Anda di halaman 1dari 17

SEJARAH PENGUMPULAN AL-QUR’AN

Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Studi Al-qur’an Hadis
Dosen Pengampu: M. Imam Zaenal Abidin, M.Pd.

Disusun Oleh:
Kelompok 4-A1PSR
1. Tiara Ayu Maharani (2250410003)
2. Paryono (2250410011)
3. Uswatun Khasanah (2250410030)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Karena atas izin dan
nikmat-Nya yang diberikan kepada kami, kami dapat menyusun dan
menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Studi Al-qur’an Hadis yang berjudul
“Sejarah Pengumpulan Al-qur’an” secara tepat waktu tanpa kurang suatu apapun.

Makalah dengan judul “Sejarah Pengumpulan Al-qur’an” disusun guna


memenuhi tugas mata kuliah Studi Al-qur’an Hadis yang diampu oleh beliau
Bapak M. Imam Zaenal Abidin, M.Pd. Selain itu, dari penyusunan makalah ini
kami berharap dapat memberikan tambahan pengetahuan bagi teman-teman
semuanya Sejarah Pengumpulan Al-qur’an.

Demikian apa yang dapat kami sampaikan sebagai pembuka, kami sangat
menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak kekurangan maupun kesalahan. Oleh karena itu, kami bersedia
menerima semua saran dan kritikan yang membangun dari teman-teman demi
kesempurnaan dalam penyusunan tugas makalah ini. Semoga makalah ini bisa
bermanfaat untuk teman-teman sekalian.

Terimakasih.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Kudus, Oktober 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..........................................................................................i

KATA PENGANTAR.......................................................................................ii

DAFTAR ISI…………....…………………………………………………….iii

BAB I PENDAHULUAN ……….................................…………………….....1

A. Latar Belakang............……………………........………....……………......1

B. Rumusan Masalah….…………………………………………………...….2

C. Tujuan Penulisan……………………………………...……………………2

BAB II PEMBAHASAN………………………...……...........................……..3
1.1 Pengertian Pengumpulan Al-qur’an…………..........………………………3

1.2 Pengumpulan Al-qur’an Pada Masa Nabi………………………………....4

1. Pengumpulan Al-Qur’an Melalui Hafalan..............................................5

2. Pengumpulan Alquran dalam bentuk tulisan..........................................8

1.3 Pengumpulan Al-qur’an Pada Masa Khulafa al-Rasydin...........................10

1.4 Perbedaan Pengumpulan Al-qur’an antara Abu Bakar dan Utsman...........10

BAB III PENUTUP..........................................................................................13

A. Kesimpulan..................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................14

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada zaman Rasulullah SAW, pemeliharaan ayat-ayat al-Qur’an dilakukan
melalui hafalan baik oleh Rasulullah maupun oleh sahabat-sahabat beliau. Namun
kemudian Rasul memerintahkan para sahabat untuk menulisnya dengan tujuan
untuk memperkuat hafalan mereka. Ayat-ayat al-Qur’an tersebut ditulis melalui
benda-benda seperti yang terbuat dari kulit binatang, batu yang tipis dan licin,
pelapah kurma, tulang binatang dan lain-lain. Tulisan-tulisan dari benda-benda
tersebut dikumpulkan untuk Nabi dan beberapa diantaranya menjadi koleksi
pribadi sahabat yang pandai baca tulis.

Tulisan-tulisan melalui benda yang berbeda tersebut memang dimiliki oleh


Rasulullah namun tidak tersusun sebagaimana mushaf yang sekarang ini. Namun,
ketika Rasul wafat, dan digantikan oleh khalifah Abu Bakar, terjadi pemurtadan
masal dan menyebabkan Khalifah Abu Bakar melakukan tindakan dengan cara
memeranginya. Dalam perang yang disebut perang Yamamah tersebut sekitar 70
Huffaz (para penghafal Qur’an) mati syahid.

Dari situlah muncul gagasan untuk mengumpulkan Ayat al-Qur’an yang


dipelopori oleh Umar bin Khattab. Meskipun gagasan tersebut tidak langsung
disetujui oleh Khalifah Abu Bakar, namun alasan Umar bin Khattab bisa diterima
dan dimulailah pengumpulan al-Qur’an hingga selesai. Dengan demikian,
disusunlah kepanitiaan atau Tim penghimpun al-Qur’an yang terdiri atas Zaid bin
Tsabit sebagai ketua dibantu oleh Ubay bin Ka’ab, Usman bin Affan, Ali bin Abi
Thalib, dan para Sahabat lainnya sebagai Anggota.Namun dengan rentan waktu
yang panjang, mulai pada tanggal 12 Rabbiul Awwal tahun 11 H/632 M yang
ditandai dengan wafatnya Rasulullah, hingga 23-35 H/644-656 M (masa
pemerintahan Khalifah Usman bin Affan) atau sekitar 18 tahun setelah wafatnya
nabi barulah dibukukan al-Qur’an yang dikenal dengan Mushaf Utsmani. Antara
rentan waktu yang cukup panjang hingga beragam suku dan dialek apakah
berpengaruh atas penyusunan kitab suci al-Qur’an tentunya masih menjadi tanda
tanya.

