Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

PROSES PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DAN SANKSI TERHADAP


PELANGGARAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

Dosen Pengampu : Fathan Ansori S.H., M.H

Mata Kuliah : Hukum Perlindungan Konsumen

Kelompok 3 :

1. NADYA MELANI PUTRI 2008010003

2. RISDA EKA AYU WULANDARI 2008010183

3. SITI ALMUNA 2008010252

4. NOR ASEVA 2008010301

5. DIO PRATAMA PUTRA 2008010384

6. ADITYA RENALDY MADIMA 2008010418

7. IDIL PIKRIANSYAH 2008010701

UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN MUHAMMAD ARSYAD AL BANJARI

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

BANJARBARU

2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kemudahan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa pula sholawat serta salam kami curahkan kepada
junjungan kita baginda Nabi Muhammad SAW, semoga kita termasuk orang-orang yang
nantinya mendapatkan syafaat dari beliau di hati kiamat. Kami ingin mengucapkan terima
kasih kepada Bapak Fathan Ansori S.H., M.H selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum
Perlindungan Konsumen karena telah memberikan tugas kelompok ini dan dengan
kesanggupan kami pun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Proses Penyelesaian
Sengketa Konsumen dan Sanksi Terhadap Pelanggaran Undang-Undang Perlindungan
Konsumen” dengan tepat waktu.

Dengan adanya tugas pembuatan makalah ini, secara tidak langsung mengajarkan
kami untuk berusaha mencari sumber informasi yang jelas dan benar mengenai materi terkait.
Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna dan masih memiliki banyak
sekali kekurangan di dalamnya. Untuk itu, Kami mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca makalah ini, sehingga nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi.
Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan dalam makalah ini, baik itu pada segi penulisan,
materi pembahasan,ataupun yang lainnya, saya sebagai penulis mohon maaf yang sebesar-
besarnya.

Demikian yang dapat kami sampaikan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca. Kami ucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1
A. Latar belakang.................................................................................................................1
B. Rumusan masalah............................................................................................................3
C. Tujuan.............................................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................4
A. Proses Penyelesaian Sengketa.........................................................................................4
a. Tahap Pertama Pengajuan Gugatan.............................................................................5
b. Tahap Kedua Pemilihan Metode Penyelesaian Sengketa Konsumen.........................6
c. Tahap Ketiga Putusan Sengketa Konsumen dan Pelaku Usaha..................................6
d. Putusan BPSK.............................................................................................................9
B. Sanksi Terhadap Pelanggaran Undang-Undang Perlindungan Konsumen.....................9
BAB III PENUTUP..................................................................................................................12
A. Kesimpulan...................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................iii

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, tekhnologi, dan informatika juga turut
mendukung perluasan ruang gerak tran-saksi barang dan/atau jasa hingga melintasi
batas-batas wilayah suatu Negara. Kondisi demikian pada satu pihak sangat ber-
manfaat bagi kepentingan konsumen karena kebutuhannya akan barang dan/ataujasa
yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk
menjatuhkan pilihan terhadapberbagai jenis barang dan/atau jasa yang diinginkan.1
Disisi lain tidak menutup kemungkinan kondisi dan fenomena tersebut dapat
mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang.
Konsumen dapat menjadi objek aktivitas bisnis dari pelaku usaha melalui produk
yang dihasilkan tidak memenuhi syarat kesehatan dan keamanan konsumen. 2
Keduduk-an konsumen pada umumnya masih lemah dalam bidang ekonomi,
pendidikan, dan daya tawar, karena itu sangatlah dibutuh-kan adanya undang-undang
yang melin-dungi kepentingan konsumen yang selama ini terabaikan. Prinsip
perlindungan konsumen inilah yang menjadi ruh atau jiwa dari diundangkannya UU
Perlindungan Konsumen (UUPK).
Undang-Undang Perlindungan konsumen ini memang sengaja dibentuk
dengan beberapa pertimbangan, antara lain karena ketentuan hukum yang melindungi
kepentingan konsumen di Indonesia belum me-madai. Selain itu, dalam era
globalisasi, pembangunan perekonomian nasional harus dapat mendukung tumbuhnya
dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan/atau jasa yang dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.3
Lahirnya UUPK yang disahkan dan diundangkan pada tanggal 20April 1999,
dan berlaku secara efektif tanggal 20 April 2000 mengatur antaralain keberadaan
lembaga penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilanyang disebut dengan
1
Tegar Harbriyana Putra, 2015, Tesis. Kajian Model Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam UU Nomor 8
Tahun 1999 (Analisis Putusan BPSK dan Putusan Banding PN Sragen). Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Hal 1-2
2
Tami Rusli. 2012. Penyelesaian Sengketa Antara Konsumen dan Pelaku Usaha Menurut Peraturan
Perundangan. Jurnal Keadilan Progresif. Vol 3 No 1. Hal 87-88
3
Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani. 2003. Hukum Tentang Perlindungan Konsumen. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta. Hal 98

