Anda di halaman 1dari 21

Kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Dalam

Menangani Sengketa Pada Sektor Jasa Keuangan Setelah Terbentuknya


Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS)
Oleh
Haerani, Irma Istihara Zain
Email: haerani461@gmail.com
Abstrak

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah lembaga non struktural yang
berkedudukan di kabupaten dan kota yang mempunyai fungsi menyelesaikan sengketa konsumen
di luar pengadilan. Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) adalah lembaga yang
melakukan penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa
(LAPS) dibentuk melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 1/POJK.07/2014. Di
dalam ketentuan POJK telah diklasifikasikan apa saja yang termasuk dalam kategori Lembaga
Jasa Keuangan. Adapun yang dimaksud dengan Lembaga Jasa Keuangan adalah lembaga yang
melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga
pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya Setelah terbentuknya Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa (LAPS) melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) di sektor jasa
keuangan, atas amanat OJK yang didasari oleh Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan, tidak
menghilangkan kewenangan BPSK dalam melaksanakan penyelesaian sengketa di sektor jasa
keuangan, karena pilihan atas lembaga mana yang digunakan dalam penyelesaian sengketa, baik
BPSK ataupun LAPS merupakan pilihan sukarela para pihak dan atas kesepakatan para pihak
yang bersengketa.

Kata Kunci: Kewenangan, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), Lembaga


Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS).
Pendahuluan
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah pengadilan khusus konsumen
(small claim court) yang sangat diharapkan dapat menjawab tuntutan masyarakat agar proses
berperkara dapat berjalan dengan cepat, sederhana dan murah. Sebagaimana amanat dalam Pasal
52 UUPK tugas dan wewenang BPSK mencakup beberapa aspek, salah satunya ialah
melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara arbitrase, mediasi
atau konsiliasi.1 Di luar Peradilan Umum UUPK membuat terobosan dengan memfasilitasi para
konsumen yang merasa dirugikan dengan mengajukan gugatan ke pelaku usaha di luar
pengadilan, yaitu Badan penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Mekanisme gugatan
dilakukan secara sukarela dari kedua belah pihak yang bersengketa. Hal ini berlaku untuk
gugatan secara perorangan, sedangkan gugatan kelompok (class action) dilakukan melalui
peradilan umum.2
Berdasarkan ketentuan dalam UUPK dan Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Republik Indonesia Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan
Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yang merupakan hukum acara bagi BPSK
dalam menjalankan tugas dan wewenangnya,3meliputi:
a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara
melalui mediasi, arbitrase atau konsiliasi;
b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
c. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara
melalui mediasi, arbitrase atau konsiliasi;
d. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
e. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
f. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam
undang-undang ini;
g. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang
terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
h. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;

1
Andi Sri Rezky Wulandari dan Nurdiyana Tadjuddin, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta:
Mitra Wacana Media, 2018), hlm. 107.

2
Celina Tri Siwi Krisiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm.
126.

3
Haerani, Kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagai Lembaga
Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan (Studi Di Kota Mataram), Tesis, Magister Ilmu Hukum,
Universitas Mataram, 2012, hlm. 36.
i. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap
perlindungan konsumen;
j. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap
mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini;
k. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau
setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia
memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen;
l. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna
penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
m. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;
n. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap
perlindungan konsumen;
o. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan
undang-undang ini.4

Sebagaimana tugas dan wewenang BPSK yang tercantum dalam UUPK serta hukum
acara BPSK tersebut di atas, hingga saat ini tidak dapat ditemukan pasal-pasal yang memberikan
pengertian dan batasan terkait dengan jenis-jenis sengketa konsumen yang menjadi kewenangan
dari BPSK dalam menangani sengketa antara konsumen dan pelaku usaha. Suatu sistem
penyelesaian sengketa yang terjadi di sektor jasa keuangan yang dikhususkan bagi konsumen dan
lembaga jasa keuangan, yang terdiri dari penyelesaian sengketa secara internal melalui lembaga
jasa keuangan, lembaga peradilan umum (pengadilan), serta melalui Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa (LAPS) dengan proses tertentu, 5 LAPS dibentuk dengan Peraturan OJK
Nomor 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa
Keuangan (POJK LAPS).
Dalam rangka mengemban tugas penting dalam memberikan perlindungan kepada
konsumen di sektor jasa keuangan, maka OJK melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK)
mengeluarkan peraturan pertama yaitu POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Berdasarkan penjelasan dalam Pasal 2 POJK No. 1/2013,
bahwa ketentuan terkait dengan perlindungan konsumen sektor jasa keuangan wajib menerapkan
prinsip transparansi, perlakuan yang adil, keandalan, kerahasiaan dan keamanan data/informasi

