Anda di halaman 1dari 39

PENANGANAN PERKARA SENGKETA KONSUMEN SECARA ARBITRASE OLEH

BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) DI KOTA SUKABUMI


(Nomor Perkara 09/P3K/BPSK/V/2020)

Dosen Pengampu:
Ibu Misnar Syam Syam, S.H., M.H.

Disusun Oleh:
Kelompok 9
Fajril Kurnia Rahman (NIM. 2210113075)
Ahmad Kholil Pahlefi (NIM. 2210113165)
Indri Sas Putri (NIM. 2210113188)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ANDALAS
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan
rahmat-Nya sehingga makalah kelompok 9 yang berjudul Penanganan Perkara Sengketa
Konsumen Secara Arbitrase oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) di
Kota Sukabumi (Studi Perkara Nomor 09/P3K/BPSK/V/2020) dapat diselesaikan dengan
baik.

Pembuatan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas yang telah di berikan oleh Ibu
Misnar Syam, S.H., M.H. selaku dosen Hukum Acara Perdata dan juga menambah wawasan
pembaca. Adapun sumber-sumber dalam pembuatan makalah ini didapatkan dari jurnal dan
buku yang membahas tentang materi yang berkaitan.

Pada kesempatan kali ini, tidak lupa juga kami ucapkan terima kasih kepada Ibu Misnar
Syam, S.H., M.H. karena telah memberi kami kepercayaan untuk menyelesaikan makalah ini
dan tidak lupa juga ucapan terima kasih kepada anggota kelompok 9 yang sudah ikut andil dalam
proses penyusunan makalah ini.

Terlepas dari itu semua, kami menyadari bahwa setiap manusia memiliki keterbatasan,
begitupun dengan kami yang masih menjadi seorang mahasiswa. Dalam pembuatan makalah ini
mungkin masih terdapat kekurangan baik dari segi susunan kata ataupun tata bahasanya, oleh
karena itu kami mengucapkan mohon maaf dan menerima segala saran serta masukan yang
membangun dari berbagai pihak. Kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi pembacanya.

Padang, 30 November 2023

Kelompok 9

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ...............................................................................................................ii
DAFTAR ISI .............................................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................................... 3
1.3 Tujuan Masalah ............................................................................................................. 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................ 4
2.1 Konsumen ..................................................................................................................... 4
2.2 Perlindungan Konsumen ............................................................................................... 4
2.3 Penyelesaian Sengketa Konsumen................................................................................ 6
2.3.1 Penyelesaian Sengketa Secara Litigasi .................................................................. 6
2.3.2 Penyelesaian Sengketa Non Litigasi ..................................................................... 8
2.4 Kedudukan BPSK dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen Dasar Hukum
Pembentukan BPSK .............................................................................................................. 13
BAB 3 PEMBAHASAN .......................................................................................................... 23
3.1 Sengketa Konsumen Perkara Nomor 09/P3k/BPSK/V/2020 ..................................... 23
3.2 Prosedur Pengaduan dan Penyelesaian Sengketa di BPSK Kota Sukabumi .............. 27
3.3 Kesesuaian Pertimbangan BPSK Dalam Menerima Dan Menangani Secara Arbitrase
Perkara Nomor 09/P3k/BPSK/V/2020 Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan ......... 32
BAB 4 PENUTUP .................................................................................................................... 34
4.1 Kesimpulan ................................................................................................................. 34
4.2 Saran ........................................................................................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 36

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sebagai makhluk sosial, manusia selalu membutuhkan orang lain. Ini
menunjukkan bagaimana ia digunakan dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Tidak ada
penjual tanpa pembeli, kreditur tanpa debitur, dan pelaku usaha tanpa konsumen.1
Meskipun keduanya terikat, peran konsumen dan pelaku usaha pasti berbeda.
Perselisihan antara keduanya dapat muncul sebagai hasil dari perbedaan tersebut saat
diterapkan.2 Ketika pelaku usaha dan konsumen berselisih, biasanya konsumen yang
dirugikan. Selain itu, ada juga pelanggan palsu yang memanfaatkan perselisihan untuk
mendapat keuntungan dari pelaku usaha, yang kemudian dapat dimintai ganti rugi. Oleh
karena itu, Undang-Undang Nomor 8 Pasal 45 ayat 2 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen memberi pihak yang berselisih pilihan untuk menyelesaikan perselisihan
melalui proses litigasi atau non-litigasi.3 Berbeda dengan penyelesaian sengketa
konsumen melalui litigasi, penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan (non
litigasi) dapat di selesaikan oleh lembaga yang bertanggung jawab atas penyelesaian
sengketa konsumen, yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).4
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) didirikan untuk memberikan
bantuan dalam penyelesaian perselisihan antara konsumen dan bisnis. Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menetapkan pembentukan
BPSK. BPSK didirikan dengan tujuan untuk memfasilitasi, mempercepat, dan
memastikan kepastian hukum bagi konsumen yang merasa dirugikan oleh perusahaan
"oknum" pelaku.5 Hanya wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
untuk menyelesaikan sengketa yang melibatkan hak-hak konsumen. BPSK didirikan dan

1
Diah Wahyulina dan Febry Chrisdanty, “Pengawasan Pencantuman Klausula Baku Oleh BPSK dan OJK”, Jurnal
Ilmiah Hukum, Vol. 12, No. 2, (November, 2018), h., 86.
2
Diah Wahyulina dan Febry Chrisdanty, “Penegakan Hukum Sengketa Konsumen oleh BPSK Untuk Pencegahan
Pelanggaran Hak Konsumen”, Jurnal Et-Tijarie, Vol. 5, No. 2 (2018), h., 92.
3
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
4
Bustamar, “Sengketa Konsumen dan Teknis Penyelesaiannya pada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK)” Juris, Vol. 14, No. 1 (Juni, 2015), h., 39.
5
Maryanto, Prosedur Penyelesaian Sengketa Konsumen di BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen),
(Semarang: Unissula Press, 2019), h., 13.

1
beroperasi dengan legalitas berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.6 Tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK) pada pasal 52 ayat (a) yaitu melaksanakan penanganan dan
penyelesaian sengketa konsumen melalui mediasi atau konsiliasi atau arbitrase. 7
Arbitrase adalah suatu proses simple yang dipilih oleh para pihak secara sukarela dan
diputuskan oleh juru pisah yang kedudukannya netral sesuai dengan pilihan para pihak
dan para pihak setuju akan menerima putusan tersebut secara final dan mengikat.
Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa mendefinisikan Arbitrase yaitu cara penyelesaian
suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase
yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. 8 Berdasarkan pengertian
diatas, terdapat kalimat ‘Perjanjian arbitrase’ yang menurut pasal 1 ayat (3) berarti suatu
kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis
yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase
tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.9 Dalam hal ini, apabila para
pihak telah bersepakat dalam perjanjian untuk menyelesaikan sengketanya (baik
wanprestasi maupun melawan hukum) untuk diselesaikan melalui arbitrase, maka
pengadilan tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak tersebut.10 Begitupun
sebaliknya, apabila para pihak telah bersepakat dalam perjanjiannya untuk
menyelesakan sengketanya melalui pengadilan, maka lembaga arbitrase manapun tidak
berwenang untuk mengadili sengketa tersebut. Seperti pada perkara mu’nah rahn emas
yang terdaftar di BPSK Kota Sukabumi dengan Nomor Perkara 09/P3K/BPSK/V/2020,
dengan penggugat Siti Nurlaela selaku nasabah (konsumen) dan tergugat PT. Pegadaian
Syariah Cabang Kebon Jati selaku pelaku usaha, nasabah (konsumen) mengadukan
masalahnya kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Sukabumi

6
Rida Ista Sitepu dan Hana Muhamad, “Efektifitas Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Sebagai
Lembaga Penyelesaian Sengketa Konsumen di Indonesia”, Jurnal Rechten: Riset Hukum dan Hak Asasi Manusia,
Vol. 3, No. 2 (2021), h., 8
7
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
8
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
9
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
10
Grace Henni Tampongangoy, “Arbitrase Merupakan Upaya Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa Dagang
Internasional”, Jurnal Lex et Societatis, Vol. III, No. 1 (Januari – Maret, 2015), h., 163.

2
terkait ketidaksanggupannya untuk membayar mu’nah atas 3 (tiga) akad rahn yang ia
pinjam dengan jaminan emas. Nasabah (konsumen) merasa dirugikan karena dipaksa
untuk membayar mu’nah dalam kondisi ekonomi yang sedang krisis, kemudian
konsumen tersebut memohon kepada BPSK untuk menghapus mu’nah yang harus ia
bayar. Pengaduan tersebut diterima oleh BPSK padahal sengketa tersebut bukan
sengketa konsumen melainkan sengketa wanprestasi yang bukan termasuk tugas dan
wewenang BPSK. Dan BPSK pun menangani perkara tersebut secara arbitrase,
sedangkan para pihak sedang terikat oleh perjanjian yang menetapkan upaya hukum di
pengadilan agama, dalam artian para pihak tidak memiliki perjanjian arbitrase. Akan
tetapi BPSK terus menangani perkara tersebut sampai lahirlah putusan arbitrase dengan
nomor 132/Pts/Arbt/BPSK/VIII/2020. Dari uraian diatas, kami merasa bahwa
permasalahan diatas menarik untuk dibahas lebih dalam. Oleh karena itu kami akan
melakukan diskusi kelompok dengan judul Penanganan Perkara Sengketa Konsumen
Secara Arbitrase Oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Di Kota
Sukabumi (Studi Perkara Nomor 09/P3K/BPSK/V/2020).

