Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

PENGUMPULAN DAN PENERTIBAN AL QUR’AN

DOSEN PENGAMPU :

AHMAD SIBAWAI., S.Sy., MH

DISUSUN OLEH :

LUTFIKA PUADI (2206060063)

MUHAMMAD FAREZA (2206060127)

YUNITA RAFIKA ASTARI (2206060048)

SITI MAIZAHAROH (2206060049)

PRODI S1 EKONOMI ISLAM

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA NUSA TENGGARA BARAT

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah swt tuhan semesta alam yang telah menciptakan
langit dan bumi beserta mahluk mahluk yang ada didalamnya. Karena limpahan
rahmat dan berkahnya segala sesuatu di muka bumi ini dapat berjalan dan bekerja
sebagaimana mestinya.

Shalawat serta salam tidak lupa pula dipanjatkan kepada baginda Nabi besar
Muhammad SAW. Yang telah berjuang dijalan Allah membela agamanya dengan
segenap jiwa raganya dan harta habis beliau korbankan sehingga ummat islam pada
masa kini mampu mengecap manisnya iman .

Penulis ucapkan banyak terima kasih kepada semua anggota yang telah ikut
serta dalam pembuatan makalah ini yang berjudul ‘’ PENGUMPULAN DAN
PENERTIBAN AL QUR’AN‘’ sehingga dapat menyelessaikan makalah ini tepat
pada waktunya.
DAFTAR ISI

SAMPUL DEPAN ………………………………………………………..i

KATA PENGANTAR ……………………………………………………ii

DAFTAR ISI ……………………………………………………………..iii

BAB 1 PENDAHULUAN ……………………………………………….1

A. LATAR BELAKANG ………………………………………...1


1. PENGUMPULAN AL QURAN ………………………….1
B. RUMUSAN MASALAH ……………………………………..2
C. TUJUAN ………………………………………………………2

BAB II PEMBAHASAN …………………………………………………3

A. PADA MASA RASULULLAH ……………………………….3


B. PADA MASA ABU BAKAR …………………………………4
C. PADA MASA USTMAN BIN AFFAN ………………………6
D. TERTIB,SURAT AL QURAN ………………………………..7

BAB III PENUTUP .................................................................................8

A. KESIMPULAN ………………………………………………..8
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………9
BAB I

PEMBAHASAN

A. Latar Belakang
1. Pengumpulan Al-Quran
Yang dimaksud dengan pengumpulan Qur’an ( Jam’ul Qur’an ) oleh
para ulama adalah salah satu dari dua pengertian berikut:
a . pengumpulan dalam arti Hifdzuhu ( menghafalkannya dalam hati).
Jumma’ul Quran artinya huffazuhu (penghafal-penghafalnya, orang
yang menghafalkannya didalam hati). Inilah makna yang dimaksudkan
dalam firman Allah kepada Nabi-Nabi senantiasa menggerak-gerakkan
kedua bibir dan lidahnya untuk membaca Qur’an ketika itu turun
kepadanya sebelum jibril selesai membacakannya, karena ingin
menghafalkannya: “Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk Al Qur’an
karena hendak cepat-cepat nya.
Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya dan
membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka
ikutilah bacaannya itu.Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan
Kamilah penjelasannya.” (al-Qiyamah:16-19 ).Ibn Abbas mengatakan:
“Rasulullah SAW sangat ingin segera menguasai Qur’an yang
diturunkan, ia menggerakkan lidah dan kedua bibirnya karena tajut apa
yang turun itu akan terlewatkan. Ia ingin segera menghafalnya. Maka
Allah menurunkan: Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk membaca
Qur’an karena hendak cepat-cepat untuk menguasainya.
b. Pengumpulan dalam arti kitabuhu kullihi ( penulisan Qur’an semuanya) baik
dengan memisah-misahkan ayat-ayat dan surah-surahnya, atau menertibkan
ayat-ayat semata dan setiap surah ditulis dalam satu lembaran secara terpisah,
atau menertibkan ayat-ayat dan surah-surahnya dalam lembaran-lembaran yang
terkumpul yang menghimpun semua surah, sebagiannya ditulis sesudah bagian
yang lain. Pengumpulan Qur’an dalam Arti Menghafalnya pada Masa Nabi
Rasulullah SAW amat menyukai wahyu, ia senantiasa menunggu penurunan
wahyu dengan rasa rindu, lalu menghafal dan memahaminya.