1
2

BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen),sebagai pelaksanaannya pemerintah


mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 2001 tentang Pembentukan
Badan Penyelesaian SengketaKonsumen. Pembentukan BPSK ini dilatarbelakangi
adanya globalisasi dan perdagangan bebas, yang didukung kemajuan teknologi dan
informatika dandapat memperluas ruang gerak transportasi barang dan/ atau jasa
melintasi batasbatas wilyah suatu Negara.4
Undang-undang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa
untukmeningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan
kesadaran,pengetahuan, kepedulian, kemampuan, dan kemandirian konsumen
dalammelindungi dirinya serta menumbuh kembangkan sikap pelaku usaha
yangbertanggung jawab. Melalui peraturan perundang-undangan diharapkan terwujud
keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha menuju iklim
perekonomian yang sehat.
Sengketa konsumen adalah suatu sengketa yang salah satu pihaknya haruslah
konsumen. UUPK mengatur hal ini dalam Pasal 45 Bab X (sepuluh).
Sengketakonsumen dapat diselesaikan melalui Pengadilan ataupun luar Pengadilan
berdasarkan pilihan sukarela dari para pihak. Unsur-unsur yang terdapat dalam
Pasal45 UUPK antara lain: adanya kerugian yang diderita oleh konsumen, gugatan
dilakukan terhadap pelaku usaha dan dilakukan melalui pengadilan.
Pasal 48 UUPK menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa melalui
jalurpengadilan mengacu kepada ketentuan yang berlaku dalam peradilan umum
denganmemperhatikan ketentuan Pasal 45 UUPK. Selain itu, menurut ayat (I),
penyelesaiansengketa dapat pula dilakukan di luar pengadilan. Penyelesaian di luar
pengadilan inilah yang dapat dilakukan dengan memanfaatkan Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK). Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 49 sampai
dengan Pasal 58 UUPK.
BPSK diadopsi dari model Small Claim Tribunal (SCT) yang telah
berjalanefektif di negara-negara maju, namun BPSK temyata tidak serupa dengan
SCT. Sebagaimana diketahui SCT berasal dari negara-negara yang bertradisi atau
menganut sistem hukum Common Law atau Anglo Saxon memiliki cara berhukum
yang sangat dinamis dimana Yurisprodensi menjadi hal utama dalam penegakan

4
Tegar Harbriyana Putra. Op.Cit. Hal 6
3

hukum. Sedangkan Indonesia tradisi atau sistem hukumnya adalah Civil Law atau
Eropa Kontinental yang cara berhukumnya bersumber dari hukum tertulis
(peraturanperundang-undangan}.
BPSK nampaknya didesain dengan memadukan kedua sistem hukum tersebut,
dimana model SCT diadaptasikan dengan model pengadilan dan model ADR
(Alternative Dispute Resolution) khas Indonesia. Hal ini Nampak misalnya dari
konsep BPSK yang berdasarkan UUPK merupakan salah satu lembaga penyelesaian
sengketa di luar pengadilan, namun dalam proses penyelesaian perkara diatur dengan
hukum acara yang amat prosedural layaknya hukum acara perdata di Pengadilan
Negeri.

B. Rumusan masalah
1. Bagaimana Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen?
2. Bagaimana Sanksi Terhadap Pelanggaran Undang-Undang Perlindungan
Konsumen?

C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen.
2. Untuk Mengetahui Sanksi Terhadap Pelanggaran Undang-Undang
Perlindungan Konsumen.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Proses Penyelesaian Sengketa


Alur penyelesaian sengketa konsumen dengan pelaku usaha baik publik
maupun privat diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen (UUPK), yang mengatur tentang perlindungan terhadap
konsumen menegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) bahwa perlindungan konsumen adalah
segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan
perlindungan kepada konsumen. Dengan kata lain UUPK secara tegas telah
memberikan jaminan perlindungan terhadap konsumen, jika konsumen dirugikan oleh
pelaku usaha.
Penyelesaian sengketa yang terjadi antara konsumen dan pelaku usaha,dapat
diselesaikan melalui jalur litigasi (melalui pengadilan) dan jalur nonlitigasi (tidak
melalui pengadilan).Penyelesaian, melalui lembaga litigasi dianggap kurang efisien
baik waktu, biaya, maupun tenaga,sehingga penyelesaian melalui lembaga non litigasi
banyak dipilih oleh masyarakat dalam menyelesaikan sengketa dimaksud. Meskipun
demikian pengadilan juga tetap akan menjadi muara terakhir bila di tingkat non
litigasi tidak menemui kesepakatan.5
Sebagai lembaga yang berwenang menangani dan menyelesaikan sengketa
antara pelaku usaha dengan konsumen, BPSK dalam kewenangannya dapat
menempuhnya dengan cara mediasi, konsiliasi atau arbitrase. UU perlindungan
konsumen tidak mendefinisikan apa itu mediasi, konsiliasi atau arbitrase di bidang
perlindungan konsumen. Hal ini kemudian dijelaskan lebih jauh dalam Keputusan
Menperindag No. 350 Tahun 2001 tentang Tugas dan Wewenang BPSK.
Lingkungan peradilan tersebut meliputi, penyelesaian di pengadilan dan luar
pengadilan. Hal itu sesuai dengan Pasal 45 Ayat (2) Undang-Undang Perlindungan
Konsumen (UUPK), yang menyatakan bahwa penyelesaian perkara bisa dilakukan
melalui cara-cara berikut ini :

5
Aries Kurniawan, Peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen,
Kompas 6 Agustus 2008, hlm.3.

4
5

1. Cara damai. Jalan damai untuk menyelesaikan sengketa konsumen tidak


melibatkan BPSK ataupun pengadilan. Antara konsumen dan pelaku usaha
menuntaskannya secara kekeluargaan. Pun penyelesaiannya terlepas dari
aturan Pasal 1851-1864 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Di dalam pasal
tersebut terdapat aturan syaratsyarat, kekuatan hukum, serta perdamaian yang
mengikat (dading).
2. Cara menyelesaikan sengketa lewat pengadilan. Konsumen juga bisa memilih
penyelesaian lewat pengadilan. Upaya ini wajib mengikuti aturan-aturan di
peradilan umum. Pun segala keputusannya berada di tangan majelis yang
menangani sengketa konsumen dan pelaku usaha.
3. Penyelesaian perkara lewat BPSK. Cara ketiga adalah lewat BPSK.

Alur penyelesaian sengketa konsumen melalui Badan Penyelesaian Sengketa


Konsumen (BPSK) adalah sebagai berikut:

a. Tahap Pertama Pengajuan Gugatan


Pengajuan gugatan sebagaimana dijelaskan sebelumnya dapat
dilakukan oleh konsumen atau sekelompok konsumen. Permohonan tersebut
diajukan ke BPSK terdekat dari tempat tinggal penggugat. Lokasi BPSK
biasanya di ibu kota kabupaten atau kota madya.
Jika konsumen tidak bisa mengajukan permohonan sendiri, ia
diperkenankan mengirim kuasanya. Begitu pula ketika penggugat meninggal
dunia, sakit, atau lanjut usia, pengaduan dapat dilakukan oleh ahli waris yang
bersangkutan. Cara mengajukan permohonan gugatan tersebut boleh secara
lisan maupun tertulis. Asalkan semua itu memenuhi syarat undang-undang.
Setelah menentukan perwakilan, selanjutnya permohonan tertulis
dikirimkan atau diserahkan ke sekretariat BPSK. Sebagai bukti telah
menerima, biasanya BPSK memberikan tanda terima tertulis. Sementara itu,
khusus permohonan lisan, sekretariat akan mencatat pengajuan penggugat di
sebuah formulir. Di formulir itu nantinya ada tanggal dan nomor pendaftaran.
Bagaimana jika berkas permohonan tidak lengkap atau keluar dari aturan
Kemenperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001. Dalam kasus ini, BPSK
6

berhak menolak pengajuan permohonan. Hal itu pun dilakukan ketika


permohonan yang diajukan bukan wewenang BPSK. Kalau permohonan
memenuhi kriteria, BPSK wajib memanggil tergugat (pelaku usaha).
Pemanggilan tersebut berupa surat tertulis yang dilampiri gugatan dari
konsumen. Proses pemanggilan ini berlangsung paling lama 3 hari sejak
berkas pemohon masuk dan disetujui BPSK.

b. Tahap Kedua Pemilihan Metode Penyelesaian Sengketa Konsumen


Tahap berikutnya setelah tergugat memenuhi panggilan kedua belah
pihak menentukan metode penyelesaian perkara. Metode tersebut harus
disepakati keduanya. Berikut ini metode yang bisa dipilih.
1) Mediasi. Proses ini digunakan untuk menyelesaikan sengketa
konsumen di pengadilan melalui BPSK. Fungsi BPSK hanya sebagai
penasihat. Sementara penyelesaian masalah diserahkan kepada pihak
yang bersengketa.
2) Konsiliasi. Metode konsiliasi digunakan dalam penuntasan masalah
konsumen di luar pengadilan. Majelis bertugas untuk mendamaikan
pihak yang bersengketa. Namun, majelis hanya sebagai konsiliator
(pasif). Sementara itu, hasil putusan diserahkan kepada pihak
penggugat dan tergugat.
3) Arbitrase. Pada metode arbitrase, para majelis berlaku aktif dalam
menyelesaikan perkara pihak yang bersengketa. Khusus arbitrase,
penyelesaian masalah dilakukan melalui pengadilan negeri dan kasasi
Mahkamah Agung. Karena itu, putusan akhir berada di tangan MA
pengaduan dianggap selesai di tahap ini.

c. Tahap Ketiga Putusan Sengketa Konsumen dan Pelaku Usaha


Putusan yang ditetapkan oleh majelis BPSK terdiri dari dua jenis
berikut ini.
 Putusan BPSK untuk metode penyelesaian dengan konsoliasi dan
mediasi. Putusan ini berisi perjanjian damai tanpa disertai sanksi
administratif. Perjanjian tersebut disepakati dan ditandatangani pihak
yang bersengketa.
7

 Putusan BPSK untuk metode arbitrase. Berbeda dengan konsiliasi dan


mediasi, arbitrase memuat putusan perkara perdata. Setiap putusan
memuat duduk perkara disertai pertimbangan hukum.
Meski tiap jenis putusan berbeda hasil, BPSK harus mendahulukan
musyawarah untuk mencapai mufakat. Jika mufakat tak kunjung tercapai,
langkah selanjutnya adalah mengambil suara terbanyak. Itu pun mesti
didasarkan pada kesepakatan pihak yang bersengketa. Putusan yang
didapatkan minimal harus membuat efek jera bagi pelaku usaha sehingga mau
bertanggung jawab atas kerugian konsumen. Pun bersedia mengganti rugi
akibat pencemaran barang yang diperdagangkan. Aturan ini juga berlaku
untuk produk berupa jasa pelayanan.
Adapun ganti rugi atas kerusakan atau pencemaran yang dimaksud,
meliputi hal-hal berikut ini.
1) Bentuk ganti rugi seperti yang tercantum dalam putusan sengketa
konsumen bisa berupa pengembalian uang. Pun dapat berbentuk
penggantian barang dan/atau jasa dengan nilai sama serta setara
perawatannya.
2) Ganti rugi juga bisa berbentuk pemberian santunan berdasarkan aturan
atau undang-undang yang berlaku saat itu.
3) Ada pula ganti rugi yang ditujukan untuk kerugian fisik sehingga
mengakibatkan kehilangan pekerjaan, kecelakaan, atau penghasilan
seumur hidup maupun sementara.
4) Pemberian sanksi administrasi berupa ganti rugi maksimal senilai
Rp200.000.000 (dua ratus juta rupiah). Sanksi ini hanya dibebankan
jika pihak yang bersengketa menggunakan metode arbitrase dalam
penyelesaian perkara. Atau bisa juga diberlakukan saat pelaku usaha
tidak melaksanakan ganti rugi dalam bentuk santunan, pengembalian
uang, barang atau jasa senilai, serta perawatan kesehatan.
5) Sanksi administrasi juga diterapkan untuk pelanggar Undang-Undang
Perlindungan Konsumen yang mengakibatkan terjadinya kerugian
akibat kegiatan produksi iklan. Biasanya, pelanggaran ini dilakukan
oleh perusahaan periklanan.
8

6) Sanksi administrasi diberikan kepada pelaku usaha yang tidak mampu


menyediakan fasilitas purna jual. Umumnya, berbentuk suku cadang,
pemeliharaan, serta garansi—sesuai perjanjian awal dengan konsumen.
Aturan tersebut juga berlaku bagi pelaku usaha yang menjual jasa.
Bahkan, gugatan kerugian perdata ini bisa berdampak pada tuntutan pidana
melalui proses penyidikan dan pembuktian perkara. Terutama dengan adanya
unsur kesalahan yang sengaja dilakukan oleh pelaku usaha
Hal yang perlu diingat terkait ganti rugi adalah sifat kerugiannya. Jika
kerugian tersebut bersifat nyata, BPSK pasti mengabulkan permintaan
penggugat. Sebaliknya, Undang-undang Perlindungan Konsumen tidak
menghendaki atau mengizinkan BPSK untuk mengabulkan ganti kerugian
immaterial. Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen dijelaskan
bahwa, gugatan teresbut mencakup hilangnya kesempatan mendapatkan
keuntungan, kenikmatan, atau nama baik. Jadi, apa pun alasannya, pengajuan
harus bersifat nyata sehingga BPSK bisa menjatuhkan sanksi setimpal kepada
pelaku usaha.
Dalam memberikan putusan akhir sekaligus sanksi pada sengketa
konsumen, beberapa ketentuan ini harus dipatuhi, yaitu:
1) Keputusan wajib dikeluarkan oleh majelis paling lambat 21 hari kerja
sejak gugatan masuk dan diterima oleh BPSK.
2) Usai pemberitahuan putusan BPSK, paling lama 7 hari terhitung sejak
pembacaan, pihak yang bersengketa wajib memberikan pernyataan
menerima atau menolak. Jika salah satu menolak, maka pengajuan
banding paling lama 14 hari; dimulai dari pengumuman putusan.
3) Putusan yang ditolak atau tidak dilaksanakan dapat dianggap sebagai
kriminalisasi. Dalam masalah ini, BPSK berhak meminta bantuan
penyidik untuk membawa perkara ke Pengadilan Negeri. Artinya,
pengadilan memutuskan berdasarkan Undang-Undang Perlindungan
konsumen Pasal 58 Ayat (2).
4) Jika putusan diterima oleh kedua belah pihak, pelaku usaha diberikan
waktu 7 hari untuk menjalankan putusan. Pengaduan dianggap selesai
saat pelaku usaha berhasil melakukan tugasnya dengan baik.
9

5) Untuk putusan BPSK yang tidak dipermasalahkan oleh pelaku usaha,


harus segera dimintakan fiat.
6) Paling lambat 5 hari usai pengajuan keberatan, pelaku usaha tidak
kunjung melaksanakan putusan, BPSK menyerahkan berkas perkara
kepada penyidik.

d. Putusan BPSK
Penyelesaian sengketa konsumen bisa melalui berbagai metode, antara
lain arbitrase, konsiliasi, dan mediasi. Hasil penyelesaian perkara tersebut
dicantumkan dalam perjanjian tertulis. Agar kuat secara hukum, perjanjian
dilampirkan keputusan majelis yang dibubuhi tanda tangan ketua dan anggota
majelis. Adapun bentuk putusan majelis BPSK berupa perdamaian, gugatan
dikabulkan, serta gugatan ditolak. Apa pun putusan BPSK, semua itu bersifat
final dan memiliki kekuatan hukum. Eksekusi putusan BPSK bisa diajukan
kepada Pengadilan Negeri tempat konsumen yang merasa dirugikan.
Peraturan dalam Pasal 54 Ayat (3) Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, putusan BPSK tidak mungkin bisa diajukan banding. Hal senada
juga diungkapkan dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
Nomor 350/MPP/Kep/12. Dalam Pasal 56 Ayat (2) UndangUndang
Perlindungan Konsumen. Di situ tertulis, bahwa ada peluang untuk
mengajukan banding ke Pengadilan Negeri setempat. Pihak yang bersengketa
diberikan waktu tenggang 14 hari pasca pembacaaan putusan BPSK.
Sayangnya, permasalahan kerap timbul akibat BPSK tidak menegaskan
adanya keberatan secara terbatas.

B. Sanksi Terhadap Pelanggaran Undang-Undang Perlindungan Konsumen


Hukum Perlindungan Konsumen, bila dihubungkan dengan “Science Tree”,
dapat digolongkan sebagai bidang ilmu yang bersifat “Cross Sectoral” yang
merupakan penggabungan dari berbagai disiplin ilmu hukum klasik”. Meskipun
demikian, ditinjau dari kualifikasi sanksinya, nampak bahwa dalam rumusan norma
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 ini, masih terdapat
pembidangan hukumnya, setidaknya untuk bidang hukum administrasi dan pidana.
10

Untuk bidang hukum administrasi yang mengatur penerapan kekuasaan pemerintahan


dan kewenangan memberikan sanksi terdapat dalam :
Bab VIII Bagian Pertama pasal 60, tentang Sanksi Administrasi,
ayat (1) : Badan Penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi
administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar pasal 19 ayat (2) dan (3), pasal
20, pasal 25 dan pasal 26.
ayat (2) : Sanksi administrasi berupa penerapan ganti rugi paling banyak Rp. 200.
000. 000,00 (dua ratus juta rupiah);
ayat (3) : Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.
Sanksi (hukuman) pidana diatur dalam Bagian Kedua Pasal 61, Pasal 62 dan
Pasal 63. Apabila pasal 61 menggariskan tentang dimungkinkannya penuntutan
terhadap pengurus pelaku usaha, pasal 62 mengatur tentang sanksi (hukuman) pidana
pokok, sementara pasal 63 menentukan hukuman tambahannya, pasal 62 mengatur :
ayat (1) : Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal
8, pasal 9, pasal 10, pasal 13 (2) pasal 15, pasal 17 (1) huruf (a), huruf (b), huruf (c),
ayat (2) dan pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
pidana denda paling banyak Rp. 2. 000. 000. 000,00
ayat (2) : Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal
11, pasal 12, pasal 13 ayat (1), pasal 14, pasal 16 dan pasal 17 (1) huruf (d) dan huruf
(f) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp. 500. 000. 000,00.
Pasal 63 ayat (1) menentukan bahwa terhadap saksi pidana sebagaimana
dimaksud dalam pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa :
a. perampasan barang tertentu;
b. pengumuman putusan hakim;
c. pembayaran ganti rugi;
d. perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian
konsumen;
e. kewajiban penarikan barang dari peredaran, dan
f. pencabutan ijin usaha.
11

Rumusan hukuman tambahan dalam pasal 63 ini ternyata mengikuti jenis


hukuman tambahan dalam KUHP sebagai lex generalis dari jenis hukuman (sanksi)
pidana dalam hukum positif. Hanya saja, dalam pasal ini diatur juga tentang perintah
penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen (d)
dan percabutan ijin usaha (f). Apabila dihubungkan dengan uraian tentang sanksi
administrasi dalam bab II sub bab 2, nampak bahwa, dua hukuman tambahan ini
merupakan bagian dari beberapa jenis hukuman administratif.
Sebagaimana dimaklumi, kedudukan hukuman tambahan (accessoir) pidana
adalah mengikuti hukuman pokok. Dalam konteks ini, hukuman tambahan (pasal 63)
mengikuiti sanksi pidana pokok yang terdapat dalam pasal 62. hal ini berarti bahwa,
apabila hakum hendak memberikan (sanksi) tambahan berupa penjabutan ijin usaha
(sebagai jenis sanksi administratif), dari pelaku usaha atas suatu pelanggaran yang
diperbuatnya, maka putusan itu menjadi satu dengan putusan penjatuhan hukuman
(sanksi) pidana pokok. Oleh karena perkara pidana merupakan kewenangan absolut
dari Pengadilan Negeri, maka penjatuhan hukuman baik sanksi pidana pokok maupun
tambahan, dilakukan oleh Pengadilan Negeri.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Alur penyelesaian sengketa konsumen dengan pelaku usaha baik publik
maupun privat diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen (UUPK), yang mengatur tentang perlindungan terhadap
konsumen menegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) bahwa perlindungan konsumen adalah
segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan
perlindungan kepada konsumen.
Untuk bidang hukum administrasi yang mengatur penerapan kekuasaan
pemerintahan dan kewenangan memberikan sanksi terdapat dalam : Bab VIII Bagian
Pertama pasal 60, tentang Sanksi Administrasi, ayat (1) : Badan Penyelesaian
sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku
usaha yang melanggar pasal 19 ayat (2) dan (3), pasal 20, pasal 25 dan pasal 26.
Apabila pasal 61 menggariskan tentang dimungkinkannya penuntutan
terhadap pengurus pelaku usaha, pasal 62 mengatur tentang sanksi (hukuman) pidana
pokok, sementara pasal 63 menentukan hukuman tambahannya, pasal 62 mengatur :
ayat (1) : Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal
8, pasal 9, pasal 10, pasal 13 (2) pasal 15, pasal 17 (1) huruf (a), huruf (b), huruf (c),
ayat (2) dan pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal
11, pasal 12, pasal 13 ayat (1), pasal 14, pasal 16 dan pasal 17 (1) huruf (d) dan huruf
(f) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
Dalam konteks ini, hukuman tambahan (pasal 63) mengikuiti sanksi pidana
pokok yang terdapat dalam pasal 62. hal ini berarti bahwa, apabila hakum hendak
memberikan (sanksi) tambahan berupa penjabutan ijin usaha (sebagai jenis sanksi
administratif), dari pelaku usaha atas suatu pelanggaran yang diperbuatnya, maka
putusan itu menjadi satu dengan putusan penjatuhan hukuman (sanksi) pidana pokok.

12
DAFTAR PUSTAKA

Aries Kurniawan, 2008, Peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam


Penyelesaian Sengketa Konsumen, Kompas 6 Agustus 2008
Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani. 2003. Hukum Tentang Perlindungan Konsumen.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Herlina, N. (2019). Penerapan Sanksi Administrasi Dalam Hukum Perlindungan
Konsumen. Jurnal Ilmiah Galuh Justisi, 7(2), 190-203.
Maryanto. 2019. Prosedur Penyelesaian Sengketa Konsumen di BPSK. Unissula Press. Jawa
Tengah.
Tami Rusli. 2012. Penyelesaian Sengketa Antara Konsumen dan Pelaku Usaha Menurut
Peraturan Perundangan. Jurnal Keadilan Progresif. Vol 3 No 1.
Tegar Harbriyana Putra, 2015, Tesis. Kajian Model Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam
UU Nomor 8 Tahun 1999 (Analisis Putusan BPSK dan Putusan Banding PN Sragen).
Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

iii

Anda mungkin juga menyukai