Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH PERIWAYATAN HADITS MASA

KHULAFAURRASYIDIN

MAKALAH
diajukan untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Ulumul Hadist
yang dibina oleh Didi Mashudi, Dr.M.ag

Disusun oleh:

1. Pratama Zulkarnaen NIM. 1193030079


2. Muhamad Baqti Nur Firdaus NIM. 1193030059
3. Rai Didin Islamudin NIM. 1193030082
4. Rizky Saputra Sulaeman NIM. 1193030085
5. Sailan Holilul Azfa NIM. 1193030086
6. Silmi Syafira Somawan NIM. 1193030090

HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARI’AH DAH HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
TAHUN AJARAN 2019 / 2020
Daftar Isi
BAB I......................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.....................................................................................................................................1
A.    Latar Belakang............................................................................................................................1
B.     Rumusan Masalah.....................................................................................................................1
BAB II.....................................................................................................................................................2
PEMBAHASAN.......................................................................................................................................2
A.    Periwayatan Hadits Masa Khulafa’ Arrasyidin ( 11 H – 40 H )...................................................2
1.      Abu Bakar Ash-Shiddiq (11 H-13 H).......................................................................................2
2.      Umar bin al-Khattab (13 H-29 H)...........................................................................................3
3.      Utsman bin ‘Affan (25 H-35 H)..............................................................................................4
4.      Ali bin Abi Thalib (35 H-40 H)................................................................................................5
B.     Metode Sahabat dalam meriwayatkan Hadits.........................................................................6
1.      Periwayatan Lafzhi................................................................................................................6
2.      Periwayatan Ma’nawi............................................................................................................6
BAB III....................................................................................................................................................8
PENUTUP...............................................................................................................................................8
A.    Kesimpulan................................................................................................................................8
B.     Saran..........................................................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................................9

i
BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Hadis merupakan sumber sunnah Nabi SAW yang menjadi rujukan kedua dalam kajian
hukum Islam setelah al-Qur’an al-Karim. Oleh karena itu, kedudukan hadis sangat signifikan
dan urgen dalam Islam. Hanya saja urgensi dan signifikansi hadis tidak mempunyai makna,
manakala eksistensinya tidak didukung oleh uji kualifikasi histories yang memadai dalam
proses transmisinya (periwayatan). Dengan demikian, sebelum hadis itu menjadi sunnah
yang merupakan sumber dan landasan suatu istinbat hukum, maka uji kualifikasi histories
untuk menentukan otentik tidaknya hadis tersebut merupakan hal yang niscaya
dilakukanHadis merupakan sumber sunnah Nabi SAW yang menjadi rujukan kedua dalam
kajian hukum Islam setelah al-Qur’an al-Karim. Oleh karena itu, kedudukan hadis sangat
signifikan dan urgen dalam Islam. Hanya saja urgensi dan signifikansi hadis tidak mempunyai
makna, manakala eksistensinya tidak didukung oleh uji kualifikasi histories yang memadai
dalam proses transmisinya (periwayatan). Dengan demikian, sebelum hadis itu menjadi
sunnah yang merupakan sumber dan landasan suatu istinbat hukum, maka uji kualifikasi
histories untuk menentukan otentik tidaknya hadis tersebut merupakan hal yang niscaya
dilakukan.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana periwayatan hadits pada masa Khulafaur Rasyidin ?
2.      Bagaimana sikap mereka dalam meriwayatkan hadits ?
3.      Bagaimana cara sahabat  meriwayatkan hadits ?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A.    Periwayatan Hadits Masa Khulafa’ Arrasyidin ( 11 H – 40 H )


Pada masa menjelang akhir kerasulannya, Nabi SAW. berpesan kepada para sahabat
dan Kepada para umatnya, beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar pedoman
hidup, yaitu Al-Qur’an dan Hadits (Sunnah).yang harus dipegangi dalam aspek kehidupan
umat.

