Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH

MAQASHID SYARIAH MENURUT PERSPEKTIF YUSUF AL QARDAWI

Di Susun Oleh;
Abd Rahman Hidayat
Musaddiq Al Hadid
Muh Zulkifly

Dosen Pengampu
Abd Razik, S,Sy., MH.

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAM ISLAM
STAI AL AZHAR GOWA
2019
Maqashid syariah menurut perspektif Yusuf Al Qardawi

Maqashid syar’i adalah tujuan umum dari berbagai hukum dalam syari’ah. Menurut Ibnu
Qoyim bahwa tujuan utama diturunkannya hukum syar’i adalah demi kemaslahatan manusia
serta menghindari segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesengsaraan (madlorot) bagi
manusia. Namun demikian bukan bearti maslahat di sini berdasarkan penilaian manusia, namun
maslahat dalam pandangan syari’at. Manusia sering terpengaruhi oleh hawa nafsu sehingga
penilaian terhadap suatu mashlahah sangat subyektif. Manusia sering kali mengira bahwa sesuatu
dapat memberikan manfaat bagi dirinya, padahal yang terjadi adalah sebaliknya, dapat
menimbulkan kesengsaraan. Kalaupun dapat memberikan manfaat, madhorotnya lebih besar.
Manusia juga sering mengedepankan kepentingan pribadi dengan mengorbankan kepentingan
umum, atau mencari maslahat yang bersifat temporal dengan mengorbankan maslahat yang
bersifat abadi. Bagaimanapun juga, kondisi psikologis manusia akan berpengaruh terhadap sikap
dan arah pemikirannya. Oleh karena itu, menurut Qardhâwî, maslahat yang sebenarnya adalah
maslahat yang dilandasi dari hukum syar’i.1

Maslahat dalam suatu hukum syar’i dapat diketahui dari zhahir nas yang bersifat sharih
(jelas). Hanya saja, nas tidak mencakup semua tujuan dasar dari ketentuan hukum. Menurutnya,
hanya mereka yang mempunyai pemahaman mendalam mengenai ilmu maqhashid yang dapat
mengetahui kandungan yang tersirat dari nas tersebut. Khusus mengenai fikih ibadah, para ulama
tidak merasa perlu mencari tujuan dasar atas perintah ibadah, karena ibadah berkaitan dengan
interaksi manusia dengan Tuhan. Maka dalam fikih ibadah para ulama meletakkan kaidah fikih

ِ َّ‫دَواْ ِلل ِتزا امَالن‬


َ‫ص‬ ‫صلَُ ِفىَاْل ِع اباداةَالت ً اعًَب ا‬ َْ
ْ ‫الا‬

Artinya: “Landasan hukum dalam beribadah adalah menyembah Allah serta mengikuti apa
yang tertera dalam nas.”

Lain halnya dengan fikih mu’amalah yang memerlukan pemahaman terhadap illah serta
tujuan tasyri’inya. Dalam hal ini para ulama ushul meletakkan kaidah fikih:

1
Dr Yûsuf al Qardhâwî, Assiyâsah Assyar’iyah fî Dhou’i Nushûshi al Ayarî’ati wa Maqashidihâ, Maktabah
Wahbah hal. 101 dan hal 230
‫اصد‬ ‫َِوال ُم اعا ام اَلتَِاْ ِل ْلتِفااتَِاِلاىَاْل ام اعانِ ا‬
ِ َ‫يَواْل امقا‬ ‫صلَُفِىَاْل اعاداات ا‬
ْ ‫األ‬

Artinya:” Prinsip hukum mengenai tradisi dan interaksi dengan manusia adalah melihat maksud
dan tujuan”.2

Maslahat dikelompokkan ke dalam tiga tingkatan:

1. Dharûriyât (kebutuhan primer)


2. Hâjiyât (kebutuhan sekunder)
3. Tahsîniyât (kebutuhan eksekutif)

Dharûriyat adalah segala sesuatu yang dibutuhkan manusia, dan jika hal itu hilang dari
manusia akan menimbulkan ketimpangan dan kekacauan dalam masyarakat sehingga manusia
akan sengsara baik di dunia maupun di akhirat.3 Para ulama klasik mengelompokkan dhorûriyât
ke dalam lima tingkatan:4

1. Hifdz al-din (menjaga agama)


2. Hifdz al-nafs (menjaga jiwa)
3. Hifdz al-aql (menjaga akal)
4. Hifdz al-nasl (menjaga keturunan)
5. Hifdz al-mâl (menjaga harta)

Imam Ibnu Asyur menambahkan “al-hurriyah” (kebebasan), sementara Muhammad al-


Ghazali menambahkan “al ‘adâlah” (keadilan) wa’l masâwah (kesetaraan).5 Qaradawi juga
menyerukan rekonstruksi ilmu maqashid baik dalam tataran metodologi ataupun materi.6 Contoh
dharûriyât adalah kewajiban melaksanakan shalat, memerangi para penyebar bid’ah dan lain
sebaginya demi menjaga eksistensi agama, ketentuan hukuman qishas bagi pembunuh demi
menjaga keselamatan jiwa, kewajiban memotong tangan pencuri demi menjaga keselamatan