4
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, Nomor 8 Tahun 1999,
LN.RI Nomor 42 Tahun 1999, TLN.RI Nomor 3821.
5
Abd. Aziz Billah, Peran Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Sektor Jasa
Keuangan Guna Mendukung Pembangunan Ekonomi Nasional, Jurnal RechtsVinding, Vol. 7, No. 1, April
2018, hlm. 72.
konsumen, dan penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa konsumen secara sederhana,
cepat, dan biaya terjangkau.6
Sebagai tindak lanjut dalam rangka menciptakan suatu sistem penyelesaian sengketa
konsumen secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau, maka OJK mengeluarkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 1/POJK.07/2014 Tentang Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan. POJK tersebut kemudian mengamanatkan
adanya suatu sistem penyelesaian sengketa yang terjadi di sektor jasa keuangan, yang terdiri dari
penyelesaian sengketa secara internal di lembaga jasa keuangan, penyelesaian melalui lembaga
peradilan umum (pengadilan), serta melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS)
dengan prosedur tertentu.7
Dengan hadirnya LAPS yang didasari oleh Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
1/POJK.07/2014 di sektor jasa keuangan, sehingga seringkali terhadap putusan-putusan BPSK,
salah satunya berupa pembatalan terhadap perjanjian kredit, menjadi perdebatan karena dinilai
telah melampaui batas kewenangan sebagaimana yang telah diamanatkan oleh UUPK. Sehingga,
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus mengoptimalkan keberadaan LAPS di sektor jasa keuangan
dengan mengembangkan LAPS kedalam beberapa sektor diantaranya Badan Mediasi dan
Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI) pada sektor perasuransian, Badan Arbitrase Pasar Modal
Indonesia (BAPMI) pada sektor pasar modal, Badan Mediasi Dana Pensiun (BMDP) pada sektor
dana pensiun, Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI) pada
sektor perbankan, Badan Arbitrase dan Mediasi Perusahaan Penjaminan Indonesia (BAMPPI)
pada sektor penjaminan dan Badan Mediasi Pembiayaan dan Pergadaian Indonesia (BMPPI)
pada sektor pembiayaan dan pergadaian.8 Mengenai kewenangan BPSK ataupun LAPS dalam
menyelesaikan sengketa khususnya pada sektor jasa keuangan acapkali menimbulkan perdebatan
karena masing-masing lembaga memiliki dasar yuridis yang berbeda-beda.

6
Ema Rahmawati dan Rai Mantili, Penyelesaian Sengketa Melalui Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan, Jurnal, PJIH, Volume 3, Nomor 2, Tahun 2016, hlm. 241.

7
Ibid., hlm. 142.

8
Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dalam https://ojk.go.id/id/kanal/edukaasi-dan-perlindungan -
konsumen/Pages/Lembaga-Alternatif-Penyelesaian-Sengketa.aspx, diakses pada tanggal 5 Oktober 2020,
pukul 09.18 WITA.
Di sisi lain dalam proses penyelesaian sengketa di BPSK yang dilakukan dengan
menggunakan mekanisme konsiliasi, mediasi atau arbitrase. 9 Apabila para pihak sepakat untuk
menyelesaikan sengketanya di BPSK, meskipun di dalam klausul penyelesaian sengketa, para
pihak sepakat untuk menyelesaikannya pada lembaga tertentu, sepanjang pilihan tersebut
merupakan pilihan secara sukarela dari para pihak, maka BPSK dapat menyelesaikan sengketa
tersebut dengan berpegang pada Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
Republik Indonesia Nomor 350/MPP/Kep/12/2001. Namun, apabila salah satu pihak tidak
sepakat untuk menyelesaikan sengketanya di BPSK, maka BPSK tidak berwenang untuk
menyelesaikan sengketa tersebut.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang diangkat yaitu
bagaimana kewenangan Badan Penyelesaian Snegketa Konsumen (BPSK) dalam menangani
sengketa pada sektor jasa keuangan setelah terbentuknya Lembaga Alternatif Penyelesaian
Sengketa (LAPS).

9
Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara
Serta Kendala Implementasinya (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cet.2, Ed.1, 2011), hlm. 98.
Pembahasan
A. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
Perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan perlindungan
hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari
hal-hal yang merugikan konsumen itu sendiri.10 Sedangkan dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen (UUPK) Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.11
Dalam upayanya untuk memberikan perlindungan kepada konsumen, maka pemerintah
melalui Pasal 49 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
membentuk suatu lembaga yang secara khusus diharapkan dapat menjadi sarana bagi konsumen
dan pelaku usaha untuk lebih mudah dalam mengajukan pengaduan apabila dikemudian hari
timbul sengketa di antara para pihak tersebut, lembaga dimaksud ialah Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK).
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah lembaga non struktural yang
berkedudukan di kabupaten dan kota yang mempunyai fungsi menyelesaikan sengketa konsumen
di luar pengadilan. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) diharapkan dapat
mempermudah, mempercepat, dan memberikan suatu jaminan kepastian hukum bagi konsumen
untuk menuntut hak-hak perdatanya kepada pelaku usaha yang tidak benar.12
Oleh karena itu, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) secara khusus
memiliki tugas dan wewenang, sebagai berikut:
a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui
mediasi atau arbitrase;
b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam undang-
undang ini;

10
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cet.1, Ed.1,
2013), hlm. 21.

11
Republik Indonesia, Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Nomor 8 Tahun 1999, LN.RI
Nomor 42 Tahun 1999, TLN.RI Nomor 3821, Pasal 1 angka 1.

