Anda di halaman 1dari 56

BAB IV PENETAPAN HUBUNGAN ANTARA PELAKU PERBUATAN PIDANA YANG DILAKUKAN SECARA MASSAL

A. Hubungan antar Pelaku Perbuatan Pidana yang Dilakukan Secara Massal Menurut Doktrin Hukum Pidana Pada Bab II sebelumnya telah dijelaskan bahwa defenisi dari perbuatan pidana yang dilakukan secara massal adalah perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum yang berlaku disertai ancaman sanksi bagi pelanggarnya dan perbuaatan tersebut dilakukan oleh sekumpulan orang banyak atau lebih dari satu orang dimana jumlahnya tanpa batas. Jadi dalam hal ini terdapat lebih dari satu pelaku perbuatan pidana yang baik direncanakan atau tidak direncanakan sebelumnya untuk melakukan kerjasama satu dengan yang lainnya sehingga menciptakan suatu perbuatan pidana. Dengan melihat pelaku perbuatan pidana yang lebih dari satu orang tersebut dan bahkan bisa mencapai puluhan, ratusan bahkan ribuan orang pelakunya, dalam hal ini tentunya setiap pelaku dalam melakukan perbuatan pidana mempunyai porsi dan peranan yang berbeda-beda satu sama lain bahkan sampai dari segi pertanggung jawaban pidananya pun berbeda-beda kadarnya. Karena dalam hukum pidana dilihat seberapa besar perbuatan yang dilakukan maka sebesar itu juga akan di mintai pertanggungjawabannya disamping pertimbangan-pertimbangan lain yang dapat mengurangi pertanggung jawabannya terhadap perbuatan yang dilakukan.

181

182

Dengan melihat adanya suatu kerjasama antar pelaku perbuatan pidana yang dilakukan secara massal, baik kerjasama tersebut direncanakan atau tidak direncanakan/spontanitas diantara sesama pelaku, tetapi tetap saja mempunyai suatu ikatan atau hubungan satu sama lainnya sehingga menciptakan suatu perbuatan pidana, disamping itu juga mengingat bahwa kejahatan tersebut merupakan kejahatan kolektif. Jadi dalam hal banyaknya pelaku perbuatan pidana yang dilakukan secara massal tersebut, khususnya pada jumlah para pelaku yang tidak jelas berapa banyaknya. Oleh karena itu diperlukan suatu kajian terkait dengan hubungan antar masing-masing pelaku agar dalam hal pertanggungjawaban pidana atau lebih luasnya dalam penegakkan hukumnya jelas dan tidak asal, sehingga merugikan pihak-pihak yang terkait secara langsung maupun tidak langsung . Berbicara dalam hal masalah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku perbuatan pidana yang dalam hal ini berupa sanksi yang merupakan konsekuensi, karena unsur-unsur/ciri-ciri pidana itu sendiri adalah1 : 1. Pidana pada hakekatnya merupakan satu pengenaan penderitaan atau nestapa/akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan. 2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang) 3. Pidana yang dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.

Barda Nawawi Arief, Teori-teori&Kebijakan Pidana , Edisi Revisi, Alumni, Bandung, 1998, hlm. 4

183

Perlu diingatkan bahwa seseorang yang melanggar hukum pidana tidak dapat dengan langsung diberikan sanksi atas perbuatannya tapi, harus mempunyai kesalahan sebab asas dalam dalam pertanggungjawaban pidana adalah tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (Geen Straf Zomder Schuld : Actus non facit reum nisi mens sir rea)2. Adapun untuk dapat dikatakan seseorang memiliki kesalahan dan patut dipidana adalah harus memenuhi3: 1. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum) adalah melakukan perbuatan yang bertentangan hukum yaitu bukan saja terhadap undangundang tapi juga perbuatan yang dipandang dari pergaulan masyarakat tidak patut. 2. Mampu bertanggungjawab adalah mampu untuk membeda-bedakan antara perbuatan baik dan yang buruk yang sesuai hukum dan yang melawan hukum serta mampu menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya satu perbuatan, hal ini telah ditegaskan dalam pasal 44 KUHP. 3. Mempunyai kesalahan berupa kesengajaan / kealpaan berkaitan dengan sikap batin seseorang pada saat melakukan satu perbuatan pidana. 4. Tidak adanya alasan pemaaf. Suatu keadaan yang menghapuskan

pertanggungjawaban seseorang atas perbuatan pidana yang dilakukan Jadi seorang hakim dalam hal memutuskan seseorang patut dipidana atau tidak, harus melihat ke empat (4) hal diatas. Berkaitan dengan kesalahan terhadap para pelaku perbuatan pidana massal yang tentunya bervariatif, apalagi dengan

2 3

Moeljatno. Asas-asas Hukum Pidana, Bina Aksara, 1987. hlm.153 ibid. hlm. 158-164

184

jumlah pelaku yang puluhan sampai ratusan orang4. Menurut Satjipto bahwa mencegah dan menghalau massa yang mengamuk memang dapat dilakukan polisi, tetapi memproses secara hukum adalah soal lain. Artinya polisi memang dapat menangkap pencuri, pelanggar lalu lintas, pembunuh bahkan menangani pelaku kejahatan dalam jumlah tertentu yang jelas, tetapi bukan yang namanya massa yang tidak jelas berapa jumlahnya5 Dengan berdasarkan hal tersebut diatas maka penulis mengkaji keberadaan pelaku perbuatan yang dilakukan secara massal serta bagaimana konsep pertanggungjawabannya ditinjau dari hukum pidana meskipun secara doktrin hukum pidana hal ini belum ada pengaturan yang tegas dan jelas terhadap hal tersebut.

1. Hubungan antar Pelaku Perbuatan Pidana yang Di lakukan Secara Massal Dalam hukum pidana terdapat suatu perbuatan pidana dimana dapat dilakukan oleh beberapa orang dengan bagian dari tiap-tiap orang dalam melakukan perbuatan dan sifatnya berlainan dan bervariatif. Hal tersebut dapat dilihat dari peran serta mereka dalam melakukan perbuatan tersebut dimana posisinya bisa sebagai pelaku atau pembantu dalam perbuatan pidana yang dilakukan. Dengan melihat hal tersebut membuat kemungkinan untuk memperluas dapat dipidananya perbuatan dalam beberapa hal khususnya

Dalam kondisi dimana pelaku perbuatan pidana berjumlah 2, 3 dan seterunya dimana jumlah dari oaring-orang tersebut dalam jumlah yang jelas, dalam hal ini akan mudah menerapkan hukumnya, seperti pada perbuatan pidana biasa yang pakaunya satu orang. 5 Amuk Massa diIndonesia Sudah Menjadi Wabah Sosial,dalam http://www.kompas.com/kompas-cetak/0210/20/utama/pres1.htm

185

terhadap pelaku yang lebih dari satu orang dan hal tersebut dikenal dengan delik penyertaan (deelnemihg). Penyertaan ialah apabila orang yang tersangkut untuk terjadinya suatu perbuatan pidana atau kejahatan itu tidak hanya satu orang saja, melainkan lebih dari satu orang. Definisi tersebut merupakan kesimpulan dari penjelasan pasal 55 dan pasal 56 KUHP tentang bentuk-bentuk dari penyertaan karena KUHP sendiri tidak secara tegas dalam memberikan pengertian tentang penyertaan. Jadi untuk menentukan kedudukan para pelaku perbuatan pidana yang dilakukan secara massa dapat menggunakan teori atau doktrin delik penyertaan, karena seperti yang telah diuraikan pada bab sebelumnya bahwa perbuatan pidana yang dilakukan secara massal tidak ada perbedaan dengan perbuatan pidana seperti biasanya yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan hukum pidana. Yang membedakan subyek pelakunya yang lebih dari satu orang dan sampai ketidakjelasan jumlah subyek pelaku yang ada. Bentukbentuk perbuatan pidana yang dilakukan secara masal, yang terbagi menjadi dua macam yaitu perbuatan pidana yang dilakukan secara masal dengan massa yang terbentuk secara terorganisir dan massa yang terbentuk tidak secara terorganisir. Dengan adannya kedua bentuk tersebut maka dalam hal ini perlu dikaji bagaimana hubungan antar pelaku satu dengan yang lainnya sehingga jelas dalam menentukan kesalahan masing-masing. Dalam menentukan kedudukan para pelaku perbuatan pidana yang dilakukan secara massal dapat menggunakan empat macam bentuk dalam delik

186

penyertaan yaitu turut serta (medapleger), menyuruh lakukan (doen pleger), menganjurkan lakukan (uitlokker), dan membantu melakukan

(medeplichtigheid). Adapun dengan keempat macam bentuk penyertaan tersebut apabila dikontekskan dengan bentuk-bentuk perbuatan pidana yang dilakuka secara massal, yang pada akhirnya memperoleh suatu kejelasan terhadap hubungan dan kedudukan para pelaku tersebut, khusunya apabila dalam hal dihadapkan pada banyaknya jumlah pelaku yang tidak jelas berapa besarnya. Satu hal yang menjadi catatan sebelum masuk pada penjelasan tiap-tiap bentuk delik penyertaan yang ada, maka perlu diketahui sebelumnya bahwa untuk bentuk penyertaan pleger tidak masuk tidak masuk dalam kategori perbuatan pidana yang dilakukan secara massal karena menurut penjelasan yang salah satu diambil dari penjelasan KUHP bahwa pleger adalah seseorang yang sendirian telah berbuat mewujudkan segala anasir atau elemet dari pristiwa pidana6. Jadi tidak tepat kiranya bentuk pleger dimasukan dalam perbuatan pidana yang dilakukan secara massal. Adapun penjelasan mengenai bentukbentuk penyertaan tersebut adalah sebagai berikut. a. Bentuk penyertaan turut serta melakukan perbuatan pidana (medepleger). Bentuk ini terdapat pada pasal 55 KUHP, sedangkan pengertian medeplegen itu sendiri adalah orang yang melakukan kesepakatan dengan orang lain untuk melakukan tindak pidana dan secara bersama-sama pula ia turut beraksi dalam melaksanakan tindak pidana sesuai dengan yang

R.Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, ctk. Ulang ,politea, Bogor, 1996,

hlm. 73

187

disepakati tersebut7. Jadi sedikit-dikitnya harus ada dua orang atau lebih dalam hal bersama-sama melakukan perbuatan pidana (medepleger). Hal tersebut apabila dikontekskan dengan perbuatan pidana yang dilakukan secara massal tidak dapat diterapkan pada semua kasus, karena pada bentuk penyertaan ini disyaratkan salah satunya selain dilakukan bersama-sama8 tetapi juga kerja sama yang dilakukan secara sadar dan terencana. Adapun bentuk perbuatan pidana yang dilakukan secara massal yang relevan diterapkan pada bentuk penyertaan ini adalah: - Perbuatan pidana yang dilakukan secara massal dengan massa secara terorganisir. Pada massa yang terorganisir dimana massa tersebut terkendali baik oleh operator-operator lapangan, pemimpin atau ketua dalam kelompok tersebut atau bisa juga mereka terorganisir dari pembagian kerja yang diemban masing-masing dan hal tersebut memang sengaja dilakukan untuk bekerjasama dalam melakukan perbuatan pidana. Perlu dipahami bahwa untuk massa yang terorganisir syarat pokoknya adalah dimana dalam melakukan perbuatan pidananya para pelaku dengan sengaja uintuk melakukan kerjasama. Adapun dalam hal ini bentuk kerjasama yang dilakukan bisa secara fisik dan non fisik dan kedua hal tersebut harus mutlak ada pada bentuk penyertaan ini, karena terbentuk

Abdul Kholiq, Hukum Pidana (Buku Panduan Kuliah), Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2002, hlm. 224 8 Lihat pengertian bersama-sama pada bentuk penyertaan turut serta (medeplegen).

