Anda di halaman 1dari 32

“Proses Pembentukan Undang-Undang di Indonesia”

Nama Kelompok:

LIE ERIA
i

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia,

serta taufik dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul

“Proses Pembentukan Undang-Undang di Indonesia”. Saya sangat berharap makalah ini

dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita tentang bagaimana

dalam pembentukan undang-undang di negara kita ini. Saya juga menyadari sepenuhnya

bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab

itu, saya mengharapkan adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah

saya buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran

yang membangun. Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang

membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi saya sendiri

maupun orang yang membacanya. Sebelumnya saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan

kata-kata yang kurang berkenan dan saya memohon kritik dan saran yang membangun demi

perbaikan di masa depan.

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Perumusan Masalah 3
C. Manfaat 3
D. Kajian Pustaka 3
1. Teori dan Landasan Pembentukan Undang-Undang 3
2. Asas-asas Pembentukan Perundang-undangan yang baik 6
3. Jenis, Hierarki, dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan 7
BAB II PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG 9
A. Undang-Undang dan Sistem Hukum 9
B. Bentuk Undang-Undang (Struktur Naskah) 11
C. Materi Muatan dan Bahasa Undang-Undang 16
D. Prosedur Pembentukan Undang-Undang 21
BAB III PENUTUP 26
A. Pembahasan 26
B. Kesimpulan 28
DAFTAR PUSTAKA 29
Pendahuluan 1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ilmu pengetahuan perundang-undangan akhir-akhir ini sangat populer terutama untuk

membuat suatu perundang-undangan yang baru. Ilmu pengetahuan perundang-undangan

dikembangkan di Eropa Barat di negara-negara yang berbahasa Jerman dan Belanda.1

Sebagai telaah sejarah perundang-undangan (wetshistorie), dapat dikemukakan bahwa sejak

proklamasi 17 Agustus 1945, Republik Indonesia telah melewati 4 kali berlakunya Undang-

Undang Dasar, yaitu: (1) Undang-Undang Dasar 1945; (2) Konstitusi

Republik Indonesia Serikat; (3) Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia dan;

(4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diubah

(diamendemen) dengan empat kali perubahan. UUD 1945 sebelum perubahan tidak

menjelaskan tentang pembentukan undang-undang dengan lengkap, melainkan hanya

menegaskan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan

persetujuan DPR, Sementara itu mengenai proses pembentukan undang-undang hanya

menyebutkan bahwa rancangan undang-undang yang tidak mendapat persetujuan DPR tidak

boleh diajukan lagi dalam persidangan berikutnya.

UUD 1945 mengalami empat kali perubahan fundamental dalam waktu relatif sangat

pendek. Majelis Permusyawaratan Rakyat yang diberi wewenang untuk mengubah dan

menetapkan Undang-Undang Dasas 1945, sebagai perwujudan keinginan rakyat untuk

melakukan reformasi di bidang hukum.

Perubahan UUD1945 sangat mempengaruhi mekanisme penyelenggaraan negara dan

urusan pemerintahan, akibatnya berbagai lembaga negara diwajibkan untuk melakukan

1 Farida, Maria, ILMU PERUNDANG-UNDANGAN,Yogyakarta:Kanisius(1998), hal.2


Pendahuluan 2

pembenahan yang menyangkut fungsinya untuk disesuaikan dengan perubahan tersebut.

Tidak hanya mempengaruhi mekanisme penyelenggaraan negara dan urusan pemerintahan

tetapi juga mengbah kekuasaan membentuk undang-undang dari semula yang dipegang

presiden beralih menjadi wewenang Dewan Perwakilan Rakyat. Sehingga, penataan

pelaksanaan fungsinya akan memiliki pengaruh terhadap kualitas pembentukan

undangundang di Indonesia. Langkah-langkah ke arah pembentukan undang-undang yang

berkualitas, sebagai bagian dari ikhtiar untuk mendukung reformasi hukum, telah di

implementasikan melalui Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Upaya perbaikan tersebut

menyangkut proses pembentukanya (Formal), maupun substansi yang diatur (Materil).

Langkah ini dapat memberikan jaminan, bahwa undang-undang yang dibentuk mampu

menampung berbagai kebutuhan dan perubahan yang cepat, dalam pelaksanaan

pembangunan.

Undang-undang merupakan landasan hukum yang yang menjadi dasar pelaksanaan dari

keseluruhan kebijakan yang dibuat oleh pemerintahaan. “legal policy” yang dituangkan

dalam undang-undang, menjadi sebuah sarana rekayasa sosial, yang membuat kebijaksanaan

yang hendak dicapai pemerintah, untuk mengarahkan masyarakat menerima nilai-nilai baru..2

Didalam negara yang berdasarkan atas hukum moderen (verzorgingsstaat), tujuan utama dari

pembentukan undang-undang bukan lagi menciptakan kodipikasi bagi normanorma dan nilai-

nilai kehidupan yang sudah mengendap dalam masyarakat, akan tetapi tujuan utama

pembentukan undang-undang itu adalah menciptakan modipikasi atau perubahan dalam

kehidupan masyarakat.3

Saat ini undang-undang memberikan bentuk yuridis terhadap campur tangan sosial yang

dilakukan oleh pembentuknya untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan negara. Undang-

2 Yuliandri, Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, Jakarta: PT RajaGrafindo


Persada(2010), hal.1
3 Farida, Maria, ILMU PERUNDANG-UNDANGAN,Yogyakarta:Kanisius(1998), hal.2
Pendahuluan 3

undang kini tidak lagi terutama berfungsi memberi bentuk kristalisasi kepada nilai-nilai yang

hidup dalam masyarakat, melainkan memberikan bentuk bagi tindakan politik yang

menentukan arah perkembangan nilai-nilai tersebut.

Dalam uraian diatas maka dalam kesempatan ini penulis akan membuat suatu Proses

Pembentukan Undang-Undang di Indonesia. Apa itu Proses, menurut menurut kamus besar

Bahasa Indonesia Pengertian proses adalah rangkaian suatu tindakan. Jadi proses

pembentukan undang-undang adalah rangkaian tindakan dalam membentuk suatu peraturan

perundang-undangan. Rangkaian bagaimana sesuatu peraturan tersebut dilakukan dan

pastilah terdapat tata cara dalam melaksanakanya.

