Anda di halaman 1dari 9

NAMA : HANAFI ILBA

NIM : 0201192073
MK : HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

UPAYA HUKUM PADA PENGADILAN AGAMA


A. Upaya hukum dalam perkara perdata
Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menegaskan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
pengecualiannya. Oleh karena itu setiap warga negara Indonesia mempunyai
persamaan di mata hukum dan tidak membeda-bedakan didalam menegakkan
hukum. Agar kehidupan bangsa Indonesia dapat berjalan dengan harmonis serta
berkembang dan berkehidupan yang adil dan berdaulat.
Segala tingkah laku yang diperbuat oleh manusia pastilah harus berasaskan
hukum dan ketentuan yang berlaku saat ini. Pemerintah dalam memperlakukan
seluruh warganya akan selalu berbuat adil. Adil dalam arti memperoleh hak yang
seimbang dengan melaksanakan seluruh kewajibannya.
Setiap manusia menyandang kewajiban yang sudah di atur dan harus
dipatuhinya. Sebaliknya juga manusia pasti mempunyai hak-hak yang dimilki sejak
ia dilahirkan. Dari berbagai macam hak yang melekat pada diri manusia itu telah di
atur dan ditentukan pula peraturan yang bersangkutan dengan hak-hak tersebut.
Dengan demikian manusia selain dihadapkan dengan kewajiban yang harus di
penuhinya mereka juga harus memperjuangkan hak-hak mereka dewasa ini.
Pemerintah memberikan peluang untuk setiap warga negaranya agar mereka dapat
merasakan serta menikmati hak-hak dan kepentingannya tentu dengan
memperhatikan peraturan perundang-undangan yang telah mengikatnya.
Dalam hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana cara mengajukan
tuntutan hak, pemeriksaan, memutusnya dan pelaksanaan dalam putusan tersebut. 1
Tuntutan hak merupakan tindakan yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan
hak yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah terjadinya “eigenrichting”
(bertindak sendiri untuk mendapatkan haknya).
Tuntutan hak ada dua macam yaitu tuntutan hak yang mengadung sengketa
( jurisdictie contentieuse) yang dikenal dengan gugatan dan tuntutan hak yang tidak
mengandung sengketa disebut dengan permohonan (jurisdictie voluntaire). Dimana
pihak yang bersengketa atau pihak yang merasa haknya dilanggar, dan tidak dapat
menyelesaikan sengketa maupun mendapatkan kembali haknya dengan cara
kekeluargaan (perdamaian), maka pihak yang bersangkutan akan menyertakan

1
Mertokusumo Sudukno, Hukum Acara Perdata Indonesia,( Yogyakarta: Liberty 2002) hal. 2
perkaranya ke Pengadilan Negeri untuk diselesaikan sesuai dengan hukum yang
berlaku.
Pihak yang bersengketa tersebut akan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri.
Gugatan merupakan tuntutan hak yang mengandung sengketa, dimana sekurang-
kurangnya terdapat dua pihak, yaitu penggugat dan tergugat.2 Hukum acara perdata
juga mengatur tentang bagaimana caranya mempertahankan hak-hak yang dimilki
oleh seseorang tersebut tentunya dengan perantaraan pengadilan dan hakim.
Dalam memperjuangkan hak-haknya, ada dua macam upaya hukum. Dalam
hukum acara perdata yang dapat dilakukan yaitu upaya hukum biasa dan upaya
hukum luar biasa. Istilah upaya hukum merupakan upaya yang diberikan oleh
peraturan perundang-undangan atau badan hukum untuk dalam hal tertentu melawan
putusan hakim.3
Pihak ketiga disini bukanlah salah satu pihak yang berperkara dalam pokok
utama atau sebelumnya. Pihak ketiga disini merupakan pihak luar dari perkara pokok
utamanya. Suatu putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dan di dalam
bunyi isi putusan tersebut memerintahkan panitera atau juru sita untuk melaksanakan
sita eksekusi terhadap benda milik pihak yang dikalahkan merupakan alasan bagi
pihak ketiga untuk mengajukan gugatan perlawanan apabila benda yang dijadikan
obyek sita eksekutorial tadi oleh orang lain (pihak ketiga) sebagai barang miliknya
dan bukan milik pihak yang dikalahkan dalam perkara semula.
Pihak ketiga tersebut mempunyai hak untuk melakukan perlawanan apabila
dinilai pelaksanaan isi putusan hakim yang memerintahkan sita eksekusi terhadap
obyek milik pihak ketiga tersebut telah merugikan ataupun telah melanggar hak dan
kepentingannya. Sita eksekutorial merupakan penyitaan yang semata-mata untuk
melaksanakan putusan atau eksekusi pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan
hukum tetap atau (inkracht).
Menurut pasal 207 HIR yang menyatakan bahwa “ terhadap sita eksekutorial
baik yang mengenai barang tetap maupun barang bergerak pihak yang dikalahkan
dapat mengajukan perlawanan ”. Hal ini berarti bahwa seseorang yang mengaku
sebagai pemilik barang yang di sita eksekutorial dapat mengajukan perlawanan
terhadap sita eksekutorial atas barang tersebut.
B. Upaya hukum atas putusan hakim dalam perkara jinayah
Keberadaan dan kewenangan Mahkamah Syar’iyah dalam memeriksa dan
mengadili perkara Jinayah telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Bab XVIII Pasal 11 Undang-Undang
tersebut menentukan bahwa Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa, mengadili,
memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah

2
Sri Wardah dan Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Perdata dan Perkembangannya di Indonesia,
(Yogyakarta;Gama Media,2007), hal. 13.
3
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek,
(Bandung: Mandar Maju,2005) hal. 142.
(hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) yang
didasarkan atas syari’at Islam (ayat 3). Lebih lanjut pasal ini juga menyatakan bahwa
ketentuan lebih lanjut mengenai bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga),
muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) diatur dengan Qanun Aceh.
Untuk mewujudkan kepastian hukum, Qanun Nomor 10 Tahun 2002 dalam Pasal
53 dan 54 dinyatakan bahwa hukum materil dan formil yang bersumber dari Syari’at
Islam tersebut, yang akan dilaksanakan di Aceh, terlebih dahulu akan dituangkan
dalam bentuk Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dengan demikian
Syari’at Islam yang akan dilaksanakan oleh Hakim Mahkamah Syar’iyah
Kabupaten/Kota dan Hakim Mahkamah Syar’iyah Provinsi melalui putusan dan
penetapannya itu harus dituangkan ke dalam Qanun terlebih dahulu.
Hampir satu dasawarsa pemberlakuan Syari’at Islam dan berfungsinya
Mahkamah Syar’iyah sebagai institusi peradilan dalam rangka pelaksanaan Syari’at
Islam tersebut di Provinsi NAD, ternyata telah memunculkan beberapa permasalahan
yang secara langsung atau tidak langsung turut mempengaruhi kapasitas Mahkamah
Syar’iyah dalam menjalankan fungsinya dalam memeriksa dan mengadili, khususnya
dalam perkara jinayah yang merupakan lingkup kewenangan baru bagi lembaga ini,
seiring dengan pemberlakuan Syari’at Islam. Salah satu permasalahan penting adalah
belum atau tidak dilaksanakannya (eksekusi) putusan Mahkamah Syar’iyah dalam
perkara Jinayah, padahal putusan tersebut sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Oleh karena itu perlu dilakukan sebuah penelitian untuk memperoleh jawaban atas
permasalahan yang diidentifikasikan dalam penelitian ini yaitu mengapa terjadi
penangguhan pelaksanaan (eksekusi) putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah.
Untuk mewujudkan kepastian hukum, Qanun Nomor 10 Tahun 2002 dalam Pasal
53 dan 54 dinyatakan bahwa hukum materil dan formil yang bersumber dari Syari’at
Islam tersebut, yang akan dilaksanakan di Aceh, terlebih dahulu akan dituangkan
dalam bentuk Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dengan demikian
Syari’at Islam yang akan dilaksanakan oleh Hakim Mahkamah Syar’iyah
Kabupaten/Kota dan Hakim Mahkamah Syar’iyah Provinsi melalui putusan dan
penetapannya itu harus dituangkan ke dalam Qanun terlebih dahulu.
Dalam hubungannya dengan hukum materilnya, hingga sekarang telah disusun
beberapa buah Qanun yaitu:
1. Qanun No. 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Bidang Aqidah,
Ibadah dan Syi’ar Islam.
2. Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Larangan Khamar (Minuman Keras).
3. Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Larangan Maysir (Perjudian).
4. Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Larangan Khalwat (Perbuatan Mesum atau
Pergaulan Bebas).
5. Qanun No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat.

