hal
mediasi sengketa konsumen.10.
a) Panggilan dari konsumen dan pelaku usaha yang tidak
setuju.
b) Mengumpulkan saksi ahli dan saksi bila perlu.
c) Menyediakan tempat terjadinya perbedaan pendapat antara
pelaku usaha dan pelanggan.
d) Mengusahakan rekonsiliasi aktif antara pihak-pihak yang
bersengketa.
e) Secara aktif memberikan saran atau nasehat untuk
penyelesaian sengketa konsumen sesuai dengan peraturan
perlindungan konsumen.

7
Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum
Acara Serta Kendala Implementasinya (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 107.
8
Maryanto, Prosedur Peneyelesaian Sengketa Konsumen Di Bpsk (Semarang:
UNISSULA Press, 2019), hal. 26.
9
Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum
Acara Serta Kendala Implementasinya, hal. 110.
10
Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum
Acara Serta Kendala Implementasinya, hal. 111.

5
3. Arbitrase
Kata arbitrase berasal dari kata arbitrare (Latin), arbitrage
(Belanda), arbitration (Inggris), schiedspruch (Jerman), dan
arbitrage (Prancis), yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan
sesuatu menurut kebijaksanaan atau damai oleh arbiter atau wasit.
Arbitrase digunakan untuk menyelesaikan sengketa
konsumen. Pihak memilih arbiter dari anggota BPSK yang berasal
dari pelaku usaha dan konsumen sebagai anggota Majelis. Pada
sidang pertama, partai juga memilih arbiter ketiga dari anggota
BPSK yang berasal dari unsur pemerintah sebagai ketua. Majelis
wajib mengambil keputusan berdasarkan perdamaian dalam hal
perdamaian antara pihak yang berselisih; Sebaliknya, jika tidak
tercapai penyelesaian, isi gugatan konsumen dan surat tanggapan
pelaku usaha dibacakan di awal sidang.11
Putusan BPSK yang dicapai melalui arbitrase meliputi
kedudukan perkara dan pertimbangan hukum, seperti halnya
putusan dalam perkara perdata.Putusan BPSK yang Dicapai
Penyelesaian dengan cara ini tidak menutup kemungkinan
penyelesaian dengan sistem litigasi melalui lembaga pengadilan. Menurut
Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 bahwa yang dapat
mengajukan gugatan ke pengadilan, yaitu pertama, konsumen yang di
inginkan atau ahli warisnya. Kedua, sekelompok konsumen yang
mempunya kepentingan yang sama.
Peraturan perundang-undangan di Indonesia juga mengatur
lembaga perlindungan konsumen, yaitu lembaga perlindungan konsumen
yang memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Berbentuk badan hukum;
2. Dalam anggaran dasarnya menyebutkan secara tegas bahwa
organisasi didirikan untuk kepentingan perlindungan konsumen

11
Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum
Acara Serta Kendala Implementasinya, hal. 116.

6
3. Telah melaksanakan kegiatan tersebut
4. Dimungkinkan jika telah diselesaikan melalui BPSK namun tidak
berhasil;
5. Diselesaikan dengan menggunakan hukum acara perdata yang
berlaku.
D. Kendala Yang Dihadapi Oleh BPSK Dalam Menyelesaikan Sengketa
Konsumen.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, yang materi dasarnya dimuat dalam Undang-Undang Dasar
Pasal 27, Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 33 UUD 1945. Norma-norma
perlindungan konsumen dalam sistem undang-undang Perlindungan
Konsumen sebagai “undang-undang payung” yang menjadi kriteria untuk
mengukur dugaan adanya pelanggaran-pelanggaran hak-hak konsumen,
yang semula diharapkan oleh semua pihak mampu memberikan solusi bagi
penyelesaian perkara-perkara yang timbul sebagai pelaksanaan dari
undang-undang tersebut, ternyata dalam penegakan hukumnya atau dalam
penerapannya terjadi ketimpangan dan menimbulkan kebingungan bagi
pihak yang terlibat dalam implemetasi di dalamnya.12
Hal ini disebabkan ketentuan hukumnya tidak sesuai sebagaimana
yang diharapkan, yaitu untuk penyelesaian sengketa konsumen secara
cepat, sederhana, dan murah. tidak adanya konsistensi pada pasal-pasal
dalam UUPK, adanya pertentangan antara pasal yang satu dengan pasal
yang lainnya, maupun adanya konflik horizontal dengan produk
perundang-undangan lainnya. Adapun kendala yang dihadapi BPSK dalam
menyelesaikan sengketa konsumen adalah sebagai berikut:
1) Kendala Kelembagaan/Institusional
Hambatan dalam kelembagaan/institusion BPSK masih
menjadi persoalan sangat mendesak. Eksistensi BPSK yang hanya
aktif di beberapa kota saja, mengesankan hingga kini pemerintah
12
Hanum Rahmaniar Helmi, “Eksistensi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam
Memutus Sengketa Konsumen Di Indonesia,” ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata 1, no. 1
(24 Mei 2015): 77.