Sebagaimana sabdanya :

( ‫ر‬ ‫واه‬ ‫مالك‬ ) ‫تركت‬  ‫فيكم‬  ‫امرين‬ ‫لن‬ ‫تضلوا‬ ‫ما‬ D‫تمسكتم‬ ‫بهما‬ ‫كتاب‬ ‫هللا‬ ‫وسنة‬ ‫نبيه‬
“Telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan sesat setelah
berpegang kepada keduanya, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnahku (Al-Hadits).” (HR.
Malik)

Dan sabdanya pula :


 ( ‫رواه‬ D‫البخاري‬ ) ‫بلغوا‬ ‫عني‬ ‫ولو‬ ‫آية‬   
   “sampaikanlah dariku walau satu ayat”

Pesan-pesan Rasulullah sangat mendalam pengaruhnya kepada para sahabat, sehingga


segala perhatian yang tercurah semata-mata untuk melaksanakan dan memelihara pesan-
pesannya, kecintaan mereka kepada rasulullah dibuktikan dengan melaksanakan segala
yang dicontohkan nya. Kemudian setelah Nabi wafat, kepemimpinan umat islam berada di
tangan sahabat Nabi. Sahabat Nabi yang pertama menerima kepemimpinan itu adalah Abu
Bakar al-Shiddiq, kemudian disusul oleh Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi
Thalib. Keempat kalifah ini dalam sejarah dikenal dengan sebutan Khulafa’ Al- Rasyidin. Dan
periodenya biasa disebut dengan zaman sahabat besar.
Periode Khulafa’ Al- Rasyidin ini dikenal dengan masa pembatasan dan memperketat
periwayatan hadits (‘Ashr At-Tatsabbut wa Al-Iqlal min Al-Riwayah).[2] Pada masa ini
ditandai dengan sikap kehati-hatian para sahabat dengan berusaha untuk membatasi segala
periwayatan yang berkenaan dengan hadits.

1.      Abu Bakar Ash-Shiddiq (11 H-13 H)

2
Khalifah Abu Bakar (w.13 H) mengkonfirmasikan keakuratan suatu hadits dengan
menggunakan metode syahadah (kesaksian). Menurut Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi
(w. 748 H) Abu Bakar merupakan sahabat pertama yang menunjukkan kehati-hatiannya
dalam meriwayatkan suatu hadits. Beliau mengharuskan adanya saksi jika ada orang yang
meriwayatkan suatu hadits. Pernyataan al-Dzahabi ini didasarkan pada pengalaman Abu
Bakar tatkala menghadapi kasus waris untuk seorang nenek. Suatu ketika, ada seorang
nenek yang menghadap khalifah Abu Bakar, meminta hak waris hak waris harta yang
ditinggalkan cucunya. AbuBakar menjawab, bahwa dia tidak melihat petunjuk al-Qur’an dan
praktek Nabi SAW. yang memberikan bagian harta waris kepada nenek. Abu Bakar lalu
bertanya kepada para sahabat. Al-Mughirah bin Syu’bahmenyatakan kepada Abu Bakar,
bahwa Nabi telah memberikan bagian waris kepada nenek sebesar seperenam bagian. Al-
Mughirah mengaku hadir tatkala Nabi SAW. menetapkan kewarisan nenek itu. Mendengar
pernyataan tersebut, Abu Bakar meminta agar al-Mughirah menghadirkan seorang saksi.
Lalu Muhammad bin Maslamah (w. 47 H) memebarikan kesaksian atas kebenaran
pernyataan al-Mughirah itu. Akhirnya Abu Bakar menetapkan kewarisan nenek dengan
memberikan seperenam bagian berdasakan hadits Nabiyang disampaikan oleh al-Mughirah
tersebut.
Ada beberapa alasan yang menjadi penyebab Abu Bakar hanya sedikit meriwayatkan
hadits meskipun dia seorang sahabat yang lama bergaul dengan Nabi. Bahkan sangat akrab
dengan Nabi mulai semenjak masa sebelum Nabi hijrah ke Madinah. Alasan-alasan tersebut
adalah sebagai berikut:
a.       Karna sifatnya yang sangat hati-hati dalam meriwayatkan hadits.
b.      Dia selalu dalam keadaan sibuk ketika menjabat sebagai khalifah karna ancaman dan
kekacauan yang membahayakan pemimpin umat Islam.
c.       Para sahabat sibuk dalam penghimpunan al-Qur’an.
d.      Kebutuhan terhadap hadits tidak sebanyak pada zaman sesudahnya.
e.       Jarak waktu kewafatannya sangat dekat dengan kewafatan Nabi hanya sekitar tiga
tahun.