B. Perumusan Masalah

Dari judul diatas terdapat perumusan masalah diantaranya:

A. Mengapa dalam pembentukan undang-undang harus mempunyai dasar hukum?

B. Bagaimana proses pembentukan undang-undang?

C. Manfaat

1. Mahasiswa dapat mengetahui proses pembentukan undang-undang di indonesia.

2. Mahasiwa dapat mengetahui, Mengapa undang-undang mempunyai dasar hukum.

D. Kajian Pustaka

1. Teori dan Landasan Pembentukan Undang-Undang

Undang-undang (gezets) adalah dasar dan batas bagi kegiatan pemerintah,

yang menjamin tuntutan-tuntutan negara berdasar atas hukum, dan adanya kepastian

dalam hukum. Menurut pendapat Peter Badura, dalam pengertian teknis

ketatanegaraan Indonesia, undang-undang ialah produk yang dibentuk bersama oleh


Pendahuluan 4

Dewan Perwakilan Rakyat dengan presiden, dalam penyelengaraan pemerintahan

negara (Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945 hasil perubahan pertama).

Peraturan perundang-undangan dilihat dari peristilahan merupakan terjemahan

dari peristilahan merupakan terjemahan dari wettelijke regeling. Kata wettelijke berarti

sesuai dengan wet atau berdasarkan wet. Kata wet pada umumnya diterjemahkan

dengan undang-undang dan bukan dengan undang. Sehubung dengan kata dasar

undang-undang, maka terjemahan wettelijke regeling ialah peraturan

perundangundangan.

Menurut Otto, dkk., teori tentang pembentukan undang-undang (legislative

theories) memungkinkan untuk mengenali faktor relevan yang mengaruhi kualitas hukum

(the legal quality) dan substansi undang-undang (the content of the law).

Teori-teori tersebut meliputi:

1. The synoptic policy-phases theory;

2. The agenda-building theory;

3. The elite ideology theory;

4. The bureau-politics theory or organisational politics theory;

5. The four rationalities.

Diantara kelima macam teori pembentukan undang-undang tersebut, “the agenda –

building theory” kiranya sesuai-memiliki kesamaan- dengan situasi dan kondisi

pembentukan hukum di indonesia, yang pada umumnya memiliki karakteristik “a

bottom up approach”.

Dengan demikian teori tersebut mengandung persamaan unsur-unsur dengan proses

pembentukan undang-undang di Indonesia.

Landasan pembentukan undang-undang menurut Jimly Asshiddiqe, harus dilihat dari

sisi tekhnis pembentukan undang-undang, landasan pembentukan undangundang


Pendahuluan 5

haruslah tergambar dalam ‘konsiderens” suatu undang-undang. Dalam konsiderens

suatu undang-undang haruslah memuat norma hukum yang baik, yang menjadi

landasan keberlakuan undang-undang tersebut.4

Undang-Undang adalah hukum yang telah disahkan oleh badan legislatif atau unsur

pemerintahan yang lainnya. Sebelum disahkan, undang-undang disebut sebagai

rancangan Undang-Undang. Undang-undang berfungsi untuk digunakan sebagai

otoritas, untuk mengatur, untuk menganjurkan, untuk menyediakan (dana), untuk

menghukum, untuk memberikan, untuk mendeklarasikan, atau untuk membatasi

sesuatu. Suatu undang-undang biasanya diusulkan oleh anggota badan legislatif

(misalnya anggota DPR), eksekutif (misalnya presiden), dan selanjutnya dibahas di

antara anggota legislatif. Undang-undang sering kali diamandemen (diubah) sebelum

akhirnya disahkan atau mungkin juga ditolak.

Undang-undang dipandang sebagai salah satu dari tiga fungsi utama pemerintahan

yang berasal dari doktrin pemisahan kekuasaan. Kelompok yang memiliki kekuasaan

formal untuk membuat legislasi disebut sebagai legislator (pembuat undang-undang),

sedangkan badan yudikatif pemerintah memiliki kekuasaan formal untuk menafsirkan

legislasi, dan badan eksekutif pemerintahan hanya dapat bertindak dalam batas-batas

kekuasaan yang telah ditetapkan oleh hukum perundangundangan.

Undang-undang secara formil jelas berbeda dari rancangan undang-undang.

Pembatas antara suatu rancangan undang-undang dan undang-undang adalah tindakan

pengesahan formil berupa pengundangan un-dang-undang itu dalam Lembaran

Negara. Sejak undang-undang itu diundangkan, maka naskahnya resmi disebut sebagai

undang-undang. Akan tetapi, sebelum naskah yang bersangkutan resmi disahkan oleh

Presiden dan kemudian diundangkan sebagaimana mestinya da lam Lembaran Negara,

4 Yuliandri, Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, Jakarta: PT RajaGrafindo


Persada(2010), Hal.25
Pendahuluan 6

maka naskah rancangan itu masih tetap disebut sebagai rancangan undang-undang.

Tentu saja dapat dibedakan antara rancangan un-dang-undang yang belum dibahas

bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat, rancangan undang-undang yang sedang

dalam proses pembahasan bersama oleh DPR bersama dengan pemerintah, dan

rancangan undang-undang yang telah mendapat persetujuan bersama oleh DPR

bersama dengan pemerintah, yaitu yang sudah disahkan secara materiel dalam rapat

paripurna DPR-RI sebagai tanda dicapainya persetujuan bersama antara DPR dan

Presiden atas rancangan undang-- undang yang bersangkutan.5

2. Asas-asas Pembentukan Perundang-undangan yang baik

Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik menurut

Van Der Vlies, banyak memengaruhi rumusan Pasal 5 UU Nomor 10 Tahun 2004

(yang sekarang telah di amandemen) ke UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Perumusan mengenai asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang

patut menurut Van Der Vlies dalam bukunya yang berjudul Het Wtsbegrip en

beginselen van behoorlijke regelgeving dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu asas

formal dan asas materiil.