188

apabila hanya salah satunya saja maka bisa dikatakan bentuk pembantuan saja9. Kerjasama secara fisik yaitu merupakan kerjasama dalam kesepakatan yang telah direncanakan sebelum melakukan tindak pidana, sedangkan kerjasama fisik dalam hal ini dapat terjadi dalam 3 (tiga) bentuk kemungkinan yaitu 10: 1. terlibat Dalam kenyataan, perbuatan dari masing-masing pihak yang perbuatan pidana, secara individual sesungguhnya

memenuhi semua unsur delik yang terjadi hanya saja pihak yang lainnya memberikan bantuan fisik sehingga terlihat adanya kerjasama. 2. Dalam kenyataan, perbuatan dari masing-masing pihak yang

terlibat perbuatan pidana, sesungguhnya memang tidak ada / belum memenuhi semua unsur delik yang terjadi. Namun, jika seluruh perbuatan dari masing-masing yang terlibat tersebut digabungkan, maka semua unsur dari rumusan delik dapat terpenuhi. 3. Dalam kenyataan, diantara 2 orang / lebih yang terlibat

kerjasama fisik, sesungguhnya hanya satu orang saja yang perbuatannya benar-benar memenuhi seluruh unsur delik yang terjadi; sedangkan yang lainnya walaupun tidak memenuhi semua unsur delik tetapi peranannya cukup menentukan bagi terjadinya delik tersebut.
Lihat perbedaan antar bentuk turut serta (medeplegen) dengan bentuk pembantuan (medeplictigen) pada delik penyertaan. 10 Abdul Kholiq, op.cit.,hlm
9

189

Pada bentuk perbuatan pidana yang dilakukan secara massal dengan massa yang terbentuk secara terorganisir, dalam jenis perbuatan atau kekerasan massa yang dilakukan, yang menurut Tb Ronny Nitibaskara dibagi menjadi tiga macam kekerasan massa yang dilakukan yaitu: a. Kekerasan massal primitif, adalah yang pada umumnya

bersifat nonpolitis, ruang lingkup terbatas pada suatu komunitas lokal, misalnya pengeroyokan, tawuran sekolah. Selanjutnya menurut Tb Rony Nitibaskara, secara teoritis khususnya dalam jenis kekerasan kolektif primitik sangat sedikit ditemukan bukti bahwa tingkah laku itu direncanakan dan direkayasa sebelumnya, kebanyakan kerusuhan merupakan ledakan sepontan dari kelompok11. Jadi pada jenis perbuatan massa ini terbentuknya massa yaitu bisa secara terencana dan tidak terencana. Apabila massa dalam melakukan perbuatan pidana dengan terencana artinya massa tersebut merupakan massa yang terorganisir, sedangkan untuk massa yang melakukan perbuatan pidana tidak dengan terencana artinya massa tersebut tidak terorganisir. Jadi untuk massa yang terbentuk secara terorganisir yaitu perbuatan pidana yang dilakukan massa direncanakan terlebih dahulu atau terencana. Sedangkan untuk

massa yang tidak terorganisir yaitu perbuatan pidana yang dilakukan massa tidak terencana terlebih dahulu atau spontanitas. Jadi untuk
11

Ibid.

190

jenis perbuatannya maka massa yang terorganisir masuk pada perbuatan yang terencana untuk kekerasan primif. Dari segi tujuan perbuatan pidana yang dilakukan secara masal pada bentuk pertama ini dikumpulkan untuk memberikan tekanan dalam suatu proses sosial tertentu. Sebagian massa ada yang terangterangan mengusung simbol -simbol identitasnya, ada yang menampilkan simbol-simbol identitas yang sengaja dibuat untuk menyembunyikan identitas sejatinya atau agar dapat memberikan stigma kepada identitas kelompok tertentu, tetapi ada juga yang melakukan aksi sama sekali tanpa identitas jati diri yang jelas 12. Jadi dalam hal ini massa bertindak melakukan kerusuhan atau tindakan agresif massa ada yang sengaja diciptakan, tetapi ada juga yang sebagai respons terhadap kondisi lapangan saat ini. b. kekerasan massa reaksioner, adalah umumnya reaksi ini

terjadi terhadap penguasa yang mana bisa dilakukan oleh siapa saja baik oleh kelompok masyarakat swasta maupun pemerintah. Reaksi tersebut muncul karena merasa berkepentingan dengan tujuan kolektif, dimana dilakukan untuk menentang suatu kebijakan/sistem yang dianggap tidak adil dan jujur. Jadi dengan melihat penjelasan tersebut terdapat suatu pernyataan yaitu berkepentingan dengan tujuan kolektif. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat sebuah permasalahan yang menjadi masalah bersama bagi kelompok tertentu, dimana
12

Korupsi dan Amuk Massa dan Dagelan Hukum, dalam http//antikorupsi.org/mod

191

terdapat kepentingan-kepentingan yang ingin dicapai. Jadi karena reaksi muncul karena adanya permasalahan bersama yang jelas duduk persoalannya, maka diperlukan suatu satu pemahaman dan keseragaman berpikir dan bergerak. Maksudnya adalah bagaimana cara atau strategi yang akan dipakai dalam menyampaikan kehendak yang diinginkan kelompok tertentu dan aksi massa tersebut betulbetul bergerak demi kepentingan kolektif. Karena kolektif jadi segala sesuatu dikerjakan secara bersama-sama dan sadar, sebagaimana contoh tentang aksi mogok sopir angkot akibat kebijakan yang dikeluarkan pemerintah daerah yang menaikan retribusi dari Rp. 400,- menjadi Rp. 800,-. Oleh karena itu agar memberikan hasil yang maksimal dan menunjukkan bahwa akibat kebijakan yang ada dari pemerintah atau penguasa merugikan banyak orang dan hal tersebut bisa menjadi bahan pertimbangan bagi yang terkait untuk merubah kebijakan dan sistem yang terkait. c. Kekerasan kolektif modern, yaitu merupakan suatu aksi dari satu organisasi yang tersusun dan terorganisir dengan baik yang tujuannya untuk tujuan ekonomis dan politis. Untuk bentuk kekerasan ini sudah sangat jelas sekali bahwa massa yang berbuat adalah massa yang terorganisir dengan baik, bahkan lebih baik dari kekerasan massa yang reaksioner. Untuk kekerasan massa modern tujuan yang dicapai dari sebuah reaksi yang

192

dilakukan adalah untuk jangka panjang, sedangkan kekerasan massa yang reaksioner adalah untuk jangka pendek, sebab reaksi terjadi karena adanya suatu kebijakan yang mendadak dan merugikan pihak-pihak tertentu atau golongan tertentu. Jadi dengan melihat ketiga jenis kekerasan massa tersebut, dengan jelas dapat dikatakan bahwa massa yang bergerak termasuk dalam kelompok massa yang terorganisir, yaitu dimana massa dalam melakukan suatu perbuatan pidana dilakukan dengan adanya kerjasama yang disengaja baik secra fisik maupun non fisik. Jadi pada bentuk penyertaan ini hanya berlaku pada massa yang terbentuk secara terorganisir, baik perbuatan pidana yang dilakukan secara massal didepan umum maupun tidak didepan umum. Hal tersebut dikarena bahwa dalam rumusan bentuk penyertaan turut serta (medeplegen) disyaratkan adanya kerjasama yang disadari dan terkordinasi sebelumnya baik secara fisik maupun non fisik. Jadi seperti kasus-kasus yang marak akhir-akhir ini kerusuhan massa, amuk massa, perkelahian antar kampung dan lain-lain asalkan massa dalam hal ini terorganisir dan adanya kerjasama yang dilakukan dengan sengaja maka dapat diterapkan bentuk penyertaan ini dengan catatan perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan yang melawan hukum formal dan material serta penegakan hukum yang dilakukan jelas prosedurnya.

193

Pada bentuk penyertaan ini para pelaku dalam melakukan perbuatan pidana walaupun ada yang dikatakan sebagai ketua, pemimpin atau yang merupakan otak dari perbuatan tersebut kedudukan satu dengan yang lainnya sama. Artinya sama-sama dianggap sebagai pelaku dan bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan hanya saja disesuaikan apakah dalam melakukan perbuatan pidananya sesuai dengan yang disepakati sebelumnya atau keluar dari yang direncanakan (berlebihan) apabila sama tapi apabila diluar dari hal tersebut maka disesuaikan dengan proporsinya masingmasing. b. Bentuk penyertaan menyuruh lakukan (doenpleger) . Tercantum dalam pasal 55 KUHp penyertaan dalam bentuk menyuruh lakukan dapat terjadi sebelum dilakukan perbuatan, karena orang yang menyuruh lakukan itu berbuat dengan perantaraan orang lain13. Jadi menyuruh lakukan adalah disini sedikitnya ada dua orang atau lebih, yang menyuruh (doenploger) dan yang disuruh (pleger), dengan demikian bukan orang itu sendiri yang melakukan perbuatan pidana, akan tetapi ia menyuruh orang lain (instrument), yaitu dimana yang disuruh tidak dapat dihukum karena tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya karena adanya alas an penghapusan pidana14. Apabila dihubungkan dengan rumusan dari perbuatan pidana yang dilakukan secara massal dimana pelakukanya lebih dari satu dan adanya kerjasama baik disadari atau tidak serta perbuatan tersebut sengaja
Aruan Sakijdjo dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana,Dasar Aturan Hukum Pidana Kodifikasi, Ctk. Pertama, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hlm 163 14 R.Soesilo, op.cit., hlm 73
13

194

dilakukan. Jadi untuk bentuk penyertaan ini perlu dicatat bahwa para pelaku terutama yang disuruh tidak mempunyai unsur kesengajaan untuk melakukan perbuatan pidana, tapi walaupun disengaja namun tidak disadari bahwa perbuatan tersebut melawan hukum atau sebaliknya disadari bahwa perbuatan tersebut melawan hukum tapi dalam keadaan terpaksa. Jadi perlu ditekankan disini bahwa dalam perbuatan pidana yang dilakukan secara massal salah satu unsurnya sengaja dalam artian menginginkan dan menghendaki terjadinya perbuatan pidana dan hal tersebut dilakukan secara sadar. Jadi untuk bentuk penyertaan ini tidak dapat diterapkan pada perbuatan pidana yang dilakukan secara massal walaupun sebenarnya pihak yang menyuruh sengaja dan menyadari perbuatan yang dilakukannya, tapi bisa dikatakan disini penyuruh sebagai satu-satunya pelaku yang bertanggungjawab walaupun dalam kenyataannya ada dua orang atau lebih pelaku yang melakukan perbuatan tersebut.

c. Bentuk penyertaan menganjurkan (uitlokker). Bentuk penyertaan ini terdapat dalam rumusan pasal 55 KUHP, bentuk penyertaan ini sama halnya dengan menyuruh lakukan (doen pleger). dalam bentuk menganjurkan terdapat dimana pelakunya paling sedikit ada dua orang atau lebih dan kedudukannya masing-masing terdapat dua pihak yaitu, sebagai pihak yang menganjurkan dan pihak yang melakukan anjuran. Hanya saja yang melakukan anjuran penganjur bukan

195

sebagai alat (instrument) yang tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban tetapi orang yang melakukan anjuran disini dapat dihukum atau dimintakan pertanggungjawabannya 15. Jadi disini sifatnya bahwa yang menganjur lakukan hanya sebagi orang yang mengerakkan orang lain untuk melakukan perbuatan pidana yang mana sebelumnya orang yang dianjurkan tersebut belum punya niat untuk melakukan perbuatan pidana kemudian akhirnya mempunyai niat karena tergerak oleh orang yang menganjurkan. Pada bentuk penyertaan ini dari salah satu pihaknya yaitu yang dianjurkan untuk melakukan perbuatan pidana, pada awalnya niatan untuk melakukan perbuatan pidana berawal dari yang menganjurkan, dimana cara atau bentuk dari anjuran tersebut dilakukan sebagaimana yang tertuang dalam pasal 55 KUHp, yaitu: a. Pemberian janji-janji yang atau iming-iming, dalam hal ini tidak

harus berapa barang atau fisik tapi bisa juga yang tidak berwujud. b. Dengan menggunakan pengaruh kekuasaan yang dimiliki. c. Dengan kekerasan atau ancaman tapi tidak boleh sedemikian rupa

sehingga yang dianjur itu tidak dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya. d. yang Tipu daya, dalam hal ini juga idak boleh sedemikia rupa sehingga dianjurkan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan atas

perbuatannya.