12
Abdul Atsar dan Rani Apriani, Buku Ajar: Hukum Perlindungan Konsumen (Yogyakarta:
Deepublish, 2019), hlm. 80.
e. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang
terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;
g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap
perlindungan konsumen;
h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap
mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini;
i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau
setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia
memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen;
j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna
penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
k. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;
l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap
perlindungan konsumen;
m. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan
undang-undang ini.13
Terkait dengan tugas dan wewenang BPSK dalam melaksanakan penanganan dan
penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara mediasi atau arbitrase, undang-undang tidak
secara khusus memberikan penjelasan terkait dengan penyelesaia sengketa apa saja yang menjadi
kewenangan BPSK, sehingga hal tersebut menimbulkan berbagai macam penafsiran terkait
dengan jenis sengketa yang dapat diselesaikan melalui BPSK. Terlihat bahwa UUPK hanya
memberikan penjelasan secara umum terkait dengan tugas dan wewenang sebagaimana
dimaksud.
Proses berperkara melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dilakukan
dengan cepat, sederhana dan murah sama halnya dengan Small Claims Court, namun tidak serta-
merta BPSK dikatakan Small Claims Court, adapun perbedaan BPSK dengan Small Claims
Court yaitu pada Small Claims Court majelis yang menyelesaikan perkara berasal dari unsur
hakim aktif dan pensiunan, sedangkan pada BPSK majelis dapat berasal dari unsur pemerintah,
konsumen dan pelaku usaha.14

13
Republik Indonesia, Undang Undang tentang Perlindungan Konsumen, Nomor 8 Tahun 1999,
LN.RI Nomor 42 Tahun 1999, TLN.RI Nomor 3821, Pasal 52 j.o. Pasal 3, Keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen, Nomor 350/MPP/Kep/12/2001, Pasal 3.

14
Kurniawan, Perbandingan Penyelesaian Sengketa Konsumen di Indonesia dengan Negara-
Negara Common Law System, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Nomor 2 April-Juni, 2014, hlm. 288.
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) hanya menerima perkara yang nilai
kerugiannya kecil. Pemeriksaan dilakukan oleh hakim tunggal dan kehadiran penuh pihak ketiga
(pengacara) sebagai wakil pihak yang bersengketa tidak diperkenankan.15 Konsumen adalah
setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan. Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen
antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan
konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses
produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam undang-undang tersebut adalah
konsumen akhir.16
Sebagaimana Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Kepmenperindag)
Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen yang merupakan hukum acara BPSK. Dijelaskan bahwa penyelesaian
sengketa konsumen melalui BPSK lebih difokuskan pada penyelesaian sengketa terhadap
peredaran barang dan jasa.17 Akan tetapi, dalam peraturan tersebut tidak secara rinci dijelaskan
dan diberi batasan terkait dengan jenis barang dan jasa seperti apa yang menjadi kewenangan
BPSK.
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam melakukan penanganan
penyelesaian sengketa konsumen, sebelumnya konsumen diberi pilihan apakah dalam proses
penyelesaian sengketa tersebut akan menggunakan cara penyelesaian mediasi, konsiliasi ataupun
arbitrase. Dari ketiga cara penyelesaian tersebut, hanyalah terhadap putusan arbitrase yang dapat
diajukan upaya hukum keberatan melalui Pengadilan Negeri dan Kasasi melalui Mahkamah
Agung.
Akan tetapi, dalam praktiknya bahwa kasus yang seringkali ditangani oleh BPSK berada
dalam lingkup sektor jasa keuangan, seperti perbankan, pembiayaan konsumen, asuransi dan lain

15
Ibid., hlm. 81.
16
Duwi Handoko, Hukum Penyelesaian Sengketa Konsumen (Pekanbaru: Hawa dan AHWA,
Cetakan Pertama, 2019), hlm. 8.

17
Wisnu Kumala, Yaswirman., et.al., Kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK) dalam Menyelesaikan Sengketa Asuransi Pasca Keluarnya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
(POJK) Nomor 1/POJK.07/2014, Jurnal Mercatoria, 12 (2), Desember 2019, hlm. 105.
sebagainya. Sebagaimana hasil wawancara dengan Haerani selaku wakil ketua BPSK Kota
Mataram, menjelaskan bahwa:
Sebagian besar BPSK yang ada di Indonesia dalam menangani dan menyelesaikan
kasus pada sektor jasa keuangan baik bank maupun non bank sangat diupayakan
penyelesaiannya melalui cara konsiliasi dan mediasi karena apabila telah tercapai
kesepakatan akan dikeluarkan perjanjian damai, sebisa mungkin pihak majelis
menghindari penyelesaian sengketa dengan cara arbitrase karena kemungkinan ada
peluang bagi para pihak untuk membawa kasus tersebut hingga ke Mahkamah Agung.
Apabila para pihak merasa keberatan atas putusan yang dikeluarkan oleh BPSK meskipun
putusan tersebut diperkuat oleh Pengadilan, namun tidak diperkuat oleh Mahkamah
Agung maka itulah yang menimbulkan Mahkamah Agung menganggap bukan sengketa
tersebut bukan merupakan kewenangan BPSK. Padahal apabila dilihat dalam UUPK
tidak dibedakan apakah BPSK berwenang atau tidak dalam menyelesaikan sengketa di
sektor jasa keuangan, melainkan UUPK menjelaskan bahwa BPSK memiliki kewenangan
dalam melakukan penyelesaian sengketa. Maka BPSK di seluruh Indonesia tetap
menangani sengketa di bidang jasa keuangan baik bank maupun non bank. Berdasarkan
pengakuan dari beberapa konsumen apabila kasusnya diadukan ke OJK, oleh OJK kasus
tersebut tidak di konfrontir atau tidak ditindaklanjuti bahkan konsumen tersebut tidak
kunjung dihadapkan/dipertemukan dengan pelaku usaha, bahkan dibiarkan begitu saja,
oleh karena itu sejauh ini tidak ada penanganan yang maksimal oleh OJK, sehingga
konsumen datang mengadu ke BPSK oleh BPSK para pihak dipanggil dan akhirnya
proses penyelesaian sengketa dilakukan hingga menemukan kesepakatan bagi para pihak
yakni antara konsumen dan pelaku usaha dengan catatan bahwa para pihak sepakat untuk
menyelesaikan di BPSK.18
Kerangka penyelesaian sengketa untuk perlindungan konsumen sektor jasa keuangan di
Indonesia terdiri dari berbagai forum penyelesaian sengketa dan terdapat ketidakpastian atas
potensi tumpang tindihnya aturan yang berada di wilayah hukum masing-masing. Misalnya,
tidak sepenuhnya jelas apakah setelah dibentuknya mekanisme penyelesaian sengketa melalui
OJK, kemudian Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), masih terus memiliki
yurisdiksi untuk dapat mendengarkan sengketa terkait dengan sengketa konsumen di sektor jasa
keuangan.19 Oleh karena itu, dibentuklah lembaga yang secara khusus menangani sengketa di
sektor jasa keuangan yang dilakukan di luar pengadilan di luar pengadilan.
B. Konseptualisasi Pembentukan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa
(LAPS)
18
Haerani, Wawancara, Wakil Ketua Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota
Mataram, Tanggal 24 Juni 2020, pukul 08.06 WITA.