Sementara pandangan seperti di atas, umat Islam di Seluruh Dunia meyakini


bahwa al-Qur’an seperti yang ada pada kita sekarang ini adalah otentik dari Allah
swt. melalui Rasulullah saw., namun cukup menarik, semua riwayat mengatakan
bahwa pembukuan kitab suci itu tidak dimulai oleh Rasulullah saw., melainkan

iv
oleh para sahabat beliau, dalam hal ini khususnya Abu Bakar, Umar Bin Khattab
dan Usman Bin Affan.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Jam’al Qur’an (Pengumpulan Al-Qur’an)?


2. Bagaimana proses pengumpulan Al-Qur’an pada masa Nabi?
3. Bagaimana proses pengumpulan Al-Qur’an pada masa Khulafa al-Rasydin?
4. Apa perbedaan pengumpulan Al-Qur’an Menurut Abu Bakar dan Utsman?

C. Tujuan Penulisan

1. Dapat mengetahui apa pengertian Jam’al Qur’an (Pengumpulan Al-Qur’an).


2. Mengetahui bagaimana proses pengumpulan Al-Qur’an pada masa Nabi.
3. Mengetahui bagaimana proses pengumpulan Al-Qur’an pada masa Khulafa al-
Rasydin.
4. Mengetahui Perbedaan dalam pengumpulan Al-Qur’an antara Abu Bakar dan
Utsman.

v
BAB II
PEMBAHASAN

1.1 Pengertian Pengumpulan Al-Qur’an (Jam’al Qur’an)


Pengertian pengumpulan al-qur’an adalah proses pengumpulan ayat-ayat
al-qur’an kedalam satu mushaf. Pengumpulan al-qur’an pada masa nabi belum
terjadi karena pada masa nabi para sahabat langsung menghafal ayat al-qur’an
yang nabi sampaikan atau menulisnya masing-masing di beberapa catatan.
Setelah perang Yamamah banyak orang penghafal al-qur’an yang meninggal
maka para sahabat memutuskan untuk menyusun al-qur’an dalam satu mushaf
seperti yang telah nabi beri petunjuk.

 Jām’al Qur’ān (pengumpulan Al-qur’an) oleh para ulama mempunyai dua


pengertian.
1. Pengumpulan dalam arti hifzhuhu (menghafalnya dalam hati). Inilah
makna yang dimaksudkan dalam firman Allah kepada Nabi-Nabi
senantiasa menggerak-gerakkan kedua bibir dan lidahnya untuk membaca
Alquran. Ketika Alquran itu turun kepadanya sebelum Jibril selesai
membacakannya, karena ingin menghapalnya. Sebagaimana
diinformasikan dalam QS. Al-Qiyâmah (75):16 – 19:
( ُ‫ج ْم َعهُ َوقُرْ آنَه‬
َ ‫) ِإ َّن َعلَ ْينَا‬16( ‫ْج َل بِ ِه‬ ْ ‫اَل تُ َح‬
َ ‫رِّك بِ ِه لِ َسانَكَ لِتَع‬
ُ‫) ثُ َّم ِإ َّن َعلَ ْينَا بَيَانَه‬18( ُ‫) فَِإ َذا قَ َرْأنَاهُ فَاتَّبِ ْع قُرْ آنَه‬17()19

“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Alquran karena


hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan
kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai)
membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah
bacaannya itu. Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah
penjelasannya”.

Orang-orang yang hafal Alquran disebut juga dengan Jummā’ al-Qur’ān


atau Huffazhu al-Qur’ān. Maka adapun penghimpunan Alquran dalam arti
penghapalannya dan penyemayamannya dengan mantap dalam hati,
sesungguhnya Allah telah mengaruniakan kepada Rasul-Nya terlebih
dahulu sebelum kepada yang lain. Beliau dikenal sebagai Sayyid al-
huffazh dan sebagai Awwal al-Jummā’.
2. Pengumpulan dalam arti kitabatuhu kullihi (penulisan Alquran semuanya)
baik dengan memisah-misahkan ayat-ayat dan surah-surahnya ,atau

vi
menertibkan ayat-ayat semata dan setiap surah ditulis dalam satu lembaran
secara terpisah, ataupun menertibkan ayat-ayat dan surah-surahnya dalam
lembaran-lembaran yang terkumpul yang menghimpun semua surah,
sebagaimana ditulis sesudah bagian yang lainnya.

