Anda di halaman 1dari 82

ABSTRAK

KAJIAN YURIDIS ATAS DOKTRIN CAVEAT VENDITOR TERHADAP


PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN PEMBELI GAWAI DALAM
KONTRAK ELEKTRONIK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN
1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

Atika Sutomo
(1187005)

Kemajuan Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Informasi memberikan peluang bagi


para pelaku usaha dalam menjalankan bisnis melalui sistem online. Kemajuan perdagangan
melalui sistem online ini didukung juga dengan adanya media sosial atau tempat bagi para
pelaku usaha untuk menjalankan bisnis online. Media sosial yang mendukung kemajuan
perdagangan online yaitu instagram, kaskus, berniaga, tokopedia, dan lain sebagainya.
Sehingga adanya media sosial menjadikan penjualan melalui sistem online semakin
meningkat. Hal ini memudahkan konsumen dalam membeli gawai secara online. Namun,
kemudahan dalam bertransaksi online menimbulkan banyak pelaku usaha yang menjual
gawai tanpa dilengkapi buku petunjuk manual berbahasa Indonesia.

Penelitian yang dilakukan penulis dengan menggunakan metode yuridis-normatif


dengan data sekunder dengan menggunakan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.
Bahan hukum primer yang digunakan berupa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2014 tentang Perdagangan,
bahan hukum sekunder berupa buku atau jurnal yang diperoleh dari hasil penelitian, serta
bahan hukum tersier berupa kamus dan website. Hasil penelitian yang dikaji oleh penulis
mengenai penjualan gawai secara online adalah tidak terpenuhinya informasi mengenai cara
penggunaan gawai tersebut dalam bentuk buku petunjuk manual berbahasa Indonesia.
Sebagaimana kita ketahui aturan jual beli gawai secara online harus sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Jo. Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.

Kemudahan adanya media penjualan online yaitu konsumen dapat menghemat waktu
dan tenaga. Namun dari kemudahan bertransaksi online, terdapat pelaku usaha yang
mengabaikan ketentuan mengenai penjualan gawai secara online. Hal ini disebabkan karena
kurangnya penegakan hukum dalam memberikan sanksi, seperti tidak adanya aturan hukum
mengenai sanksi dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Sehingga karena
lemahnya hukum di Indonesia, masyarakat harus cerdas dalam membeli gawai secara online.

Kata kunci : perlindungan konsumen, doktrin caveat venditor, penjualan gawai online

i
ABSTRAC
JURIDICAL STUDY ON THE DOCTRINE CAVEAT VENDITOR AGAINST
LEGAL PROTECTION FOR CONSUMERS BUYERS GADGET ELECTONIC IN A
CONTRACT ACCORDING TO THE LAWS OF THE NUMBER 8 YEARS 1999 ON
CONSUMER PROTECTION

Atika Sutomo
(1187005)

Progress in science technology and information provide opportunities for


entrepreneurs to do business through online. Trade progress through online supported by the
social media or place for entrepreneurs to carry on business online. Social media who favor
progress online tradenamely instagram, kaskus, berniaga, tokopedia, and others. And
therefore this social media made a sale by increasing online. It is easy for consumers in
buying gadget online. But, ease transaction online got a lot of entrepreneurs who sells gadget
without any guide book manual in Indonesian.

Research conducted writer by using the method juridical normative with secondary
data by the primary law material, secondary law material, and tertiary law material. the
primary law material used in the form of act no. 8/1999 on consumer protection and the form
of act no. 7/2014 about trafficking, the secondary law material used book or journal obtained
from the research, as well as tertiary law material used dictionary of law and website. The
research reviewed by writer gadget on the online is not the fulfillment information on how to
operate the gadget in book form instruction manual in indonesian. As we know the trading
gadget online to be in accordance with the provisions of act no. 8/1999 on consumer
protection jo. act no. 7/2014 about trafficking.

The ease of online media sales that consumers can save time and energy. But from
ease transact online, there are entrepreneurs who ignored provisions on gadget online sales.
This is because lack of law enforcement in sanctions, as the absence of the rule of law on
sanctions in the form of act on consumer protection. So due to the lack of law in indonesian,
they must be smart in buying gadget online.

Keyword : consumer protection, the doctrine caveat venditor, trading


gadget Online

i
DAFTAR

LAMPIRAN
Judul..............................................................................................................................i
Pernyataan Keaslian …………………………………………………………….. ii
Lembar Pengesahan Dosen Pembimbing.....................................................................iii
Lembar Persetujuan Revisi..........................................................................................iv
Lembar Persetujuan Panitia Sidang..............................................................................v
Abstrak.........................................................................................................................vi
Abstract........................................................................................................................vii
Kata Pengantar............................................................................................................viii
Daftar Isi.......................................................................................................................xi

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..................................................................................................1
B. Identifikasi Masalah........................................................................................10
C. Tujuan Penelitian.............................................................................................10
D. Kegunaan Penelitian........................................................................................11
E. Kerangka Pemikiran........................................................................................12
F. Metode Penelitian............................................................................................20
G. Sistematika Penulisan......................................................................................24

BAB II PERLINDUNGAN HAK KONSUMEN MENGENAI KONTRAK

LISAN DALAM TRANSAKSI JUAL BELI GAWAI

A. Istilah, Pengertian, dan Teori Mengenai Hukum Kontrak

1. Istilah dan Pengertian Hukum Kontrak …………………………… 27

2. Teori-Teori Yuridis dan Konseptual Tentang Kontrak ……………. 29

3. Asas-Asas Kontrak dalam KUH Perdata ………………………...... 36

4. Keabsahan dari Kesepakatan dalam Sebuah Kontrak ……………… 41

5. Bentuk-Bentuk Kontrak dan Kontrak Lisan..............................................42

v
B. Hubungan Hukum Antara Produsen dengan Konsumen dalam Transaksi

Jual Beli Gawai

1. Pola Saluran Distribusi Produk …………………………………...... 44

2. Transaksi Jual Beli Gawai Antara Produsen dan Konsumen Secara

Online........................................................................................................48

C. Hukum Perlindungan Konsumen dan Peraturan Perundang-Undangan

Konsumen di Indonesia

1. Hukum Perlindungan Konsumen...............................................................53

2. Pihak-Pihak yang Terkait dengan Perlindungan Konsumen.....................57

3. Perkembangan Perundang-Undangan Mengenai Perlindungan

Konsumen dan Aturan Perundang – Undangan Lainnya yang

Mengatur Mengenai Perlindungan Konsumen..........................................59

BAB III PRINSIP KEHATI-HATIAN (DOKTRIN CAVEAT VENDITOR)

BAGI PELAKU USAHA DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN

HUKUM BAGI KONSUMEN PEMBELI GAWAI

i
A. Pengertian Konsumen dan Pelaku Usaha Secara Umum Ditinjau dari

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

1. Pengertian Konsumen ……………………………………………. 64

2. Hak dan Kewajiban Konsumen Secara Umum Ditinjau dari Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen..............68

3. Pengertian Pelaku Usaha Secara Umum Ditinjau dari Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen..............76

4. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha Secara Umum Ditinjau dari Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen........78

B. Prinsip Tanggung Jawab bagi Pelaku Usaha Terhadap Konsumen Atas

Produk Barang yang Dibeli

1. Tindakan yang Diberlakukan bagi Pelaku Usaha Terhadap

Konsumen dalam Transaksi Jual Beli Gawai ……………………… 80

2. Prinsip Tanggung Jawab yang Dapat dibebankan Kepada Pelaku

Usaha atas Penjualan Barang Gawai.........................................................88

C. Tujuan Penerapan Sistem Hukum dalam Perlindungan Konsumen di

Indonesia

1. Penerapan Hukum Perlindungan Konsumen Sebagai Wujud dari

x
Ekonomi Kerakyatan.................................................................................93

2. Upaya Perlindungan Hukum Bagi Konsumen dalam Era

Perdagangan Bebas....................................................................................97

D. Product Liability dan Teori Mengenai Caveat Venditor dalam Hukum

Perlindungan Konsumen

1. Product Liability (Tanggung Jawab Produk)............................................99

2. Doktrin-doktrin dalam Perlindungan Konsumen.....................................103

3. Dasar Pertanggungjawaban Pelaku Usaha dalam Layanan Purna Jual

Beli Gawai atau Gadget...........................................................................105

E. Peranan Pengadilan Sebagai Sistem Hukum dalam Penyelesaian

Sengketa Konsumen

1. Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Jalur Pengadilan..................109

2. Penyelesaian Sengketa Konsumen di Luar Pengadilan............................113

BAB IV ANALISIS MENGENAI DOKTRIN CAVEAT VENDITOR

TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN PEMBELI

GAWAI DALAM KONTRAK LISAN MENURUT UNDANG-UNDANG

NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

x
A. Perikatan yang Bersumber dari Kontrak Lisan dalam Transaksi Jual Beli

Gawai Menurut Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

1. Unsur-Unsur Terpenuhinya 4 (Empat) Syarat Sahnya Perjanjian

dalam Perikatan yang Bersumber dari Kontrak Lisan..............................116

2. Kekuatan Hukum dari Perikatan yang Bersumber dari Kontrak Lisan 125

B. Akibat Hukum Mengenai Perikatan yang Bersumber dari Kontrak Lisan

dalam Transaksi Jual beli Gawai secara Online.............................................132

C. Bentuk Perlindungan Hukum atas Hak-Hak Konsumen dalam Transaksi

Jual Beli Gawai Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

Tentang Perlindungan Konsumen Jo. Undang-Undang Nomor 7 Tahun

2014 tentang Perdagangan

1. Bentuk Perlindungan Hukum Mengenai Hak-Hak Konsumen................138

2. Bentuk Pertanggungjawaban Pelaku Usaha Terhadap Konsumen

………………………………………………………………………. 147

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

a. Kesimpulan.....................................................................................................155

x
b. Saran...............................................................................................................159

DAFTAR PUSTAKA

CURICULLUM VITAE

x
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses perubahan yang

berlangsung secara sadar, terencana, dan berkelanjutan dengan sasaran

utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan hidup manusia atau

masyarakat suatu bangsa.1 Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 33

ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen

menyebutkan bahwa :

“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas dasar

demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, berwawasan

lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan

kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”

Dari penjelasan Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan

bahwa perekonomian nasional senantiasa beranjak dari suatu keadaan

yang kurang baik menuju suatu keadaan yang lebih baik. Hal tersebut

dilakukan dengan menjaga keseimbangan ekonomi nasional dalam rangka

mencapai tujuan nasional suatu bangsa dengan menjaga kesatuan ekonomi

nasional agar kesejahteraan masyarakatnya dapat terjamin.

1
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat.

Universitas Kristen Maranatha


2

Kegiatan ekonomi yang mempunyai peran strategis dalam rangka

perkembangan perekonomian adalah di bidang perdagangan. Pengaturan

kegiatan perdagangan yang diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor

7 Tahun 2014 tentang Perdagangan salah satunya bertujuan untuk

meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional.

Salah satu kegiatan perdagangan yang sedang berkembang adalah di

bidang perdagangan teknologi informasi. Teknologi informasi adalah

perkembangan untuk teknologi jenis apapun yang memiliki perangkat-

perangkat dan sistem jaringan komunikasi untuk mengolah suatu

informasi. Sistem jaringan informasi inilah yang sering disebut dengan

istilah telematika.2

Terdapatnya sistem jaringan dalam teknologi informasi berguna untuk

membantu manusia dalam membuat, mengubah, menyimpan,

mengkomunikasikan, dan/atau menyebarluaskan informasi. Dengan

demikian, macam-macam gawai dalam teknologi informasi bukan hanya

berupa komputer, telepon, televisi, dan peralatan rumah tangga elektronik,

tetapi juga peranti genggam modern seperti ponsel atau sering kita kenal

dengan sebutan gadget.3

Berkembangnya teknologi informasi di masa sekarang ini disebabkan

karena meningkatnya kebutuhan manusia untuk saling berkomunikasi

2
Upadama, “Pengertian Telematika”, (http://upadama.blogspot.co.id/2012/110/pengertian
Telematika.html?m=1), diunduh pada tanggal 30 Oktober 2015.
3
“Teknologi Informasi”, 2015, (https://id.m.wikipedia.org/wiki/teknologi_informasi), diunduh
Pada tanggal 29 Oktober 2015.
3

antar manusia lainnya. Hak untuk berkomunikasi sebagaimana yang diatur

dalam Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan :

“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk


mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”

Selain Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945, hak untuk berkomunikasi

diatur juga dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan :

“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang


diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Setiap
orang juga berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis
sarana yang tersedia.”

Dari penjelasan Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 14

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia untuk

berkomunikasi menyebutkan bahwa perkembangan teknologi di jaman

modern saat ini sangat dibutuhkan oleh semua manusia. Perkembangan

teknologi dijaman modern ini bertujuan untuk memudahkan masyarakat

dalam berinteraksi dan berkomunikasi antara manusia satu dengan

manusia yang lainnya, selain itu perkembangan teknologi juga mendorong

manusia untuk bisa memperoleh informasi secara luas dengan sarana

teknologi yang tersedia.

Perdagangan teknologi telekomunikasi selain memberikan dampak

positif untuk meningkatkan pembangunan ekonomi nasional, tetapi juga

dapat memberikan dampak negatif, yaitu karena ketatnya persaingan


4

mengubah perilaku bisnis ke arah persaingan yang tidak sehat, seperti

perdagangan tidak resmi.4

Black market adalah istilah yang digunakan untuk penjualan suatu

produk yang bukan melalui jalur resmi (ilegal). Karena ilegal, maka

sesungguhnya tidak ada jaminan mutu, garansi ataupun fakor penting

lainnya dari produsen.

