Nama Kelompok:
LIE ERIA
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia,
serta taufik dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita tentang bagaimana
dalam pembentukan undang-undang di negara kita ini. Saya juga menyadari sepenuhnya
bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab
itu, saya mengharapkan adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah
saya buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran
yang membangun. Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi saya sendiri
maupun orang yang membacanya. Sebelumnya saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan
kata-kata yang kurang berkenan dan saya memohon kritik dan saran yang membangun demi
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Perumusan Masalah 3
C. Manfaat 3
D. Kajian Pustaka 3
1. Teori dan Landasan Pembentukan Undang-Undang 3
2. Asas-asas Pembentukan Perundang-undangan yang baik 6
3. Jenis, Hierarki, dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan 7
BAB II PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG 9
A. Undang-Undang dan Sistem Hukum 9
B. Bentuk Undang-Undang (Struktur Naskah) 11
C. Materi Muatan dan Bahasa Undang-Undang 16
D. Prosedur Pembentukan Undang-Undang 21
BAB III PENUTUP 26
A. Pembahasan 26
B. Kesimpulan 28
DAFTAR PUSTAKA 29
Pendahuluan 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
proklamasi 17 Agustus 1945, Republik Indonesia telah melewati 4 kali berlakunya Undang-
Republik Indonesia Serikat; (3) Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia dan;
(4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diubah
(diamendemen) dengan empat kali perubahan. UUD 1945 sebelum perubahan tidak
menyebutkan bahwa rancangan undang-undang yang tidak mendapat persetujuan DPR tidak
UUD 1945 mengalami empat kali perubahan fundamental dalam waktu relatif sangat
pendek. Majelis Permusyawaratan Rakyat yang diberi wewenang untuk mengubah dan
tetapi juga mengbah kekuasaan membentuk undang-undang dari semula yang dipegang
berkualitas, sebagai bagian dari ikhtiar untuk mendukung reformasi hukum, telah di
Langkah ini dapat memberikan jaminan, bahwa undang-undang yang dibentuk mampu
pembangunan.
Undang-undang merupakan landasan hukum yang yang menjadi dasar pelaksanaan dari
keseluruhan kebijakan yang dibuat oleh pemerintahaan. “legal policy” yang dituangkan
dalam undang-undang, menjadi sebuah sarana rekayasa sosial, yang membuat kebijaksanaan
yang hendak dicapai pemerintah, untuk mengarahkan masyarakat menerima nilai-nilai baru..2
Didalam negara yang berdasarkan atas hukum moderen (verzorgingsstaat), tujuan utama dari
pembentukan undang-undang bukan lagi menciptakan kodipikasi bagi normanorma dan nilai-
nilai kehidupan yang sudah mengendap dalam masyarakat, akan tetapi tujuan utama
kehidupan masyarakat.3
Saat ini undang-undang memberikan bentuk yuridis terhadap campur tangan sosial yang
dilakukan oleh pembentuknya untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan negara. Undang-
undang kini tidak lagi terutama berfungsi memberi bentuk kristalisasi kepada nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat, melainkan memberikan bentuk bagi tindakan politik yang
Dalam uraian diatas maka dalam kesempatan ini penulis akan membuat suatu Proses
Pembentukan Undang-Undang di Indonesia. Apa itu Proses, menurut menurut kamus besar
Bahasa Indonesia Pengertian proses adalah rangkaian suatu tindakan. Jadi proses
B. Perumusan Masalah
C. Manfaat
D. Kajian Pustaka
yang menjamin tuntutan-tuntutan negara berdasar atas hukum, dan adanya kepastian
negara (Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945 hasil perubahan pertama).
dari peristilahan merupakan terjemahan dari wettelijke regeling. Kata wettelijke berarti
sesuai dengan wet atau berdasarkan wet. Kata wet pada umumnya diterjemahkan
dengan undang-undang dan bukan dengan undang. Sehubung dengan kata dasar
perundangundangan.
theories) memungkinkan untuk mengenali faktor relevan yang mengaruhi kualitas hukum
(the legal quality) dan substansi undang-undang (the content of the law).
bottom up approach”.
suatu undang-undang haruslah memuat norma hukum yang baik, yang menjadi
Undang-Undang adalah hukum yang telah disahkan oleh badan legislatif atau unsur
Undang-undang dipandang sebagai salah satu dari tiga fungsi utama pemerintahan
yang berasal dari doktrin pemisahan kekuasaan. Kelompok yang memiliki kekuasaan
legislasi, dan badan eksekutif pemerintahan hanya dapat bertindak dalam batas-batas
Negara. Sejak undang-undang itu diundangkan, maka naskahnya resmi disebut sebagai
undang-undang. Akan tetapi, sebelum naskah yang bersangkutan resmi disahkan oleh
maka naskah rancangan itu masih tetap disebut sebagai rancangan undang-undang.
Tentu saja dapat dibedakan antara rancangan un-dang-undang yang belum dibahas
dalam proses pembahasan bersama oleh DPR bersama dengan pemerintah, dan
bersama dengan pemerintah, yaitu yang sudah disahkan secara materiel dalam rapat
paripurna DPR-RI sebagai tanda dicapainya persetujuan bersama antara DPR dan
Van Der Vlies, banyak memengaruhi rumusan Pasal 5 UU Nomor 10 Tahun 2004
patut menurut Van Der Vlies dalam bukunya yang berjudul Het Wtsbegrip en
beginselen van behoorlijke regelgeving dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu asas
individuale rechtbedeling).
terdiri atas: Cita Hukum Indonesia; Asas Negara Berdasarkan Hukum; Asas
terdiri atas:
Negara Republik Indonesia, memuat dasar dan garis besar hukum dalam
penyelenggaraan negara.
(Perpu)
b) Perpu dibuat oleh Presiden dalam hal ihwal kepentingan yang memaksa,
yang berikut, DPR dapat menerima atau menolak Perpu dengan tidak
dicabut.
perintah undang-undang.
Pembentukan Undang-Undang
Undang-undang merupakan salah satu bagian dari sistem hukum. Karenanya, proses
pembentukan undang-undang akan sangat dipengaruhi oleh sistem hukum yang dianut oleh
undangundang secara komprehensif, haruslah dimulai dengan mengkaji sistem hukum itu
sendiri.
dari unsur yang melekat pada sistem hukum itu sendiri, yakni:
“sistem hukum mempunyai unsur-unsur, yaitu: struktur hukum (legal structure), substansi
“mengambarkan ketiga unsur sistem hukum itu adalah dengan mengibaratkan struktur
hukum seperti mesin. Substansi adalah apa yang dilakukan dan dikerjakan oleh mesin.
Budaya hukum adalah siapa saja yang ingin mematikan dan menghidupkan mesin itu serta
memutuskan bagaimana mesin itu digunakan. Satu saja komponen pendukung tidak
Dalam konteks pembangunan hukum di Indonesia, khusunya pada masa Orde Baru, dengan
memodifikasi serta memasukan unsur lain dalam pembangunan hukum, kompenen sistem
hukum yang dikemukakan Friedman juga menjadi acuan. Pada Seminar Hukum Nasional
Keenam yang diselengarakan oleh Badan Hukum Nasional (BPHN), pada tahun 1994,
8 Yuliandri, Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada(2010), Hal.31
Pembentukan Undang-Undang 10
ditetapkan adanya empat kelompok atau aspek pembahasan utama dalam pembangunan
hukum nasional, pembinaan kesadaran, dan perilaku budaya hukum nasional, penigkatan
sumber daya manusia dibidang hukum melalui pendidikan dan pelatihan hukum.
3. Lembaga dan Aparatur Hukum, dengan uraian subtema terdiri dari, pengembangan dan
pembinaan hubungan antar lembaga-lembaga hukum dan pelayanan hukum, serta kerja
dan peranan kepustakaan hukum, pembinaan sistem dokumentasi dan informasi hukum,
Adanya pemahaman mengenai perngertian dari sistem hukum, dan kaitanya dengan peroses
pembentukan undang-undang, sebagai bagian utama proses berjalanya sistem hukum. Akan
tetapi, pengembangan substansi hukum melalui pembentukan, juga amat tergantung pada
pengembangan sistem kelembagaan hukum atau struktur hukum yang ada. Selain itu,
keberhasilan dan berkembangnya sistem hukum juga akan sangat ditentukan oleh budaya
9 Ibid, Hal.36
Pembentukan Undang-Undang 11
1. Kepala Surat
Kepala surat adalah bentuk formal penulisan atau format kertas pengesahan suatu
ini mempunyai kepala surat yang didahului oleh lambang Bintang di antara lingkaran
Dengan kepala surat yang demikian, berarti lembaga yang menerbitkan Undang-
Judul;
b. Pembukaan;
c. Batang tubuh;
d. Penutup;
e. Penjelasan; dan
f. Lampiran.
rumusan judul itu dimuat kete-rangan mengenai jenis, nomor, tahun pengesahan,
judul panjang (long title) dan judul singkat (short title). Akan tetapi, dalam praktik di
Indonesia sejak dulu, biasanya judul undang-undang hanya dibuat pendek. Yang
b. Pembukaan (Preambule)
Judul dan panjangnya judul seringkali dipakai pula sebagai pengganti pembukaan
(preambule). Jika naskah undang-undang dasar dan piagam biasanya dimulai dengan
pembukaan. Namun, dalam hal pembukaan itu dirumuskan, seperti dalam undang-
undang yang bersifat khusus atau dalam undang-undang dasar, maka pada pokoknya
pembukaan itu adalah merupakan kalimat pengantar dimana objek, maksud dan tujuan
3. Konsideran
Konsideran yang terdapat dalam setiap undang-undang, pada pokoknya, berkaitan dengan
undang-undang tersebut bagi subjek-subjek hukum yang diatur oleh undang-undang itu.
Kelima landasan dimaksud adalah landasan yang bersifat filosofis, sosiologis, politis,
dan landasan juridis, serta landasan yang bersifat administratif. Empat landasan
pertama, yaitu landasan filosofis, sosiologis, politis, dan juridis bersifat mutlak,
sedangkan satu landasan terakhir, yaitu landasan administratif dapat bersifat fakultatif.
Mutlak, artinya, harus selalu ada dalam setiap undang-undang. Sedangkan landasan
5. Landasan Filosofis
(ideal norms) oleh suatu masyarakat ke arah mana cita-cita luhur kehidupan bermasyarakat
dan bernegara hendak diarahkan. Karena itu, undang-undang dapat digambarkan sebagai
Pembentukan Undang-Undang 13
cermin dari cita-cita kolektif suatu masyarakat tentang nilai-nilai luhur dan filosofis yang
bersangkutan dalam kenyataan. Karena itu, cita- cita filosofis yang terkandung dalam
disebut dengan Ketentuan Umum. Dengan sebutan demikian, seharusnya, isi yang
istilah-istilah yang dipakai seperti yang biasa dipraktikkan selama ini. Dalam istilah
“Ketentuan Umum” seharusnya termuat pula hal-hal lain yang bersifat umum, seperti
kelaziman atau kebiasaan sejak dulu bahwa setiap undang-undang selalu didahului oleh
“Ketentuan Umum” yang berisi pengertian atas istilah-istilah yang dipakai dalam un-
dang-undang yang bersangkutan. Dengan demikian, fungsi ketentuan umum ini persis
seperti “definition clause” atau “interpretation clause” yang dikenal di berbagai negara
lain.
terdapat ketentuan yang bersifat khusus. Ketentuan dimaksud biasa dirumuskan secara
khusus dan berbeda daripada substansi pokok materi undang-undang yang bersifat
umum. Pasal-pasal khusus itu biasanya dirumuskan dalam seksi atau sub-bab tersendiri
yang berisi norma kekecualian terhadap ketentuan pokok dalam seksi atau sub-bab
utama (the main section). Ketentuan pasal-pasal demikian itu biasa dinamakan sebagai
Pembentukan Undang-Undang 14
“provisio” yang dibedakan dari ke-tentuan pada umumnya yang dalam bahasa Inggeris
disebut “provision”. Kata “provision” ini dalam bahasa Indonesia biasanya kita
dengan istilah “ketentuan khusus” atau kita sebut “provi-sio” saja. Pada prinsipnya,
terhadap norma hukum yang bersifat umum yang terda-pat dalam suatu seksi atau
subbab undang-undang.
8. Ketentuan Tambahan
ketentuan yang berisi tambahan norma terhadap substansi pokok yang hendak diatur
dalam undang-undang. Biasanya, Ketentuan Tambahan ini ditempatkan dalam bab yang
tersendiri sebelum Ketentuan Penutup atau bahkan sebelum Ke-tentuan Peralihan dan
dapat pula dimuat dalam Ketentuan Penutup. Namun, pada umumnya, ketentuan
tambahan dimuat dalam bab tersendiri, yaitu Bab Ketentuan Tambahan sebelum Bab
karena isinya memang bukan substansi yang bersifat utama atau pokok, melainkan
hanya menyangkut hal-hal lain yang seharusnya menjadi materi undangundang lain.
9. Ketentuan Peralihan
Ketentuan Peralihan adalah ketentuan yang berisi norma peralihan yang berfungsi
normatif dari ketentuan lama ke ketentuan baru. Ketentuan peralihan ini memuat
Pembentukan Undang-Undang 15
dalam bab yang tersendiri, yaitu sesudah ketentuan pidana dan sebelum ketentuan
penutup. Jika tidak diperlukan bab yang tersendiri, maka ketentuan peralihan itu
biasanya ditempatkan sebagai ketentuan terakhir sebelum pasal yang memuat keten-
tuan penutup.
memuat ketentuan pelaksanaan yang bersifat eksekutif atau legislatif. Yang bersifat
perizinan, lisensi, atau konsesi, pengangkatan dan memberhentikan pegawai, dan lain
membuat peraturan pelaksanaan lebih lanjut (delegation of rule-making power) dari apa
11. Lampiran
itu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari naskah peraturan perundang-
lampiran, maka hal itu harus dinyatakan dengan tegas dalam batang tubuh disertai
pernyataan yang menegaskan bahwa lampiran tersebut merupakan bagian yang tak
lampiran, harus dicantumkan nama dan tanda tangan pejabat yang mengesahkan/
1. Materi Muatan
e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Ayat (1) UU No.12 Tahun 2011
a. Pengayoman,
b. Kemanusian,
c. Kebangsaan,
d. Kekeluargaan,
e. Kenusantaraan,
g. Keadilan,
2011 menyatakan “Selain asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan
Perundangundangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan
Apa yang dimaksudkan dengan asas-asas yang berlaku dalam materi muatan
sebagai berikut:
hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan
Republik Indonesia.
Pancasila.
Pembentukan Undang-Undang 18
suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang
tanpa kecuali.
2. Bahasa Undang-Undang
bahasa Indonesia yang baik dan benar, baik yang menyangkut pembentukan kata,
penyusunan kalimat, teknik penulisan, maupun penulisan ejaan dan tanda bacanya.
Namun, disamping itu, bahasa peraturan dapat dikatakan mempunyai corak yang
kata sesuai dengan kebutuhan hukum yang dihadapi. Oleh karena itu, dalam
perancang yang baik akan selalu berusaha menghindari penggunaan kata-kata atau frasa
yang artinya kurang menentu, konteksnya yang kurang jelas, atau malah akan
Untuk memperluas pengertian kata atau istilah yang sudah diketahui oleh umum tanpa
membuat definisi baru, para perancang biasanya menggunakan kata “meliputi” atau
Para perancang dianjurkan untuk menghindari pemberian arti kepada kata atau frase
yang maknanya terlalu menyimpang dari makna yang biasa digunakan sehari-hari.
Juga harus dihindarkan penggunaan satu kata atau istilah yang mempunyai arti
berbedabeda di satu tempat dengan tempat yang lain dalam satu undang-undang.
Demikian pula harus dihindari penggunaan kata atau istilah yang berbeda-beda untuk
Suatu istilah atau kata yang disebut berulang-ulang dalam undang-undang yang sama,
maka dianjurkan agar memuat kata atau istilah tersebut dalam ketentuan umum atau
pasal yang memuat pengertian kata dan istilah-istilah. Untuk efisiensi perumusan,
pengulangan frasa yang panjang dapat disingkat, yaitu setelah penyebutan frasa itu
undangan seringkali kita harus menggunakan kata-kata yang berasal dari bahasa asing.
Dalam hal demikian, para perancang yang baik harus berusaha menghindari
istilahistilah asing tersebut. Jika memang hal itu terpaksa dilakukan, maka penggunaan
kata atau istilah-istilah asing itu hanya ditempatkan dalam penjelasan, bukan dalam
perumusan pasal-pasal (batang tubuh) peraturan. Pertama, dituliskan dulu istilah bahasa
Indonesianya, baru setelah itu bahasa asingnya yang ditempatkan dalam kurung.
Untuk istilah-istilah atau frasa dari bahasa asing yang sudah diserap dalam praktik
bahasa Indonesia, maka penyerapan kata atau frasa asing yang telah disesuaikan
ejaannya dengan kaidah bahasa Indonesia dapat saja digunakan dalam perumusan
ketentuan undang-undang dan peraturan lainnya. Penggunaan kata asing yang telah
disesuaikan tersebut dapat dilakukan apabila kata-kata, istilah, atau frasa itu memang
1. Perencanaan Undang-Undang
c. Perintah UU lainya;
Penyusunan Prolegnas memuat judul RUU, materi yang diatur, dan keterkaitanya
2. Penyusunan Undang-Undang
14 Yani, Ahmad, Pembentukan peraturan perundang-undangan yang responsif, Jakarta: Konstitusi Press
(2013), Hal. 25
Pembentukan Undang-Undang 22
Dalam pengajuan RUU, baik yang berasal dari DPR, Presiden atau DPD harus disertai
a. APBN;
c. Pencabutan UU atau pecabutan Perpu; yang cukup disertai dengan keterangan yang
Kemudian hal penting yang terkait dengan Naskah Akademik adalah sebagaimana yang
yang sama, baik dari sisi sistematika, teknis penyusunanya maupun kedalam substansi
Untuk memastikan bahwa penyusunan RUU berjalan baik seusuai prosedur dan teknik
diajukan kepada DPR oleh anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau DPD harus
Legislasi DPR RI. Demikian halnya terhadap RUU yang diajukan oleh Presiden yang
konsepsi RUU didalam Pasal 46 dan 47 UU PPP diatur lebih jelas, tersetruktur, dan
masing-masing terintegrasi didalam peraturan DPR maupun Perpres tentang tata cara
mempersiapkan RUU.15
15 Ibid, Hal.32-34
Pembentukan Undang-Undang 23
dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang ditugasi. Hal ini sesuai bunyi
Pasal 20 ayat (2) UUD NKRI Tahun 1945, yakni “Setiap rancangan undang-undang
dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”. Adapun pelibatan
atau keikutsertaan DPD dalam pembahsan RUU hanya dilakukan apabila RUU yang
a. Otonomi daerah;
d. Pengelolahan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainya; dan
Keikutsertaan DPD dalam pembahasan RUU dilakukan hanya pada pembicara tingkat I
(Satu), kemudian dalam pembahsan tersebut DPD diwakili oleh alat kelengkapan yang
Sesuai ketentuan Pasal 72 PPP bahwa RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan
Presiden disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Peresiden untuk disahkan menjadi UU.
Penyampaian RUU tersebut dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari
terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Penentuan tenggang waktu 7 (tujuh) hari
dianggap layak untuk mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan teknis penulisan
16 Ibid, Hal.41
Pembentukan Undang-Undang 24
5. Pengundangan
Indonesia dan Berita Negara Republik Indonesia hanya berupa batang tubuh peraturan
dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dimuat dalam Tambahan Berita
yang dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia dimuat dalam Tambahan Berita
6. Penyebarluasan
Prolegnas dan RUU yang sedang disusun, dibahas, dan yang telah diundangkan agar
masyarakat dapat memberikan masukan atau tanggapan terhadap Prolegnas dan RUU
Ketentuan pasal 89 UU PPP lebih progresif dalam penyebarluasan, bukan hanya kewenagan
pemerintah semata, melainkan penyebarluasan dilakukan secara bersama oleh DPR dan
17 Ibid, Hal.45-50
Pembentukan Undang-Undang 25
pemerintah. Didalam UU ini diatur bahwa penyebarluasan Prolegnas dilakukan bersama oleh
DPR dan pemerintah yang dikordinasikan oleh Badan Legislasi DPR. Penyebarluasan RUU
Sementara penyebarluasan RUU yang berasal dari presiden dilaksankan oleh instansi
pemrakarsa.
Demikian halnya terkait ketentuan Pasal 90 UU PPP diatur bahwa penyebarluasan UU yang
telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) dilakukan secarara
bersama-sama oleh DPR dan pemerintah. Dalam hal UU yang berkaitan disahkan berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolahan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainya
serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, maka penyebarluasan
18 Ibid, Hal 52
Penutup 26
A. Pembahasan
Undang-undang adalah peraturan perundangan, yang dalam pembentukannya
Presiden harus mendapat persetujuan DPR. Ketentuan tersebut diatur dalam UUD 1945
Pasal20 Ayat 1 "DPR memegang kekuasaan membentuk UU" dan Pasal 20 Ayat 2 "Setiap
RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama" . dalam tahapan
pembentukan peraturan perundangan haruslah meninjau dari segi aspek dan bagaimana
proses dan tahapan pembentukan peraturan itu dapat dijalankan . Undang-undang juga harus
keindonesiaan, terdiri atas: Cita Hukum Indonesia; Asas Negara Berdasarkan Hukum; Asas
undang-undang akan sangat dipengaruhi oleh sistem hukum yang dianut oleh negara tempat
Di Indonesia sendiri dalam proses dan tahapan pembentukan undang-undang dapat ditinjau
mulai dari bentuk undang-undang itu sendiri yang terdiri dari: kepala surat, pembukaan,
ketentuan peralihan, ketentuan penutup dan lampiran. Dari bentuk undang-undang tersebut
merupakan isi dari undang-undang itu sendiri sebagaimana undang-undang itu dibentuk.
kedudukan suatu peraturan perundang-undangan, semakin rinci dan konkrit pula materi
peraturan perundang-undangan yang paling luas jangkauanya. Dan penggunaan bahasa dalam
undang-undang haruslah baik dan benar, tidak multi tafsir, tidak berlebihan, harus ada
(subyek, obyek, predikat dan keterangan), mengandung norma larangan, dan kejelasan
1. Tahapan Perencanaan
Peraturan Presiden No. 61 Th 2005 tentang Tata Cara penyusunan dan Pengelolaan
RUU dari Pemerintah berdasarkan Peraturan Presiden No. 68 Th. 2005 tentang Tata
Indonesia.
4. Tahap Pengesahan
5. Tahap Pengundangan
Penutup 28
undangan dan Peraturan Presiden No. 1 Th. 2007 tentang Pengesahan, pengundangan, dan
B. Kesimpulan
−
Pembentukan undang-undang mengalami ketidak jelasan arti dan penjabarannya
dalam perumusan pembuatannya, sistemtika yang tidak baik dan bahasa yang
sukar dimengerti.
media.
− Atas inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat yang prosenya dimulai dari perencanaan
DAFTAR PUSTAKA
RajaGrafindo Persada(2010).