19
Douglas W. Arner, Wai Yee Wan.,et.al (Editor), Research Handbook On Asian Financial Law
(Australia (USA): Edward Elgar Publishing Limited, 2020), hlm. 215.
Setelah dibentuknya Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) di Sektor Jasa
Keuangan (SJK) melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) kerap kali menimbulkan
tanda tanya di masyarakat apakah sengketa di sektor jasa keuangan merupakan kewenangan
BPSK ataukah mutlak menjadi kewenangan LAPS.
Dengan lahirnya POJK terkait pembentukan LAPS, hal tersebut dinilai sebagai suatu
bentuk adanya disharmonisasi antara peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang
Perlindungan Konsumen (UUPK) dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) yang
didasarkan pada Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan. Sejalan dengan pendapat yang
dikemukakan oleh Bagir Manan, bahwa:
Kemungkinan-kemungkinan kenapa bisa terjadinya disharmonisasi hukum, dikarenakan
pembentukan terhadap peraturan tersebut dilakukan oleh lembaga yang berbeda dan
sering dalam kurun waktu yang berbeda sehingga mengakibatkan ketidakpastian
hukum.20

Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) adalah lembaga yang melakukan


penyelesaian sengketa di luar pengadilan.21 Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS)
dibentuk melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 1/POJK.07/2014. Di dalam
ketentuan POJK telah diklasifikasikan apa saja yang termasuk dalam kategori Lembaga Jasa
Keuangan.
Adapun yang dimaksud dengan Lembaga Jasa Keuangan adalah lembaga yang
melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga
pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya. 22 Yang termasuk dalam kategori Lembaga Jasa
Keuangan lainnya adalah pegadaian, lembaga penjamin, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia,
perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, dan lembaga yang menyelenggarakan pengelolaan
dana masyarakat yang bersifat wajib, meliputi penyelenggara program, jaminan sosial, pensiun,

20
Wisnu Kumala, Yaswirman., et.al., Kewenangan Badan, hlm. 106.

21
Republik Indonesia, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa, Nomor 1/POJK.07/2014, LN.RI Nomor 12 Tahun 2014, TLN.RI Nomor 5499,
Pasal 1 angka 2.

22
Republik Indonesia, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa, Nomor 1/POJK.07/2014, LN.RI Nomor 12 Tahun 2014, TLN.RI Nomor 5499,
Pasal 1 angka 4.
dan kesejahteraan serta lembaga jasa keuangan lain yang dinyatakan diawasi oleh OJK
berdasarkan peraturan perundang-undangan.23
Terjadinya interaksi antara konsumen dan Lembaga Jasa Keuangan (LJK) yang dinamis
ditambah dengan jumlah produk dan layanan jasa keuangan yang selalu berkembang sehingga
kemungkinan terjadinya sengketa tidak dapat dihindarkan.24 Sengketa adalah perselisihan antara
konsumen dengan Lembaga Jasa Keuangan dalam kegiatan penempatan dana oleh konsumen
pada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pemanfaatan pelayanan dan/atau produk Lembaga Jasa
Keuangan setelah melalui proses penyelesaian Pengaduan oleh Lembaga Jasa Keuangan.25
Oleh karena itu, munculnya sengketa disebabkan karena beberapa faktor salah satunya
disebabkan oleh kelalaian konsumen atau LJK dalam melaksanakan kewajiban dalam perjanjian
terkait produk atau layanan dimaksud. Penyelesaian sengketa harus dilakukan di LJK terlebih
dahulu. Dalam peraturan OJK tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan diatur
bahwa setiap LJK wajib memiliki unit kerja dan/atau fungsi serta mekanisme pelayanan dan
penyelesaian pengaduan bagi konsumen. Jika penyelesaian sengketa di LJK tidak mencapai
kesepakatan, maka sesuai amanat POJK bahwa konsumen dapat melakukan penyelesaian
sengketa di luar pengadilan atau melalui pengadilan. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan
dilakukan melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS).26
Berdasarkan uraian tersebut, bahwa jika terjadi sengketa, konsumen atau nasabah tidak
dapat serta merta menyelesaikan sengketa melalui LAPS. Mekanisme penyelesaian sengketa
yang dapat ditempuh oleh konsumen yaitu melakukan pengaduan kepada Pelaku Usaha Jasa
Keuangan (PUJK) untuk diselesaikan langsung oleh PUJK. Teknisnya, pihak konsumen atau
nasabah dapat mengajukan pengaduan kepada pihak PUJK melalui unit kerja atau fungs
penanganan pengaduan yang dibentuk masing-masing PUJK khusus untuk menangani
23
Republik Indonesia, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa, Nomor 1/POJK.07/2014, LN.RI Nomor 12 Tahun 2014, TLN.RI Nomor 5499,
Pasal 1 angka 10.

