Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH PENYELESAIAN SENGKETA

PERLINDUNGAN KONSUMEN
MATA KULIAH HUKUM PERDAMAIAN & PENYELESAIAN
SENGKETA

DOSEN PENGASUH : BESTY HABEAHAN ,S.H.,M.H.

DISUSUN OLEH
KELOMPOK 2
JOSE LOUIS PASARIBU 21600186
NADIA TERESIA SIMANJUNTAK 21600192
RIDHO DEARMANDO PURBA 21600206
JUSUF SIMANGUNSONG 21600188
NINIS LELIYA NABABAN 21600193
SHINTA ROMAITO SIAHAAN 21600202
KEVIN GABRIEL PASARIBU 21600217
PUTRA AGUNG SIHOMBING 21600236
PUTRIANA SIPANGKAR 19600156
FAOZATULO TELAUMBANUA 19600091

GRUP D
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN MEDAN
2023
Kata Pengantar

Dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Esa Pengasih lagi Maha Penyayang, Kami
panjatkan puji dan syukur atas kehadirat-Nya,yang telah melimpahkan rahmat, dan
HidayahNya kepada kita semua, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah tentang
Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen.

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca,Untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi
makalah agar menjadi lebih baik lagi. Penulis menyadari bahwa makalah ini belumlah
sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun dari rekan-rekan sangat
dibutuhkan untuk penyempurnaan makalah ini.

Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tidak
terhingga kepada pihak – pihak yang mau membaca dalam penyelesaian makalah ini. Dan ini
merupakan langkah yang baik dari studi yang sesungguhnya oleh karena itu, keterbatasan
waktu dan kemampuan penulis, harapan penulis semoga makalah ini dapat berguna bagi saya
dan para pembaca.

Medan, 18 Mei 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR ................................................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1
A. Latar Belakang................................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................................. 2
C. Tujuan Penulisan ............................................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................. 3
A. Pengertian Perlindungan Hukum Konsumen .................................................................. 3
B. Asas dan Tujuan Perlindungan Hukum Konsumen ....................................................... 4
C. Hak dan Kewajiban Konsumen ....................................................................................... 5
D. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha dan Tindakan Yang Dilarang Dilakukan................ 6
E. Klausula Baku Dan Klausula Eksonerasi ......................................................................... 7
F. Pengertian Perjanjian Jual Beli ......................................................................................... 8
BAB III PEMBAHASAN .......................................................................................................... 10
A. Penyelesaian Sengketa Konsumen dengan Pelaku Usaha Menurut Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen ............................................ 10
B. Akibat Hukum Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ............................................ 13
BAB IV PENUTUP..................................................................................................................... 15
A. KESIMPULAN ................................................................................................................ 15
B. SARAN ............................................................................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................. 16

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembangunan dan perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya di bidang
perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau
jasa yang dapat dikonsumsi. Di samping itu, globalisasi dan perdagangan bebas yang
didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika telah memperluas ruang
gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintas batas-batas wilayah suatu negara, sehingga
barang dan/atau jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi
dalam negari.
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) merupakan badan yang
menyelesaikan sengketa konsumen melalui cara di luar pengadilan. BPSK memiliki tujuan
sebagai badan yang dibentuk untuk melakukan upaya perlindungan konsumen, khususnya
tentang pengaturan tentang hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha.1 Sebagai Badan
perlindungan BPSK mempuyai fungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada
pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia 2.
Hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha diatur di dalam Undang-Undang
nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen (UUPK). Hak konsumen diatur didalam
pasal 4 hingga Pasal 7 UUPK, dan lebih luas tentang dasar konsumen disebutkan oleh J. F.
Kennedy yakni terdiri dari hak memperoleh keamanan, hak memilih, hak mendapat
informasi, hak untuk didengar.3
Dalam hal kepentingan konsumen dirugikan baik secara langsung maupun tidak
langsung oleh pelaku usaha. maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen menyediakan cara penyelesaiannya melalui ketentuan Pasal 45 yang
berbunyi sebagai berikut :
1. Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga
yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau
melalui peradilan yang berada dilingkungan peradilan umum
2. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar
pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa
3. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2 ) tidak
menghilangkan tanggungjawab pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang
4. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan
gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan
tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa .
Menurut Pasal 52 Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) mempunyai tugas
dan wewenang sebagai berikut:

1
Ahmadi Miru, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta, Rajagrafindo Persada, 2001), hlm 195
2
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
3
Ahmadi Miru, Op.Cit, hlm 39