Ditinjau dari segi bahasa, al-Jam’u berasal dari kata  ‫جمع‬ -‫يخمع‬ yang artinya


mengumpulkan. Sedangkan pengertian al-Jam’u secara terminologi, para ulama
berbeda pendapat. Menurut Az-Zarqani, Jam’ul Qur’an mengandung dua
pengertian. Pertama mengandung makna menghafal al-Qur’an dalam hati, dan
kedua yaitu menuliskan huruf demi huruf dan ayat demi ayat yang telah
diwahyukan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Menurut al-Qurtubi
dan Ibnu Katsir maksud dari Jam’ul Qur’an adalah menghimpun al-Qur’an dalam
hati atau menghafal al-Qur’an.

Menurut Ahmad von Denffer, istilah pengumpulan al-Qur’an (jam’al-qur’an)


dalam literatur klasik itu mempunyai berbagai makna, antara lain:
1. Al-Qur’an dicerna oleh hati.
2. Menulis kembali tiap pewahyuan.
3. Menghadirkan materi al-Qur’an untuk ditulis.
4. Menghadirkan laporan (tulisan) para penulis wahyu yang telah menghafal
al-Qur’an.
5. Menghadirkan seluruh sumber, baik lisan maupun tulisan.
Berdasarkan pendapat para ulama di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa yang
dimaksud dengan Jam’ul Qur’an adalah usaha penghimpunan dan pemeliharaan
al-Qur’an yang meliputi penghafalan, serta penulisan ayat-ayat serta surat-surat
dalam al-Qur’an.

1.2 Pengumpulan Al-Qur’an pada Masa Nabi


Sebenarnya kitab Al-qur’an telah ditulis seutuhnya pada zaman Nabi
Muhammad SAW. Hanya saja belum disatukan dan surat-surat yang ada juga masih
belum tersusun. Penyusunan dalam mushaf utama belum dilakukan karena wahyu
belum berhenti turun sebelum Nabi Muhammad wafat.
Pengumpulan ayat-ayat Alquran di masa Nabi SAW. terbagi atas dua kategori,
yakni pertama; pengumpulan dalam dada, yaitu dengan cara menghapal,
menghayati dan mengamalkan; kedua, pengumpulan dalam dokumen, dengan cara
menulis pada kitab, atau diwujudkan dalam bentuk ukiran.

1. Pengumpulan Al-Qur’an Melalui Hafalan.


Al-qur’an Karim turun kepada Nabi yang ummi. Karena itu, perhatian
Nabi hanyalah untuk sekedar menghapal dan menghayatinya, agar beliau

vii
dapat menguasai Al-Qur’an persis sebagaimana halnya Al-Qur’an yang
diturunkan. Setelah itu, beliau membacakannya kepada umatnya sejelas
mungkin agar mereka pun dapat menghafal dan memantapkannya. Hal ini
karena Nabi pun diutus Allah di kalangan orang-orang yang ummi pula.
Biasanya orang-orang yang ummi itu mengandalkan kekuatan hafalan dan
ingatannya.

Pada masa diturunkannya Al-Qur’an Bangsa Arab berada dalam martabat


yang begitu tinggi dan sempurna daya ingatnya. Mereka sangat kuat dalam
hafalannya serta daya pikirannya begitu terbuka. Mereka bahkan banyak yang
menghafal beratus-ratus ribu syair dan mengetahui silsilah serta nasab
(keturunannya). Mereka dapat mengungkapkannya di luar kepala dan
mengetahui sejarahnya. Jarang sekali di antara mereka yang tidak bisa
mengungkapkan silsilah dan nasab tersebut, tidak hafal “Almuallaqatul Asyār”
yang begitu banyak syairnya lagipula sulit dalam menghafalnya.

Rasulullah sangat menyukai wahyu, ia senantiasa menungu penurunan


wahyu dengan rasa rindu, lalu menghafal dan memahaminya, persis seperti
dijanjikan Allah dalam QS.Al-Qiyamah (75): 17:
 )17( ُ‫ِإ َّن َعلَ ْينَا َج ْم َعهُ َوقُرْ آنَه‬

“Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan


(membuatmu pandai) membacanya".

Oleh sebab itu, ia adalah hāfidz (penghafal) Al-Qur’an pertama dan


merupakan contoh paling baik bagi para sahabat dalam menghafalnya, sebagai
realisasi kecintaan mereka kepada pokok agama dan sumber risalah. Al-
Qur’an diturunkan selama dua puluh tahun lebih. Proses penurunannya
terkadang hanya turun satu ayat dan terkadang turun sampai sepuluh ayat.
Setiap kali sebuah ayat turun, dihafal dalam dada dan ditempatkan dalam hati,
sebab Bangsa Arab secara kodrati memang mempunyai daya hafal yang kuat.
Hal ini karena umumnya mereka buta huruf, sehingga dalam penulisan berita-
berita, syair-syair dan silsilah mereka dilakukan dengan catatan di hati
mereka.