24
H. Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah: Teori dan Praktik (Jakarta: Kencana,
2017, Cetakan Ke-2), hlm. 93.

25
Republik Indonesia, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa, Nomor 1/POJK.07/2014, LN.RI Nomor 12 Tahun 2014, TLN. RI Nomor 5499,
Pasal 1 angka 13.

26
Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa, hlm. 93.
pengaduan konsumen dengan syarat setidak-tidaknya terdapat ketidaksesuaian perjanjian,
kerugian secara material, berkaitan dengan aspek finansial, serta dalam kondisi konsumen telah
memenuhi kewajibannya kepada pihak PUJK.27
Sengketa yang terjadi antar konsumen di jasa keuangan, terkait dengan proses
penyelesaiannya terlebih dahulu konsumen dapat melalui LJK di masing-masing sektor jasa
keuangan, kemudian apabila tidak tercapai kesepakatan maka dapat diselesaikan melalui
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) atau penyelesaian sengketa di luar
pengadilan.
C. Kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam
Menyelesaikan Sengketa di Sektor Jasa Keuangan Setelah Terbentuknya
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS)
Dalam melaksanakan penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan hingga saat ini
banyak menimbulkan pro dan kontra, terlebih sebelum lahirnya LAPS telah ada lembaga-
lembaga lain yang secara khusus diberikan tugas dan wewenang dalam melakukan penyelesaian
sengketa di luar pengadilan melalui amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, lembaga dimaksud ialah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK). BPSK melalui amanat UUPK serta Kepmenperindag 350/MPP/Kep/12/2001 yang
menjadi hukum acara BPSK, secara khusus memiliki tugas dan wewenang dalam melakukan
penyelesaian sengketa konsumen. Adapun penyelesaian sengketa yang dilakukan melalui LAPS
diawali dengan adanya kesepakatan dari kedua belah pihak yang bersengketa, apabila kedua
belah pihak sepakat maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan sama halnya apabila
penyelesaian sengketa dilakukan melalui BPSK.
Sejalan dengan konsep tersebut, sebagaimana dalam buku Susanti Adi Nugroho
dijelaskan bahwa, penyelesaian sengketa melalui LAPS harus didahului dengan adanya
perjanjian antara konsumen dan LJK terlebih dahulu, dimana dalam perjanjian menyebutkan
adanya kesepakatan bahwa apabila sengketa tidak dapat diselesaikan melalui musyawarah, maka
kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikan melalui LAPS di sektor jasa keuangan.
Persetujuan para pihak yang bersengketa untuk menggunakan LAPS tersebut dapat dibuat

27
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia (Jakarta: Kencana, edisi ketiga, 2020), hlm.
126.
sebelum maupun sesudah terjadi sengketa. Namun, sebaiknya dibuat sebelum timbul sengketa,
misalnya pada saat kontrak atau perjanjian awal.28
Dalam sistem penyelesaian sengketa melalui LAPS, sebagaimana dikutip dalam Artikel
Hukumonline, beberapa para pelaku usaha jasa keuangan (PUJK) mengeluhkan keberadaan
lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di luar pengadilan seperti BPSK, mereka menilai
bahwa BPSK telah melampaui kewenangan, seperti membatalkan lelang, meminta konsumen
tidak membayar ke PUJK, hingga menjatuhkan sanksi pidana kepada anggota PUJK dan BPSK
seringkali memutus sengketa konsumen yang tidak berdasar atas kesepakatan para pihak. Oleh
karena itu para pelaku usaha meminta agar keberadaan LAPS lebih dipertegas sebagai
penyelesaian sengketa industri keuangan.29
Kemudian ditanggapi oleh Anto Prabowo selaku Kepala Departemen Perlindungan
Konsumen OJK, mengatakan:
Bahwa akan menyusun regulasi yang mempertegas keberadaan LAPS sebagai jalan yang
wajib ditempuh ketika timbul sengketa keuangan. Caranya, yakni dengan membuat
kebijakan pencantuman klausula penyelesaian sengketa melalui LAPS dalam setiap
perjanjian atau kontrak antara konsumen dan PUJK.30
Berdasarkan uraian tersebut, maka kewenangan LAPS dalam melakukan penyelesaian
sengketa di sektor jasa keuangan pada dasarnya telah diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan (POJK), akan tetapi dalam peraturan tersebut tidak secara tegas dikatakan bahwa
sengketa di sektor jasa keuangan harus diselesaikan melalui LAPS. Selain itu, bahwa terhadap
penyelesaian sengketa yang telah dilakukan di internal dari masing-masing sektor jasa keuangan
apabila tidak tercapai kesepakatan maka dapat diajukan penyelesaian sengketanya di luar
pengadilan atau melalui LAPS, namun selain LAPS terdapat beberapa lembaga penyelesaian
sengketa di luar pengadilan seperti Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang salah
satu kewenangannya ialah melakukan penyelesaian sengketa antara konsumen dan pelaku usaha
sehingga secara tidak langsung bahwa masih terbuka ruang bagi konsumen untuk dapat
28
Susanti Adi Nugroho, Manfaat Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa (Jakarta:
Kencana, Cetakan ke-1), hlm. 237.

