Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PENGERTIAN JAM’AL-QUR’AN
PADA MASA NABI KHULAFA’AL-RASYIDIN DAN SESUDAHNYA

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ulumul Qur’an


Dosen Pengampu : Mahfuz Rizqi Mubarak, M.Pd.

Disusun Oleh :

Rizka Nabila M. (2111160138)


M Rizki Septianto (2111160144)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA
PALANGKA RAYA
2021
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya,sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna
memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Ulumul Qur’an,dengan judul : Pengertian
Jam al-Qur’an dan Jam’al-Qur’an pada masa Nabi, Khulafa’ al-Rasyidin, dan
sesudahnya.’

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan
banyak pihak yang dengan tulus memberikan doa,saran dan kritik sehingga masalah ini dapat
terselesaikan.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dikarenakan
terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu,kami
mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari
berbagai pihak.Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan dunia pendidikan

Palangka raya,September 2021

Penulis

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................................I
DAFTAR ISI........................................................................................................................................II
BAB I....................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN................................................................................................................................1
A.     Latar Belakang Masalah........................................................................................................1
B.     Rumusan Masalah...................................................................................................................1
BAB II..................................................................................................................................................2
PEMBAHASAN...................................................................................................................................2
A.     Pengertian Jam’ul Qur’an.....................................................................................................2
B.     Pengumpulan al-Qur’an pada Masa Nabi............................................................................2
C.     Pengumpulan al-Qur’an pada Masa Abu Bakar..................................................................4
D.    Pengumpulan al-Qur’an pada Masa Utsman bin Affan........................................................5
E. Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Khulafa al Rasyidin.........................................................7
F. Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Setelah Khulafa al Rasyidin...........................................9
BAB III...............................................................................................................................................11
PENUTUP..........................................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................12

II
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Al-Qur’an merupakan sumber rujukan utama yang menempati posisi sentral bagi
seluruh disiplin ilmu ke Islaman. Kitab suci ini, di samping menjadi al-huda (petunjuk), juga
sebagai al-bayyinat (penjelas) serta menjadi al-furqan (pemisah antara yang benar dan yang
salah) yang diturunkan dalam kurun waktu kurang lebih 23 tahun lamanya.
Pengumpulan dan penyusunan al-Qur’an dalam bentuk seperti saat ini, tidak terjadi
dalam satu masa, tapi berlangsung beberapa tahun atas upaya beberapa orang dan berbagai
kelompok.
Cara paling lazim dalam menjaga al-Qur’an pada masa Nabi dan Sahabat adalah
dengan hafalan ( al-jan’ fi shudur). Hal ini selain karena masih banyak Sahabat yang buta
huruf, juga karena hafalan orang Arab ketika itu terkenal kuat. Bisa dimaklumi jika
pencatatan al-Qur’an belum merupakan alat pemeliharaan yang handal, karena dari segi
teknis, alat-alat tulis ketika itu masih sangat sederhana dan rawan terhadap kerusakan. Bahan
tempat menulis berasal dari pelepah-pelepah kurma dan tulang-belulang yang gampang lapuk
dan patah, tinta yang mudah luntur, dan alat tulis yang sangat sederhana.
Seiring perjalanan waktu dalam sejarah, mulai diturunkannya al-Qur’an hingga
wafatnya Rasulullah saw sampai kepada periode Khulafa al-Rasyidin, masing-masing periode
memiliki cara dan metode dalam memelihara dan mengumpulkan al-Qur’an.
Dari hal tersebut di atas, maka menarik untuk dikaji, khususnya aspek sejarah dari
proses pengumpulan al-Qur’an pada masa Rasulullah saw sampai pada masa sahabat.  
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dipaparkan di atas, penulis mencoba
mengemukakan beberapa permasalahan pokok berkaitan dengan  materi makalah ini, yaitu;
1. Apa pengertian Jam’ al-Qur’an?
2. Bagaimana pengumpulan al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad saw, Abu Bakar dan
Usman bin Affan sampai masa Khulafa Al Rasyidin?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui pengertian Jam’al-Qur’an
2. Untuk mengetahui pengumpulan al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad saw,Abu Bakar
dan Usman bin Affan sampai masa Khulafa Al Rasyidin dan sesudahnya.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A.       Pengertian Jam’ul Qur’an