Dalam kitab shahih-nya Bukhari telah megemukakan tentang adnaya tujuh


hafidz, melalui tiga riwayat. Mereka adalah Abdullah bin Mas’ud, Salim bin
Ma’qal bekas budak Abu Huzaifah, Mu’az bin Jabal, Ubai bin Ka’b, Zaid bin
Sabit, Abu Zaid bin Sakkan dan Abu Darda’.

viii
Pembatasan tujuh orang sebagaimana disebutkan Bukhari tersebut,
diartikan bahwa mereka itulah yang hafal seluruh isi Al-Qur’an di luar kepala
dan telah menunjukkan hafalannya di hadapan Nabi, serta isnad-isnadnya
sampai kepada kita. Sedangkan para hafiz al-Qur’an lainnya yang berjumlah
banyak tidak memenuhi hal-hal tersebut, terutama karena para sahabat telah
tersebar di berbagai wilayah dan sebagian mereka menghafal dari yang lain.
Cukuplah sebagai bukti tentang hal ini bahwa para sahabat yang terbunuh
dalam pertempuran di sumur “Ma’unah”, semuanya disebut qurra’, sebanyak
tujuh puluh orang sebagaimana disebutkan dalam hadis shahih. al-Qurtūbi
mengatakan: “Telah terbunuh tujuh puluh orang qāri’ pada perang Yamamah;
dan terbunuh pula pada masa Nabi sejumlah itu dalam pertempuran di sumur
Ma’unah”

Dalam mengomentari riwayat Anas yang menyatakan, “Tidak ada yang


hafal Al-qur’an kecuali empat orang”, al-Mawardi berkata: “Ucapan Anas
yang menyatakan bahwa tidak ada yang hafal Al-qur’an selain empat orang itu
tidak dapat diartikan bahwa kenyataannya memang demikian. Sebab mungkin
saja Anas tidak mengetahui ada orang lain yang menghafalnya. Bila tidak,
maka bagaimana ia mengetahui secara persis orang-orang yang hafal Alquran
sedangkan para sahabat amat banyak jumlahnya dan tersebar di berbagai
wilayah. Pengetahuan Anas tentang orang-orang yang hafal Alquran itu tidak
dapat diterima kecuali kalau ia bertemu dengan setiap orang yang
menghafalnya dan orang itu menyatakan kepadanya bahwa ia belum sempurna
hafalannya di masa Nabi. Yang demikian ini amat tidak mungkin terjadi
menurut kebiasaan. Karena itu bila yang dijadikan rujukan oleh Anas hanya
pengetahuannya sendiri maka hal ini tidak berarti bahwa kenyataanya memang
demikian. Di samping itu syarat kemutawatiran juga tidak menghendaki agar
semua pribadi hapal, bahkan bila kolektifitas sahabat telah hafal sekalipun
secara distributif maka itu sudah cukup”.

Abu ‘Ubaid telah menyebutkan dalam kitab al-Qirā’at sejumlah qāri’ dari
kalangan sahabat. Dari kaum Muhajirin, ia menyebutkan empat orang
khalifah, Thalhah, Sa’d, Ibn Mas’ud, Huzaifah, Salim, Abu Hurairah,
Abdullah as-Sa’ib, empat orang bernama Abdullah, Aisyah, Hafsah dan
Ummu Salāmah; dari kaum Anshār: ‘Ubādah bin Sāmit, Mu’az yang dijuluki
Abu Halimah. Majma’ bin Jariyah, Fudalah bin ‘Ubaid dan Maslamah bin
Mukhallad. Ditegaskannya bahwa sebagian mereka itu menyempurnakan
hafalannya sepeninggal Nabi.

Al-Hafiz az-Zahābi menyebutkan dalam Tabāqatul Qurra’ bahwa jumlah


qari’ tersebut adalah jumlah mereka yang menunjukkan hafalannya di hadapan

ix
Nabi dan sanad-sanadnya sampai kepada kita secara bersambung. Sedangkan
sahabat yang hapal Alquran namun sanadnya tidak sampai kepada kita, jumlah
mereka itu banyak.
Senada dengan hal itu, Ibnu Atsir Al Jazary dalam kitab an-Nasyr,
sebagaimana dikutip oleh Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bukunya Sejarah dan
Pengantar Ilmu Alqur-an/Tafsir menyebutkan bahwa sahabat yang menghafal
Alquran di masa Nabi masih hidup banyak sekali. Mereka tidak memerlukan
menulis Alquran disebabkan karena mereka sangat baik hafalannya.

Kata As-Sayuthy: “Saya telah mendapati pula seorang wanita shahabiyah


yang menghafalkan seluruh Alquran yang tidak dimasukkan namanya ke
dalam barisan penghafal seluruh Alquran yaitu Ummu Warāqah binti
‘Abdillah ibn Al-Harits. Seringkali Rasulullah mengunjunginya dan
menamainya Syahidah. Beliau telah menghafal seluruh Alquran di zaman
Nabi dan beliau dijadikan imam untuk seisi rumahnya. Beliau ini terbunuh
dalam masa pemerintahan ‘Umar. Hampir menjelang ‘Umar wafat , beliau
pernah berkata: “Telah benar apa yang diterangkan Rasul. Rasul sering
berkata: “Mari kita pergi ke rumah wanita Syahidah”.

