NIM : 0201192073
MK : HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA
1
Mertokusumo Sudukno, Hukum Acara Perdata Indonesia,( Yogyakarta: Liberty 2002) hal. 2
perkaranya ke Pengadilan Negeri untuk diselesaikan sesuai dengan hukum yang
berlaku.
Pihak yang bersengketa tersebut akan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri.
Gugatan merupakan tuntutan hak yang mengandung sengketa, dimana sekurang-
kurangnya terdapat dua pihak, yaitu penggugat dan tergugat.2 Hukum acara perdata
juga mengatur tentang bagaimana caranya mempertahankan hak-hak yang dimilki
oleh seseorang tersebut tentunya dengan perantaraan pengadilan dan hakim.
Dalam memperjuangkan hak-haknya, ada dua macam upaya hukum. Dalam
hukum acara perdata yang dapat dilakukan yaitu upaya hukum biasa dan upaya
hukum luar biasa. Istilah upaya hukum merupakan upaya yang diberikan oleh
peraturan perundang-undangan atau badan hukum untuk dalam hal tertentu melawan
putusan hakim.3
Pihak ketiga disini bukanlah salah satu pihak yang berperkara dalam pokok
utama atau sebelumnya. Pihak ketiga disini merupakan pihak luar dari perkara pokok
utamanya. Suatu putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dan di dalam
bunyi isi putusan tersebut memerintahkan panitera atau juru sita untuk melaksanakan
sita eksekusi terhadap benda milik pihak yang dikalahkan merupakan alasan bagi
pihak ketiga untuk mengajukan gugatan perlawanan apabila benda yang dijadikan
obyek sita eksekutorial tadi oleh orang lain (pihak ketiga) sebagai barang miliknya
dan bukan milik pihak yang dikalahkan dalam perkara semula.
Pihak ketiga tersebut mempunyai hak untuk melakukan perlawanan apabila
dinilai pelaksanaan isi putusan hakim yang memerintahkan sita eksekusi terhadap
obyek milik pihak ketiga tersebut telah merugikan ataupun telah melanggar hak dan
kepentingannya. Sita eksekutorial merupakan penyitaan yang semata-mata untuk
melaksanakan putusan atau eksekusi pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan
hukum tetap atau (inkracht).
Menurut pasal 207 HIR yang menyatakan bahwa “ terhadap sita eksekutorial
baik yang mengenai barang tetap maupun barang bergerak pihak yang dikalahkan
dapat mengajukan perlawanan ”. Hal ini berarti bahwa seseorang yang mengaku
sebagai pemilik barang yang di sita eksekutorial dapat mengajukan perlawanan
terhadap sita eksekutorial atas barang tersebut.
B. Upaya hukum atas putusan hakim dalam perkara jinayah
Keberadaan dan kewenangan Mahkamah Syar’iyah dalam memeriksa dan
mengadili perkara Jinayah telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Bab XVIII Pasal 11 Undang-Undang
tersebut menentukan bahwa Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa, mengadili,
memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah
2
Sri Wardah dan Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Perdata dan Perkembangannya di Indonesia,
(Yogyakarta;Gama Media,2007), hal. 13.
3
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek,
(Bandung: Mandar Maju,2005) hal. 142.
(hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) yang
didasarkan atas syari’at Islam (ayat 3). Lebih lanjut pasal ini juga menyatakan bahwa
ketentuan lebih lanjut mengenai bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga),
muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) diatur dengan Qanun Aceh.
Untuk mewujudkan kepastian hukum, Qanun Nomor 10 Tahun 2002 dalam Pasal
53 dan 54 dinyatakan bahwa hukum materil dan formil yang bersumber dari Syari’at
Islam tersebut, yang akan dilaksanakan di Aceh, terlebih dahulu akan dituangkan
dalam bentuk Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dengan demikian
Syari’at Islam yang akan dilaksanakan oleh Hakim Mahkamah Syar’iyah
Kabupaten/Kota dan Hakim Mahkamah Syar’iyah Provinsi melalui putusan dan
penetapannya itu harus dituangkan ke dalam Qanun terlebih dahulu.
Hampir satu dasawarsa pemberlakuan Syari’at Islam dan berfungsinya
Mahkamah Syar’iyah sebagai institusi peradilan dalam rangka pelaksanaan Syari’at
Islam tersebut di Provinsi NAD, ternyata telah memunculkan beberapa permasalahan
yang secara langsung atau tidak langsung turut mempengaruhi kapasitas Mahkamah
Syar’iyah dalam menjalankan fungsinya dalam memeriksa dan mengadili, khususnya
dalam perkara jinayah yang merupakan lingkup kewenangan baru bagi lembaga ini,
seiring dengan pemberlakuan Syari’at Islam. Salah satu permasalahan penting adalah
belum atau tidak dilaksanakannya (eksekusi) putusan Mahkamah Syar’iyah dalam
perkara Jinayah, padahal putusan tersebut sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Oleh karena itu perlu dilakukan sebuah penelitian untuk memperoleh jawaban atas
permasalahan yang diidentifikasikan dalam penelitian ini yaitu mengapa terjadi
penangguhan pelaksanaan (eksekusi) putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah.