Kata al-Jam’u berasal dari kata ”Jama’a – Yajma’u _ Jam’an” yang berarti
pengumpulan atau penghimpunan.Adapun makna al-Qur’an menurut bahasa,
kata qur’an adalah bentuk masdar (kata benda verbal) dari qara’a yang berarti membaca,
baik membaca dengan melihat tulisan ataupun secara menghafal. Jadi Jam’ul Qur’an berarti
upaya mengumpulkan al-Quran yang berserakan untuk diteliti dan diselidiki.
Manna’ al-Qattan membagi pengertian Jam’ul Qur’an ke dalam dua bagian yaitu:
1.      Jam’ul Qur’an dalam arti hifzuhu(menghafalnya dalam hati). Inilah  makna yang
dimaksudkan dalam firman Allah kepada Nabi. Nabi senantiasa menggerak;gerakkan kedua
bibir dan lidahnya untuk membaca al-Qur’an ketika diturunkan kepadanya.
2.      Jam’ul Qur’an dalam arti kitabuhu kullihi(penulisan al-Qur’an semuanya) baik dengan
memisah-misahkan ayat-ayat dan surah-surahnya, atau menertibkan ayat-ayat semata dan
setiap surah ditulis dalam suatu lembaran secara terpisah, ataupun menertibkan ayat-ayat dan
surah-surahnya, sebagian ditulis sesudah bagian yang lain.
Sebagian besar literature yang membahas tentang ilmu-ilmu al-Qur’an menjelaskan
bahwa Jam’ul Qur’an meliputi  proses penyampaian, pencatatan, pengumpulan catatan dan
kodifikasi hingga menjadi mushaf al-Qur’an.
B.       Pengumpulan al-Qur’an pada Masa Nabi
Kodifikasi atau pengumpulan al-Qur’an telah dimulai sejak zaman Rasulullah saw,
bahkan telah dimulai sejak masa-masa awal turunnya al-Qur’an. Sebagaimana diketahui, al-
Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, hal ini disesuaikan dengan keadaan Rasulullah
dan agar lebih mudah untuk menghafalnya baik oleh Nabi maupun para sahabat.
Pengumpulan ayat-ayat al-Qur’an di masa Nabi saw terbagi atas dua kategori:
1. Pengumpulan al-Qur’an dalam dada.
         Al- Qur’an diturunkan kepada Rasulullah saw, di mana beliau dikenal seorang
ummi(tidak dapat membaca dan menulis). Oleh karenanya setiap ayat al-Qur’an diturunkan,

2
beliau hanya menghafal dan menghayatainya agar penguasaannya terhadap al-Qur’an persis
sebagaimana aslinya. Dan setelah itu, beliau membacakannya kepada sahabat dan ummatnya
sejelas mungkin dan memerintahkan kepada mereka untuk dapat menghafal dan
memantapkannya. Hal ini persis dengan janji Allah dalam QS. Al-Qiyamah (75):16.

‫ك لِتَ ْع َج َل بِ ٖ ۗه‬ ْ ‫اَل تُ َح‬


َ َ‫رِّك بِ ٖه لِ َسان‬
Artinya:  Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran Karena hendak
cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di
dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami Telah selesai
membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan
kamilah penjelasannya.