An-Nuwairy dalam syarahnya terhadap kitab Ath-Thaiyibah: “Kalau anda


berkata, apabila ditetapkan bahwa yang mengumpulkan Alquran di masa
Rasulullah saw. Sahabat-sahabat yang telah disebut namanya, maka
bagaimana kita kumpulkan keterangan itu dengan perkataan Anas, bahwa
yang mengumpulkan Alquran di masa Rasul ada empat orang. Dalam suatu
riwayat, yang mengumpulkan Alquran hanya empat orang yaitu Ubay, Zaid
ibn Tsabit, Abu Zaid, dan Muadz, pada suatu riwayat Abud Darda’, maka saya
berkata: “Riwayat pertama tidak berlawanan dengan keterangan ini, karena
riwayat pertama itu tidak menentukan penghafal Alquran hanya 4 orang saja.
Riwayat yang kedua karena tidak dapat diambil lahirnya, berlawanan dengan
keterangan yang telah lalu, perlulah ditakwilkan. Maka dimaksudkan dengan
hanya empat orang saja menghapalnya, ialah hanya 4 orang saja yang
menghapal dalam seluruh Qiraat (macamnya), atau yang menerima langsung
dari Rasul, atau yang terus menerima pada tiap-tiap turun ayat.

Berdasar pada penjelasan dan keterangan-keterangan di atas, maka jelaslah


bahwa para penghapal Alquran di masa Rasulullah amat banyak jumlahnya
dan sebagai ciri khas umat pada masa ini ialah mereka berpegang pada
hapalan dalam penukilan. Ibn Jazari, guru para qari pada masanya
menyebutkan: “Penukilan Alquran dengan berpegang pada hafalan –
bukannya pada mushaf-mushaf dan kitab-kitab – merupakan salah satu
keistimewaan yang diberikan Allah kepada umat ini”.

x
2. Pengumpulan Alquran dalam bentuk tulisan.
Keistimewaan yang kedua dari Alquran ialah pengumpulan dan
penulisannya dalam lembaran. Rasulullah saw. Mempunyai beberapa orang
sekretaris wahyu. Setiap turun ayat Alquran, beliau memerintahkan kepada
mereka untuk menulisnya dalam rangka memeperkuat catatan dan
dokumentasi dalam kehati-hatian beliau terhadap kitab Allah Azza Wa Jalla,
sehingga penulisan tersebut dapat memudahkan penghapalan dan memperkuat
daya ingat.

Upaya pelestarian Alquran pada masa Nabi Muhammad saw. dilakukan


oleh Rasulullah sendiri, setiap kali beliau menerima wahyu dari Allah. Setelah
beliau secara langsung mengingat dan menghapalnya, beliau
menyampaikannya kepada para sahabatnya, lalu sahabat menyampaikannya
secara berantai kepada sahabat lainnya. Demikanlah seterusnya. Sebagian
sahabat itu selain langsung menghapalnya, juga mencatatnya dalam berbagai
benda yang ditemuinya, seperti pelapah korma atau tulang belulang binatang.
Catatan tersebut bukan untuk orang lain tetapi untuk koleksi pribadi.

Para penulis wahyu adalah sahabat pilihan Rasul dari kalangan sahabat
yang terbaik dan indah tulisannya sehingga mereka benar-benar dapat
mengemban tugas yang mulia ini. Di antara mereka adalah Zaid bin Tsabit,
Ubay bin Ka’ab, Muadz bin Jabal, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Khulafaur
Rasyidin, dan sahabat-sahabat lain. Beliau menyuruh mereka mencatat setiap
wahyu yang turun, sehingga Alquran yang terhimpun dalam dada mereka
menjadi kenyataan tertulis.

Di samping itu sebagian sahabat pun menulis Alquran yang turun itu atas
kemauan sendiri, tanpa diperintah oleh Nabi. Mereka menuliskannya pada
pelepah korma, lempengan batu, kulit atau daun kayu , pelana, potongan
tulang-tulang binatang dan sebagainya. Hal itu karena belum ada pabrik kertas
di kalangan orang Arab. Pada saat itu pabrik kertas hanya terdapat di Parsi dan
Romawi. Itu pun masih sangat kurang dan tidak disebarkan. Itulah sebabnya,
orang-orang Arab menulisnya sesuai dengan perlengkapan yang dimiliki dan
dapat dipergunakan untuk menulis.

Diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit r.a. bahwa ia berkata, “Kami menulis
Alquran di hadapan Nabi pada kulit ternak”. Maksudnya adalah
mengumpulkannya agar sesuai dengan petunjuk Nabi saw. dan menurut
perintah dari Allah swt. Para ulama sepakat bahwa pengumpulan Alquran
adalah tauqifi (menurut ketentuan) artinya susunannya sebagaimana yang kita

xi
lihat sekarang ini. Telah disebutkan bahwa Jibril a.s. bila membawakan sebuah
atau beberapa ayat kepada Nabi, ia mengatakan, “Hai Muhammad!
Sesungguhnya Allah memerintahkan kepadamu untuk menempatkannya pada
urutan kesekian surat” Demikian pula halnya Rasul memerintahkan kepada
para sahabat, “Letakkanlah pada urutan ini.” Ini menunjukkan betapa besar
kesulitan yang dipikul para sahabat dalam menuliskan Alquran. Alat–alat tulis
tidak cukup tersedia bagi mereka, namun demikian penulisan Al-quran ini
semakin menambah hapalan mereka.

Kitab Alquran mencakup surat-surat panjang dan yang terpendek terdiri


dari tiga ayat, sedengkan yang paling panjang 286 ayat. Beberapa riwayat
menyebutkan bahwa Nabi Muhammad memberi instruksi kepada para penulis
tentang letak ayat pada setiap surat. Usman menjelaskan baik wahyu itu
mencakup ayat panjang ataupun pendek, Nabi Muhammad selalu memanggil
penulisnya dan berkata; Letakkan ayat–ayat tersebut ke dalam surat seperti
yang beliau sebut. Zaid bin Tsabit menegaskan kami akan kumpulkan Alquran
di depan Nabi Muhammad . Menurut Uthman bin Abi Al’as, Malaikat Jibril
menemui Nabi Muhammad memberi perintah akan penempatan ayat tertentu.

Pada masa Nabi Muhammad saw. belum ada upaya yang dilakukan untuk
unifikasi dan kodifikasi Alquran. Selain karena wahyu masih terus turun, juga
belum ada kebutuhan yang mendesak untuk melakukan upaya itu. Mesjid
Nabi di Madinah merupakan tempat yang paling strategis dan efektif dalam
memasyarakatkan Alquran. Di mesjid ini, para sahabat memperoleh informasi
langsung dari Rasulullah saw. Tentang wahyu yang baru turun. Para sahabat
juga dapat mengonfirmasikan hapalan dan qiraat mereka melalui bacaan dan
tadarus yang dilakukan para sahabat senior. Bahkan mereka memperoleh
infirmasi tentang tata urutan ayat dan surah dari Nabi Muhammad saw. di
mesjid itu pula. 

Perlu diketahui, bahwa pada masa Nabi, Alquran belum ditulis dan
dibukukan dalam satu mushaf disebabkan beberapa kemungkinan sebagai
berikut:
 Tidak ada faktor pendorong untuk dibukukan Alquran , dalam satu mushaf
sebagaimana pada masa Abu Bakar dan Usman bin Affan. Hal ini
disebabkan kerena pada masa Nabi para sahabat penghapal Alquran masih
lengkap dan cukup banyak, tidak adanya unsur-unsur yang diduga akan
mengganggu kelestarian Alquran, sementara kecendrungan dan kebiasaan
menghafal saat itu lebih dominan dibanding dengan kecendrungan
menulis. Oleh karena Alquran diturunkan secara berangsur-angsur mulai
dari Nabi saw. diangkat menjadi Rasul sampai menjelang akhir wafatnya,

xii
maka satu hal yang logis bila Alquran baru bisa dibukukan dalam satu
mushhaf setelah wafat beliau.

Dari keterangan-keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Jam’ al-Qu’ ān


wa kitābuhu telah dimulai sejak masa Nabi Muhammad saw., yakni
penghapalannya dalam dada dengan penuh kesungguhan dan menulisnya
secara terpisah-pisah dan dalam berbagai bahan yang serba sederhana.

1.3 Pengumpulan Alquran pada Masa al-Khulafā’ al-Rasyidūn


Rasulullah saw. berpulang ke rahmatullah setelah beliau selesai
menyampaikan risalah dan menyampaikan amanat serta memberi petunjuk kepada
umatnya untuk menjalankan agama yang lurus. Abu Bakar menjalankan urusan
Islam sesudah Rasulullah. Ia dihadapkan kepada peristiwa-peristiwa besar
berkenaan dengan kemurtadan sebagian orang Arab. Karena itu ia segera
menyiapkan pasukan dan mengirimkannya untuk memerangi orang-orang yang
murtad itu. Peperangan Yamamah yang terjadi pada tahun dua belas Hijriah
melibatkan sejumlah besar sahabat yang hapal Alquran. Dalam peperangan ini
tujuh puluh qari dari para sahabat gugur. Umar bin Khattab marasa sangat khawatir
melihat kenyataan ini, lalu ia menghadap Abu Bakar dan mengajukan usul
kepadanya agar mengumpulkan dan membukukan Alquran karena dikhawatirkan
akan musnah, sebab peperangan Yamamah telah banyak membunuh para qari.
Pada awalnya, Abu Bakar merasa ragu, namun setelah dijelaskan oleh Umar
tentang nilai-nilai positifnya, ia menerima usul tersebut. Dan Allah melapangkan
dada Abu Bakar untuk melaksanakan tugas yang mulia tersebut. Ia mengutus Zaid
bin Tsabit dan menyuruhnya agar segera menangani dan mengumpulkan Alquran
dalam satu mushaf. Mula-mula Zaid pun merasa ragu, kemudian ia pun
dilapangkan Allah sebagaimana halnya Allah melapangkan dada Abu Bakar dan
Umar.