1) Asas-asas formal meliputi:

a. Asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling);

b. Asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste organ);

c. Asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel);

d. Asas dapat dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid);

e. Asas consensus (het beginsel van consensus);

a) Asas-asas material yang meliputi:


5 Asshiddiqie, Jimly, Perihal Undang-Undang, Jakarta: Rajawali Pers(2011), hal. 41
Pendahuluan 7

a. Asas terminologi dan sistematika yang benar (het beginselvan duidelijke

termonologie en duidelijke systemtiek);

b. Asas dapat dikenali (het beginsel van de kenbaaheid);

c. Asas perlakuan yang sama dalam hokum (hetrechtsgelijkeheidsbeginsel)

d. Asas kepastian hukum (het rechtzekerheidsbeginsel);

e. Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual (hetbeginsel van de

individuale rechtbedeling).

Sedangkan A.Hamid S. Attamimi berpendapat, bahwa asas-asas pembentukan

peraturan perundang-undangan yang patut, khususnya dalam ranah keindonesiaan,

terdiri atas: Cita Hukum Indonesia; Asas Negara Berdasarkan Hukum; Asas

Pemerintahan Berdasarkan Sistem Konstitusi; dan Asas-asas lainya. 6

3. Jenis, Hierarki, dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan

Ketentuan UU PPP mengatur bahwa jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan

terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) merupakan hukum dasar tertulis

Negara Republik Indonesia, memuat dasar dan garis besar hukum dalam

penyelenggaraan negara.

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR);

c. Undang-Undang (UU)/Peraturan Pemerintahan Pengganti Undang- Undang

(Perpu)

a) Undang-Undang (UU) dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

bersama Presiden untuk melaksanakan UUD 1945 .

6 Farida, Maria, ILMU PERUNDANG-UNDANGAN,Yogyakarta:Kanisius(1998), hal. 196-197


Pendahuluan 8

b) Perpu dibuat oleh Presiden dalam hal ihwal kepentingan yang memaksa,

dengan ketentuan: Perpu harus diajukan ke DPR dalam persidangan

yang berikut, DPR dapat menerima atau menolak Perpu dengan tidak

mengadakan perubahan, dan Jika ditolak DPR, Perpu tersebut harus

dicabut.

d. Peraturan Pemerintah (PP)

Peraturan Pemerintah (PP) dibuat oleh Pemerintah untuk melaksanakan

perintah undang-undang.

e. Peraturan Presiden (Perpres)

Keputusan Presiden (Keppres) yang bersifat mengatur dibuat oleh Presiden

untuk menjalankan fungsi dan tugasnya berupa pengaturan.

f. Peraturan Daerah Provinsi (Perda Provinsi); dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (Perda kabupaten/Kota).7

7 UU NO. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, Psl. 7


9

Pembentukan Undang-Undang

BAB II PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG

A. Undang-Undang dan Sistem Hukum

Undang-undang merupakan salah satu bagian dari sistem hukum. Karenanya, proses

pembentukan undang-undang akan sangat dipengaruhi oleh sistem hukum yang dianut oleh

negara tempat undang-undang itu dibentuk. Sehingga untuk mengkaji pembentukan

undangundang secara komprehensif, haruslah dimulai dengan mengkaji sistem hukum itu

sendiri.

Lawrence M. Friedman mengemukakan untuk memahami sistem hukum dapat dilihat

dari unsur yang melekat pada sistem hukum itu sendiri, yakni:

“sistem hukum mempunyai unsur-unsur, yaitu: struktur hukum (legal structure), substansi

hukum (legal substance), dan budaya hukum (legal culture)”.8

Lebih lanjut dikemukakan, bahwa untuk mempermudahkan pemahaman tentang

sistem hukum, dapat dilakukan dengan:

“mengambarkan ketiga unsur sistem hukum itu adalah dengan mengibaratkan struktur

hukum seperti mesin. Substansi adalah apa yang dilakukan dan dikerjakan oleh mesin.

Budaya hukum adalah siapa saja yang ingin mematikan dan menghidupkan mesin itu serta

memutuskan bagaimana mesin itu digunakan. Satu saja komponen pendukung tidak

berfungsi maka niscaya sistem mengalami disfunction (kepincangan).

Dalam konteks pembangunan hukum di Indonesia, khusunya pada masa Orde Baru, dengan

memodifikasi serta memasukan unsur lain dalam pembangunan hukum, kompenen sistem

hukum yang dikemukakan Friedman juga menjadi acuan. Pada Seminar Hukum Nasional

Keenam yang diselengarakan oleh Badan Hukum Nasional (BPHN), pada tahun 1994,
8 Yuliandri, Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada(2010), Hal.31
Pembentukan Undang-Undang 10

ditetapkan adanya empat kelompok atau aspek pembahasan utama dalam pembangunan

hukum di Indonesia, yaitu:

1. Budaya hukum, dengan rincian pembahasan tentang pengembangan sistem filsafat

hukum nasional, pembinaan kesadaran, dan perilaku budaya hukum nasional, penigkatan

sumber daya manusia dibidang hukum melalui pendidikan dan pelatihan hukum.

2. Materi Hukum, dengan uraian subtema tentang, pengembangangan hukum tertulis

peraruran perundangan-undangan Indonesia, pengembangan yurisprudensi tetap, serta

pengembangan hukum kebiasaan.

3. Lembaga dan Aparatur Hukum, dengan uraian subtema terdiri dari, pengembangan dan

penataan kembalihubungan antar lembaga-lembaga hukum di bidang penegakan hukum,

pembinaan hubungan antar lembaga-lembaga hukum dan pelayanan hukum, serta kerja

sama negara/ organisasi internasional.

4. Pengembangan Sarana dan Prasarana Hukum, dengan Sub-Subtema, peningkatan fungsi

dan peranan kepustakaan hukum, pembinaan sistem dokumentasi dan informasi hukum,

serta moderenisasi sarana dan prasarana hukum.