1
a. melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui
mediasi atau arbitrase atau koalisi
b. memberikan konsultasi perlindungan konsumen
c. melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku
d.melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam Undang-
undang ini
e. menerima pengaduan, baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen tentang terjadinya
pelanggaran terhadap perlindungan konsumen
f. melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen
g. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan
konsumen
h. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan/atau setiap orang yang dianggap
mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini
i. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap
orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi
panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen.
j. Mendapatkan, meneliti, dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna
penyidikan dan/atau pemeriksan
k. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap
perlindungan konsumen
l. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-
undang ini.4

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah prosedur penyelesaian sengketa konsumen dengan pelaku usaha menurut
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen?
2. Bagaimanakah akibat hukum dari penyelesain sengketa konsumen menurut Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan pada uraian rumusan masalah diatas, dapat penulis kemukakan beberapa
tujuan penulisan yang meliputi:
1. Untuk mengetahui prosedur penyelesaian sengketa konsumen dan pelaku usaha menurut
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
2. Untuk mengetahui akibat hukum dari penyelesaian sengketa konsumen menurut Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
4
Gunawan Wijaya, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen,( Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm.
76-77

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Perlindungan Hukum Konsumen


Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia , istilah "konsumen " sebagai
defenisi yuridis formal dilemukan pada Pasal 1 ayat (2 ) Undang-undang Nomor 8 tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) , UUPK menyatakan ; "Konsumen adalah
setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat , baik bagi
kepentingan diri sendiri , keluarga , orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan".5 Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 Pelaku usaha
adalah setiap orang perorangan atau badan usaha , baik yang berbentuk badan hukum maupun
bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam
wilayah hukum Republik Indonesia,baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Perlidungan terhadap konsumen telah mulai diberlakukan sejak sebelum Indonesia
merdeka. Hukum perlidungan konsumen merupakan cabang hukum yang bercorak Universal.
Sebagian besar perangkatnya diwarnai hukum asing, namun kalau dilihat dari hukum positif
yang sudah ada di Indonesia ternyata dasar-dasar yang menopang sudah ada sejak dulu
termasuk hukum adat. Perlindungan hukum konsumen memberikan penjelasan yang lebih
terhadap konsumen mengenai hal-hal yang harus diperhatikan oleh konsumen dalam
melakukan hubungan hukum dengan pelaku usaha. Hubungan hukum yang tercipta antara
konsumen dan pelaku usaha merupakan hubungan hukum yang memberikan keuntungan bagi
kedua belah pihak. Secara umum konsumen haruslah dapat mengetahui tentang definisi
seorang konsumen, pelaku usaha, dan hak-hak yang dimiliki oleh konsumen dan pelaku
usaha tersebut.
Menurut pendapat Az. Nasution bahwa: “Perlindungan Hukum konsumen adalah
hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur, dan
juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen” 6. Adapun hukum konsumen
diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan
dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa
konsumen di dalam pergaulan hidup. Undang-undang yang secara khusus mengatur
mengenai perlindungan konsumen sekaligus sebagai dasar hukum dari perlindungan
konsumen di Indonesia termuat dalam UUPK. UUPK ini mulai berlaku sejak tanggal 20
April 2000.
Perlindungan hukum kepada masyarakat tersebut harus diwujudkan dalam bentuk
kepastian hukum yang menjadi hak konsumen. UUPK juga memberikan harapan agar pelaku
usaha tidak lagi sewenang-wenang yang selalu merugikan hak konsumen. Dengan adanya
UUPK beserta perangkat hukum lainnya, konsumen memiliki hak dan posisi berimbang, dan
mereka pun bisa menggugat atau menuntut jika ternyata hak-haknya telah dirugikan atau

5
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1 ayat (2)
6
Az. Nasution, Konsumen dan Hukum: Tinjauan Sosial Ekonomi dan Hukum Pada Perlindungan Konsumen
Indonesia, (Jakarta, Pustaka Harapan, 2002), hlm. 72