Persis seperti yang dijanjikan Allah: Sesungguhnya atas tanggungan


Kamilah mengumpulkannya (didadamu) dan (membuatmu pandai)
membacanya ( al-Qiyamah: 17 ). Oleh sebab itu ia adalah hafiz ( penghafal )
Qur’an pertama dan merupakan contoh paling baik bagi para sahabat dalam
menghafalnya, sebagai realisasi kecintaan mereka kepada pokok agama dan
sumber risalah.quran diturunkan selama dua puluh tahun lebih. Proses
penurunanya terkadang hanya turun satu ayat dan terkadangturun sampai
sepuluh ayat. Setiap kali sebuah ayat turun,dihafal dalam dada dan ditempatkan
dalam hati, sebab bangsa arab secara kodrati memang mempunyai daya hafal
yang kuat.Hal itu umumnya karena mereka buta huruf, sehingga dalam
penulisan berita-berita, syair dan silsilah mereka dilakukan dengan catatan
dihati mereka.

Dalam kitab sahihnya Bukhari telah mengemukakan adanya tujuh hafiz,


melalui tiga riwayat. Mereka adalah: Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Ma’qal
bekas budak Abu Huzaifah, Muaz bin Jabal, Ubai bin Kaab, Zaid bin Sabit,
Abu Zaid bin Sakan dan Abu Darda’.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengumpulan al-Qur’an dilakukan?
2. Bagaimana Penentuan Urutan Ayat dan Surat dalam al-Qur’an?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui sejarah Pengumpulan al-Qur’an.Untuk
2. Untuk mengetahui Penentuan Urutan Ayat dan Surat dalam al-Qur’an.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengumpulan al-Qur’an Pada Masa Rasulullah

Pengertian pengumpulan Al-Qur’an menurut para ‘ulama


terbagi menjadi 2 macam yaitu:

Pertama, pengumpulan dalam arti hifzhuhu (menghafalnya dalam hati).

Kedua, pengumpulan dalam arti Kitabatuhu kulluhu (penulisan qur’an


semuanya) baik dengan memisahkan ayat-ayat dan surat-suratnya, atau
menertibkan ayat-ayat semata dan setiap surat ditulis dalam satu
lembaran secara terpisah, ataupun menertibkan ayat-ayat dan surat-
suratnya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul, yang menghimpun
semua surat sebagiannya ditulis sesudah bagian yang lain.