2
Ibid. hal 272-273
3
Dr. Abdul Karîm Zaidân, al Wajîz Fî ushûli’l Fikihi. Mu’assasah al Risâlah hal 378
4
Op. cit. hal. 87
5
Bin Zaghîbah Izzudin, al maqashid al Ammah li al Syarî’ah al Islâmiyah. Dâru al shofwah hal. 166
6
Dr Yûsuf al Qardhâwî, Taisîru’l Fikihi Lilmuslimi’l Ma’âshir Fi Dhou’i’l Qur’ân Wassunnah. Maktabah
Wahbah hal 42
harta, dilarang meminum khamer karena dapat merusak akal, dan dilarang berzina karena dapat
merusak keturunan, dan demikian seterusnya.7

Dhorûriyât yang merupakan kebutuhan primer bagi umat manusia tidak hanya terdapat
dalam ajaran Islam, namun juga agama samawi lainnya. Karena memang berkaitan erat dengan
keselamatan dan keamanan manusia. Maka Islam sebagai agama samawi terakhir sangat
memperhatian dan memberikan prioritas pada masalah ini.8

Kaidah dasar dalam ilmu ushul, termasuk juga kaidah fikih sebenarnya muncul dari
pemahaman ulama atas maqashid ‘ammah (tujuan global) dalam syari’at. Kaidah ushul dan
kaidah fikih merupakan landasan teoritis bagi para mujtahidin dalam melakukan penggalian
hukum. Qaradawi sebagai salah seorang mujtahid, dalam penggalian hukum syar’i tidak pernah
lepas dari kaidah dasar tersebut, sebagaimana dapat kita lihat jelas dari berbagai karyanya.

Demi menjaga eksitensi lima hal di atas, para ulama meletakkan berebapa kaidah fikih,
diantaranya adalah “al dhorûrot tubîhu al mahdhûrot, al dlorûrot tuqaddaru bi qadrihâ, idzâ
dhoqot ittasa’at” dll. Maka sesuatu hal yang sebenarnya diharamkan syari’at jika memang
kondisi mendesak dan merupakan satu-satunya jalan untuk menyelamatkan jiwa, seperti makan
daging babi di tengah padang pasir, hukumnya menjadi wajib.

Dalam banyak bukunya, Qaradawi memberikan perhatian lebih terhadap maqashid


‘ammah (tujuan global) dalam syari’at serta selalu mengaitkan nas-nas al juz’iyah, yaitu nas
yang sudah menjelaskan secara rinci mengenai suatu hukum, dalam ruang lingkup nusus
maqasid syar’i al kuliyât, yaitu nas yang hanya memberikan rincian global.9

Menurutnya, memahami ilmu maqashid bagi seorang musjtahid, adalah suatu keharusan.
Namun demikian ilmu maqashid belum mendapatkan kajian secara serius. Qaradawi dalam
berbagai karyanya selalu mengingatakan pentingnya pendalaman ilmu ini serta selalu
menghimbau para tokoh cendekia agar memposisikan ilmu maqashid sebagaimana mestinya.

7
Dr Yûsuf al Qardhâwî, Assiyâsah Assyar’iyah fî Dhou’i Nushûshi al Ayarî’ati wa Maqashidihâ, Maktabah
Wahbah hal 87
8
Ibid. hal 88

9
Dr Yûsuf al Qardhâwî, Taisîru’l Fikihi Lilmuslimi’l Ma’âshir Fi Dhou’i’l Qur’ân Wassunnah. Maktabah
Wahbah hal 90
Karena menurutnya, pemahaman yang salah terhadap ilmu maqashid akan berdampak pada
pemberian fatwa yang salah juga.10

Qaradawi membagi pemahaman para ulama terhadap nas

menjadi tiga aliran;

1. Kaum literalis. Mereka yang memahami nas secara literal tanpa melihat lebih jauh tujuan
dasar diturunkannya hukum syari’i. Qaradawi menamakan aliran ini dengan istilah neo
Zahiriyyah (dhahîriyatu’l judud). Mereka seperti penganut mazhab dhahîrî klasik yang
menolak ‘illah dalam hukum syariat serta enggan untuk mengaitkan hukum dengan ilmu
maqashid. Bagi Qardawi, pamahaman tekstualitas seperti ini dapat berakibat pada
kebekuan pemikiran umat Islam.
2. Kaum liberalis. Kebaliakan dari aliran pertama, yaitu mereka yang mengklaim dirinya
sebagai orang yang salalu memahami nas sesuai dengan ilmu maqashid. Jargon yang
sering mereka dengungkan adalah bahwa yang terpenting dalam urusan agama adalah
pemahaman substansi dari teks dan bukan teks redaksi dari nas. Mereka tidak
membedakan antara dalil qath’i dan dzanni. Bahkan mereka cenderung menafsirkan nas
sesuai dengan kepentingan mereka. Jika mereka menghadapi nas sharih, sementara
bertentangan dengan arah pemikiran mereka, maka nas tersebut akan ditakwil. Akibatnya
adalah pemahaman yang salah dan terkesan ngawur terhadap tek-teks al-Qur’ân maupun
Sunnah. Ironisnya mereka mengklaim dirinya sebagai kaum reformis. Corak pemikiran
mereka menjadi sangat liberal.
3. Moderat. Mereka adalah aliran yang memahami nas secara moderat, tidak literal namun
juga tidak liberal. Mereka memahami nas juz’î sesuai dengan maqashid kulî,
mengembalikan permasalahan furu’iyah ke dalam nas kuliyah, selalu berpegang kepada
nas qoth’i tsubut dan dalâlah, menghindari nas mutasyabbihât dan kembali kepada nas
muhkamât. Qaradawi sendiri mengklaim dirinya sebagai pengikut aliran ini. Menurutnya,
aliran inilah yang paling mampu mengekspresikan hakikat Islam serta dapat
menyelamatkan ajaran Islam dari perubahan dan penyelewengan yang dilancarkan musuh
Islam.