3
dilanggar oleh pelaku usaha. Perlindungan konsumen yang dijamin oleh undang-undang ini
adalah adanya kepastian hukum yang meliputi segala upaya berdasarkan atas hukum untuk
memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau
jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh
pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen. 7
Setelah mengetahui definisi hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen,
maka dapat diketahui definisi hukum konsumen lebih luas bila dibandingkan dengan hukum
perlindungan konsumen. Hukum perlindungan konsumen merupakan salah satu bagian dari
hukum konsumen yang melindungi hak- hak konsumen. Dengan banyaknya peraturan
perundang- undangan yang mengatur hukum konsumen maka dalam menerapkannya dalam
kehidupan sehari-hari harus sejalan dengan hukum perlindungan konsumen yang telah ada.
Oleh karena itu di dalam Pasal 64 UUPK disebutkan bahwa: ”Segala ketentuan peraturan
perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat undang-
undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku”.8 Pasal ini menjelaskan hubungan hukum
yang harmonis antara hukum konsumen dengan hukum perlindungan konsumen. Peraturan
perundang- undangan yang mengatur perlindungan konsumen tetap berlaku selama tidak
bertentangan dan belum diatur dalam UUPK.
B. Asas dan Tujuan Perlindungan Hukum Konsumen
Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama seluruh pihak yang
terkait, masyarakat, pelaku usaha, dan pemerintah. UUPK memberikan perlindungan kepada
konsumen bersama-sama dengan pelaku usaha berdasarkan atas asas-asas yang relevan
dengan pembangunan nasional berdasarkan lima asas. Asas-asas dari perlidungan konsumen
tercantum dalam ketentuan Pasal 2 UUPK yang terdiri dari: 9
a. Asas Manfaat
Asas ini mengamanatkan penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
b. Asas Keadilan
Asas ini dimaksudkan untuk mewujudkan partisipasi masyarakat secara maksimal dan
memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan
melaksanakan kewajibannya secara adil.
c. Asas Keseimbangan
Asas ini memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan
pemerintah dalam arti materil maupun spiritual.
d. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen
Asas ini ditunjukan agar konsumen terjamin dalam hal keamanan, keselamatan dalam
penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi.
e. Asas Kepastian Hukum

7
Abdul Halim Barkatullah, Hak-Hak konsumen, (Bandung, Penerbit Nusa Media, 2010), hlm. 3
8
Ibid, Pasal 64
9
Ibid, Pasal 2

4
Asas ini dimaksudkan agar konsumen dan pelaku usaha mematuhi hukum yang ada,
dapat memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen dan negara
menjamin kepastian hukum atas hal tersebut.
Tujuan dari hukum perlindungan konsumen tercantum dalam ketentuan Pasal 3
UUPK yaitu:
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses
negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-
haknya sebagai konsumen.
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum
dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen
sehingga tumbuh sikap jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha.
f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha barang
dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. 10
C. Hak dan Kewajiban Konsumen
Menurut Pasal 4 UUPK menyatakan bahwa konsumen memiliki hak- hak yang harus
dilindungi antara lain:
a. Hak atas kenyaman, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau
jasa.
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut
sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa.
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen.
f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. 11
Selain hak, konsumen juga memiliki kewajiban yang harus ditaati. Kewajiban dari
konsumen tercantum dalam ketentuan Pasal 5 UUPK yaitu:
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan
barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati

10
Ibid, Pasal 3
11
Ibid, Pasal 4

5
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. 12
D. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha dan Tindakan Yang Dilarang Dilakukan
Menurut Pasal 6 UUPK menyatakan bahwa pelaku usaha memiliki hak-hak yang
harus dilindungi yaitu:
a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan
nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak
baik.
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa
konsumen.
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen
tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. 13
Pelaku usaha dalam memproduksi suatu barang ataupun jasa mempunyai suatu aturan
yang telah diatur dalam UUPK. Pelaku usaha yang dimaksud dalam UUPK adalah pelaku
usaha pabrikan, distributor dan jaringannya, serta juga termasuk para importir dan juga
pelaku usaha periklanan. Pelaku usaha pabrikan dan pelaku usaha distributor secara prinsip
merupakan berbeda, tetapi undang-undang tidak membedakan kewajiban larangan yang
dikenakan kepada kedua pelaku usaha tersebut.
Selain itu, pelaku usaha memiliki kewajiban berdasarkan Pasal 7 UUPK yaitu:
1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.
5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau
jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang
diperdagangkan.
6. Memberi kompensai, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
7. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang
diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. 14
Dalam hukum perlindungan konsumen, prinsip tanggung jawab merupakan hal yang
sangat penting. Prinsip-prinsip tanggung gugat dalam hukum dapat dibedakan sebagai
berikut:15
a. Kesalahan (liability based on fault)
b. Praduga untuk selalu bertanggung jawab (presumption of liability)

12
Ibid, Pasal 5
13
Ibid, Pasal 6
14
Ibid, Pasal 7
15
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta, Sinar Grafika, 2008), hlm. 92