1.4 Perbedaan pengumpulan Al-Qur’an Menurut Abu Bakar dan Utsman

 Dari segi Latar Belakang


Pada masa Abu Bakar menjadi khalifah, pengumpulan dan penghimpunan
Al-Qur'an dilatar belakangi oleh banyaknya para penghafal Al-Qur'an yang
meninggal dunia akibat dari perang melawan tiga kelompok pembangkang,
yakni orang-orang yang tidak membayar zakat, orang-orang murtad, dan nabi
palsu. Sedangkan pada masa Khalifah Utsman bin Affan pengumpulan Al-
Qur'an dilatar belakangi oleh banyaknya versi bacaan Al-Qur'an yang berbeda
sehingga saling menyalahkan satu sama lain.

xiii
 Dari segi Teknik Penghimpunan dan Pembukuan
Pada masa Khalifah Abu Bakar teknik pembukuan Al-Qur'an adalah dengan
cara menghimpun dokumentasi Al-Qur'an yang tereeeer di pelepah kurma,
kulit binatang, tulang binatang, dan batu-batuan. Setelah semuanya terkumpul.
baru kemudian dihimpun ke dalam sebuah mushaf. Al-Qur'an pada masa Abu
Bakar sudah ditertibkan urutan ayat dan surahnya sesuai dengan yang didengar
dari Rasulullah. Pada masa Khalifah Abu Bakar penulisan Al-Qur'an
mengandung tujuh huruf. Sedangkan pada masa Khalifah Utsman bin Affan,
penulisan disatukan ke dalam satu bentuk bacaan yakmi menggunakan bahasa
Arab Quraisy.

Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa pengumpulan Al-Qur'an Abu


Bakar berbeda dengan pengumpulan Al-Qur'an yang dilakukan Utsman, baik
dalam hal latar belakang (motivasi) maupun metodenya. Motivasi Abu Bakar
adalah kekhawatiran beliau akan hilangnya Al-Qur'an karena banyaknya para
qurra' yang gugur dalam peperangan. Sedangkan motivasi Utsman adalah
karena banyaknya perbedaan (yang berujung pada konflik) dalam cara-cara
membaca Al-Qur'an yang terjadi di berbagai wilayah kekuasaan Islam yang
disaksikannya sendiri. Puncaknya mereka saling menyalahkan satu sama lain.

Pengumpulan Al-Qur'an yang dilakukan Abu Bakar ialah memindahkan


semua tulisan atau catatan Al-Qur'an yang semula bertebaran di kulit-kulit
binatang, tulang belulang, pelepah korma, dan sebagainya, kemudian
dikumpulkan dalam satu mushaf.

Sedangkan pengumpulan yang dilakukan Utsman adalah ialah


menyalinnya dalam satu huruf di antara ketujuh huruf itu, untuk
mempersatukan kaum muslimin dalam satu mushaf dan satu huruf yang di
mereka baca tanpa enam huruf lainnya. Ibnu At-Tin dan yang lain
mengatakan, "Perbedaan antara pengumpulan Abu Bakar dengan
pengumpulan Utsman ialah bahwa pengumpulan yang dilakukan Abu Bakar
disebabkan oleh kekhawatiran akan hilangnya sebagian Al-Qur`an karena
kematian para penghafalnya, sebab ketika itu Al-Qur'an belum terkumpul di
satu tempat. Adapun pengumpulan Utsman disebabkan banyaknya perbedaan
dalam hal qira’at, sehingga mereka membacanya menurut dialek mereka
masing-masing, dan ini menyebabkan timbulnya sikap saling menyalahkan.

Al-Harits Al-Muhasibi mengatakan, "Yang masyhur di kalangan orang


banyak ialah bahwa pengumpul Al-Qur`an itu adalah Utsman. Padahal
sebenarnya tidak demikian, Utsman hanyalah berusaha menyatukan umat

xiv
pada satu macam qira’at. Itu pun atas dasar kesepakatan antara dia dengan
kaum Muhajirin dan Anshar yang hadir di hadapannya.

Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah mushaf yang dikirimkan


Utsman ke pelbagai daerah:

A. Ada yang mengatakan; Jumlahnya tujuh buah mushaf.


Dikirimkan ke Makkah, Syam, Bashrah, Kufah, Yaman, Bahrain
dan Madinah. Ibnu Abi Dawud mengatakan, "Aku mendengar
Abu Hatim As-Sijistani berkata, "Telah ditulis tujuh buah mushaf,
lalu dikirimkan ke Makkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah,
Kufah dan sebuah ditahan di Madinah'."
B. Dikatakan pula, jumlahnya ada empat buah, masing-masing
dikirimkan ke Irak, Syam, Mesir dan Mushaf Imam; atau
dikirimkan ke Kufah, Bashrah, Syam dan Mushaf Imam. Berkata
Abu Amru Ad-Dani dalam Al-Muqni", "Sebagian besar ulama
berpendapat bahwa ketika Utsman menulis mushaf-mushaf itu, ia
membuatnya sebanyak empat buah salinan, lalu dikirimkan ke
setiap daerah masing-masing satu buah: ke Kufah, Bashrah, Syam
dan ditinggalkan satu buah untuk dirinya sendiri'."
C. Ada juga yang mengatakan bahwa jumlahnya ada lima mushaf.
Menurut As-Suyuthi, pendapat inilah yang masyhur.

Adapun lembaran-lembaran yang dikembalikan kepada Hafshah, tetap berada


di tangannya hingga ia wafat. Setelah itu lembaran-lembaran ra tersebut
dimusnahkan," dan dikatakan pula bahwa lembaran-lembaran an tersebut diambil
oleh Marwan bin Al-Hakam lalu dibakar.

xv
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

1. Upaya yang dilakukan Rasulullah untuk menjaga dan memelihara ayat-ayat


agar tidak terlupakan atau terhapus dari ingatan dengan cara yang sederhana
yaitu Nabi Menghafal Ayat-ayat itu dan menyampaikannya kepada para
sahabat yang kemudian juga menghafalnya sesuai dengan yang disampaikan
Nabi. Upaya kedua yang dilakukan Umat Islam dalam upaya pemeliharaan
Al-Qur'an adalah mencatat atau menuliskannya dengan persetujuan Nabi.

2. Pembukuan al-Qur'an yang dilakukan oleh Abu Bakar didasari oleh


kekhawatiran al-Qur'an akan hilang jika tidak dikumpulkan karena telah
banyak para Qari' yang meninggal dan Mushaf al-Qur'an masih tercecer.
Atas desakan 'Umar akhirnya Abu Bakar berkenan untuk membukukannya
dengan memerintahkan Zaid untuk membukukan al-Qur'an.

3. Pembukuan al-Qur'an yang dilakukan pada masa 'Ustman didasari oleh


perpecahan dikalngan sahabat akibat perbedaan bacaan yang mereka
gunakan sehingga 'Utsman memerintahkan untuk membukukan ulang
Mushaf yang sudah ada dimasa Abu Bakar dan menyebar luaskan diseluruh
penjuru. Untuk melakukan tugas tersebut 'Utsman memerintahkan empat
orang sahabat yaitu: Zaid bin Tsabit, 'Abdullah bin Zubayr, Sa'id bin
al-'Ash, 'Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam.

4. Perbedaan pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar dan Utsman bin
Affan adalah pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu Bakardilatar
belakangi oleh banyaknya penghafal Al-Qur’an yang meninggal sedangkan
pada Utsman bin Affan pegumpulan Al-Qur’an dilatar belakangi oleh
perselisihan cara membaca Al-Qur’an.

xvi
DAFTAR PUSTAKA
Mana' Qathan, Mabahits Fi 'Ulum al-Qur'an, (Cairo: Maktabah Wahbah,1995).
H.M. Rusdi Khalid, Mengkaji Ilmu-ilmu Al-Qur'an, (Alauddin Universiti Press:
Makassar, 2011).
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur'an, (Jakarta : Yayasan Abad
Demokrasi,2011)
Muhammad Abdul Adzim az-Zarqany, Manahil al-'Irfan Fi 'Ulum al-Qur'an,
Jilid I. (Beirut: Dar al-Kitab al-Araby, 1995).
Shubhi Sholih, Mabahits Fi 'Ulum al-Qur'an, Cet. X. (Beirut: Dar al-Ilmi, 1977).
Badruddin Muhammad bin Abdullah az-Zarkasy, al-Burhan Fi Ulum al Qur'an,
(Cairo: Dar at-Turats, tt).
Philip K. Hitti, History of The Arabs, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2013).
Muhammad Ali ash- Shabuni, Ikhtisar Ulumul Qur'an Praktis, (Jakarta : Pustaka
Amani, 2001).
Musthofa Dhib al-Bigha dan Muhyiddin Dhib Matu, al-Wadih Fi Ulum al Qur'an,
(Damaskus : Dar al-Ulum al-Insaniyah, 1998).

xvii

Anda mungkin juga menyukai