10
Ibid. hal 92-93
Aliran pertama, yaitu mereka yang terlalu literal, menurut Qaradawi banyak merugikan
dakwah Islam dan menghalangi penerapan syari’ah Islam. Di samping itu, pemahaman literal
dapat merusak citra Islam dari pandangan kaum pemikir kontemporer karena terkesan bahwa
Islam adalah agama jumud dan tidak dapat berkembang sesuai dengan tempat dan waktu.

Pemahaman tekstualitas juga berakibat pada ketidak-mampuan mereka dalam


menghadapi problematika kontemporer, seperti soal ekonomi, politik, sikap deskriminatif
terhadap kaum wanita, mengharamkan wanita memilih dan dipilih dalam pemilihan umum, dan
lain sebagainya. Parahnya lagi mereka berusaha menerapkan fikih klasik dalam realitas
kontemporer tanpa melihat perubahan tempat dan waktu.

Tidak hanya sampai di situ, bahkan mereka menolak segala hal yang berasal dari luar
Islam meskipun dapat memberikan nilai positif bagi umat Islam dengan argumentasi bahwa hal
itu berarti menambah dalam urusan agama (bid’ah). Maka tidak heran jika mereka juga menolak
partai politik, demokrasi, dan lain sebagainya karena anggapan bid’ah itu tadi. Lebih parah lagi,
mereka menolak zakat dengan mata uang karena dianggap tidak sesuai dengan nas. Bahkan
sebagian ulama dari mereka menganggap bahwa harta yang berbentuk uang kertas tidak
dikenakan zakat. Alasannya adalah bahwa uang pada masa nabi terbuat dari emas atau perak
yang mempunyai nilai tersendiri.

Di sisi lain, terdapat pemikir yang terlalu substansionalis, bahwa segala sesuatu dalam
syari’at mempunyai tujuan-tujuan tertentu. Mereka kurang memperhatikan dan bahkan
cenderung berpaling dari nas-nas juz’iyah dengan argumentasi demi kemaslahatan umum dan
sesuai dengan maqashid syar’i.

Qaradawi menyebut aliran ini sebagai “neosubstansionalis” mewarisi pemikiran


substansionalis klasik yang mengingkari asma Allah dari arti yang sebenarnya

Mereka tidak mau melihat nas al Qur’ân secara menyeluruh, namun hanya sekedar
mengambil nas yang dapat mendukung argumentasi mereka. Padahal nas qoth’i tidak pernah
bertentangan dengan maslahat. Menurut Qadhâwî, menghentikan hukuman hudud, membolehkan
minuman keras, berzina, menghapuskan zakat, melarang poligami, membolehkan pelacuran,
menyamakan pembagian waris atara anak laki-laki dengan anak perempuan, sama sekali tidak
mengandung unsur-unsur maslahat. Menurutnya, mereka yang menyeru kepada hal-hal di atas
sebenarnya hanya terpengaruhi oleh pemikiran dan budaya Barat. Jika saja para tokoh intelektual
Barat tidak mengatakan hal itu tentu mereka juga tidak akan berpendapat seperti itu.11

Bagi Qadhâwî, solusi terbaik adalah dengan mengambil jalan tengah. Tidak terlalu
tekstualitas dan juga substansionalitas. Dengan demikian akan terhindar dari pengguguran
terhadap nas-nas qoth’i tsubût dan dalâlah. Dan hal itu dapat direalisasikan dengan mengaitkan
pemahaman nas yang bersifat juz’î dalam kerangka maqashid kullî.12

11
Lebih lengkapnya lihat, Dr Yûsuf al Qardhâwî, Assiyâsah Assyar’iyah fî Dhou’i Nushûshi al Ayarî’ati wa
Maqashidihâ, Maktabah Wahbah hal 230-286
12
Dr Yûsuf al Qardhâwî, Taisîru’l Fikihi Lilmuslimi’l Ma’âshir Fi Dhou’i’l Qur’ân Wassunnah. Maktabah
Wahbah hal 90

Anda mungkin juga menyukai