Para sahabat langsung menghafal al- Qur’an tersebut di luar kepala  setiap kali
Rasulullah saw menyampaikan wahyu kepada mereka. Hal ini bisa mereka lakukan oleh
mereka dengan mudah terkait dengan kultur(budaya) orang Arab yang menjaga peninggalan
nenek moyang mereka dengan cara hafalan.
Manna’al-Qattan mengutip hadits dari  kitab Shahih Bukhari tentang tujuh hafidz,
melalui tiga riwayat. Mereka adalah Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Ma’qal, Muas bin Jabal,
Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin Sakan dan Abu Darda’.
2.       Pemeliharaan al- Qur’an dengan tulisan
Walaupun Nabi Muhammad saw dan para sahabat menghafal ayat-ayat al-Qur’an
secara keseluruhan, namun guna menjamin terpeliharanya wahyu Ilahi beliau tidak hanya
mengandalkan hafalan, tetapi juga tulisan.
Sejarah menginformasikan bahwa setiap ayat yang turun Rasulullah memanggil
sahabat sahabat yang dikenal pandai menulis. Rasulullah mengangkat beberapa penulis
wahyu seperti Ali, Muawiyah, Ubay bin Ka’ab dan Zaid bin Tsabit. Bila ayat turun, ia
memerintahkan mereka menuliskannya dan menunjukkan di mana tempat ayat tersebut dalam
surat. Ayat- ayat Al-Qur’an mereka tulis  pada pelepah kurma, lempengan batu, kulit dan
tulang binatang.
Tulisan-tulisan al-Qur’an pada masa Nabi tidak terkumpul dalam satu mushaf.
Biasanya yang ada ditangan seorang sahabat misalnya belum tentu dimiliki olehn yang
lainnya. Menurut para ulama, di antara sahabat yang menghafal seluruh isi al-Qur’an ketika

3
Rasulullah masih hidup adalah Ali bin Abi Thalib, Muadz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid
bin Tsabit dan Abdullah bin Mas’ud.
Al–Zarqani menyebutkan dalam kitabnya Manahil al-Irfan bahwasanya faktor-faktor
yang mempengaruhi sehingga al-Qur’an tidak dibukukan pada masa Nabi adalah sebagai
berikut:

a. Sarana tulis menulis pada waktu itu sangat minim dan sangat susah mendapatkannya.
b. Nabi senantiasa menunggu kontinius wahyu karena adanya ayat-ayat yang dinasakh setelah
diturunkannya.
c. Ayat-ayat tidak diturunkan sekaligus
d. Ayat-ayat al-Qur’an turun pada umumnya sebagai jawaban dari suatu pertanyaan atau kondisi
masyarakat sehingga tidak turun dalam keadaan tersusun ayatnya.
Dengan melihat penjelasan tersebut di atas, maka jelaslah bahwa sejak zaman
Rasulullah telah terjadi pengumpulan al-Qur’an walaupun tulisan tersebut belum dalam
bentuk mushaf seperti sekarang, tetapi ini cukup menjadi bukti bahwa sudah ada penulisan al-
Qur’an pada saat itu.     
C.       Pengumpulan al-Qur’an pada Masa Abu Bakar
Rasulullah saw berpulang kerahmatullah setelah beliau menyampaikan risalah dan
menyampaikan amanat serta memberi petunjuk kepada umatnya untuk menjalankan agama
yang lurus. Setelah beliau wafat, kekhalifahan dipegang oleh Abu Bakar al-Siddiq r.a. Pada
masa pemerintahannya, ia banyak menghadapi masalah diantaranya memerangi orang-orang
yang murtad, serta memerangi pengikut Musailamah al-Kazzab yang mengaku sebagai nabi.
Ketika terjadi perang Yamamah, banyak kalangan sahabat penghafal al-Qur’an dan
ahli bacanya yang gugur. Jumlahnya lebih 70 orang huffaz ternama. Melihat banyaknya
penghafal al-Qur’an yang gugur, Umar merasa prihatin lalu beliau menemui Abu Bakar dan
berkata: “Telah banyak di antara para huffadz dan qurra’yang gugur dalam medan
pertempuran, aku khawatir akan gugur pula yang lainnya, sehingga hilang apa yang
tersimpan dalam dada mereka dan lenyaplah ayat-ayat al-Qur’an itu. Menurut pendapatku,
baiklah kiranya jika engkau memerintahkan agar al-Qur’an dikumpulkan. Pada awalnya Abu
Bakar ragu, karena hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh Nabi. Namun setelah dijelaskan
oleh Umar tentang nilai positifnya, ia kemudian menerima usul tersebut.