2.      Umar bin al-Khattab (13 H-29 H)

Seperti Abu Bakar, Umar pun sangat berhati-hati dalam masalah periwayatan hadits.
Ketika ia , dia menjadi khalifah, dia mengintruksikan kepada para sahabat agar berhati-hati
dalam melakukan periwayatan hadits. Demikian juga, ketika dia mengirim utusan ke Irak, dia
mewasiatkan supaya utusan itu mengajarkan dan menyebarkan al-Qur’an, dan menahan diri
untuk tidak memperbanyak riwayat.

3
Dijelaskan bahwa pernah seorang bertanya kepada Abu Hurairah, apakah ia banyak
meriwayatkan hadits pada masa Umar. Abu Hurairah menjawab, “Sekiranya saya
memperbanyak riwayat, tentulah Umar akan mencambuk saya dengan cambuknya”.
Bukti lain bahwa Umar sangat hati-hati dalam periwayatan hadits terlihat, misalnya
ketika Umar mendengar hadits yang disampaikan oleh Ubay bin Ka’ab. Umar baru bersedia
menerima setelah para sahabat yang lain (diantaranya Abu Dzar) memperkuat bahwa ia
telah pula mendengar hadits Nabi tentang apa yang dikemukakan oleh Ubay tersebut.
Akhirnya Umar berkata kepada Ubay, “Demi Allah, sesungguhnya saya tidak menuduhmu
telah berdusta, saya melakukan demikian karna saya ingin berhati-hati dalam melakukan
periwayatan terhadap hadits Nabi.”
Dari keterangan diatas tampak adanya persamaan antara Umar dan Abu bakar dalam
meneliti kebenaran suatu riwayat, yakni mengharuskan adanya saksi. Kebijaksanaan Umar
melarang para sahabat dalam memperbanyak periwayatan hadits sesungguhnya tidaklah
berarti bahwa Umar sama sekali melarang para sahabat meriwyatkan hadits, tetapi larangan
itu dimaksudkan agar masyarakat lebih berhati-hati dalam periwayatan hadits dan agar
perhatian masyarakat tidak terganggu terhadap al-Qur’an.
Pernyatan ini didasarkan kepada kenyataan sejarah bahwa Umar pernah
merencanakan untuk menghimpun hadits Nabi secara tertulis. Tetapi, tak lama kemudian
beliau mengurungkan rencana tersebut. Diriwayatkan dari ‘Urwah ibn al-Zubair bahwa
Umar bin Khattab hendak menulis hadits, lalu beliau meminta pertimbangan kepada para
sahabat.  Para sahabat mengusulkan untuk tetap menulisnya. Tetapi setelah satu bulan,
Umar memohon petunjuk kepada Allah dengan jalan melakukan shalat Istikharah, akhirnya
dia mengurungkan niatnya itu dan bertekad akan memalingkan perhatiannya kepada al-
Qur’an.
Dengan memperhatikan uraian diatas, dapat di simpulkan bahwa Umar sesungguhnya
berada diantara dua keinginan, disatu sisi, dia ingin mengembangkan periwayatan hadits,
sementara disis lain, dia ingin hadits tetap terpelihara dari kebohongan dan manipulasi. Bagi
Umar, kedua keinginan itu kelihatannya sulit terwujud dalam waktu bersamaan sehingga dia
menetapkan pilihannya untuk memelihara kemurnian hadits dengan memperketet kegiatan
periwayatan.

3.      Utsman bin ‘Affan (25 H-35 H)

Sebagaimana halnya Abu Bakar dan Umar, Utsman ibn Affan juga sangat teliti dan hati-
hati dalam menerima hadits. Ia pernah mengatakan dalam suatu khotbahnya, agar para
sahabat tidak banyak meriwayatkan hadits yang mereka tidak pernah mendengarnya di
masa Abu Bakar dan Umar.