15

ibid, hlm. 74

196

e.

Memberi kesempatan, daya upaya / keterangan, yaitu dimana orang

menganjurkan sengaja memberi kesempatan atau daya upaya itulah yang mempunyai inisiatif untuk melakukan perbuatan lain dan bukan dari yang dianjurkan untuk melakukan16. Jadi dengan bentuk atau cara yang disebutkan diatas maka orang yang dianjurkan tergerak hatinya untuk melakukan perbuatan pidana. Hal tersebut dapat berlaku pada massa yang tidak terorganisir karena segala bentuk perbuatan yang dilakukan muncul secara spontanitas tanpa adanya rencana dan kerjasama terlebih dahulu dan dilatarbelakangi oleh berbagai macam faktor penggerak yang berbeda satu dengan yang lainnya, jadi bersifat kasuitis bisa karena ekonomi, sara, poltik dan lain-lain.dengan sebagai penggerak awal hal terjadi karena adanya pihak penganjur atau yang sering kita kenal sebagai provokator. Pada massa yang tidak terorganisir sangat mudah untuk dipengaruhi karena tidak adanya kordinasi atau pihak-pihak yang memimpin dan mengarahkan gerak massa tersebut sehingga disini pihak penganjur dapat dengan mudah masuk kedalam kerumunan massa. Adapun massa tergerak kerana adanya satu permasalahan dan isu yang sama dan terjadi secara spontanitas. Bentuk penyertaan mengajurkan (uitlokker) hanya berlaku bagi perbuatan pidana yang dilakukan secara massal dengan massa yang terbentuk tidak secara terorganisir dan untuk jenis perbuatan pidananya adalah bentuk kekerasan primitif yang tidak terencana. Dimana dengan
16

ibid., hlm. 75

197

melihat bentuk kekerasan massa tersebut massa bergerak dengan bentuk massa yang tidak terorganisir yang didalamnya terdapat pihak-pihak yang memicu terjadinya perbuatan pidana untuk pertama kalinya sehingga massa yang lain tergerak hatinya untuk berbuat, seperti pengeroyokakan, tawuran dan lain-lain. Tapi yang menjadi permasalahan adalah sulitnya membedakan mana yang sebagai penganjur dan mana yang tidak karena dalam prakteknya massa yang ditindak adalah massa yang secara fisik dan nyata telah ikut berbuat secara langsung dilapangan dan bukan yang tidak bergabung dalam kerumunana massa yang berbuat. Sebab biasanya penganjur pada bentuk massa yang tidak terorganisir, hanya sebatas pembakar emosi karena isu yang dibangun adalah isu bersama bagi massa untuk ditindak secara brutal dan anarkis sehingga masuk dalam kategori perbuatan pidana. Pada kenyataannya untuk bentuk massa yang terbentuk tidak secara terorganisir ini dalam melakukan perbuatan pidana, niat awal bisa muncul dan berawal dari diri pribadi masing-masingdan bukan dari orang lain, yang mana hal tersebut terjadi karena memiliki satu permasalahan dan isu yang sama dan harus diselesaikan dengan cara yang ilegal dan melawan hukum. Sebagai contoh pemukulan terhadap pencopet yang ditangkap warga secara beramai-ramai kemudian dipukuli massa secara spontanitas dengan tanpa adanya yang memprovokatori atau mempengaruhi untuk berbuat. Maka pada kasus diatas penyelesain tidak dengan menggunakan delik penyertaan menganjur lakukan (uitlokker), tetapi dengan

198

menggunakan delik biasa. Artinya diterapkan dengan model pebuatan yang dilakukan oleh individu, pelakunya individu dan pertanggungjawaban pidana yang juga individu. Jadi dalam hal tidak adanya pihak penganjur atau provokator maka antar pelaku atau massa yang berbuat tidak memiliki hubungan atau ikatan satu dengan yang lainnya, tetapi terpisah. Kedudukan antar pelaku massa satu dengan yang lainnya sama-sama sebagai pelaku penuh dan pertanggungjawaban disesuaikan dengan kontribusi perbuatan yang dilakukan masing-masing pelaku. Jadi pada bentuk penyertaan ini kedudukkan antar pelaku baik yang menganjur atau yang dianjur melakukan sama-sama sebagai pelaku perbuatan pidana, dan diantara keduanya tidak ada hubungan yang mengikat pada waktu pelaksanaan perbuatan tidak seperti turut serta melakukan. Hubungan antara kedua terjadi yaitu pada saat sebelum perbuatan pidana dilakukan. Sama halnya dengan menyuruh melakukan hanya saja dalam menyuruh melakukan dimana yang disuruh pelaku berada dibawah kendali yang menyuruh dan hal ini berbeda dengan menganjur lakukan karena disini penganjur memiliki peranan yang sangat terbatas yaitu sebatas

menganjurkan saja. Tapi perlu diingat untuk penyertaan ini tidak tertutup hanya pada massa yang tidak terorganisir tapi juga yang terorganisir. Tapi untuk massa yang terorganisir para penganjur ini atau istilah lain adalah provokator

199

sangat mudah terdeteksi karena keluar dari rencana yag telah disepakati para massa yang terorganisir tersebut. d. Penyertaan pembantuan/membantu melakukan (medeplichtigheid). Tercantum dalam pasal 56 seperti yang tertuang dalam penjelasan KUHP bahwa membantu melakukan perbuatan pidana adalah orang yang sengaja memberikan bentuan pada waktu atau sebelum (jadi tidak sesudahnya) kejahatan itu dilakukan17 Bentuk bantuan yang diberikan tidak secara limitatif seperti halnya menganjur melakukan (uitlokker) hanya saja diantaranya memberi kesempatan daya upaya atau keterangan, untuk membedakanya dengan bentuk penyertaan lain yang hampir sama yaitu menyuruh lakukan (doen pleger) dan menganjur lakukan (uitlokker), terletak pada dimana kehendak untuk berbuat jahat sebelumnya sudah ada pada pelaku kemudian disini munculah inisiatif dari yang membantu dalam menjalankan perbuatan pidananya. Adapun bantuan tersebut tidak selalu signifikan keberadaanya dalam proses melakukan perbuatan pidana18. Pada bentuk penyertaan ini bisa berlaku pada semua bentuk perbuatan pidana yang dilakukan secara massal baik dengan massa yang terbentuk secara terorganisir maupun tidak terorganisir, hal ini di karenakan pembantuan dalam perbuatan pidana sifatnya berada diluar system dan dari perbuatan para pelaku yang sudah punya niat untuk melakukan perbuatan pidana, jadi pembantu dalam hal ini

17 18

ibid., hlm. 75-76 Utrecht, Hukum Pidana II, Ctk. Ketiga, Bulan Bintang, Jakarta, 1976, hlm.79-80

200

hanya sebatas pelengkap dari perbuatan pidana karena walaupun tanpa adanya bantuan tersebut perbuatan pidana tetap berjalan dan terlaksana. Jadi dalam hal ini kedudukan pembantu dalam perbuatan pidana yang dilakukan secara massal tetap diakui keberadaanya dalam kontribusi yang diberikan, dan tetap dinyatakan sebagai pelaku perbuatan pidana meskipun hanya yang membantu tapi dalam hal ini dipidana. Walaupun perbuatannya tersebut walaupun hanya kecil dan bisa dikatakan tidak terlalu berarti pada pelaku yang sebenarnya. Dengan melihat pembahasan yang tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa hubungan antar pelaku perbuatan pidana yang dilakukan secara massal dapat dilihat melalui bentuk massa yang terbentuk, apakah massa beraksi secara terorganisir atau tidak terorganisir dan khususnya untuk massa yang terorganisir dapat diterapkan bentuk penyertaan turut serta (medeplegen), sedangkan untuk massa yang tidak terorganisir dapat diterapkan pada bentuk penyertaan penganjuran (uitlokker). Oleh karena itu dengan melihat bentuk-bentuk penyertaan tersebut diantaranya turut serta melakukan (medepleger), menyuruh lakukan (doen pleger), mengajur lakukan (uitlokker) dan membantu melakukan

(medeplichtigheid) dan diantara kesemuanya bagi penulis tidak semuanya cocok diterapkan pada perbuatan pidana yang dilakukan secara massal,baik massa yang terorganisir ataupun tidak terorganisir. Karena pada saat dikontekskan tidak semuanya tepat digunakan meskipun ajaran dari kesemua bentuk penyertaan tersebut adalah perbuatan yang dilakukan lebih dari satu orang atau

201

lebih yang dalam hal ini tanpa batas, sebagaimana hal tersebut juga bersesuaian dengan perbuatan pidana yang dilakukan secara massal. Jadi diantara keempat bentuk penyertaan tersebut yang dapat diterapkan adalah, turut serta melakukan (medeplegen), mengajur lakukan (uitlokker), dan membantu melakukan (medeplichtigheid). Dan kesemua hal tersebut telah tercantum dalam KUHP sehingga tinggal diterapkan pada para pelanggar pembuatan pidana khususnya pada perbuatan yang dilakukan secara massal.