Sejak awal pewahyuan Al-Qur’an hingga menjadi sebuah


mushaf, telah melalui proses panjang. Mulai dari Ayat yang pertama
turun sampai ayat yang terakhir turun, benar-benar terjaga
kemurniaanya. Upaya untuk menjaga dan memelihara ayat-ayat agar
tidak terlupakan atau terhapus dari ingatan terus-menerus dilakukan.
Upaya-upaya tersebut dengan cara yang sederhana yaitu Nabi
Menghafal Ayat-ayat itu dan menyampaikannya kepada para sahabat
yang kemudian juga menghafalnya sesuai dengan yang disampaikan
Nabi. Upaya kedua yang dilakukan Umat Islam dalam upaya
pemeliharaan Al-Qur’an adalah mencatat atau menuliskannya dengan
persetujuan Nabi. Pada mulanya, bagian-bagian al-Quran yang
diwahyukan kepada Nabi Muhammad dipelihara dalam ingatan Nabi
dan para sahabatnya. Tradisi hafalan yang kuat di kalangan masyarakat
Arab telah memungkinkan terpeliharanya al-Quran dalam cara
semacam itu. Jadi, setelah menerima suatu wahyu, Nabi Lalu
menyampaikannya kepada para pengikutnya, yang kemudian
menghafalkannya. Sejumlah hadits menjelaskan berbagai upaya Nabi
dalam merangsang penghafalan wahyu-wahyu yang telah diterimanya.
Salah satu di antaranya adalah yang diriwayatkan oleh Utsman ibn Affan
bahwa Rasulullah pernah bersabda: “Yang terbaik di antara kamu adalah
mereka yang mempelajari al-Quran dan kemudian mengajarkannya.
”Semasa hidup Nabi Muhammad dikenal beberapa orang yang dijuluki
sebagai Qari’ yaitu seorang yang menghafal al-Qur’an, adapun para
Qari’ pada masa Nabi Muhammad adalah sebagai berikut : Keempat
Khulafa’ur Rasyidin, Tholhah, Said, Ibn Mas’ud, Hudaifa, Abu
Hurairah, Ibn ‘Umar, Ibn Abbas, ‘Amr bin ‘Ash, Abdullah bin ‘Amr
bin ‘Ash, Mu’awiyah bin Abu Sufyan, Ibn Jabir, Abdullah bin Sa’ib,
‘Aisyah, Hafshah, Ummu Salamah. Sedangkan untuk penulisan wahyu
yang turun, dikenal beberapa sahabat yang bertugas untuk menuliskan
wahyu yang turun atas perintah Rasulullah sendiri. Para penulis wahyu
tersebut kemudian mendapat julukan sebagai Kutabul Wahyu. Adapun
para penulis wahyu pada masa nabi muhammad yaitu Khulafaur
Rasyidin, Muawiyah, Zaid bin Sabit, ‘Ubai bin Ka’ab, Khalid bin Al-
Walid dan Tsabit bin Qays.

Az-zarkasyi berkata: “Qur’an tidak dituliskan dalam satu mushaf pada


zaman Nabi agar ia tidak berubah pada setiap waktu. Oleh sebab itu,
penulisannya dilakukan kemudian sesudah Qur’an turun semua, yaitu dengan
wafatnya Rasulullah’’.Dengan pengertian inilah ditafsirkan apa yang
diriwayatkan dari Zaid bin Sabit yang mengatakan: “Rasulullah telah wafat
sedang Qur’an belum dikumpulkan sama sekali.” Maksudnya ayat-ayat dalam
surah-surahnya belum dikumpulkan secara tertib dalam satu mushaf.

Al-Katabi berkata: “Rasulullah tidak mengumpulkan Qur’an dalam satu


mushaf itu karena ia senantiasa menunggu ayat nasikh terhadap sebagian
hukum-hukum atau bacaannya. Sesudah berakhir masa turunnya dengan
wafatnya Rasululah, maka Allah mengilhamkan penulisan mushaf secara
lengkap kepada para Khulafaurrasyidin sesuai dengan janjinya yang benar
kepada umat ini tentang jaminan pemeliharaannya. Dan hal ini terjadi pertama
kalinya pada masa Abu Bakar atas pertimbangan usulan Umar.