Adanya pemahaman mengenai perngertian dari sistem hukum, dan kaitanya dengan peroses

pembentukan undang-undang, diharapkan akan berpengaruh pada ditempatkanya

pembentukan undang-undang, sebagai bagian utama proses berjalanya sistem hukum. Akan

tetapi, pengembangan substansi hukum melalui pembentukan, juga amat tergantung pada

pengembangan sistem kelembagaan hukum atau struktur hukum yang ada. Selain itu,

keberhasilan dan berkembangnya sistem hukum juga akan sangat ditentukan oleh budaya

hukum yang ada.9

9 Ibid, Hal.36
Pembentukan Undang-Undang 11

B. Bentuk Undang-Undang (Struktur Naskah)

1. Kepala Surat
Kepala surat adalah bentuk formal penulisan atau format kertas pengesahan suatu

undang-undang. Dari segi formatnya itu, Undang-Undang Republik Indonesia selama

ini mempunyai kepala surat yang didahului oleh lambang Bintang di antara lingkaran

Padi dan Kapas disertai dengan kata-kata Presiden Republik Indonesia.

Dengan kepala surat yang demikian, berarti lembaga yang menerbitkan Undang-

Undang Republik Indonesia adalah Presiden. Kerangka undang-undang terdiri atas: a.

Judul;

b. Pembukaan;

c. Batang tubuh;

d. Penutup;

e. Penjelasan; dan

f. Lampiran.

Setiap undang-undang harus dirumuskan dengan judul tertentu. Dalam

rumusan judul itu dimuat kete-rangan mengenai jenis, nomor, tahun pengesahan,

penetapan, atau pengundangan, dan nama resmi undang-undang yang bersangkutan.

Dalam praktik di berbagai negara, judul undang-undang kadang-kadang terdiri atas

judul panjang (long title) dan judul singkat (short title). Akan tetapi, dalam praktik di

Indonesia sejak dulu, biasanya judul undang-undang hanya dibuat pendek. Yang

penting judul tersebut mencerminkan substansi undang-undang bersangkutan.10

10 Asshiddiqie, Jimly, Perihal Undang-Undang, Jakarta: Rajawali Pers(2011), hal. 159


Pembentukan Undang-Undang 12

b. Pembukaan (Preambule)

Judul dan panjangnya judul seringkali dipakai pula sebagai pengganti pembukaan

(preambule). Jika naskah undang-undang dasar dan piagam biasanya dimulai dengan

“preambule” atau pembukaan, maka naskah undang-undang biasa dirumuskan tanpa

pembukaan. Namun, dalam hal pembukaan itu dirumuskan, seperti dalam undang-

undang yang bersifat khusus atau dalam undang-undang dasar, maka pada pokoknya

pembukaan itu adalah merupakan kalimat pengantar dimana objek, maksud dan tujuan

undang-undang yang bersangkutan dibentuk diuraikan.

3. Konsideran

Konsideran yang terdapat dalam setiap undang-undang, pada pokoknya, berkaitan dengan

5 (lima) landasan pokok bagi berlakunya norma-norma yang terkandung di dalam

undang-undang tersebut bagi subjek-subjek hukum yang diatur oleh undang-undang itu.

Kelima landasan dimaksud adalah landasan yang bersifat filosofis, sosiologis, politis,

dan landasan juridis, serta landasan yang bersifat administratif. Empat landasan

pertama, yaitu landasan filosofis, sosiologis, politis, dan juridis bersifat mutlak,

sedangkan satu landasan terakhir, yaitu landasan administratif dapat bersifat fakultatif.

Mutlak, artinya, harus selalu ada dalam setiap undang-undang. Sedangkan landasan

administratif tidak mutlak harus selalu ada. Dicantumkan tidaknya landasan

administratif itu tergantung kepada kebutuhan. Bahkan, kadang-kadang landasan

filosofis juga tidak dibutuhkan secara mutlak

5. Landasan Filosofis

Undang-undang selalu mengandung norma-norma hukum yang diidealkan

(ideal norms) oleh suatu masyarakat ke arah mana cita-cita luhur kehidupan bermasyarakat

dan bernegara hendak diarahkan. Karena itu, undang-undang dapat digambarkan sebagai
Pembentukan Undang-Undang 13

cermin dari cita-cita kolektif suatu masyarakat tentang nilai-nilai luhur dan filosofis yang

hendak diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari melalui pelaksanaan undang-undang yang

bersangkutan dalam kenyataan. Karena itu, cita- cita filosofis yang terkandung dalam

undang-undang itu hendaklah mencerminkan cita-cita filosofis yang dianut masyarakat

bangsa yang bersangkutan itu sendiri.

6. Ketentuan Umum (Interpretation Clause)

Dalam praktik di Indonesia, “Definition Clause” atau “Interpretation Clause” biasanya

disebut dengan Ketentuan Umum. Dengan sebutan demikian, seharusnya, isi yang

terkandung di dalamnya tidak hanya terbatas kepada pengertian-pengertian operasional

istilah-istilah yang dipakai seperti yang biasa dipraktikkan selama ini. Dalam istilah

“Ketentuan Umum” seharusnya termuat pula hal-hal lain yang bersifat umum, seperti

pengantar, pembukaan, atau “preambule” undang-undang. Akan tetapi, telah menjadi

kelaziman atau kebiasaan sejak dulu bahwa setiap undang-undang selalu didahului oleh

“Ketentuan Umum” yang berisi pengertian atas istilah-istilah yang dipakai dalam un-

dang-undang yang bersangkutan. Dengan demikian, fungsi ketentuan umum ini persis

seperti “definition clause” atau “interpretation clause” yang dikenal di berbagai negara

lain.