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Sengketa Konsumen Perkara Nomor 09/P3K/BPSK/V/2020?
2. Bagaimana Prosedur Pengaduan Dan Penyelesaian Di BPSK Kota Sukabumi?
3. Bagaimana Kesesuaian Pertimbangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK) Dalam Menerima Perkara Nomor 09/P3K/BPSK/V/2020?

1.3 Tujuan Masalah


1. Mengetahui.Sengketa Konsumen Perkara Nomor 09/P3K/BPSK/V/2020
2. Mengetahui Prosedur Pengaduan Dan Penyelesaian Di BPSK Kota Sukabumi
3. Mengetahui Kesesuaian Pertimbangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK) Dalam Menerima Perkara Nomor 09/P3K/BPSK/V/2020.

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsumen
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk
hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.11 Menurut Tjiptono (2008: 41) peranan
konsumen terdiri atas hal-hal sebagai berikut:
a. User, adalah orang yang benar-benar (secara aktual) mengkonsumsi atau
menggunakan produk atau mendapatkan manfaat dari produk atau jasa yang dibeli.
b. Payer, adalah orang yang mendanai atau membiayai pembelian.
c. Buyer, adalah orang yang berpartisipasi dalam pengadaan produk dari pasar.
Masing – masing peranan di atas bias dilakukan oleh satu orang, bisa pula oleh
individu yang berbeda. Jadi sesorang bisa menjadi user, sekaligus payer, dan buyer.
Selain itu, bisa juga individu A menjadi payer, B menjadi user, dan C menjadi buyer.
Itu semua tergantung kepada konteks atau situasi pembelian.12

2.2 Perlindungan Konsumen


Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.13 Perlindungan konsumen
bertujuan:
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri;
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari
ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian
hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

11
Pasal 1 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlingungan Konsumen
12
Fandy Tjiptono, Strategi Pemasaran (Yogyakarta : CV. Andi Offset, 2008) hlm.41
13
Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlingungan Konsumen

4
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan
konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam
berusaha;
f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha
produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
konsumen.14

Hak konsumen adalah:


a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa;
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai konsidi dan jaminan
barang dan/atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.15

Kewajiban konsumen adalah:


a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

14
Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
15
Pasal 4 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

5
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara
patut.16

2.3 Penyelesaian Sengketa Konsumen


Pada dewasa ini hampir semua negara dikembangkan berbagai jalan terobosan
alternatif karena kelemahan penyelesaian sengketa melalui pengadilan/litigasi yang
mengakibatkan terkurasnya sumber daya, dana, waktu, pikiran dan tenaga, dan mulai
mengedepankan pola-pola penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Menurut Pasal 45
ayat (2) UUPK menyebutkan bahwa Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh
melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang
bersengketa.17 Berdasarkan ketentuan ini, bisa dikatakan bahwa ada dua bentuk
penyelesaian sengketa konsumen, yaitu:

2.3.1 Penyelesaian Sengketa Secara Litigasi


Penyelesaian sengketa melalui pengadilan merupakan penyelesaian
sengketa baik yang dipilih sebagai klausula perjanjian ataupun tidak adanya
klausula perjanjian (pilihan hukum) yang mencantumkan pilihan penyelesaian
sengketa melalui pengadilan dan pengadilan sebagai tempat penyelesaian
sengketa. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi), penanganan
perkaranya melalui proses pendaftaran perkara di pengadilan negeri.
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen
menyatakan penyelesaian sengketa melalui pengadilan Pasal 48 yaitu:
“Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan
tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam
pasal 45”.
Penunjukan pasal 45 dalam hal ini, lebih banyak bertujuan pada
ketentuan tersebut dalam ayat (4). Artinya penyelesaian sengketa konsumen
melalui pengadilan hanya dimungkinkan apabila:18

16
Pasal 5 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
17
Pasal 45 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
18
Ahmad Miru & Sutarman Yodo, Op. Cit., hlm.

6
a. Para pihak belum memilih upaya penyelesaian sengketa konsumen diluar
pengadilan, atau
b. Upaya penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan dinyatakan tidak
berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi) adalah suatu pola
penyelesaian sengketa yang terjadi antara para pihak yang bersengketa, dalam
penyelesaian sengketa itu diselesaikan oleh pengadilan. Putusannya bersifat
mengikat. Penggunaan sistem litigasi mempunyai keuntungan dan
kekurangannya dalam penyelesaian suatu sengketa. Keuntungannya yaitu:19
1. Dalam mengambil alih keputusan dari para pihak, litigasi sekurang
kurangnya dalam batas tertentu menjamin bahwa kekuasaan tidak dapat
mempengaruhi hasil dan dapat menjamin ketentraman sosial
2. Litigasi sangat baik sekali untuk menemukan kesalahan-kesalahan dan
masalah-masalah dalam posisi pihak lawan.
3. Litigasi memberikan suatu standar bagi produsen yang adil dan memberikan
peluang yang luas kepada para pihak untuk didengar keterangannya sebelum
mengambil keputusan.
4. Litigasi membawa nilai-nilai masyarakat untuk menyelesaikan sengketa
pribadi.
5. Dalam sistem litigasi para hakim menerapkan nilai-nilai masyarakat yang
terkandung dalam hukum untuk menyelesaikan sengketa.
Penyelesaian melalui litigasi tidak hanya menyelesaikan sengketa tetapi
lebih dari itu, yaitu menjamin suatu bentuk ketertiban umum, yang tertuang
dalam undang-undang eksplisit maupun implisit.Namun, litigasi setidak-
tidaknya memiliki banyak kekurangan (draw-backs). Kekurangan litigasi
yaitu:20
1. Memaksa para pihak pada posisi yang ekstrem.

19
Anita D A Kolopaking, Asas Iktikad Baik dalam Penyelesaian Sengketa Kontrak Melalui Arbitrase, (Bandung:
PT Alumni, 2013), hlm. 39
20
Ibid.,hlm. 40

7
2. Memerlukan pembelaan (advocacy) atas setiap maksud yang dapat
mempengaruhi putusan.
3. Benar-benar mengangkat seluruh persoalan dalam perkara
4. Persoalan materi (substantive) atau prosedur, untuk persamaan kepentingan
dan mendorong para pihak melakukan penyelidikan fakta yang ekstrim dan
sering kali marginal.
5. Menyita waktu dan meningkatkan biaya keuangan.
6. Fakta-fakta yang dapat dibuktikan membentuk kerangka persoalan, para
pihak tidak selalu mampu mengungkapkan kekhawatiran mereka yang
sebenarnya.
7. Tidak mengupayakan untuk memperbaiki atau memulihkan hubungan para
pihak yang bersengketa
8. Tidak cocok untuk sengketa yang polisentris, yaitu sengketa yang
melibatkan banyak pihak, banyak persoalan dan beberapa kemungkinan
alternatif penyelesaian sengketa.
2.3.2 Penyelesaian Sengketa Non Litigasi
Penyelesaian sengketa non litigasi adalah penyelesaian sengketa yang
dilakukan di luar pengadilan.Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat
dilakukan dengan:
1. Penyelesaian sengketa secara damai oleh para pihak yang bersengketa
Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam pasal 45
ayat (2) UUPK, tidak menutup kemungkinan dilakukannya penyelesaian
secara damai oleh para pihak yang bersengketa yaitu pelaku usaha dan
konsumen, tanpa melalui pengadilan atau BPSK dan sepanjang tidak
bertentangan dengan UUPK. Dari penjelasan pasal 45 ayat (2) UUPK dapat
diketahui bahwa UUPK menghendaki agar penyelesaian damai, merupakan
upaya hukum yang harus terlebih dahulu diusahakan oleh para pihak yang
bersengketa, sebelum para pihak memilih untuk menyelesaikan sengketa
mereka di BPSK atau badan peradilan.21