C. Upaya Hukum Dalam Putusan Hakim Dalam Perkara Ekonomi Syariah


a. Definisi Putusan
Putusan adalah suatu pernyataan yang diucapkan oleh hakim dalampersidangan
dan bertujuan untuk mengakhiri sekaligus menyelesaikan suatuperkara atau
sengketa para pihak. Disisi lain istilah putusan dapat dimaknaisebagai suatu
pernyataan oleh hakim sebagai pejabat Negara yang diberiwewenang untuk itu, dan
diucapkan dalam persidangan yang terbuka untukumum dengan tujuan
untuk menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antarapihak yang berperkara.4
Mahkamah Agung dengan surat edarnya no. 5/1959 tanggal 20 April1959 dan no.
1/ 1962 tanggal 7 Maret 1962 menginstruksikan antara lain agarpada waktu putusan
diucapkan konsep harus sudah sudah selesai. Sekalipunmaksud surat edaran ialah
mencegah hambatan dalam penyelesaian perkara,tetapi dapat dicegah pula adanya
perbedaan isi putusan yang diucapkandengan yang tertulis. Kalau ternyata ada
perbedaan antara yang diucapkandengan yang tertulis maka yang sah adalah yang
diucapkan lahirnya putusanitu sejak diucapkan. Tetapi disini ialah pembuktian
bahwa yang diucapkanberbeda dengan yang ditulis. Oleh karena itu setiap berita
acara sidangseyogyanya harus sudah selesai sehari sebelum berikutnya atau paling
lamasatu minggu sesudah sidang dan setiap putusan yang akan dijatuhkan
sudahharus ada konsepnya.5
Menurut Pasal 20 UU No. 48 Tahun 2009 menyatakan bahwa semuaputusan
pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabiladiucapkan dalam
siding terbuka untuk umum. Sebelum putusan diambilmajelis hakim secara rahasia
melakukan sidang permusyawaratan dan setiaphakim wajib menyampaikan
pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan
menjadi bagian yang tidak terpisahkandari putusan. Apabila dalam siding
permusyawaratan hakim yang rahasia itutidak tercapai mufakat bulat maka
pendapat hakim yang berbeda wajibdimuat dalam putusan.
Putusan pengadilan, selain harus memuat alasan dan dasar putusan,harus
memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yangbersangkutan
atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untukmengadili. Kemudian
setiap putusan harus ditandatangani oleh majelis hakimyang menyidang seluruhnya
ditambah dengan panitera yang ikut serta bersidang.
Mengenai arti dan pengertian putusan dapat diperhatikan hal-hal sebagai berikut.
1. Pengertian putusan, menurut bahasa adalah “al-qadha” (keputusan) dan
jamaknya adalah “ aqdhiyyah” yang menurut asal muasal artinya adalah dikatakan
untuk menyempurnakan sesuatu dan menetapkan hukumnya, menyelesaikan dan
memutuskannya.
2. Pengertian putusan menurut istilah “syara” ialah memisahkan sengketa gugatan
dan menyelesaikan, serta memutuskan pertentangan. Keputusan menurut istilah
bahasa belanda dikenal dengan istilah “vonis” dan “gewijsde” adapun pengertian
4
Mujahidin Ahmad , Pembaharuan hukum Acara peradilan Agama, (bogor: Ghalia Indonesia ,2012.) hal
227

5
Metokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, ( Bandung: Libery, 1993) hlm. 173-174
vonis adalah putusan yang mempunyai kekuatan hukum pasti sehingga masih ada
peluang upaya hukum biasa, sedangkan gewijsde adalah putusan yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang pasti, sehingga hanya dimungkinkan upaya
hukum khusus. Vonis sering disebut juga dengan “voorlopiggewijsde” sedang
gewijsde disebut juga dengan “terlijskgewijsde”.

b. Sifat Putusan
1. Putusan Deklaratif
Putusan deklaratif adalah putusan yang isinya bersifat menerangkan atau
menyatakan apa yang sah, misalnya pembayaran angsuran tiga bulan terakhir
berturut-turut, maka dinyatakan telah membayar angsuran bulan-bulan
sebelumnya, menyatakan gugatan ditolak dan lain-lain.
2. Putusan Konstitutif
Putusan konstitutif adalah putusan yang bersifat menghentikan atau menimbulkan
hukum baru yang tidak memerlukan pelaksanaan dengan paksa, misalnya
memutuskan hubungan perikatan yang cacat.