2. Konsep Pertanggungjawaban Pelaku Perbuatan Pidana Yang Dilakukan Secara Massal Seseorang dikatakan bertanggungjawab atas perbuatan pidana yang dilakukan apabila dalam dirinya terdapat atau mempunyai kesalahan dalam dirinya yang merupakan azas-azas dari pertanggungjawaban pidana. Dalam perbuatan pidana yang dilakukan secara massal dalam hal ini sesuai dengan konsep penyertaan dimana kedudukan para pelaku berbeda-beda yaitu ada yang sebagai aktor intelektual , aktor material, bersama-sama melakukan dan yang membantu melakukan perbuatan pidana. Secara ideal apabila dikontekskan dalam konsep penyertaan maka dalam hal kontribusi atau peranan dalam melakukan perbuatan pidana dengan banyaknya pelaku tentunya berbeda-beda, dan dalam segi pertanggungjawaban pidananya pun berbeda-beda juga. Pada bentuk penyertaan turut serta (medepleger), dalam melakukan perbuatan pidana para pelaku dalam hal terbukti secara bersama-sama baik itu dari fisik dan non fisik maka seperti dinyatakan pada bab sebelumnya,

202

kedudukanya sama artinya selama semua perbuatan yang dilakukan bersama itu tidak berlebihan atau tidak diluar dari yang direncanakan sebelumnya yang telah disepakati maka tanggungjawabnya sama. Tetapi apabila ada diantara para pelaku dan turut serta melakukan perbuatan yang diluar dari kesepakatan diawal, maka tanggungjawabnya berbeda artinya disesuaikan dengan besarnya peranan yang diberikan pada perbuatan pidana tersebut. Bentuk penyertaan menganjur lakukan (uitlokker) adalah dimana disini terdapat dua posisi kedudukan para pelaku yang memang sudah dibeda-bedakan tidak seperti turut serta lakukan. Ada sebagai penganjur (aktor intelektual) dan yang melakukan anjuran (aktor material), jadi karena memiliki peranan yang berbeda-beda maka, tanggungjawab pidana yang diemban pastinya juga berbeda-beda. Bagi pihak yang menganjurkan pada prinsipnya

tanggungjawabnya hanya sebatas pada perbuatan yang benar-benar dianjurkan saja dan tidak lebih19 yaitu sebagai contoh menganjur mencuri, jadi pertanggungjawaban yang menganjur hanya sebatas pada mencuri apabila lebih maka penganjur tidak bertanggungjawab, dan hal ini sebagaimana batas keterlibatan penganjur. Bagi yang melakukan anjuran dari penganjur maka

pertanggungjawabanya dapat melebihi pada batasan dari perbuatan yang dianjurkan, jika hal itu memang timbul secara berkaitan sebagai akibat langsung dari perbuatan pihak yang menganjurkan20. Jadi sebagai contoh pada sebuah segerombolan massa yang tidak terorganisir kemudian terprovokatori untuk
19 20

Abdul Kholiq, op.cit., hlm232 ibid.

203

melakukan perbuatan pidana berupa merusak rumah seorang warga yang dianggap sebagai dukun santet, dan pihak yang memprovokatori bisa terlibat langsung atau langsung pergi dan hanya menonton saja aksi massa tersebut. Dari para massa yang pada awalnya terprovokasi untuk melakukan penghancuran rumah saja kemudian bisa menjadi lebih brutal sampai memukul orang yang dianggap sebagai dukun santet. Jadi dengan mendasari hal tersebut maka massa di hukum sesuai dengan semua perbuatan yang telah dilakukan. Perlu ditegaskan bahwa terhadap penganjur dalam perbuatan pidana yang dilakukan secara massal peran sertanya tidak hanya sebatas menganjurkan saja kemudian melihat / mengamati perbuatan yang dianjurkan sampai selesai, tetapi juga bisa turut andil pada saat perbuatan pidana dilakukan. Dengan melihat pernyataan tersebut maka kedudukan penganjur tetap sebagai penganjur meskipun dalam hal ini penganjur juga turut serta melakukan perbuatan pidana Dalam pertanggungjawaban bentuk penyertaan pembantuan

(medeplichtigheid), sebagai mana yang tertuang dalam pasal 57 ayat 1 dan 2 yaitu : Ayat 1 : selama-lamanya hukuman pokok bagi kejahatan, dikurangi dengan sepertiganya, dalam hal membantu melakukan kejahatan Ayat 2 : jika kejahatan itu diancam dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup maka dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya 15 tahun. Jadi untuk pembantun konsep pertanggungjawabanya telah ditetapkan dan diatur dalam KUHP dengan jelas.

204

Jadi dalam perbuatan pidana yang dilakukan secara massal terhadap konsep pertanggungjawabanya simpel sebagaimana yang selama ini berlaku. pada perbuatan pidana yang dilakukan oleh satu orang, karena apabila melihat secara nyata dalam kehidupan kita sehari-hari sering sekali menemukan baik dari media cetak atau elektronik bahkan menyaksikan langsung terhadap perbuatan pidana yang dilakukan secara massal yang mana pelakunya tidak jelas berapa banyak jumlahnya, tetapi dalam proses hukumannya yang ditindak hanyalaah segelitir orang saja, atau bisa dikatakan refresentatif dari massa yang terlibat. Menurut Marc Ancel bicara masalah pertanggungjawaban pidana adalah dimana pertanggungjawaban tersebut didasarkan pada kebebasan individu merupakan kekuatan penggerak yang utama dari proses penyesuaian-sosial, tujuan utamanya adalah dimana setiap perlakuan readaptasi-sosial harus diarahkan pada perbaikan terhadap penguasaan diri sendiri. Oleh karena itu masalah pertanggungjawaban (kesalahan pen) seharusnya tidak boleh diabaikan, malah justru diperkenalkan kembali sebagai suatu terhadap konsepsi

pertanggungjawaban pribadi (kesalahan individual). Reaksi perbuatan anti-sosial justru harus dipusatkan pada

pertanggungjawaban pribadi ini 21. Pertanggungjawaban pribadi (individual responsibility) menurut Mark Ancel menekankan pada perasaan kewajiban moral pada diri sendiri / individu dan oleh karena itu mencoba untuk merangsang ide tanggungjawab atau
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Edisi Revisi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, Hlm.38
21

205

kewajiban sosial terhadap anggota masyarakat yang lain dan juga mendorongnya untuk menyadari moralitas sosial. Dan hal tersebut merupakan manifestasi dari kepribadian si pelaku22 Jadi berdasarkan pernyataan Marck Ancel tersebut maka hukum pidana kita tidak mengenal pertanggungjawaban kolektif dan saksi lebih ditujukan kepada diri individu pelanggar. Tapi yang menjadi permasalahan sampai sekarang adalah bagaimana menjatuhkan sanksi kepada semua pelaku secara merata yang sangat tidak mungkin dilakukan terhadap para pelaku perbuatan pidana yang dilakukan secara massal. Jangankan sampai menjatuhkan sanksi untuk menentukan siapa saja yang menjadi tersangka dalam perbuatan pidana yang dilakukan secara massal aparat penegak hukum khususnya polisi dalam hal ini mengalami kesulitan terutama pada massa yang tidak jelas berapa jumlah yang terlibat. Hal tersebut diatas dapat tergambar dari aparat penegak hukum salah satunya polisi, bagi polisi sesuatu yang tidak mudah untuk menangkap dan menyidik pelaku kejahatan massa, apalagi yang tidak jelas jumlahnya. Dalam kasus-kasus yang melibatkan massa yang banyak dan tidak jelas jumlahnya polisi cenderung berhati-hati bertindak agar tidak terpeleset dalam tindak pelanggaran (kejahatan) menurut UU No 39 / 1999 tentang HAM23. Akibat sikap kehati-hatian tersebut mengakibatkan rasa keadilan masyarakat tercampakkan khususnya terhadap para korban yang merasa tidak puas terhadap penegakan hukum bagi para pelaku yang dilakukan secara massal.
22 23

ibid., hlm. 38-39 Main Hakim Sendiri dan Budaya Hukum, dalam http//

206

Jadi berdasarkan kondisi riil dari penegakkan hukum terhadap perbuatan pidana yang dilakukan secara massal tersebut, maka diperlukan suatu solusi yang dapat mengatasi hal tersebut, dalam hal ini menurut hemat penulis dalam mencari pelaku perbuatan pidana yang dilakukan secara massal serta bagaimana konsep atau pertanggungjawaban yang diemban maka dapat menggunakan konsep pertanggungjawaban pada korporasi yang khusunya diberlakukan pada jumlah massa yang tidak jelas berapa jumlahnya, yang mana dalam hukum pidana konsep yang ditawarkan tersebut menyimpang dari dasar hukum pidana yang ada. Dalam munculnya konsep pertanggungjawaban korporasi yang akan diberlakuakn pada perbuatan pidana yang dilakukan secara massal, dikarena suatu alasan yang mendasar dan tidak mengada-ada, tetapi dengan melihat kenyataan dari sebuah penegakkan hukum yang selama ini berlangsung walaupun tidak dominan, tapi perlu untuk dipertimbangkan. Tapi untuk lebih jelas apakah konsep pertanggungjawaban korporasi tepat diberlakukan pada perbuatan pidana yang dilakukan secara massal maka harus dilihat pada bentuk massa yang terbentuk. Dalam tulisan ini yang menjadi pokok permasalahan adalah bagaimanakah hubungan antar pelaku perbuatan pidana yang dilakukan secara massal, yang pada akhirnya menghasilkan seberapa besar tanggungjawab yang akan diemban para pelaku masing-masing. Oleh karena itu, hal ini dapat dengan mudah dikaji apabila dilihat dari aspek bentuk massa yang terbentuk untuk

207

melakukan perbuatan pidana, karena dalam hal ini massa yang berbuat kolektif sifatnya. Jadi dengan melihat bentuk massanya, baik yang terorganisir maupun tidak terorganisir. Maka akan terlihat apakah konsep pertanggungjawaban

korporasi dapat menjadikan sebuah solusi kedepannya. Untuk lebih jelasnya maka akan dibahas satu persatu dari bentuk massa tersebut. a. Massa yang terorganisir Pada kelompok massa yang terorganisir mempunyai suatu kerjasama yang terjalin, baik secara fisik maupun non fisik dalam melakukan suatu perbuatan pidana. Pada umumnya kelompok massa yang terorganisir dapat berbentuk suatu organisasi dan bukan organisasi. Untuk massa yang terorganisir dengan sebuah organisasi, mempunyai ciri-ciri yaitu: memiliki identitas/nama perkumpulan, memiliki struktur organisasi, memiliki peraturan yang mengikat anggotanya, memiliki keuangan sendiri, berkesinambungan dan sosial oriented. Seperti: FPI, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Muhamadiyah, LSM. Organisasi mahasiswa, buruh, ormas, dan lain-lain dan tidak termasuk organisasi kejahatan seperti sidikat mafia, narkotik, senjata api dan lain-lain. Apabila dikontekskan dengan korporasi maka untuk organisasi massa ini bukan merupakan sebuah korporasi, karena dilihat dari defenisi korporasi itu sendiri adalah merupakan sebuah perkumpulan harta atau orang, tapi korporasi terbentuk dengan tujuan profit oriented.