B. Pengumpulan Qur’an pada Masa Abu Bakar


Pada perang Yamamah yang terjadi pada tahun 12 H melibatkan
sejumlah besar sahabat yang hafal Qur’an. Dalam peperangan ini 70
Qari’ dari para sahabat gugur. Umar bin Khatab merasa sangat kuatir
melihat kenyataan ini, lalu ia menghadap Abu Bakar dan mengajukan
usul kepadanya agar mengumpulkan dan membukukan Qur’an karena
dikhawatirkan akan musnah, sebab pada peperangan Yamamah telah
banyak membunuh para qarri’.Disegi lain Umar merasa khawatir juga
kalau-kalau peperangan ditempat-tempat lain akan membunuh banyak
qari’ pula sehingga Qur’an akan hilang dan musnah, Abu Bakar
menolak usulan itu dan berkeberatan melakukan apa yang tidak pernah
dilakukan oleh Rasulullah. Tetapi Umar tetap membujuknya, sehingga
Allah membukakan hati Abu Bakar untuk menerima usulan Umar
tersebut, kemudian Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Sabit,
mengingat kedudukannya dalam qiraat, penulisan pemahaman dan
kecerdasannya, serta kehadirannya pada pembacaan yang terakhir kali.
Abu Bakar menceritakan kepadanya kekhawatiran dan usulan Umar.
Pada mulanya Zaid menolak seperti halnya Abu Bakar sebelum itu.
Keduanya lalu bertukar pendapat, sampai akhirnya Zaid dapat
menerima dengan lapang dada perintah penulisan Qur’an itu. Zaid bin
Sabit melalui tugasnya yang berat ini dengan bersadar pada hafalan
yang ada dalam hati para qurra dan catatan yang ada pada para penulis.
Kemudian lembaran-lembaran ( kumpulan) itu disimpan ditangan Abu
Bakar. Setelah ia wafat pada tahun 13 H, lembaran-lembaran itu
berpindah ke tangan Umar dan tetap berada ditangannya hingga ia
wafat. Kemudian mushaf itu berpindah ketangan Hafsah putri Umar.
Pada permulaan kekalifahan Usman, Usman memintanya dari tangan
Hafsah. masih hidup, dan selanjutnya berada ditangan Hafsah binti
Umar.”

Zaid bin Sabit bertindak sangat teliti, hati-hati. Ia tidak mencukupkan


pada hafalan semata tanpa disertai dengan tulisan. Kata-kata Zaid dalam
keterangan diatas: “Dan aku dapatkan akhir surah at-Taubah pada Abu
Khuzaimah al-Anshari,yang tidak aku dapatkan pada orang lain.” Tidak
menghilangkan arti keberhati-hatian tersebut dan tidak pula berari bahwa akhir
surah Taubah itu tidak mutawatir. Tetapi yang dimaksud ialah bahwa ia tidak
mendapat akhir surah Taubah tersebut dalam keadaan tertulis selain pada Abu
Khuzaimah. Zaid sendiri hafal dan demikian pula banyak diantara para sahabat
yang menghafalnya. Perkataan itu lahir karena Zaid berpegang pada hafalan
dan tulisan, jadi akhir surah Taubah itu telah dihafal oleh banyak sahabat. Dan
mereka menyaksikan ayat tersebut dicatat. Tetapi catatannya hanya terdapat
pada Abu Khuzaimah al-Ansari. As-Sakhawi menyebutkan dalam Jamalul
qurra, yang dimaksdukan ialah kedua saksi itu menyaksikan bahwa catatan itu
ditulis dihadapan Rasulullah; atau dua orang saksi iti menyaksikan bahwa
catatan tadi sesuai dengan salah satu cara yang dengan itu Qur’an diturunkan.
Abu Syamah berkata: “Maksud mereka adalah agar Zaid tidak menuliskan
Qur’an kecuali diambil dari sumber asli yang dicatat dihadapan Nabi, bukan
semata-mata dari hafalan.