7
(pusat dan daerah) belum serius menangani isu perlindungan
konsumen. Sejumlah masalah yang bersifat teoritis dari eksistensi
BPSK dalam penyelesaian sengketa konsumen belum semuanya
teridentifikasi. Terdapat beberapa argumentasi yang menyatakan
bahwa BPSK bukanlah badan yang menjalani fungsi yudisial
sepenuhnya.
BPSK menyelesaikan proses sengketa dengan cara mediasi,
konsiliasi dan arbitrase dimana ketiga cara tersebut pada
hakikatnya merupakan pilihan penyelesaian sengketa yang
dilakukan secara non litigasi. Secara stuktural BPSK berada di
bawah Departemen Perdagangan sehingga dalam menjalankan
tugasnya masih melekat kewenangan eksekutif sehingga secara
tidak langsung membuka kemungkinan munculnya kendala-
kendala dalam melaksanakan tugas-tugas yudisialnya. Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 memposisikan BPSK sebagai badan
yang memiliki kewenangan memeriksa dan memutus, namun tidak
disertai perangkat untuk melaksanakan putusannya.
Dapat disimpulkan bahwa BPSK bukanlah badan yang
memiliki fungsi peradilan (kuasi peradilan). Oleh karena itu, di
beberapa daerah, pelaku usaha yang dikalahkan dalam suatu
sengketa konsumen yang diputuskan oleh BPSK, mengajukan
keberatan ke pengadilan negeri bahkan BPSK dalam gugatan ini
dijadikan sebagai tergugat.
2) Kendala Pendanaan
Biaya operasional dibebankan kepada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah, sehingga kurangnya dukungan
dari Pemerintah Daerah, menyangkut kesiapan alokasi dari dari
APBD yang di beberapa kota masih minim hal tersebut
mempengaruhi kinerja Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
3) Kendala Sumber Daya Manusia (SDM)
Anggota BPSK terdiri dari 3 (tiga) unsur yaitu unsur

8
pemerintah, unsur konsumen dan unsur pelaku usaha.
Keterwakilan unsur ini oleh undang-undang dimaksudkan untuk
menunjukan partisipasi masyarakat dalam upaya perlindungan
konsumen serta menunjukkan bahwa perlindungan konsumen
menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dan
masyarakat. Pembagian anggota BPSK ke dalam tiga unsur
tersebut berkaitan dengan konsep keseimbangan para pihak yang
bersengketa dan kepentingan pemerintah yang memposisikan diri
sebagai pihak yang netral dalam pengambil kebijakan. Sekurang-
kurangnya 1/3 (satu per tiga) dari anggota BPSK harus berlatar
belakang pendidikan hukum. Ini penting karena BPSK merupakan
badan bentukan pemerintah yang tugas pokoknya menjalankan
fungsi pengadilan.
Proses pengangkatan anggota BPSK menimbulkan masalah
tersendiri,karena dalam kenyataan pengangkatan anggota BPSK
lebih menekankan keterwakilan unsur konsumen pelaku usaha dan
pemerintah, daripada kompetensi anggota dalam mengelola dan
menyelesaikan sengketa, sehingga terdapat beberapa anggota
BPSK yang tidak menguasai materi pokok sengketa antara pelaku
usaha dan konsumen. Anggota BPSK dari unsur pemerintah yang
direkrut dari wakil instansi terbiasa dengan sistem biroktasi
pemerintahan, hal ini dapat menghambat proses BPSK menjadi
sebuah lembaga yang independen. Kultur atasan dan bawahan
dalam birokrasi pemerintahan yang sering kali terbawa di BPSK
dapat menjadi beban psikologis secara internal antara anggota
BPSK unsur pemerintah dengan anggota sekretariat BPSK, dan
secara eksternal dengan atasannya masingmasing.
Berdasarkan sumber daya anggota BPSK merupakan salah
satu faktor pendukung terhadap optimalisasi BPSK, karena sebaik
apapun suatu konsep pembentukan suatu lembaga, akan tetapi jika
tidak didukung oleh sumber dayamanusia yang berkompetensi,