4
Zaid bin Tsabit adalah orang yang ditunjuk Abu Bakar untuk mengumpulkan al-
Qur’an dalam satu mushaf. Adapun alasan penunjukan Zaid oleh karena beliau berusia muda,
intelegensi tinggi dan pekerjaannya di masa Nabi sebagai penulis wahyu.
Meskipun pada awalnya Zaid bin Tsabit juga ragu namun pada akhirnya ia bersedia
melaksanakan hal tersebut. Atas kesediaan Zaid bin Tsabit, dibuatlah sebuah panitia  yang
diketuainya, sedang anggotanya adalah Ubay bin Ka’ab, Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin
Affan.
Dalam menjalankan tugasnya, berbagai metode dilakukan untuk mengumpulkan al-
Qur’an. Diantaranya mengumpulkan tulisan-tulisan al-Qur’an dari para sahabat,
mencocokkan dengan hafalan para sahabat, ataupun menghadirkan dua orang saksi yang
menyaksikan bahwa pembawa al-Qur’an itu telah mendengarnya dari lisan Rasulullah saw.
Dalam rentang waktu kerja tim, Zaid kesulitan terberat dialaminya pada saat tidak
menemukan naskah mengenai ayat 128 dari Surat at-Taubah. Ayat tersebut dihafal oleh
banyak sahabat termasuk Zaid, namun tidak ditemukan dalam bentuk tulisan. Kesulitan itu
nanti berakhir ketika naskah dari ayat tersebut ditemukan ditangan Abu Khuzaimah al-
Anshari.
Dengan cara seperti inilah Zaid mengumpulkan ayat-ayat dan surah-surah al-Qur’an
dan mengumpulkannya yang sebelumnya terpisah-pisah. Setelah selesainya pengumpulan
dan penulisan al-Qur’an ini, kemudian diserahkan kepada Abu Bakar dan beliau
menyimpannya sampai wafat.
Masa pengumpulan al-Qur’an ini terlihat sangat singkat. Sebagaimana diketahui, Abu
Bakar hanya memerintah kekhalifaan Islam ketika itu selama kurang lebih dua tahun mulai
Rabi’ul Awwal 11 H sampai Jumadil Tsani 13 H.. Sementara Zaid melalui tugasnya setelah
peperangan Yamamah (bulan ketiga tahun 12 H).Hal ini berarti bahwa waktu yang tersisa
bagi Zaid hanya 15 bulan.
Al-Zarqani mengemukakan bahwa mushaf yang disusun pada masa Abu Bakar
hanyalah penulisan urutan-urutan ayat-ayatnya saja tanpa mengurut surah-surahnya.
Demikianlah pengumpulan al-Qur’an pada masa kekhalifahan Abu Bakar, yang
dilakukan dengan berbagai metode dalam rangka menjaga validitas dan keutuhan  al-Qur’an.

D.     Pengumpulan al-Qur’an pada Masa Utsman bin Affan


Ketika Utsman bin Affan memegang kekhalifahan, dan para sahabat berpencar
keberbagai daerah dan masing-masing membawa bacaan yang didengarnya dari Rasulullah