6
c. Praduga selalu tidak bertanggung jawab (presumption of nonliability)
d. Tanggung jawab mutlak (strict liability)
e. Pembatasan tanggung jawab (limitation of liability)
E. Klausula Baku Dan Klausula Eksonerasi
Berdasarkan Pasal 1 angka 10 UUPK, klausula baku diartikan sebagai “setiap aturan
atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu
secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian
yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”. 16Sebelum lahirnya UUPK, dalam
berbagai literatur lebih banyak memperkenalkan istilah “kontrak baku” atau standar contract,
kini dalam UUPK menggunakan istilah “klausula baku”. Istilah kontrak baku lebih luas yaitu
tidak terbatas pada klausula baku yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu
secara sepihak oleh pelaku usaha di dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat
dan wajib dipenuhi oleh konsumen, tetapi juga meliputi bentuknya.
Dalam Pasal 18 UUPK disebutkan bahwa Pelaku usaha dalam menawarkan barang
yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku
pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
1. Menyatakan penagihan tanggung jawab pelaku usaha.
2. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli
konsumen.
3. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang
dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen.
4. Pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak
langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli
oleh konsumen secara angsuran.
5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang
dibeli oleh konsumen.
6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta
kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa.
7. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan,
lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa
konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya.
8. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak
tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran.17
Di dalam perjanjian baku juga terkandung klausula eksonerasi (exemption clause).
Klausula eksonerasi adalah klausula yang mengandung kondisi membatasi atau bahkan
menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada pihak
produsen/penyalur produk (penjual). Dengan demikian, perjanjian baku menggambarkan
tidak adanya keseimbangan posisi tawar-menawar antara produsen/penyalur produk atau

16
Ibid, Pasal 1 Ayat (10)
17
Ibid, Pasal 18

7
kreditor (dalam perbankan dan asuransi) dan konsumen di lain pihak. Dalam perjanjian baku
jelas tidak pernah dijumpai asas kebebasan berkontrak. 18
Agar terciptanya keseimbangan dalam posisi tawar menawar, satu-satunya cara adalah
dengan adanya campur tangan pemerintah dalam pembatasan tersebut. Campur tangan
pemerintah tampak dari UUPK. UUPK tidak ada memberikan istilah mengenai klausula
eksonerasi. Yang ada adalah “klausula baku” sebagaimana diatur didalam Pasal 1 Ayat (10)
UUPK. Pasal 18 Ayat (1) UUPK. Batal demi hukumnya suatu perjanjian merupakan
pelanggaran terhadap Pasal 1320 KUHPerdata dalam hal syarat objektif dari suatu perjanjian.
Akibat dari batal demi hukum suatu perjanjian adalah pembatalan perjanjian secara deklaratif
yang berarti pembatalan seluruh isi pasal perjanjian. Jadi ketika perjanjian standar memuat
klausula eksonerasi, dan diajukan gugatan ke pengadilan, hakim memutuskan untuk
membatalkan demi hukum perjanjian, maka perjanjian menjadi batal seluruhnya (bukan
hanya klausula bakunya).
F. Pengertian Perjanjian Jual Beli
Istilah “perjanjian” dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari kata
“ovreenkomst” dalam bahasa Belanda atau istilah “agreement” dalam bahasa Inggris. Jadi
istilah “hukum perjanjian” berbeda dengan istilah “hukum perikatan”. Karena, dengan istilah
“perikatan” dimaksudkan sebagai semua ikatan yang diatur dalam KUHPerdata, jadi
termasuk juga baik perikatan yang terbit karena undang-undang maupun perikatan yang terbit
dari perjanjian. Menurut ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata perjanjian didefinisikan sebagai
suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang
lain atau lebih.
Berdasarkan pengertian diatas, dapat dikemukakan bahwa perjanjian transaksi jual
beli merupakan persetujuan di mana antara dua pihak atau lebih mengikatkan diri
berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak. Sama
halnya dengan pihak-pihak dengan pelaku usaha dan konsumen harus mengikatkan dirinya
dalam suatu perjanjian.
Menurut ketentuan pasal 1320 KUHPerdata yang berbunyi Untuk sahnya perjanjian-
perjanjian, diperlukan empat syarat: 19
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya : Kata sepakat juga berarti bahwa para
pihak telah seia-sekata mengenai hal- hal pokok yang diatur dalam perjanjian, para pihak
menyetujui secara sukarela mengenai isi perjanjian. Kata sepakat juga dapat berarti tidak
adanya unsur paksaan, kekhilafan dan penipuan dalam membuat perjanjian, demikian
menurut Pasal 1321 KUHPerdata.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan: Cakap berarti mampu, yaitu orang yang
dianggap mampu melakukan perbuatan hukum. Pada prinsipnya undang-undang telah
menganggap bahwa setiap orang dapat melakukan perbuatan hukum “setiap orang dapat
membuat perjanjian”. Pengecualian terhadap prinsip ini adalah orang yang belum dewasa,
dibawah pengampuan, perempuan dalam hal yang telah ditetapkan undang-undang, dan
orang-orang tertentu yang oleh undang- undang diperbolehkan atau dilarang.