208

Jadi apabila suatu organisasi yang bertujuan profit oriented maka dinyatakan sebagai korporasi, seperti Bank, perusahaan-perusahan dan lainlain dan dalam hal terjadi tindak pidana baik dilakukan individu atau secara massal/kolektif sudah mempunyai aturan dan konsep pertanggungjawaban yang jelas karena sangat mengikat sifatnya. Sedangkan untuk organisasi yang bukan bertujuan untuk profit oriented maka dinyatakan sebagai organisasi massa yang tujuannya lebih pada sosial oriented yaitu pengabdian pada masyarakat dan pengembangan diri, yang menjadi permasalahan adalah apabila terjadi perbuatan pidana dilakukan oleh organisasi massa secara massal yang jumlahnya tidak jelas, maka hal tersebut yang selama ini mengalami kendala. Sedangkan untuk massa terorganisir tidak dengan sebuah organisasi, atau sementara, artinya adalah massa yang terorganisir hanya untuk jangka pendek atau sementara sifatnya dan spontan dibentuk untuk melakukan suatu perbuatan pidana, sebagai contoh, penggeroyokan, tawuran, sara, dan lain-lain. Yang mana apabila sudah selesai apa yang dikerjakan maka langsung bubar. Jadi sangat jelas disini dikatakan sebagai sebuah korporasi. Tetapi walaupun massa yang terorganisir terbentuk dengan sebuah organisasi atau tidak, dalam hal ini tidak menjadi permasalah. Karena yang penting adalah bagaimana cara kerja massa yang terorganisir dalam melakukan perbuatan pidana yang mana sama-sama mempunyai keterikatan yang erat satu dengan yang lain atau bisa dikatakan sebagai satu kesatuan. untuk bentuk ini tidak dapat

209

Sering kali dalam perbuatan pidana yang dilakukan secara massal baik massa yang terbentuk secara terorganisir atau tidak terorgansir, dalam praktek selama ini yang ditangkap dan yang dijadikan tersangka adalah orang-orang yang dianggap otak atau pemimpin dalam suatu kelompok massa yang melakukan perbuatan pidana sebagai contoh adalah suatu organisasi Islam yaitu Front Pembela Islam (FPI) yang selama ini aksi-aksi penerbitan terhadap tempat-tempat yang dianggap maksiat atau pengrusakan dan penyerangan terhadap keberadaan kelompok- kelompok ahmadiah (9 juli 2005)24 . Dengan melihat hal tersebut bisa dikatakan bahwa praktek penegakan hukum terhadap perbuatan yang dilakukan secara massal bersifat perwakilan atau representative bagi pelaku-pelaku yang lain dan apakah ini dapat dibenarkan?. Seperti halnya yang berlaku pada pertanggungjawaban korporasi Berdasarkan realitas tersebut maka menimbulkan suatu pertanyaan apakah untuk kolompok-kelompok yang terorganisir seperti FPI

dimungkinkan menggunakan konsep pertanggungjawaban seperti pada pertanggungjawaban pada korporasi. Pada bab sebelumnya tentang korporasi, dimana selama ini dalam hukum pidana kita belum atau tidak mengenal tentang

pertangggungjawaban korporasi. Tapi pertanggungjawaban korporasi baru dikenal di Indonesia pada tahun 1951, tapi sampai sekarang hukum pidana kita ( KUHP ) belum mengakui keberadaanya. Namun pada RUU KUHP
24

Tentang kasus Ahmadiyah,tedapat dalam, http// majelis,mujahidin.or.id

210

nasional memberikan ruang bagi korporasi sebagai subjek hukum. Sebagaimana dirumuskan pengertian korporasi diluar KUHP yaitu kumpulan terorganisir orang atau kekayaan baik merupakan badan hukum atau bukan25. Tapi satu hal yang perlu diingat bahwa walaupun korporasi berbadan hukum atau tidak tapi dalam hal ini tetap dalam lingkup yang bersifat profit oriented selain itu kecuali yang berbentuk yayasan . Dalam korporasi dikenal tiga system pertanggungjawaban pidananya yaitu : 1. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang

bertanggungjawab. Pada sistem ini apabila terjadi tindak pidana dilingkungan korporasi maka tindak pidana itu dianggap dilakukan pengurus korporasi dan system ini membedakan tugas mengurus dari pengurus26. Jadi disini korporasi tidak dapat dimintakan

pertanggungjawabannya. Hal ini pun diakui dalam KUHP kita, dimana korporasi tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya yaitu pada pasal 169 KUHP, pasal 398 KUHP, dan pasal 399 KUHP dimana di dalam pasal tersebut mengatakan bahwa yang bertanggung jawab dalam sebuah korporasi adalah pengurus27. 2. Korporasi sebagai pembuat maka pengurus yang bertanggungjwab pada sistem pertanggungjawaban ini diakuinya korporasi sebagi subjek hukum dimana korporasi dapat melakukan tindak pidana akan tetapi
Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana, Ctk. Pertama, Sekolah Tinggi Hukum Bandung, Bandung, 1991,hlm 19 26 H. Setiyono, Kejahatan Korporasi, Ctk. Pertama, Averros Press&Fakultas Hukum Unversitas Medeka Malang&Pustaka Pelajar, Malang &Yogyakarta, 2002, hlm. 15 27 Muladi dan Dwidja Prayitno, op.cit., hlm 108
25

211

tanggung jawab untuk itu menjadi beban dari pengurus badan hukum (korporasi) tersebut28. Tindak pidana yangh dilakukan korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan seseorang teertentu sebagai pengurus dari badan hukum tersebut, sifat dari perbuatan yang menjadikan tindak pidana itu adalah opersoolijk dan yang memimpin korporasi bertanggungjawab pidana terlepas dari apakah ia tahu atau tidak tentang dilakukannya perbuatan itu29 . 3. Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggungjawab pada system pertanggungjawaban yang ketiga ini adanya

pertanggungjawaban langsung dari korporasi dan dibuka kemungkina menuntut korporasi dan meminta pertanggungjawabanya menurut hukum pidana30. Jadi apabila dikontekskan bentuk atau system pertanggungjawaban korporasi tersebut, maka dari realitas sosial yang ada, biasanya kelompok massa yang terorganisir mengunakan identitas kelompok atau organisasi dalam melakukan perbuatan pidananya dan yang ditangkap dan diproses adalah pemimpin dari kelompok tersebut walaupun tidak semua kasus diperlakukan sama sebagai contoh kasus FPI dimana yang ditangkap adalah ketua dari front pembela Islam sedangkan teman-temannya yang satu perjuangan tidak diproses. Jadi apabila dipadukan dengan pertanggungjawaban korporasi adalah sama dengan bentuk yang kedua yaitu dimana korporasi yang
28 29

ibid.,hlm 16 Muladi dan Dwidja Priyatno, op,cit., hlm70 30 H.Setiyono,op.cit., hlm 17

212

berbuat maka yang bertanggungjawab adalah pengurus, dalam hal ini adalah pemimpin perusahaan yang bersangkutan. Menurut hemat penulis system pertanggungjawaban tersebut lebih efektif walaupun dalam hukum pidana kita tidak dikenal. Adapun hal tersebut dengan mempertimbangkan bahwa ciri-ciri dari massa salah satunya adalah sugestif dan menular, apalagi ucapan dan atau tindakan yang dilakukan oleh salah satu individu (apalagi kalau dia dianggap sebagai pemimpin). Karena tanpa adanya pemimpin organisasi massa yang terorganisir dalam hal akan melakukan perbuatan pidana tidak akan berjalan dengan baik dan mencapai tujuan yang ditargetkan. Dalam hal penegakan hukumnya maka yang ditangkap dan diproses adalah pemimpin maka hal tersebut bisa membuat orang yang memimpin massa atau organisasi setidak-tidaknya berfikir untuk menggerakkan massa untuk melakukan pidana karena yang nantinya akan bertanggung jawab adalah pemimpin tersebut. Massa berani bereaksi dan sampai berakibat anarkis serta brutal dikarenakan salah satu ciri massa adalah anonimitas, dimana karena dalam massa ini memindahkan identitas dan tanggung jawab individual ke dalam identitas dan tanggung jawab kelompok. Artinya perilaku individu dalam massa ini sangat berani, tidak rasional, agresif, destruktif, pendeknya tidak bertanggung jawab karena tidak merasa bertindak sebagai individu dan tidak akan di mintai pertanggungjawaban sebagai individu31. b. Massa yang tidak terorganisir
31

Korupsi dan Amuk Massa dan Dagelan Hukum, dalam http//antikorupsi.org/mod

213

Bagi kelompok massa yang tidak terorganisir, dimana dalam melakukan perbuatan pidana timbul secara reaktif dan spontanitas, karena kondisi atau keadaan yang menyebabkan massa tersebut terprovokasi untuk melakukan perbuatan pidana. Otomatis dalam beraksipun tidak adanya koordinasi atau instruksi yang jelas dari orang yang dianggap ketua atau pemimpin, dan yang menggerakkan massa tersebut serempak bukan adanya pemimpin tetapi karena kesamaan isu atau permasalahan. Realita tersebut biasanya dipicu karena timbulnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap kewibawaan hukum yang menurun, sebab dengan melihat kenyataan bahwa penegak atau pengemban hukum justru melakukan perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai hukum yang seharusnya ditegakkan (antara lain kebenaran, keadilan, kejujuran, kepercayaan dan cinta kasih antar sesama)32 . Nilai kepercayaan merupakan salah satu nilai atau kepentingan yang perlu selalu dipelihara, ditegakkan, dilindungi. Masyarakat yang aman , tertib, dan damai diharapkan dapat dicapai apabila ada saling kepercayaan dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai kepercayaan inilah yang justru menjalin hubungan harmonis kehidupan bermasyarakat dan bernegara dan sebaliknya, akan timbul kekacauan, ketidaktentraman, dan ketidakdamaian apabila nilai kepercayaan itu telah hilang atau mengalami erosi dalam kehidupan bermasyarakat. Dan dalam mencari penyelesaian dilakukan dengan kekerasan dan bahkan main hakim sendiri33.
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakkan Penegakkan&Pengembangan Hukum Pidana, Edisi Revisi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 56 33 ibid., hlm 56
32

214

Sebagai contoh pada kasus diadilinya seorang pastur di Flores yaitu RM. Frans Amanue, perbuatan akibat mengkritik pemerintah akhirnya ditangkap dan diproses hukum padahal niat dari pastur untuk membela keadilan dan kebenaran tapi malah dihukum. Hal tersebut memicu masyarakat Flores yaitu tepatnya di Larantuka, kota Reinha yang merasa bahwa para penegak hukum tidak lagi berpihak pada rasa keadilan dan kebenaran tapi pada yang berkuasa. Kemarahan massa memuncak dan berakibat pada pemboikotan dua gedung tempat masyarakat mencari keadilan yaitu gedung pengadilan dan kejaksaan negeri ( Akantika )34 . Jadi untuk mengatasi hal tersebut diperlukannya pembenahan atau reformasi terhadap para penegak hukum kita untuk menjadi lebih baik dan menghilangkan citra yang selama ini melekat yaitu hilangnya rasa kepercayaan masyarakat pada para penegak hukum. Jadi untuk konsep pertanggungjawaban pidana yang dilakukan secara massal, dimana massa disini tidak terorganisir tidak dapat diterapkan sistem pertanggungjawaban seperti korporasi baik untuk yang sistem pertanggungjawaban pertama atau sistem pertanggungjawaban yang kedua karena pertimbangan : 1. karena massa terbentuk tidak secara terorganisir dan teratur dengan baik tetapi muncul secara spontanitas maka tidak ada identitas atau nama perkumpulan yang mewadahi gerakan mereka sehingga tidak dapat diterapkan pertanggungjawaban korporasi baik yang pertama dan yang kedua. 2. Pada kelompok massa tidak adanya pemimpin atau ketua yang mengatur atau memimpin perkumpulan massa tersebut. Jadi dalam hal ini orang-orang yang bergabung dalam kelompok massa adalah masingmasing menjadi pemimpin bagi diri mereka sendiri. Jadi tidak bisa
34

Setelah Putusan Hakim atas Rm. Frans Amanue,Pr

215

diterapkan pertanggungjawaban korporasi baik sistem yang pertama maupun yang kedua. Sedangkan untuk sistem pertanggungjawaban korporasi yang ketiga pada kasus perbuatan pidana yang dilakukan massal baik massa yang terbentuk secara terorganisr ataupun tidak terorganisir, tidak dapat diterapkan karena sangat resisten, karena dengan diberlakukan pertanggungjawaban langsung kepada kelompok massa yang terorganisasi khususnya, maka akan

menimbulkan kontrafersi sebab salah satu hak asasi warga negara masyarakat Indonesia adalah kebebasan berserikat dan berpendapat. Kecuali perkumpulan tersebut adalah perkumpulan terlarang sebagaimana yang disebutkan pada pasal 169 KUHP. Jadi setiap orang berhak untuk berserikat dan berpendapat selama tidak bertentangan dengan hukum. Sebenarnya bukan masalah berserikat atau berpendapat yang dilarang tetapi apabila bentuk dan perbuatan berserikat dan berpendapat yang sudah melawan hukum atau kearah perbuatan pidana yang dilarang35 . Setelah melihat uraian diatas dimana disini penulis mencoba untuk menampil model pertanggungjawaban seperti halnya yang berlaku dalam korporasi pada perbuatan pidana yang dilakukan secara massal, Khusus pada massa yang terorganisir walaupun sebenarnya keberadaan dari organisasi massa tersebut tidak atau bukan merupakan korporasi, tapi dalam hal ini penulis melihat efektivitas dari penegakkan hukum. Hal tersebut didasarkan pada praktek penegakkan hukum terhadap beberapa kasus perbuatan pidana yang
35

Lihat penjelasan pasal 169 KUHP

216

dilakukan secara massal yang mana sistem pertanggungjawaban yang diterapkan menyerupai sistem pertanggungjawaban yang ada pada korporasi. Salah satu sumber dari undang-undang adalah yurisprudensi, maka apa salahnya hal tersebut coba diterapkan pada perbuatan pidana yang dilakukan secara massal. Sebab permasalahan utama dari perbuatan pidana yang dilakukan secara massal adalah bagaimana cara penegakkan hukum yang ideal dan adil. Bagi penulis dengan diterapkannya konsep pertanggungjawaban seperti pada korporasi adalah bertujuan salah satunya sebagai aspek preventif dimana bagi siapa saja tidak akan berani dan sembaranagan untuk menjadi pemimpin dan penanggungjawab dalam aksi perbuatan pidana yang dilakukan secara massal.selaian aspek preventif juga aspek represif.