Produk black market dijual tidak hanya untuk mencari keuntungan

yang besar, namun supaya pembeli juga bisa mendapatkan produk yang

diinginkan dengan harga di bawah pasaran. Harga yang ditawarkan untuk

produk black market lebih murah karena tidak membayar bea masuk, serta

tidak ada jaminan mutu sehingga barang yang dijual secara black market

ada kemungkinan telah mengalami rekondisi (atau yang dikenal dengan

istilah refurbished/remark) yang rentan terhadap kerusakan.5

Kondisi penjualan black market yang semakin merambah luas ini

menjadikan konsumen hanya menjadi objek aktivitas pelaku usaha yang

ingin meraup keuntungan sebesar-besarnya melalui praktik penjualan

black market. Definisi dari pelaku usaha yang diatur dalam Pasal 1 angka

(3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen berbunyi:

4
Dalam Putusan Mahkamah Agung No. 527 k/Pdt/2006 menggunakan istilah Black Market untuk
menyebut suatu perdagangan tidak resmi. Adi Condro Bawono dan Diana Kusumasari, “Hukum
Jual Beli Ponsel Tanpa Garansi di Pasar Gelap (Black Market), 2012,
(http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl2937/hukum-jual-beli-ponsel-tanpa-garansi-di
pasar-gelap-%28black-market%29), diunduh pada tanggal 6 Januari 2015.
5
M. Rasali, “Pelaksanaan Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Produk Blackberry
Black Market”, 2013, (http://eprints.unika.ac.id/14898/2/bab1.pdf), diunduh pada tanggal 26
Desember 2014.
5

“Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”

Dari penjelasan Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

disebutkan bahwa yang termasuk pelaku usaha menurut Ikatan Sarjana

Ekonomi Indonesia (ISEI) sebagai berikut:6

a. “kalangan Investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai


berbagai kepentingan, seperti perbankan, usaha leasing, tengkulak;
b. produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang dari
bahan baku, bahan tambahan;
c. distributor, yaitu pelaku usaha yang mendistribusikan atau
memperdagangkan barang tersebut kepada masyarakat, seperti pedagang
secara retail, pedagang kaki lima, warung, toko, supermarket,
hypermarket.”

Menurut Setiawan yang dikutip dari buku Adrianus Meliala,

perlindungan konsumen mempunyai dua aspek yang bermuara pada

praktik perdagangan yang tidak jujur, 7 misalnya penipuan mengenai mutu

dan kualitas produk, dan penjualan barang gawai yang tidak memenuhi

ketentuan penjualan barang kepada konsumen, sebagaimana ketentuan

dalam penjualan gawai telah diatur pada Pasal 8 ayat (1) huruf J Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang

berbunyi :

“Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan

barang dan/atau jasa yang tidak mencantumkan informasi dan/atau

petunjuk penggunaan barang dalam Bahasa Indonesia.”

6
Abdul Fickar Hadjar, “Seri Kuliah: Hukum Perlindungan Konsumen”, 2011, (http://boxilmu.
blogspot.com/2011/11/konsumen.html), diunduh pada tanggal 26 Desember 2014.
7
Adrianus Meliala, Praktik Bisnis Curang, Jakarta: Sinar Harapan,1993, hlm.152
6

Selain diatur dalam Pasal 8 ayat (1) huruf J Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, ketentuan dalam penjualan

gawai diatur pada Pasal 6 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang

Perdagangan yang berbunyi:

“Setiap pelaku usaha wajib menggunakan atau melengkapi label

berbahasa indonesia pada barang yang diperdagangan di dalam

negeri.”

Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan atau kelengkapan label

berbahasa indonesia juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun

2014 tentang Perdagangan dan Permendag Nomor 22/M-

DAG/PER/5/2010 tentang Kewajiban Pencantuman Label pada Barang

Semua Produk Baik Impor Maupun Produksi dalam Negeri.

Dari penjelasan Pasal 8 ayat (1) huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 6 Undang-Undang Nomor 7

Tahun 2014 tentang Perdagangan, dan Permendag Nomor 22/M-

DAG/PER/5/2010 tentang Kewajiban Pencantuman Label pada Barang

Semua Produk Baik Impor Maupun Produksi dalam Negeri disebutkan

bahwa adanya aturan mengenai penjualan gawai tidak dimaksudkan untuk

mematikan usaha para pelaku usaha yang ingin mendapatkan keuntungan

sebesar-besarnya, tetapi adanya aturan tersebut dapat mendorong iklim

berusaha yang sehat dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan

barang yang berkualitas8, serta memenuhi hak-hak konsumen untuk

8
A.Z.Nasution, Sekilas Hukum Perlindungan Konsumen, Majalah Hukum dan Pembangunan,
7

mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/ atau jasa seperti yang tercantum dalam Pasal 4 huruf

C Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen.

Namun pada kenyataan yang terjadi di masyarakat terdapat kasus yang

bertentangan dengan aturan-aturan yang diatur dalam Undang-Undang

Perlindungan Konsumen terkait dengan ketentuan penjualan gawai. Salah

satu contoh kasusnya yaitu pelaku usaha yang bernama Randy yang

menjual ipad kepada Dian yang kemudian ipad tersebut dijual lagi melalui

media kaskus kepada petugas kepolisian yang sedang menyamar, pada

awalnya disepakati bahwa Dian akan menjual 2 buah ipad, lalu kemudian

Dian menyanggupi untuk menjual 8 buah ipad kepada sang petugas yang

menyamar sebagai calon pembeli tanpa disertai buku manual berbahasa

Indonesia, yang kemudian setelah diselidiki bahwa ipad tersebut diperoleh

dari Randy. Dalam hal ini Dian dan Randy melakukan pelanggaran karena

menjual barang ipad tanpa disertai buku manual berbahasa Indonesia.9

Ipad adalah sebuah produk komputer tablet buatan Apple.Inc (Al) yang

diperkenalkan oleh Steve Jobs, CEO (Chief Executive Officer) pada

tanggal 27 Januari 2010. Produk jenis ipad merupakan salah satu produk

barang yang termasuk ke dalam jenis gawai. Hal tersebut dikatakan

demikian karena ipad merupakan sebuah produk yang dirancang sebagai

Fakultas Hukum UI, No.6 Tahun ke XVI, Desember 1986, hlm.570.


9
Nur Farida Ahniar, “Inilah Kronologi Kasus iPad Dian dan Randy”, 2011, (http://metro.news.
Viva.co.id/news/read/230560-ini-kronologi-kejadian-kasus-dian-dan-randy), diunduh pada
tanggal 2 Desember 2014.
8

sebuah perangkat digital yang berada di antara telepon pintar (smartphone)

dan komputer lipat (laptop).10

Mengenai kasus penjualan gawai yang terjadi di lingkungan

masyarakat menyebabkan konsumen mengalami kerugian atas tidak

terpenuhinya hak-hak konsumen. sebagaimana diketahui bahwa dalam

perlindungan konsumen dikenal adanya prinsip caveat venditor (prinsip

kehati-hatian bagi pelaku usaha dalam memperdagangkan barang dan/ atau

jasa).

Permasalahan penjualan gawai dengan tidak adanya kelengkapan buku

manual berbahasa Indonesia, mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak

konsumen untuk memperoleh informasi dan/ atau petunjuk dalam

mengoptimalkan fungsi-fungsi dan fitur-fitur yang terdapat didalamnya,

dengan adanya kelengkapan informasi dan/ atau petunjuk dalam produk

barang gawai juga dapat menghindari resiko kecelakaan dalam

penggunaan barang gawai tersebut.

Dalam penelitian skripsi ini, penulis telah menemukan beberapa

penulisan yang sejenis, antara lain: Tesis yang berjudul “Analisis Yuridis

tentang Penangkapan Terhadap Penjual Integrated Passive and Active

Devices oleh Kepolisian Daerah Metro Jaya Berdasarkan Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pelindungan Konsumen dihubungkan

dengan Undang-Undang Republik Indonesia”, ditulis oleh Desby Putu

10
Eni Setiani, “Pengertian Ipad”, (https://blogeniset.wordpress.com/2011/06/22/pengertian-
Ipad/), diunduh pada tanggal 30 Oktober 2015.
9

Pratama dari Program Studi S1 Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana

Universitas Langlangbuana Bandung.

Dari penjelasan yang sudah dipaparkan diatas, diketahui bahwa dalam

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

mengatur mengenai hak-hak konsumen yang harus dilindungi dengan

didasarkan pada doktrin caveat venditor. Namun pada kenyataan yang

terjadi dilapangan masyarakat bahwa masih terdapat penjual yang

melakukan penjualan gawai dengan tidak memperhatikan doktrin-doktrin

mengenai caveat venditor yang diatur dalam ketentuan-ketentuan Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dan Permendag

Nomor 22/M-DAG/PER/5/2010 mengatur tentang Kewajiban

Pencantuman Label pada Barang Semua Produk Baik Impor Maupun

Produksi dalam Negeri.

Atas permasalahan karena adanya ketidakpastian hukum yang telah

diuraikan diatas, penulis tertarik untuk mengetahui lebih lanjut sejauh

mana tanggung jawab para pelaku usaha terhadap hak-hak konsumen yang

dirugikan karena melakukan penjualan barang gawai tanpa kelengkapan

buku manual berbahasa Indonesia sebagaimana yang diatur dalam

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Berdasarkan permasalahan tersebut penulis memilih topik Tugas Akhir

dengan judul :
1

“KAJIAN YURIDIS ATAS DOKTRIN CAVEAT VENDITOR

TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN

PEMBELI GAWAI DALAM KONTRAK ELEKTRONIK MENURUT

UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG

PERLINDUNGAN KONSUMEN”

B. Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana perikatan yang bersumber dari kontrak yang dibuat secara

lisan antara penjual dan konsumen terhadap penjualan gawai dan

bagaimana kekuatan hukum mengenai perikatan kontrak yang dibuat

secara lisan tersebut?

2. Bagaimana akibat hukum mengenai perikatan kontrak yang dibuat

secara lisan apabila pelaku usaha melanggar aturan perikatan jual beli

gawai menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen?

3. Bagaimana bentuk doktrin caveat venditor dalam perlindungan

terhadap hak-hak konsumen yang tidak terpenuhi dalam transaksi

pembelian gawai menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen Jo. Undang-Undang Nomor 7 Tahun

2014 tentang Perdagangan?


1

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang telah diidentifikasikan diatas, tujuan

penelitian yang hendak dicapai adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui bentuk perikatan yang bersumber dari kontrak lisan antara

penjual dengan konsumen dalam kaitannya terhadap penjualan gawai

dan juga mengetahui kekuatan hukum yang terjadi mengenai perikatan

yang dibuat antara penjual dengan konsumen.

2. Mengetahui akibat hukum terhadap perikatan yang bersumber dari

kontrak lisan bagi pelaku usaha yang melanggar.

3. Mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen dalam

transaksi pembelian gawai.

D. Kegunaan Penelitian

Setiap penelitian diharapkan adanya suatu manfaat dan kegunaan yang

dapat diambil dari penelitian, sebab besar kecilnya manfaat penelitian akan

menentukan nilai-nilai dari penelitian tersebut. Adapun manfaat yang

dapat diambil oleh penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

Diharapkan dari penelitian ini penulis dapat memberikan

sumbangsih pemikiran dan pengetahuan terutama mengenai larangan-

larangan dalam melakukan penjualan barang gawai yang dapat

mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak konsumen berdasarkan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen.
1

2. Manfaat Praktis

Untuk menambah wawasan penulis di bidang perlindungan

konsumen mengenai ketentuan-ketentuan dalam melakukan penjualan

barang gawai kepada konsumen tanpa merugikan hak-hak konsumen

yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen.

E. Kerangka Pemikiran

Menurut Hartkamp yang dikutip dari buku Herlien Budiono

menjelaskan bahwa:11

“Perjanjian adalah tindakan hukum yang terbentuk dengan memperhatikan


ketentuan perundang-undangan perihal aturan bentuk formal oleh
perjumpaan pernyataan kehendak yang saling bergantung satu sama lain
sebagaimana dinyatakan oleh dua atau lebih pihak, dan dimaksudkan untuk
menimbulkan akibat hukum demi kepentingan salah satu pihak serta atas
beban pihak lainnya, atau demi kepentingan dan atas beban kedua belah
pihak bertimbal balik.”

Di dalam ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata menjelaskan mengenai

perumusan perjanjian obligatoire.12 Perjanjian obligatoire ialah perjanjian

yang memunculkan perikatan. Dari penjelasan tersebut di maksudkan

dengan perjanjian yang menciptakan, mengubah, mengisi, atau

menghapuskan perikatan. Dalam suatu perjanjian obligatoire para pihak

bermaksud untuk menciptakan hubungan-hubungan di bidang hukum

kekayaan (vermogensrechtelijke), atas dasar satu pihak diwajibkan

11
Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2006, hlm.139.
12
R.Feenstra, Romeinsrechtelijke Grondslagen Van Het Nederlands Privaatrecht, Leiden: Vijfde
druk, 1990, hlm.125.
1

memenuhi suatu prestasi, sedangkan pihak lainnya berhak menuntut

pemenuhan prestasi tersebut, atau demi kepentingan dan atas beban kedua

belah pihak bertimbal balik.

Perjanjian terjadi melalui atau dengan perantaraan pernyataan

kehendak dari orang atau pihak yang bertindak, yang ditujukan pada

timbulnya akibat hukum atau karena pihak yang bertindak memunculkan

kepercayaan pada pihak lainnya bahwa kehendaknya itu tertuju pada

terjadinya perjanjian. Pernyataan kehendak dari orang yang bertindak

mencakup penawaran dan penerimaan sebelum ditutupnya perjanjian.

Dalam proses pembentukan atau penutupan perjanjian adalah perjumpaan

kehendak yaitu saling bertautnya masing-masing pernyataan kehendak

sebagaimana disampaikan satu pihak pada pihak lainnya secara timbal

balik, namun juga dengan cara ini masing-masing pihak menurut hukum

mengikatkan diri pada pihak lainnya, maka terbentulah kata “sepakat”.13

Schut berpendapat bahwa istilah perjanjian (overeenkomst) memenuhi

tiga fungsi karena istilah tersebut merujuk baik pada tindakan mencapai

kesepakatan (atau saling berjanji), akibat darinya (muatan isi dari apa yang

disepakati atau diperjanjikan) dan hubungan hukum (hubungan-hubungan

hukum yang muncul darinya atau perikatan).14

Mengenai pengertian perjanjian ada beberapa unsur yang terkait

dengan perjanjian, antara lain hubungan hukum (rechsbetrekking) yang

menyangkut hukum kekayaan antara dua orang (persoon) atau lebih yang
13
G.H.A,Schut, Rechtshandeling, Overeenkomst en Verbintenis Volgens BW en NBW, Zwolle,
1987, hlm.65-67.
14
Ibid, hlm.46-47.
1

memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu

prestasi.