5
saw.serta diantara mereka ada yang memiliki bacaan yang tidak dimiliki oleh lainnya, orang-
orang berbeda pendapat dalam bacaan. Setiap pembaca (qari’) mengunggulkan bacaannya
dan menyalahkan bacaan qari’ lainnya sehingga permasalahan tersebut menjadi besar,
perselisihanpun semakin memuncak.
Sebagaimana yang digambarkan dalam sejarah, bahwa sekembalinya Huzaifah bin al-
Yamamah dari peperangan menaklukkan daerah Armenia dan Azerbaijan, ia mengutarakan
kekhawatiran kepada khalifah Usman bin Affan tentang perbedaan bacaan al-Qur’an di
kalangan kaum muslimin. Mihsan menggambarkan bahwa  penduduk Syam memakai bacaan
Ubay  bin Ka’ab, penduduk Kuffah memakai bacaan Abdullah bin Mas’ud dan penduduk
lainnya memakai bacaan Abu Musa Al-Asy’ari.
Atas kejadian tersebut, Utsman kemudian bermusyawarah dengan para sahabat
mengenai apa yang harus dilakukan. Dalam musyawarah tersebut Utsman dan para sahabat
bersepakat untuk menyalin kembali Mushaf al-Qur’an yang ada tangan Hafsah untuk
dijadikan rujukan apabila terjadi perselisihan tentang cara membaca al-Qur’an. Untuk
melaksanakan tugas tersebut, Usman menunjuk satu tim yang terdiri dari Zaid bin Tsabit,
Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Ash dan Abdul Rahman bin Haris bin Hasyim.
Setelah kumpulan tulisan itu sampai ketangan Utsman, ia kemudian menugaskan Zaid
bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin al-Ash dan Abdul Rahman bin al-Harits bin
Hisyam untuk menyalin shuhuf-shuhuf tersebut kedalam beberapa mushaf. Proses penyalinan
lembaran tersebut ke dalam mushaf disertai dengan perintah Utsman bahwa apabila terdapat
perbedaan atas beberapa tulisan dalam lembaran tersebut, maka tulislah dalam bahasa
Quraisy dengan alasan bahwa al-Qur’an diturunkan dengan lisan (bahasa) Quraisy.
Ladjnah yang dibentuk oleh Usman itu menyelesaikan usahanya pada tahun 25
Hijriyah, atau pada tahun 30 Hijriyah setelah delapan tahun tampuk pemerintahan dipegang
oleh Usman ibn Affan. Menurut dugaan, besar sekali kemungkinan, bahwa pekerjaan tersebut
diselesaikan antara 25 H dan 30 H itu.
Mushaf yang disusun pada masa khalifah Usman bin Affan ini lebih lengkap jika
dibandingkan dengan mushaf pada masa khalifah Abu Bakar. Al-Zarqani menjelaskan bahwa
mushaf Usmani telah dilengkapi penulisannya selain tertib urutan ayat, juga sudah ada
urutan-urutan surah.
Al-Zarkasyi menjelaskan hasil kerja tersebut berwujud empat mushaf al-Qur’an. Tiga
diantaranya di kirim ke Syam, Kufah dan Basrah dan satu mushaf ditinggalkan di Madinah
untuk pegangan khalifah yang kemudian dikenal dengan al-Mushaf al-Imam. Agar persoalan
silang pendapat mengenai bacaan dapat diselesaikan dengan tuntas, maka Usman

6
memerintahkan semua mushaf yang berbeda dengan hasil kerja panitia yang empat itu
dibakar.
Dengan usahanya itu, Usman telah berhasil menghindarkan timbulnya fitnah dengan
mengikis sumber perselisihan serta menjaga al-Qur’an dari perubahan dan penyimpangan
sepanjang zaman.

E. Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Khulafa al Rasyidin


Selama kekhalifahan Khulafa al Rasyidin terjadi dua kali perubahan yang siknifikan
yang memberikan kontribusi yang urgen demi terjaganya nash al Qur’an serta terjaganya
persatuan umat setelah wafanya nabi Muhammad SAW. Perubahan ini menunjukkan betapa
seriusnya permasalahan diwakktu itu dan betapa bersungguh-sunguhnya para sahabat dalam
menjaga al Qur’an sebagai Qonun utama umat Islam.

Tanpa ada usaha yang dilakukan oleh sahabat pada waktu itu kemungkinan besar Al-
Qur’an akan tetap diperdebatkan kebenarannya namun Allah SWT sendiri sudah menjamin
akan menjaga al Qur’an sebagaimana firmannya “sesungguhnya kami turunkan al Qur’an dan
kami akan menjaganya” menurut penafsiran ini merupakan otoritas Allah dalam menjaga al
Qur’an dengan menanamkannya dalam dada setiap umat Islam sehingg kecil kemungkinan
terjadi penyelewengan.