9
maka eksistensi lembaga tersebut akan jauh dari harapan.
4) Kendala Peraturan
Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang diharapkan
dapat menjadi senjata bagi pencari keadilan, dalam
implementasinya ternyata masih sulit dilakukan dan menghadapi
berbagai kendala. Hal ini disebabkan ketentuan hukumnya tidak
sesuai sebagaimana diharapkan, yaitu untuk penyelesaian sengketa
konsumen secara cepat, sederhana, dengan biaya yang murah.
UUPK tidak memberikan petunjuk atau pedoman teknis maupun
penjelasan yang cukup, bahkan adanya pertentangan pasal yang
satu dengan pasal yang lain, pertentangan baik dengan ketentuan
acara yang dipakai selama ini, maupun pertentangan dengan
peraturan yang lain, sehingga kepastian hukum sulit dicapai.
Adanya peraturan yang tidak konsisten, dari segi prosedural
terdapat beberapa kelemahan pengaturan terutama mengenai
prosedur beracara di BPSK dengan belum dibakukannya formulir-
formulir standar untuk beracara di BPSK.
5) Kurangnya Sosialisasi Terhadap Masyarakat
Rendahnya tingkat kesadaran konsumen akan hak-haknya
disebabkan karena kurangnya sosialisasi UUPK. Pada umumnya
masyarakat konsumen belum mengetahui dan faham mengenai
eksistensi UUPK. Faktor lain yang ikut menentukan rendahnya
tingkat kesadaran hukum konsumen adalah budaya hukum
masyarakat Indonesia. Budaya hukum adalah nilai yang dianut,
yang mempengaruhi sikap warga masyarakat tersebut, termasuk
sikap tindaknya di bidang hukum. Masyarakat Indonesia adalah
masyarakat yang sangat kuat berusaha untuk mempertahankan
harmoni dalam hubungan diantara konsumen dan pelaku usaha.
Hal ini sangat berpengaruh terhadap sikap dan tindakan di bidang
hukum.
Masyarakat Indonesia cenderung selalu ingin menjaga

10
harmoni, dan menghindari konflik dan serba permisif. Hal tersebut
menyebabkan enggannya konsumen untuk menuntut hak-haknya
ketika merasa dirugikan akibatmengkonsumsi suatu produk,
apalagi jika nilai kerugian yang dialami bernilai kecil. Rendahnya
kepercayaan konsumen terhadap perlindungan konsumen, dan
disertai sikap yang serba permisif membawa pengaruh terhadap
kesadaran konsumen.
E. Simpulan
Penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui lembaga
konsumen diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Akan tetapi, Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak memberikan batasan tentang
apa yang di maksud dengan sengketa konsumen. Definisi sengketa
konsumen dapat dipahami dalam Peraturan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan.
Penyelesaian sengketa oleh lembaga atau instansi yang berwenang
yaitu melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
Penyelesaian dalam konteks ini diatur dalam Pasal 47 ayat (2) dan Pasal
49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen. Adapun tata cara penyelesaian tersebut dapat dilakukan
dengan mekanisme konsiliasi, mediasi, atau arbitrase yang kemudian
hasilnya dituangkan dalam sebuah kesepakatan. Adapun kendala yang
dihadapi BPSK dalam menyelesaikan sengketa konsumen antara lain;
kendala kelembagaan/institusional, kendala pendanaan, kendala sumber
daya manusia (sdm), kendala peraturan, dan kurangnya sosialisasi
terhadap masyarakat.

11
DAFTAR PUSTAKA
Amran Suadi. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, Teori & Praktik. Jakarta:
Kencana, 2017.
Aqimuddin Eka An. Solusi Bila Terjerat Kasus Bisnis. Jakarta: Raih Asa Sukses,
2010.
Bambang Sutiyoso. Penyelesaian Sengketa Bisnis: Solusi dan Antisipasi Bagi
Peminat Bisnis dalam Menghadapi Sengketa Kini dan Mendatang.
Yogyakarta: Citra Media Hukum, 2006.
Celina Tri Siwi Kristiyanti. Hukum Perllindungan Konsumen. Jakarta: Sinar
Grafika, 2011.
Helmi, Hanum Rahmaniar. “Eksistensi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
Dalam Memutus Sengketa Konsumen Di Indonesia.” ADHAPER: Jurnal
Hukum Acara Perdata 1, no. 1 (24 Mei 2015): 77.
M. Marwan dan Jimmy P. Kamus Hukum: Dictionary of Law Complete Edition.
Surabaya: Reality Publisher, 2009.
Maryanto. Prosedur Peneyelesaian Sengketa Konsumen Di Bpsk. Semarang:
UNISSULA Press, 2019.
Rachmadi Usman. Pilihan Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan. Bandung:
PT Citra Aditya Bakti, 2013.
Susanti Adi Nugroho. Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari
Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya. Jakarta: Kencana, 2008.
Takdir Rahmadi. Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat.
Jakarta: Rajawali pers, 2011.

Anda mungkin juga menyukai