18
Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen,(Jakarta, cetakan pertama ,
Penerbit Ghalia Indonesia, 2008), hlm. 47
19
Kartini Muljadi, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2008, hlm. 91

8
3. Suatu pokok persoalan tertentu Suatu pokok persoalan tertentu berarti objek perjanjiannya
terang dan jelas, dapat (didefinisikan) baik jenis maupun jumlahnya.
4. Suatu sebab tidak terlarang Suatu sebab tidak terlarang berarti objek yang diperjanjikan
bukanlah objek yang terlarang, namun sesuatu yang sah dan diperbolehkan. Suatu sebab yang
terlarang itu meliputi perbuatan melanggar hukum, berlawanan dengan susila dan melanggar
ketertiban umum.
Pada dasarnya suatu perjanjian harus memuat beberapa unsur perjanjian dalam suatu
transaksi jual beli yaitu: 20
1. Unsur essensialia: Unsur essensialia adalah unsur perjanjian yang harus ada di dalam suatu
perjanjian, unsur mutlak, dimana tanpa adanya unsur tersebut, perjanjian tidak mungkin sah.
2. Unsur naturalia: Unsur naturalia adalah unsur perjanjian yang oleh undang-undang diatur,
tetapi oleh para pihak dapat disingkirkan atau diganti
3. Unsur accidentalia: Unsur Accidentalia adalah unsur perjanjian yang ditambah oleh para
pihak, undang-undang sendiri tidak mengatur tentang hal tersebut.
Dalam transkasi jual beli barang ada dua pihak yaitu penjual (pelaku usaha) dan
pembeli (konsumen) yang masing-masing mempunyai berbagai hak dan kewajiban, maka
mereka masing-masing dalam beberapa hal merupakan pihak yang berwajib dan dalam hal-
hal lain merupakan pihak yang berhak.
a. Penjual (pelaku usaha) adalah orang yang berhak menerima sejumlah uang pembeli dan
berkewajiban menyerahkan barang yang dijualnya.
b. Pembeli (konsumen) adalah orang yang berhak menerima barang yang dibelinya dan
berkewajiban menyerahkan sejumlah uang yang telah di sepakatinya kepada penjual.

20
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Bandung, Mandar Maju, 2000, hlm. 67

9
BAB III
PEMBAHASAN

A. Penyelesaian Sengketa Konsumen dengan Pelaku Usaha Menurut Undang-Undang


Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
1. Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Umum
Pasal 45 Ayat (1) UUPK menyatakan "Setiap Konsumen yang dirugikan dapat
menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara
konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan
umum " Ketentuan ayat berikutnya mengatakan :"Penyelesaian sengketa konsumen dapat
ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak
yang bersengketa."
Ayat pertama itu tidak terlalu jelas. Disitu hanya dikatakan, setiap konsumen yang
dirugikan dapat menggugat pelaku usaha. Apakah secara a contrario dapat ditafsirkan hak itu
tidak diberikan kepada pelaku usaha. Tentu, jika melihat ke dalam asas-asas hukum acara,
hak yang sama harus diberikan kepada semua pihak yang berkeinginan dan tidak tertutup
kemungkinan adanya konsumen yang menggugat pelaku usaha di peradilan negara lain,
sehingga sengketa konsumen ini pun dapat bersifat transnasional atau intemasional.
Dalam kasus perdata di Pengadilan Negeri, pihak konsumen yang diberi hak
mengajukan gugatan menurut Pasal 46 UUPK, adalah:
a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan.
b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama
c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu
berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan
tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan
konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
d. Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau yang dikonsumsi atau
dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.
Pada klasifikasi yang pertama, yaitu seorang konsumen (atau ahli warisnya) tentu saja
tidak ada istimewa dilihat dari ketentuan beracara. Hal yang menarik adalah klasifikasi kedua
dan seterusnya. Pada klasifikasi kedua, gugatan dapat dilakukan oleh sekelompok konsumen
yang mempunyai kepentingan yang sama. Ketentuan ini harus dibedakan dengan gugatan
dengan mewakilkan kepada orang lain seperti diatur dalam Pasal 123 ayat (1) HIR.
Penjelasan Pasal 46 menyebutkan gugatan kelompok ini dengan istilah class action.
Kemudian klasifikasi ketiga adalah lembaga swadaya masyarakat. Klasifikasi ketiga ini
berkaitan dengan legal standing.
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di lapangan perlindungan
konsumen ini boleh jadi terus bertambah banyak. Menjadi pertanyaan, apakah semua dari
mereka berhak mengklaim sebagai konsumen. Persyaratan yang diajukan oleh Pasal 46 ayat
(1) huruf e masih terlalu umum. Untuk itu, pertimbangan agar dilakukan semacam
"akreditasi" tampaknya perlu dijajaki. Syaratnya tentu saja badan yang mengakreditasi itu
harus independent. Sayangnya, Pasal 1 angka 9 dan Pasal 44 ayat (1) UUPK menutup