Adapun tujuan utama pengumpulan al Qur’an itu ada dua bentuk di antaranya:

1.    Pada masa khalifah Abu Bakar terjadi pergolakan politik dan agama sehingga muncul
gerakan syahid untuk menumpas orang-orang yang murtad serta orang-orang yang enggan
membayar zakat. Pergolakan tersebut banyak menyebabkan syahidnya sahabat-sahabat di
medan pertempuran, kekhawatiran timbul dari Umar bin Khathab akan banyaknya para
penghafal al Qur’an yang syahid sedangkan al Qur’an dalam wujud nyata masih ditulis di
berbagai wadah yang tidak terkonsentrasi pada satu tempat. Kondisi seperti ini mendorong
kodifikasi al Qur’an dengan tujuan teradapat dalam satu kumpulan mushhaf yang sudah
ditarjih oleh para pengahafal al Qur’an serta diyakini oleh semua penulis al Qur’an yang
masyhur tersebut.

2.    Pada masa khalifah Usman bin Affan tujuan penyatuan al Qur’an berbeda alasannya
dengan apa yang dilkukan Abu Bakar, pada masa khalifah ketiga Islam sudah bekembang
pesat dan tersebar keberbagai tempat yang tidak hanya berpusat pada jazirah Arab saja
namun juga sudah menyebar keberbagai daerah, sedanglkan pada awalnya al Qur’an tersebut

7
diturunkan dalam tujuh bahasa resmi bangsa Arab. Bahasa-bahasa tersebut digunakan oleh
seluruh masyarakat Islam sehingga ketiaka bertemu masyarakat antar daerah timbul
perselishan antara satu dengan yang lain dan saling menyelahkan antara satu dengan yang
lain, sebaga contoh mushaf yang dicatat zaid bin Tsabit berbeda dengan bacaan yang dibuat
Ibnu Mas’ud, namun secara makna tidak berbeda hanya dalam bacaan saja yang berbeda.
Maka dari permasalaha  ini timbul inisiatif untuk menjadikannya dalam satu bahasa yang
dikenal dengan “Rasm Usamni” kemudian kitab ini di perbanyak menjadi lima buah.

A.  Hikmah Jam’ul Qur’an pada masa Khulafa al Rasyidin

Perjuangan para sahabat dari masa Khulafa al Rasyidin hingga sekarang sangat berati
sekali dalam pengembangan al Qur’an tanpa da usaha dan peranserta meraka maka al Qur’an
yang kita dapati saat ini belum tentu terbukukan dengan baik yang berujung seperti
hancurnya orang-orang  Yahudi dan Nasrani ketika mendapati Zabur dan Injil sebagai
kitabnya, isi dan maknanya sudah berubah yang dibuat dengan sengaja oleh orang-orang
sesudah nabi Musa a.s. dan Nabi Isa a.s.

Adapun hikmah yang dapat kita ambil dari hasil kodifikasi yang sudah dilakukan oleh
sahabat-sahabat Radiallahu Anhum ini antara lain:

1. Ijmak merupakan dasar ketiga dari istinbat hukum sebaba dapat kita lihgat ketika Abu
Bakar tidak langsung menolak atau menyuruk Zaid bin Tsabit untuk mengkodifikasikan al
Qur’an.

2. Dalam menetapkan kebenaran dan memutusan sesuatu perlu dilakukan ijtihad yang
mendalam serta dibutuhkan saksi yang dapat dipercaya kebenarannya, seperti Zaid dalam
mencara akhir surat Attaubah yang didapatnya dari abu Hazaifah yang memiliki hafalan yang
kuat.

3. Dengan prakarsa Umar bin Khaththab tersebut al Qur’an dapat di kumpulkan dari yang
semula berserakan dipenjuru kota Mekkah dan Medinah hingga dalam satu Mushaf, tanpa
ada upaya yang dilakukan pada zaman Abu Bakar tersebut belum tentu al Quran terbukukan
hingga sekarang.

4. Upaya yang dilakukan Kalifah Usman bin Affan membuahkan hasil persatuan umat Islam,
kalu tidak bisa jadi antara satu daerah dengan daerah lain berbeda bacaannya sehingga akan
terpecah oleh karena berbeda pemahan bahkan akan berakibat  pada istinbat hukum.