4
Usman, memang tidak banyak meriwayatkan hadits, Ahmad bin Hambal meriwayatkan
hadits nabi yang berasal dari Utsman sekitar empat puluh hadits saja, itu pun banyak matan
hadits yang terulang, karna perbedaan sanad. Dengan demikian, jumlah hadits yang
diriwayatkan oleh Utsman tidak sebanyak jumlah hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin
Khattab.
Namun, pada zaman Utsman ini, kegiatan umat islam dalam periwayatan hadits lebih
banyak jika dibandingkan pada zaman Umar bin Khattab. Hal ini terjadi karena secara
pribadi, Utsman tidak sekeras Umar, juga karna wilayah islam telah meluas sehingga para
sahabat banyak yang berpencar keberbagai wilayah-wilayah diluar jazirah Arab, yang
mengakibatkan bertambahnya kesulitan untuk mengendalikan kegiatan periwayatan hadits
secara ketat.

4.      Ali bin Abi Thalib (35 H-40 H)

Khalifah Ali bin Abi Thalib pun tidak jauh berbeda dengan para khalifah pendahulu nya
dalam periwayatan hadits. Ali baru bersedia menerima riwayat hadits Nabi setelah
periwayat hadits yang bersangkutan mengucapkan sumpah, bahwa hadits yang disampaikan
itu benar-benar berasal dari Nabi. Hanya terhadap periwayat yang benar-benar
dipercayainya lah, Ali tidak meminta periwayat hadits untuk bersumpah, misalnya ketika
beliau menerima riwayat Abu Bakr al-Shiddiq. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
fungsi sumpah dalam periwayatan hadits bagi Ali bukanlah merupakan syarat mutlak bagi
keabsahan periwayatan hadits. Sumpah dianggaptidak perlu apabila orang yang yang
menyampaikannya benar-benar yakin bahwa ia tidak mungkin keliru.
Ali bin abi Thalib sendiri cukup banyak meriwayatkan hadits Nabi SAW. Hadits yang
diriwayatkan, selain dalam bentuk lisan, juga dalam bentuk tulisan (catatan). Hadits yang
berupa catatan isinya berkisar tentang ; Pertama, Hukuman Denda; Kedua, pembebasan
orang islam yang ditawan oleh orang kafir; Ketiga, larangan melakukan hukum qishas
terhadap orang islam yang membunuh orang kafir.
Dilihat dari kebijaksanaan dan kehati-hatian dalan  kegiatan periwayat hadits, masa
khalifah Ali bin Abi Thalib sama dengan masa sebelumnya. Akan tetapi situasi umat islam
pada masa Ali telah berbeda dengan situasi sebelumnya. Pada masa Ali, pertentangan
politik dikalangan umat islam semakin meluas, peperangan antar kelompok pendukung Ali
dengan pendukung Muawiyah sering terjadi. Hal ini membawa dampak negative dalam
bidang kegiatan periwayatan hadits, yakni timbulnya pemalsuan-pemalsuan hadits.
Adapun perbandingan jumlah hadits yang diriwayatkan oleh masing-masing khalifah
adalah sebaga berikut:
a.       Abu Bakar al-Shiddiq meriwayatkan 142 hadits.
b.      Umar bin Khattab meriwayatkan 537 hadits.

5
c.       Utsman bin Affan meriwayatkan 146 hadits.
d.      Ali bin Abi Thalib meriwayatkan 586 hadits.
 Dengan demikian, keseluruhan hadits yang diriwayatkan oleh Khulafaur Rasyidin
berjumlah 1141 hadits. Jika dibandingkan dengan jumlah hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah yang berjumlah 5374 hadits, maka hadits riwayat Khulafaur Rasyidin, terlihat
sangat sedikit, yaitu sebesar 27%.