21
Susanti Adi Nugroho, Op. cit., hlm. 99

8
2. Penyelesaian sengketa melalui BPSK Pemerintah membentuk suatu badan
yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) untuk
menyelesaikan sengketa konsumen diluar pengadilan. Dengan adanya
BPSK maka penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan secara cepat,
mudah dan murah. Setiap konsumen yang merasa dirugikan dapat
mengadukan masalahnya kepada BPSK, baik secara langsung, diwakili
kuasanya atau ahli warisnya. Penyelesaian sengketa konsumen di BPSK
diselenggarakan semata-mata untuk mencapai kesepakatan mengenai
bentuk dan besarnya ganti kerugian dan/atau mengenai tindakan tertentu
untuk menjamin tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh
konsumen.22
Dalam penyelesaian sengketa melalui non-litigasi, kita telah mengenal
adanya alternatif penyelesaian sengketa atau Alternative Dispute Resolution
(ADR), yang dijelaskan dalam Pasal 1 angka (10) Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan ADR, yang berbunyi sebagai berikut:
“Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau
beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian
sengketa diluar pengadilan dengan cara konsultasi, mediasi, konsiliasi,atau
penilaian ahli.”
Alternatif penyelesaian sengketa lahir dari tuntutan pencari keadilan yang
menginginkan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Cara
penyelesaian alternatif akhir-akhir ini mendapat perhatian dari berbagai kalangan
(terutama dalam dunia bisnis) sebagai cara penyelesaian perselisihan yang perlu
dikembangkan untuk mengatasi kemacetan melalui pengadilan.23
1. Konsultasi
Dalam Alternatif Penyelesaian sengketa terdapat beberapa bentuk
penyelesaian, antara lain: Konsultasi adalah suatu tindakan yang bersifat
“personal” antara suatu pihak tertentu (klien) dengan pihak lain yang
merupakan pihak konsultan, dimana pihak konsultan memberikan

22
Ibid., hlm. 100
23
Sudirto, Zaeni Asyhadie, Op. Cit., hlm. 11.

9
pendapatnya kepada klien sesuai dengan keperluan dan kebutuhan
kliennya.24
2. Negosiasi
Negosiasi sebagai sarana bagi para pihak yang bersengketa untuk
mendiskusikan penyelesaiannya tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai
penengah, sehingga tidak ada prosedur baku, akan tetapi prosedur dan
mekanismenya diserahkan kepada kesepakatan para pihak yang bersengketa
tersebut. Penyelesaian sengketa sepenuhnya dikontrol oleh para pihak,
sifatnya informal, yang dibahas adalah berbagai aspek, tidak hanya
persoalan hukum saja.
3. Konsiliasi
Konsiliasi adalah suatu penyelesaian dimana para pihak berupaya aktif
mencari penyelesaian dengan bantuan pihak ketiga. Konsiliasi diperlukan
apabila para pihak yang bersengketa tidak mampu menyelesaikan sendiri
perselisihannya.25
4. Mediasi
Jika pihak yang bersengketa tidak mampu merumuskan suatu kesepakatan,
maka pihak ketiga mengajukan usulan jalan keluar dari sengketa.Meskipun
demikian konsiliator tidak berwenang membuat putusan, tetapi hanya
berwenang membuat rekomendasi, yang pelaksanaanya sangat bergantung
pada itikad baik para pihak yang bersengketa sendiri. Mediasi adalah
penyelesaian sengketa dengan dibantu oleh pihak ketiga (mediator) yang
netral/tidak memihak.Peranan mediator adalah sebagai penengah (yang
pasif) yang memberikan bantuan berupa alternatif-alternatif penyelesaian
sengketa untuk selanjutnya ditetapkan sendiri oleh pihak yang bersengketa.
5. Penilaian Ahli
Pendapat para ahli untuk suatu hal yang bersifat teknis sesuai dengan bidang
keahliannya.

24
https://business-law.binus.ac.id/2017/05/31/ragam-dan-bentuk-alternatif-penyelesaiansengketa/ , diakses
tanggal 30 November 2023 19.50 WIB.
25
Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, OP. Cit., hlm. 11

10
6. Arbitrase
Arbitrase memiliki karakteristik yang hampir serupa dengan penyelesaian
sengketa adjudikatif. Sengketa dalam arbitrase diputus oleh arbiter atau
majelis arbiter yang mana putusan arbitrase tersebut bersifat final and
binding. Tidak semua bentuk alternatif penyelesaian sengketa baik untuk
para pihak yang bersengketa. Suatu alternatif penyelesaian sengketa yang
baik setidak-tidaknya haruslah memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut:26
a. Haruslah efisiensi dari segi waktu
b. Haruslah hemat biaya
c. Haruslah dapat diakses oleh para pihak. Misalnya tempatnya tidak
terlalu jauh.
d. Haruslah melindungi hak-hak dari para pihak yang bersengketa.
e. Haruslah dapat menghasilkan putusan yang adil dan jujur.
f. Badan atau orang yang menyelesaikan sengketa haruslah terpercaya di
mata masyarakat dan di mata para pihak yang bersengketa.
g. Putusannya haruslah final dan mengikat.
h. Putusannya haruslah bahkan mudah dieksekusi.
i. Putusannya haruslah sesuai dengan perasaan keadilan dari komuniti
dimana penyelesaian sengketa alternatif tersebut terdapat.
Penyelesaian sengketa secara non litigasi yakni melalui lembaga alternatif
penyelesaian sengketa, lebih menjadi pilihan dari para pelaku bisnis. Hal ini
terjadi karena terdapat keunggulan-keunggulan yang tidak dijumpai dalam
penyelesaian sengketa secara litigasi. Adapun beberapa keunggulan dari
penyelesaian sengketa secara non litigasi adalah sebagai berikut:
a. Sifat kesukarelaan dalam proses Kesukarelaan disini karena penyelesaian
sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan
perjanjian yang dibuat para pihak. Perjanjian dimaksud dibuat dengan
berdasarkan kesukarelaan, baik menyangkut substansi maupun proses

26
Munir Fuady, Arbitrase Nasional Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000),
hlm. 34

11
beracara di lembaga peradilan yang prosedurnya telah ditentukan secara
pasti.
b. Prosedur cepat Keunggulan lain dari alternatif penyelesaian sengketa adalah
dalam hal kecepatan. Kecepatan dalam penyelesaian tergantung dari itikad
baik para pihak yang bersengketa dalam berupaya menyelesaikannya
dengan mengedepankan semangat kekeluargaan.Prosedurnya pun
tergantung dari kesepakatan para pihak sehingga lebih fleksibel.
c. Putusan non yudisial Putusan bersifat non yudisial maksudnya bahwa
putusan yang dihasilkan tidak diputus oleh lembaga hakim, tetapi lebih pada
hasil kesepakatan para pihak yang bersengketa sendiri dengan atau tanpa
bantuan pihak ketiga yang netral.Karena merupakan kesepakatan maka hasil
penyelesaian hakikatnya merupakan perjanjian yang mengikat.
d. Prosedur rahasia Penyelesaian sengketa melalui pengadilan pada asasnya
terbuka dan dibuka untuk umum.Akan tetapi, dalam lembaga penyelesaian
sengketa alternative justru sebaliknya yaitu bahwa putusan harus
dirahasiakan.Hal ini ditujukan untuk menjaga reputasi dari para pihak yang
bersengketa.
e. Fleksibel dalam merancang syarat-syarat penyelesaian masalah. Syarat-
syarat penyelesaian masalah dalam lembaga alternatif penyelesaian
sengketa lebih fleksibel karena bisa ditentukan oleh para pihak yang
bersengketa.
f. Hemat waktu dan biaya Konsekuensi logis dari fleksibelnya prosedur
penyelesaian dan faktor kecepatan adalah bahwa menyelesaikan sengketa
melalui lembaga alternative akan menghemat waktu dan biaya. Hal ini
sejalan dengan asas dalam penyelesaian sengketa yaitu dilakukan secara
cepat, sederhana dan biaya murah.
g. Pemeliharaan hubungan baik Pemeliharaan hubungan baik antara pihak
yang bersengketa dapat terwujud karena penyelesaian sengketa dilakukan
secara dialogis dengan atau tanpa melibatkan pihak ketiga yang netral dan
putusan hakikatnya merupakan kesepakatan dari para pihak. Dengan
demikian, sifat penyelesaian sengketa yang ada yakni win-win solution,

12
bahwa setiap pihak tidak dirugikan dan masing-masing mendapatkan
keuntungan secara proporsional.
h. Lebih mudah dikontrol dan lebih mudah memperkirakan hasil Lembaga
alternatif penyelesaian sengketa dengan prosedur yang fleksibel, akan
memudahkan bagi pihak yang bersengketa untuk memperkirakan hasil
penyelesaiannya.
i. Putusan cenderung bertahan lama karena penyelesaian sengketa secara
kooperatif dibandingkan pendekatan adversarial atau pertentangan.

Proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan meliputi:27


a. Penyelesaian sengketa konsumen yang dilakukan oleh pelaku usaha dan
konsumen sendiri.
b. Penyelesaian dengan mengadu kepada Lembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat (LPKSM).
c. Penyelesaian dengan cara mengadu kepada Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen.