29
Hukumonline, Catatan Penting Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Keuangan, Artikel,
dalam http://m.hukumonline.com/berita/baca/lt5756b8129163e/catatan-penting-lembaga-alternatif-
penyelesaian-sengketa-keuangan/, diakses pada tanggal 15 Oktober 2020, pukul 22.59 WITA.

30
Ibid., Hukumonline, Catatan Penting Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Keuangan,
Artikel, dalam http://m.hukumonline.com/berita/baca/lt5756b8129163e/catatan-penting-lembaga-alternatif-
penyelesaian-sengketa-keuangan/, diakses pada tanggal 15 Oktober 2020, pukul 22.59 WITA.
mengajukan sengketa jasa keuangan selain melalui LAPS. Selain itu, bahwa dalam pasal-pasal
yang ada di Undang-Undang OJK maupun POJK tidak secara tegas menyatakan bahwa ketika
terjadi sengketa jasa keuangan harus diselesaikan melalui LAPS melainkan dapat diselesaikan di
luar pengadilan.
Terhadap peraturan perundang-undangan yang juga mengatur dan melindungi konsumen
baik sebelum maupun sesudah diberlakukannya UUPK maka UUPK dapat berkedudukan
sebagai ketentuan umum (lex generalis) atau dapat juga berkedudukan sebagai ketentuan khusus
(lex specialis). UUPK sebagai lex generalis, berarti bahwa ketentuan-ketentuan umum dalam
UUPK pada dasarnya dapat diterapkan terhadap ketentuan undang-undang khusus yang
mengatur perlindungan konsumen. Contohnya adalah dalam Undang-Undang No. 21 Tahun
2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Walaupun secara khusus dalam Undang-Undang
OJK telah ditentukan perlindungan konsumen khusus bagi konsumen di sektor jasa keuangan,
tetapi ketentuan-ketentuan umum dalam UUPK dapat digunakan untuk melindungi konsumen di
sektor jasa keuangan, sepanjang sesuai dengan pengertian konsumen dalam UUPK dan
sepanjang para pihak sepakat untuk memilih salah satu dari kedua lembaga tersebut yaitu BPSK
ataukah LAPS.31
Dalam rangka mengemban tugas penting dalam memberikan perlindungan kepada
konsumen di sektor jasa keuangan, maka OJK melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK)
mengeluarkan peraturan pertama yaitu POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Berdasarkan penjelasan dalam Pasal 2 POJK No. 1/2013,
bahwa ketentuan terkait dengan perlindungan konsumen sektor jasa keuangan wajib menerapkan
prinsip transparansi, perlakuan yang adil, keandalan, kerahasiaan dan keamanan data/informasi
konsumen, dan penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa konsumen secara sederhana,
cepat, dan biaya terjangkau.32
Sebagai tindak lanjut dalam rangka menciptakan suatu sistem penyelesaian sengketa
konsumen secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau, maka OJK mengeluarkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 1/POJK.07/2014 Tentang Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan. POJK tersebut kemudian mengamanatkan
31
Agus Suwandono, Ruang Lingkup Hukum Perlindungan Konsumen (Modul 1), hlm. 22.

32
Ema Rahmawati dan Rai Mantili, Penyelesaian Sengketa Melalui Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan, Jurnal, PJIH, Volume 3, Nomor 2, Tahun 2016, hlm. 241.
adanya suatu sistem penyelesaian sengketa yang terjadi di sektor jasa keuangan, yang terdiri dari
penyelesaian sengketa secara internal di lembaga jasa keuangan, penyelesaian melalui lembaga
peradilan umum (pengadilan), serta melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS)
dengan prosedur tertentu.33
Adapun terkait dengan kewenangan BPSK dalam penyelesaian sengketa konsumen di
sektor jasa keuangan setelah terbentuknya Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS).
Bahwa apabila dikaitkan dengan teori kewenangan yang dikemukakan oleh Indroharto, terdapat
tiga kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, yang meliputi atribusi,
delegasi dan mandat. Oleh karena itu, dengan diamanahkannya OJK melalui Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mengatur dan mengawasi
Lembaga Jasa Keuangan (LJK). Maka OJK melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK)
membentuk LAPS, yang kemudian kewenangan dalam penyelesaian sengketa di sektor jasa
keuangan diserahkan kepada masing-masing LAPS yang ada pada masing-masing sektor jasa
keuangan tersebut. Tindakan tersebut dianggap sebagai bentuk dari pendelegasian kewenangan
yang diberikan oleh OJK kepada masing-masing LAPS pada sektor jasa keuangan yang ada.34
Sebagaimana dalam penjelasan sebelumnya bahwa dasar hukum pembentukan BPSK
bersumber dari Pasal 49 Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), sehingga
pembentukannya merupakan bentuk kewenangan atribusi yakni kewenangan yang diberikan
langsung oleh pembuat undang-undang. Sehingga apabila dikaitkan dengan teori kewenangan
tersebut, maka BPSK dalam melakukan penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan masih
memiliki kewenangan, mengingat bahwa BPSK dibentuk melalui amanat undang-undang,
sedangkan LAPS pada masing-masng sektor jasa keuangan terbentuk melalui POJK. Dalam
tingkatan sistem hierarki perundang-undangan bahwa BPSK memiliki tingkatan lebih tinggi
dibandingkan dengan LAPS di masing-masing sektor jasa keuangan tersebut.35
Selain merujuk pada teori tersebut di atas, bahwa BPSK dikatakan memiliki kewenangan
dalam penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan, karena dalam hal pilihan penyelesaian
sengketa oleh konsumen maupun pelaku usaha didasarkan atas kesepakatan yang kemudian