7. Ketentuan Khusus atau “Provisio”

Di antara ketentuan pasal-pasal dalam undang-undang, kadang-kadang

terdapat ketentuan yang bersifat khusus. Ketentuan dimaksud biasa dirumuskan secara

khusus dan berbeda daripada substansi pokok materi undang-undang yang bersifat

umum. Pasal-pasal khusus itu biasanya dirumuskan dalam seksi atau sub-bab tersendiri

yang berisi norma kekecualian terhadap ketentuan pokok dalam seksi atau sub-bab

utama (the main section). Ketentuan pasal-pasal demikian itu biasa dinamakan sebagai
Pembentukan Undang-Undang 14

“provisio” yang dibedakan dari ke-tentuan pada umumnya yang dalam bahasa Inggeris

disebut “provision”. Kata “provision” ini dalam bahasa Indonesia biasanya kita

terjemahkan dengan “keten-tuan”, sedangkan “provisio” dapat saja kita terjemahkan

dengan istilah “ketentuan khusus” atau kita sebut “provi-sio” saja. Pada prinsipnya,

ketentuan yang disebut “provi-sio” tersebut merupakan suatu kualifikasi tertentu

terhadap norma hukum yang bersifat umum yang terda-pat dalam suatu seksi atau

subbab undang-undang.

8. Ketentuan Tambahan

Ketentuan Tambahan (Additional Provisions) atau Ketentuan Lain-Lain adalah

ketentuan yang berisi tambahan norma terhadap substansi pokok yang hendak diatur

dalam undang-undang. Biasanya, Ketentuan Tambahan ini ditempatkan dalam bab yang

tersendiri sebelum Ketentuan Penutup atau bahkan sebelum Ke-tentuan Peralihan dan

Ketentuan Penutup. Sesuai de-ngan kebutuhan, kadang-kadang ketentuan tambahan ini

dapat pula dimuat dalam Ketentuan Penutup. Namun, pada umumnya, ketentuan

tambahan dimuat dalam bab tersendiri, yaitu Bab Ketentuan Tambahan sebelum Bab

Ketentuan Peralihan. Dinamakan sebagai ketentuan tambahan (additional provisions)

karena isinya memang bukan substansi yang bersifat utama atau pokok, melainkan

hanya menyangkut hal-hal lain yang seharusnya menjadi materi undangundang lain.

9. Ketentuan Peralihan

Ketentuan Peralihan adalah ketentuan yang berisi norma peralihan yang berfungsi

mengatasi kemungkinan terjadinya kekosongan hukum sebagai akibat peralihan

normatif dari ketentuan lama ke ketentuan baru. Ketentuan peralihan ini memuat
Pembentukan Undang-Undang 15

penyesuaian terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah ada pada saat

peraturan perundang-undangan yang baru mulai berlaku agar peraturan

perundangundangan tersebut dapat berjalan lancar dan tidak menimbulkan

permasalahan hukum. Apabila diperlukan penulisan ketentuan peralih-an itu dituangkan

dalam bab yang tersendiri, yaitu sesudah ketentuan pidana dan sebelum ketentuan

penutup. Jika tidak diperlukan bab yang tersendiri, maka ketentuan peralihan itu

biasanya ditempatkan sebagai ketentuan terakhir sebelum pasal yang memuat keten-

tuan penutup.

10. Ketentuan Penutup

Ketentuan Penutup berbeda dari Kalimat Penutup. Dalam undang-undang, yang

biasanya dirumuskan sebagai Ketentuan Penutup adalah ketentuan yang berkenaan

dengan pernyataan mulai berlakunya undang-undang atau mulai pelaksanaan suatu

ketentuan undang-undang. Ketentuan penutup dalam suatu undang-undang dapat

memuat ketentuan pelaksanaan yang bersifat eksekutif atau legislatif. Yang bersifat

eksekutif, misal-nya, menunjuk pejabat tertentu yang diberi kewenangan untuk

melakukan sesuatu perbuatan hukum, atau untuk mengeluarkan dan mencabut

perizinan, lisensi, atau konsesi, pengangkatan dan memberhentikan pegawai, dan lain

sebagainya. Sedangkan yang bersifat legislatif, misalnya, memberi wewenang untuk

membuat peraturan pelaksanaan lebih lanjut (delegation of rule-making power) dari apa

yang diatur dalam peraturan undang-undang yang bersangkutan.

11. Lampiran

Peraturan perundang-undangan dapat dilengkapi dengan lampiran. Lampiranlampiran

itu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari naskah peraturan perundang-

undangan yang bersangkutan. Dalam hal peraturan perundang-undangan memerlukan


Pembentukan Undang-Undang 16

lampiran, maka hal itu harus dinyatakan dengan tegas dalam batang tubuh disertai

pernyataan yang menegaskan bahwa lampiran tersebut merupakan bagian yang tak

terpisahkan dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Pada akhir

lampiran, harus dicantumkan nama dan tanda tangan pejabat yang mengesahkan/

menetapkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.11

C. Materi Muatan dan Bahasa Undang-Undang

1. Materi Muatan

Materi muatan yang harus diatur dengan Undang- Undang berisi:

a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945;

b. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;

c. pengesahan perjanjian internasional tertentu;

d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau

e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Ayat (1) UU No.12 Tahun 2011

sebagai berikut: “Materi Muatan Peraturan Perandang-undangan mengandung asas

a. Pengayoman,

b. Kemanusian,

c. Kebangsaan,

d. Kekeluargaan,

e. Kenusantaraan,

f. Bhinneka tunggal ika,

g. Keadilan,

h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan,

i. Ketertiban dan kepastian hukum dan atau


11 Ibid, Hal. 167-197
Pembentukan Undang-Undang 17

j. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Sedangkan ayat (2), UU No.12 Tahun

2011 menyatakan “Selain asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan

Perundangundangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan

Perundang-undangan yang bersangkutan”.

Apa yang dimaksudkan dengan asas-asas yang berlaku dalam materi muatan

peraturan perundang-undangan tersebut dijelaskan dalam penjelasan Pasal 6 ayat (1)

sebagai berikut:

1. Asas pengayoman; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan

Perundangundangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka

menciptakan ketentraman masyarakat.

2. Asas kemanusian; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan

Perundangundangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan

hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan

penduduk Indonesia secara proporsional.

3. Asas kebangsaan; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan

Perundangundangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia

yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan

Republik Indonesia.

4. Asas kekeluargaan; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan

Perundangundangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai

mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.