8
5. Suatu perbuatan jadid diperboleh malahan dianjurkan selagi bertujuan demi kemaslahatan
umat bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok semata.

F. Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Setelah Khulafa al Rasyidin.


Pada masa ini, Al-Qur’an mulai dalam tahap penyempurnaan dalam penulisannya.
Mushaf yang ditulis pada masa ‘Utsman bin ‘Affan tidak memiliki harakat dan tanda titik
sehingga dapat dibaca dengan salah satu qira’at yang tujuh. Setelah banyak orang non-Arab
memeluk Islam, mereka merasa kesulitan membaca mushaf yang tidak berharakat dan bertitik
itu. Pada masa khalifah ‘Abd Al-Malik (685-705), ketidak memadainya mushaf ini telah
dimaklumi para sarjana muslim terkemuka saat itu dan pada karena itu pula penyempurnaan
mulai segera dilakukan.

Upaya penyempurnaan itu tidak berlangsung sekaligus, tetapi bertahap dan dilakukan
oleh setiap generasi sampai abad III H (atau akhir abad IX M.).

 Usaha Lanjutan dalam Penyempurnaan Mushaf Usmani

Tulis menulis dalam kalangan orang Arab Jahiliyah amat sedikit.Yang pertama
belajar menulis di antara orang Arab ialah Basyr ibn Abdul Malik, ia belajar kepada orang
Al-Anabar.Tulisan orang Al-Anabar ketika itu diperbaiki (disempurnakan) karena tulisan itu
tidak berbaris dan bertitik.

Islam terus menerus berkembang baik wilayah maupun pemeluknya. Banyak orang
non Arab yang telah masuk islam, maka dari itu benturan-benturan kultural antara
masyarakat Arab dengan orang-orang ‘ajam (non-Arab) tidak dapat dielakan. Sebab,
dikalangan masyarakat Islam terutama orang non Arab sering terjadi kesalahan dalam
melafalkan ayat-ayat Al-Quran.Dengan adanya masalah seperti itu maka timbulah usaha
untuk memberikan pungtuasi (tanda-tanda baca) dikalangan para ulama ketika itu.

Dalam hal ini ada beberapa pendapat tentang siapa ulama yang pertama kali berupaya
untuk melakukannya :

1. Abu Amr al-Daniy dalam hal ini mengemukakan bahwa, tidak mustahil apabila penulisan
titik (sebagai tanda baca) dimulai oleh para sahabat Nabi.

9
2. Banyak juga ulama yang berpendapat bahwa orang yang pertama melakukan hal itu adalah
Abu al-Awad al-Du’ali, dialah sebagai ulama ahli pertama dalam bidang kaidah bahasa Arab
atas perintah khalifah Ali bin Abi Thalib. Menurut suatu riwayat mengatakan bahwa Abu al-
3Aswad al-Du’ali pernah mendengar seseorang di Basrah membaca ayat Al-Quran dengan
cara yang salah, sehingga merubah semua pengertian dan maksud yang terkandung dalam
ayat yang dibaca itu. Kesalahan orang tersebut disebabkan karena tidak adanya tanda baca
yang menunjukan bagaimana seharusnya ayat tersebut dibaca.

Sejak kejadian itulah Abu al-Aswad al-Du’ali mulai melakukan pekerjaannya, dan
hasilnya sampai kepada pembuatan tanda fathahberupa satu titik diatas huruf,
tanda kasrah satu titik dibawah huruf, dan tanda dhomah berupa tanda titik disamping huruf,
dan tanda sukun berupa dua titik

Dapat disimpulkan yaitu diantara nama-nama diatasyang terlebih dahulu meletakan


titik dan harakat atau tanda baca lainnya, bahwasanya mereka semua itu telah ikut andil
dalam upaya menutup kemungkinan terjadinya kekeliruan didalam membaca Al-Quran,
sekaligus memperbagus dan memperindah rasm Al-Quran. Karena itu suatu hal yang kurang
logis dan kurang rasional kalau dikatakan hanya Abu al-Aswad al-Du’ali saja tanpa yang lain.
Sedangkan Abu al-Aswad sendiri hanyalah merupakan sebuah mata rantai pertama dalam
proses penyempurnaan rasm ‘Utsmanymenuju kemudahan dalam membaca Al-Quran yang
benar.