10
kemungkinan itu dengan menyatakan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat
terdaftar dan diakui oleh pemerintah. Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) yang
sebenarnya dapat mengambil alih tugas demikian, jika tidak dimungkinkan menurut rincian
tugas Pasal 34 UUPK .
Klasifikasi penggugat dalam sengketa konsumen yang keempat atau terakhir adalah
pemerintah dan instansi terkait. Mereka baru akan menggugat pelaku usaha jika ada kerugian
materi yang besar dan korban yang tidak sedikit. Namun tidak disebutkan apakah gugatan
demikian masih diperlukan jika ada gugatan dari para konsumen atau dapat dilakukan
bersamaan waktunya dengan gugatan dari pihak konsumen yang termasuk klasifikasi-
klasifikasi satu sampai tiga. Tampaknya hal-hal itu tetap dibiarkan tanpa penjelasan karena
menurut ketentuan Pasal 46 ayat (3) masalah itu masih diperlukan pengaturan lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
2. Penyelesaian di Pengadilan Tata Usaha Negara
Keberadaan peradilan tata usaha negara sering dianggap sebagai unsur utama
berdirinya suatu negara hukum (rechtstaat). Eksistensi peradilan tata usaha negara sendiri
relatif masih baru di Indonesia. Secara substantif pengaturannya dicantumkan dalam Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan tata Usaha Negara, namun penerapannya
ditunda sekitar lima tahun kemudian. Lingkungan peradilan tata usaha negara merupakan
salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi pencari keadilan yang terlibat sengketa tata
usaha Negara.
Pasal 45 ayat (1) dan Pasal 46 ayat (2) UUPK terkesan hanya membolehkan gugatan
konsumen diajukan ke lingkungan peradilan umum. Pembatasan ini jelas menghalangi
konsumen yang perkaranya mungkin menyentuh kompetensi peradilan tata usaha negara.
Kendati demikian, jika konsumen diartikan secara luas, yakni mencakup juga penerima jasa
layanan publik, tentu peradilan tata usaha negara seharusnya patut juga melayani gugatan
tersebut. Untuk itu perlu diperhalikan bahwa syarat-syarat suatu sengketa itu berawal dari
adanya penetapan tertulis, bersifat konkrit individual dan final, harus tetap terpenuhi.
Disadari sejak awal bahwa birokrasi yang diciptakan oleh pejabat atau badan usaha
negara acapkali membuat masyarakat (konsumen) kurang terlayani secara layak. Bahkan
tidak jarang terjadi, birokrasi itu justru menjadi ladang subur bagi terjadinya penyalahgunaan
wewenang yang bertentangan dengan asas-asas pemerintahan yang baik. Agar tindakan
aparat negara yang menyimpang dari asas pemerintahan yang baik, bisa diluruskan. Sebagai
mediator, ia berusaha untuk mengkonsumsikan keluhan masyarakat kepada instansi terkait.
Ombusman sendiri diadopsi dari lembaga yang berkembang pertama kali di negara Swedia
dan sekarang berkembang di sekitar 93 negara di dunia. Menurut Henry C. Black, Ombusman
adalah : "Satu lembaga resmi atau setengah resmi yang dijabat oleh seseorang untuk nama
rakyat boleh kembali dengan tidak berkecil hati dengan pemerintah ombusman berkedudukan
sebagai wakil diantara rakyat dengan pemerintah". tugas utama ombusman adalah sebagai
mediator bagi masyarakat.21