Berdasarkan pernyataan diatas mengenai dua orang (persoon) atau

lebih yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain

tentang suatu prestasi sama halnya dengan manusia yang dalam

kedudukan dan peranannya dalam kegiatan melakukan jual beli barang

memiliki hak dan kewajiban antar masing-masing pihak. Hak merupakan

suatu wewenang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu15.

Manusia dalam melakukan sesuatu perlu ditanamkan dalam diri manusia

itu sendiri bahwa hukum adalah sesuatu hal yang harus ditaati, dijalankan

sehingga manusia dalam bertindak atau melakukan sesuatu bisa

membedakan mengenai apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak

boleh dilakukan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.

Pasal 1131 KUH Perdata memberikan definisi tentang perjanjian

sebagai berikut : “perjanjian adalah suatu perbuatan, dimana satu orang

atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.” 16 Suatu

perjanjian adalah semata-mata untuk persetujuan yang diakui oleh hukum.

Persetujuan ini merupakan kepentingan yang pokok di dalam dunia usaha

dan menjadi dasar bagi kebanyakan transaksi dagang seperti jual beli

barang.17

15
Johannes Ibrahim dan P. Lindawaty S.Sewu, Hukum Bisnis dalam Persepsi Dunia Modern,
Bandung: Refika Aditama, 2007, hlm. 11.
16
Wirjono Prodjodikoro, Azaz-Azaz Perjanjian, Bandung: Mandar Maju,2000, hlm.52.
17
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Bandung: Citra Aditya Abadi, 1992, hlm.93.
1

Dalam Pasal 1457 KUH Perdata diatur tentang pengertian perjanjian

jual beli yaitu suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan

dirinya untuk menyerahkan suatu benda dan pihak lain untuk membayar

harga yang telah dijanjikan. Berdasarkan pernyataan diatas, dalam

kegiatan jual beli terdapat pihak yang berkewajiban untuk membayar

harga sesuai dengan yang diperjanjikan yang disebut sebagai pihak

pembeli, dan terdapat pihak yang berkewajiban untuk menyerahkan

barang yang diperjualbelikan yang disebut sebagai pihak penjual.

Dasar dari terjadinya jual beli adalah perjanjian jual beli. Salah satu

syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata adalah adanya sebab yang halal. Dalam

Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebab yang halal yakni

sebab yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan,

maupun dengan ketertiban umum.

Perjanjian jual beli yang berlangsung antara penjual dan pembeli tidak

jarang menimbulkan masalah atau resiko. Masalah atau resiko yang biasa

terjadi dalam jual beli barang biasanya terjadi karena situasi bisnis yang

semakin kompetitif, sehingga motif praktek bisnis tidak jujur atau praktek

binis curang lebih mendorong seseorang untuk melakukan tindakan tidak

etis yang dilakukan oleh para pelaku usaha yang bertujuan untuk meraup

keuntungan yang sebesar-besarnya yang dapat merugikan konsumen.

Pada prinsipnya, unfair business practice (Praktek Bisnis Tidak Jujur)

diketahui sebagai tindakan menipu, mencuri, menggelapkan, mengelabui,


1

bersekongkol, menyalahgunakan kekuatan dan kesempatan, menindas atau

memeras yang lemah dengan tindakan-tindakan yang merusak dan

merugikan pihak lain pada umumnya. Tindakan-tindakan di atas, bisa

dikategorikan sebagai melanggar hukum. Namun, ada pula yang

menganggap bahwa melakukan praktek bisnis tidak jujur merupakan

sesuatu yang lumrah bahkan suatu keharusan agar bisa melaksanakan

kegiatan bisnis untuk bertahan hidup.18

Dari suatu angket yang dilakukan di lingkungan Harvard Business

School, AS, diperoleh informasi bahwa faktor yang mempengaruhi

tindakan bisnis tidak jujur di lingkungan perusahaan adalah sebagai

berikut:19

a. “desakan kebutuhan keuangan pribadi;


b. kurangnya kebijaksanaan perusahaan yang jelas;
c. perilaku rekan-rekan setingkat;
d. iklim etika dalam industri/dunia bisnis;
e. perilaku atasan dalam perusahaan.”

Berdasarkan informasi yang diperoleh di atas mengenai faktor yang

mempengaruhi bisnis tidak jujur adalah karena faktor utamanya yaitu

“kebutuhan finansial”, kemudian bisa dikatakan bahwa faktor utama yang

mendorong praktek bisnis tidak jujur adalah motif mencari keuntungan

atau mendapatkan uang lebih besar.20

Untuk melindungi konsumen dari resiko-resiko yang bisa terjadi dalam

kegiatan jual beli praktek bisnis tidak jujur, maka konsumen harus

diberikan perlindungan khusus bagi konsumen. Dalam kamus besar

18
Adrianus Meliala, Op.cit, hlm.29.
19
Adrianus Meliala, Loc.cit, hlm.30.
20
Ibid.
1

Bahasa Indonesia Perlindungan berasal dari kata “lindung” yang memiliki

arti mengayomi, mencegah, mempertahankan, dan membentengi.

Sedangkan perlindungan memiliki arti konservasi, pemeliharaan, dan

penjagaan.

Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen disebutkan :

“Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya

kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.”

Dari penjelasan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa istilah perlindungan

konsumen dipakai untuk menggambarkan perlindungan hukum yang

diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memenuhi

kebutuhannya dari hal-hal yang dapat merugikan konsumen itu sendiri.21

Untuk memenuhi tujuan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal

3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,

perlu dilakukan pembinaan dan pengawasan terhadap terselenggaranya

perlindungan terhadap konsumen secara memadai. Pembinaan dan

pengawasan meliputi :

a. “diri pelaku usaha;

b. sarana dan prasarana produksi;

c. iklim usaha secara keseluruhan; serta

21
Adijaya Yusuf dan John W.Head, Topik-Topik Mata Kuliah Hukum Ekonomi dan Kurikulum,
Jakarta: Elips,1998.
1

d. konsumen.”

Dengan pembinaan dan pengawasan ini diharapkan pemenuhan akan hak-

hak konsumen dapat terjamin dan sebaliknya pemenuhan kewajiban-

kewajiban pelaku usaha sebagai produsen dapat dipastikan.

Pembinaan terhadap pelaku usaha mengandung makna mendorong

pelaku usaha supaya bertindak sesuai dengan aturan yang berlaku, seperti

aturan yang diharuskan oleh undang-undang. Dalam hal ini pelaku usaha

wajib untuk menyadari akan ketentuan-ketentuan yang wajib ditaati

mengenai penjualan barang gawai, seperti yang tercantum dalam Pasal 8

ayat (1) huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen yang berbunyi:

“Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan

barang dan/atau jasa yang tidak mencantumkan informasi dan/atau

petunjuk penggunaan barang dalam Bahasa Indonesia.”

Dengan adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut,

kecenderungan caveat emptor dapat mulai diarahkan menuju caveat

venditor.22 Caveat emptor adalah suatu kondisi dimana konsumen harus

berhati-hati karena posisi pelaku usaha kuat, diarahkan menuju caveat

venditor yaitu suatu kondisi dimana pelaku usaha harus berhati-hati karena

konsumen sudah memahami mengenai perlindungan konsumen.

22
Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2006,
1

Prinsip-prinsip mengenai kedudukan konsumen dalam hubungan

dengan pelaku usaha berdasarkan doktrin atau teori yang dikenal dalam

perkembangan sejarah hukum perlindungan konsumen, antara lain:23

1. Let the buyer beware (caveat emptor)

Doktrin let the buyer beware atau caveat emptor merupakan dasar

dari lahirnya sengketa dibidang transaksi konsumen. Asas ini berasumsi

bahwa pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang sangat

seimbang, sehingga konsumen tidak memerlukan perlindungan. Prinsip

ini mengandung kelemahan, bahwa dalam perkembangan konsumen

tidak mendapat informasi yang memadai untuk menentukan pilihan

terhadap barang dan/ atau jasa yang dikonsumsinya. Hal tersebut dapat

disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan konsumen atau keterbukaan

pelaku usaha terhadap produk yang ditawarkannya. Dengan demikian,

apabila konsumen mengalami kerugian, maka pelaku usaha dapat

berdalih bahwa kerugian tersebut akibat dari kelalaian konsumen itu

sendiri.

2. The Due Care Theory

Doktrin ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai

kewajiban untuk berhati-hati dalam memasarkan produk, baik barang

maupun jasa. Selama pelaku usaha berhati-hati dengan produknya,

maka ia tidak dapat dipersalahkan. Pada prinsip ini berlaku

pembuktian siapa mendalilkan maka dialah yang membuktikan. Hal ini

23
Ibid,
2

sesuai dengan ketentuan Pasal 1865 KUH Perdata yang secara tegas

menyatakan bahwa barangsiapa yang mendalilkan mempunyai suatu

hak atau untuk meneguhkan haknya atau membantah hak orang lain,

atau menunjuk pada suatu peristiwa, maka diwajibkan membuktikan

adanya hak atau peristiwa tersebut.

3. The Privity of Contract

Doktrin ini menyatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk

melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika diantara

mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak

dapat disalahkan diluar hal-hal yang diperjanjikan.Hal ini sesuai

dengan ketentuan dalam Pasal 1340 KUH Perdata yang menyatakan

tentang ruang lingkup berlakunya perjanjian hanyalah antara pihak-

pihak yang membuat perjanjian saja.

F. Metode Penelitian

Dalam penelitian untuk menyusun tugas akhir ini, penulis

menggunakan metode yuridis normatif. Metode yuridis normatif yaitu

metode penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka

atau data sekunder belaka.24 Penelitian ini dilakukan untuk

mengidentifikasi konsep, asas, dan prinsip-prinsip mengenai hak-hak

konsumen dan perlindungan hukum bagi konsumen, khususnya mengenai

penjualan barang gawai agar terpenuhinya hak-hak konsumen untuk

memperoleh informasi atas penggunaan suatu barang dan/ atau jasa.

24
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, Jakarta: Raja Grafindo, 2006, hlm. 13.
2

Penyusunan tugas akhir ini menggunakan sifat, pendekatan, jenis data,

teknik pengumpulan data sebagai berikut :

1. Sifat Penelitian

Sifat penelitian yang digunakan dalam tugas akhir ini dilakukan

secara deskriptif analitis yaitu penelitian yang menggambarkan

peristiwa yang sedang diteliti dan kemudian menganalisisnya

berdasarkan fakta-fakta berupa data sekunder yang diperoleh dari

bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum

tersier. Penelitian ini melakukan analisis dan menyajikan fakta yang

terjadi secara sistematis sehingga dapat lebih mudah untuk dipahami

dan disimpulkan.25 Tujuan penelitian deskriptif adalah untuk membuat

penjelasan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta

yang terjadi dilapangan. Dalam penelitian ini, penulis akan mencoba

menggambarkan situasi dan kondisi perlindungan hukum terhadap

aturan penjualan barang gawai di Indonesia yang diatur dalam

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen ke dalam bentuk fakta yang masih terjadi di lapangan

masyarakat seperti salah satu kasus yang terjadi terhadap Dian dan

Randy yang menjual barang gawai tanpa memperhatikan ketentuan-

ketentuan penjualan barang gawai sebagaimana yang diatur dalam

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen dan Permendag Nomor 22/M-DAG/PER/5/2010 tentang

25
Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian Bidang
Kesejahteraan Sosial Lainnya, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999, hlm.63.
2

Kewajiban Pencantuman Label pada Barang Semua Produk Baik

Impor maupun Produksi dalam Negeri.

2. Pendekatan Penelitian

Penyusunan tugas akhir ini dilakukan dengan menggunakan

pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan Pendekatan

Konseptual (conceptual approach)26. Pendekatan perundang-undangan

digunakan berkenaan dengan peraturan hukum yang mengatur

mengenai ketentuan-ketentuan dalam penjual barang gawai yang wajib

ditaati oleh para pelaku usaha. Sehingga para pelaku usaha lebih

bertanggung jawab terhadap produk barang yang diperjualbelikan dan

hak-hak konsumen tidak dirugikan. Pada pendekatan konseptual

peneliti akan menelaah mengenai teori-teori dan doktrin-doktrin yang

berkaitan dengan hak-hak konsumen dan hukum perlindungan

konsumen.

3. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Jenis data dari penelitian ini dikumpulkan dengan cara

menggunakan data sekunder dan data primer. Data sekunder adalah

data yang diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan dan dokumen,

yang merupakan hasil penelitian dan pengolahan orang lain, yang

sudah tersedia dalam bentuk buku-buku atau dokumen yang biasanya

disediakan di perpustakaan, atau milik pribadi27 seperti data yang

26
Johny Ibrahim, Pendekatan Ekonomi terhadap Hukum, Surabaya: Putra Media Nusantara dan
ITS Press, 2009, hlm.302-303.
27
Hilman Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum,
Bandung: Mandar Maju, 1995, hlm. 65.
2

diperoleh dari beberapa literatur, Undang-Undang. Sedangkan yang

dimaksud dengan data primer ialah data yang diperoleh langsung dari

masyarakat.28

Di dalam penelitian hukum, data sekunder mencakup bahan hukum

primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.29 Data

sekunder yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu terdiri dari :

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, 30

seperti:

1. Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen;

3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia;

4. Permendag Nomor 22/M-DAG/PER/5/2010 tentang Kewajiban

Pencantuman Label pada Barang Semua Produk Baik Impor

Maupun Produksi dalam Negeri.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat

hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu

menganalisis dan memahami bahan hukum primer,31 seperti: buku-

28
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op. Cit., hlm. 12.
29
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op. Cit., hlm. 13.
30
Soerjono Soekanto, Pengantar Peneltian Hukum, Universitas Indonesia (UI) Press, 1986,
hlm.52
31
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Cetakan Kelima,
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994, hlm. 12.
2

buku, hasil penelitian, jurnal ilmiah, artikel ilmiah, dan makalah

hasil seminar.

c. Bahan Hukum Tersier, bahan-bahan yang memberikan informasi

tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,32 berupa

kamus-kamus seperti kamus bahasa, kamus hukum, majalah, serta

media massa.