3. Putusan Condemnatoir
Putusan condemnatoir adalah putusan yang bersifat menghukum pihak yang kalah
untuk memenuhi suatu prestasi yang ditetapkan oleh majelis hakim. dalam
putusan yang bersifat condemnatoir, amar putusan harus mengandung kalimat
“menghukum tergugat untuk berbuat sesuatu tidak berbuat sesuatu, menyerahkan
sesuatu, membongkar sesuatu , menyerahkan sejumlah uang, membagi dan
mengosongkan.

4. Putusan Contradictoir
Putusan contradictoir adalah putusan yang diambil dalam hal tergugat pernah
datang menghadap di persidangan. jadi, apabila penggugat pada hari sidang
pertama datang, tetapi pada hari-hari sidang berikutnya tidak datang, maka
perkaranya diperiksa secara contradictoir, kemudian diputuskannya, artinya
diputus di luar hadirnya salah satu pihak yang berperkara.

5. Putusan Verstek
Putusan verstek adalah putusan diambil hal tergugat tidak pernah hadir di
persidangan, meskipun telah dipanggil secara resmi dan patut, maka gugatan
dikabulkan dengan putusan diluar hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu
melawan hak atau tidak beralasan putusan verstek itu pada prinsipnya untuk
melealisir asas “audit at alteram parterm”.

c. Jenis dan Isi Putusan


Memerhatikan pasal 185 (1) HIR dan Pasal 196 RBg, isi putusan dibedakan antara
putusan bukan akhir ( tussen vonnis) dan putusan akhir (eind vonnis). Adapun jenis-
jenis putusan sebagai berikut.

1. Putusan Sela (Tussen Vonnis)


Putusan sela (Tussen Vonnis) adalah putusan yang diadakan sebelum hakim
memutuskan perkaranya demi untuk mempermudah kelanjutan pemeriksaan
perkara, putusan sela harus diucapkan oleh jakim ketua majelis dan harus dimuat
dalam berita acara persidangan. adapun putusan sela itu terdiri atas beberapa
bentuk yang berbeda-beda dan masing-masing memiliki ciri-ciri khusus, yakni
sebagai berikut.
a. Pututsan  preparatior (Preparatior Vonnis) adalah putusan sebagai persiapan akhir
yang tanpa ada pengaruh terhadap pokok perkara atau putusan akhir, contoh
putusan untuk menggabungkan dua perkara atau untuk menolak
diundurkannya pemeriksaan saksi.
b. Putusan Interlucutioir (Interlucutioir vonnis) adalah putusan sela yang dapat
memengaruhi akan bunyi putusan akhir itu. Contohnya, pemeriksaan saksi,
putusan untuk mendengar para ahli, pemeriksaan setempat, putusan tentang
pembebanan pihak, sumpah dan putusan yang memerintahkan salah satu
pihak untuk membuktikan sesuatu.
c. Putusan Provisionil (Provisionol vonnis) adalah putusan yang menjawab tuntutan
provisional, yakni pemerintah pihak bersangkutan agar sementara diadakan
tindak pendahuluan guna kepentingan salah satu pihak sebelum putusan
akhir dijatuhkan.
d. Putusan Insidentil (Insidentiele vonnis) adalah putusan yang berhubungan
dengan insiden, yaitu suatu peristiwa atau kejadian yang mengehntikan
prosedur peradilan biasa. Putusan insidentil ini belum mempunyai hubungan
dengan pokok perkara, sebagai contoh putusan yang membolehkan seseorang
ikut serta dalam perkara “voeging”, “urijwaring” atau “tussenkomse”.

2. Putusan Akhir (Eind Vonnis)


Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri suatu sengketa dalam suatu
tingkatan peradilan tertentu. Adapun sifat-sifat dari putusan akhir adalah sebagai
berikut.
a.Putusan kondemnatior (comdemnatior vonnis)
b.Putusan konsitutif (constitutieve vonnis)
c.Putusan deklaratior (declaratior vonnis)
d.Putusan kontradiktor (contradictior vonnis)
e.Putusan verstek (verstek vonnis)
f.Putusan gugur.