5. Asas kenusantaraan; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan

Perundangundangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah

Indonesia dan materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di

daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan

Pancasila.
Pembentukan Undang-Undang 18

6. Asas bhinneka tunggal ika; Bahwa Materi Muatan Peraturan

Perundangundangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama,

suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang

menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara.

7. Asas keadilan; Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan

harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara

tanpa kecuali.

8. Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; Bahwa setiap

Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal

yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang.

Bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan

keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan

masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.12

2. Bahasa Undang-Undang

Pada pokoknya, bahasa peraturan perundang-undangan tunduk kepada kaidahkaidah

bahasa Indonesia yang baik dan benar, baik yang menyangkut pembentukan kata,

penyusunan kalimat, teknik penulisan, maupun penulisan ejaan dan tanda bacanya.

Namun, disamping itu, bahasa peraturan dapat dikatakan mempunyai corak yang

tersendiri. Bahasa peraturan mempunyai ciri-ciri kejelasan pengertian, kejernihan dan

kelugasan perumusan, kebakuan, keserasian, dan ketaat-asasan dalam penggunaan kata-

kata sesuai dengan kebutuhan hukum yang dihadapi. Oleh karena itu, dalam

merumuskan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan, para perancang


12 UU NO. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, Psl. 7
Pembentukan Undang-Undang 19

biasanya diharuskan menggunakan kalimat-kalimat yang singkat, tegas, jelas, dan

mudah dimengerti oleh khalayak.

Dalam menyusun kalimat perumusan ketentuan peraturan perundangundangan, para

perancang yang baik akan selalu berusaha menghindari penggunaan kata-kata atau frasa

yang artinya kurang menentu, konteksnya yang kurang jelas, atau malah akan

menimbulkan kebingungan. Biasanya, ketentuan-ketentuan dalam undangundang atau

peraturan perundang-undangan lainnya dirumuskan sedemikian rupa sesuai dengan

kaidah tata bahasa Indonesia yang baku.

Untuk memperluas pengertian kata atau istilah yang sudah diketahui oleh umum tanpa

membuat definisi baru, para perancang biasanya menggunakan kata “meliputi” atau

“termasuk” (includes) yang akan mencakup pengertian objek-objek yang disebut

sesudahnya. Sebaliknya, untuk mempersempit pengertian, biasanya digunakan kata

“tidak meliputi” atau “tidak termasuk” (does not include).

Para perancang dianjurkan untuk menghindari pemberian arti kepada kata atau frase

yang maknanya terlalu menyimpang dari makna yang biasa digunakan sehari-hari.

Dengan demikian, rumusan bahasa undang-undang dan peraturan lainnya tidak

menggunakan kata-kata yang sama sekali bertentangan dengan pengetahuan umum.

Juga harus dihindarkan penggunaan satu kata atau istilah yang mempunyai arti

berbedabeda di satu tempat dengan tempat yang lain dalam satu undang-undang.

Demikian pula harus dihindari penggunaan kata atau istilah yang berbeda-beda untuk

pengertian yang sama dalam satu undang-undang.

Suatu istilah atau kata yang disebut berulang-ulang dalam undang-undang yang sama,

maka dianjurkan agar memuat kata atau istilah tersebut dalam ketentuan umum atau

pasal yang memuat pengertian kata dan istilah-istilah. Untuk efisiensi perumusan,

pengulangan frasa yang panjang dapat disingkat, yaitu setelah penyebutan frasa itu

untuk pertama kali ditambah perkataan “yang selanjutnya disebut ............”.


Pembentukan Undang-Undang 20

Dalam perumusan ketentuan undang-undang dan peraturan perundang-

undangan seringkali kita harus menggunakan kata-kata yang berasal dari bahasa asing.

Dalam hal demikian, para perancang yang baik harus berusaha menghindari

istilahistilah asing tersebut. Jika memang hal itu terpaksa dilakukan, maka penggunaan

kata atau istilah-istilah asing itu hanya ditempatkan dalam penjelasan, bukan dalam

perumusan pasal-pasal (batang tubuh) peraturan. Pertama, dituliskan dulu istilah bahasa

Indonesianya, baru setelah itu bahasa asingnya yang ditempatkan dalam kurung.

Misalnya, “penghinaan terhadap peradilan (contempt of court)”, dan sebagainya.

Untuk istilah-istilah atau frasa dari bahasa asing yang sudah diserap dalam praktik

bahasa Indonesia, maka penyerapan kata atau frasa asing yang telah disesuaikan

ejaannya dengan kaidah bahasa Indonesia dapat saja digunakan dalam perumusan

ketentuan undang-undang dan peraturan lainnya. Penggunaan kata asing yang telah

disesuaikan tersebut dapat dilakukan apabila kata-kata, istilah, atau frasa itu memang

memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. mempunyai konotasi yang cocok;

b. lebih singkat daripada padanannya yang ada dalam bahasa Indonesia;

c. mempunyai corak internasional;

d. lebih mempermudah dicapainya kesepakatan pengertian; atau

e. lebih mudah dipahami daripada padanannya dalam bahasa Indonesia.13

D. Prosedur Pembentukan Undang-Undang

1. Perencanaan Undang-Undang

Perencanaan penyusunan UU dalam Prolegnas merupakan skala prioritas program

pembentukan undang-undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional yang

13 Asshiddiqie, Jimly, Perihal Undang-Undang, Jakarta: Rajawali Pers(2011), Hal. 245


Pembentukan Undang-Undang 21

integralistik, baik dalam konteks pembentukan UU maupun peraturan di bawah UU.

Penyusunan daftar RUU yang masuk dalam Prolegnas didasarkan atas:

a. Perintah UUD NKRI Tahun 1945;

b. Perintah Ketetapan MPR;

c. Perintah UU lainya;

d. Sistem perencanaan pembangunan nasional;

e. Rencana pembangunan jangka panjang nasional;

f. Rencana pembangunan jangka menegah;

g. Rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR;

h. Aspirasi dan kebutuhan masyarakat.