10
11
BAB III
PENUTUP

Berdasarkan pemaparan diatas, saya menarik kesimpulan sebagai berikut:


1.  Jam’ul Qur’an adalah  proses penyampaian, pencatatan, pengumpulan catatan dan kodifikasi
hingga menjadi mushaf al-Qur’an.
2.  Bahwa pengumpulan al-Qur’an terjadi pada tiga masa, dimana masing-masing dilatar
belakangi oleh peristiwa yang berbeda yaitu:

a. Latar belakang pengumpulan al-Qur’an dimasa Rasulullah saw adalah untuk menjaga
kesempurnaan al-Qur’an selama proses diturunkannya.
b. Di masa kekhalifahan Abu Bakar dilatar belakangi oleh peristiwa perang Yamamah
dimana para sahabat huffadz banyak yang syahid dalam peperangan tersebut.
c. Pada masa kekhalifan Utsman, pada masa ini terjadi perselisihan terhadap perbedaan
bacaan dikalangan umat yang berujung pada saling menyalahkan bahkan muncul pertikaian.
Olehnya itu Utsman kemudian berinisiatif untuk mengumpulkan al-Qur’an menjadi satu
mushaf yang menjadi pegangan bersama oleh semua umat islam pada masa itu.
d. Pada masa Khulafa al Rasyidin sangat berarti sekali dalam pengembangan al Qur’an tanpa
ada usaha dan peran serta mereka maka al Qur’an yang kita dapati saat ini belum tentu
terbukukan dengan baik yang berujung seperti hancurnya orang-orang  Yahudi dan Nasrani
ketika mendapati Zabur dan Injil sebagai kitabnya, isi dan maknanya sudah berubah yang
dibuat dengan sengaja oleh orang-orang sesudah nabi Musa a.s. dan Nabi Isa a.s.

12
13
DAFTAR PUSTAKA

Adnan Amal, Taufik, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, Cet. I, Yogjakarta: Forum kajian Budaya dan
Agama, 2001
Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta:PT.Bumi Restu,1977
Ma’rifat,  Muhammad Hadi,  Sejarah Al-Qur’an, terj.Thoha Musawa.Cet. II, Jakarta: Al-Huda, 2007
Mihsan, Muhammad Salim, Tarikh al-Qur’an, Iskandariah: Muassasah al-Syabab al-Jamiah, t,th.
Al-Munawwir, Ahmad Warsan, al-Munawwir Kamus Arab Indonesia,  Cet. XIV; Surabaya: Pustaka
Progres, 1997
Al-Qattan,  Manna’, Mabahis fi Ulum Al-Qur’an, t.t Mansyuriah al Haditsah,1973
Shihab, Quraish, et al., Sejarah dan Ulumul Qur’an, Cet. I, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999
Shihab, Quraish Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan, Cet.IX;Bandung:
Mizan,1995
Ash-Shabuny, Ali Muhammad, Studi Ilmu al-Qur’an, terj. Aminuddin. Cet. I, Bandung: Pustaka Setia,
1999
Ash Shiddieqy, Hasybi Sejarah dan Pengantar Ilmu al Qur’an/Tafsir,Cet. VIII; Jakarta: Bula
Bintang,1980
Watt, W. Wontgomery, Bell’s Introduction to the Qur’an, diterjemahkan oleh Taufik Adnan Amal
dengan judul, Pengantar Studi al-Qur’an, Cet.II; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995
Al-Zarkasyi, Badr al-Din Muhammad ibn Abdullah, al-Burhan Fii Ulum al-Qur’an, Kairo:al-Babi
Halabi, 1957
Al- Zarqani, Muhammad Abd al-Adzim, Manahal al-Irfan fi Ulumu al-Qur’an, Juz I, t.t:Dar al-
Fikr, 1996.

14

Anda mungkin juga menyukai