B.     Metode Sahabat dalam meriwayatkan Hadits


Pembatasan atau penyederhanaan periwayatan hadits, yang ditunjukkan oleh para
sahabat dengan sikap kehati-hatiannya tidak berarti hadits Rasul tidak diriwayatkan,
khususnya yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari seperti permasalahan Ibadah dan
Muamalah. Oleh karna itu, ada dua jalan sahabat dalam meriwayatkan hadits dari rasul
SAW. pertama dengan jalan periwayatan lafzhi (redaksinya persis seperti yang disampaikan
Rasul SAW), dan kedua, dengan jalan periwayatan maknawi (maknanya saja).

1.      Periwayatan Lafzhi

Seperti telah dikatakan, bahwa periwayatan lafzhi, adalah periwayatan hadits yang
redaksinya atau matannya persis seperti yang di wurudkan Nabi SAW. Ini hanya bisa
dilakukan apabila mereka hafal benar yang di sabdakan Rasulullah. Kebanyakan sahabat
menempuh periwayatan hadits melalui jalan ini. Mereka berusaha agar periwayatan hadits
sesuai dengan redaksi dari Rasulullah bukan menurut redaksi mereka. Bahkan menurut Ajjaj
al-Khatib, sebenarnya seluruh sahabat menginginkan agar periwayatan itu dengan Lafzhi,
bukan dengan Ma’nawi.[13] Sebagian dari mereka melarang secara ketat meriwayatkan
hadits dengan maknanya saja,hingga satu kata atau satu huruf pun tak boleh diganti. Begitu
pula tidak boleh mendahulukan susunan katayang disebut Rasul dibelakang atau sebaliknya,
atau meringankan bacaan yang tadinya tsiqal (berat) dan sebaliknya. Dalam hal ini Umar bin
Khattab pernah berkata: “Barang siapa yang mendengar hadits dari Rasul, kemudian ia
meriwayatkannya sesuai dengan yang ia dengar, maka orang itu selamat.
Diantara para sahabat yang paling keras mengharuskan periwayatan hadits dengan
lafzhi adalah Umar. Ia seringkali menegur sahabat yang membacakan hadits yang berbeda
(walau satu kata) dengan yang pernah didengarnya dari Rasul. SAW, seperti yang yang
dilakukannya terhadap Ubaid bin Amir. Suatu ketika seorang sahabat menyebutkan hadits
tentang lima prinsip dasar islam dengan meletakkan puasa ramadhan pada urutan ketiga.
Ibn Umar serentak menyuruh agar meletakkannya pada urutan keempat, sebagaimana yang
didengarnya dari Rasulullah SAW.

6
2.      Periwayatan Ma’nawi

Diantara para sahabat lainnya ada yang berpendapat, bahwa dalam keadaan darurat,
karna tidak hafal persis seperti yang diwurudkan oleh Rasulullah, boleh meriwayatkan hadits
secara maknawi. Periwayatan maknawi artinya periwayatan hadits yang matannya tidak
persis sama dengan yang didengarnya dari Rasulullah, akan tetapi isinya atau maknanya
tetap sama atau terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasulullah.
Tanpa ada perubahan sedikitpun.
Meskipun demikian, para sahabat melakukannya dengan sangat hati-hati. Ibnu Mas’ud
misalnya, ketika ia meriwayatkan hadits ada istilah-istilah tertentu yang di gunakannya
untuk memperkuat panukilannya, seperti dengan kata: qala rasulullahi hakadza (rasulullah
telah bersabda begini), atau nahwan, atau qala rasulullah qariban min hadza.
Periwayatan hadits dengan maknawi akan mengakibatkan munculnya hadits-hadits
yang redaksinya antara satu hadits dengan hadits lainnya berbeda-beda, meskipun maksud
atau maknanya sama. Hal ini sangat tergantung kepada para sahabat atau generasi
berikutnya yang meriwayatkan hadits tersebut.
Karakteristik yang menonjol pada era sahabat ini adalah, bahwa para sahabat memiliki
komitmen yang kuat terhadap kitab Allah. Mereka memeliharanya dalam lembaran mushaf,
dan dalam hati mereka. Kehati-hatiannya terhadap kitab ini juga diberlakukan terhadap
sunnah meskipun di satu sisi ada larangan dari Nabi untuk menuliskannya. Meskipun
demikian mereka berupaya mempertahankan keotentikan kedua-duanya. Setelah Al-Kitab
ini terkumpul dalam satu suhuf, mereka baru berani menuliskan Sunnah Nabi SAW.