B. Hubungan Antar Pelaku Perbuatan Pidana yang Dilakukan Secara Massal Menurut Yurisprudensi. Fenomena perbuatan pidana yang dilakukan secara massal baik yang dilakukan dengan massa yang terorganisisr ataupun yang tidak terorganisir yang terjadi akhir-akhir ini diIndonesia sudah semakin marak dan memprihatinkan, dimana perbuatan tersebut sudah menjadi wabah sosial yang dengan cepat menjalar kemana-mana, mulai dari kota besar hingga pelosok tanah air. Demikian yang diungkapkan oleh pakar sosiologi hukum Prof. Dr. Satjipto Rahardjo SH.36. Sudah banyak juga dari kasuss-kasus tersebut yang diprosese dipengadilan dan kasus-kasusnyapun sudah inkracht. Disini penulis memberikan pandangan dari
Amuk Massa diIndonesia http//www.kompas.com/kompas-cetak/..
36

Sudah

jadi

wabah

Sosial,

dalam,

217

segi yurisprudensi terkait dengan perbuatan pidana yang dilakukan secara massal. Dengan melihat apakah antara law in the book dan law in action berjalan seiringan atau tidak. 1. Putusan Pengadilan Negeri Surakarta No.28/Pid.B/1999/PN.Ska. Pada tanggal 13 Desember 1998 tepatnya pukul 02.00 wib. Dijalan lamet Riyadi No. 376 Surakarta, Ferry Susanto bersama-sama dengan Hendrik Sugiyanto, Ronny, Irwan,dan beberapa orang yang lain melakukan perbuatan pidana berupa pengrusakan terhadap barang, yaitu berupa lampu bulat diatas gapura POLWIL Surakarta yang mana perbuatan tersebut dilakukan dengan cara mereka secara beramai-ramai memasuki kantor Polisi kemudian bersamasama melempari lampu tersebut dengan batu sebanyak, sehingga

mengakibatkan lampu milik kantor Polisi tersebut rusak dan pecah. Dari rangkaian perbuatan yang dilakukan maka dalam kasus ini yang ditetapkan sebagai terdakwa adalah Ferry Susanto yang merupakan salah satu pelaku dalam perbuatan pidana tersebut. Berdasarkan uraian kasus tersebut dapat diamati bahwa terdapat beberapa orang yang bersama-sama dengan Ferry Susanto yaitu Hendrik Sugiyanto, Ronny, Irwan, dan beberapa orang lagi yang dalam surat dakwaan tidak disebutkan namanya. Dalam hal ini tidak dijadikan terdakwa oleh jaksa penuntut umum, dan kalaupun pada kasus ini dilakukan spiltsing, hendaknya disebutkan oleh Penuntut Umum bahwa nama-nama yang tercantum dinyatakan juga sebagai terdakwa dalam kasus yang sama. Dalam KUHAP sebagaimana yang tercantum pada pasal 141 bahwa penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dengan satu surat

218

dakwaan. Tapi kemungkinan penggabungan itu dibatasi dengan syarat-syarat oleh pasal tersebut, syarat-syarat tersebut sebagai berikut37: a. Beberapa perbuatan pidana yang dilakukan oleh seseorang yang

sama dengan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya. b. Beberapa tindak pidana yang bersangkut paut dengan yang lain

( dalam hal ini terdapat lebih dari satu orang pelaku) c. Beberapa perbuatan pidana meskipun tidak ada sangkut pautnya

akan tetapi satu dengan yang lain ada hubungannya. Disamping kewenangan untuk menggabungkan perkara penuntut umum juga punya kewenangan untuk menuntut secara terpisah (splitsing)dari berkas perkara yang memuat beberapa perbuatan pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka sesuai dengan pasal 142 KUHAP38. Dalam pedoman pelaksanaan KUHAP dijelaskan bahwa splitsing biasanya dilakukan dengan membuat berkas perkara baru dimana para tersangka saling menjadi saksi, sehingga untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan baru baik terhadap tersangka maupun saksi39. Menurut Andi Hamzah penuntut dalam hal ini dapat langsung memecah berkas tersebut menjadi beberapa buah. Yang perlu diminta dari penyidik ialah duplikat hasil pemeriksaan, karena sangat kurang bermanfaat kalau hanya untuk

37

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana, Edisi Revisi, Sinar Grafika, Jakarta, 2001,

hlm159 Bambang Poernomo, Pokok-pokok Tata Acara Peradilan Pidana diIndonesia dalam Undang-Undang R.No. 8 Tahun 1981,Ctk. Pertama, Liberty, Yogyakarta, 1993. hlm 24 39 Andi Hamzah, op.cit., hlm160
38

219

dipecah menjadi beberapa berkas perkara itu harus bolak-balik dari penuntut umum kepenyidik, dan tidak sesuai dengan asas peradilan cepat.40 Jadi berdasarkan pasal 141 KUHAP penuntut umum dapat

menggabungkan perkara yaitu dimana beberapa tindak pidana yang bersangkut paut dengan yang lain (dalam hal ini terdapat lebih dari satu orang pelaku). Kata bersangkut paut mempunyai makna yaitu41: 1. Oleh lebih dari seorang yang bekerjasama dan

dilakukan pada saat yang bersamaan; 2. Oleh lebih dari seorang pada saat dan tempat

yang berbeda, akan tetapi merupakan pelaksanaan dari pemufakatan jahat yang dibuat oleh mereka sebelumnya; 3. Oleh seorang atau lebih dengan maksud

mendapatkan alat yang dapat dipergunakan untuk melakukan delik lain atau menghindarkan diri dari pemidanaan (tidak dijelaskan apa yang dimaksud pada point tertsebut). Jadi pada perbuatan pidana yang dilakukan tersebut pelakunya lebih dari satu orang, jadi dimungkinkan untuk digabungkan apabila para pelaku tersebut terbukti melakukan perbuatan yang sama dengan Ferry susanto. Pada kewenangan penuntut umum untuk melakukan pemisahan terhadap para pelaku satu dengan yang lain bisa dilakukan sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 142 KUHAP. Tapi dari penuntut umum tidak dilakukan padahal secara nyata dari rangkaian perbuatan tersebut dilakukan secara bersama-sama.
40 41

ibid., hlm 161 ibid., hlm 160

220

Hal mana penting untuk menyebutkan bahwa ada terdakwa lain dalam kasus yang sama yang hal tersebut penting untuk diketahu oleh umum. Lagi pula hal tersebut dilakukan untuk menghidari sama-sama menjadi terdakwa pada kasus yang sama tapi dipersidangan yang berbeda dimana terdakwa bergantian dijadikan saksi, hal tersebut menurut Mahkamah Agung dalam putusannnya terhadap kasus Marsinah menyatakan bahwa para saksi adalah para terdakwa bergantian dalam perkara yang sama dengan dakwaan yang sama yang dipecah-pecah bertentangan dengan hukum acara pidana yang menjunjung tinggi hak asasi manusia42. Dalam kasus ini penuntut unun mendakwakan dengan bentuk dakwaan subsidair, dakwaan primer; pasal 170 ayat (1) KUHP, yaitu barang siapa yang dimuka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, dihukum penjara selama 5 tahun 6 bulan. Dan dakwaan subsidair; pasal 406 ayat (1) KUHP, yaitu barang siapa yang dengan sengaja dan melawan hak membinasakan, merusakkan, membuat sehingga tidak dapat dipakai lagi atau menghilangkan sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya kepunyaan orang lain, dihukum penjara selama-lamanya 2 tahun 8 bulan atau denda sebanyak-banyaknya 4.500,-. Berdasarkan bentuk surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum berupa dalam bentuk dakwaan subsidair, dimana yang sistemnya yang harus pertama kali dibuktikan adalah dakwaan primair dan apabila tidak terbukti melanggar maka baru membuktikan dakwaan subsidair.

42

ibid., hlm 161

221

Dalam pasal 143 KUHAP disebutkan bahwa dalam surat dakwaan yang harus dimuat ialah uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai delik yang didakwaakan dengan menyebut waktu dan tempat delik dilakukan, menurut Jonkers lebih jelasnya adalah dimana yang harus dimuat ialah selain dari perbuatannya sungguh dilakukan yang bertentang dengan hukum pidana juga harus memuat unsur-unsur yuridis kejahatan yang bersangkutan. Sedangkan menurut Andi Hmazah bahwa surat dakwaan yang disusun secara cermat, jelas dan sederhana adalah menurut bahasa yang mudah dimengerti oleh terdakwa tidak berbelit-belit dan jelas apa yang dimaksudkan oleh penuntut umum, untuk memudahkan membela dirinya43. Penuntut umum pada kasus Ferry Susanto dalam surat dakwaan telah memenuhi hal tersebut karena dilihat dari rumusan pasal yang diberikan sangat singkat, jelas, cermat dan tidak berbelit-belit serta mudah dimengerti. Dilihat dari unsur formalitas dari surat dakwaan terhadap ferry susanto telah memenuhi keseluruhan unsur, sebagaimana yang terdapat dalam pasal 143 KUHP. Tapi apabila dilihat dari pasal yang dicantumkan penuntut umum dalam surat dakwaan yitu pasal 170 KUHP dalam hal ini bagi penulis mengandung kerancuan. Dalam pasal 170 KUHP disebutkan bahwa unsur-unsur dari pasal tersebut adalah: 1. orang atau personal. Barang siapa, dimana yang dimaksud adalah

43

ibid., hlm 165-167

222

2.

bersama-sama dimuka umum bersama-sama

melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, dimuka umum adalah dimana tempat tersebut tidak tersembunyi atau dapat diketahui orang lain44, secara bersama-sama artinya lebih dari seorang melakukan perbuatan dan dilakukan secara bersama-sama, dan melakukan kekerasan terhadap orang atau barang45 Biasanya pasal ini sering dipakai oleh penuntut umum untuk menjerat para pelaku perbuatan pidana yang dilakukan secara dengan massal yang terbentuk secara tidak terorganisir. Sedangkan menurut Tb Ronny Nitibaskara pasal 170 KUHP mengandung kendala dan berbau kontraversi karena subyek barang siapa menunjuk pelaku satu orang, sedangkan istilah dengan tenaga bersama mengindikasikan suatu kelompok manusia. Delik ini menurut penjelasannya tidak ditujukan kepada kelompok atau massa yang tidak teratur melakukan perbuatan pidana, ancamannya hanya ditujukan pada orang-orang diantara kelompok benar-benar terbukti serta dengan tenaga bersama melakukan kekerasan. Dalam kelompok massa yang unik sifatnya jelas delik seperti ini sukar diterapkan46. Jadi sebenarnya pasal 170 KUHP menurut Tb Ronny Nitibaskara dianggap tidak dapat mengakomodir untuk perbuatan pidana yang dilakukan secara massal khususnya pada bentuk kasus ini dimana massa terbentuk tidak secara terorganisir. Melihat rangkain perbuatan yang dilakukan oleh Ferry
44

Defenisi berdasarkan surat dakwaan pada putusan No. 94/2002/Pid.B/PN.Ska dan

terlampir. Defenisi entang kekerasan lihat pada pasal 89 KUHP UNAIR: Meningkatnya Derajat Kekerasan Kolektif, dalam, http//www.mailarchive/unair@itb.ac.id/
46 45

223

Susanto apabila dikontekskan dengan rumusan perbuatan pidana yang dilakukan secara massal menurut doktrin hukum pidana, maka dapat dikategorikan perbuatan pidana yang dilakukan secara massal dengan bentuk massa yang tidak terorganisir dan dilakukan secara spontanitas. Hal tersebut dapat dibuktikan dari keterangan terdakwa Ferry yang menyatakan bahwa dia beserta massa yang lain yang melakukan pengrusakkan dipicu karena berawal dari pada saat Ferry Hendrik, Ronny, Irwan dan massa yang lain sedang nonton trek-trekkan, kemudian oleh polisi dilakukan penertiban menyebabkan orang-orang atau massa bubar secara bergerombolan, karena emosi maka massa secara berkelompok mendatangi kantor polisi dan melakukan pengrusakan terhadap fasilitas umum tersebut Jadi sini massa bergerak karena terprovokasi oleh keadaan yang membuatnya melakukan perbuatan pidana yang dilakukan secara beramai-ramai karena adanya kesamaan isu dan permasalahan yang dihadapi. Jadi massa tidak direncanakan akan adanya muncul sebelumnya. Adapun kerjasama yang terjadi hanya secara fisik saja tapi tidak secara non fisik karena kesulitan dalam membuktikan hal tersebut. Walaupun perbuatan tersebut secara nyata dapat diliat adanya kerjasama tapi tidak memenuhi unsur-unsur dari bentuk turut serta (deelneming) sebagaimana dalam delik penyertaan. Menurut penulis tidak semua perbuatan pidana yang dilakukan secara massal dapat dikategorikan kedalam delik penyertaan. Hanya yang memenuhi unsur dari turut serta (deelneming), menganjur lakukan (uitlokker) dan pembantuan (medeplichtigheid), yang dapat disamakan dengan perbuatan

224

pidana yang dilakukan secara massal. Jadi pada kasus Ferry Susanto ini, memang apabila melihat dari rangkaian perbuatan yang dilakukan masuk dalam kategori perbuatan pidana massal tapi tidak masuk dalam rumusan delik penyertaan. Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya untuk massa yang terbentuk tidak secara terorganisir masuk dalam rumusan delik penyertaan menganjur lakukan (uitlokker). Tapi pada kasus ini tidak ditemukannya siapa yang menjadi penganjur atau yang memprovokatori Ferry dan kawan-kawan untuk merusak kantor polisi. Berdasarkan keterangan bahwa Ferry dan kawan-kawan tergerak sendiri ketika melihat massa banyak yang menuju kantor polisi dengan tujuan untuk melampiaskan dendam karena diusir dari tempat menonton trek-trekkan, jadi perbuatan tersebut muncul dari diri Ferry dan kawan-kawan karena kondisi atau keadaan saat itu. Dalam hal penuntut umum menjerat terdakwa dengan pasal 170 KUHP sebagai dakwaan primair, karena argumentasi yang dibuat bahwa benar perbuatan pidana yang dilakukan secara bersama-sama dan berupa perbuatan kekerasan merusak barang. Tapi permasalahannya dalam melakukan penetapan sebagai terdakwa dalam kasus ini hanya Ferry Susanto seorang dan tidak ada terdakwa lainnya yang merupakan bersama-sama-dalam melakukan perbuatan pidana. Seharusnya apabila memang terbukti bersama-sama sebagaimana terdapat dalam rumusan pasal 170 KUHP, maka bukan hanya Ferry Susanto yang menjadi terdakwa tapi teman-teman massanya yang lain juga baik Irwan,

225

Ronny, Hendrik hendaknya dijerat dengan pasal yang sama. Kasus yang sama dan dakwaan yang sama. Jadi disini karena hanya Ferry Susanto yang didakwakan pasal 170 KUHP yang salah satu unsurnya bersama sama. Maka dapat dikatakan tidak ada unsur bersama-sama, karena yang didakwa hanya Ferry Susanto sendiri . walaupun perbuatan tersebut dilakukan secara bersama-sama. Maka logikanya dihukumpun bersama-sama karena tanpa bersama-sama maka pasal ini tidak berlaku. Jadi disini Ferry Susanto hendaknya dikenakan pasal yang subsidair yaitu pasal 406 KUHP. Apabila dikontekskan dengan pendapat dari Tb Ronny Nitibaskara terhadap pasal 170 KUHP, maka penulis sepakat dalam hal unsur barang siapa pada hakekatnya diberlakukan untuk personal atau individu. Sedangkan muatan dari pasal ini mengandung maksud dilakukan lebih dari satu orang atau kelompok. Jadi dapat disimpulkan bahwa pasal ini diberlakukan untuk individu yang melakukan perbuatan bersama-sama. Padahal unsur bersama-sama merupakan unsur yang membedakannya dengan perbuatan pidana biasa yang dilakukan oleh orang seorang, jadi seharusnya bukan ditujukan bukan pada individu (barang siapa) tapi kepada orang banyak atau paling sedikit dua orang, sehingga rumusan pasal ini konsisten dengan maksud dibuatnya pasal ini. Salah satu kritik lain yang dilancarkan oleh Tb Ronny Nitibaskara terhadap pasal ini adalah dimana hendaknya pasal ini tidak diberlakukan pada

226

massa yang tidak terorganisir tetapi diancamkan pada massa yang jelas-jelas melakukan perbuatan pidana secara bersama-sama. Dalam hal ini penulis kurang sependapat karena dari pasal ini bukan masalah dari apakah massal tersebut dalam melakukan perbuatan pidana terorganisir atau tidak, karena yang dilihat bukan dari sifat massa tersebut tapi dari bentuk atau cara bagaimana perbuatan pidana itu dilakukan sehingga sesuai dengan rumusan pasal. Karena apabila pasal ini tidak diberlakukan pada massa yang tidak terorganisir maka para penagak hukum khususnya penuntut umum dalam mendakwakan perbuatan pidana pada massa yang sama melakukan perbuatan pidana akan mengalami kesulitan, karena harus merumuskan satu persatu dari sekian massa yang terlibat perbuatan pidana sehingga kurang efektif dan memakan waktu lama. Sebagai contoh yang akhir-akhir ini terjadi adalah perbuatan pidana yayng dilakukan secara massal diTuban, karena permasalahan yang memicu adalah kasus Pemilihan Kepala Daerah Tuban. Dari sekian massa yang melakukan perbuatan pidana oleh aparat polisi ditetapkan sebagai tersangka sebanyak 85 orang dari sekian ratus massa yang melakukan pengrusakkan terhadap fasilitas Negara. Jadi disini apabila melihat jumlah massa yang yang begitu banyak sehingga sangat membuat para penegak hukum kesulitan apabila harus mengkonstuksikan perbuatan massa tersebut secara satu persatu, mengingat banyaknya massa yang terlibat. Jadi dengan adanya pasal tersebut sangat membantu tugas penuntut umum khususnya dalam menyelesaikan kasus-kasus rumit dalam penegakkan hukumnya, seperti perbuatan pidana yang dilakukan secara massal ini.

227

disamping itu juga mengingat asas dari peradilan adalah salah satunya cepat dan tidak berlama-lma dalam menyelesaikan suatu permasalahan pidana Jadi pasal 170 relevan diterapkan pada massa yang reaksioner atau spontanitas dalam melakukan perbuatan pidana. Berbeda halnya apabila massa yang terorganisir bisa menggunakan pasal pada delik penyertaan, karena dalam pasal-pasalnya jelas mengenai kedudukan para pelaku yang satu dengan yang lain, tidak seperti massa yang reaksioner (tidak masuk dalam delik penyertaan yaitu penganjuran) dimana massa tidak jelas kedudukan satu dengan yng lain, dan otomatis dalam hal ini dipandang sama-sama sebagai pelaku yang mempunyai tanggungjawab yang sama dengan pelaku yang lain. Berdasarkan surat dakwaan, penuntutan, keterangan saksi dan terdakwa, barang bukti, serta fakta yang terungkap dipersidangan serta pertimbangan lain47, maka hakim pengadilan negeri Surakarta dengan pertimbanganpertimbangan tersebut menjatuhkan putusan kepada terdakwa Ferry Susanto yaitu: 1. Terdakwa besalah dan menyakinkan telah melakukan

perbuatan pidana sebagaimana terdapat dalam dakwaan primair yaitu telah memenuhi unsure pasal 170 KUHP 2. masa tahanan 3. 4. memerintahkan agar terdakwa dikeluarkan dari tahanan membayar ongkos perkara sebesar Rp. 500,Menjatuhkan pidana penjara selama 59 hari dikurangi

47

Lihat lampiran putusan

228

Jadi berdasarkan putusan pengadilan maka terpidana Ferry susanto dikenakan bersalah telah melanggar pasal 170 KUHp. Padahal seharusnya dikenakan dakwaan subsidair karena dalam dakwaan penuntut umum hanya mencantumkan satu tersangka sehingga tidak ada bukti secara yuridis telah dilakukan perbuatan pidana bersama-sama. Pada dasarnya hakim dalam memutuskan sebuah perkara dalam hukum acara pidana hanya boleh mengenai peristiwa-peristiwa yang terletak dalam batas-batas yang ada dalam surat dakwaan, namun untuk pemeriksaan dipersidangan tidak batal jika melampaui batas-batas yang ada dalam surat dakwaan. Jadi surat dakwaan isinya mengikat bagi hakim dalam memutuskan sebuah perkara pidana dan tidak boleh keluar dalam materi dakwaan. Jadi karena yang menjadi terdakwa hanyalah Ferry Susanto dan hakim mempunyai pemikiran yang sama dengan penuntut umum dalam mengenakan pasal yang dilanggar oleh terdakwa. Secara formal putusan Pengadilan Negeri Surakarta ini dinyatakan telah memenuhi syarat formal dari sebuah putusan dalam hukum acara pidana,

dimana syarat putusan tersebut adalah48: a. Kepala putusanberbunyi DEMI KEADILAN BERDASARKAN

KETUHANAN YANG MAHA ESA b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa. c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan

48

Andi Hamzah, op.cit., hlm 283

229

d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan disidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa e. Tuntutan pidana sebagimana terdapat dalam surat tuntutan f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum bagi putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah mejelis kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhinya semua unsur dalam rumusan delik disertai dengan kaulifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebenkan dengan menyebut jumlah yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat autentik dianggap palsu k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama penitera. Jadi apabila syarat formal tersebut tidak terpenuhi kecuali yang tersebut pada point g, maka putusan dpat batal demi hukum.

230

Dengan melihat putusan hakim tersebut menurut hemat penulis dapat disimpulkan bahwa untuk penetapan pasal yang dijatuhkan untuk terpidana Ferry Susanto yaitu pasal 170 KUHP tidak tepat. Karena sebagaimana pertimbangan yang telah dipaparkan sebelumnya. Jadi lebih tepat diterapkan pasal 406 KUHP dimana lebih terbukti secara sah dan menyakinkan terpenuhinya unsur-unsur yang ada dalam pasal tersebut. Unsur-unsurnya antara lain: Barang siapa, yang dimaksud disini adalah orang perseorangan yaitu Ferry Susanto Dengan sengaja dan dengan melawan hak merusak, membinasakan barang yang sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain, yaitu dimana Ferry Susanto dengan sadar dan sudah mempunyai niat sebelum sampai kantor polisis untuk berkeinginana melakukan perbuatan pidana yaitu merusak lampu kantor polisi yang secaca nyata lampu tersebut bukan kepunyaan Ferry Susanto dan dilakukan dengan melawan hak Menyebabakan barang tersebut tidak dapat dipakai lagi, yitu hal tersebut benar bahwa lampu gapura milik kantor polisi Surakarta pecah dan rusak sehingga tidak dapa dipakai lagi. Jadi pasal ini lebih tepat dijatuhkan kepada terpidana, tapi dalam hal ini apabila terpidana dalam hal sebagaimana yang disebutkan dalam surat dakwaan tidak sendiri artinya ada pelaku lain, maka pasal 170 KUHP dapat dijatuhkan pada para pelaku dalam kasus ini (lihat lampiran putusan

No.94/2002/Pid.B/PN.Ska).

231

Satu hal yang menjadi catatan dalam putusan ini adalah dalam putusan tidak ditemukannya sama sekali hak-hak dari korban, dimana dengan adanya putusan bersalah terhadap terdakwa. Korban dalam hal ini polisi diwakili oleh Moec Masruri dan Heri Purwanto, tidak mendapatkan apa-apa dalam hal ini ganti rugi, memang walaupun sebenarnya dari pihak korban tidak menggabungkan dengan tuntutan ganti rugi. Tetapi secara materiil korban telah mengalami kerugian. Jadi hukum acara pidana kita sampai sejauh ini masih bersifat pasif dan menunggu saja untuk dapat memberikan hak bagi korban kejahatan. Bagi pengadilan kita dengan dihukumnya pelaku perbuatan pidana sudah merupakan perlindungan bagi korban kejahatanyang mana dalam hal ini baik secara materiil maupun immateriil korban mengalami kerugian yang mana hal itu disebabkan oleh akibat perbuatan pelaku perbuatan pidana.

2.

Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta No. 49/Pid.B/2004/PN.YK Pada tanggal 12 Maret 2004 hari Jumat, sekitar pukul 15.00 wib dijalan taman siswa Yogyakarta. Hadi Nove Hara bersama-sama dengan Anto dan para simpatisan partai PPP kira-kira berjumlah 10 orang melakukan penganiayaan terhadap korban Gatot Arifianto, hal tersebut berawal dari Hadi Nove Hara pada saat konvoi kampanye tepatnya di depan Hotel Cailendra melihat korban Gatot Arifianto, dan pada saat itu terdakwaa langsung teringat peristiwa perselingkuhan antara istrinya dengan korban. Hadi Nove Hara berniat membalas dendam, kemudian terdakwa Hadi Nove Hara turun dari motor dan

232

mengeluarkan celurit dari balik bajunya dan diayunkan kepada korban dan sempat terjadi aksi saling dorong hingga akhirnya celurit mengenai lengan kiri dan punggung korban, dan kemudian korban dipukul secara beramai-ramai oleh 10 oarang simpatisan yang ada pada saat kejadian. Akibat perbuatan tersebut korban mengalami kluka. Dalam surat dakwaan oleh penuntut umum yang ditetapkan sebagai terdakwa adalah Hadi Nove Hara karena 10 orang simpatisan partai tersebut sedang buron. Dakwaan yang dibuat penuntut umun adalah dakwaan subsidair, yaitu primair; pasal 170 ayat (2) ke1 KUHP tentang bersama-sama didepan umum melakukan kekerasan terhadap orang dan mengakibatkan luka. Dakwaan subsidair; tentang penganiayaan, dan subsidair pasal 351 ayat (1) KUHP. Penuntut umum dalam surat dakwaan menempatkan pasal 170 KUHP pada dakwaan primair, padahal terdakwa yang dicantumkan namanya hanya satu oarang saja yaitu Hadi Nove Hara, hal tersbut sama halnya dengan putusan NO. 28/1999/Pid.B/ PN.Ska. secara de fakto memang perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa, dilakukan secara bersama-sama walaupun yang dahulu memulai adalah terdakwa Hadi Nove Hara baru kemudian 10 orang simpatisan yang tidak disebutkan namanya melakukan penganiayaan terhadap korban. Tapi akibat semua perbuatan yang dilakukan baik terdakwa dan 10 orang simpatisan mengakibatkan luka tubuh, walaupun pada kenyataanya yang paling punya andil adalah terdakwa Hadi Nove Hara dimana dengan perbuatannya sendiri saja sudah bisa mengakibatkan luka pada terdakwa.

233

Menurut penulis dalam kasus ini dapat membuat surat dakwaan dengan melalui dua jalan alternatif, yaitu: 1. Terdakwa dalam hal seorang diri yaitu Hadi Nove Hara, dengan

dakwaan., primair pasal 351 ayat (1) KUHP dan subsidair pasal 170 ayat (2) ke1 KUHP, dengan pertimbangan bahwa: a. Perbuatan yang dilakukan terdakwa adalah yang paling berat di banding 10 oarang simpatisan yang juga menjadi tersangka, dimana terdakwa Hadi Nove hara dengan menggunakan senjata tajam melukai korban b. Dilakukan apabila terdakwa Hadi Nove hara pada kasusnya di splitsing. 2. Terdakwa bersama dengan 10 tersangka lainnya minimal 1 orang, artinya ada 2 terdakwa atau lebih dalam surat dakwaan, dikenakan dakwaan, primair pasal 170 ayat (2) ke1 KUHP dan subsidair pasal 351 ayat (1) KUHP, dengan pertimbangan; c. Pasal 170 KUHP sebagai dakwaan primair karena terdapat lebih dari satu orang pelaku perbuatan pidana dan dalam kasus ini dapat dikatakan unsur bersama-sama terpenuhi, dan untuk mempercepat kasus penyelesainnya dipengadilan. d. Tetapi tentunya satu disini yang sangat disayangkan adalah perbuatan terdakwa Hadi Nove Hara disamakan dengan perbuatan 10 tersangka lainnya yang mana kontribusi perbuatannya tidak seberapa besar dibandingkan dengan perbuatan pidana yang dilakukan Hadi Nove Hara. Berdasarkan surat tuntutan dari penuntut umum terhadap terdakwa, bahwa dakwaan primair tidak terbukti karena salah satu unsur tidak terpenuhi.

234

Dan dalam putusan tidak dicantumkan unsur apa saja yang tidak terpenuhi bagi penuntut umum, padahal seharusnya dicantumkan agar diketahui oleh publik Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang menjadi dasar putusan hakim, maka hakim pengadilan negeri Yogyakarta menjatuhkan putusan kepada terdakwa Hadi Nove hara yaitu: 1. Terdakwa tidak terbukti bersalah sebagaimana terdapat dalam dakwaan primair yaitu pasal 170 ayat (2) ke1 KUHP dan dibebaskan dari dakwaan primair 2. Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan sebagaimana yang didakwaakan pada dakwaa subsidaair yaitu pasal 351 ayat (1) KUHP 3. masa tahanan 4. 5. Menetapkan terdakwa tetap dalam tahanan Merampas barang bukti dan membebenkan biaya perkara sebasar Rp.1000,Berdasarkan putusan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa hakim sependapat dengan penuntut umum bahwa dakwaan primiar tidak terpenuhi dan tidak dituliskan unsur apa yang terdapat dalam dakwaan primair yaitu pasal 170 ayat (2) ke1, adapun tujuan kenapa harus disebutkan unsur yang tidak terpenuhi, agar publik tidak menginterpretasikan yang negatif. Karena dakwaan primair tidak terbukti maka dibuktikan dakwaan subsidair yaitu pasal 351 ayat (1) KUHP dan tebukti dilakukan oleh terdakwa Hadi Nove Hara. Terdakwa dihukum dengan penjaraselama 2bulan dikurangi

235

Walaupun menurut penulis unsur dalam pasal 170 ayat (2) ke1 KUHP tidak disebutkan, tapi menurut analisis penulis bahwa hal tersebut memang tidak dapat dibuktikan unsur bersama-sama secara yuridis, karena terdakwa dalam hal ini hanya seorang diri tidak ada terdakwa lain yang dapat membuktikan secara yuridis perbuatan pidana tersebut telah dilakukan secara bersama-sama, ditambah lagi 10 orang yang terlibat masih buron. Jadi dalam hal ini penulis sependapat dengan putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Yogyakarta. Pada kasus ini apabila dikontekskan dengan perbuatan pidana yang dilakukan secara massal sebenarnya sama halnya dengan kasus pada analisis putusan No.28.1999/Pid.B/PN.Ska. dimana perbuatan pidana yang dilakukan secara massal dilakukan karena terprovokasi oleh keadaan yang dalam hal ini bisa karena rasa setiakawan yang berlebihan atau ada faktor lain sehingga menjerumuskan pada perbuatan pidana yang dilakukan secara massal. Padahal hal tersebut tidak akan terjadi, artinya perbuatan apabila 10 orang simpatisan PPP tidak ikut memukuli dan terpengaruh ikut memukuli korban. Adapun massa dalam kasus ini sifatnya tidak terorganisasi dan spontanitas dalam melakukan perbuatan pidana. Jadi kasus ini tidak dapat dianalisis dengan menggunakan delik penyertaan, sebagaimana dikontekskan dengan teori-teori yang ada, karena kasus ini tidak termasuk kedalan tiga (3) bentuk delik penyertaan yaitu turut serta (medeplegen), menganjurlakukan (uitlokker) dan pembantuan

(medeplichtigen).

236

Setelah penulis melakukan terhadap kedua putusan tersebut yaitu putusan No.28/1999/Pid.B/PN.Yk dan putusan No. 49/Pid.B/PN.Ska. maka kedudukan pelaku perbuatan pidana yang dilakukan secara massal antara pelaku yang satu dan pelaku yang lain mempunyai proporsi yang sama sebagai pelaku walaupun pasal yang didakwakan adalah pasal yang berbau kolektif, tapi pada penerapannya tetap pertanggungjawaban individual bagi setiap pelaku, dan bisa dikatakan untuk tindak pidana massal yang tidak terorganisir dan tidak masuk dalam kategori bentuk penyertaan penganjuran, dan biasanya pasal yang didakwakan adalah pasal 170 KUHP yang mana menurut penulis ini sifatnya mengikat satu sama lain bagi pelaku karena tanpa adanya pelaku massal maka pasal ini tidak dapat diterapkan.

Anda mungkin juga menyukai