Untuk mewujudkan kepastian hukum, Qanun Nomor 10 Tahun 2002 dalam Pasal
53 dan 54 dinyatakan bahwa hukum materil dan formil yang bersumber dari Syari’at
Islam tersebut, yang akan dilaksanakan di Aceh, terlebih dahulu akan dituangkan
dalam bentuk Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dengan demikian
Syari’at Islam yang akan dilaksanakan oleh Hakim Mahkamah Syar’iyah
Kabupaten/Kota dan Hakim Mahkamah Syar’iyah Provinsi melalui putusan dan
penetapannya itu harus dituangkan ke dalam Qanun terlebih dahulu.
Dalam hubungannya dengan hukum materilnya, hingga sekarang telah disusun
beberapa buah Qanun yaitu:
1. Qanun No. 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Bidang Aqidah,
Ibadah dan Syi’ar Islam.
2. Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Larangan Khamar (Minuman Keras).
3. Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Larangan Maysir (Perjudian).
4. Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Larangan Khalwat (Perbuatan Mesum atau
Pergaulan Bebas).
5. Qanun No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat.
5
Metokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, ( Bandung: Libery, 1993) hlm. 173-174
vonis adalah putusan yang mempunyai kekuatan hukum pasti sehingga masih ada
peluang upaya hukum biasa, sedangkan gewijsde adalah putusan yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang pasti, sehingga hanya dimungkinkan upaya
hukum khusus. Vonis sering disebut juga dengan “voorlopiggewijsde” sedang
gewijsde disebut juga dengan “terlijskgewijsde”.
b. Sifat Putusan
1. Putusan Deklaratif
Putusan deklaratif adalah putusan yang isinya bersifat menerangkan atau
menyatakan apa yang sah, misalnya pembayaran angsuran tiga bulan terakhir
berturut-turut, maka dinyatakan telah membayar angsuran bulan-bulan
sebelumnya, menyatakan gugatan ditolak dan lain-lain.
2. Putusan Konstitutif
Putusan konstitutif adalah putusan yang bersifat menghentikan atau menimbulkan
hukum baru yang tidak memerlukan pelaksanaan dengan paksa, misalnya
memutuskan hubungan perikatan yang cacat.
3. Putusan Condemnatoir
Putusan condemnatoir adalah putusan yang bersifat menghukum pihak yang kalah
untuk memenuhi suatu prestasi yang ditetapkan oleh majelis hakim. dalam
putusan yang bersifat condemnatoir, amar putusan harus mengandung kalimat
“menghukum tergugat untuk berbuat sesuatu tidak berbuat sesuatu, menyerahkan
sesuatu, membongkar sesuatu , menyerahkan sejumlah uang, membagi dan
mengosongkan.
4. Putusan Contradictoir
Putusan contradictoir adalah putusan yang diambil dalam hal tergugat pernah
datang menghadap di persidangan. jadi, apabila penggugat pada hari sidang
pertama datang, tetapi pada hari-hari sidang berikutnya tidak datang, maka
perkaranya diperiksa secara contradictoir, kemudian diputuskannya, artinya
diputus di luar hadirnya salah satu pihak yang berperkara.
5. Putusan Verstek
Putusan verstek adalah putusan diambil hal tergugat tidak pernah hadir di
persidangan, meskipun telah dipanggil secara resmi dan patut, maka gugatan
dikabulkan dengan putusan diluar hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu
melawan hak atau tidak beralasan putusan verstek itu pada prinsipnya untuk
melealisir asas “audit at alteram parterm”.
3. Kekuatan Putusan
Kekuatan putusan majelis hakim dalam persidangan, dibedakan menjadi beberapa
jenis, yakni sebagai berikut.
a. Kekuatan mengikat, yaitu suatu putusan yang mengikat kepada kedua belah pihak antara
penggugat dan tergugat yang berperkara, untuk direalisasikan suatu hak secara
paksa, dalam hal ini memerlukan suatu putusan pengadilan berupa akta autentik
yang dapat menetapkan hak itu.
b. Kekuatan pembuktian, yaitu putusan yang berbentuk akta autentik, yang bertujuan
untuk dipergunakan sebagai alat bukti bagi para pihak, yang tidak tertutup
kemungkinan dipergunakan untuk mengajukan upaya hukum, seperti
banding,kasasi, dan peninjauan kembali, serta digunakan sebagai dasar eksekusi.
c. Kekuatan eksekutorial (putusan hakim) yaitu ketetapan yang tegas atas suatu hak
dalam hukum, yang selanjutnya menunutut untuk bisa direalisasikan.
Mencermati suatu putusan diatas, isi putusan itu dinyatakan sumpah, keadlian
kepada Tuhan “ Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa “, kalimat
ini memberi kekuatan eksekutorial terhadap sebuah putusan, hal ini dinyatakan dalam
Pasal 4 UU Nomor 48 Tahun 2009.
6
https://www.academia.edu/28217350/PUTUSAN_HAKIM_DALAM_PERKARA_EKONOMI_SYARIA
H diakses pada hari jumat,14:40
DAFTAR PUSTAKA