21
R. Subekti, Hukum Perjanjian , Jakarta, Inlermasa, 1991, hlm. 28

11
3. Penyelesaian di Luar Pengadilan
Untuk mengatasi keberlakuan proses pengadilan, UUPK memberi jalan alternatif
dengan menyediakan penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan. Gugatan melalui
pengadilan hanya dapat ditempuh jika upaya itu dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu
pihak atau oleh para pihak yang bersengketa. Ini berarti penyelesaian di pengadilan pun tetap
dibuka setelah para pihak gagal menyelesaikan sengkela mereka di luar pengadilan.
Badan Perlindungan Konsumen Nasional yang berskala nasional dan melibatkan
banyak unsur dalam masyarakat. pada BPSK keanggotaannya hanya berasal dari tiga unsur.
yaitu pemerintahan. konsumen dan pelaku usaha. Setiap unsur terdiri dari minimal tiga orang
dan maksimal 5 orang. Artinya dalam satu pengangkatan BPSK tiap Daerah l ingkat II akan
diangkat (anggota antara 9 orang sampai 15 orang). .lumlah itu di luar kepala sekretariat dan
anggota sekretariat yang bertugas membantu tugas-tugas BPSK.
Setiap kasus sengketa konsumen diselesaikan konsumen dengan membentuk majelis,
yang berjumlah ganjil, terdiri dari minimal tiga orang mewakili semua unsur. Mereka akan
menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen itu melalui jalan mediasi, arbitrase atau
konsiliasi. Jumlah minimal tiga orang itu masih ditambah dengan bantuan seorang panitera.
Namun dalam UUPK tidak dijelaskan apakah panitera ini diambil dari anggota BPSK atau
dari luar BPSK. Di luar tugas penyelesaian sengketa ini, Pasal 52 UUPK juga menelapkan
tugas dan wewenang BPSK, yaitu :
1. Memherikan konsultasi perlindungan konsumen
2. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku
3. Melaporkan kepada penyidik umum jika terjadi pelanggaran ketentuan dalam UUPK
4. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen tentang terjadinya
pelanggaran terhadap perlindungan konsumen
5. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen
6. Memanggil pelaku usaha yang diduga melakukan pelanggaran terhadap perlindungan
konsumen
7. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli/setiap orang yang dianggap mengetahui
pelanggaran terhadap UUPK
8. Menerima bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi , saksi ahli atau
setiap orang yang tidak bersedia memenuhi panggilan BPSK.
9. Mendapatkan, meneliti atau menilai surat, dokumen atau alat bukti lain guna penyelidikan
atau pemeriksaan
10. Menetapkan dan memutuskan ada atau tidaknya kerugian di pihak konsumen
11. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap
perlindungan konsumen
12. Menjatuhkan sanksi administrasi kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan UUPK.
Dengan memperbandingkan bobot tugas dan wewenang yang demikian luas, serta
syarat-syarat untuk menjadi anggota BPSK, patut dipertanyakan apakah ada orang-orang
yang berkompeten untuk itu disetiap wilayah Daerah Tingkat II. Terlebih-lebih lagi untuk
anggota yang berasal dari unsur konsumen, harus dilakukan seleksi yang benar-benar matang.
Jika pemerintah diberi kewenangan penuh untuk mengangkat dan memberhentikan wakil-