33
Ibid., hlm. 142.

34
Ibid.

35
Ibid., hlm. 107.
dituangkan dalam perjanjian, sehingga perjanjian tersebut menjadi undang-undang bagi para
pihak dan mengikat bagi keduanya dengan kata lain disebut sebagai Asas Pacta Sunt Servanda.
Sebagaimana dalam ketentuan perundang-undangan menyatakan bahwa:
Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat
kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup
untuk itu.36
Pengaturan mengenai penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan merupakan
pelaksanaan amanat Pasal 29 huruf c Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (UU OJK). OJK diberi tugas untuk memfasilitasi penyelesaian pengaduan
konsumen yang dirugikan oleh PUJK sesuai dengan peraturan perundang-undangan di sektor
jasa keuangan. Pengertian memfasilitasi penyelesaian pengaduan konsumen dimaksud perlu
dimaknai secara luas, yaitu melalui kebijakan mekanisme penyelesaian sengketa di sektor jasa
keuangan.37 Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga yang melakukan
penyelesaian sengketa di luar pengadilan.38 Lembaga Jasa Keuangan adalah lembaga yang
melaksanakan kegiatan di sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun,
Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.39
Di sisi lain, pembentukan BPSK melalui Undang-Undang Perlindungan Konsumen
(UUPK) tidak kemudian menghapuskan kewenangan yang ada pada BPSK sebagaimana dalam
ketentaun UUPK, terlebih setelah dibentuknya Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan
kaitannya dengan tugas, fungsi serta wewenang dari lembaga jasa keuangan dalam penyelesaian
sengketa di sektor jasa keuangan. Lahirnya Undang-Undang OJK serta POJK yang secara khusus
menjadi dasar hukum pembentukan LAPS, bahwa mengenai teknis dan sistematika
36
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta: PT. Pradnya
Paramita, Cetakan ketiga puluh lima, 2004), hlm. 342.

37
R. Muhammad Mihradi dan Maman S. Mahayana, Meneroka Relasi Hukum, Negara, dan
Budaya (Bogor: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dengan Fakultas Hukum Universitas Pakuan, 2017), hlm.
183.

38
Republik Indonesia, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) tentang Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa, Nomor 1/POJK.07/2014, LN.RI Nomor 12 Tahun 2014, TLN. RI Nomor 5499,
Pasal 1 angka 3.

39
Republik Indonesia, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) tentang Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa, Nomor 1/POJK.07/2014, LN.RI No. 12 Tahun 2014, TLN. RI Nomor 5499, Pasal
1 angka 4.
pembentukannya secara yuridis tidak disebutkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk
mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan
aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut dalam hal ini dengan
keberadaan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK). Pada dasarnya terbentuknya
suatu undang-undang tidak terlepas dari sistematika dan teknik penyusunan peraturan
perundang-undangan. Pembentukan peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan
pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.40

Salah satu asas di atas yaitu  “dapat dilaksanakan” yang memiliki arti bahwa setiap
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan
Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun
yuridis, sebagai berikut:
a. Unsur filosofis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan
pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta
falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b. Unsur sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek.
c. Unsur yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi
permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan
yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian
hukum dan rasa keadilan masyarakat.41
Berdasarkan atas uraian di atas, pada dasarnya penyelesaian sengketa melalui BPSK
merupakan pilihan sukarela para pihak sama halnya dengan penyelesaian sengketa melalui LAPS
tentu para pihak terlebih dahulu membuat kesepakatan dalam bentuk perjanjian, apabila salah
satu pihak tidak sepakat maka penyelesaian sengketa tidak dapat di laksanakan, baik melalui

40
Sovia Hasanah, Arti Landasan Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis, Artikel Hukumonline, diterbitkan pada
hari Rabu 09 Mei 2018, dalam https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt59394de7562ff/arti-landasan-
filosofis--sosiologis--dan-yuridis/, diakses pada tanggal 29 Januari 2021, pukul 09.48 WITA.

41
Roy Marthen Moonti, Ilmu Perundang-Undangan (Makassar: Keretakupa, 2017), hlm. 69.
BPSK ataupun LAPS. Oleh karena itu, terkait dengan sengketa di dalam sektor jasa keuangan
maka BPSK dikatakan tetap memiliki kewenangan untuk menangani sengketa tersebut selama
terdapat kesepakatan antara para pihak yang bersengketa. Dengan lahirnya LAPS melalui amanat
OJK tidak kemudian menghapuskan kewenangan BPSK dalam melaksanakan penyelesaian
sengketa di sektor ajsa keuangan.