3. Kekuatan Putusan
Kekuatan putusan majelis hakim dalam persidangan, dibedakan menjadi beberapa
jenis, yakni sebagai berikut.
a. Kekuatan mengikat, yaitu suatu putusan yang mengikat kepada kedua belah pihak antara
penggugat dan tergugat yang berperkara, untuk direalisasikan suatu hak secara
paksa, dalam hal ini memerlukan suatu putusan pengadilan berupa akta autentik
yang dapat menetapkan hak itu.
b. Kekuatan pembuktian, yaitu putusan yang berbentuk akta autentik, yang bertujuan
untuk dipergunakan sebagai alat bukti bagi para pihak, yang tidak tertutup
kemungkinan dipergunakan untuk mengajukan upaya hukum, seperti
banding,kasasi, dan peninjauan kembali, serta digunakan sebagai dasar eksekusi.
c. Kekuatan eksekutorial (putusan hakim) yaitu ketetapan yang tegas atas suatu hak
dalam hukum, yang selanjutnya menunutut untuk bisa direalisasikan.
Mencermati suatu putusan diatas, isi putusan itu dinyatakan sumpah, keadlian
kepada Tuhan “ Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa “, kalimat
ini memberi kekuatan eksekutorial terhadap sebuah putusan, hal ini dinyatakan dalam
Pasal 4 UU Nomor 48 Tahun 2009.

4. Susunan dan Isi Putusan


Mengenai susunan dan isi putusan diataur dalam Pasal 178, 182, 183 dan 185
HIR, serta diatur dalam Pasal 194, 195, dan 198 R.Bg, bahwa putusan hakim
terdiri atas empat bagian, yaitu sebagai berikut. Pertama, kepala putusan, yakni setiap
putusan pengadilan harus mempunyai kepala pada bagian atas “putusan” atau
“penetapan”. Adapun kalimat kepala putusan atau penetapan adalah “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kedua, identitas para pihak,
yakni dalam setiap putusan atau penetapan harus memuat identitas para pihak,
yakni: nama, umur, agama, pekerjaan, alamat dan nama pengacara apabila ada.
Ketiga, pertimbangan, yakni berkaitan dengan pertimbangan dalam putusan, yang
sering disebut dengan konsederani yang merupakan dasar dari putusan. Adapun
pertimbangan terbagi menjadi dua bagian.
a. Pertimbangan mengenai duduk perkaranya atau peristiwanya (kejadiannya);
dan
b. Pertimbangan mengenai hukumnya.
Berkaitan dengan pertimbangan duduk perkaranya adalah memuat hal-hal
sebagai berikut.
1) Gugatan dan jawaban,replik dan duplik dalam praktik dimuat secara ringkas
dan jelas, begitupun tidak tertutup kemungkinan untuk dimuat seluruhnya.
2) Alat-alat bukti yang diajukan di muka persidangan oleh pengguagat atua
tergugat.
3) Kesimpulan yang diperoleh dari masing-masing pihak, baik penggugat
maupun tergugat, sehingga kepada para pihak dapat mengerti apa yang menjadi
pokok masalah dan jalannya pemeriksaan pada saat dilangsungkan persidangan.
Keempat, amar (dictum), ada dua bentuk dalam amar putusan, yakni sebagai
berikut.
1). Deklaratif, yaitu penetapan yang bersumber dari hubungan hukum yang menjadi
sengketa.
2). Dispositif, yaitu yang memberi hukum atau hukumannya atau yang menyifati untuk
mengabulkan suatu gugatan atau menolak suatu gugatan.6

6
https://www.academia.edu/28217350/PUTUSAN_HAKIM_DALAM_PERKARA_EKONOMI_SYARIA
H diakses pada hari jumat,14:40
DAFTAR PUSTAKA

 Sudikno Mertokusumo, 2002, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta:


Liberty.
 Sri Wardah dan Bambang Sutiyoso, 2007, Hukum Acara Perdata dan
Perkembangannya di Indonesia, Yogyakarta;Gama Media.
 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 2005, Hukum Acara
Perdata dalam Teori dan Praktek, Bandung: Mandar Maju.
 Ahmad Mujahid , 2012, Pembaharuan hukum Acara
peradilan Agama, (bogor: Ghalia Indonesia .
 https://www.academia.edu/28217350/PUTUSAN_HAKIM_DALAM_PERKAR
A_EKONOMI_SYARIAH

Anda mungkin juga menyukai