12
wakil konsumen itu dalam keanggotaan BPSK. dikhawatirkan ada kecenderungan untuk tidak
lagi mempercayai objeklivitas mereka dalam memperjuangkan kepentingan konsumen tatkala
bersengketa di BPSK.
B. Akibat Hukum Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undangundang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Pelaku usaha diartikan sebagai setiap orang perorangan atau badan usaha baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan di
Indonesia baik sediri maupun bersama dengan perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha
yang artinya bahwa. pelaku usaha berjanji untuk melaksanakan suatu perjanjian untuk
berbuat sesuatu dan perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu / Kewajiban pelaku usaha seperti
diatur dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
adalah harus melakukan suatu perikatan, pekerjaan dengan itikad baik artinya pekerjaan
tersebut dilaksanakan dengan jujur dan bersih tanpa maksud untuk menipu dan melanggar
norma kapatutan serta kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat. Selanjutnya mengenai
pelaku usaha untuk tidak berbuat sesuatu dapat diartikan bahwa pelanggaran bagi pelaku
usaha untuk melakukan suatu perbuatan seperti diatur dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor
8 Tahun 1999.
Bagi pelaku usaha yang melanggar perjanjian untuk melakukan suatu pekerjaan dan
melanggar suatu pelanggaran untuk tidak melakukan suatu yang diatur dalam perundang-
undangan akan menerima akibat hukum (sanksi) ganti rugi dan sanksi pidana serta sank si
lain. Sanksi administrasi bagi pelaku usaha yang melanggar ketentuan Pasal 19 Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1999 ayat (2) dan ayat (3) , Pasal 25 dan Pasal 26 adalah dapat
dikenakan sanksi administrasi yang ditetapkan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Sanksi administrasi berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000, - (dua ratus
juta rupiah). Sanksi pidana dapat juga dikenakan pada pelaku usaha menurut UUPK, Pasal 61
jika pelaku usaha dan/atau pengurusnya :
I. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal
9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c,
huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000. - (dua miliar rupiah)
II. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal II, Pasal
12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f di
pidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling
banyak Rp 500.000.000, - (lima ratus juta rupiah)
III. Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap, atau
kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 UUPK dapat dijatuhi
hukuman tambahan berupa :
a. Peiampasan barang tertuduh
b. Pengumuman putusan hakim
c. Pembayaran ganti rugi
d.Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian
konsumen

13
e. Kewajiban penarikan barang dari peredaran
f. Pencabutan izin usaha.
Akibat hukum dan/atau masalah antara konsumen dan pelaku usaha, umumnya
terjadi melalui suatu perikatan baik karena perjanjian atau karena undang-undang.
Peraturan yang dipakai masyarakat dalam melaksanakan perikatan atau perjanjian di atur
dalam KUHPerdata Buku ke III yang mempunyai sistem terbuka. Menurut Pasal 1313
KUHPerdata, pengertian perjanjian adalah : "Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih
Sedangkan M. Yahya Harahap mengatakan : "Perjanjian adalah suatu hubungan hukum
kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih yang memberikan kekuatan hak
pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak Iain
untuk menunaikan prestasi". 22 Dari apa yang lelah diuraikan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa penyelesaian sengketa konsumen tidak terlepas dari itikad baik kedua
belah pihak, sehingga mengikat bagaikan undang-undang bagi yang membuatnya.

22
M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian , Bandung, Alumni,1993, hlm. 6

14
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Prosedur penyelesaian sengketa konsumen dengan pelaku usaha menurut Undang-
undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah : Dapat
dilakukan melalui badan peradilan, seperti : peradilan umum, peradilan tata usaha
negara dan dapat juga dilakukan diluar pengadilan melalui Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK), dan putusan majelis BPSK itu bersifat final dan
mengikat yang diartikan tidak adanya upaya hukum banding dan kasasi.
2. Akibat hukum penyelesaian sengketa konsumen adalah : Bahwa kedua belah pihak
harus mematuhi putusan majelis BPSK yang dapat berupa sanksi administratif berupa
penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000, - (dua ratus juta rupiah) dan
sanksi pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp
2.000.000.000, - (dua miliar rupiah).
B. Saran
1. Disarankan terhadap penyelesaian sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha
dapat diselesaikan hanya melalui Badan Penyelsaian Sengketa Konsumen (BPSK)
agar penyelesiannya lebih sederhana, cepat dan biaya ringan. Namun untuk
eksekusinya tetap meminta bantuan lembaga peradilan.
2. Disarankan supaya sanksi terhadap pelaku usaha lebih diperberat, agar dapat
menimbulkan efek jera.

15
DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Barkatullah Halim Abdul, 2010, Hak-Hak konsumen, (Bandung, Penerbit Nusa Media)
Harahap M. Yahya, 1993, Segi-segi Hukum Perjanjian , Bandung, Alumni
Kristiyanti Siwi Tri Celina, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta, Sinar Grafika)
Miru Ahmadi, 2001, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta,Rajagrafindo Persada
Muljadi Kartini, 2008, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, Jakarta, PT Raja Grafindo
Persada
Nasution Az, 2002, Konsumen dan Hukum: Tinjauan Sosial Ekonomi dan Hukum Pada
Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta, Pustaka Harapan)
Prodjodikoro Wirjono, 2000, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Bandung, Mandar Maju
Sutedi Adrian, 2008, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan
Konsumen,(Jakarta, cetakan pertama , Penerbit Ghalia Indonesia)
Wijaya Gunawan, 2000, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta, Gramedia
Pustaka Utama)

Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

16

Anda mungkin juga menyukai