Penyusunan Prolegnas memuat judul RUU, materi yang diatur, dan keterkaitanya

dengan peraturan perundang-undangan lainya. Materi yang diatur dan keterkaitanya

dengan peraturan perundang-undang lainya merupakan keterangan mengenai konsep

RUU yang meliputi:

a. Latar belakang dan tujuan penyusunan;

b. Sasaran yang ingin diwujudkan;

c. Jangkawan dan arah peraturan.14

2. Penyusunan Undang-Undang

Didalam tahap penyusunan UU, proses penyusunanya dilakukan mulai dari

perencanaan rancangan UU berdasarkan daftar prioritas Prolegnas. Selanjutnya penyiapan

RUU yang diajukan oleh Presiden atau DPR.

14 Yani, Ahmad, Pembentukan peraturan perundang-undangan yang responsif, Jakarta: Konstitusi Press
(2013), Hal. 25
Pembentukan Undang-Undang 22

Dalam pengajuan RUU, baik yang berasal dari DPR, Presiden atau DPD harus disertai

Naskah Akademik. UU PPP menjadikan Naskah Akademik sebagai persyaratan dalam

pengajuan sebuah RUU, kecuali terhadap RUU, mengenai:

a. APBN;

b. Penetapan Perpu; atau

c. Pencabutan UU atau pecabutan Perpu; yang cukup disertai dengan keterangan yang

memuat pokok pikiran dan meteri muatan yang diatur.

Kemudian hal penting yang terkait dengan Naskah Akademik adalah sebagaimana yang

dinyatakan dalam Pasal 44 UU PPP bahwa penyusunan Naskah Akademik yang

tercantum dalam Lampiran 1 UU PPP, sehingga didapatkan formula Naskah Akademik

yang sama, baik dari sisi sistematika, teknis penyusunanya maupun kedalam substansi

yang akan diatur.

Untuk memastikan bahwa penyusunan RUU berjalan baik seusuai prosedur dan teknik

penyusunan perundang-undangan, maka diatur ketentuan bahwa setiap RUU yang

diajukan kepada DPR oleh anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau DPD harus

dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU oleh Badan

Legislasi DPR RI. Demikian halnya terhadap RUU yang diajukan oleh Presiden yang

penyiapanya dilakukan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintahan

nonkementerian sesuai dengan lingkup tugas tanggung jawabnya, dilakukan

pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU oleh Menteri Hukum

dan HAM. Ketentuan mengenai pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan

konsepsi RUU didalam Pasal 46 dan 47 UU PPP diatur lebih jelas, tersetruktur, dan

masing-masing terintegrasi didalam peraturan DPR maupun Perpres tentang tata cara

mempersiapkan RUU.15

15 Ibid, Hal.32-34
Pembentukan Undang-Undang 23

3. Pembahasan Rancangan Undang-Undang

Ketentuan Pasal 65 ayat (1) UU PPP menjelaskan bahwa pembahasan RUU

dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang ditugasi. Hal ini sesuai bunyi

Pasal 20 ayat (2) UUD NKRI Tahun 1945, yakni “Setiap rancangan undang-undang

dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”. Adapun pelibatan

atau keikutsertaan DPD dalam pembahsan RUU hanya dilakukan apabila RUU yang

dibahas berkaitan dengan:

a. Otonomi daerah;

b. Hubungan pusat dan daerah;

c. Pembentukan, pemekaran, penggabungan daerah;

d. Pengelolahan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainya; dan

e. Perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Keikutsertaan DPD dalam pembahasan RUU dilakukan hanya pada pembicara tingkat I

(Satu), kemudian dalam pembahsan tersebut DPD diwakili oleh alat kelengkapan yang

membidangi materi muatan RUU tersebut.16

4. Pengesahan Rancangan Undang-Undang

Sesuai ketentuan Pasal 72 PPP bahwa RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan

Presiden disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Peresiden untuk disahkan menjadi UU.

Penyampaian RUU tersebut dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari

terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Penentuan tenggang waktu 7 (tujuh) hari

dianggap layak untuk mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan teknis penulisan

RUU kelembaran resmi Presdiden sampai dengan penandatangan pengesahan UU oleh

Presiden dan penandatanganan sekaligus pengundangan ke Lembaran Negara Republik

Indonesia (LNRI) oleh Mentri Hukum dan HAM.

16 Ibid, Hal.41
Pembentukan Undang-Undang 24

5. Pengundangan

Pengundangan peraturan perundang-undangan didalam UU PPP tetap dilakuakan dalam

Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia,

Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia,

Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, atau Berita Daerah.

Penempatan peraturan perundang-undangan didalam Lembaran Negara Republik

Indonesia dan Berita Negara Republik Indonesia hanya berupa batang tubuh peraturan

perundang-undangan an sich. Sementara penjelasan peraturan perundang-undangan yang

dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dimuat dalam Tambahan Berita

Negara Republik Indonesia. Demikian pula penjelasan peraturan perundang-undangan

yang dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia dimuat dalam Tambahan Berita

Negara Republik Indonesia.

Untuk melaksanakan pengundangan peraturan perundangan-undangan dalam

Lembaran Negara Republik Indonesia atau Berita Negara Republik Indonesia.17

6. Penyebarluasan

Penyebaraluasan Prolegnas, RUU, dan UU merupakan kegiatan untuk memberikan informasi

dan/atau memproleh masukan masyarakat serta para pemangku kepentingan mengenai

Prolegnas dan RUU yang sedang disusun, dibahas, dan yang telah diundangkan agar

masyarakat dapat memberikan masukan atau tanggapan terhadap Prolegnas dan RUU

tersebut atau memahami UU yang telah diundangkan. Kegiatan penyebarluasan tersebut

dilakukan melalui media elektroknik dan/atau media cetak.

Ketentuan pasal 89 UU PPP lebih progresif dalam penyebarluasan, bukan hanya kewenagan

pemerintah semata, melainkan penyebarluasan dilakukan secara bersama oleh DPR dan

17 Ibid, Hal.45-50
Pembentukan Undang-Undang 25

pemerintah. Didalam UU ini diatur bahwa penyebarluasan Prolegnas dilakukan bersama oleh

DPR dan pemerintah yang dikordinasikan oleh Badan Legislasi DPR. Penyebarluasan RUU

yang berasal dari DPR dilaksanakan oleh komisi/panitia/badan/Badan Legislasi DPR.