2.4 Kedudukan BPSK dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen Dasar Hukum


Pembentukan BPSK
Dasar hukum pembentukan BPSK adalah Undang-Undang No. 8 Tahun 1999.
Pasal 49 Ayat 1 yang menyatakan bahwa pemerintah membentuk Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen di Daerah Tingkat II untuk penyelesaian sengketa di luar
pengadilan. Ketentuan pasal 49 ayat (1) UUPK yang menetapkan pembentukan BPSK
hanya pada Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kota), memperlihatkan maksud pembuat
undang-undang bahwa putusan BPSK sebagai badan penyelesaian sengketa konsumen
diluar pengadilan tidak ada upaya banding dan kasasi.28
Kehadiran BPSK diresmikan pada tahun 2001, yaitu dengan adanya Keputusan
Presiden Nomor 90 Tahun 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen pada Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota

27
Susanti Adi Nugroho, Op. Cit., hlm 238
28
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., hlm. 246

13
Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota
Malang dan Kota Makassar.29
Selanjutnya dalam Keputusan Presiden No. 108 Tahun 2004 dibentuk lagi BPSK
di tujuh kota dan tujuh kabupaten berikutnya, yaitu di Kota Kupang, Kota Samarinda,
Kota Sukabumi, Kota Bogor, Kota Kediri, Kota Mataram, Kota Palangkaraya dan pada
Kabupaten Kupang, Kabupaten Belitung, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Bulungan,
Kabupaten Serang, Kabupaten Ogan Komering Ulu, dan Kabupaten Jeneponto30.
Terakhir, dalam Keputusan Presiden No. 18 Tahun 2005 membentuk BPSK di
Kota Padang, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Tangerang.
Menurut ketentuan pasal 90 Keppres No. 90 Tahun 2001, biaya pelaksanaan tugas BPSK
dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dalam upaya untuk memudahkan konsumen
menjangkau BPSK, maka dalam keputusan presiden tersebut, tidak dicantumkan
wilayah yurisdiksi BPSK, sehingga konsumen dapat mengadukan masalahnya pada
BPSK mana saja yang dikehendakinya. Sesuai dengan ketentuan pasal 50 UUPK,
kelembagaan BPSK terdiri dari:
a. Ketua merangkap anggota
b. Wakil ketua merangkap anggota
c. Anggota
BPSK dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh sekretariat. Pada setiap BPSK
dibentuk sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang terdiri atas kepala
sekretariat dan anggota, yang pengangkatan dan pemberhentiannya dilakukan oleh
menperindag. Untuk dapat diangkat menjadi anggota BPSK, seseorang harus memenuhi
syarat sebagai berikut:
a. Warga negara RI
b. Berbadan sehat
c. Berkelakuan baik
d. Tidak pernah dihukum karena kejahatan
e. Memiliki pengetahuan dan pengalaman dibidang perlindungan konsumen

29
Keputusan Presiden No. 90 Tahun 2001, LN No. 105 Tahun 2001
30
Keputusan Presiden No. 108 Tahun 2004

14
f. Berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun
Dalam pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ini mengacu pada
peraturan hukum, yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2001 Tentang Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen Nasional (BPKN)
3. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan Pengawasan
Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2001 Tentang Lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM)
5. Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen.
6. Keputusan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Nomor 301 MPP/Kep/10/2001
Tanggal 24 Oktober 2001 tentang Pengangkatan Pemberhentian Anggota
Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
7. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 302 MPP/Kep/10/2001
Tanggal 24 Oktober 2001 Tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat (LPKSM).
8. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350 MPP/Kep/12/2001
Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen.
9. Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor
605/MPP/Kep/8/2002 Tanggal 29 Agustus 2002 Tentang Pengangkatan Anggota
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
10. Keputusan Presiden Nomor 108 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
11. Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Pembentukan Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen.

Bentuk Penyelesaian Sengketa di BPSK


Penyelesaian sengketa diluar pengadilan atau Alternative Dispute Resolution
dapat ditempuh dengan berbagai cara, berupa: arbitrase, mediasi, konsiliasi, negosiasi,

15
konsultasi dan pendapat ahli. Dari sekian banyak cara penyelesaian sengketa di luar
pengadilan, UUPK dalam pasal 52 tentang tugas dan wewenang BPSK, memberikan 3
(tiga) macam bentuk penyelesaian sengketa di BPSK, yaitu:
1) Mediasi
Mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan
ditempuh atas inisiatif salah satu pihak atau para pihak. Dalam mediasi, majelis
BPSK bersikap aktif sebagai perantara dan penasihat. Pada dasarnya mediasi adalah
suatu proses dimana pihak ketiga (a third party), suatu pihak luar yang netral (a
neutral outsider) terhadap sengketa, mengajak pihak yang bersengketa pada suatu
penyelesaian sengketa yang disepakati. Sesuai dengan batasan tersebut mediator
berada di tengah-tengah dengan tidak memihak salah satu pihak.Sesuai dengan
sifatnya, mediasi tidak dapat diwajibkan (compulsory), tetapi hanya dapat terjadi
jika kedua belah pilah secara sukarela (voluntary) berpartisipasi.
Peran mediator sangat terbatas yaitu pada hakikatnya hanya menolong para pihak
untuk mencari jalan keluar dari persengketaan yang mereka hadapi, sehingga hasil
penyelesaian dalam bentuk kompromi terletak sepenuhnya pada kesepakatan para
pihak, dan kekuatannya tidak secara mutlak mengakhiri sengketa secara final dan
tidak pula mengikat secara mutlak tetapi tergantung pada itikad baik untuk
memenuhi secara sukarela.
Keuntungan penyelesaian sengketa melalui mediasi adalah karena cara
pendekatan penyelesaian diarahkan pada kerja sama untuk mencapai kompromi,
sehingga masing-masing pihak tidak perlu saling mempertahankan fakta dan bukti
yang mereka miliki, serta tidak membela dan mempertahankan kebenaran masing-
masing. Dengan demikian, pembuktian tidak lagi menjadi beban yang memberatkan
para pihak.
2) Arbitrase
Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan
umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh
para pihak yang bersengketa. Dalam upaya penyelesaian sengketa, para pihak
menyerahkan sepenuhnya kepada Majelis BPSK untuk memutuskan dan
menyelesaikan sengketa konsumen arbitrase. Arbitrase merupakan suatu metode

16
penyelesaian sengketa dalam masalah-masalah perdata yang dapat disetujui oleh
kedua belah pihak yang dapat mengikat (binding) dan dapat
dilaksanakan/ditegakkan.31
Kelebihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini karena putusannya
langsung final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para
pihak.Putusan arbitrase ini memiliki kekuatan eksekutorial, sehingga apabila pihak
yang dikalahkan tidak memenuhi putusan secara sukarela, maka pihak yang menang
dapat meminta eksekusi ke pengadilan.32 Secara umum dinyatakan bahwa lembaga
arbitrase mempunyai kelebihan, antara lain:
A. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak
B. Dapat dihindarkan kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedur dan
administratif
C. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai
pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang cukup mengenai masalah
yang disengketakan, jujur dan adil
D. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalah
serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase
E. Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan
melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat
dilaksanakan. Walaupun arbitrase memiliki kelebihan, namun pada akhir-
akhir ini peran arbitrase sebagai cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan
digeser oleh alternatif penyelesaian sengketa yang lain, Karena pada arbitrase:
 Biaya mahal, karena walaupun secara teori biayanya lebih murah
namun dalam prakteknya biaya yang harus dikeluarkan hampir sama
dengan biaya litigasi karena terdapat beberapa komponen biaya yang
harus dikeluarkan seperti biaya administrasi, honor arbiter, biaya
transportasi dan akomodasi arbiter serta biaya saksi dan ahli.

31
Yusuf Shofie, Op. Cit., hlm. 25

32

17
 Penyelesaian yang lambat, karena walaupun banyak sengketa yang
diselesaikan dalam jangka waktu 60-90 hari, namun banyak juga
penyelesaian yang memakan waktu panjang bahkan bertahun-tahun,
apalagi kalau terjadi perbedaan pendapat tentang penunjukan arbitrase
atau hukum yang hendak diterapkan, maka penyelesaiannya akan
bertambah rumit.
3) Konsiliasi
Konsiliasi merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang ditempuh
di luar pengadilan, yang diartikan sebagai: an independent person (conciliator)
brings the parties together and encourages a mutually acceptable resolution of the
dispute by facilitating communication between the parties. Di dalam konsiliasi,
seorang konsiliator akan mengklasifikasikan masalah-masalah yang terjadi dan
bergabung di tengah-tengah para pihak, tetapi kurang aktif dibandingkan dengan
seorang mediator dalam menawarkan pilihan-pilihan (options) penyelesaian suatu
sengketa. Konsiliasi menyatakan secara tidak langsung suatu Cara konsiliasi
ditempuh atas inisiatif salah satu pihak atau para pihak, sedangkan Majelis BPSK
bersikap pasif. Majelis BPSK bertugas sebagai perantara antara para pihak yang
bersengketa. Kebersamaan para pihak di mana pada akhirnya
kepentingankepentingan bergerak mendekat (moving closer) dan selanjutnya
dicapai suatu penyelesaian yang memuaskan kedua belah pihak (a measure of
goodwill). Oleh karena itu, maka penyelesaian sengketa konsumen sebaiknya
diselesaikan secara berjenjang dalam arti bahwa setiap sengketa diusahakan
penyelesaiannya melalui proses mediasi, jika mediasi gagal penyelesaian
ditingkatkan menjadi konsiliasi, dan jika konsiliasi gagal penyelesaian ditingkatkan
menjadi arbitrase.
Penyelesaian sengketa ini memiliki kesamaan dengan arbitrase, dan juga
menyerahkan kepada pihak ketiga untuk memberikan pendapatnya tentang sengketa
yang disampaikan para pihak. Namun pendapat dari konsiliator tersebut tidak
mengikat sebagaimana putusan arbitrase.Keterikatan para pihak terhadap pendapat
dari konsiliator menyebabkan penyelesaian sengketa tergantung pada kesukarelaan
para pihak. UUPK menyerahkan wewenang kepada BPSK untuk menyelesaikan

18
setiap sengketa konsumen (di luar pengadilan).UUPK tidak menentukan adanya
pemisahan tugas anggota BPSK yang bertindak sebagai mediator, arbitrator ataupun
konsiliator.

Tugas, Fungsi dan Wewenang BPSK dalam Penyelesaian Sengketa


Pasal 1 angka 11 UUPK menjelaskan bahwa Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa
antara pelaku usaha dan konsumen. Setiap penyelesaian sengketa konsumen
dilakukan oleh majelis yang dibentuk oleh Ketua BPSK dan dibantu oleh
panitera.Panitera BPSK berasal dari anggota secretariat yang ditetapkan oleh ketua
BPSK. Tugas panitera terdiri dari:
o Mencatat jalannya proses penyelesaian sengketa konsumen.
o Menyiapkan berkas laporan.
o Menjaga barang bukti.
o Membantu majelis menyusun putusan.
o Membantu menyampaikan putusan kepada konsumen dan pelaku usaha.
o Membuat berita acara persidangan.
o Membantu majelis dalam tugas-tugas penyelesaian sengketa.
Mengenai tugas dan wewenang BPSK diatur dalam pasal 52 UUPK jo.
Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan
Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yaitu:
a. Melaksanakan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi
atau arbitrase atau konsiliasi.
b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen.
c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku d. Melaporkan
kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam undang-
undang ini.
d. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen tentang
terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen.
e. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen.
f. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap
perlindungan konsumen.

19
g. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang
dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini.
i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli,
atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak
bersedia memenuhi panggilan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
h. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain
guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan.
i. Memutuskan atau menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak
konsumen.
j. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran
terhadap perlindungan konsumen.
k. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar
ketentuan undang-undang ini.
Dari pemaparan tentang tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa
tersebut di atas, dapat dilihat bahwa tugas utama dari dibentuknya Badan
Penyelesaian Sengketa adalah untuk menangani dan menyelesaikan sengketa
konsumen namun selain itu pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
juga mempunyai tugas lain yakni untuk lebih mengayomi dan memberikan fasilitas
kepada konsumen untuk lebih dapat mengerti tentang apa-apa saja hak-hak dari
konsumen. Berdasarkan tugas dan wewenang yang dimiliki oleh BPSK, BPSK
memiliki karakteristik lembaga kuasi yudisial sebagaimana yang dirumuskan oleh
Jimly Asshiddiqie. Adapun karakteristik yang dimiliki oleh Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK) adalah sebagai berikut:
1. BPSK memiliki kekuasaan untuk mendengar dan menentukan atau
memastikan fakta-fakta. Pada tugas dan wewenangnya BPSK dapat melakukan
penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen. Untuk
melaksanakan tugas tersebut BPSK dapat memanggil para pihak yang
bersengketa untuk dapat menyelesaikan sengketa yang terjadi. BPSK juga
dapat meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain.
2. BPSK memiliki kekuasaan untuk menguji saksi-saksi, untuk memaksa saksi-
saksi untuk hadir, dan untuk mendengar keterangan para pihak dalam

20
persidangan. Kekuasaan yang dimiliki oleh BPSK ini terlihat dari tugas dan
wewenang BPSK yang tertuang pada pasal 52 poin h dan i. Di mana dalam
poin tersebut dijelaskan bahwa BPSK dapat memanggil dan menghadirkan
saksi, saksi ahli, dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui tentang
pelanggaran UUPK. Bahkan BPSK sendiri memiliki wewenang untuk
meminta bantuan dari penyidik untuk dapat menghadirkan pelaku usaha, saksi
saksi ahli dan juga orang yang dianggap mengetahui pelanggaran UUPK.
3. BPSK memiliki kekuasaan untuk menegakkan keputusan atau menjatuhkan
sanksi hukuman. Tugas dan wewenang BPSK yang tertulis pada poin k dan m
menjelaskan bahwa BPSK dapat memutuskan dan menetapkan ada atau
tidaknya kerugian di pihak konsumen dan juga menjatuhkan sanksi
administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang
ini. Berdasarkan tugas dan wewenang tersebut, maka terdapat 2 (dua) fungsi
strategis dari BPSK, yaitu:
 BPSK berfungsi sebagai instrumen hukum penyelesaian sengketa diluar
pengadilan (alternative dispute resolution), yaitu melalui konsiliasi,
mediasi dan arbitrase.
 Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku (one-sided
standard from contract) oleh pelaku usaha (pasal 52 huruf c UUPK).
Termasuk disini klausula yang dikeluarkan oleh PT PLN (persero)
dibidang kelistrikan, PT Telkom (persero) dibidang telekomunikasi, bank-
bank milik pemerintah maupun swasta, perusahaan leasing/pembiayaan
dan lain-lain. Salah satu fungsi strategis ini adalah untuk menciptakan
keseimbangan kepentingan-kepentingan pelaku usaha dan konsumen.
Jadi, tidak hanya klausula baku yang dikeluarkan oleh pelaku usaha atau
badan usaha perusahaan- perusahaan swasta saja, tetapi juga pelaku usaha
atau perusahaan-perusahaan milik negara.

Kedudukan BPSK Dalam Sistem Penyelesaian Sengketa Konsumen


Pasal 47 UUPK menjelaskan, penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya
ganti kerugian dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi
21
kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.Untuk
penyelesaian sengketa antar pelaku usaha dan konsumen di luar pengadilan, pemerintah
membentuk suatu badan yaitu Badan Penyelesaian Sengketa konsumen yang berada di
daerah tingkat II (Kabupaten/Kota).
BPSK berkedudukan sebagai lembaga yang dapat memeriksa dan memutus
sengketa konsumen, yang bekerja seolah-olah sebagai sebuah pengadilan. Karena itu
BPSK dapat disebut sebagai quasi peradilan. BPSK menyelesaikan perkara-perkara
kecil, atau sengketa konsumen yang berskala kecil dan bersifat sederhana. Badan
penyelesaian sengketa konsumen wajib mengeluarkan putusan paling lambat 21 hari
kerja setelah gugatan diterima, hal ini tertulis dalam pasal 55 UUPK. Dalam waktu
paling lambat 7 hari kerja semenjak menerima putusan dari badan penyelesaian sengketa
konsumen pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut.
Berdasarkan Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor:
350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK dinyatakan
bahwa BPSK sebagai lembaga penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan
menyelesaikan penyelesaian sengketa dengan cara konsiliasi, mediasi, atau arbitrase.
Penyelesaian sengketa konsumen di BPSK melalui cara konsiliasi dilakukan sendiri oleh
para pihak yang bersengketa didampingi oleh Majelis yang bertindak sebagai
konsiliator. Penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK dengan cara Mediasi dilakukan
sendiri oleh para pihak yang bersengketa dan didampingi oleh majelis yang bertindak
sebagai mediator. Penyelesaian sengketa konsumen melalui arbitrase dilakukan
sepenuhnya dan diputuskan oleh Majelis yang bertindak sebagai arbiter. Dalam
menyelesaikan sengketa konsumen BPSK membentuk majelis. Pada pasal 54 ayat yang
ke (3) UUPK menyatakan bahwa putusan yang dikeluarkan oleh majelis bersifat final
dan mengikat.

22
BAB 3
PEMBAHASAN

3.1 Sengketa Konsumen Perkara Nomor 09/P3k/BPSK/V/2020


Para pihak yang berpekara
a. Siti Nurlaela, bertempat tinggal di Kp. Babakan Sempur, RT 001/RW 014, Desa
Cipurut, Kecamatan Cireunghas, Kabupaten Sukabumi, merupakan nasabah
(konsumen), dalam hal ini disebut Pemohon.
b. PT. Pegadaian Syariah (Persero) Cabang Kebonjati, yang berkedudukan di Jalan
Zaenal Zakse No. 38/40, Kebonjati. Cikole, Sukabumi, merupakan lembaga
keuangan (pelaku usaha), dan diwakili oleh Sulastri (Kepala Cabang PT. Pegadaian
Syariah Kebonjati), Dalam hal ini disebut Termohon.

Duduk Permasalahan
Diawali dengan Pemohon dan Termohon saling mengikatkan diri dengan
melakukan perjanjian utang piutang menggunakan akad Rahn sebanyak 3 (tiga) akad
dengan jaminan emas perhiasan kepada Termohon, Pemohon meminjam uang kepada
Termohon untuk modal usaha rehab kontrakan miliknya, dengan total utang sebesar Rp
45.800.000,00 (empat puluh lima juta delapan ratus ribu rupiah), dengan rincian sebagai
berikut:

No No. Akad Tgl. Tgl. Akad Tgl. Tgl. Marhun


Akad Terakhir Jatuh Lelang Bih
Awal Tempo

1 60238-17-02- 27-08- 11-12- 08-04- 12-04- 20.250.000


006738-2 2017 2019 2020 2020

2 60238-17-02- 27-02- 23-12- 20-04- 24-04- 24.500.000


001685-0 2017 2019 2020 2020

3 60239-19-02- 05-11- 09-03- 06-07- 10-07- 1.050.000


001960-1 2019 2019 2020 2020

Jumlah 45.800.000

23
Dari ketiga pinjaman tersebut Pemohon telah melakukan beberapa kali
perpanjangan (ulang rahn), cicil dan minta tambah, sehingga jika dijumlahkan mu’nah
yang harus dibayarkan Pemohon itu sangat tinggi. Berikut rincian dari riwayat setiap
akad:
➢ Akad rahn No. 60238-17-02-006738-2, tercatat di CPS Kebonjati dengan riwayat
akad sebagai berikut:

No Tgl. Akad Marhun Bih Mu’nah/ Keterangan Jarak


(Pinjaman) Ujrah (Hari)

1 27 Agustus 2017 18.200.000 - Akad awal

2 6 Desember 2017 18.200.000 1.539.300 Perpanjangan 102

3 4 April 2018 18.200.000 1.688.700 Perpanjangan 120

4 1 Agustus 2018 18.000.000 1.688.500 Cicil Rp 200.000 120

5 1 Desember 2018 17.300.000 1.663.600 Cicil Rp 700.000 123

6 15 Maret 2019 17.300.000 1.505.700 Perpanjangan 106

7 11 Juli 2019 17.300.000 1.642.900 Perpanjangan 119

8 2 Agustus 2019 20.250.000 411.100 Minta tambah 23


Rp 2.950.000

9 11 Desember 20.250.000 1.669.300 Perpanjangan 132


2019

Jumlah 11.809.100

➢ Akad Rahn No. 60238-17-02-001685-0, tercatat di CPS Kebonjati dengan riwayat


akad sebagai berikut:

24
No Tgl. Akad Marhun Bih Mu’nah/ Keterangan Jarak
(Pinjaman) Ujrah (Hari)

1 27 Feb 2017 10.000.000 Akad awal

2 21 Mei 2017 22.300.000 674.100 Minta tambah 85


Rp12.300.000

3 13 Sep 2017 22.300.000 1.782.500 Perpanjangan 116

4 3 Jan 2018 22.300.000 1.771.700 Perpanjangan 113

5 2 Mei 2018 22.300.000 1.807.800 Perpanjangan 120

6 15 Mei 2018 6.750.000 300.800 Cicil Rp 14


15.550.000

7 23 Juli 2018 24.150.000 363.300 Minta tambah 70


Rp 17.400.000

8 13 Nov2018 20.150.000 1.929.300 Cicil 114


Rp 4.000.000

9 15 Des 2018 23.800.000 561.900 Minta tambah 33


Rp 3.650.000

10 22 April 2019 24.500.000 1.961.600 Minta tambah 129


Rp 700.000

11 19 Agustus 2019 24.500.000 2.020.900 Perpanjangan 120

12 23 Des 2019 24.500.000 2.048.200 Perpanjangan 127

Jumlah 15.222.100

➢ Akad Rahn No. 60239-19-02-001960-1, tercatat di UPS Sukaraja dengan riwayat


akad sebagai berikut:

25
No Tgl. Akad Marhun Bih Mu’nah/ Keterangan Jarak
(Pinjaman) Ujrah (Hari)

1 5 Nov 2019 1.050.000 Akad awal

2 9 Maret 2020 1.050.000 99.500 Perpanjangan 125

Jumlah 99.500

Jika dilihat dari ketiga tabel diatas, setiap Pemohon melakukan perpanjangan maka
otomatis Pemohon berkewajiban membayar mu’nah yang dari perpanjangan tersebut.
Jika dijumlahkan biaya mu’nah keseluruhan adalah sebesar Rp 27.130.700,00 (dua
puluh tujuh juta seratus tiga puluh ribu tujuh ratus rupiah).
Karena mu’nah sangat besar, dan Pemohon tidak mampu membayarnya, Penggugat
mendatangi Termohon pada tanggal 13 Maret 2020 dan tanggal 23 April 2020 dengan
maksud ingin meminta penghapusan biaya mu’nah/ujrah terhadap utangnya karena
Pemohon keberatan dan sedang dalam keadaan kesulitan keuangan dengan membawa
dokumen terkait relaksasi kredit sesuai kebijakan Presiden Joko Widodo. Akan tetapi
Termohon tidak mengabulkan permintaan tersebut, karena itu sudah menjadi kewajiban
Pemohon sesuai dengan perjanjian yang telah ditandatangani.
Karena keluhannya tidak digubris oleh pihak Termohon, kemudian pada tanggal 5
Mei 2020 Pemohon mengadukan keluhannya kepada Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK), pengaduan tersebut diterima oleh BPSK dan diperiksa melalui
arbitrase pada tanggal 11 Mei 2020. Setelah melaksanakan proses penyelesaian
sengketa, pada tanggal 14 Agustus 2020 BPSK mengeluarkan putusan terhadap perkara
ini dengan Putusan Nomor 132/Pts/Arbt/BPSK/VIII/2020, yang amar putusannya
sebagai berikut:
1. Mengabulkan sebagian gugatan Pemohon dengan penghapusan Mu’nah dan
membayar pokok pinjaman;
2. Sejak Pemohon mengajukan pengaduannya ke BPSK Kota Sukabumi, tidak ada lagi
Pemohon untuk membayar Mu’nah;

26
3. Memerintahkan kepada Termohon melelang secara Syariah yang diizinkan
Pemohon yaitu 33,4 gram dan hasil penjualan/lelang keseluruhannya dibayarkan
terhadap pokok pinjaman;
4. Diwajibkan kepada Pemohon untuk mengembalikan pokok pinjaman keseluruhan
kepada Termohon setelah dikurangi hasil penjualan/lelang pada poin (3).
5. Menolak gugatan Pemohon selebihnya.

3.2 Prosedur Pengaduan dan Penyelesaian Sengketa di BPSK Kota Sukabumi


Tata cara pengaduan dan penyelesaian sengketa melalui BPSK antara lain sebagai
berikut:
a. Melakukan pendaftaran pengaduan.
Proses pendaftaran pengaduan terdapat dua kemungkinan apakah pengaduan
tersebut diterima atau ditolak oleh pihak BPSK. Karena dalam Keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Tugas
dan Wewenang BPSK Pasal 17 dijelaskan bahwa:
Ketua BPSK menolak permohonan penyelesaian sengketa konsumen apabila:
o Permohonan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
o Permohonan gugatan bukan merupakan kewenangan BPSK.
Apabila pengaduan tersebut bukan termasuk kedua unsur tersebut, maka
gugatan akan diterima oleh BPSK.
b. Pemilihan Metode Penyelesaian Sengketa
Setelah BPSK menerima perkara pengaduan, maka BPSK diwakili oleh
sekretariat akan memanggil pelaku usaha agar hadir dalam persidangan,
permanggilan tersebut dilakukan dalam kurun waktu 3 (tiga) hari kerja sebelum
persidangan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala sekretariat BPSK, di hari
persidangan, penggugat (konsumen) dan tergugat (pelaku usaha) diberi 3 (tiga)
pilihan mengenai metode apa yang akan digunakan, pilihan tersebut antara lain
konsiliasi, mediasi dan arbitrase. Ketiga metode tersebut tidak bisa dilakukan secara
berjenjang, tetapi para pihak memilih salah satunya.
Apabila pilihan penggugat (konsumen) dan tergugat (pelaku usaha) sepakat
memilih satu metode yang sama, maka langsung dibuatkan surat ketetapan para

27
pihak dan langsung dilakukan persidangan secara metode yang dipilih. Tetapi,
apabila pilihan para pihak berbeda, seperti contoh penggugat (konsumen) memilih
penyelesaian sengketa secara mediasi, sedangkan tergugat (pelaku usaha) memilih
penyelesaian sengketa secara arbitrase, maka persidangan cukup sampai disitu dan
tidak dapat dilanjutkan.
c. Pelaksanaan Persidangan
Setelah para pihak memilih metode penyelesaian sengketa di BPSK, maka akan
dilaksanakan persidangan dengan metode yang dipilih. Adapun proses persidangan
di BPSK sebagai berikut:
1) Persidangan dengan cara Konsiliasi.
Apabila dalam persidangan penggugat hadir, majelis BPSK akan
mendampingi para pihak untuk menyelesaikan sengketa secara konsiliasi, pihak
ketiga tersebut disebut konsiliator. Tugas yang dimiliki oleh konsiliator antara
lain:
 Memanggil konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa;
 Memanggil saksi dan saksi ahli bila diperlukan;
 Menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa;
 Menjawab pertanyaan konsumen dan pelaku usaha, perihal peraturan
perundang-undangan di bidang perlindungan konsumen.
Tata cara penyelesaian sengketa konsumen dengan cara Konsiliasi adalah
Majelis (konsiliator) menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa
kepada konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan, baik mengenai bentuk
maupun jumlah ganti rugi. Konsiliator juga bertindak pasif dalam membantu
penyelesaian sengketa, kemudian konsiliator menerima hasil musyawarah
konsumen dan pelaku usaha dan mengeluarkan keputusan berdasarkan hasil
musyawarah para pihak.
2) Persidangan dengan cara Mediasi.
Dalam persidangan melalui mediasi, penyelesaian sengketa diserahkan
kepada para pihak serta didampingi oleh majelis BPSK yang berperan sebagai
penengah yang disebut dengan mediator.