7
BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapatlah kami simpulkan bahwa Periwayatan hadits masa
Khulafaur Rasyidin tersebar secara terbatas dan penulisan hadits pun masih belum
dilakukan secara resmi. Dan bahkan pada masa itu, Umar melarang para sahabat untuk
memperbanyak meriwayatkan hadits, dan sebaliknya, Umar menekankan agar para sahabat
mengerahkan perhatiannya untuk menyebarluaskan Al-Qur’an.
Pada masa ini para khalifah menunjukkan kehati-hatiannya dalam periwayatan hadits,
Karakteristik yang menonjol pada era sahabat ini adalah, bahwa para sahabat memiliki
komitmen yang kuat terhadap kitab Allah. Mereka memeliharanya dalam lembaran mushaf,
dan dalam hati mereka. Kehati-hatiannya terhadap kitab ini juga diberlakukan terhadap
sunnah meskipun di satu sisi ada larangan dari Nabi untuk menuliskannya. Meskipun
demikian mereka berupaya mempertahankan keotentikan kedua-duanya. Setelah Al-Kitab
ini terkumpul dalam satu suhuf, mereka baru berani menuliskan Sunnah Nabi SAW.
Adapun dalam periwayatan, para sahabat mempunyai dua jalan, yaitu:
1.   Dengan lafaz asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi, yang mereka hafal
benar lafaz dari Nabi. SAW.
2.   Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya karena tidak hafal lafazh
yang asli dari Nabi SAW.

B.     Saran
Demikianlah makalah Ulumul Hadits yang membahas tentang “Periwayatan Hadits
Masa Khalifah” ini, semoga dapat jadikan informasi untuk kita semua. Pemakalah menyadari
masih banyak kekurangan dalm makalah ini baik dari segi penulisan maupun isinya, oleh
karena itu kami harapkan saran dan kritikan dari teman-teman maupun dosen pengampu
yang bersifat membangun untuk lebik baik dimasa yang akan datang.   

8
DAFTAR PUSTAKA

Barmawie Umarie. Status hadits sebagai Dasar Tasjri. (Solo: AB. Siti Sjamsijah. 1965) . hlm
13.
M. Hasby As-Shidieqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits (Jakarta: Bulan Bintang  1987),
hlm. 17-18
Muhammad Ajjaj al-Khatib. Ushul al-Hadits Ulumuhu wa Mustalahuhu (Beirut: Dar al-Fikr,
1989) hlm. 85
Zikri Darussamin. Ilmu Hadits (Pekanbaru: Suska Press. 2010) hlm.44
Noor Sulaiman. Antologi Ilmu Hadits. (Jakarta: GP Press). hlm. 64-66
Ajjaj al-Khattib, Al-sunnah Qabla al-Tadwin, (Beirut: Dar al-Fikr, 1414 H) hlm. 97
M. Syuhudi Ismail. Kaidah Kesahihan Sanad Hadits, hlm. 44
Noor Sulaiman. Op.cit, hlm. 66
Ibid, hlm. 67
Zikri Darussamin. Op.cit, hlm. 48
Noor Sulaiman. Op.cit, hlm. 67
Budi Munawar Rahman, Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, hlm. 263
Munzier Suparta. Ilmu Hadits, (Jakarta: Rajawali Press. 2008).  hlm. 83
Al-Ramaharmuzi, Al-Muhaddits Al-Fashil baina Al-Rawi wa Al-Wa’i. (Beirut: Dar Al-Fikr
1984).  hlm. 127
Munzier Suparta. Op.cit. hlm. 83-84
Ajjaj al-Khattib. Op.cit. hlm. 130
Munzier Suparta. Op.cit. hlm. 84-85

Anda mungkin juga menyukai