Sementara penyebarluasan RUU yang berasal dari presiden dilaksankan oleh instansi

pemrakarsa.

Demikian halnya terkait ketentuan Pasal 90 UU PPP diatur bahwa penyebarluasan UU yang

telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) dilakukan secarara

bersama-sama oleh DPR dan pemerintah. Dalam hal UU yang berkaitan disahkan berkaitan

dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta

penggabungan daerah, pengelolahan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainya

serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, maka penyebarluasan

UU tersebut dapat dilakukan juga oleh DPD.18

18 Ibid, Hal 52
Penutup 26

BAB III PENUTUP

A. Pembahasan
Undang-undang adalah peraturan perundangan, yang dalam pembentukannya

Presiden harus mendapat persetujuan DPR. Ketentuan tersebut diatur dalam UUD 1945

Pasal5 Ayat 1 "Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada DPR",

Pasal20 Ayat 1 "DPR memegang kekuasaan membentuk UU" dan Pasal 20 Ayat 2 "Setiap

RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama" . dalam tahapan

pembentukan peraturan perundangan haruslah meninjau dari segi aspek dan bagaimana

proses dan tahapan pembentukan peraturan itu dapat dijalankan . Undang-undang juga harus

memiliki asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan , khususnya dalam ranah

keindonesiaan, terdiri atas: Cita Hukum Indonesia; Asas Negara Berdasarkan Hukum; Asas

Pemerintahan Berdasarkan Sistem Konstitusi; dan Asas-asas lainya. Proses pembentukan

undang-undang akan sangat dipengaruhi oleh sistem hukum yang dianut oleh negara tempat

undang-undang itu dibentuk. Sehingga untuk mengkaji pembentukan undang-undang secara

komprehensif, haruslah dimulai dengan mengkaji sistem hukum itu sendiri.

Di Indonesia sendiri dalam proses dan tahapan pembentukan undang-undang dapat ditinjau

mulai dari bentuk undang-undang itu sendiri yang terdiri dari: kepala surat, pembukaan,

konsideren, landasan filosofis, ketentuan umum, ketentuan khusus, ketentuan tambahan,

ketentuan peralihan, ketentuan penutup dan lampiran. Dari bentuk undang-undang tersebut

merupakan isi dari undang-undang itu sendiri sebagaimana undang-undang itu dibentuk.

Materi muatan dan bahasa undang-undang dalam peraturan perundang-undangan juga

sangat mempengaruhi dalam pembentukan undang-undang, karena materi muatan berisi

perumusan norma-norma peraturan perundang-undangan yang dikonsepsikan secara umum.

Semakin tinggi kedudukan sesuatu peraturan perundang-undangan, semakin rendah


Penutup 27

kedudukan suatu peraturan perundang-undangan, semakin rinci dan konkrit pula materi

muatanya. Kesemuanya itu mencerminkan adanya tingkatan-tingkatan tentang materi muatan

peraturan perundang-undangan dimana undang-undang merupakan salah satu bentuk

peraturan perundang-undangan yang paling luas jangkauanya. Dan penggunaan bahasa dalam

undang-undang haruslah baik dan benar, tidak multi tafsir, tidak berlebihan, harus ada

(subyek, obyek, predikat dan keterangan), mengandung norma larangan, dan kejelasan

sanksi. Penjelasan ringkas pembentukan undang-undang:

1. Tahapan Perencanaan

Peraturan Presiden No. 61 Th 2005 tentang Tata Cara penyusunan dan Pengelolaan

program Legislasi Nasional.

2. Tahapan Penyiapan Rancangan Undang-Undang

RUU dari Pemerintah berdasarkan Peraturan Presiden No. 68 Th. 2005 tentang Tata

Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang, Rancangan peraturan Pemerintah, dan

Rancangan Peraturan Presiden.

3. Tahap Pembahasan di DPR

Berdasarkan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. 08/DPR

RI/I/2005-2006 tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Indonesia.

4. Tahap Pengesahan

Menurut Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan dan Peraturan Presiden No. 1 Th. 2007 tentang Pengesahan,

Pengundangan, dan Penyebarluasan, Peraturan perundang-undangan.

5. Tahap Pengundangan
Penutup 28

Menurut Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan dan Peraturan Presiden No. 1 Th. 2007 tentang Pengesahan, pengundangan, dan

Penyebarluasan, Peraturan Perundang-undangan.

B. Kesimpulan

1. Pembentukan undang-undang harus mempunyai dasar hukum dikarenakan:


− Undang-undang merupakan salah satu bagian dari sistem hukum. Dalam
pembentukan undang-undang harus diketahui sistem hukum apa yang dipakai oleh
negara terssebut.


Pembentukan undang-undang mengalami ketidak jelasan arti dan penjabarannya
dalam perumusan pembuatannya, sistemtika yang tidak baik dan bahasa yang
sukar dimengerti.

− Politik sering melakukan intervensi atas pembuatan undang-undang dan


pelaksanaan hukum.

2. Proses pembentukan undang-undang dibagi menjadi dua yakni:

− Atas inisiatif Presiden yang prosesnya dimulai dari perencanaan melalui

prolegnas, pembahasan ditingkat pemerintah, pembahasan ditingkat Dewan

Perwakilan Rakyat, pengundangan, sosialisasi, penyebarluasan melalui berbagai

media.

− Atas inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat yang prosenya dimulai dari perencanaan

melalui prakarsa Dewan Perwakiilan Rakyat dengan persetujuan Presiden,

pembahasan, pengundangan, sosialisasi, penyebarluasan melalui berbaga media.


29

DAFTAR PUSTAKA

Farida, Maria, ILMU PERUNDANG-UNDANGAN,Yogyakarta:Kanisius(1998).

Yuliandri, Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada(2010).

Asshiddiqie, Jimly, Perihal Undang-Undang, Jakarta: Rajawali Pers(2011).

Yani, Ahmad, Pembentukan peraturan perundang-undangan yang responsif, Jakarta:

Konstitusi Press (2013).

UU NO. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di


Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai