Anda di halaman 1dari 6

Nama : Muhammad Falih Abdi Nugroho

NIM : 205190275
Kelas : GZ
Mata Kuliah : PLKH 8

1. Hal apa yang harus kita perhatikan dalam membuat pengujian UU


2. Hal apa yang harus di perhatika ndalam permohonana persilihan hasil pemilihan Umum

Jawaban

1. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) PMK No. 6/2005 Permohonan pengujian UU meliputi
pengujian formil dan/atau pengujian materiil . Pengujian materiil ialah pengujian undang-
undang yang berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian
undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Pengujian formil ialah
pengujian undang-undang yang berkenaan dengan proses pembentukan undang-undang
dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil.
Berdasarkan Pasal 5 ayat 1 PMK No, 6/2005 Permohonan diajukan secara tertulis dalam
Bahasa Indonesia oleh Pemohon atau kuasanya dalam 12 (dua belas) rangkap yang
memuat:
a. Identitas Pemohon, meliputi:
− Nama
− Tempat tanggal lahir/ umur
− Agama
− Pekerjaan
− Kewarganegaraan
− Alamat Lengkap
− Nomor telepon/faksimili/telepon selular/e-mail (bila ada)
b. Uraian mengenai hal yang menjadi dasar permohonan yang meliputi:
− kewenangan Mahkamah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4;
− kedudukan hukum (legal standing) Pemohon yang berisi uraian yang jelas
mengenai anggapan Pemohon tentang hak dan/atau kewenangan konstitusional

1.
Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya UU yang dimohonkan untuk
diuji;
− alasan permohonan pengujian sebagaimana dimaksud Pasal 4, diuraikan secara
jelas dan rinci.
c. Hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian formil
sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (2), yaitu:
− mengabulkan permohonan Pemohon;
− menyatakan bahwa pembentukan UU dimaksud tidak memenuhi ketentuan
pembentukan UU berdasarkan UUD 1945;
− menyatakan UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

d. Hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian materiil


sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (3), yaitu:
− mengabulkan permohonan Pemohon;
− menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU
dimaksud bertentangan dengan UUD 1945;
− menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU
dimaksud tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
e. Permohonan ditandatangani oleh Pemohon atau kuasanya;

Di samping diajukan dalam bentuk tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
permohonan juga diajukan dalam format digital yang disimpan secara elektronik dalam
media penyimpanan berupa disket, cakram padat (compact disk) atau yang serupa dengan
itu.

Dalam menyusun permohonan pengujian undang-undang, pemohon harus


memperhatikan tiga elemen penting yang merupakan syarat formil dan materil sebuah
permohonan, yaitu: (1) identitas pemohon dan kedudukan hukum; (2)
posita/pundamentum petendi; (3) petitum.
Penyebutan identitas pemohon merupakan syarat formil permohonan. Identitas
pemohon paling kurang memuat nama, tempat tanggal lahir, umur, agama, pekerjaan,

1.
kewarganegaraan, dan alamat pemohon atau kuasa hukumnya (apabila memberikan kuasa
kepada seseorang untuk bertindak di dalam dan di luar pengadilan atas nama pemohon),
nomor telepon, nomor faksimili dan/atau surat elektronik (email) serta dilampiri dengan:
(1) fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP); (2) fotokopi kartu tanda anggota bagi kuasa
hukum.
Pada tahap berikutnya, pemohon menguraikan dengan jelas mengenai (i)
kewenangan MK; (ii) kedudukan hukum (legal standing) pemohon, yang berisi uraian
yang jelas mengenai anggapan Pemohon tentang hak dan/atau kewenangan konstitusional
pemohon yang dirugikan dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk
diuji; (iii) posita atau pokok permohonan, yang memuat alasan permohonan pengujian,
diuraikan secara jelas dan rinci, dan (iii) petitum permohonan.

2. Berdasarkan Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain


Industri, yang mendefinisikan “pemohon” adalah pihak yang mengajukan permohonan.
Lebih lanjut, dalam praktik persidangan perselisihan hasil pemilu, pemohon adalah pihak
yang berkeberatan atau merasa haknya dirugikan akibat penetapan hasil perolehan suara
yang diterbitkan oleh penyelenggara.
Secara umum pemohon perkara perselisihan hasil pemilu terbagi ke dalam tiga bagian
dengan merujuk pada rezim pemilu, yaitu: (1) pemohon parpol atau calon anggota
DPR/DPRD untuk pemilihan anggota DPR/DPRD; (2) pemohon perseorangan untuk
pemilihan anggota DPD; (3) pemohon calon presiden dan wakil presiden untuk pemilihan
presiden dan wakil presiden.
Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) PMK No. 2/2018, subjectum litis yang memiliki kedudukan
hukum sebagai pemohon dalam perselisihan hasil pemilu anggota DPR/DPRD adalah
sebagai berikut:
a. Partai politik peserta pemilu untuk pengisian keanggotaan DPR dan
DPRD;
b. Perseorangan calon anggota DPR dan DPRD dalam satu partai
politik yang sama yang telah memperoleh persetujuan secara tertulis
dari ketua umum dan sekretaris jenderal atau sebutan lainnya dari
partai politik yang bersangkutan;
c. Partai politik lokal peserta pemilu untuk pengisian keanggotaan
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan dewan perwakilan rakyat
kabupaten/kota di Aceh;
d. Perseorangan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan

1.
dewan perwakilan rakyat kabupaten/kota di Aceh dalam satu parpol
lokal yang sama, yang telah memeroleh persetujuan secara tertulis
dari ketua umum dan sekretaris jenderal atau sebutan lainnya dari
partai politik lokal yang bersangkutan.

Akses pemohon “perseorangan calon anggota DPR/DPRD atau DPRA/DPRK dalam satu partai
sama” untuk mendapatkan keadilan pemilu (electoral justice) yang diberikan oleh MK cenderung
“setengah hati”. Persyaratan persetujuan ketua umum dan sekertaris jenderal parpol tersebut
diberlakukan tanpa mempertimbangkan tarikan politik di internal partai dan geografis Indonesia
yang begitu luas.
Terhadap problem tersebut, penulis mengusulkan dua solusi sebagai jalan keluar untuk
menghindari hilangnya hak konstitusional pemohon perseorangan calon anggota DPR/DPRD
atau DPRA/DPRK dalam satu partai sama. Pertama, menghapus syarat persetujuan ketua umum
dan sekertaris jenderal parpol. Kedua, persetujuan dibuat berjenjang dari level pusat hingga
daerah. Untuk perseorangan calon anggota DPR “persetujuan” diberikan ketua umum dan
sekertaris jenderal, sedangkan perseorangan calon anggota DPRD persetujuannya diberikan oleh
ketua dan sekertaris parpol di tingkat daerah.
Dalam penyelenggaraan pemilu tahun 2014 terdapat 118 perkara yang dimohonkan oleh
pemohon perseorangan dalam satu partai, yang lebih lengkapnya tergambarkan dalam tabel
berikut:

Partai Politik Yang


No. Mengajukan Pemohon Jumlah
Perseorangan
1. Partai Golongan Karya 48
2. Partai Persatuan Pembangunan 26
3. Partai Demokrat 17
4. Partai Kebangkitan Bangsa 12
5. Partai Amanat Nasional 8
6. Partai Gerakan Indonesia Raya 4
Partai Keadilan dan Persatuan
7. 2
Indonesia
8. Partai Nasional Demokrat 1
Total 118

Di luar delapan parpol yang mengajukan permohonan dari pemohon perseorangan dalam
satu partai tersebut, beberapa parpol lainnya menggunakan mekanisme internal untuk

1.
menyelesaikan konflik. Biasanya proses penyelesainnya melalui instrumen mahkamah
partai yang dilakukan dengan cara musyawarah mufakat atau melalui proses mediasi.
Lebih lanjut, terhadap kualifikasi pemohon tersebut, penulis memiliki catatan penting,
yaitu politik tingkat provinsi seharusnya juga diberikan hak untuk mengajukan
permohonan sejauh menyangkut perolehan kursi DPRD provinsi dan pengurus parpol
tingkat kabupaten/kota sejauh menyangkut kursi DPRD kabupaten/kota. Dengan
masuknya pengurus partai tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebagai subjek yang
memiliki legal standing dalam pengajuan perselisihan hasil pemilu akan berkontribusi
dalam memperkuat desentralisasi parpol.
Pasal 3 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2018 tentang Tata
Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Daerah (PMK No. 3/2018) menyatakan, yang dapat menjadi pemohon dalam perkara
perselisihan hasil pemilu Dewan Perwakilan Daerah (DPD) adalah perseorangan peserta
pemilu untuk pengisian keanggotaan DPD. Dalam setiap penyelenggaraan pemilu,
pemohon perseorangan DPD mengalami peningkatan dari sisi kuantitas. Pada pemilu
2009 terdapat 27 perkara yang dimohonkan oleh pemohon perseorangan DPD,
selanjutnya pada pemilu 2014 terjadi peningkatan jumlah menjadi 34 perkara. Dari 34
perkara yang dimohonkan pada tahun 2014, tidak satu pun yang dikabulkan MK. Adapun
komposisi putusan MK pada waktu itu adalah:

No. Pemohon Perseorangan DPD Jumlah


1. Permohonan Ditarik Kembali 2
2. Permohonan Tidak Memenuhi 2
Persyaratan
3. Permohonan Ditolak 30
Jumlah 34

Merujuk Pasal 3 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun 2018 tentang
Tata Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden (PMK No. 4/2018), yang memenuhi kualifikasi sebagai pemohon dalam perkara
perselisihan hasil pemilu presiden dan wakil presiden adalah pasangan calon presiden dan
wakil presiden yang merasa haknya dirugikan akibat penetapan hasil perolehan suara
yang diterbitkan oleh KPU
Dari penyelenggaraan pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2004, 2009, dan yang
terakhir 2014, terdapat empat pemohon dalam perselisihan hasil pemilu presiden dan
wakil presiden, yang lebih lengkapnya tergambar dalam tabel berikut:

1.
Penyelenggaraan Pemilu
No. Presiden dan Wakil Pemohon
Presiden
Pemilu Presiden dan Wakil Pasangan Calon Wiranto -
1.
Presiden tahun 2004 Salahuddin Wahid
1. Pasangan Calon Megawati
Soekrnoputri - Prabowo
Pemilu Presiden dan Wakil
2. Subianto;
Presiden tahun 2009
2. Pasangan Calon Jusuf Kalla –
Wiranto
Pemilu Presiden dan Wakil Pasangan Calon Prabowo
3.
Presiden tahun 2014 Subianto - Hatta Rajasa

Termohon sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (2) PMK No. 2/2018 juncto Pasal 3
ayat (2) PMK No. 3/2018 juncto Pasal 3 ayat (2) PMK No. 4/2018 adalah Komisi
Pemilihan Umum (KPU). Mengapa hanya KPU? Padahal, secara kelembagaan KPU
bersifat berjenjang dari pusat hingga daerah (provinsi dan kabupaten/kota).
Secara konseptual, lengkapnya suatu permohonan atau gugatan ditandai dengan
keterlibatan seluruh pihak yang memiliki kepentingan hukum, termasuk pihak yang
melanggar hak seseorang. Dengan tidak dilibatkannya KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP
kabupaten/kota dalam daftar termohon, maka permohonan tersebut menjadi kurang pihak
(plurium litis consortium).
Ketika pemohon perserorangan dalam satu partai yang sama dan parpol lokal memiliki
kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan, KPU/KIP provinsi
atau KPU/KIP kabupaten/kota justru tidak ditarik ke muka pengadilan. Padahal,
penetapan hasil akhir perolehan suara di tingkat daerah dan perseorangan DPD ditetapkan
oleh KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota, bukan KPU pusat. Oleh kerena
itu, tidak tepat memosisikan KPU pusat sebagai satu-satunya yang masuk daftar
termohon.
Dalam hal konsep termohon perselisihan hasil pemilu, MK sebaiknya kembali merujuk
Pasal 3 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pedoman
Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (PMK No. 16/2009), yang menempatkan
kelembagaan KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota sebagai turut termohon.

1.

Anda mungkin juga menyukai