Oleh sebab itu Zaid berkata tentang akhir surah Taubah,‘‘aku tidak
mendapatkannya pada orang lain,sebab ia tidak menganggap cukup hanya
didasarkan pada hafalan tanpa adanya catatan.” Kita sudah mengetahui bahwa
Qur’an sudah tercatat sebelum masa itu, yaitu pada masa Nabi. Tetapi masih
berserakan pada kulit-kulit, tulang dan pelepah kurma. Kemudian Abu Bakar
memerintahkan agar catatan-catatan tersebut dikumpulkan dalam satu mushaf,
dengan ayat-ayat dan surah-surah yang tersusun serta dituliskan dengan sangat
berhati-hati dan mencakup tujuh huruf yang dengan itu Qur’an diturunkan.
Keistimewaan-keistimewaan ini hanya ada pada himpunan Qur’an yang
dikerjakan Abu Bakar. Para ulama berpendapat bahwa penamaan Qur’an
dengan “mushaf” itu baru muncul sejak saat itu, disaat Abu Bakar
mengumpulkan Qur’an. Ali berkata: “Orang yang paling besar pahalanya dalam
hal mushaf ialah Abu Bakar. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada
Abu Bakar. Dialah orang yang pertama mengumpulkan kitab Allah.”

C. Pengumpulan al-Qur’an Pada Masa ‘Ustsman bin ‘Affan

Pengumpulan al-Qur’an pada masa ‘Utsman bin ‘Affan punya


motif berbeda dengan pengumpulan al-Qur’an dimasa Abu Bakar, Jika
motif Abû Bakar mengumpulkan al-Qur’an karena khawatir akan
hilangnya materi yang tertulis tadi sebagai akibat dari banyaknya para
penghafal dan pembaca yang telah meninggal dunia, maka motif
‘Utsmân adalah karena takut akan terjadinya perbedaan yang
meruncing mengenai ragam bacaan. Pada masa ‘Utsman ini Islam telah
tersebar luas dan kaum Muslimin telah hidup berpencar ke berbagai
pelosok. Di berbagai daerah telah terkenal Qira’at sahabat yang
mengajarkan al-Qur’an kepada penduduk setempat. Penduduk Syam
memakai Qira’at Ubay bin Kaab, penduduk Kuffah memakai Qira’at
Abullah bin Mas’ud, penduduk di wilayah lainnya menggunakan
Qira’at Abu Musa al-Asy’ary. Tidak jarang terjadi pertentangan
mengenai masalah bacaan dikalangan pengikut sahabat-sahabat
tersebut, hingga kemudian pertentangan tersebut memuncak menjadi
perpecahan dikalangan Muslimin sendiri.Kondisi semacam ini
kemudian didengar oleh Hudaifah bin Yaman. Ketika Hudaifah
mengetaui hal tersebut, maka dengan sesegera mungkin beliau
melaporkannya kepada Khalifah ‘Utsman agas segera ditindak lanjuti.
Setelah mendapatkan laporan tersebut, ‘Utsman segerah mengirim surat
kepada Hafshah yang berisikan perintah untuk memberikan al-Qur’an
yang telah dibukukan Zaid sebelumnya untuk kemudian diperbanyak
dan disebarluaskan ke seluruh penjuru. Untuk membukukan al-Qur’an
tersebut, ‘Ustman mengutus empat orang sahabat untuk membukukan
al-Qur’an, dari keempat orang tersebut tiga diantaranya adalah
muhajirin dan satu orang lainnya adalah kaum anshar, empat orang
tersebut adalah : Zaid bin Tsabit, ‘Abdullâh bin Zubayr, Sa’id bin al-
‘Ash, ‘Abdurrahmân bin al-Harits bin Hisyam.

Dalam melakukan pembukuan tersebut, keempat orang


tersebut berpegang pada arahan dari ‘Utsman, yaitu :

1. Menjadikan Mushaf Abu Bakar yang telah dibukukan oleh Zaid bin
Tsabit sebagai acuan pokok dan dumber utama dalam penulisan al-
Qur’an.
2. Mengacu pada Mushaf Abu Bakar tersebu dalam hal penulisan dan
urutannya, dan apabila terdapat perbedaan pendapat dikalangan para
anggota panitia, maka mengacu berdasarkan dialek Quraisy karena al-
Qur’an diturunkan dengan dialek Quraisy.
3. Dan al-Qur’an tidak ditulis kecuali berdasarkan persetujuan antara para
panitia, dan para sahabat bersepakat bahwa al-Qur’an yang telah
dibukukan tersebut sebagai al-Qur’an sebagaimana yang diturunkan
kepada Rasulullah.
Usaha yang dilakukan oleh ‘Ustman tersebut mendapatkan
apresiasi yang sangat dikalangan sahabat, sehingga hasil dari usaha
tersebut mendapat pengakuan dari kalangan sahabat dan mereka
meyakini bahwa al-Qur’an yang dikumpulkan oleh ‘Utsman tersebut
telah sesuai dan sama persis dengan al-Qur’an yang ada pada masa
Nabi Muhammad. Baik dari segi urutan ayat (Tartibul Ayat), maupun
urutan Surat (Tartibus suwar), maupun Qira’atnya. Mushaf ‘Utsman
yang telah mendapatkan pengakuan dari para sahabat tersebut
kemudian disebarkan dan menjadi pegangan dalam penulisan al-Qur’an
hingga saat ini yang dikenal dengan Mushaf atau Rasm ‘Ustmany.

D. Tertib Ayat dan Surat dalam al-Qur’an

Umumnya para Ulama’ sependapat bahwa tertib ayat dalam al-


Qur’an sebagaimana yang kita kenal saat ini menganut pedoman
‘Utsman dan penetapan tersebut bersifat Tauqifi atau ketetapan dari
Nabi, riwayat yang masyhur dikalangan para Ulama’ menyebutkan
bahwa Nabi Muhammad ketika turun sebuah ayat akan memerintahkan
para sahabat untuk menulis. Ketika memerintahkan untuk menulis
tersebut Nabi berkata : “ Telah datang Jibril kepadaku, dan dia
memerintahkanku untuk meletakan ayat kedalam tempat ini dalam surat
ini”. Berdasarkan kisah tersebut maka dapat diketahui bahwa ketetapan
posisi ayat dalam al-Qur’an bukan hanya dari Nabi sendiri, bahkan
sebenarnya ketetapan tersebut berdasarkan perintah Allah yang
disampaikan lewat perantara Jibril. Jika susunan Ayat dalam al-Qur’an
yang bersifat Tauqifi dan itu telah disepakati oleh jumhur ‘Ulama, maka
hal berbada dialami oleh susunan Surat dalam al-Qur’an. Ketika
membahas susunan suat dalam al-Qur’an para ‘Ulama berbeda
pendapat. Sebagaimana pendapat yang disampaikan oleh as-Suyuthi
bahwa para ‘Ulama terpagi menjadi dua golongan dalam menentukan
tertib Surat dalam al-Qur’an. Pendapat yang Pertama menyatakan
bahwa tertib surat dalam al-Qur’an sebagian bersifat Tauqifi sama
seperti tertib Ayat yang bersifat Tauqifi, dan sebagian yang lainnya
berdasarkan ijtihad sahabat. Pendapat ini didukung oleh salah satunya
Ibn Faris yang berargumen bahwa sebagian memang bersifat Tauqifi
sebagai mana perintah Allah kepada Nabi Muhammad, namun sebagian
lainnya berdasarkan bacaan para sahabat. Argumen semacam itu
didasari oleh kenyataan bahwa Mushaf para sahabat memiliki Urutan
Surat yang berbeda-beda seperti Mushaf Ali yang disusun berdasarkan
kronologi turunnya ayat. Sedangkan pendapat kedua menyatakan
bahwa susunan surat dalam al-Qur’an bersifat Tauqifi sepenuhnya.
Pendapat ini didukung oleh beberapa tokoh salah satunya al-Kirmani
yang menyatakan bahwa urutan surat dan ayat sudah seperti itu sejak
dari Lauhil Mahfudz. Argumen tersebut didasari oleh riwayat yang
mengisahkan bahwa setiap setahun sekali Jibril mendatangi Rasulullah
untuk memeriksa hafalannya, dan pada tahun wafatnya Rasulullah,
Jibril mendangi beliau setahun dua kali. Sedangkan mengenai
perbedaan mushaf dikalangan para sahabat,berkomentar bahwa
perbedaan tersebut terjadi karena beberapa sahabat menyusun al-Qur’an
berdasarkan apa yang diketahui berdasarkan Asbabun Nuzul (seperti
kasus Mushaf yang ditulis oleh Ali misalnya).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

1. Upaya yang dilakukan Rasulullah untuk menjaga dan memelihara ayat-


ayat agar tidak terlupakan atau terhapus dari ingatan dengan cara yang
sederhana yaitu Nabi Menghafal Ayat-ayat itu dan menyampaikannya
kepada para sahabat yang kemudian juga menghafalnya sesuai dengan
yang disampaikan Nabi. Upaya kedua yang dilakukan Umat Islam dalam
upaya pemeliharaan Al-Qur’an adalah mencatat atau menuliskannya
dengan persetujuan Nabi.

2. Pembukuan al-Qur’an yang dilakukan oleh Abu Bakar didasari oleh


kekhawatiran al-Qur’an akan hilang jika tidak dikumpulkan karena telah
banyak para Qari’ yang meninggal dan Mushaf al-Qur’an masih tercecer.
Atas desakan ‘Umar akhirnya Abu Bakar berkenan untuk
membukukannya dengan memerintahkan Zaid untuk membukukan al-
Qur’an.

3.Pembukuan al-Qur’an yang dilakukan pada masa ‘Ustman didasari oleh


perpecahan dikalngan sahabat akibat perbedaan bacaan yang mereka
gunakan sehingga ‘Utsman memerintahkan untuk membukukan ulang
Mushaf yang sudah ada dimasa Abu Bakar dan menyebar luaskan
diseluruh penjuru. Untuk melakukan tugas tersebut ‘Utsman
memerintahkan empat orang sahabat yaitu : Zaid bin Tsabit, ‘Abdullâh
bin Zubayr, Sa’id bin al-‘Ash, ‘Abdurrahmân bin al-Harits bin Hisyam.

4.Jumhur ‘Ulama sepakat bahwa urutan Ayat al-Qur’an adalah Tauqifi


berdasarkan perintah dari Allah yang disampaikan oleh Rasulullah.
Sedangkan untuk urutan Surat, ‘Ulama terbagi atas dua pendapat yaitu :
Pertama, urutan Surat sebagian adalah Tauqifi, sebagian lain berdasarkan
Qia’at sahabat. Kedua, urutan surat dalam al-Qur’an sepenuhnya Tauqifi
dari Allah.
DAFTAR PUSTAKA

Mana’ Qathan, Mabahits Fi ‘Ulum al-Qur’an, (Cairo : Maktabah Wahbah,


1995).

H.M. Rusdi Khalid, Mengkaji Ilmu-ilmu Al-Qur’an, ( Alauddin Universiti


Press : Makassar, 2011).

Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, (Jakarta : Yayasan


Abad Demokrasi, 2011).

Muhammad Abdul Adzim az-Zarqany, Manahil al-‘Irfan Fi ‘Ulum al-


Qur’an, Jilid I, (Beirut : Dar al-Kitab al-`Araby, 1995).

Shubhi Sholih, Mabahits Fi ‘Ulum al-Qur’an, Cet. X. (Beirut : Dar al-Ilmi,


1977).

Philip K. Hitti, History of The Arabs, (Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta,
2013).

Badruddin Muhammad bin Abdullah az-Zarkasy, al-Burhan Fi Ulum al-


Qur’an, (Cairo : Dar at-Turats, tt).

Muhammad Ali ash- Shabuni, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis, (Jakarta :


Pustaka Amani, 2001).

Musthofa Dhib al-Bigha dan Muhyiddin Dhib Matu, al-Wadih Fi Ulum al-
Qur’an, (Damaskus : Dar al-Ulum al-Insaniyah, 1998).

Anda mungkin juga menyukai