28
Prosedur penyelesaian sengketa konsumen adalah mediator menyerahkan
sepenuhnya penyelesaian sengketa kepada para pihak, baik mengenai bentuk
maupun ganti rugi, mediator juga berperan aktif dengan memberikan saran,
nasihat, petunjuk, serta upaya lain dalam penyelesaian sengketa, kemudian
mediator menerima hasil musyawarah dari konsumen dan pelaku usaha serta
mengeluarkan putusan. Adapun mediator memiliki tugas sebagai berikut:
 Memanggil konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa;
 Memanggil saksi atau saksi ahli bila diperlukan;
 Menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa;
 Berperan secara aktif untuk mendamaikan para pihak; dan
 Berperan secara aktif untuk memberikan saran atau anjuran penyelesaian
sengketa konsumen sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang
perlindungan konsumen.
3) Persidangan dengan cara Arbitrase.
Dalam penyelesaian sengketa konsumen dengan cara Arbitrase, para
pihak memilih arbiter dari anggota BPSK yang berasal dari unsur pelaku usaha
dan konsumen sebagai anggota Majelis. Kemudian kedua Arbiter yang dipilih
oleh para pihak akan memilih arbiter ketiga dari anggota BPSK yang berasal dari
unsur Pemerintah sebagai Ketua Majelis.
Ketua Majelis di dalam persidangan wajib memberikan petunjuk kepada
konsumen dan pelaku usaha, mengenai upaya upaya hukum yang digunakan oleh
konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa. Dan dengan izin Ketua Majelis,
konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa dapat mempelajari semua berkas
yang berkaitan dengan persidangan dan membuat kutipan seperlunya.
Pada hari persidangan I (pertama) Ketua Majelis wajib mendamaikan
kedua belah pihak yang bersengketa dan bilamana tidak tercapai perdamaian,
maka persidangan dimulai dengan membacakan isi gugatan konsumen dan surat
jawaban pelaku usaha. Ketua Majelis memberikan kesempatan yang sama
kepada konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa untuk menjelaskan hal-hal
yang dipersengketakan. Sebelum pelaku usaha memberikan jawabannya,
konsumen dapat mencabut gugatannya dengan membuat surat pernyataan, maka

29
dalam persidangan pertama Majelis wajib mengumumkan bahwa gugatan
dicabut. Apabila dalam proses penyelesaian sengketa konsumen terjadi
perdamaian antara konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa, Majelis wajib
membuat putusan dalam bentuk penetapan perdamaian.
Apabila pelaku usaha atau konsumen tidak hadir pada hari persidangan I
(pertama) Majelis memberikan kesempatan terakhir kepada konsumen dan
pelaku usaha untuk hadir pada persidangan ke II (kedua) dengan membawa alat
bukti yang diperlukan.
Persidangan ke II (kedua) diselenggarakan selambat-lambatnya dalam
waktu 5 (lima) hari kerja terhitung sejak hari persidangan I (pertama) dan
diberitahukan dengan surat panggilan kepada konsumen dan pelaku usaha oleh
Sekretariat BPSK. Apabila pada persidangan ke II (kedua) konsumen tidak hadir,
maka gugatannya dinyatakan gugur demi hukum, sebaliknya jika pelaku usaha
yang tidak hadir, maka gugatan konsumen dikabulkan oleh Majelis tanpa
kehadiran pelaku usaha.
d. Pengajuan Keberatan
Putusan BPSK secara konsiliasi dan mediasi bersifat final dan mengikat,
sedangkan untuk putusan BPSK secara arbitrase dapat diajukan keberatan oleh
pihak yang merasa tidak puas dengan putusan BPSK.
Dalam pengajukan keberatan terhadap putusan BPSK dapat diajukan kepada
Pengadilan Negeri di tempat kedudukan hukum konsumen. Jangka waktu
pengajuan keberatan selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja
terhitung sejak keputusan BPSK diberitahukan.
e. Pengajuan tingkat Kasasi
Permohonan kasasi dalam perkara perdata disampaikan secara tertulis atau lisan
melalui Panitera Pengadilan Tingkat Pertama yang telah memutus perkaranya,
dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan
Pengadilan yang dimaksudkan diberitahukan kepada pemohon. Apabila tenggang
waktu 14 (empat belas) hari tersebut telah lewat tanpa ada permohonan kasasi yang
diajukan oleh pihak berperkara, maka pihak yang berperkara dianggap telah
menerima putusan.

30
Setelah pemohon membayar biaya perkara, Panitera tersebut ayat (1) mencatat
permohonan kasasi dalam buku daftar, dan pada hari itu juga membuat akta
permohonan kasasi yang dilampirkan pada berkas perkara. Selambat-lambatnya
dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah permohonan kasasi terdaftar, Panitera Pengadilan
Dalam Tingkat Pertama yang memutus perkara tersebut memberitahukan secara
tertulis mengenai permohonan itu kepada pihak lawan.
Dalam pengajuan permohonan kasasi pemohon wajib menyampaikan pula
memori kasasi yang memuat alasan-alasannya, dalam tenggang waktu 14 (empat
belas) hari setelah permohonan yang dimaksud dicatat dalam buku daftar.
Panitera Pengadilan yang memutus perkara dalam tingkat pertama memberikan
tanda terima atas penerimaan memori kasasi dan menyampaikan salinan memori
kasasi tersebut kepada pihak lawan dalam perkara yang dimaksud dalam waktu
selambat-lambatnya 30 hari.
Pihak lawan berhak mengajukan surat jawaban terhadap .memori kasasi kepada
Panitera, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterimanya
salinan memori kasasi.
Setelah menerima memori kasasi dan jawaban terhadap memori kasasi, Panitera
Pengadilan yang memutus perkara dalam tingkat pertama, mengirimkan
permohonan kasasi, memori kasasi, jawaban atas memori kasasi, beserta berkas
perkaranya kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari.
Panitera Mahkamah Agung mencatat permohonan kasasi tersebut dalam buku
daftar dengan membubuhkan nomor urut menurut tanggal penerimaannya,
membuat catatan singkat tentang isinya, dan melaporkan semua itu kepada
Mahkamah Agung.
Apabila ada tambahan memori kasasi yang disampaikan diluar tenggang waktu
14 hari, maka tambahan tersebut hanya berlaku sebagai bahan ad informandum bagi
Mahkamah Agung dan tidak dipertimbangkan sebagai alasan kasasi yang
membatalkan putusan