4. Teknik Pengumpulan Data dan Analisis Data

a. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah studi kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan untuk

mencari teori-teori, pendapat-pendapat serta mengumpulkan dan

mengkaji data yang diperoleh dari undang-undang, hasil penelitian,

jurnal ilmiah, artikel ilmiah, buku teks, dan makalah seminar yang

berkenaan dengan permasalahan mengenai penjualan barang gawai

yang tidak memenuhi aturan dalam penjualan barang gawai.

b. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh baik dari studi kepustakaan maupun dari

penelitian lapangan akan dianalisis secara deskriptif kualitatif.

Analisis deskriptif kualitatif yaitu metode analisis data yang

mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh dari

penelitian lapangan menurut kualitas dan kebenarannya, kemudian

dihubungkan dengan teori-teori, asas-asas, dan kaidah-kaidah

32
Ibid.
2

hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan sehingga diperoleh

jawaban atas permasalahan yang dirumuskan.

G. Sistematika Penulisan

Penelitian ini disusun dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab.

Masing-masing bab terdiri atas beberapa sub-bab guna lebih memperjelas

ruang lingkup dan cakupan permasalahan yang diteliti. Adapun urutan dan

tata letak masing-masing bab serta pokok pembahasannya adalah sebagai

berikut :

Bab I Pendahuluan

Berisikan uraian latar belakang permasalahan mengenai penjualan

barang gawai dalam hal ketidaklengkapan buku manual berbahasa

Indonesia yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan Nomor

8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, kemudian dilanjutkan

dengan identifikasi masalah yang menjadi fokus penelitian yang akan

dikaji, uraian mengenai tujuan penelitian dan kegunaan penelitian secara

teoritis dan praktis, metode penelitian, kerangka pemikiran, dan

sistematika penulisan.

Bab II Tinjauan Pustaka (Tinjauan Yuridis Mengenai Hak-Hak dan

Kewajiban Konsumen)

Dalam bab ini dipaparkan mengenai hak-hak dan kewajiban konsumen

yang harus diperhatikan oleh para pelaku usaha terkait dengan penjualan

barang gawai dengan memperhatikan ketentuan yang diatur dalam

melakukan penjualan barang gawai sebagaimana hak-hak dan kewajiban


2

konsumen yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen tidak boleh terabaikan.

Bab III Objek Penelitian (Aturan dalam penjualan barang gawai

menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan

Perundang-undangan)

Dalam bab ini penulis akan menguraikan hasil penelitian yang

menggambarkan fakta-fakta yang terjadi dalam kehidupan masyarakat

secara nyata dibandingkan dengan aturan-aturan yang diatur dalam

undang-undang.

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan (menjawab dan

menjelaskan pokok permasalahan)

Dalam bab ini akan diuraikan jawaban atas permasalahan dengan

menggunakan data hasil penelitian secara teori yang telah diuraikan dalam

bab II skripsi.

Bab V Penutup

Dalam bab ini diuraikan mengenai kesimpulan dari hasil penelitian

yang dilakukan. Selain itu juga diuraikan pula saran-saran mengenai

kebijakan pemerintah yang masih belum tegas dalam memberikan

perlindungan hukum bagi konsumen yang telah dirugikan hak-haknya.


BAB II

PERLINDUNGAN HAK KONSUMEN MENGENAI KONTRAK LISAN

DALAM TRANSAKSI JUAL BELI GAWAI

A. Istilah, Pengertian, dan Teori Mengenai Hukum Kontrak

1. Istilah dan Pengertian Hukum Kontrak

Istilah “kontrak” merupakan kesepadanan dari istilah “contract”

dalam bahasa Inggris. Istilah kontrak dalam kamus besar bahasa

Indonesia yaitu : 33

a. “perjanjian (secara tertulis) antara dua pihak dalam bidang

perdagagan, sewa menyewa, atau

b. persetujuan yang bersanksi hukum antara dua pihak atau lebih

untuk melakukan atau tidak melakukan kegiatan.”

Pengertian istilah kontrak selain dalam kamus besar bahasa

Indonesia (KBBI), Sering kali istilah Kontrak secara umum

dimaksudkan sebagai berikut :34

a. “hukum kontrak dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur


tentang perjanjian tertulis semata. Contohnya : sering kali orang
menanyakan “mana kontraknya?” diartikan bahwa yang ditanyakan
adalah kontrak yang tertulis;
b. hukum kontrak dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur
tentang perjanjian dalam dunia bisnis;

33
Istilah Kontrak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (http://kbbi.web.id/kontrak), diunduh
Pada tanggal 8 April 2015.
34
Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari sudut Pandang Hukum Bisnis), Bandung : Citra Aditya
Bakti, 2007, hlm. 2-3.

Universitas Kristen Maranatha


2

c. hukum kontrak dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur


tentang perjanjian internasional, multinasional atau perjanjian
dengan perusahaan-perusahaan multinasional;
d. hukum kontrak dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur
tentang perjanjian yang prestasinya dilakukan oleh kedua belah
pihak.”

Salah satu definisi kontrak menurut kamus Black’s Law Dictionary

adalah suatu kesepakatan yang diperjanjikan (promissory agreement)

diantara dua atau lebih pihak yang dapat menimbulkan, memodifikasi,

atau menghilangkan hubungan hukum.35

Akan tetapi, KUH Perdata memberikan pengertian kepada kontrak

(dalam hal ini disebut perjanjian) diatur dalam Pasal 1313 KUH

Perdata yaitu sebagai suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Ricardo Simanjuntak dalam bukunya "Teknik Perancangan

Kontrak Bisnis" menyatakan bahwa kontrak merupakan bagian dari

pengertian perjanjian. Perjanjian sebagai suatu kontrak merupakan

perikatan yang mempunyai konsekuensi hukum yang mengikat para

pihak yang pelaksanaannya akan berhubungan dengan hukum

kekayaan dari masing-masing pihak yang terikat dalam perjanjian

tersebut.36

Secara singkat, perjanjian/persetujuan menimbulkan perikatan.

Perikatan itu kemudian disebut sebagai kontrak apabila memberikan

35
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, St. Paul Minnesota, USA : West Publishing Co,
1968, hlm.394.
36
Ricardo Simanjuntak, Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, jakarta : Kontan, 2006, hlm. 30-32.
2

konsekuensi hukum yang terkait dengan kekayaan dan mengikat para

pihak yang saling mengikatkan diri dalam perjanjian.

Menurut Ricardo, sebelum memiliki konsekuensi hukum, suatu

perjanjian tidak sama artinya dengan kontrak,37 karena kontrak dibuat

untuk memberikan perlindungan hukum kepada kedua belah pihak

yang dirugikan, apabila ada salah satu pihaknya yang tidak memenuhi

suatu kewajiban yang telah disepakatinya dalam suatu kontrak

tersebut.

Ada tiga unsur yang harus dipenuhi supaya suatu transaksi dapat

disebut kontrak, yaitu:38

a. “the fact between the parties (adanya kesepakatan tentang fakta


antara kedua belah pihak);
b. the agreement is written (persetujuan dibuat secara tertulis);
c. the set of rights and duties created by (adanya orang yang berhak
dan berkewajban untuk membuat kesepakatan dan persetujuan
tertulis).”

2. Teori-Teori Yuridis dan Konseptual Tentang Kontrak

Dalam ilmu hukum kontrak, dikenal berbagai teori, yang masing-

masing mencoba menjelaskan berbagai segmen dari kontrak yang

bersangkutan. Berikut ini beberapa teori hukum tentang kontrak sesuai

dengan kelompoknya masing-masing, yaitu sebagai berikut :

a. Teori-Teori Berdasarkan Prestasi Kedua Belah Pihak;

37
Diana Kusumasari, Perbedaan dan Persamaan dari Persetujuan, Perikatan, Perjanjian, dan
Kontrak, 2015, ( http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4e3b8693275c3/perbedaan-dan
persamaan-dari-persetujuan,-perikatan,-perjanjian,-dan-kontrak), 23 Maret 2015.
38
Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta: Sinar Grafika, 2011,
Hlm. 26.
3

Dilihat dari prestasi kedua belah pihak dalam suatu kontrak,

maka di berbagai belahan dunia ini terdapat berbagai teori kontrak

sebagai berikut :39

1) Teori Hasrat (Will Theory)

Teori Hasrat ini menekankan kepada pentingnya “hasrat”

(Will atau Intend) dari pihak yang memberikan janji. Jadi,

menurut teori ini, yang terpenting dalam suatu kontrak bukan

apa yang dilakukan oleh para pihak dalam kontrak tersebut,

tetapi apa yang mereka inginkan. Yang terpenting adalah

“manifestasi” dari kehendak para pihak, bukan kehendak yang

“aktual” dari mereka. Jadi suatu kontrak dibentuk dahulu

(berdasarkan kehendak), sedangkan pelaksanaan (atau tidak

dilaksanakan) kontrak merupakan persoalan belakangan.

2) Teori Tawar Menawar (Bargain Theory)

Teori ini merupakan perkembangan dari teori “sama nilai”

(equivalent theory). Teori sama nilai ini mengajarkan bahwa

suatu kontrak hanya mengikat sejauh apa yang di negoisasi

(tawar menawar) dan kemudian disetujui oleh para pihak.

3) Teori Sama Nilai (Equivalent Theory)

Teori ini mengajarkan bahwa suatu kontrak baru mengikat

jika para pihak dalam kontrak tersebut memberikan prestasinya

yang seimbang atau sama nilai (equivalent).

39
Roscoe Pound, An introduction to the Philosophy of Law, New Haven and London : Yale
University Press, 1954, hlm. 151.
3

4) Teori Kepercayaan Merugi (Injurious Reliance Theory)

Teori ini mengajarkan bahwa kontrak sudah dianggap ada

jika dengan kontrak yang bersangkutan sudah menimbulkan

kepercayaan bagi pihak terhadap siapa janji itu diberikan

sehingga pihak yang menerima janji tersebut karena

kepercayaannya itu akan menimbulkan kerugian jika janji itu

tidak terlaksana.

b. Teori-Teori Berdasarkan Formasi Kontrak;

Dalam hubungannya dengan formasi kontrak, dalam ilmu

hukum terdapat empat teori yang mendasar, yaitu :40

1) Teori Kontrak de facto;

Kontrak de facto (Implied in-fact), yakni yang merupakan

kontrak yang tidak pernah disebutkan dengan tegas tetapi ada

dalam kenyataan, pada prinsipnya dapat diterima sebagai

kontrak yang sempurna.

2) Teori Kontrak Ekspresif;

Teori kontrak ekspresif merupakan teori yang sangat kuat

daya berlakunya, bahwa setiap kontrak yang dinyatakan secara

tegas (ekspresif) oleh para pihak, baik dengan tertulis ataupun

secara lisan, sejauh memenuhi syarat-syarat sahnya kontrak,

dianggap sebagai ikatan yang sempurna bagi para pihak

tersebut.

40
Op.Cit, Munir Fuady, 2007, hlm.
3

3) Teori Promissory Estoppel;

Teori Promissory Estoppel atau disebut juga dengan

“Detrimental Reliance” mengajarkan bahwa dianggap ada

kesesuaian kehendak di antara para pihak jika pihak lawan

telah melakukan sesuatu sebagai akibat dari tindakan-tindakan

pihak lainnya yang dianggap merupakan tawaran untuk suatu

ikatan kontrak.

4) Teori Kontrak Quasi

Teori Kontrak Quasi (Quasi Contract atau Implied in Law)

mengajarkan bahwa dalam hal-hal tertentu, apabila dipenuhi

syarat-syarat tertentu, maka hukum dapat menganggap adanya

kontrak di antara para pihak dengan berbagai konsekuensinya.

c. Teori-Teori Dasar yang Klasik;

Disamping itu, terdapat juga beberapa teori dasar (Underlying

Presup-positions) yang klasik, yang merupakan tempat berpijak

dari suatu kontrak, yaitu sebagai berikut :41

1) Teori Hasrat

Teori hasrat ini lebih mendasari kepada “hasrat” Intention,

Will) dari para pihak dalam kontrak tersebut ketimbang apa

yang secara nyata dilakukan.

2) Teori Benda

41
Atiyah, P.S, Essays on Contract, Oxford, England: Clarendon Press, 1986, hlm.
3

Menurut Teori Benda ini, Kontrak adalah suatu “Benda”

(Thing) yang wujudnya berupa kristal dengan adanya

kecenderungan formalisasi suatu kontrak, misalnya kontrak

dibuat dalam bentuk tertulis, sehingga seolah-olah yang

menjadi benda yang dinamakan kontrak tersebut adalah kertas-

kertas yang bertuliskan kontrak yang ditandatangani oleh

masing-masing pihak, sehingga kontrak tersebut telah ada

keberadaannya secara objektif sebelum dilakukan pelaksanaan

(performance) dari kontrak tersebut.

Dengan demikian, suatu kontrak adalah sebuah benda yang

dibuat, disimpangi, atau dibatalkan oleh para pihak. Sehingga

menurut teori ini, tidak ada hal yang salah dari konsep

wanprestasi antisipatif (Anticipatory Repudiation), yakni suatu

konsep yang menyatakan bahwa suatu kontrak dapat saja

dianggap sudah wanprestasi bahkan sebelum mulai

dilaksanakan kontrak tersebut.

3) Teori Pelaksanaan

Teori ini mengajarkan bahwa yang terpenting dari suatu

kontrak adalah pelaksanaan (Enforcement) dari kontrak yang

bersangkutan, yang dalam hal ini dilakukan oleh badan-badan

pengadilan atau badan penyelesaian sengketa lainnya.

Sebab yang menjadi tujuan utama dari setiap pembuatan

kontrak adalah bahwa untuk mendorong para pihak untuk


3

membayar hutangnya, melaksanakan janjinya dan bertindak

secara benar dalam hubungan dengan kontrak antara para pihak

tersebut, sehingga untuk itu perlu tindakan-tindakan yang dapat

memberikan efek yang bersifat menghalang-halangi

wanprestasi (Deterrent Effects). Sehingga pelaksanaan kontrak

tersebut (termasuk pemberian sanksi bagi si pelanggar kontrak)

dalam hukum kontrak sama pentingnya dengan perlindungan

hak milik dalam hukum benda atau pemidanaan dalam hukum

pidana.