Kesimpulan
Setelah terbentuknya Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) melalui
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) di sektor jasa keuangan, atas amanat OJK yang
didasari oleh Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan, tidak menghilangkan kewenangan Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam melaksanakan penyelesaian sengketa
khususnya sengketa di sektor jasa keuangan, karena pada dasarnya pilihan atas lembaga mana
yang digunakan dalam penyelesaian sengketa, BPSK ataupun LAPS merupakan pilihan sukarela
para pihak dan atas kesepakatan para pihak yang bersengketa.
Saran
Pemerintah sebaiknya mengkaji kembali pasal di dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen (UUPK) khususnya terkait dengan kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK) agar tidak terjadi disharmonisasi terhadap beberapa peraturan terhadap
lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan dalam penyelesaian sengketa terkait dengan jasa
keuangan di luar pengadilan, dalam hal ini antara BPSK dengan LAPS. Selain itu, pemerintah
juga memberikan penjelasan di dalam UUPK terkait dengan batasan-batasan sengketa apa saja
yang menjadi kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), agar tidak terjadi
disharmonisasi terhadap perundang-undangan yang ada.
Daftar Pustaka
Abd. Aziz Billah, Peran Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Sektor Jasa
Keuangan Guna Mendukung Pembangunan Ekonomi Nasional, Jurnal RechtsVinding, Vol. 7,
No. 1, April 2018.

Abdul Atsar dan Rani Apriani, Buku Ajar: Hukum Perlindungan Konsumen (Yogyakarta:
Deepublish, 2019).

Andi Sri Rezky Wulandari dan Nurdiyana Tadjuddin, Hukum Perlindungan Konsumen
(Jakarta: Mitra Wacana Media, 2018).

Agus Suwandono, Ruang Lingkup Hukum Perlindungan Konsumen (Modul 1).

Celina Tri Siwi Krisiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: Sinar Grafika,
2008).

Duwi Handoko, Hukum Penyelesaian Sengketa Konsumen (Pekanbaru: Hawa dan


AHWA, Cetakan Pertama, 2019).

Douglas W. Arner, Wai Yee Wan.,et.al (Editor), Research Handbook On Asian


Financial Law (Australia (USA): Edward Elgar Publishing Limited, 2020).

Ema Rahmawati dan Rai Mantili, Penyelesaian Sengketa Melalui Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan, Jurnal, PJIH, Volume 3, Nomor 2, Tahun
2016.

Haerani, Kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagai


Lembaga Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan (Studi Di Kota Mataram), Tesis, Magister
Ilmu Hukum, Universitas Mataram, 2012.

H. Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah: Teori dan Praktik (Jakarta:
Kencana, 2017, Cetakan Ke-2).

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia (Jakarta: Kencana, edisi ketiga,


2020).

Hukumonline, Catatan Penting Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Keuangan,


Artikel, dalam http://m.hukumonline.com/berita/baca/lt5756b8129163e/catatan-penting-
lembaga-alternatif-penyelesaian-sengketa-keuangan/, diakses pada tanggal 15 Oktober 2020,
pukul 22.59 WITA.
Haerani, Wawancara, Wakil Ketua Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
Kota Mataram, Tanggal 24 Juni 2020, pukul 08.06 WITA.

Kurniawan, Perbandingan Penyelesaian Sengketa Konsumen di Indonesia dengan


Negara-Negara Common Law System, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Nomor 2 April-Juni,
2014.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dalam https://ojk.go.id/id/kanal/edukaasi-dan-


perlindungan -konsumen/Pages/Lembaga-Alternatif-Penyelesaian-Sengketa.aspx, diakses pada
tanggal 5 Oktober 2020, pukul 09.18 WITA.

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta: PT.


Pradnya Paramita, Cetakan ketiga puluh lima, 2004).

R. Muhammad Mihradi dan Maman S. Mahayana, Meneroka Relasi Hukum, Negara, dan
Budaya (Bogor: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dengan Fakultas Hukum Universitas Pakuan,
2017).

Roy Marthen Moonti, Ilmu Perundang-Undangan (Makassar: Keretakupa, 2017)

Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum
Acara Serta Kendala Implementasinya (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cet.2, Ed.1,
2011).

Susanti Adi Nugroho, Manfaat Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa


(Jakarta: Kencana, Cetakan ke-1).

Sovia Hasanah, Arti Landasan Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis, Artikel Hukumonline,
diterbitkan pada hari Rabu 09 Mei 2018, dalam
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt59394de7562ff/arti-landasan-filosofis--
sosiologis--dan-yuridis/, diakses pada tanggal 29 Januari 2021, pukul 09.48 WITA.

Wisnu Kumala, Yaswirman., et.al., Kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa


Konsumen (BPSK) dalam Menyelesaikan Sengketa Asuransi Pasca Keluarnya Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 1/POJK.07/2014, Jurnal Mercatoria, 12 (2), Desember
2019.

Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,


Cet.1, Ed.1, 2013).

Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, Nomor 8 Tahun


1999, LN.RI Nomor 42 Tahun 1999, TLN.RI Nomor 3821.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan tentang Pelaksanaan Tugas dan
Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Nomor 350/MPP/Kep/12/2001.
Republik Indonesia, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa, Nomor 1/POJK.07/2014, LN.RI Nomor 12 Tahun 2014, TLN. RI Nomor
5499.

Anda mungkin juga menyukai