31
3.3 Kesesuaian Pertimbangan BPSK Dalam Menerima Dan Menangani Secara
Arbitrase Perkara Nomor 09/P3k/BPSK/V/2020 Berdasarkan Peraturan
Perundang-Undangan
Dari kasus diatas, yang menjadi Pertimbangan BPSK Kota Sukabumi dalam
menerima pengaduan nomor perkara 09/P3K/BPSK/V/2020, karena konsumen tersebut
merupakan konsumen akhir yang sudah mengkonfirmasi dan komplain kepada pelaku
usaha, tetapi belum menemukan titik terang. Analisis Pertimbangan BPSK dalam
menerima Perkara Nomor 09/P3K/BPSK/V/2020 dapat dianalisis melalui Pasal 15 ayat
(1) yang berbunyi: “Setiap Konsumen yang dirugikan dapat mengajukan penyelesaian
sengketa konsumen kepada BPSK baik secara tertulis maupun lisan melalui Sekretariat
BPSK”.
Kata ‘konsumen’ pada bunyi pasal tersebut bermakna konsumen akhir, yang
didefinisikan dalam Pasal 1 ayat (2) berbunyi “Konsumen adalah setiap orang pemakai
barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak diperdagangkan”.
Dalam perkara dengan Nomor Registrasi 09/P3K/BPSK/V/2020, Konsumen
datang langsung ke kantor sekretariat BPSK yang berlokasi di Jalan Surya Kencana,
Cikole, Kecamatan Cikole Kota Sukabumi. Nasabah (konsumen) tersebut menggunakan
layanan jasa yang disediakan Pegadaian Syariah Kebonjati (pelaku usaha) untuk dirinya
sendiri. Oleh karena itu, nasabah tersebut masuk ke dalam kriteria konsumen akhir.
Kata ‘dirugikan’ pada pasal diatas menunjukan bahwa persyaratan pengaduan ke
BPSK bukan hanya sebagai konsumen akhir saja, akan tetapi konsumen tersebut harus
mengalami kerugian yang disebabkan oleh pelaku usaha.
Dalam perkara Nomor 09/P3K/BPSK/V/2020 berdasarkan formulir pengaduan
yang diisi langsung oleh konsumen, tidak terdapat kerugian yang dialami oleh
konsumen. Konsumen menyebutkan bahwa kerugian yang dialaminya berbentuk non
materil berupa pemaksaan top up untuk membayar biaya mu’nah, sedangkan mu’nah
merupakan kewajiban yang harus dibayar konsumen selaku Rahin.
Terdapat dalam ayat (3) Fatwa DSN-MUI Nomor: 25/DSN-MUI/III/2002
Tentang Rahn yang menjelaskan biaya mu’nah merupakan kewajiban Rahin yang
berbunyi “Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban

32
Rahin, namun dapat dilakukan juga oleh Murtahin, sedangkan biaya pemeliharaan dan
penyimpanan tetap menjadi kewajiban Rahin”.
Dari analisis diatas yang dilakukan berdasarkan teori efektivitas hukum, dapat
dikatakan bahwa dalam pertimbangan BPSK menerima perkara nomor
09/P3K/BPSK/V/2020 tidak sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan. Karena
perkara Nomor 09/P3K/BPSK/V/2020 merupakan sengketa wanprestasi, dimana
konsumen telah lalai dalam melaksanakan kewajibannya untuk membayar mu’nah. Oleh
karena itu, BPSK tidak memiliki kewenangan untuk menangani perkara tersebut, karena
sengketa wanprestasi tidak termasuk kepada tugas dan wewenang BPSK.
Karena perkara ini merupakan perkara wanprestasi, maka seharusnya BPSK
tidak berwenang untuk menerima bahkan menangani perkara ini. Dan yang berwenang
untuk menangani perkara ini adalah Pengadilan Agama, hal tersebut sesuai dengan
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

33
BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil diskusi kelompok kami yang telah diuraikan pada bab
sebelumnya, maka kami memberi kesimpulan sebagai berikut:
1. Sengketa perkara nomor 09/P3K/BPSK/V/2020 diawali dengan Pemohon dan
Termohon saling mengikatkan diri dengan melakukan perjanjian utang piutang
menggunakan akad Rahn sebanyak 3 (tiga) akad dengan jaminan emas perhiasan
kepada Termohon, Pemohon meminjam uang kepada Termohon untuk modal usaha
rehab kontrakan miliknya.
2. Prosedur pegaduan sengketa konsumen yang diterapkan BPSK Kota Sukabumi
telah sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang terkait, begitu pula dengan
Prosedur penyelesaian sengketa konsumen dimulai dari pemilihan penyelesaian
sengketa di BPSK sampai pengajuan kasasi telah sesuai dengan Peraturan
Perundang-undangan yang terkait.
3. Pertimbangan BPSK dalam menerima perkara nomor 09/P3K/BPSK/V/2020 tidak
sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan. Karena BPSK menerima perkara
wanprestasi yang bukan merupakan tugas dan wewenang dari BPSK. Karena
perkara tersebut merupakan perkara wanprestasi dibidang ekonomi syariah, maka
perkara ini merupakan kewenangan dari Pengadilan Agama untuk
menyelesaikannya, hal tersebut sesuai dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun
2006. Terkait pertimbangan BPSK dalam menangani secara arbitrase pada perkara
nomor 09/P3K/BPSK/V/2020 sudah sesuai dan tidak ada yang salah, karena
penyelesaian sengketa melalui arbitrase di BPSK berbeda dengan yang ada di
BANI/BASYARNAS. BPSK menyelesaikan sengketa sendiri dan memang seperti
itu model penyelesaian sengketanya. Oleh karena itu, meskipun para pihak tidak
terikat perjanjian arbitrase, BPSK tetap berwenang menyelesaikan sengketa
tersebut secara arbitrase selagi para pihak sepakat memilih arbitrase di BPSK.
Namun, dikarenakan perkara ini merupakan perkara wanprestasi, maka seharusnya
BPSK tidak memiliki kewenangan untuk menanganinya, dan yang berwenang ialah
Pengadilan Agama, sebagaimana dijelaskan dalam UU No.3 Tahun 2006.

34
4.2 Saran
Pertimbangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam
menangani perkara secara arbitrase mencakup sejumlah faktor kritis. Kecepatan
penyelesaian, efisiensi biaya, dan keamanan hukum menjadi fokus utama. BPSK perlu
memastikan proses arbitrase memberikan solusi cepat tanpa mengorbankan keadilan,
sambil meminimalkan beban finansial pada pihak yang bersengketa. Keterlibatan arbiter
yang berkualitas dan pemahaman mendalam tentang hukum konsumen menjadi penting,
sementara transparansi dan aksesibilitas bagi konsumen memastikan integritas proses.
Sinergi antara kebijakan regulatif dan implementasi praktis oleh BPSK akan memastikan
keberhasilan arbitrase sebagai mekanisme efektif dalam menangani sengketa konsumen.

35
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Anita D A Kolopaking, Asas Iktikad Baik dalam Penyelesaian Sengketa Kontrak Melalui
Arbitrase, (Bandung: PT Alumni, 2013),
Fandy Tjiptono, Strategi Pemasaran (Yogyakarta: CV. Andi Offset, 2008)
Maryanto, Prosedur Penyelesaian Sengketa Konsumen di BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen), (Semarang: Unissula Press, 2019)
Munir Fuady, Arbitrase Nasional Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2000),
Nasution, Az., Konsumen dan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995.
Sembiring, Jimmy Joses, Cara Menyelesaikan Sengketa di Luar Pengadilan, Visi Media,
Jakarta, 2011.
Sidabalok, Janus. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung, Citra Aditya Bakti,
2006)
Zulham, S,H. (2017: 14-21). Hukum Perlindungan Konsumen. Prenada Media.

Jurnal
Rida Ista Sitepu dan Hana Muhamad, “Efektifitas Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK) Sebagai Lembaga Penyelesaian Sengketa Konsumen di Indonesia”, Jurnal
Rechten: Riset Hukum dan Hak Asasi Manusia, Vol. 3, No. 2 (2021)
Grace Henni Tampongangoy, “Arbitrase Merupakan Upaya Hukum Dalam Penyelesaian
Sengketa Dagang Internasional”, Jurnal Lex et Societatis, Vol. III, No. 1 (Januari –
Maret, 2015)
https://business-law.binus.ac.id/2017/05/31/ragam-dan-bentuk-alternatif-
penyelesaiansengketa/, diakses tanggal 30 November 2023 19.50 WIB.
Bustamar, “Sengketa Konsumen dan Teknis Penyelesaiannya pada Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK)” Juris, Vol. 14, No. 1 (Juni, 2015)
Diah Wahyulina dan Febry Chrisdanty, “Penegakan Hukum Sengketa Konsumen oleh BPSK
Untuk Pencegahan Pelanggaran Hak Konsumen”, Jurnal Et-Tijarie, Vol. 5, No. 2 (2018)
Diah Wahyulina dan Febry Chrisdanty, “Pengawasan Pencantuman Klausula Baku Oleh BPSK
dan OJK”, Jurnal Ilmiah Hukum, Vol. 12, No. 2, (November, 2018)
Faisal Riza, Rachmad Abduh, Penyelesaian Sengketa Secara Arbitrase Untuk Melindungi
Konsumen Melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Jurnal Ilmu Pendidikan
dan Ilmu Sosial, Vol. 4, No. 1 (2018)
Rimanda, Rahmi. Keberadaan Badan Penyelesaian Sengketan Konsumen (BPKS Sebagi
Lembaga Quasi Yudisial Di Indonesia, Jurnal Bina Mulia, Vol. 4, No. 1 (September
2019)
Kusumaningrum, Anggraeni Endah, Peran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam
Upaya Perlindungan Konsumen, Jurnal Merah Putih, Vol. 2, No. 1 (2013)
Erman Rajagukguk, “Budaya Hukum dan Penyelesaian Sengketa Perdata di Luar Pengadilan”
Jurnal Megister Hukum, Universitas Islam Indonesia: Yogyakarta.
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Keputusan Presiden No. 108 Tahun 2004
Keputusan Presiden No. 90 Tahun 2001, LN No. 105 Tahun 2001

36

Anda mungkin juga menyukai