4) Teori Prinsip Umum

Menurut teori ini, suatu kontrak tetap mengacu pada efek

general dari konsep kontrak itu sendiri. Jadi, meskipun banyak

kontrak yang sudah ada pengaturannya yang detil dalam

perundang-undangan atau dalam draft-draft model kontrak

yang diterima umum, atau yang diatur sendiri oleh para pihak

berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak, tetapi secara umum

tetap mengacu dan tidak menyimpang secara signifikan dari

prinsip-prinsip umum dan universal yang terdapat dalam

konsep-konsep kontrak tradisional.

d. Teori Holmes tentang Tanggung Jawab Hukum (Legal

Liability) yang Berkenaan dengan Kontrak


3

Teori-teori dari Holmes (Ahli Hukum terkenal dari Amerika)

pada prinsipnya mendasari pada dua pinsip sebagai berikut :42

1) “tujuan utama dari teori hukum adalah untuk menyesuaikan

hal-hal eksternal ke dalam aturan hukum; dan

2) kesalahan-kesalahan moral bukan unsur dari suatu kewajiban.”

Karena itu, Teori Holmes tentang kontrak mempunyai intisari

sebagai berikut:43

1) “peranan moral tidak berlaku untuk kontrak;

2) kontrak merupakan suatu cara mengalokasi resiko, yaitu resiko

wanprestasi;

3) yang terpenting bagi suatu kontrak adalah standar tanggung

jawab yang eksternal. Sedangkan maksud aktual yang internal

adalah tidak penting.”

e. Teori Liberal tentang Kontrak

Pada prinsipnya teori liberal tentang kontrak mengajarkan

bahwa setiap orang menginginkan keamanan. Sehingga seseorang

harus menghormati kepada orang lain dan hartanya. Akan tetapi,

orang juga perlu suatu kerja sama, dan kerja sama ini dapat

dilakukan tanpa kehilangan kebebasannya, yang dalam hal ini

dilakukan melalui kepercayaan dan perjanjian. Jadi, suatu

perjanjian memerlukan suatu komitmen sehingga secara moral

komitmen tersebut harus dilaksanakan, padahal tanpa suatu

42
Ibid, Atiyah P.S, 1986, hlm. 57.
43
Ibid.
3

komitmen tersebut, tidak ada kewajiban moral untuk melaksanakan

kewajiban yang bersangkutan.

3. Asas – Asas Kontrak dalam KUH Perdata

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) asas merupakan

dasar, alas, pedoman.44 Asas hukum merupakan suatu dasar atau

fondasi suatu perundang-undangan. Sudikno Mertokusumo

memberikan pandangan bahwa asas hukum adalah bukan merupakan

hukum kongkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan

abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan kongkrit yang

terdapat di dalam dan di belakang setiap sistem hukum.45

Di dalam pelaksanaannya, hukum kontrak memiliki beberapa asas

sebagaimana yang diatur dalam KUH Perdata adalah sebagai berikut:46

a. Asas Kebebasan Berkontrak

Salah satu asas dalam hukum kontrak adalah asas kebebasan

berkontrak (freedom of contract) yang diatur dalam Pasal 1338

ayat (1) KUH Perdata, yaitu semua perjanjian yang dibuat secara

sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

44
Ebta Setiawan, “Kata Dasar Asas”, 2012, (http://kbbi.web.id/asas), diunduh pada tanggal
10 Mei 2015.
45
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, Bandung:Alumni, 1981, hlm.5-6. (Lihat juga
Hukum: Asas Hukum,2012,(http://hukum-on.blogspot.com/2012/06/asas-hukum.html),diunduh
pada tanggal 10 Mei 2015.
46
Op.Cit, Munir Fuady, 2007, hlm. 29-32.
3

membuatnya. Artinya para pihak bebas membuat kontrak dan

mengatur sendiri isi kontrak tersebut, sepanjang memenuhi

keabsahan syarat sahnya suatu kontrak. 4 (empat) Syarat sahnya

Suatu kontrak diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu :

1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Menurut Pasal 1321 KUH Perdata, tiada sepakat yang sah

apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau

diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. Yang dimaksud

dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak

antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. 47 Ada lima

cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu

dengan:48

a) “bahasa yang sempurna dan tertulis;


b) bahasa yang sempurna secara lisan;
c) bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak
lawan;
d) bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya; dan
e) diam atau membisu tetapi asal dapat dipahami atau diterima
pihak lawan.”

2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Seseorang dianggap cakap untuk membuat suatu perikatan

apabila sudah dianggap dewasa menurut undang-undang.

47
“Beberapa Asas Hukum Kontrak”, 2014, (http://ngobrolinhukum.com/2014/06/27/beberapa asas
-hukum-kontrak/), diunduh pada tanggal 10 Mei 2015.
48
Sudikno Mertokusumo, Rangkuman Kuliah Hukum Perdata, Yogyakarta : Fakultas
Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, 1987, hlm. 7.
3

Dalam Pasal 330 KUH Perdata seseorang dianggap dewasa

apabila mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan

tidak kawin sebelumnya. Dalam Pasal 1330 KUH Perdata yang

dianggap tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah :

a) “orang-orang yang belum dewasa;


b) mereka yang ditaruh dibawah pengampunan;
c) orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh
undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa
undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian
tertentu.”

3) Suatu hal tertentu

Syarat sahnya perjanjian selain adanya kesepkatan dan cakap,

yaitu suatu hal tertentu. Suatu hal tertentu yang menjadi objek

perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah

apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak

kreditur.49 Menurut Pasal 1234 KUH Perdata prestasi terdiri

atas :

a) memberikan sesuatu;

b) berbuat sesuatu; dan

c) tidak berbuat sesuatu.

4) Suatu sebab yang halal

Diatur dalam Pasal 1337 KUH Perdata, perjanjian dianggap sah

karena suatu sebab yang halal dan tidak bertentangan dengan

kesusilaan dan ketertiban umum yang dilarang oleh undang-

undang.

49
Idem, hlm.
3

Dengan kata lain Asas kebebasan berkontrak sama halnya

dengan asas kekuatan mengikat. Artinya asas kebebasan

berkontrak mengikat bagi para pihak yang membuat, mengadakan,

menentukan suatu perjanjian yang telah disepakatinya.

b. Asas Konsensualisme

Asas Konsensualisme adalah suatu kontrak sudah sah dan

mengikat ketika tercapai kata sepakat. Kesepakatan menunjukkan

adanya persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat

oleh para pihak.50 Asas konsensualisme ini dapat berlaku dan

dianggap sah selama syarat sahnya kontrak yang diatur dalam

Pasal 1320 KUH Perdata sudah dipenuhi, salah satunya dilihat

pada ketentuan Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata, yaitu bahwa

salah satu syarat sahnya perjanjian yaitu adanya kesepakatan kedua

belah pihak. Dengan adanya kata sepakat, kontrak tersebut pada

prinsipnya sudah mengikat dan sudah mempunyai akibat hukum.

Akibat hukum dari adanya kesepakatan dalam membuat kontrak

diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata, yaitu Suatu perjanjian dapat

dibatalkan apabila adanya kesepakatan dari kedua belah pihak, atau

karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup

untuk itu. Dengan demikian, pada prinsipnya syarat tertulis tidak

diwajibkan untuk suatu kontrak. Kontrak lisan sebenarnya sah-sah

39 Ibid, (http://ngobrolinhukum.com/2014/06/27/beberapa-asas-hukum-
4

saja menurut hukum, kecuali kontrak perdamaian, kontrak

pertanggungan, kontrak penghibahan.

c. Asas Pacta Sunt Servanda;

Asas Pacta Sunt Servanda (janji itu mengikat) terdapat dalam

Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Asas ini mengajarkan bahwa

suatu kontrak yang dibuat secara sah mempunyai ikatan hukum

yang penuh. adanya asas ini maka kesekapakatan yang terjadi di

antara para pihak mengikat selayaknya undang-undang bagi para

pihak yang membuatnya.51

d. Asas Obligator dari suatu kontrak;

Menurut Hukum Kontrak, suatu kontrak bersifat Obligatoir.

Maksudnya adalah setelah sahnya suatu kontrak, maka kontrak

tersebut sudah mengikat, tetapi baru sebatas menimbulkan hak dan

kewajiban di antara para pihak. Tetapi pada taraf tersebut hak milik

belum berpindah ke pihak lain. Untuk dapat memindahkan hak

milik, diperlukan kontrak lain yang disebut dengan kontrak

kebendaan (Zakelijke Overeenkomst). Perjanjian kebendaan inilah

yang sering disebut dengan penyerahan (Levering).

Mengenai sifat kontrak yang berkaitan dengan saat

mengikatnya suatu kontrak dan saat peralihan hak milik ini,

40 Ibid, (http://ngobrolinhukum.com/2014/06/27/beberapa-asas-hukum-
4

berbeda-beda dari masing-masing sistem hukum yang ada, yang

terpadu ke dalam 3 (tiga) teori sebagai berikut:52

1) “kontrak bersifat obligator;


kontrak bersifat obligator adalah setelah sahnya suatu kontrak, maka
kontrak tersebut sudah mengikat, tetapi baru sebatas menimbulkan
hak dan kewajiban di antara para pihak.
2) kontrak bersifat rill;
teori yang mengatakan bahwa suatu kontrak bersifat rill mengajarkan
bahwa suatu kontrak baru dianggap sah jika telah dilakukan secara
rill. Artinya, kontrak tersebut baru mengikat jika telah dilakukan
kesepakatan kehendak dan telah dilakukan levering sekaligus. Kata
“sepakat” saja belum mempunyai arti apa-apa menurut teori ini.
3) kontrak bersifat final.
teori yang menganggap suatu kontrak bersifat final ini mengajarkan
bahwa jika suatu kata sepakat telah terbentuk, maka kontrak sudah
mengikat dan hak milik sudah berpindah tanpa perlu kontrak (khusus
untuk levering atau kebendaan).”

4. Keabsahan dari Kesepakatan dalam Sebuah Kontrak

Mengenai kapan suatu kesepakatan kehendak terjadi sehingga saat

itu pula kontrak dianggap telah mulai berlaku. Dalam ilmu hukum

terdapat empat teori yamg membahas momentum terjadinya kontrak,

yaitu :53

a. “teori ternyataan (verklarings theorie);


teori pernyataan ini bersifat objektif dan berdiri berseberangan dengan
teori kehendak. Menurut teori pernyataan, apabila ada kontroversi antara
apa yang dikehendaki dengan apa yang dinyatakan, maka apa yang
dinyatakan tersebutlah yang berlaku. Sebab, masyarakat menghendaki
bahwa apa yang dinyatakan itu dapat dipegang.
b. pengiriman (verzendings theorie);
menurut teori pengiriman, kesepakatan terjadi pada saat dikirimnya surat
jawaban oleh pihak yang kepadanya telah ditawarkan suatu kontrak,
karena sejak saat pengiriman tersebut, pihak pengirim jawaban telah
kehilangan kekuasaan atas surat yang dikirimnya itu.
c. pengetahuan (vernemings theorie);
yang dimaksud dengan “pengetahuan” dalam teori pengetahuan adalah
pengetahuan dari pihak yang menawarkan. Jadi menurut teori ini, suatu
kata sepakat dianggap telah terbentuk pada saat orang yang menawarkan
tersebut mengetahui bahwa penawarannya itu telah disetujui oleh pihak

52
Op. Cit, Munir Fuady, 2007, hlm. 32.
53
Sri Soedewi Masjhoen Sofwan, Hukum Perjanjian, Yogyakarta : Gadjah Mada,1980,hlm. 20-
4

lainnya. Pengiriman jawaban saja oleh pihak yang menerima tawaran


dianggap masih belum cukup, karena pihak yang melakukan tawaran
masih belum mengetahui diterimanya tawaran tersebut.
d. penerimaan (ontvangs theorie);
menurut teori penerimaan, kesepakatan terjadi pada saat pihak yang
menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan. Dengan
demikian, teori ini sangat konservatif, karena sebelum diterimanya
jawaban atas tawaran tersebut, kata sepakat dianggap belum terjadi,
sehingga persyaratan untuk sahnya suatu kontrak dianggap belum
terpenuhi.”

5. Bentuk – Bentuk Kontrak dan Kontrak Lisan

Sudikno Mertokusumo mengkaji jenis kontrak menurut sumber

hukumnya, namanya, bentuknya, aspek kewajibannya, maupun aspek

larangannya. Berikut penjelasan mengenai jenis-jenis kontrak

tersebut:54

a. Kontrak menurut sumber hukumnya

Kontrak berdasarkan sumber hukumnya merupakan

penggolongan kontrak yang didasarkan pada tempat kontrak itu

ditemukan. Sudikno Mertokusumo menggolongkan perjanjian

(kontrak) dari sumber hukumnya menjadi 5 (lima) macam, yaitu:55

1) “perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga, contohnya :


perkawinan;
2) perjanjian yang bersumber dari kebendaan, contohnya : peralihan hak
milik;
3) perjanjian obligatoir, yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban,
seperti perjanjian kredit;
4) perjanjian yang bersumber dari hukum acara, yang disebut dengan
bewijsovereenkomst;
5) perjanjian yang bersumber dari hukum publik, yang disebut dengan
publieckrechtelijke overeenkomst.”

54
Op.Cit, Salim H.S, 2011, hlm. 27-29.
55
Op.Cit, Sudikno Mertokusumo, 1987,
4

b. Kontrak menurut namanya

Di dalam Pasal 1319 KUH Perdata hanya disebutkan dua

macam kontrak menurut namanya, yaitu :

1) “kontrak nominaat (bernama);


kontrak nominaat adalah kontrak yang dikenal dalam KUH Perdata.
Yang termasuk dalam kontrak nominaat adalah kontrak jual beli,
tukar menukar, sewa menyewa.
2) kontrak innominaat (tak bernama)
kontrak innominaat adalah kontrak yang timbul, tumbuh, dan
berkembang di masyarakat dan belum dikenal dalam KUH Perdata.
Yang termasuk dalam kontrak innominaat adalah leasing, beli sewa
franchise, kontrak rahim, joint venture.”

c. Kontrak menurut bentuknya

Menurut KUH Perdata kontrak menurut bentuknya terbagi menjadi

2 (dua) yaitu:

1) Kontrak Lisan

Kontrak lisan yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata

adalah kontrak atau perjanjian yang dibuat oleh para pihak dengan

lisan atau kesepakatan para pihak. Dengan adanya konsensus maka

perjanjian telah terjadi.

Kontrak lisan termasuk ke dalam golongan perjanjian

konsensual dan rill. Perjanjian konsensual adalah perjanjian terjadi

apabila adanya kesepakatan dari para pihak, sedangkan perjanjian

rill adalah perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata.

1) Kontrak Tertulis
4

Kontrak tertulis adalah kontrak yang dibuat oleh para pihak

dalam bentuk tulisan. Kontrak tertulis terbagi menjadi dua

(dua), yaitu:

a) Akta dibawah tangan

Akta dibawah tangan adalah akta yang cukup dibuat dan

ditandatangani oleh para pihak tanpa harus dihadapan pihak

yang berwenang.

b) Akta notaris

Akta notaris adalah akta yang dibuat di hadapan para

pejabat yang berwenang, misal notaris.

B. Hubungan Hukum Antara Produsen dengan Konsumen dalam

Transaksi Jual Beli Gawai

1. Pola Saluran Distribusi Produk

Pada umumnya suatu produk yang sampai ke tangan konsumen

melalui tahap kegiatan perdagangan yang panjang mulai dari produsen

pembuat (pabrik), distributor, pengecer, hingga ke konsumen. Masing-

masing pihak merupakan unit-unit kegiatan perdagangan dengan

peranan tersendiri. Semua pihak yang terkait dalam pembuatan suatu

produk hingga sampai ke tangan konsumen disebut sebagai produsen.


4

Ada beberapa pola distribusi yang berkaitan dengan manajemen

pemasaran, tetapi setiap pola tersebut mengandung unsur utama dari

produsen dan hasil akhir berakhir dikonsumen. Beberapa pola

distribusi yang dikenal dalam ilmu manajemen pemasaran, akan

diperoleh gambaran sebagai berikut :56

a. Produsen Konsumen

b. Produsen------------------------------------------Pengecer – Konsumen

c. Produsen--------------------Pedagang Besar – Pengecer – Konsumen

d. Produsen----------Agen – Pedagang Besar – Pengecer – Konsumen

e. Produsen ---------- Agen------------------------Pengecer – Konsumen

Tahap kegiatan perdagangan dengan skema diatas, merupakan

keefektivitasan para pelaku usaha dalam mengedarkan dan menjual

produknya agar sampai ke tangan konsumen untuk dikonsumsi oleh

konsumen tersebut.

Melalui tahap kegiatan perdagangan para pelaku usaha yang pada

akhirnya sampai ke tangan konsumen, tentu ada tahapan peristiwa atau

keadaan antara produsen dengan konsumen, antara lain :57

1) Tahap Pratransaksi

Yang dimaksud dengan tahap pratransaksi adalah tahap

sebelum adanya perjanjian / transaksi konsumen, yaitu keadaan

56
Basu D.H. Swastha dan Ibnu Sukotjo W, Pengantar Bisnis Modern, Edisi 3, Yogyakarta :
Liberty, 1993, hlm. 202.
57
Janus Sidabalok, Hukum Perlndungan Konsumen di Indonesia, Bandung : Citra Aditya
Bakti, 2010, Hlm. 69-75.
4

atau peristiwa yang terjadi sebelum konsumen memutuskan untuk

membeli atau memakai produk yang diedarkan produsen.

Pada tahap ini, sesuai dengan haknya sebagai konsumen,

konsumen mencoba mencari informasi mengenai kebutuhannya,

antara lain syarat-syarat yang perlu dipenuhi / disediakan, harga,

komposisi, kegunaan, keunggulannya dibandingkan dengan produk

lain yang sejenisnya, cara pemakaian/penggunaan.

Menunjuk pada ketentuan Pasal 1320 dan Pasal 1321 KUH

Perdata, perjanjian yang sah hanyalah perjanjian yang dibuat atas

kesepakatan para pihak, sedangkan kesepakatan dianggap tidak sah

(cacat) jika mengandung unsur paksaan, kekhilafan, dan penipuan.

Karena itu, berkaitan dengan pemberian informasi, produsen

ataupun penjual harus memberikan informasi mengenai suatu

produk barang yang diedarkannya dengan benar, jujur dan

sesungguhnya tentang produk yang dijualnya konsumen pun

merasa puas terhadap barang yang dikonsumsinya dan konsumen

pun tidak merasa terperdaya atau tertipu. Produsen atau para

pelaku usaha juga wajib untuk memberikan informasi yang benar,

jujur dan sesungguhnya apabila para pelaku usaha melakukan

perdagangan melalui iklan atau media lainnya.58

2) Tahap Transaksi (Yang Sesungguhnya)

58
Janus Sidabalok, Analisis Terhadap Iklan dan Praktik Periklanan Menurut Hukum Indonesia,
1999, Dalam Atma Nan Jaya, Majalah Ilmiah Unika Atma Jaya, Jakarta, hlm. 95-111.
4

Saat konsumen merasa puas dengan informasi yang

diperolehnya mengenai suatu barang, disini konsumen ataupun

pembeli akan mempergunakan salah satu haknya, yaitu hak untuk

memilih. Apabila konsumen sudah menyatakan persetujuannya,

pada saat itu lahirlah perjanjian. Menurut hukum perdata,

kesepakatan lahir karena bertemunya penawaran (Offer) dengan

penerimaan (Acceptance).

Kesepakatan yang sudah tercapai antara produsen, penjual, dan

konsumen ataupun pembeli maka dapat dibuat perjanjian tertulis.

Artinya, mereka menuangkan kesepakatan yang sudah dibuat

antara pihak yang terkait di dalam sebuah kontrak.

3) Tahap Purna Transaksi

Perjanjian atau kontak yang sudah dibuat dan disepakati oleh

kedua belah pihak masih harus direalisasikan, yaitu dengan adanya

pemenuhan hak dan kewajiban diantara kedua belah pihak sesuai

dengan isi perjanjian yang telah dibuat serta disepakatinya.

Pemenuhan hak dan kewajiban dalam perjanjian jual beli

contohnya, penjual memenuhi kewajibannya untuk menyerahkan

kebendaan yang dijualnya kepada pembeli dan sebaliknya pembeli

berkewajiban untuk membayar sejumlah harga suatu barang yang

dibelinya.
4

Tidak adanya pemenuhan hak dan kewajiban dari salah satu

pihak, baik dari pihak penjual ataupun pihak pembeli, maka dapat

dikatakan pihak yang tidak memenuhi hak dan kewajibannya (tidak

memenuhi prestasi kepada pihak lainnya) maka dapat dikatakan

sebagai wanprestasi yang kemudian menimbulkan hak bagi pihak

lawan untuk mengajukan tuntutan.59

Sehubungan dengan transaksi antara produsen, penjual, dan

konsumen ataupun pembeli, hal – hal lain yang berpotensial

melahirkan konflik adalah mengenai kualitas dan kegunaan produk

(antara informasi dan faktanya), harga dan hak-hak konsumen

setelah perjanjian (yang disebut dengan layanan purnajual, seperti

garansi dan lain sebagainya).

Kualitas dan kegunaan produk yang berbeda antara informasi

yang diperoleh sebelumnya dengan kenyataan setelah dipakai

dapat berupa :

a) Produk tidak cocok dengan kegunaan dan manfaat yang

diharapkan;

b) Produk menimbulkan gangguan kesehatan dan keselamatan;

c) Kualitas produk tidak sesuai dengan harga yang ditawarkan.

2. Transaksi Jual Beli Gawai Antara Produsen dan Konsumen

secara Online

59
Subekti, Hukum Perjanjian, 1987, Jakarta : Intermasa, hlm. 45.
4

Gawai dalam istilah bahasa Inggris yang pada umumnya dikenal

sebagai “gadget” adalah suatu peranti atau instrumen yang memiliki

tujuan dan fungsi praktis yang secara spesifik dirancang lebih canggih

dibandingkan dengan teknologi yang diciptakan sebelumnya.60

Kemajuan gawai atau gadget memberikan peranan penting untuk

kehidupan antar individu. Peranan penting gawai atau gadget di zaman

modern ini, antara lain:

a. Sebagai alat komunikasi

Berkomunikasi merupakan keharusan bagi manusia, karena

dengan komunikasi kebutuhan manusia akan terpenuhi. Menurut

Johnson, mengemukakan beberapa peranan yang disumbangkan

oleh komunikasi antar pribadi dalam rangka menciptakan

kebahagiaan hidup manusia, adalah sebagai berikut:61

1) “komunikasi antar pribadi membantu perkembangan intelektual dan


sosial kita;
2) identitas atau jati diri kita terbentuk dalam dan lewat komunikasi
dengan orang lain; dan
3) dalam rangka memahami realitas di sekeliling kita serta menguji
kebenaran kesan-kesan dan pengertian yang kita miliki tentang
dunia di sekitar kita, kita perlu membandingkannya dengan kesan-
kesan dan pengertian orang lain dan realitas yang sama.”

b. Sebagai alat untuk memperoleh informasi.

Gawai atau gadget tidak hanya untuk sebagai alat komunikasi,

tetapi dapat juga dijadikan sebagai alat untuk memperoleh

informasi dengan cepat dengan penggunaan internet yang terdapat

60
http://id.wikipedia.org/wiki/Gawai, diunduh pada tanggal 25 Maret 2015.
61
Rina Amelia, “Pentingnya Alat Komunikasi bagi Kita”, 2012, (http://rinaaamelia.blogspot.com
/2012/06/v-behaviorurldefaultvmlo.html), diunduh pada tanggal 8 April 2015.
5

di dalam gawai atau gadget. Dengan adanya gawai atau gadget

memudahkan masyarakat utuk memperoleh informasi tidak hanya

dari media cetak saja tetapi dapat memperoleh infomasi dari media

massa.

Menurut Pasal 1457 KUH Perdata, jual beli adalah suatu

persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya

untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk

membayar harga yang telah dijanjikan.

Dari penjelasan Pasal 1457 KUH Perdata disebutkan bahwa

jual beli terjadi apabila adanya persetujuan dari para pihak, baik

pihak penjual atau pembeli untuk memenuhi kewajibannya

masing-masing. Kewajiban utama penjual adalah menyerahkan

barangnya dan menanggungnya yang diatur dalam Pasal 1474

KUH Perdata. Menyerahkan barang artinya memindahkan

penguasaan atas barang yang dijual dari tangan penjual kepada

pembeli. Yang dimaksud dengan menanggung adalah kewajiban

penjual untuk memberi jaminan atas kenikmatan tentram dan

jaminan dari cacat-cacat tersembunyi (Hidden Defects).

Kewajiban menanggung kenikmatan tentram artinya bahwa

penjual wajib menjamin bahwa pembeli tidak akan diganggu oleh

orang lain dalam hal memakai atau mempergunakan barang yang

dibelinya. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari jaminan yang

diberikan oleh penjual kepada pembeli bahwa barang yang


5

dijualnya adalah sungguh-sungguh miliknya sendiri yang bebas

dari sesuatu beban dan tuntutan dari sesuatu pihak.62 Dalam hukum

berlaku asas nemo plus juris transfere potest op ipsohabet, yang

biasanya disingkat dengan asas nemo plus juris yaitu seseorang

tidak boleh menyerahkan lebih dari apa yang menjadi haknya,

terutama dalam jual beli, seorang penjual haruslah pemilik atas

barang yang dijual atau sekurang-kurangnya orang yang

berwenang untuk itu.63

Seiring dengan perkembangan jaman yang modern, transaksi

jual beli terbagi menjadi 2 (dua), yaitu :

1) Transaksi jual beli secara langsung

Transaksi jual beli secara langsung terjadi apabila para

pihak antara penjual dan pembeli bertemu secara langsung

untuk proses tawar menawar barang, serta kewajiban penjual

untuk menyerahkan barang dan kewajiban pembeli untuk

membayar sejumlah barang yang dibelinya dilakukan secara

langsung. Transaksi jual beli secara langsung, konsumen

dihadapkan pada kondisi “take it or leave it”. Contoh

Transaksi jual beli secara langsung adalah transaksi jual beli

ditoko, dipasar.

2) Transaksi jual beli secara tidak langsung.

62
Subekti, Aneka Perjanjian, 1987, Bandung : Alumni, hlm. 17.
63
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti,
2010, hlm. 76.
5

Transaksi jual beli secara tidak langsung terjadi apabila

para pihak antara penjual dan pembeli tidak saling bertemu

untuk proses tawar menawar, serta kewajiban pembeli dan

penjual tidak terjadi secara langsung. Contoh transaksi jual beli

secara tidak langsung adalah transaksi jual beli melalui internet

atau online yang sering disebut dengan online shop, melalui

media jual beli seperti kaskus, lazada, dan lain sebagainya.

Proses kesepakatan antara penjual dan pembeli dalam transaksi

jual beli secara tidak langsung berbeda dengan proses jual beli

secara langsung, perbedaan jual beli secara langsung dan tidak

langsung dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:

a) kesepakatan jual beli scara langsung terpenuhi ketika penjual

menyerahkan barang yang dijualnya kepada pembeli, dan

pembeli membayar harga yang telah dijanjikannya;

b) kesepakatan jual beli secara tidak langsung terpenuhi ketika

pembeli memenuhi kewajibannya terlebih dahulu untuk

melakukan pembayaran atas sejumlah barang yang dibelinya.

Pembayaran dalam transaksi jual beli secara tidak langsung

atau secara online dilakukan melalui via transfer.

Pengaturan transaksi jual beli secara tidak langsung atau secara

online diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 9 yang

menyebutkan bahwa :
5

“Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui Sistem

Elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan

benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk

yang ditawarkan.”

Dari penjelasan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Pasal 9

menyebutkan bahwa aturan mengenai jual beli secara tidak

langsung atau melalui online dimaksudkan agar konsumen atau

pembeli merasa aman dan nyaman dalam penggunan suatu barang

karena dilengkapi dengan informasi yang lengkap tentang tata cara

penggunaan suatu barang yang dibelinya, sehingga resiko kerugian

yang dapat merugikan konsumen dapat diminimalisir.

Adanya pengaturan dalam transaksi jual beli secara tidak

langsung atau melalui online yang tertuang dalam Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

merupakan keuntungan bagi konsumen. Seperti prinsip yang sering

didengar dalam jual beli bahwa “pembeli adalah raja”. Karenanya

penjual sebagai produsen harus mengusahakan sebaik mungkin

hal-hal yang dibutuhkan pembeli, baik dari segi kualitas produknya

ataupun informasi yang diberikan atas suatu barang yang dijualnya.

Dengan ketentuan ini, penjual harus waspada (Caveat Venditor),

agar pembeli tidak merasa kecewa, celaka, dan mengalami

kerugian secara finansial.


5

C. Hukum Perlindungan Konsumen dan Peraturan Perundang-

Undangan Konsumen di Indonesia

1. Hukum Perlindungan Konsumen

Hukum perlindungan konsumen dapat dikatakan sebagai hukum

yang mengatur tentang pemberian perlindungan kepada konsumen

dalam rangka pemenuhan kebutuhannya sebagai konsumen. Dengan

demikian, hukum perlindungan konsumen mengatur hak dan

kewajiban konsumen, hak dan kewajiban produsen, serta cara-cara

mempertahankan hak dan menjalankan kewajiban itu.

Menurut A.Z Nasution dijelaskan bahwa istilah hukum konsumen

berbeda dengan hukum perlindungan konsumen, yaitu bahwa hukum

perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum konsumen. Hukum

Konsumen menurut beliau adalah :64

“Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur

hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain

berkaitan dengan barang dan atau jasa konsumen, di dalam

pergaulan hidup.”

Sedangkan hukum perlindungan konsumen diartikan sebagai :65

“Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur

dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya

dengan para penyedia barang dan atau jasa konsumen.”

64
A.Z Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, 2000, Jakarta : Daya Widya, hlm. 64.
65
Ibid, hlm. 66.
5

Dengan demikian, hukum perlindungan konsumen atau hukum

konsumen dapat diartikan sebagai keseluruhan peraturan hukum yang

mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban konsumen dan produsen

yang timbul dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya.

Aturan mengenai perlindungan hukum bagi konsumen sangatlah

penting dilihat dari segi aktivitas kegiatan usaha, kepentingan-

kepentingan konsumen lahir karena adanya peranan konsumen yang

memberikan sumbangan besar kepada pelaku usaha dari barang dan/

atau jasa yang dibelinya. Sehingga konsumen merupakan pihak yang

menentukan dalam pemupukan modal yang diperlukan oleh pengusaha

untuk mengembangkan usahanya dan konsumenlah yang menjadi

penentu dalam menggerakkan roda perekonomian. 66

Menurut Menteri Kehakiman Mudjono pada pembukaan

Simposium Aspek-Aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen

yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum asional (BPHN),

mengemukakan dua alasan mengapa masalah perlindungan konsumen

merupakan salah satu masalah penting, yaitu diantaranya adalah bahwa

seluruh anggota masyarakat adalah konsumen yang perlu dilindungi

dari kualitas benda atau jasa yang diberikan oleh produsen kepada

masyarakat, dan konsumen adalah pihak yang sangat menentukan

dalam pembinaan modal untuk menggerakkan roda perekonomian.67

66
Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2008, hlm. 6.
67
Sambutan Menteri Kehakiman Republik Indonesia pada “Simposium Aspek-Aspek Hukum
Perlindungan Konsumen”, 16-18 Oktober 1980, dalam BPHN, 1983, Hasil-Hasil Pertemuan
5

Dari uraian pertimbangan atau konsiderans diatas, disimpulkan

bahwa pemikiran-pemikiran mengenai perlunya perlindungan

konsumen di Indonesia dapat dirumuskan sebagai berikut:68

a. “perlindungan kepada konsumen berarti juga perlindungan terhadap


seluruh warga negara indonesia sebagaimana yang diamanatkan dalam
Tujuan Pembangunan Nasional yang tercantum dalam pembukaan UUD
1945;
b. pelaksanaan pembangunan nasional membutuhkan manusia- manusia
yang sehat dan berkualitas, yang diperoleh melalui penyediaan kebutuhan
secara baik dan cukup;
c. modal dalam pelaksanaan pembangunan nasional berasal dari
masyarakat. Karena itu, masyarakat konsumen perlu didorong untuk
berkonsumsi secara rasional serta dilindungidari kemungkinan-
kemungkinan timbulnya kerugian-kerugian harta benda sebagai akibat
dari perilaku curang pelaku usaha;
d. perkembangan teknologi khususnya manufaktur, mempunyai dampak
negatif berupa kemungkinan hadirnya produk-produk yang tidak aman
bagi konsumen;
e. kecenderungan untuk mencapai untung yang tinggi secara ekonomis
ditambah dengan persaingan yang ketat di dalam berusaha dapat
mendorong sebagian pelaku usaha untuk bertindak curang dan tidak
jujur, yang akhirya merugikan kepentingan konsumen;
f. masyarakat konsumen perlu diberdayakan melalui pendidikan konsumen,
khususnya penanaman kesadaran akan hak-hak dan kewajibannya
sebagai konsumen.”

Berkaitan dengan tujuan diatas, ada beberapa asas yang terkandung

di dalam usaha memberikan perlindungan hukum kepada konsumen. 5

(lima) asas perlindungan konsumen yang dimuat dalam Undang-

Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 tahun 1999 adalah :

a. “asas manfaat;
dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat
sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara
keseluruhan.
b. asas keadilan;
dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara
maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku

Ilmiah (Simposium, Lokakarya) 1979-1983, BPHN, Jakarta, hlm. 7.


68
Ibid.
5

usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara


adil.
c. asas keseimbangan;
dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan
konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti ateriil dan spiritual.
d. asas keamanan dan keselamatan konsumen; serta
dimaksudkan untuk meberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan
kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan
barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
e. asas kepastian hukum
dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum
dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan
konsumen , serta negara menjamin kepastian hukum. Artinya, Undang-
Undang ini mengharapkan bahwa aturan-aturan tentang hak dan
kewajiban yang terkandung di dalam undang-undang harus diwujudkan
dalam kehidupan sehari-hari sehingga masing-masing pihak memperoleh
keadilan.”

2. Pihak-Pihak yang Terkait dengan Perlindungan Konsumen

Berkaitan dengan perlindungan konsumen, khususnya mengenai

tanggung jawab produk yang seringkali merugikan pihak konsumen

ada pihak-pihak terkait didalamnya. Berikut pihak-pihak yang terkait

dengan perlindungan konsumen antara lain:

a. Produsen atau Pelaku Usaha

Produsen sering diartikan sebagai pengusaha yang

menghasilkan barang dan jasa. Yang dalam hal ini termasuk di

dalamnya pembuat, grosir, leveransir (dalam kamus besar bahasa

Indonesia yaitu orang atau perusahaan yang bertugas menyediakan

bahan-bahan keperluan) dan pengecer profesional.69

69
Agnes M Toar, Tanggung Jawab Produk, Sejarah dan Perkembangannya di Beberapa Negara,
1988, Ujung Pandang: DKIH Belanda – Inonesia, hlm. 2.
5

Dengan demikian, produsen tidak hanya diartikan sebagai

pihak pembuat pabrik yang menghasilkan produk saja, tetapi juga

yang terkait dengan penyampaian / peredaran produk hingga

sampai ke tangan konsumen.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen Pasal 1 angka 3 tidak memakai istlah produsen, tetapi

memakai istilah lain yaitu pelaku usaha yang diartikan sebagai

berikut :

“Pelaku Usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha,


baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum
yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam
wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun
bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha
dalam berbagai bidang ekonomi.”

Sebagai penyelenggara kegiatan usaha, pelaku usaha adalah

pihak yang harus bertanggung jawab atas akibat-akibat negatif

berupa kerugian yang ditimbulkan oleh usahanya terhadap pihak

ketiga, yaitu konsumen, sama seperti seorang produsen.

b. Konsumen

Konsumen umumnya diartikan sebagai pemakai terakhir dari

produk yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha,70 yaitu

setiap orang yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak

untuk diperdagangkan atau diperjualbelikan lagi.71

70
Mariam Darus, Perlindungan Terhadap Konsumen Ditinjau dari Segi Standar Kontrak (Baku),
Makalah pada simposium Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, BPHN-Binacipta,
Hlm. 59-60.
71
A. Z Nasution, Iklan dan Konsumen (Tinjauan dari Sudut Hukum dan Perlindungan Konsumen)
Dalam Manajemen dan Usahawan Indonesia, 1994, Nomor 3 Tahun XXIII, LPM FE-
UI,Jakarta hlm. 23.
5

Pengertian Konsumen menurut Pasal 1 angka 2 Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

yaitu :

“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa

yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri

sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahkluk hidup lain

dan tidak untuk diperdagangkan.”

Pihak-pihak yang terkait diatas adalah, pihak-pihak yang terkait

langsung dalam proses jual beli, yang tidak terkait sama sekali

dengan pihak ketiga atau pihak perantara.

3. Perkembangan Perundang-Undangan Mengenai Perlindungan

Konsumen dan Aturan Perundang – Undangan Lainnya yang

Mengatur Mengenai Perlindungan Konsumen

Pembangunan dan perkembangan perekonomian khususnya

dibidang perdagangan yang didukung oleh kemajuan teknologi

telekomunikasi dan informatika telah memperluas ruang gerak arus

transaksi barang dan/ atau jasa, sehingga kondisi demikian memiliki

manfaat bagi konsumen karena mempermudah konsumen atau pembeli

untuk mendapatkan produk barang dan/ atau jasa yang dibutuhkan.

Adanya perdagangan bebas melalui media internet yang didukung

oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika bukan saja

memiliki dampak positif yang bermanfaat bagi konsumen, tapi

memiliki dampak negatif yang mengakibatkan kerugian bagi


6

konsumen. Salah satu kerugian yang dialami konsumen dengan adanya

perdagangan bebas adalah kedudukan konsumen dan pelaku usaha

yang tidak seimbang dan konsumen hanya menjadi objek aktivitas

pelaku usaha untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.

Kedudukan posisi konsumen yang sangat lemah ini dikarenakan

tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Oleh karena

itu, Undang-Undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi

landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan

konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan

konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen.72

Atas kondisi mengenai lemahnya posisi konsumen seperti yang

telah dipaparkan sebelumnya, perlu upaya pemberdayaan konsumen

melalui pembentukan undang-undang yang dapat melindungi

kepentingan konsumen secara integratif dan komprehensif serta dapat

diterapkan secara efektif di masyarakat. Adanya pembentukan

Undang-Undang mengenai Perlindungan Konsumen dimaksudkan

untuk dapat mendorong iklim berusaha yang sehat dengan penyediaan

barang dan/ atau jasa yang berkualitas.73

Sebelum lahirnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen,

berbagai usaha untuk melahirkan adanya Undang-Undang mengenai

72
Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Bogor: Ghalia
Indonesia, 2008, hlm. 2.
73
Ibid.
6

Perlindungan Konsumen dilaksanakan beberapa kegiatan

diantaranya:74

a. “Seminar Pusat Studi Hukum Dagang, Fakultas Hukum Universitas


Indonesia tentang Masalah Perlindungan Konsumen (pada tanggal 15-16
Desember 1975);
b. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, penelitian
tentang perlindungan konsumen di Indonesia (proyek tahun 197-1980);
c. BPHN Departemen Kehakiman, Naskah Akademis Peraturan-peraturan
Perundang-undangan tentang Perlindungan Konsumen (proyek tahun
1980-1981);
d. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Perlindungan Konsumen
Indonesia, suatu sumbangan pemikiran tentang Rancangan Undang-
Undang tentang Perlindungan Konsumen (pada tahun 1981);
e. Departemen Perdagangan bekerja sama dengan Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan
Konsumen (pada tahun 1997);
f. DPR RI, Rancangan Undang-Undang Usul Inisiatif DPR tentang
Undang-Undang Perlindungan Konsumen (Desember 1998).”

Kemudian, yang dalam perkembangannya, pada tanggal 20 April

1999, Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan suatu

kebijakan baru mengenai perlindungan konsumen dengan

diberlakukannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen yang dimuat dalam Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42 dan Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 3821. Undang-Undang

Perlindungan Konsumen berlaku efektif pada tanggal 20 April 2000,

yang merupakan awal pengakuan perlindungan konsumen dan secara

legitimasi formal menjadi sarana kekuatan hukum bagi konsumen dan

tanggung jawab pelaku usaha sebagai penyedia / pembuat produk

bermutu.75

74
Op.Cit, Adrian Sutedi, hlm.7.
75
Op.Cit, Adrian Sutedi, hlm.5.
6

Namun, meskipun Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah

lahir, tetapi dalam pelaksanaannya belum berjalan dengan lancar. Hal

ini dikarenakan adanya pandangan pemerintah bahwa apabila

perlindungan konsumen diterapkan, maka banyak pengusaha yang

tidak mampu melaksanakan kegiatan usahanya.

Tapi disisi lain, lahirnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen

memberikan keuntungan bagi konsumen salah satunya yaitu

memberikan rasa aman bagi keselamatan dan/ atau kesehatan tubuh

atau keamanan jiwa. Karena pada umumnya konsumen tidak

mengetahui proses dalam pembuatan suatu produk barang dan/ atau

jasa yang dibelinya, sehingga pemberian informasi yang benar, jujur

dan bertanggung jawab memberikan perlindungan bagi konsumen

dalam penggunaan suatu barang dan/ atau jasa tersebut.

Untuk menjamin dan melindungi kepentingan konsumen atas

produk-produk barang yang dibelinya, selain diatur dalam Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,

peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur perlindungan

konsumen, diantaranya :76

a. “Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), bagian hukum


perikatan (Buku III), khususnya mengenai wanprestasi (Pasal 1236 dan
seterusnya) dan Perbuatan Melawan Hukum (Pasal 1365 dan seterusnya);
b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
c. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Barang;
d. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene;
e. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1965 tentang Pendaftaran Gedung;

76
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti,
2010, hlm.48-49.
6

f. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok


Pemerintahan di Daerah;
g. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal;
h. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan;
i. Undang-Undang Nomor 11 tahun 1962 tentang Hygiene untuk Usaha-
Usaha Umum;
j. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan;
k. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian;
l. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997;
m. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan;
n. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan
Industri;
o. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreement Establishing
the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi
Perdagangan Dunia);
p. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
q. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil;
r. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan;
s. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang Hak Cipta;
t. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten;
u. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1989 tentang Merek;
v. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup;
w. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran;
x. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan;
y. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;
z. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.”

Dengan demikian, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen dapat dijadikan sebagai payung (umbrella

act) bagi perundang-undangan lain yang bertujuan untuk melindungi

konsumen, baik yang sudah ada maupun yang masih akan dibuat

nanti.77

77
Op.Cit, Janus Sidabalok, hlm.51.
BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN :

Dari pembahasan mengenai Kajian Yuridis Atas Doktrin Caveat Venditor

Terhadap Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Pembeli Gawai dalam

Kontrak Lisan Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Perikatan dan Kekuatan Hukum dari Suatu Kontrak Lisan dalam

Perikatan Jual Beli Barang Gawai Secara Online

Kontrak lisan pada saat terjadinya perikatan jual beli gawai melalui

sistem jual beli online memenuhi keempat unsur syarat sahnya perjanjian.

Syarat sahnya perjanjian tertuang dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu :

a. “kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;

b. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

c. suatu hal tertentu;

d. suatu sebab yang halal.”

Terpenuhinya syarat sahnya perjanjian dalam kontrak lisan dapat

dikatakan bahwa suatu kontrak tersebut memiliki keabsahan perjanjian.

Suatu keabsahan perjanjian akan menimbulkan kekuatan hukum dari suatu

Universitas Kristen Maranatha


15

kontrak tersebut. Dengan demikian kekuatan hukum dari suatu kontrak

yaitu dapat dijadikan sebagai alat bukti untuk meminta

pertanggungjawaban dalam hal terjadinya wanprestasi.

Pengajuan alat-alat bukti yang tertuang dalam Pasal 1866 KUH

Perdata, yaitu :

a. “bukti tulisan;
b. bukti dengan saksi-saksi;
c. persangkaan;
d. pengakuan;
e. sumpah.”

Akan tetapi pengajuan alat bukti dari perikatan yang bersumber dari

kontrak lisan yaitu hanya alat bukti tulisan. Alat bukti tulisan yang

diajukan dapat berupa bukti transfer dalam bentuk print out, ataupun

melalui pesan singkat atau SMS atau via chatting di media sosial seperti

blackberry messenger, line, whats app, dan media sosial lainnya.

2. Akibat Hukum bagi Pelaku Usaha yang Melanggar Ketentuan Jual

Beli Gawai Secara Online

Tindakan pelaku usaha dengan tidak memenuhi kewajibannya dapat

dikatakan telah melakukan suatu perbuatan wanprestasi. Suatu bentuk

perbuatan wanprestasi yaitu pelaku usaha tidak memberikan penjelasan

mengenai penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan atas barang gawai

tersebut.
15

Perbuatan wanprestasi menimbulkan suatu konsekuensi hukum bagi

para pihak yang tidak memenuhi kewajibannya. Adanya suatu

konsekuensi hukum dikarenakan bahwa kontrak memiliki sifat mengikat.

Sifat mengikat dari suatu kontrak inilah yang mengharuskan para pihak

harus memenuhi kewajiban yang telah diperjanjikannya.

Dengan demikian para pihak yang melakukan perbuatan wanprestasi

dikenakan konsekuensi hukum. Konsekuensi hukum berdasarkan KUH

Perdata Pasal 1243, yang berbunyi :

“penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga karena tak dipenuhinya suatu
perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan
lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang
diberikannya atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah
dilampaukannya.”

Akan tetapi konsekuensi hukum yang dibebankan kepada pelaku usaha

atas penjualan gawai yaitu hanya berupa membayar penggantian biaya dan

ganti rugi. Penggantian biaya yang ditanggung pelaku usaha yaitu berupa

biaya kesehatan dan biaya rumah sakit. Selain itu penggantian ganti rugi

yang ditanggung pelaku usaha yaitu berupa penggantian barang gawai

dalam kondisi yang masih baru.

3. Bentuk Perlindungan Hukum terhadap Hak-Hak Konsumen dalam

Aturan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen
15

Penjualan gawai secara online selain memiliki dampak positif juga

memiliki dampak negatif. Dampak negatif dari penjualan gawai secara

online yaitu tidak terpenuhinya hak-hak konsumen untuk memperoleh

suatu informasi dengan benar, jelas, dan jujur. Adanya dampak negatif

tersebut maka upaya pemerintah adalah dengan menerapkan Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Adapun pengaturan dalam undang-undang perlindungan konsumen

tidak hanya memuat mengenai hak-hak konsumen, namun dalam undang-

undang tersebut juga memuat mengenai doktrin caveat venditor (the due

care theory) yaitu prinsip kehati-hatian bagi pelaku usaha.

Dengan demikian pelaku usaha yang tidak berhati-hati dalam

melakukan penjualan gawai secara online, maka pelaku usaha tersebut

dapat diminta pertanggungjawaban. Bentuk pertanggungjawaban pelaku

usaha yaitu dengan prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan

(liability based on fault).

Konsekuensi yang dikenakan pelaku usaha untuk bertanggung jawab

atas kesalahannya yaitu berupa membayar penggantian biaya dan ganti

rugi yang diatur dalam Pasal 1243 KUH Perdata, selain itu dikenakan juga

ketentuan pidana berupa pidana penjara yang diatur dalam Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan Pasal 104 ayat (1).
15

B. SARAN :

1. Akademisi

Diharapkan dapat melakukan penelitian lebih lanjut terkait dengan

perlindungan konsumen khususnya mengenai hak-hak konsumen yang

belum terpenuhi.

2. Pemerintah

Diharapkan adanya pembaharuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen. Perlunya pembaharuan UUPK karena

sampai sekarang ini dalam UUPK belum memuat mengenai sanksi bagi

para pelaku usaha yang melakukan perbuatan wanprestasi, sedangkan

dalam aturan undang-undang lain telah diatur.

3. Masyarakat atau pelaku usaha

Diharapkan dari contoh kasus yang terjadi, masyarakat atau pelaku usaha

dapat memahami apabila menjual gawai tanpa kelengkapan buku petunjuk

manual berbahasa Indonesia adalah salah. Hal ini sebagai upaya agar

konsumen terhindar dari kerugian materiil maupun immateriil.


DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Bandung: Citra Aditya Abadi.


1992

Adijaya Yusuf dan John W.Head, Topik-Topik Mata Kuliah Hukum Ekonomi
dan Kurikulum, Jakarta: Elips. 1998

Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan


Konsumen, Jakarta: Ghalia Indonesia. 2008

Adrianus Meliala, Praktik Bisnis Curang, Jakarta: Sinar Harapan.1993

Agnes M Toar, Tanggung Jawab Produk, Sejarah dan Perkembangannya di


Beberapa Negara, Ujung Pandang: DKIH Belanda – Inonesia. 1988

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta:


Raja Grafindo Persada. 2000

Atiyah, P.S, Essays on Contract, Oxford, England: Clarendon Press. 1986

A.Z.Nasution, Sekilas Hukum Perlindungan Konsumen, Majalah Hukum dan


Pembangunan, Fakultas Hukum UI, No.6 Tahun ke XVI, Desember 1986

A.Z Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta : Daya Widya. 2000

A.Z Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta:


Diadit Media. 2001

A.Z Nasution, Konsumen dan Hukum: Tinjauan Sosial, Ekonomi dan hukum
Pada Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
1995

Basu D.H. Swastha dan Ibnu Sukotjo W, Pengantar Bisnis Modern, Edisi 3,
Yogyakarta: Liberty. 1993

Universitas Kristen
Bryan A. Gamer, Black’s Law Dictionary, ST.Paul, Minnesota: West
Publishing. 2004

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar


Grafika. 2009

European Commission, European Consumer Guide to the Single Market,


Luxemburg: Belgium.1995

G.H.A,Schut, Rechtshandeling, Overeenkomst en Verbintenis Volgens BW en


NBW, Zwolle. 1987

Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Jakarta: Visimedia.


2008

Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, St. Paul Minnesota, USA :
West Publishing Co.1968

Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia,


Bandung: Citra Aditya Bakti. 2006

Hilman Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu


Hukum, Bandung: Mandar Maju. 1995

Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen,


Bandung: Mandar Maju. 2000

I.G. Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak, (Contract Drafting, Teori dan
Praktik), Jakarta: Kesaint Blanc. 2008

Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian Bidang


Kesejahteraan Sosial Lainnya, Bandung: Remaja Rosda Karya. 1999

J. Macintosh, Easycar Sues OFT Amid Threat to Planned Flotation, Financial


Times. 2002

Janus Sidabalok, Hukum Perlndungan Konsumen di Indonesia, Bandung :


Citra Aditya Bakti. 2010

Universitas Kristen
Janus Sidabalok, Analisis Terhadap Iklan dan Praktik Periklanan Menurut
Hukum Indonesia. 1999

Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung:


Citra Aditya Bakti. 2010

Johannes Gunawan, Product Liability dalam Hukum Bisnis Indonesia, orasi


ilmiah dalam Rangka Dies Natalis XXXIX, Unika Parahyangan Bandung,
Januari. 1994

Johannes Ibrahim dan P. Lindawaty S.Sewu, Hukum Bisnis dalam Persepsi


Dunia Modern, Bandung: Refika Aditama. 2007

Johny Ibrahim, Pendekatan Ekonomi terhadap Hukum, Surabaya: Putra


Media Nusantara dan ITS Press. 2009

Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari sudut Pandang Hukum Bisnis),


Bandung: Citra Aditya Bakti. 2007

N.H.T Siahaan, Hukum Konsumen: Perlindungan Konsumen dan Tanggug


Jawab Produk, Jakarta: Panta Rei. 2005

R.Feenstra, Romeinsrechtelijke Grondslagen Van Het Nederlands


Privaatrecht, Leiden: Vijfde Druk. 1990

Ricardo Simanjuntak, Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, jakarta : Kontan.


2006

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,


Cetakan Kelima, Jakarta: Ghalia Indonesia. 1994

Roscoe Pound, An introduction to the Philosophy of Law, New Haven and


London : Yale University Press. 1954

S. Sothi Rachagan, Consumer Law Reform: A Report, Kuala Lumpur:


Malaysia. 1992

Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta:
Sinar Grafika. 2011

Universitas Kristen
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Grasindo. 2000

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta:


Gramedia Widiasarana Indonesia. 2006

Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta: Grasindo. 2006

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu


Tinjauan Singkat, Jakarta: Raja Grafindo. 2006

Soerjono Soekanto, Pengantar Peneltian Hukum, Universitas Indonesia (UI)


Press. 1986

Sri Soedewi Masjhoen Sofwan, Hukum Perjanjian, Yogyakarta : Gadjah


Mada.1980

Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa. 1987

Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung: Alumni. 1987

Sudikno Mertokusumo, Rangkuman Kuliah Hukum Perdata, Yogyakarta :


Fakultas Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada. 1987

Wirjono Prodjodikoro, Azaz-Azaz Perjanjian, Bandung: Mandar Maju.2000

WJS Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai


Pustaka. 1976

Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen hukumnya,


Bandung: Citra Aditya Bakti. 2009

UNDANG-UNDANG

Undang-Undang Dasar 1945

Universitas Kristen
LAIN-LAIN

http://upadama.blogspot.co.id/2012/110/pengertianTelematika.html?m=1

https://id.m.wikipedia.org/wiki/teknologi_informasi

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl2937/hukum-jual-beli-ponsel
tanpa-garansi-dipasar-gelap-%28black-market%29

http://eprints.unika.ac.id/14898/2/bab1.pdf

http://boxilmu.blogspot.com/2011/11/konsumen.html

http://metro.news.Viva.co.id/news/read/230560-ini-kronologi-kejadian
kasus-dian-dan-randy

https://blogeniset.wordpress.com/2011/06/22/pengertian-Ipad/

http://kbbi.web.id/kontrak

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4e3b8693275c3/perbedaan-
danpersamaan-dari-persetujuan,-perikatan,-perjanjian,-dan-kontrak

http://kbbi.web.id/asas

http://hukum-on.blogspot.com/2012/06/asas-hukum.html

http://ngobrolinhukum.com/2014/06/27/beberapa-asas-hukum-kontrak/

http://id.wikipedia.org/wiki/Gawai

http://rinaaamelia.blogspot.com /2012/06/v-behaviorurldefaultvmlo.html

https://dhiasitsme.wordpress.com/2012/04/18/perlindungan-hukum-bagi
konsumen/

http://ariariandi.blogspot.com/2012/05/perlindungan-konsumen-dan
produsen.html

Universitas Kristen
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/43556/3/Chapter %20II.pdf

https://id.techinasia.com/5-model -bisnis-ecommerce-di-indonesia/

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/35723/5/Chapter%20IIIV.pdf

http://repository.usu.ac.id/bitstream/12345678 9/35723/5/Chapter%20IIIV.pdf

https://vanbanjarechts.wordpress.com/2013 /01/01/prinsip-tanggung-jawab/

http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1083-6101.1996.tb00057.x/full

http://publikasi.kominfo.go.id/bitstream/handle/54323613/981/potret%20
belanja%20Online%20di%20Indonesia.pdf?sequence=1.

http://daniputra.blog.uns.ac.id/arti-penting-alat-bukti-dan-sistem
pembuktiandalam-suatu-penyelesaian-sengketa-tata-usaha-negara/

http://nurkholidahjutek.blogspot.com/

https://legalbanking.wordpress.com/materi-hukum/dasar-dasar-hukum
perjanjian/

http://media.leidenuniv.nl/legacy/hukum-perikatan-contract-tort-law.pdf

http://media.leidenuniv.nl/legacy/hukum-perikatan-contract-tort-law.pdf

Universitas Kristen

Anda mungkin juga menyukai